Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB

KINERJA KEUANGAN PEREMPUAN WIRAUSAHA “GUREM”:
KAJIAN EKSPERIMENTAL DI DESA LINGKAR KAMPUS IPB

ROSANA PODESTA S

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Keuangan Perempuan
Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015
Rosana Podesta S
NIM H351120031

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
ROSANA PODESTA S. Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”:
Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB. Dibimbing oleh SUHARNO
dan SITI JAHROH.
Pelaku ekonomi rakyat, khususnya perempuan sering mengalami kesulitan
jika berhadapan dengan lembaga finansial. Terdapat lima permasalahan yang
dihadapi perempuan wirausaha dalam menjalankan usahanya yaitu (1) kesulitan
mengakses keuangan, (2) kesulitan mengakses pasar, (3) kesulitan mengakses
pelatihan, (4) kesulitan mengakses jaringan dan informasi dan (5) kesulitan
mengakses kebijakan publik. Para perempuan wirausaha tersebut tidak memiliki
akses yang memadai untuk mendapatkan pelatihan di bidang pemasaran, tata buku
dan keterampilan manajerial. Selain itu, tidak memiliki jaringan dan informasi
usaha yang dapat menjadi bekal dalam menghadapi persaingan serta perubahan

dalam permintaan konsumen dan teknologi. Hal ini karena perempuan wirausaha
dianggap tidak layak, lokasi usaha yang terpencil, tidak memiliki jaminan dan
berbagai isu gender lain. Selain itu juga dikarenakan tingkat pengetahuan
perempuan wirausaha yang masih terbatas dalam mengakses ke lembaga
keuangan.
Kondisi ini semakin diperparah karena banyak usaha perempuan
wirausaha tersebut yang tidak terjangkau oleh institusi formal baik pemerintah
maupun lembaga keuangan, misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR
merupakan kredit program yang dicanangkan pemerintah untuk penduduk miskin,
akan tetapi dalam kenyataan, operasional di lapangan menunjukkan bahwa akses
KUR tidak mudah seperti yang dikampanyekan. Proses reguler perbankan masih
diterapkan sehingga tidak memungkinkan bagi kelompok mikro (lebih tepatnya
disebut kelompok “gurem”) untuk mengakses kredit program KUR. Hal ini
diakibatkan skala usaha yang sangat kecil bahkan dapat dikatakan “gurem”. Oleh
karena itu dalam rangka perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Departemen
Agribisnis menginisiasi penyaluran kredit program kepada perempuan wirausaha
di sekitar lingkungan kampus IPB. Kredit program tersebut diberi nama Mitra
AGB yang bekerja sama dengan NICHE (The Netherlands Initiative for Capacity
Development in Higher Education) sebagai pemilik dana.
Indikator keberhasilan program Mitra AGB ditunjukkan antara lain dengan

peningkatan omzet sebelum dan sesudah menerima penyaluran kredit serta
kelancaran dalam pengembalian kredit yang diberikan. Oleh karena itu penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan perempuan wirausaha “gurem”
setelah menerima kredit program Mitra AGB dan menganalisis faktor-faktor apa
saja yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit program
Mitra AGB.
Penelitian ini berbasis eksperimental riset dengan metode deskriptif
korelasional. Dalam konteks penelitian ini, diberikan perlakuan hanya berupa
penyaluran kredit kepada responden tanpa kontrol yang ketat seperti halnya
eksperimental riset di laboratorium. Hal ini dikarenakan sulit untuk mengontrol
penelitian sosial secara ketat mengingat banyaknya variabel-variabel. Oleh karena
itu penelitian ini dapat dikatakan eksperimental semu. Penentuan lokasi penelitian
dilakukan di desa lingkar kampus IPB yaitu Desa Babakan (Babakan Raya,

Leuwikopo, Cangkurawok, Sengked) dan Desa Balumbang Jaya (Babakan Lio).
Waktu penelitian dilakukan dari November 2013 hingga akhir Maret 2014 dengan
total 30 responden. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menggambarkan
karakteristik individu dan karakteristik usaha. Sedangkan metode analisis
kuantitatif digunakan untuk menganalisis kinerja usaha responden sebelum dan

sesudah menerima kredit (menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank) serta tingkat
kelancaran pengembalian kredit (menggunakan metode regresi logistik).
Berdasarkan hasil uji Wilcoxon Signed Rank, terdapat perbedaan omzet
responden sebelum dan sesudah menerima kredit program Mitra AGB. Hal yang
menarik disini adalah omzet rata-rata yang diperoleh perempuan wirausaha
program Mitra AGB justru mengalami penurunan sesudah menerima kredit dari
Rp328 500 per hari menjadi Rp279 185 per hari. Kondisi ini dimungkinkan
karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa kredit yang diberikan tidak
semuanya dialokasikan untuk usaha. Menurut beberapa pengakuan responden,
kredit yang diberikan tersebut sebagian digunakan untuk membayar sekolah anak
dan uang pengobatan anak yang sakit. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
salah satu kegagalan program kredit yang dilakukan pemerintah adalah tidak
adanya pemisahan yang jelas antara kredit produktif dan kredit konsumtif.
Akibatnya kredit yang seharusnya memiliki efek multiplier karena perputaran
usaha tidak teroptimalkan dengan sebagaimana mestinya karena digunakan untuk
kebutuhan lain yang tidak ada hubungannya dengan usaha.
Variabel omzet usaha ditemukan berkorelasi positif dan berpengaruh nyata
terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Dengan demikian semakin besar
omzet yang diperoleh maka akan mendorong tingkat pengembalian kredit menjadi
semakin lancar. Hal ini menunjukkan bahwa omzet berbanding lurus dengan

tingkat pengembalian kredit. Sementara usia dan tingkat pendidikan formal tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Secara
keseluruhan kredit yang diberikan belum mampu meningkatkan omzet dan skala
usaha perempuan wirausaha
Kata kunci: omzet usaha, skala usaha, tingkat pengembalian kredit

