Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi
KAJIAN HABITAT DAN AKTIVITAS KEMUNCULAN KUNANGKUNANG DENGAN OBSERVASI CUACA SKALA MIKRO DI
KAWASAN SITU GUNUNG, KABUPATEN SUKABUMI
ANIK WIJAYANTI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Habitat dan
Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di
Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Anik Wijayanti
NIM G24100044
ABSTRAK
ANIK WIJAYANTI. Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang
dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten
Sukabumi. Dibimbing oleh BREGAS BUDIANTO dan NINA MARYANA.
Kunang-kunang merupakan serangga yang menghasilkan cahaya alami dan
berperan sebagai indikator lingkungan. Beberapa negara seperti Jepang, Thailand,
dan Malaysia telah memanfaatkan potensi kunang-kunang di bidang pariwisata.
Kunang-kunang membutuhkan kondisi habitat yang sesuai dari segi ekologis
maupun unsur-unsur fisiknya, termasuk unsur iklim dan cuaca. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keterkaitan unsur-unsur cuaca skala mikro dan
karakteristik lokasi dengan kemunculan kunang-kunang. Metode yang digunakan
adalah observasi cuaca, visual encounter survey (VES) time search, dan
identifikasi spesies. Observasi cuaca dan pengamatan kemunculan dilakukan
secara bergiliran di jalur Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau, dan Curug
Cimanaracun pada malam hari pukul 19.30–22.00 WIB. Suhu optimum untuk
kemunculan kunang-kunang berkisar pada 17.5–19.5 °C dengan kemunculan
tertinggi pada RH 93–95%. Penurunan suhu udara, kejadian presipitasi, dan RH
yang semakin tinggi dapat menghambat pergerakan sayap, sehingga kurang sesuai
untuk kemunculan kunang-kunang. Karakteristik wilayah juga berkaitan dengan
kunang-kunang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan spesies,
penyebaran dan tingkat kemunculan kunang-kunang di setiap wilayah. Tingkat
kemunculan kunang-kunang paling tinggi berada di jalur Curug Cimanaracun
dengan tutupan tajuk yang lebih rapat, kelembaban cukup tinggi, dan terdapat
badan air yang mendukung kunang-kunang, terutama fase telur dan larva. Kondisi
yang lembab di jalur Curug Cimamaracun juga sesuai untuk kelangsungan hidup
siput yang menjadi makanan larva kunang-kunang.
Kata Kunci: Lampyridae, presipitasi, RH, suhu udara, VES
ABSTRACT
ANIK WIJAYANTI. Habitat Studies and Activities of Fireflies Emergence with
Micro-Scale Weather Observation in Situ Gunung, Sukabumi. Supervised by
BREGAS BUDIANTO and NINA MARYANA.
Firefly is an insect that produces bioluminescence and serve as
environmental indicator. Several countries such as Japan, Thailand, and Malaysia
have use the potential of a firefly for tourism. Fireflies require suitable habitat
conditions in terms of ecological and physical elements, including weather
elements. This study aimed to determine the linkage elements of micro-scale
weather with the emergence of fireflies. The methods used in this study include
the weather observation, visual encounter surveys (VES) time search, and
identification of species. Weather and emergence observation were conducted in
rotation on four lanes (Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau and Curug
Cimanaracun) at night (19.30–22.00). The optimum temperature of emergence at
range 17.5–19.5 °C and most found at RH 93–96%. Decreasing of air
temperature, precipitation events, and higher RH can inhibit the movement of the
wings, making they less suitable for the emergence of fireflies. Besides weather
elements, the characteristics of any area related to the fireflies. Those indicated by
the difference in species, the spread and the rate of appearance of fireflies in each
region. The highest emergence of fireflies is located on Curug Cimanaracun lane
where has denser canopy cover, humidity is quite high, and there is a body of
water that supports the fireflies, especially eggs and larval phase. Humid
conditions in Curug Cimanaracun lane also suitable for habitat of snails as prey of
firefly larvae.
Keywords: air temperature, Lampyridae, precipitation, RH, VES
KAJIAN HABITAT DAN AKTIVITAS KEMUNCULAN KUNANGKUNANG DENGAN OBSERVASI CUACA SKALA MIKRO DI
KAWASAN SITU GUNUNG, KABUPATEN SUKABUMI
ANIK WIJAYANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi : Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan
Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten
Sukabumi
Nama
: Anik Wijayanti
NIM
: G24100044
Disetujui oleh
Ir Bregas Budianto, AssDpl
Pembimbing I
Dr Ir Nina Maryana, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Tania June, MSc
Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini adalah biometeorologi, dengan judul Kajian
Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca
Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi.
Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Ir Bregas Budianto, AssDpl. dan
Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, MSi. selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran maupun kritik. Ungkapan terima kasih ini juga saya sampaikan kepada ayah,
ibu, dan adik yang telah memberikan doa dan dukungannya. Selain itu, terima
kasih kepada Beasiswa Bidik Misi, Pengelola Wisata Situ Gunung, Rakata, UKF,
rekan Workshop Instrumentasi, LIPI Cibinong, dan teman-teman mahasiswa yang
telah memberikan banyak bantuan secara material maupun non material. Saya
berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat di kemudian hari.