SUMMARY
ROSANA PODESTA S. Financial Performance of “Gurem” Women
Entrepreneurs: an Experimental Study in the Circle Campus of Bogor Agricultural
University. Supervised by SUHARNO and SITI JAHROH.
Economic actors, especially for women often have difficulties when dealing
with financial institutions. There are at least five problems faced by women
entrepreneurs: (1) difficulty to access finance, (2) difficulty to access markets, (3)
difficulty to access training, (4) difficulty to access network and information and
(5) difficulty to access public policy. The women entrepreneurs did not have
adequate access to training in the areas of marketing, accounting and managerial
skills. Women entrepreneurs do not have any network and business information
that can be equipped for facing the competition and changes in consumer demand
and technology. Difficulty of women entrepreneurs in accessing financial
resources is due to being unfit, remote location of business, no collateral and also

various gender issues. In addition, the level of knowledge of women entrepreneurs
is still limited in terms of access to financial institutions.
These conditions became worse when many women entrepreneurs are not
covered by formal institutions, neither government nor financial institutions such
as Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR is a credit program launched by the
government for the poor, but in fact, operating in the field showed the access to
KUR not as easy as it campaigned. Banking regular process still applied, so that
was not easy for micro group (more accurately called the "gurem") to access
credit KUR program. This caused a very small-scale enterprises can even say
"gurem". Therefore, in order to implement Tri Dharma University, Department of
Agribusiness initiated an experimental research about financing for women
entrepreneurs around campus IPB. The program called Mitra AGB which
cooperation with NICHE (The Netherlands Initiative for Capacity Development in
Higher Education) as the donor of the funds.
Success indicators of program Mitra AGB are increasing sales of women
entrepreneurs before and after receiving credit program as well as the level of loan
repayment. Therefore, this study aims to analyze the financial performance of
women entrepreneurs "gurem" after receiving the credit program Mitra AGB and
to analyze the factors that influence the level of loan repayment of program "Mitra
AGB ".

This experimental research employed descriptive correlational method. In
the context of this study, treatment is given only in the form of loans to the
respondents without strict control as well as experimental research in the
laboratory. This is because it would be difficult to strictly control the social
research considering the number of variables. Therefore, this research can be said
as quasi experimental. This research was conducted in the Babakan Village
(Babakan Raya, Leuwikopo, Cangkurawok, Sengked) and Balumbang Jaya
Village (Babakan Lio) from November 2013 to the end of March 2014 with a total
of 30 respondents. The analytical method used is qualitative and quantitative
analyse. Qualitative analysis was performed to describe the characteristics of the
individual and business characteristics. Whereas, quantitative analysis method
was used to analyze the performance of the business before and after receiving

credit (using the Wilcoxon Signed Rank test) and the level of loan repayment
(using logistic regression method).
Based on the results of the Wilcoxon Signed Rank test, there are sales
differences before and after receiving credit Mitra AGB. The interesting point is
the average sales that obtained by women entrepreneurs program Mitra AGB has
decreased after receiving the credit from IDR 328 500 per day to IDR 279 185 per
day. This might be due to the facts that not all loans allocated to business.

According to some respondents, loans are mostly used to pay for school and
hospital cost for children’s treatment. As has been mentioned before that one of
the failure of the government's loan program is there is no clear separation
between productive credit and consumtive credit. As a result, credit which should
has a multiplier effect do not optimized properly because it is used for other
purposes that has nothing connection with the business.
Business sales variables correlate positively and significantly affecting the
level of loan repayment. Thus, increasing sales will encourage the level of loan
repayment. This shows that sales is also directly proportional to the level of loan
repayment. While age and level of formal education did not significantly affect
the level of loan repayment. Overall loans have not been able to increase sales and
scale of business women entrepreneurs.
Keywords: level of loan repayment, sales of business, scale of business

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KINERJA KEUANGAN PEREMPUAN WIRAUSAHA “GUREM”:
KAJIAN EKSPERIMENTAL DI DESA LINGKAR KAMPUS IPB

ROSANA PODESTA S

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Dwi Rachmina, MSi

Judul Tesis:
Nama
NIM

:
:

Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian
Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB
Rosana Podesta S
H351120031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MADev

Ketua

Dr Siti Jahroh
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
25 November 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis yang berjudul Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha
“Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB dapat diselesaikan
dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan
memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah banyak
membantu dalam proses penyelesaian tesis ini, antara lain:
1. Dr Ir Suharno, MADev, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Siti
Jahroh selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam berbagi ilmu dan
pengalaman, serta atas dukungan selama melakukan bimbingan kepada
penulis sejak penyusunan proposal dan pelaksanaan penelitian di
lapangan hingga selesainya penulisan tesis ini.
2. Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Dr.
Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji perwakilan program studi
pada ujian tesis atas masukan dan sarannya dalam rangka
penyempurnaan tesis ini.
3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis
dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis,
serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat,
bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani
pendidikan pada Program Studi Agribisnis.
4. NICHE Program (The Netherlands Initiative for Capacity Development
in Higher Education) yang telah bersedia bekerja sama sebagai pemilik
dana.
5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan
Beasiswa Unggulan Dalam Negeri (BU-DN) kepada penulis.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H Sukari Sofyan dan Hj Roslina, atas doa
dan dukungannya yang tak pernah berhenti untuk penulis, serta saudara
kandung penulis, Yuhdi S dan Agusnita S, atas perhatiannya selama ini.
7. Teman-teman Angkatan III Program Studi Agribisnis atas diskusi dan
masukan selama mengikuti pendidikan.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

Rosana Podesta S

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Aksesibilitas Perempuan Wirausaha terhadap Sumberdaya Keuangan
Kredit untuk Perempuan Wirausaha
Peranan Kredit dalam Peningkatan Kinerja Perempuan Wirausaha
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Kredit
3 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Konsep Usaha Mikro Kecil Menengah dan Kewirausahaan
Konsep Kredit dan Penggolongan Kredibilitasnya
Konsep Kinerja Keuangan
Konsep Biaya Modal
Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data dan Penarikan Sampel
Analisis Data
Definisi Operasional
5 KARAKTERISTIK UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis Desa Babakan dan Balumbang Jaya
Sosial Ekonomi Desa Babakan dan Balumbang Jaya
Infrastruktur Desa Babakan dan Balumbang Jaya
7 KREDIT PROGRAM MITRA AGB
7 KARAKTERISTIK RESPONDEN
Karakteristik Individu
Karakteristik Usaha
8 KINERJA KEUANGAN PEREMPUAN WIRAUSAHA "GUREM"
Omzet Usaha Perempuan Wirausaha "Gurem"
Struktur Biaya Perempuan Wirausaha "Gurem"
Biaya Modal Perempuan Wirausaha "Gurem"
Uji Beda Omzet Usaha Rata-Rata Harian
Tingkat Kelancaran Pengembalian Kredit

xix
xix
1
1
4
6
6
6
6
6
8
10
12
14
14
18
20
22
23
25
25
25
26
27
29
30
30
30
32
33
37
38
42
44
44
46
47
49
51