Bogor, Januari 2015
Anik Wijayanti
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Karakteristik dan Habitat Kunang-Kunang
3
Kondisi Umum dan Iklim Mikro Situ Gunung
4
METODE
6
Waktu dan Tempat
6
Alat dan Bahan
6
Prosedur Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Identifikasi Kunang-Kunang di Kawasan Situ Gunung
9
9
Sebaran Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
10
Tingkat Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
11
Keterkaitan Unsur Cuaca dengan Kemunculan Kunang-Kunang
14
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR GAMBAR
Beberapa jenis kunang-kunang
Peta Kawasan Situ Gunung sebagai taman wisata alam
Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina
Morfologi kunang-kunang genus Luciola
Morfologi kunang-kunang Lucernuta lateralis
Peta sebaran kemunculan kunang-kunang di jalur pengamatan
Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan pada
kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan
Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB
Suhu udara malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan kemunculan
kunang-kunang di keempat jalur
Kelembaban relatif (RH) malam hari (19.30–22.00 WIB) saat
pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur
Curah hujan harian dengan pengamatan kemunculan kunang-kunang di
keempat jalur
Pengaruh kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan
terhadap perbedaan kemunculan kunang-kunang pada kedua periode
di jalur Wisma Kantor (1, 2, 3), Curug Sawer (4, 5, 6), Danau (7, 8,
9), dan Curug Cimanaracun (10, 11, 12)
3
4
9
9
10
11
12
14
15
16
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
Lokasi jalur pengamatan pada Kawasan Situ Gunung
Lokasi wilayah pada jalur Wisma Kantor
Lokasi wilayah pada jalur Curug Sawer
Lokasi wilayah pada jalur Danau
Lokasi wilayah pada jalur Curug Cimanaracun
Karakteristik wilayah pada setiap jalur pengamatan
Kondisi setiap wilayah pada jalur pengamatan
Data observasi cuaca dan kemunculan kunang-kunang di empat jalur
pengamatan
24
25
26
27
28
29
31
32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kunang-kunang termasuk dalam keanekaragaman hayati di kawasan Situ
Gunung. Serangga ini dikenal sebagai indikator lingkungan yang alami dan bersih
(Akram et al. 2012). Ciri khas kunang-kunang terdapat pada tubuhnya yang dapat
menghasilkan cahaya berpendar di malam hari. Hal tersebut menjadikan kunangkunang menarik untuk dimanfaatkan sebagai objek wisata ecotourism. Jepang,
Malaysia, dan Thailand telah membangun wisata kunang-kunang untuk tujuan
wisata sekaligus usaha konservasi lingkungan. Bentuk wisata ini berupa firefly
watching tour, yaitu pengunjung diarahkan agar melewati tempat-tempat strategis
untuk melihat kunang-kunang. Jepang memiliki firefly canoe tour di kawasan
Danau Aokiko pada musim panas (Evergreen Outdoor Center 2014). Kampung
Kuantan Firefly Park di Malaysia menjadi salah satu tempat wisata kunangkunang sekaligus kawasan CBE (Community-Based Ecotourism) (Mohd
Shahwahid et al. 2013). Thailand juga memiliki wisata kunang-kunang yang
pengelolaannya melibatkan penduduk lokal, perusahaan wisata, serta komunitas di
sekitar (Nurancha et al. 2013). Lokasi wisata kunang-kunang di Thailand terdapat
di Sungai Mae Klong, Amphawa.
Sutherst dan Maywald (1985) menyebutkan, peningkatan serta penurunan
populasi serangga secara umum dipengaruhi faktor-faktor lingkungan, termasuk
faktor cuaca dan iklim. Data unsur cuaca dan iklim dapat dimanfaatkan untuk
mengestimasi populasi serta penyebaran serangga secara komputerisasi. Oleh
karena itu, penulis ingin meneliti dan mengidentifikasi habitat dan aktivitas
kunang-kunang dengan observasi cuaca skala mikro untuk perencanaan taman
kunang-kunang di Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi.
1.
2.
3.
4.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini meliputi:
Ada beberapa spesies kunang-kunang yang ditemukan pada jalur pengamatan.
Jumlah individu kunang-kunang yang ditemukan di setiap jalur pengamatan
tidak sama.
Ada peningkatan maupun penurunan aktivitas kemunculan kunang-kunang
selama waktu pengamatan yang telah ditentukan.
Unsur cuaca skala mikro yang diobservasi (suhu udara, kelembaban relatif,
curah hujan, dan kejadian presipitasi) berkaitan dengan kemunculan kunangkunang pada malam hari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan unsur cuaca skala
mikro dengan kemunculan kunang-kunang pada malam hari serta
mengidentifikasi lokasi yang berpotensi untuk dijadikan taman kunang-kunang di
Situ Gunung.
2
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Menambah informasi mengenai keterkaitan unsur cuaca dan karakteristik
lokasi terhadap kemunculan kunang-kunang.
2. Memberikan informasi untuk perencanaan wisata kunang-kunang di kawasan
Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi, terutama perencanaan lokasi dan jadwal
kunjungan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Habitat Kunang-Kunang
Kunang-kunang (Gambar 1) merupakan serangga jenis kumbang yang
diklasifikasikan dalam famili Lampyridae dan ordo Coleoptera. Kata Lampyridae
berasal dari bahasa Yunani, yaitu α π ι (lampyris) yang diartikan sebagai
―yang bercahaya‖. Kunang-kunang juga dikenal dengan istilah glowworm (Essig
1958). Secara lebih spesifik, kunang-kunang dibagi ke dalam beberapa genus,
antara lain Cortus, Lamprophorus, Lampyris, Luciola, Photinus, Photuris,
Pteroptyx, Pyractomena, Pyrocoelia, dan lain-lain (Essig 1958; McDermott 1964;
Ballantyne & Lambkin 2001; Fu et al. 2012).
Waktu aktif kunang-kunang pada malam hari, sehingga disebut sebagai
serangga nocturnal. Serangga malam ini memiliki keistimewaan karena mampu
menghasilkan cahaya berpendar dari bagian tubuhnya. Cahaya tersebut digunakan
sebagai alat komunikasi, terutama untuk mencari pasangannya pada musim kawin
(Ohba 2004). Proses untuk menghasilkan cahaya melibatkan sel khusus
(photocytes) dan kerja enzim luciferase. Luciferase bekerja untuk mengaktifkan
luciferin. Selanjutnya, luciferin bergabung dengan oksigen dan menghasilkan
cahaya pada photocytes yang terletak pada ruas pertama atau ke-dua di belakang
dari abdomennya (Timmins et al. 2001). Kunang-kunang menghasilkan cahaya
mulai dari fase telur, tetapi dengan intensitas cahaya yang berbeda-beda. Kunangkunang jantan lebih sedikit bercahaya dibandingkan dengan kunang-kunang
betina yang menggunakan cahaya pijarnya untuk menarik dan menstimulasi
pejantan (Oba et al. 2010).
Gambar 1 Beberapa jenis kunang-kunang. Luciola lusitanica (a), Lampyris
noctiluca (b), Pteroptyx tener (c).
Sumber: Biolib Gallery (1993–2013)
Kunang-kunang biasanya berwarna kecoklatan atau kehitaman. Serangga ini
memiliki tubuh yang lunak dan memanjang. Kepalanya tersembunyi di bawah
pronotum dan antenanya menyerupai benang. Hanya beberapa ruas abdominal
dari kunang-kunang yang dapat bercahaya. Kunang-kunang jantan berukuran
lebih kecil daripada kunang-kunang betina. Kunang-kunang jantan memiliki dua
pasang sayap, namun hanya sayap belakang yang digunakan untuk terbang.
Pasangan sayap pertama, elytra, menjadi pelindung untuk pasangan sayap ke-dua.
Kunang-kunang betina ada yang mempunyai sayap dan tidak mempunyai sayap,
sehingga tidak selalu terbang (Borror & White 1970).
Siklus hidup kunang-kunang diawali dari fase telur, larva, pupa, hingga
imago (dewasa). Betina akan meletakkan telur sekitar seratus butir atau lebih di
tanah dan di dasar pohon. Telur akan menetas dalam 2-4 minggu yang kemudian
4
menjadi larva. Larva bersifat predator yang memakan serangga lain, siput dan
keong. Umumnya siklus hidup kunang-kunang memerlukan waktu tiga bulan
hingga satu tahun, tergantung pada jenis kunang-kunang dan lingkungannya.
Ketika dewasa kunang-kunang hanya bertahan hidup kurang dari dua minggu
dengan memakan polen bunga atau bahkan tidak makan sama sekali (Nurancha et
al. 2013).
Ada lebih dari 2 000 spesies kunang-kunang tersebar di daerah beriklim
tropis dan subtropis. Jumlah terbesar dengan keragaman paling tinggi dapat
dijumpai pada wilayah tropis Asia, Amerika Utara dan Tengah, serta Amerika
Serikat. Spesies kunang-kunang sering ditemukan di daerah dengan kelembaban
tinggi dan hangat seperti kolam, sungai, payau, lembah, parit dan padang rumput
(Essig 1958). Kazama et al. (2007) menjelaskan bahwa habitat yang paling sesuai
untuk kunang-kunang berupa lingkungan hidro (hydro-enviroment) yang meliputi,
area non urban, hutan gugur daun (deciduous forest), lahan pertanian, dan lahan
tanaman padi. Lahan tersebut berupa lahan dengan polusi air yang sangat rendah
dan bebas dari jenis pupuk atau pestisida an-organik. Kunang-kunang sangat
rentan terhadap pencemaran lingkungan, sehingga dijadikan indikator lingkungan
alami dan bersih.
Kondisi Umum dan Iklim Mikro Situ Gunung
Kawasan Situ Gunung (Gambar 2) merupakan kawasan hutan alam sub
pegunungan dan hutan tanaman damar yang mengelilingi danau dan berada dalam
wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat.
Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 461/Kpts/Um/11/1975 seluas 100 ha. Letak
geografis kawasan terdapat pada 106o54’37‖ hingga 106o55’30‖ Bujur Timur dan
06o39’40‖ hingga 06o41’12‖ Lintang Selatan. Secara administratif, Situ Gunung
termasuk wilayah Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten
Sukabumi. (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2007).
Gambar 2 Peta Kawasan Situ Gunung sebagai taman wisata alam.
Sumber : Pengelola Situ Gunung Park (2012)
5
Kawasan TWA Situ Gunung terletak pada ketinggian antara 950–1 036
mdpl. Keadaan topografinya sebagian kecil datar dan sebagian besar
bergelombang sampai berbukit. Kondisi iklim mikro di kawasan ini dipengaruhi
oleh ketinggian tersebut. Suhu udara memiliki kisaran 16–28 oC dan kelembaban
relatif rata-rata 84 %. Curah hujan berkisar antara 1 611–4 311 mm per tahun
dengan 106–187 hari hujan per tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat,
2007).
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2007) juga menyebutkan bahwa
kawasan ini mempunyai potensi keanekaragaman biodiversitas flora dan fauna
yang tinggi. Potensi lain dari kawasan Situ Gunung adalah keindahan alam yang
terbentuk dari bentukan vegetasi, panorama pegunungan, dan elemen air. Potensi
ini dimanfaatkan sebagai objek wisata alam untuk masyrakat umum. Objek wisata
yang memiliki daya tarik utama adalah wisata danau buatan dan air terjun.
6
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung selama enam bulan yang dimulai dari bulan
Februari hingga Juli 2014. Proses pembuatan alat ukur cuaca dilakukan di ruang
Workshop Instrumentasi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan
sampel dan data dilakukan di kawasan Situ Gunung, Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Jawa Barat selama 12 kali dari tanggal 7 Mei hingga 24 Mei
2014. Identifikasi spesimen kunang-kunang dilakukan di Laboratorium
Entomologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi termometer bola basah dan bola kering
(sensor LM35), penakar hujan sederhana, GPS, kamera digital, seperangkat alat
komputer dengan perangkat lunak Ms. Excel, Google Earth, Global Mapper, dan
ArcGIS 9.3. Bahan yang digunakan berupa spesies kunang-kunang pada habitat
alami di kawasan Situ Gunung, data GPS, data observasi cuaca skala mikro, dan
citra Google Earth akusisi 9 Desember 2014.
Prosedur Penelitian
Penentuan Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatan terdiri dari empat jalur pengamatan yaitu, jalur Wisma
Kantor, Curug Sawer, Danau, dan Curug Cimanaracun. Keempat jalur
pengamatan dibagi menjadi wilayah A hingga O berdasarkan karakteristiknya.
Perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari segi lokasi, jenis vegetasi dominan,
dan keberadaan badan air (Lampiran 1–7). Pembagian wilayah ini digunakan
untuk mengkaji hubungan kemunculan kunang-kunang dengan karakteristik
wilayah.
Observasi Suhu Udara
Nilai suhu udara diukur dengan termometer bola kering (sensor LM35).
Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 19.30-22.00 WIB (Waktu Indonesia
Barat). Data yang digunakan untuk analisis hanya data malam karena berkaitan
langsung dengan kemunculan kunang-kunang.