9 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

55
55
55
56
61
63

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Perkembangan struktur tenaga kerja perempuan Indonesia sektor
formal dan informal tahun 2009
Jumlah penduduk Desa Babakan menurut kelompok umur
Rincian komponen angsuran program Mitra AGB
Sebaran usia responden terhadap omzet usaha
Sebaran pendidikan formal responden terhadap omzet usaha
Sebaran pengalaman usaha responden terhadap omzet usaha
Sebaran curahan jam kerja responden terhadap omzet usaha
Sebaran lokasi usaha responden terhadap omzet usaha
Sebaran status usaha responden terhadap omzet usaha
Sebaran kontribusi suami responden terhadap omzet usaha
Sebaran omzet perempuan usaha “gurem” berdasarkan jenis usaha
Struktur biaya rata-rata perempuan wirausaha “gurem” penerima
kredit program Mitra AGB (dalam Rp)
Hasil uji Wilcoxon Signed Rank perempuan wirausaha kredit
program Mitra AGB
Sebaran perkembangan omzet perempuan wirausaha “gurem”
sebelum dan sesudah menerima kredit
Hasil uji statistik faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kelancaran pengembalian kredit program Mitra AGB
Sebaran omzet perempuan usaha “gurem” berdasarkan status
pengembalian kredit
Sebaran usia perempuan usaha “gurem” berdasarkan status
pengembalian kredit
Sebaran tingkat pendidikan formal perempuan usaha “gurem”
berdasarkan status pengembalian kredit
Sebaran pengalaman perempuan usaha “gurem” berdasarkan status
pengembalian kredit
Sebaran dummy pinjaman kredit perempuan usaha “gurem”
berdasarkan status pengembalian kredit

2
31
34
38
39
40
41
42
43
43
44
47
49
49
51
52
53
53
54
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Struktur pelaku usaha di Indonesia
Kerangka pemikiran operasional
Desain kredit program Mitra AGB
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Rata-rata profit harian perempuan wirausaha "gurem"
Perkembangan omzet responden sebelum dan sesudah menerima
penyaluran kredit program Mitra AGB

16
25
37
40
48
50

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Output uji Wilcoxon Signed Rank
Output metode regresi logistik

61
62

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rasio jumlah penduduk perempuan Indonesia relatif seimbang dengan
rasio jumlah penduduk laki-laki sebesar 49.65 persen berbanding 50.35 persen
(BPS 2013). Akan tetapi sangat disayangkan karena potensi kuantitatif ini belum
diimbangi dengan potensi kualitatif. Data publikasi UNDP tahun 2014
menunjukkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun
2012 berada di urutan ke-121 dari 186 seluruh negara di dunia dengan nilai 0.629.
Urutan ini naik tiga peringkat dari tahun sebelumnya 2011, meskipun begitu
Indonesia masih berada di bawah Thailand dan Philipina. Sementara nilai Gender
Inequality Index (GII) Indonesia sebesar 0.494. Fakta ini menunjukkan bagaimana
rendahnya kualitas hidup perempuan dan masyarakat Indonesia yang sebenarnya
merupakan aset bagi kontribusi pembangunan nasional. Namun dilain pihak, fakta
menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan dapat menjadi pelaku yang patut
diperhitungkan bagi pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap meningkat rata-rata di atas 6 persen
pada 9 tahun terakhir dan pada tahun 2013 sebesar 5.7 persen1. Artinya, masih
tetap berada di posisi 2 terbaik diantara negara-negara G20. Hal ini didorong oleh
peran wirausaha kaum perempuan. Lebih lanjut, data Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (2012a) menyatakan bahwa lebih dari 30 juta
pengusaha mikro, kecil dan menengah, 60 persennya merupakan perempuan. Oleh
karena itu, dinamika perkembangan UMKM di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari perempuan sebagai subjek baik sebagai pemilik maupun manajer bersama
suami. Data BPS (2013) menyatakan bahwa sebanyak 31.44 persen wirausaha
mikro dan kecil adalah perempuan. Meskipun begitu, belum ditemukan data pasti
berapa jumlah riil perempuan wirausaha di Indonesia termasuk Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Urusan
Koperasi dan UKM.
UMKM di negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak didominasi
oleh perempuan dengan melakukan kegiatan ekonomi informal di luar rumah.
Kegiatan ekonomi informal tersebut seperti menjadi pedagang kecil, pemilik
warung dan membantu suami mengelola usaha rumah tangga yang bertujuan
untuk menambah pendapatan keluarga (Tambunan 2012). Tabel 1 menunjukkan
persentase perempuan yang bekerja di sektor informal. Proporsi tenaga kerja
perempuan di sektor informal tersebut ternyata mencakup 70 persen dari
keseluruhan tenaga kerja perempuan. Besarnya kaum perempuan yang bekerja di
sektor informal memunculkan dua indikasi (Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak 2012a). Pertama, masih banyak dijumpai
adanya keterbatasan-keterbatasan akses kaum perempuan untuk masuk ke dalam
sektor formal walaupun kebijakan kesetaraan gender telah lama dilaksanakan.
1

Menkop:Perempuan Lebih Profesional Kelola Koperasi dan Keuangan Usaha. [Internet]. Jakarta
(ID):
KUKM;
[diunduh
2014
Des
8].
Tersedia
pada:
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1379:menkopperempuan-lebih-profesional-kelola-koperasi-a-keuangan-usaha&catid=50:bind-berita&Itemid=97