Penghitungan Kelembaban Relatif (Relative Humidity, RH)
Data kelembaban relatif diperoleh dari pengukuran suhu bola basah dan
suhu bola kering yang dihasilkan oleh sensor temperatur. Selanjutnya, hasil
pengukuran dikonversi menjadi data kelembaban relatif dengan persamaan
psikrometrik berikut.
esTbk =
esTbb =
ea = esTbb – 0.67 x (Tbk – Tbb)
RH =
x 100
7
Keterangan :
ea
= Tekanan uap air aktual (mb)
esTbk = Tekanan uap air jenuh pada suhu bola kering (mb)
esTbb = Tekanan uap air jenuh pada suhu bola basah (mb)
Tbk = Suhu termometer bola kering (oC)
Tbb = Suhu termometer bola basah (oC)
RH
= Kelembaban relatif (Relative Humidity) (%)
Pengukuran Curah Hujan
Curah hujan diukur dengan alat penakar hujan sederhana yang berupa
tabung berdiameter 11.5 cm dengan tinggi 15 cm. Alat diletakkan pada tempat
datar, terbuka dan bebas naungan. Alat ini hanya dipasang pada satu titik yang
mewakili luasan wilayah penyebaran plot, sehingga alat dipasang di wilayah
Wisma. Air hujan yang tertampung terukur dalam satuan mililiter (ml), kemudian
dikonversi ke dalam satuan milimeter (mm) sesuai standar satuan curah hujan.
Kejadian hujan yang berdekatan dengan waktu pengamatan juga diamati dan
dicatat secara langsung.
Pengamatan Respon Spesies
Pengamatan respon spesies berupa kemunculan kunang-kunang dilakukan
bersamaan dengan observasi cuaca. Metode yang digunakan untuk pengamatan ini
adalah metode visual encounter survey (VES) time search, yaitu penghitungan
langsung jumlah spesies (kunang-kunang) yang terlihat pada lokasi pengamatan
(Magurran 1988). Lokasi kunang-kunang ditandai dengan GPS untuk dipetakan
dengan ArcGIS 9.3. Pengamatan dilakukan pada pukul 19.30–22.00 WIB secara
bergilir dan terbagi menjadi dua periode, yaitu periode I (19.30–20.45 WIB) dan
periode II (20.45–22.00 WIB). Waktu pengamatan ini terhitung dalam tiga
minggu dan setiap minggunya dianggap sebagai ulangan.
Tabel 1 Jalur dan waktu pengamatan di kawasan Situ Gunung
Jalur Pengamatan
Wisma Kantor
Curug Sawer
Danau
Curug Cimanaracun
Ulangan (Minggu ke-)
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Waktu Pengamatan
07 Mei 2014
14 Mei 2014
21 Mei 2014
08 Mei 2014
15 Mei 2014
22 Mei 2014
09 Mei 2014
16 Mei 2014
23 Mei 2014
10 Mei 2014
17 Mei 2014
24 Mei 2014
Identifikasi Spesimen Kunang-Kunang dan Vegetasi
Sampel spesimen kunang-kunang yang diambil dari lapangan dibuat awetan
kering. Spesimen tersebut diidentifikasi hingga tingkat spesies dengan cara
mencocokkan pada spesies koleksi yang dimiliki oleh LIPI Cibinong. Pengukuran
8
panjang dan lebar tubuh spesimen juga dilakukan sebagai data pendukung.
Vegetasi dominan diidentifikasi secara langsung di lapangan dari keterangan
papan nama dan buku tanaman.
Pengolahan Data
Data kemunculan kunang-kunang dan data observasi cuaca skala mikro
diolah dengan metode statistik deskriptif dan perangkat lunak Ms. Excel. Metode
statistik deskriptif adalah suatu metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan
menyajikan data sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistik
deskriptif ini memberikan informasi dalam berbagai bentuk, seperti tabel, grafik,
dan histogram. Informasi yang tersaji dapat menunjukkan pemusatan, penyebaran,
serta kecenderungan gugus data (Mattjik & Sumertajaya 2006). Perangkat lunak
Google Earth, Global Mapper, dan ArcGIS 9.3 digunakan untuk membuat peta
lokasi penelitian dan peta sebaran kunang-kunang dari data GPS yang di-overlay
dengan citra Google Earth akusisi 9 Desember 2014.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Identifikasi Kunang-Kunang di Kawasan Situ Gunung
Kunang-kunang di kawasan Situ Gunung termasuk ke dalam enam spesies.
Keenam spesies tersebut tersebar di keempat jalur pengamatan. Lamprophorus sp.
ditemukan di jalur Wisma Kantor. Luciola sp.(3) ditemukan di jalur Curug Sawer.
Luciola pallescens ditemukan di jalur Danau dan Wisma Kantor. Spesies yang
ditemukan di Jalur Curug Cimanaracun lebih bervariasi daripada di ketiga jalur
lainnya, yaitu Luciola sp.(1), Luciola sp.(2), dan Lucernuta lateralis.
Lamprophorus sp. yang ditemukan (Gambar 3) merupakan spesies betina
tanpa sayap yang memiliki panjang sekitar 5.20 cm dan lebar tubuh 1.00 cm.
Spesies kunang-kunang ini jarang ditemukan saat pengamatan. Morfologinya
memanjang menyerupai ulat yang terdiri atas sebelas ruas dari kepala sampai
abdomen. Organ bercahaya pada Lamprophorus sp. terletak di ruas paling
belakang. Morfologi tersebut secara jelas ditunjukkan oleh Gambar 3. Selain itu,
Gambar 3 juga menunjukkan aktivitas Lamprophorus sp. ketika sedang memakan
mangsa berupa siput.
Gambar 3 Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina. Dorsal (a), Ventral (b),
Aktivitas makan (c).
Spesies dari genus Luciola rata-rata memiliki kisaran panjang 0.70–1.10 cm
dan lebar 0.25–0.60 cm. Luciola sp2. berukuran paling kecil dengan panjang
sekitar 0.70 cm dan lebar 0.25 cm. Kunang-kunang Luciola paling besar adalah
Luciola pallescens dengan panjang sekitar 1.10 cm dan lebar 0.60 cm. Luciola
sp1., Luciola sp3. dan Luciola pallescens sekilas terlihat sama karena memiliki
warna yang mirip, yaitu coklat muda (Gambar 4).