2

Kedua, kaum perempuan sendiri yang lebih memilih masuk ke sektor informal,
dengan pertimbangan (di luar pertimbangan ekonomi) adanya kemudahan,
keleluasaan dan fleksibilitas kerja di sektor informal yang tidak mungkin
diperolehnya ketika bekerja di sektor formal. Hal ini menjadi pertimbangan
mengingat tugas domestik yang harus dilakukan sebagai seorang istri dan atau
ibu.
Tabel 1 Persentase struktur tenaga kerja perempuan Indonesia sektor formal dan
informal tahun 2009
Provinsi
Informal (%)
Formal (%)
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
Aceh
56.93
65.58
43.07
34.42
Sumatera Utara
57.87
69.77
42.13
30.23
Sumatera Barat
64.96
68.86
35.04
31.14
Riau
57.28
62.08
42.72
37.92
Jambi
61.48
68.74
38.52
31.26
Sumatera Selatan
68.71
73.15
31.29
26.85
Bengkulu
69.31
77.12
30.69
22.88
Lampung
71.18
74.21
28.82
25.79
Kepulauan Bangka
50.01
63.46
49.99
36.54
Belitung
Kepulauan Riau
35.22
33.33
64.78
66.67
DKI Jakarta
31.01
29.95
68.99
70.05
Jawa Barat
55.60
55.68
44.40
44.32
Jawa Tengah
64.17
63.87
35.83
36.13
Yogyakarta
53.19
56.14
46.81
43.86
Jawa Timur
63.13
66.45
36.87
33.55
Banten
47.08
46.43
52.92
53.57
Bali
55.01
64.34
44.99
35.66
Nusa Tenggara Barat
69.27
76.92
30.73
23.08
Nusa Tenggara Timur
77.92
84.77
22.08
15.23
Kalimantan Barat
66.55
79.66
33.45
20.34
Kalimantan Tengah
62.23
72.66
37.77
27.34
Kalimantan Timur
44.34
53.30
55.66
46.70
Sulawesi Utara
61.07
56.91
38.93
43.09
Sulawesi Tengah
72.59
71.30
27.41
28.70
Sulawesi Selatan
64.35
67.75
35.65
32.25
Sulawesi Tenggara
66.85
72.35
33.15
27.65
Gorontalo
69.62
59.55
30.38
40.45
Sulawesi Barat
69.81
74.20
30.19
25.80
Maluku
69.67
77.37
30.33
22.63
Maluku Utara
69.47
75.31
30.53
24.69
Papua Barat
63.58
74.00
36.42
26.00
Papua
75.55
86.95
24.45
13.05
Indonesia
60.09
63.98
39.91
36.02
Sumber : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010b)

3

Perkembangan dan partisipasi perempuan sebagai pelaku UMKM tersebut
berpotensi sebagai motor pendorong proses pemberdayaan perempuan dan
transformasi sosial. Hal ini sesuai dengan refleksi tujuan yang ingin dan harus
dicapai Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 mendatang.
Adapun beberapa tujuan dari MDGs yaitu mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim dan
mewujudkan pendidikan dasar bagi semua.
Berkaitan dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, Perguruan
Tinggi merupakan salah satu institusi pendidikan yang turut berperan dalam
pembangunan nasional. Selain itu, termaktub dalam UU Republik Indonesia No.
12 Tahun 2012 bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah terwujudnya pengabdian
kepada masyarakat yang berbasis penalaran dan karya penelitian sehingga dapat
dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Oleh karena itu, Institut Pertanian Bogor merupakan
stakeholder yang diharapkan mampu melakukan pengabdian dan pemberdayaan
masyarakat sesuai dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
IPB dalam menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi ditunjukkan
dengan peran sebagai knowledge production, knowledge transmission dan
knowledge transfer. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangsih terbesar dari
Perguruan Tinggi, dalam hal ini IPB untuk pengembangan masyarakat adalah
pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu, dengan ekonomi berbasis pengetahuan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kampus
IPB. Apalagi IPB memiliki program studi Agribisnis yang juga memiliki visi
untuk mendukung pembangunan berkelanjutan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan masyakat.
Kehadiran program studi Agribisnis dan IPB bersinergi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kampus melalui pemberdayaan
perempuan sebagai fokus utamanya. Para perempuan tersebut tidak bekerja di luar
rumah seperti suami sehingga relatif memiliki banyak waktu luang yang dapat
dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga. Meskipun begitu, kegiatan
usaha yang dijalankan oleh perempuan ini masih mengalami banyak kendala.
Salah satu kendala utama bagi perempuan dalam pengembangan usaha yaitu
kemampuan mengakses permodalan (Pines et al. 2010; Welsh dan Dragusin 2006;
Alam et al. 2012). Lebih lanjut kendala terbesar yang dihadapi oleh perempuan
wirausaha mikro, kecil dan menengah menurut Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (2012a) pada umumnya adalah aspek
pemasaran, permodalan, sumber daya manusia dan teknologi serta rendahnya
penguasaan perempuan terhadap aset produksi.
Perempuan wirausaha kesulitan mendapatkan akses sumber daya termasuk
sumber daya keuangan karena dianggap tidak layak, lokasi terpencil, tidak ada
jaminan dan berbagai isu gender lain (Ratnawati 2011). Selain itu juga
dikarenakan tingkat pengetahuan perempuan wirausaha yang masih terbatas
dalam mengakses lembaga keuangan (MCC 2014). Oleh karena itu, penelitian ini
berfokus pada eksperimental riset tentang penyaluran kredit Mitra AGB kepada
perempuan wirausaha di sekitar lingkungan kampus IPB guna pengembangan
usahanya.