Gambar 4
Morfologi kunang-kunang genus Luciola. Luciola pallescens (a),
Luciola sp1. (b), Luciola sp2. (c), Luciola sp3. (d). Dorsal (1),
Ventral (2).
10
Keempat spesies Luciola yang ditemukan berjenis kelamin jantan.
Perbedaan morfologi ketiga spesies dari genus Luciola tersebut dapat dibedakan
dari ukuran tubuh, warna tungkai, dan bentuk organ bercahaya. Sebagian tungkai
Luciola sp1. berwarna kuning kecoklatan dan hitam. Berbeda dengan tungkai
Luciola sp3. dan L. pallescens yang dominan berwarna kuning dan berwarna
hitam di bagian tarsus. Luciola sp2. memiliki sepasang sayap berwarna coklat tua
mendekati hitam disertai garis jingga di bagian pinggir sayap. Warna jingga ini
juga terlihat di bagian tungkai, pronotum, hingga di sekitar mata Luciola sp2..
Lucernuta lateralis (Gambar 5) termasuk spesies yang paling jarang
dijumpai. Selama pengamatan, spesies ini hanya ditemukan satu individu di jalur
Curug Cimanaracun. Morfologi L. lateralis berbeda dengan spesies kunangkunang lainnya. Perbedaan tersebut ditunjukkan pada bentuk kepala, ukuran, dan
warna tubuh. Bentuk kepala L. lateralis cenderung pipih dan melebar dengan
warna jingga. Ukuran tubuhnya pun lebih besar dari kunang-kunang genus
Luciola yang ditemukan. Panjang tubuh L. lateralis mencapai 1.7 cm dengan lebar
0.8 cm. Bagian sayap dan tubuhnya terlihat memiliki kombinasi warna hitam dan
jingga. Organ bercahaya di abdomen bagian bawah tubuh L. lateralis juga
memiliki bentuk yang berbeda.
Gambar 5 Morfologi kunang-kunang Lucernuta lateralis. Dorsal (a), Ventral (b).
Perbedaan spesies kunang-kunang dan lokasi ditemukannya dapat
memberikan informasi bahwa setiap jalur menjadi habitat bagi spesies yang
berbeda. Hal ini juga mengindikasikan adanya adaptasi setiap spesies terhadap
karateristik jalur yang dapat menjadi faktor pendukung maupun pembatas. Viviani
(2001) menemukan sebanyak 26 spesies kunang-kunang Brazil dari sepuluh genus
berbeda mendiami tempat yang tidak sama. Cratomorphus sp. dan Aspisoma sp.
mendiami daerah rawa, sedangkan spesies yang termasuk dalam Photurinae tidak
hanya mendiami daerah rawa, tetapi juga mendiami lingkungan berkayu lembab.
Spesies kunang-kunang dari genus Luciola biasanya hidup di daerah yang dekat
dengan sumber air (Llyod et al. 1989; Fu et al. 2005; Fu et al. 2006).
Sebaran Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
Variasi sebaran kemunculan kunang-kunang pada setiap jalur ditandai
dengan titik berwarna hitam dan putih (Gambar 6). Titik-titik tersebut merupakan
lokasi saat kunang-kunang terlihat, sehingga tidak memberikan informasi jumlah
individu. Sebaran kemunculan kunang-kunang tidak dibedakan berdasarkan
spesies akibat beberapa faktor keterbatasan. Pembedaan fase larva dan imago di
lapangan terlihat jelas dari morfologi, letak, serta kekuatan cahaya.
11
Sebaran kunang-kunang pada Gambar 6 menunjukkan keberadaan kunangkunang imago pada setiap jalur, terutama di jalur Curug Cimanaracun. Lokasi
keberadaan kunang-kunang sangat rapat di sepanjang jalur Curug Cimanaracun.
Hal ini menandakan bahwa kunang-kunang imago sangat mudah ditemukan di
jalur tersebut daripada di jalur lainnya. Sebaran di jalur Curug Cimanaracun pun
bersifat stabil, sehingga sangat baik untuk dijadikan jalur wisata kunang-kunang.
Penyebaran kunang-kunang imago berbeda dengan penyebaran fase larva
yang lebih terbatas pada lokasi tertentu di sepanjang jalur. Selama pengamatan
tidak ditemukan adanya larva kunang-kunang di jalur Danau. Keterbatasan
penyebaran larva dipengaruhi oleh perbedaan alat gerak dengan kunang-kunang
imago. Selain itu, larva kunang-kunang membutuhkan lingkungan yang lembab
dan dekat dengan makanannya, yaitu siput. Sebagian jalur Danau terpapar cahaya
matahari karena tegakan pohon tidak serapat di jalur lainnya. Permukaan pun
lebih mudah mengalami pemanasan pada siang hari, sehingga kelembabannya
akan menurun. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk kebutuhan lingkungan larva
dan siput. Keberadaan larva di jalur Danau kemungkinan terdapat pada area
ternaung dan sulit dijangkau.
Akram et al. (2012) menjelaskan, penyebaran maupun jumlah populasi
kunang-kunang di alam dipengaruhi oleh karakteristik wilayah dan tingkat
adaptasi atau toleransi spesies. Kunang-kunang juga sensitif terhadap jenis
penggunaan lahan. Alih guna lahan di daerah estuari Rembau-Linggi, Malaysia
dalam penelitian Jusoh et al. (2010) mengurangi habitat kunang-kunang. Alih
guna lahan tersebut meliputi areal pertanian, pembudidayaan ikan, dan
pemukiman. Pengurangan habitat kunang-kunang berpotensi menurunkan
populasinya.
Gambar 6 Peta sebaran kemunculan kunang-kunang di jalur pengamatan. Wisma
Kantor (
), Curug Sawer (
), Danau (
), Curug Cimanaracun
(
). Larva (), Imago (). Minggu ke-1 (a), Minggu ke-2 (b),
Minggu ke-3 (c).
Tingkat Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
Tingkat kemunculan di setiap jalur dan wilayah berbeda-beda (Gambar 7).