4

Perumusan Masalah
Kredit lebih baik ditujukan kepada perempuan daripada laki-laki karena
karakteristik perempuan yang lebih tangguh bertahan terhadap kemiskinan.
Perempuan lebih potensial dalam memulai dan mengembangkan suatu usaha.
Selain itu biasanya perempuan juga yang mengusahakan UMKM dan UKM
(Lokhande 2008). Begitu pula dengan data Grameen Bank yang dipelopori
Muhammad Yunus yang menunjukkan bahwa 98 persen nasabahnya merupakan
perempuan (Alam dan Getubig 2010). Hal ini karena perempuan dikenal tekun,
pandai memanfaatkan waktu luang dan kesempatan, gigih berusaha untuk
menambah pendapatan keluarga, pandai dalam pengelolaan keuangan, pemasaran
dan pengelolaan perusahaan kecil yang bersifat rumah tangga. Sementara itu jika
dikaji dari sudut pandang nilai-nilai budaya Indonesia, tradisi dan agama Islam,
lebih mudah bagi kaum wanita, khususnya yang sudah bersuami untuk melakukan
jenis kegiatan tersebut yang bisa dilakukan di dalam rumah sendiri dibandingkan
jenis industri padat karya lainnya seperti meubel, material bangunan dan lain-lain.
Selama ini pelaku ekonomi rakyat memang sering mengalami kesulitan
ketika berhadapan dengan lembaga finansial, terutama bagi para perempuan
(Wube 2010; Tambunan 2012; Das 2000; Hossan dan Knight 2008). Sebenarnya
tidak hanya perempuan wirausaha saja yang mengalami kesulitan dalam dunia
perkreditan, hampir semua pelaku ekonomi rakyat berskala kecil sering kesulitan
berhadapan dengan lembaga finansial. Upaya pemerintah mengembangkan kredit
bagi usaha kecil bukan tidak pernah dilakukan, bahkan sudah banyak dilakukan
dengan berbagai paket bantuan kredit. Namun demikian, pihak perbankan
sebetulnya juga memiliki berbagai kendala dalam melayani wirausaha kecil
seperti misalnya biaya transaksi masih relatif tinggi (Dirlanuddin 2010).
Penelitian oleh Mahbub (2000) dan UNECE (2004) dalam Wube (2010)
menyebutkan setidaknya terdapat lima permasalahan yang dihadapi perempuan
wirausaha dalam menjalankan usahanya antara lain pertama, kesulitan mengakses
keuangan. Akses keuangan merupakan isu utama bagi perempuan apalagi usaha
baru. Perempuan wirausaha sering mendapat peluang yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan laki-laki dalam hal akses kredit. Hal ini dikarenakan
kurangnya agunan serta masih banyaknya beredar persepsi negatif tentang
perempuan wirausaha itu sendiri. Kedua, kesulitan mengakses pasar. Kemampuan
untuk memasuki pasar baru membutuhkan keahlian, pengetahuan dan jaringan
yang luas. Perempuan sering tidak memiliki akses akan pelatihan dan pengalaman
tentang bagaimana cara untuk berpartisipasi di pasar baru. Oleh karena itu,
perempuan wirausaha tersebut tidak dapat menjangkau pasar barang dan jasa yang
lebih strategis. Ketiga, kesulitan mengakses pelatihan. Perempuan wirausaha
memiliki akses yang terbatas dalam hal pelatihan teknis. Keempat, kesulitan
mengakses jaringan dan informasi. Perempuan memiliki kontak bisnis yang lebih
sedikit dan pengetahuan yang kurang tentang bagaimana cara untuk menangani
birokrasi pemerintah. Akibatnya posisi tawar perempuan wirausaha menjadi
lemah. Hal ini karena sebagian besar perempuan wirausaha beroperasi dalam
skala kecil dan umumnya tidak memiliki karyawan yang profesional sehingga
sering kesulitan dalam mengakses informasi. Selain itu, kebanyakan informasi
yang ada didominasi oleh kaum laki-laki. Kelima, kesulitan mengakses kebijakan

5

publik. Perusahaan-perusahaan besar dan laki-laki dapat lebih mudah dalam
mempengaruhi dan mengakses kebijakan publik.
ILO (2003b) juga menyatakan bahwa perempuan tidak memiliki akses
yang memadai untuk mendapatkan pelatihan di bidang pemasaran, tata buku dan
keterampilan manajemen. Selain itu, tidak memiliki jaringan dan informasi usaha
yang dapat menjadi bekal dalam menghadapi persaingan serta perubahan dalam
permintaan konsumen dan teknologi. Perempuan wirausaha tersebut menghadapi
kesulitan untuk memperoleh kredit, terutama jika apa yang diminta melebihi apa
yang dapat ditawarkan oleh koperasi dan lembaga kredit mikro lainnya.
Kesulitan perempuan wirausaha dalam mengakses sumber daya termasuk
sumber daya keuangan karena dianggap tidak layak, lokasi terpencil, tidak ada
jaminan dan berbagai isu gender lain (Ratnawati 2011). Selain itu juga
dikarenakan tingkat pengetahuan perempuan wirausaha yang masih terbatas
dalam mengakses ke lembaga keuangan (MCC 2014). Beberapa penelitian yang
memperkuat dugaan bahwa aksesibilitas kredit antara laki-laki dan perempuan
berbeda. Penelitian ILO (2006a) terhadap perempuan wirausaha di Provinsi NAD
menunjukkan bahwa ada kecendrungan bank tidak menganggap usaha perempuan
dengan serius. Para bankir mengikuti persepsi masyarakat dan cenderung melihat
usaha para perempuan sebagai usaha tambahan bagi pendapatan suami. Oleh
karenanya menjadi lebih skeptis dalam menyetujui pengajuan pinjaman dari
perempuan. Kondisi ini didukung oleh penelitian Anggraini dan Nasution (2013)
yang menyatakan bahwa perempuan yang menjadi debitur KUR BRI di Kota
Medan sebesar 44.78 persen.
Kondisi ini semakin diperparah karena banyak usaha perempuan
wirausaha tersebut yang sulit terjangkau oleh institusi formal baik pemerintah
maupun lembaga keuangan. Penelitian Hudiyanto (2010) menyatakan bahwa
meskipun KUR dicanangkan untuk penduduk miskin, dalam kenyataan,
operasional di lapangan menunjukkan akses bagi KUR tidak semudah seperti
yang dikampanyekan. Proses reguler perbankan masih diterapkan sehingga tidak
memungkinkan bagi kelompok mikro (lebih tepatnya disebut kelompok “gurem”)
untuk mengakses kredit program KUR. Hal ini diakibatkan skala usaha yang
sangat kecil bahkan dapat dikatakan “gurem”. Oleh karena itu, Departemen
Agribisnis menginisiasi eksperimental riset tentang penyaluran kredit program
yang diberi nama Mitra AGB. Program ini bekerja sama dengan NICHE (The
Netherlands Initiative for Capacity Development in Higher Education) sebagai
pemilik dana.
Kredit program Mitra AGB ini disalurkan kepada perempuan wirausaha di
sekitar lingkungan kampus IPB tepatnya Desa Babakan dan Desa Balumbang
Jaya. Hal ini bertujuan untuk pengembangan usaha perempuan wirausaha yang
diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan usaha yaitu omzet usaha.
Indikator keberhasilan program Mitra AGB ditunjukkan antara lain dengan
peningkatan omzet usaha sebelum dan sesudah menerima penyaluran kredit serta
kelancaran dalam pengembalian kredit yang diberikan. Apabila omzet usaha yang
diperoleh perempuan wirausaha “gurem” meningkat maka kecendrungan tingkat
pengembalian kredit juga akan lancar. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja keuangan perempuan wirausaha “gurem” sebelum dan
sesudah menerima kredit program Mitra AGB?

6

2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran
pengembalian kredit program Mitra AGB?

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Menganalisis kinerja keuangan perempuan wirausaha “gurem” sebelum
dan sesudah menerima kredit program Mitra AGB.
2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat
kelancaran pengembalian kredit program Mitra AGB.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu :
1. Membantu perempuan wirausaha “gurem” untuk meningkatkan omzet
usaha bahkan skala usaha.
2. Bahan pertimbangan dalam merumuskan program pemberdayaan
perempuan wirausaha “gurem” yang tepat.
3. Sebagai desain advokasi dalam pengembangan perempuan wirausaha
“gurem”.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup yang menjadi fokus penelitian ini adalah pemberian kredit
program Mitra AGB kepada perempuan wirausaha yang melakukan aktivitas
ekonomi di desa lingkar kampus IPB. Selanjutnya akan dilihat dampak omzet
usaha perempuan wirausaha sebelum dan sesudah pemberian kredit. Oleh karena
itu, ukuran kinerja keuangan yang digunakan sebagai bahan analisa usaha
“gurem” adalah omzet usaha. Adapun desa lingkar kampus IPB yang dipilih yakni
Desa Babakan (Babakan Raya, Leuwikopo, Cangkurawok, Sengked) dan Desa
Balumbang Jaya (Babakan Lio). Selanjutnya, kriteria pemilihan responden
didasarkan pada jenis usaha yang berbasis pertanian dengan perputaran cepat
yaitu harian.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aksesibilitas Perempuan Wirausaha terhadap Sumber daya Keuangan
Ikatan Perempuan Pengusaha Indonesia (IWAPI) tahun 2014
menunjukkan bahwa 85 persen anggotanya didominasi oleh pengusaha kecil, 12
persen pengusaha menengah dan 3 persen pengusaha besar. Dengan kata lain,
sebagian besar perempuan wirausaha bergerak di sektor UMKM. UMKM di
negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak didominasi oleh perempuan

7

dengan melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah. Kegiatan ekonomi tersebut
seperti menjadi pedagang kecil, pemilik warung dan membantu suami mengelola
usaha rumah tangga yang bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga
(Tambunan 2002). Dengan kata lain, keberadaan perempuan tetap menjadi poin
kunci tidak hanya di lingkup keluarga dan masyarakat tapi juga negara. Akan
tetapi belum terdapat data pasti berapa jumlah riil perempuan wirausaha di
Indonesia termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan serta Kementerian
Negara Urusan Koperasi dan UKM. Selain itu perempuan wirausaha yang
menjalankan UMKM juga masih dihadapkan pada banyak kendala.
Sebagai pelaku usaha mikro dan kecil, perempuan Indonesia menghadapi
persoalan yang digolongkan menjadi dua hal yaitu persoalan teknis usaha dan
struktural (Herawati et al. 2009). Dalam persoalan teknis usaha perempuan
menghadapi hambatan yang sama dengan pelaku usaha mikro pada umumnya.
Kekurangan modal, terbatasnya jaringan pasar, keterbatasan penguasaan teknologi
yang tepat guna dan terbatasnya penguasaan keterampilan manajemen serta
penguasaan teknis produksi adalah contoh problema terkait dengan teknis usaha.
Sementara persolan struktural yaitu adanya beragam aturan yang kurang kondusif
bagi perempuan untuk pengembangan usahanya. Misalnya, perbankan dan
institusi lain terkait pemberian layanan kredit dan program yang menekankan
pada kepala keluarga sebagai penerima manfaat.
Kondisi di atas didukung oleh penelitian Treichel dan Scott (2006) di AS
tentang akses perbankan oleh perempuan wirausaha dengan tiga periode waktu
1987, 1995 dan 2001. Hasilnya menunjukkan bahwa porsi perempuan wirausaha
untuk mengajukan pinjaman kepada pihak perbankan lebih kecil daripada lakilaki. Hal ini dapat dikaitkan dengan keyakinan yang dimiliki oleh perempuan itu
sendiri ketika mengajukan pinjaman serta kemungkinan akan menghadapi
diskriminasi dari pihak perbankan. Padahal hasil penelitian tersebut membuktikan
gender tidak berpengaruh terhadap persetujuan atau penolakan atas pengajuan
kredit perbankan. Hal ini dapat dipahami karena dalam pemberian kredit,
perbankan sangat mempertimbangkan konsep 6C yaitu character, capacity,
capital, collateral, condition of economic dan constraint. Akan tetapi usaha yang
dijalankan oleh perempuan menerima jumlah pinjaman yang lebih kecil daripada
usaha yang dijalankan laki-laki. Hal tersebut menjelaskan bahwa usaha yang
paling sering ditekuni oleh perempuan adalah bisnis jasa dan ritel. Selain itu
adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi dana eksternal
khususnya hutang. Jika usaha perempuan membutuhkan dana eksternal, maka
para perempuan akan meminjam yang besarnya hanya sebatas untuk
mengamankan usahanya. Lain halnya dengan para laki-laki, hal ini kemungkinan
terkait dengan sikap risk taker para laki-laki yang lebih dominan daripada
perempuan.
Kesulitan perempuan wirausaha dalam mengakses sumber daya termasuk
sumber daya keuangan karena dianggap tidak layak, lokasi terpencil, tidak ada
jaminan dan berbagai isu gender lain (Ratnawati 2011). Selain itu juga
dikarenakan tingkat pengetahuan perempuan wirausaha yang masih terbatas
dalam mengakses ke lembaga keuangan (MCC 2014). Beberapa penelitian yang
memperkuat dugaan bahwa aksesibilitas kredit antara laki-laki dan perempuan
berbeda. Penelitian ILO (2006a) terhadap perempuan wirausaha di Provinsi NAD
menunjukkan bahwa ada kecendrungan bank tidak menganggap usaha perempuan