Wilayah dengan tingkat kemunculan paling tinggi adalah wilayah M di jalur
Curug Cimanaracun. Namun, wilayah K, L, dan N di sekitarnya juga termasuk
memiliki tingkat kemunculan kunang-kunang yang dominan. Apabila dikaji lebih
dalam, setiap jalur memiliki wilayah dengan tingkat kemunculan dominan. Jalur
Wisma Kantor hanya memiliki wilayah A sebagai wilayah dominan, karena
12
Jumlah Kemunculan
karakteristiknya sama sepanjang jalur. Jalur Curug Sawer memiliki tiga wilayah
dominan, yaitu wilayah B, C, dan D. Jalur Danau juga memiliki wilayah dominan
pada wilayah H dan I.
100
80
60
40
20
0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
K
L
M
N
O
Wilayah
1
2
3
Jumlah Kemunculan
(a)
100
80
60
40
20
0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Wilayah
1
2
3
(b)
Gambar 7 Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan
pada kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan. Periode I
(19.30–20.45 WIB) (a), Periode II (20.45–22.00 WIB) (b).
Karakteristik wilayah A, B, C, H, I, K, dan M sangat mirip dari segi tipe
tutupan vegetasi (Lampiran 6). Ketujuh wilayah ini ditutupi oleh tegakan pohon
yang cukup rapat disertai oleh tumbuhan lantai hutan, seperti semak, herba, dan
paku-pakuan. Kesamaan vegetasi dominan pada wilayah A, B, H, I, dan K terlihat
dari beberapa jenis vegetasi, yaitu damar (Agathis dammara), kaliandra
(Calliandra sp.), puspa (Schima wallichii) beserta jenis tumbuhan lantai hutan
yang cenderung sama. Meskipun memiliki kesamaan vegetasi dominan, kerapatan
tegakan pohon di wilayah H lebih rendah. Daerah ternaung pun lebih sedikit
daripada daerah yang terpapar cahaya matahari. Namun, permukaan tanah di
wilayah H ditutupi oleh rumput gajah (Axonopus compressus) secara merata.
Wilayah C dan M ditumbuhi oleh jenis pohon yang berbeda, tetapi tumbuhan
lantai hutannya tidak jauh berbeda. Wilayah D, L, dan N didominansi oleh
tumbuhan pisang (Musa sp.) dan tepus (Amomum pseudofoetens Val.). Tutupan
vegetasi di wilayah dengan tingkat kemunculan dominan ini membentuk naungan
yang tinggi, sehingga terdapat cukup ruang untuk pergerakan di bagian bawahnya.
13
Ohba dan Wong (2004) menjelaskan bahwa daerah ternanug sangat diperlukan
kunang-kunang dewasa untuk istirahat sebelum waktu malam hari.
Wilayah dengan tingkat kemunculan yang rendah mencakup wilayah E, F,
G, J, dan O. Wilayah E dan F merupakan tempat yang cukup banyak mendapatkan
paparan cahaya matahari. Jenis vegetasi pada wilayah E dan F tidak terlalu
beragam, terutama untuk jenis tegakan pohon. Wilayah G cukup basah akibat air
danau yang naik hingga ke sebagian permukaan tanah. Berbeda dengan wilayah J
yang cenderung kering dan bervegetasi rapat. Wilayah O adalah wilayah di jalur
Curug Cimanaracun yang ditutupi oleh paku-pakuan. Vegetasi paku-pakuan yang
mendominasi seperti dinding, akibatnya wilayah O agak sulit ditelusuri.
Kerapatan paku-pakuan di wilayah J dan O berpotensi mengurangi gerak kunangkunang. Karakteristik kelima wilayah tersebut kemungkinan lebih mendukung
untuk habitat musuh alami atau kurang menyediakan sumber makanan bagi
kunang-kunang.
Wilayah M merupakan wilayah dengan karakteristik paling unik, karena
individu kunang-kunang paling banyak ditemukan pada wilayah tersebut. Wilayah
M memiliki badan air berupa curug (air terjun) kecil yang beraliran lambat, tenang,
dangkal dan jernih. Kondisi badan air di wilayah M sesuai dengan hasil
pengamatan Kazama et al. (2007) dan Koji et al. (2012). Kazama et al. (2007) dan
Koji et al. (2012) menyebutkan bahwa kunang-kunang cenderung menyukai
tempat dengan aliran air lambat, dangkal, dan tergenang. Kondisi badan air
tersebut diperlukan untuk perkembangan larva kunang-kunang dan siput sebagai
makanannya. Badan air di wilayah M juga dikelilingi oleh vegetasi berupa
tegakan pohon hingga tumbuhan lantai hutan. Vegetasi tersebut membentuk
nangan yang rapat, cahaya matahari pun terhalang untuk masuk, sehingga bagian
bawah tajuk sesuai untuk tempat berlindung dan beristirahat kunang-kunang.
Wirth et al. (2001) dan De Wasseige et al. (2003) menyebutkan bahwa kerapatan
tajuk tanaman yang tinggi memiliki nilai LAI (Leaf Area Index) yang tinggi. Nilai
LAI yang tinggi menandakan wilayah yang ternaung cukup luas sehingga hanya
sedikit radiasi surya yang dapat diteruskan sampai ke permukaan. Nilai LAI
tersebut juga dipengaruhi oleh jenis tanaman, jarak antar tanaman, dan pergantian
musim.
Wilayah H dan I berada di sekitar danau. Badan air berupa danau tidak
sesuai untuk larva kunang-kunang karena tidak dangkal. Pertemuan danau dengan
permukaan tanah membentuk kubangan air di wilayah I. Kubangan air yang
dangkal memenuhi kriteria, tetapi kubangan air di wilayah I hanya bersifat
sementara. Wilayah H dan kubangan air di wilayah I juga mendapat cukup banyak
cahaya matahari serta dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang melintas. Selain
wilayah H dan I, wilayah E juga memiliki badan air dengan aliran yang cukup
deras. Kondisi aliran air pada wilayah E tidak sesuai untuk kelangsungan hidup
larva kunang-kunang karena dapat menghanyutkan larva tersebut.