8

dengan serius. Para bankir mengikuti persepsi masyarakat dan cenderung melihat
usaha para perempuan sebagai usaha tambahan bagi pendapatan suami. Oleh
karenanya menjadi lebih skeptis dalam menyetujui pengajuan pinjaman dari
perempuan. Senada dengan penelitian Anggraini dan Nasution (2013) yang
menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi debitur KUR BRI di Kota Medan
sebesar 44.78 persen.
Kredit untuk Perempuan Wirausaha
Upaya pemerintah untuk mengembangkan kredit bagi usaha kecil bukan
tidak pernah dilakukan. Berbagai macam model, pendekatan, metode dan cara
telah dilakukan seperti misalnya melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
dan Kredit Keluarga Sejahtera (KUKESRA). Bahkan melalui Surat Keputusan
Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN wajib menyisihkan 1-5 persen dari
laba untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi. Program pemberdayaan yang
dimaksud antara lain Program Pembinaan dan Peningkatan Petani dan Nelayan
Kecil (P4NK), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Sementara di bidang perkreditan,
pemerintah telah mencanangkan berbagai kredit agar bisa diakses untuk usaha
kecil seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Kelayakan Usaha (KKU), Kredit Modal Permanen (KMP), Kredit Usaha Kecil
(KUK) (Purwanto 2007).
Pihak perbankan juga memiliki berbagai kendala dalam melayani
wirausaha kecil seperti misalnya biaya transaksi masih relatif tinggi (Dirlanudin
2010). Hal ini karena lokasi nasabah pada umumnya sulit dijangkau akibat
kurangnya jaringan kerja perbankan. Mekanisme perbankan konvensional yang
mewajibkan agunan dan persyaratan administratif yang cukup ketat juga
menyulitkan pelaku usaha mikro bahkan “gurem” untuk mengakses dana
perbankan (Wube 2010). Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah perbankan
merupakan lembaga yang berorientasi profit dengan biaya minimum. Oleh
karenanya perbankan cenderung akan memprioritaskan pelayanan kepada usaha
skala besar daripada usaha skala kecil (Firmansyah 2000). Oleh karena itu, untuk
mempermudah akses ke perbankan, pemerintah mengeluarkan program Kredit
Usaha Rakyat (KUR) pada 5 November 2007.
KUR menyediakan jaminan kredit pemerintah bagi usaha yang sebenarnya
layak (feasible) tetapi tidak bankable (Hariyanto dan Prasetyo 2010). Realisasi
KUR hingga akhir tahun 2011 mencapai Rp63.4 triliun yang diberikan kepada
5 722 470 debitur dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai
penyerap terbesar KUR (69%). Sementara sektor pertanian hanya menyerap 19
persen dari total kredit yang disalurkan. Dominasi sektor perdagangan
menunjukkan kondisi yang belum ideal mengingat mayoritas masyarakat
Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Selain itu, sebaran wilayah
penyerapan KUR masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karena itu,
kedepannya diharapkan Bank Pembangunan Daerah dapat meningkatkan
penyaluran KUR di luar Pulau Jawa.
Begitu pula dengan upaya pemerintah dalam memberdayakan perempuan
melalui program kredit mikro telah banyak diberikan (Hariyanto dan Prasetyo

9

2010). Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa upaya tersebut
belum mampu meningkatkan skala usaha wirausaha kecil padahal paket kebijakan
dan aneka program telah dilakukan? Menurut Purwanto (2007) hal ini terjadi
salah satunya karena umumnya program tersebut diberikan kepada masyarakat
miskin yang tidak paham bagaimana cara mengelola kredit yang diberikan
pemerintah. Alhasil bantuan kredit tersebut berdampak negatif karena
dimanfaatkan bukan untuk kebutuhan produktif yang memberikan nilai tambah.
Bahkan seringkali digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat konsumtif. Oleh karena itu, salah satu kelemahan Kredit Usaha Kecil
(KUK) adalah tidak adanya pembedaan secara tegas antara kredit untuk keperluan
konsumtif dengan kredit usaha produktif. Akibat kesulitan mengakses dana baik
dari perbankan maupun pemerintah, maka banyak bermunculan lembaga
keuangan ilegal seperti rentenir. Lembaga keuangan ilegal ini sangat diminati oleh
masyarakat menengah kebawah karena mudah dalam proses pinjaman meskipun
suku bunganya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena pelaku usaha tidak memiliki
pilihan jalan lain selain menjaga keberlangsungan usahanya.
Menyadari akan kesulitan yang dihadapi oleh pelaku usaha miskin, Prof.
Muhammad Yunus mendesain konsep perbankan yang dirancang khusus untuk
rakyat miskin di pedesaan Bangladesh yaitu Grameen Bank. Keberhasilan
Grameen Bank mengurangi kemiskinan di Bangladesh, membuat pola ini banyak
diadopsi hampir di seluruh negara di dunia (Akpan 2005; Firmansyah 2000;
Sarker 2001). Hal ini karena pola Grameen Bank memiliki keunggulan
dibandingkan prosedur dan sistem kerja perbankan konvensional (Aubuchon dan
Sengupta 2008; Thoha 2000; Alam dan Getubig 2010). Pertama, transaksi pada
bank konvensional berupa dokumen tertulis berbentuk formulir, sementara
Grameen Bank berupa formulir sederhanya yang diisi oleh petugas guna mencatat
identitas nasabah. Kedua, bank konvensional mewajibkan adanya jaminan
(collateral) bagi setiap calon nasabah yang mengajukan pinjaman. Besarnya nilai
jaminan juga harus lebih besar dari jumlah yang akan dipinjam atau memenuhi
batas minimum dari nilai kredit yang diajukan. Lain halnya dengan Grameen
Bank yang sama sekali tidak memerlukan jaminan kebendaan. Dalam hal ini yang
dilakukan adalah menetapkan batas maksimum bagi pendapatan atau kekayaan
terhadap calon debitur. Apabila penilaian menunjukkan bahwa calon debitur
betul-betul hidup di bawah garis kemiskinan, maka orang tersebut semakin layak
untuk diberikan pinjaman. Ketiga, bank konvensional memberikan sangsi hukum
bagi debitur yang gagal mengembalikan pinjaman yaitu dengan menyita Babakan
Rayang jaminan. Tidak demikian halnya dengan nasabah Grameen Bank yang
mengalami wanprestasi. Mempertahankan kedisiplinan anggota kelompok agar
tetap tinggi melalui penguatan kelompok dan membangun hubungan yang baik
antara petugas Grameen Bank dan anggota kelompok merupakan cara untuk
mengantisipasi kredit macet.
Lebih lanjut penelitian oleh Thoha (2000) menunjukkan bahwa kredit pola
Grameen Bank lebih efektif daripada KUKESRA dalam pengentasan kemiskinan
di Blitar. Hal ini terlihat dari peningkatan pendapatan nasabah Grameen Bank
sebesar 90 persen dalam setahun. Grameen Bank memiliki daya tarik yang kuat
daripada KUKESRA yaitu (1) prosedur peminjaman yang sangat mudah, (2)
tingkat bunga relatif rendah, (3) tidak perlu agunan dan (4) ada pendampingan
usaha. Selain itu manfaat yang dirasakan oleh nasabah Grameen Bank lebih tinggi