Perbedaan tingkat kemunculan juga terjadi pada kedua periode waktu. Hal
tersebut menandakan potensi keterkaitan dengan kondisi cuaca saat pengamatan,
yaitu pola penurunan suhu dan kejadian presipitasi. Pola penurunan suhu
menyebabkan kemunculan di periode II lebih rendah yang ditunjukkan dari hasil
pengamatan di wilayah K, L, M, N, dan O. Sebaliknya, kemunculan di periode II
cenderung lebih banyak jika terdapat kejadian presipitasi yang dekat dengan
waktu pengamatan seperti di wilayah A hingga I
14
Keterkaitan Unsur Cuaca dengan Kemunculan Kunang-Kunang
Suhu Udara
Pengukuran suhu udara dilakukan dalam dua periode waktu pengamatan,
yaitu periode I pada pukul 19.30–20.45 WIB dan periode II pada pukul
20.45–22.00 WIB. Suhu udara pada periode I secara keseluruhan lebih tinggi
daripada hasil pengukuran di periode II (Gambar 8).
Suhu (⁰C)
20,0
19,0
18,0
17,0
16,0
19:12:00
Wisma Kantor
20:45:36
Waktu (WIB)
Curug Sawer
Danau
22:19:12
Curug Cimanaracun
(a)
Suhu (⁰C)
20,0
19,0
18,0
17,0
16,0
19:12:00
20:45:36
22:19:12
Waktu (WIB)
Wisma Kantor
Curug Sawer
Danau
Curug Cimanaracun
Suhu (⁰C)
(b)
20,0
19,0
18,0
17,0
16,0
19:12:00
Wisma Kantor
20:45:36
Waktu (WIB)
Curug Sawer
Danau
22:19:12
Curug Cimanaracun
(c)
Gambar 8 Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB. Minggu ke1 (a), Minggu ke-2 (b), Minggu ke-3 (c).
15
Perbedaan suhu udara yang terjadi menunjukkan pola kecenderungan penurunan
suhu udara pada malam hari. Suhu udara selama selang waktu 2.5 jam memiliki
kecenderungan menurun dengan selisih nilai yang cukup kecil, yaitu 0 ⁰C hingga
0.7 ⁰C (Lampiran 8). Penurunan suhu pada malam hari disebabkan oleh pelepasan
energi dari permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Penurunan suhu
akan semakin kuat pada kondisi malam cerah tanpa awan dan angin tenang.
Pendinginan permukaan yang terjadi akan menurunkan suhu udara. Proses
pendinginan tersebut sangat intensif pada selang waktu satu hingga dua jam
setelah matahari tenggelam (Avecedo & Fitzjarrald 2001; Iijima & Shinoda 2002).
Suhu udara yang terukur pada keempat jalur berkisar antara 16.5–20.0 °C.
Fluktuasi suhu udara dapat dipicu oleh hujan yang terjadi sebelumnya atau
penutupan awan. Tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi juga mampu
mendinginkan udara. Kunang-kunang paling banyak muncul pada kisaran suhu
udara 18.0–18.5 °C (Gambar 9). Kemunculan paling banyak di kisaran suhu
tersebut mendapat pengaruh dari faktor karakteristik lokasi. Tingkat kemunculan
pada kisaran suhu 17.5–18.0 °C dan 19.0–19.5°C juga relatif tinggi. Kemunculan
sangat rendah ketika kisaran suhu udara di bawah suhu 17.5 °C. Oleh sebab itu,
kisaran suhu udara 17.5–19.5 °C dianggap suhu yang optimum bagi kemunculan
kunang-kunang di Situ Gunung.
Jumlah Kemunculan
200
150
100
50
0
17.0 - 17.5
19.0 - 19.5
16.516.5 - 17.0
17.0
17.517.5 - 18.0
18.018.0 - 18.5
18.518.5 - 19.0
19.0
19.519.5 - 20.0
20.0
Suhu (⁰C)
Gambar 9 Suhu udara malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan
kemunculan kunang-kunang di keempat jalur
Gullan dan Cranston (2000) menjelaskan, serangga termasuk hewan
poikiloterm, sehingga sangat sensitif dengan perubahan suhu di lingkungan sekitar.
Suhu lingkungan yang tidak optimum dapat mempengaruhi kerja enzim dan
kecepatan metabolisme serangga, termasuk kunang-kunang. Teori tersebut
menjelaskan penyebab rendahnya kemunculan kunang-kunang saat terjadi
penurunan suhu di periode II (20.45–22.00 WIB) dan kisaran suhu udara di bawah
17.5 °C. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kunang-kunang lebih menyukai
suhu udara yang lebih hangat. Ohba (2012) melalui hasil pengamatannya
menjelaskan bahwa kunang-kunang L. crusiata dan L. lateralis aktif terbang di
daerah aliran air selama musim panas.
16
Penurunan suhu udara yang cenderung terjadi di periode II dan suhu di
bawah suhu 17.5 °C diduga dapat menghambat pergerakan kunang-kunang saat
terbang. Suhu udara yang rendah bersifat mendinginkan, sehingga udara
cenderung memadat dan menjadi lebih berat (Ahrens 2007). Udara yang
mengalami pendinginan tersebut akan bergerak turun, sehingga dapat memberikan
beban yang lebih berat pada sayap kunang-kunang. Selain suhu udara, jam
Kelembaban Relatif (Relative Humidity, RH)
Kelembaban relatif (RH) rata-rata pada kedua periode pengamatan
cenderung konstan. Nilai RH tersebut juga tergolong tinggi, yaitu sebesar 94%
hingga 98% (Lampiran 8). Tingginya kelembaban di lokasi pengamatan
disebabkan oleh tutupan vegetasi yang rapat, keberadaan badan air, serta pengaruh
iklim pegunungan. Hal serupa ditemukan oleh Fries et al. (2012), kelembaban
hutan pegunungan lebih tinggi daripada daerah peternakan yang terletak di
sekitarnya akibat tingginya kerapatan vegetasi. Sementara itu, fluktuasinya
dipengaruhi oleh hujan sebelum pengamatan dan kabut yang muncul. Hujan dan
kabut meningkatkan partikel air di lingkungan sehingga dapat menambah
kelembaban udara maupun tanah.