10

dibandingkan nasabah KUKESRA. Manfaat tersebut berupa kemampuan
menabung, jaringan usaha bertambah luas dan pengetahuan tentang bisnis
meningkat. Catatan penting untuk model Grameen Bank ini adalah pembuktian
bahwa orang-orang miskin itu bankable. Selain itu pendekatan yang diterapkan
Grameen Bank merupakan pendekatan bottom-up yang berangkat dari kebutuhan
rakyat kecil. Sementara kebanyakan program pemerintah lebih bersifat top-down
yang belum tentu tahu pasti kondisi riil di lapangan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat.
Terlepas dari banyak kelebihan yang ditawarkan dengan pola Grameen
Bank, ternyata pola tersebut memiliki beberapa kekurangan (Wahyono 2000).
Pola ini kurang efektif untuk mengentaskan kemiskinan di daerah perkotaan atau
pedesaan yang mata pencahariannya sebagai petani, buruh atau kegiatan usaha
lain yang bersifat musiman. Ketidakcocokan untuk diterapkan di daerah perkotaan
karena masyarakatnya yang cenderung individualistik, sedangkan pola Grameen
Bank sangat mensyaratkan solidaritas kelompok yang kuat.

Peranan Kredit dalam Peningkatan Kinerja Perempuan Wirausaha
Peranan kredit untuk usaha dapat mendukung kelancaran arus barang dan
jasa serta dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Secara umum
pemanfaatan kredit bagi masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah
berperan dalam perbaikan kesejahteraan dan kualitas hidup. Senada dengan Alam
et al. (2012) yang menyatakan bahwa kredit mikro yang diberikan kepada
masyarakat miskin menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan pendapatan
melalui aktivitas ekonomi. Rachmina (1994b) juga menyatakan bahwa kredit
sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yakni dalam hal
pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi dan pengurangan jumlah
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi ditunjukkan dengan dengan adanya
peningkatan output produksi. Selanjutnya peningkatan output produksi hanya
dapat dicapai dengan menambah jumlah input atau menerapkan teknologi baru.
Sementara penambahan jumlah input dan penerapan teknologi baru akan selalu
diikuti dengan penambahan modal. Dengan kata lain, pelaksanaan pembangunan
merupakan peningkatan penggunaan modal.
Penelitian Setiawan dan Rejekiningsih (2009) menyatakan bahwa dampak
dana bergulir untuk penguatan UKM dapat dianalisis dari aspek-aspek seperti (1)
jumlah tenaga kerja dan kenaikan tenaga kerja, (2) modal usaha dan kenaikan
modal usaha, (3) omzet usaha penjualan dan kenaikan omzet usaha penjualan
serta (4) keuntungan dan kenaikan keuntungan usaha. Berdasarkan uji statistik
peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh bahwa dari keempat variabel tersebut,
kenaikan tenaga kerja memiliki perbedaan yang paling besar sebelum dan sesudah
menerima bantuan dana bergulir. Senada dengan penelitian Afifah dan Setiawan
(2012) yang melihat perkembangan modal usaha, omzet usaha penjualan dan laba
sebelum dan sesudah memperoleh kredit dari Dinas Koperasi dan UMKM Kota
Semarang. Secara keseluruhan ketiga variabel tersebut mengalami peningkatan
sesudah memperoleh kredit dengan persentase masing-masing 55.87 persen, 22.22
persen dan 44.12 persen. Uji signifikansi Wilcoxon juga menunjukkan ada beda
variabel modal usaha, omzet usaha penjualan dan laba sebelum dan sesudah

11

memperoleh kredit (p-value < α). Hal ini menunjukkan bahwa kredit yang
diberikan dapat membantu usaha kecil. Hal ini didukung oleh penelitian Putra dan
Mustika (2014) tentang efektivitas program Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) di
Kabupaten Tabanan sebesar 85.83 persen yang tergolong sangat efektif dan terjadi
peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja UMKM sesudah mengikuti
program Jamkrida. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa kredit dari Dinas
Koperasi dan UMKM Kota Semarang masih belum tepat sasaran karena bantuan
barang tersebut kurang sesuai untuk operasional usaha.
Terkait dengan peranan kredit dalam peningkatan output usaha tersebut,
banyak pelaku usaha yang berusaha sedemikian rupa agar dapat mengakses kredit
tersebut. Namun bagi lembaga keuangan, tidak semudah itu untuk mencairkan
pembiayaan atau kredit terutama bagi pelaku usaha kecil. Hal ini karena ada
prinsip yang mesti dipatuhi oleh lembaga keuangan sebelum mencairkan kredit.
Prinsip 6C perbankan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia
secara tidak langsung menyulitkan usaha kecil bahkan “gurem” untuk
mengaksesnya. Hal ini salah satunya karena ketidakmampuan dalam memenuhi
aspek collateral (Hossain dan Knight 2008). Oleh karena itu, Prof. Muhammad
Yunus melalui Grameen Bank melakukan terobosan baru dengan pola kredit
mikro yang sangat bersahabat dengan pelaku usaha kecil.
Menurut Woller dan Woodworth (2001), kredit mikro diartikan sebagai
program berupa pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi orang miskin untuk
kegiatan produktif yang dapat menghasilkan pendapatan. Terkait dengan kegiatan
produktif yang menghasilkan pendapatan, fokus kredit mikro oleh Grameen Bank
sebagai lembaga keuangan mikro adalah para perempuan miskin. Hal ini karena
(1) perempuan lebih sulit mengakses perbankan daripada laki-laki, (2) perempuan
berdampak besar terhadap kesejahteraan keluarga melalui pengaruhnya ter