Kelembaban relatif saat pengamatan memiliki keterkaitan dengan
kemunculan kunang-kunang di keempat jalur pengamatan. Kemunculan kunangkunang paling banyak ditemukan pada kisaran RH 93–95% yang terukur di jalur
Curug Cimanaracun. Kemudian kemunculannya mengalami penurunan saat RH di
atas 95% hingga 100% (Gambar 10). Kunang-kunang yang ditemukan pada RH di
atas 97% biasanya terbang di dekat permukaan atau hinggap di dedaunan.
Jumlah Kemunculan
200
150
100
50
0
93 93 - 95
95
95 - 97 97
97 - 99 99
RH (%)
Gambar 10 Kelembaban relatif (RH) malam hari (19.30–22.00 WIB) saat
pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur
Kondisi kelembaban di jalur pengamatan sesuai dengan Andrewartha dan
Birch (1974) yang menyebutkan bahwa serangga secara umum toleran terhadap
kisaran RH sebesar 73–100%. Kazama et al. (2007) menemukan bahwa kunangkunang menyukai tempat yang lembab dan dekat dengan sumber air yang dangkal
dan tenang. Namun, semakin tinggi kelembaban udara atau RH dapat
17
menghambat pergerakan sayap kunang-kunang imago. Nilai RH yang semakin
tinggi mengindikasikan jumlah partikel air yang ada di udara semakin banyak.
Jumlah partikel air yang semakin banyak membuat sayap kunang-kunang yang
tipis menjadi basah dan berat. Kemampuan pergerakan sayapnya pun menjadi
terbatas. Hal tersebut menyebabkan kemunculan kunang-kunang lebih sedikit
pada kelembaban yang lebih tinggi. Minami (1961) dan Mitsushi (1996)
menambahkan, tempat dengan kelembaban tinggi lebih dibutuhkan untuk
peletakkan telur kunang-kunang dan perkembangannya hingga fase larva. Selain
itu, tempat lembab sesuai untuk habitat siput yang merupakan makanan kunangkunang fase larva.
Curah Hujan dan Kejadian Hujan
Kunang-kunang ditemukan paling banyak pada curah hujan 0–20 mm
(Gambar 11). Kisaran hujan tersebut termasuk dalam kriteria hujan ringan
(BMKG 2012). Kunang-kunang masih dapat ditemukan pada curah hujan sekitar
60 mm di jalur Danau dengan jumlah jauh lebih sedikit. Jumlah yang tetap
melimpah teramati di jalur Curug Cimanaracun saat curah hujan 56 mm dan 48
mm. Hal ini disebabkan oleh tutupan tajuk yang lebih rapat di jalur Curug
Cimanaracun dibandingkan dengan jalur lainnya. Air hujan yang dapat
diintersepsi pun menjadi lebih banyak, sehingga bagian bawah tajuk dapat
menjadi tempat berlindung kunang-kunang. Gómez et al. (2001) dan David et al.
(2006) juga menjelaskan bahwa tajuk dan jarak antar tanaman yang semakin rapat
dapat meningkatkan nilai LAI beserta kapasitas intersepsi air hujan. Tutupan tajuk
tidak hanya berfungsi untuk mengintersepsi air hujan tetapi juga dapat
meminimalisir pengaruh cahaya matahari dan terpaan angin. Curah hujan paling
tinggi (85 mm) saat pengamatan di jalur Curug Sawer sudah tidak memungkinkan
untuk kemunculan kunang-kunang. Curah hujan 85 mm juga berpeluang
mengurangi populasi kunang-kunang di semua jalur pada pengamatan berikutnya.
Jumlah Kemunculan
250
200
150
100
50
0
0
0 - 20 20 20 - 40 40 40 - 60 60 60 - 80 80 80 - 100100
Curah Hujan Harian (mm)
Gambar 11 Curah hujan harian dengan pengamatan kemunculan kunang-kunang
di keempat jalur
18
Curah hujan harian kurang merepresentasikan keterkaitan langsung terhadap
kemunculan kunang-kunang, sehingga ditinjau secara spesifik dari faktor kejadian
presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan. Pola kemunculan terlihat
dalam Gambar 12 yang ditandai dengan selisih jumlah kunang-kunang pada
periode II dan periode I. Hasil yang positif menunjukkan ada penambahan jumlah
kunang-kunang yang muncul di periode II. Sebaliknya, hasil negatif adalah
inisialisasi untuk penurunan kemunculan di periode II. Kejadian hujan atau
adanya presipitasi selalu diikuti oleh hasil positif, kecuali pada pengamatan di
jalur Curug Cimanaracun ulangan ke- 2 (no.11). Kondisi tersebut disebabkan oleh
kemampuan intersepsi tajuk yang lebih besar di jalur Curug Cimanaracun.
Populasi kunang-kunang di jalur Curug Cimanaracun juga diperkirakan jauh
lebih tinggi daripada yang ada di jalur lain, sehingga tingkat kemunculan tetap
tinggi walaupun terjadi presipitasi.
Hujan atau presipitasi mengakibatkan kesulitan untuk terbang, sehingga
mengharuskan kebanyakan serangga berlindung. Hujan memiliki pengaruh secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung berupa mekanik, yaitu butirbutir hujan yang jatuh merusak tempat hidup serangga atau langsung
menghanyutkan serangga, sehingga populasinya berkurang. Pengaruh tidak
langsung adalah perubahan pada lingkungan, seperti perbedaan kelembaban udara
dan kelembaban tanah (Koesmaryono 1985). Oleh sebab itu, curah hujan harian di
atas 20 mm dan kejadian hujan yang dekat dengan waktu pengamatan dapat
mempengaruhi tingkat kemunculan kunang-kunang.
Selisih Jumlah Kemunculan
15
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
-15
-30
-45
Hari Pengamatan
Ada Presipitasi
Tanpa Presipitasi
Gambar 12 Pengaruh kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu
pengamatan terhadap perbedaan kemunculan kunang-kunang pada
kedua periode di jalur Wisma Kantor (1, 2, 3), Curug Sawer (4, 5,
6), Danau (7, 8, 9), dan Curug Cimanaracun (10, 11, 12)
Curah hujan juga memberikan dampak secara tidak langsung bagi
kelangsungan hidup dan populasi kunang-kunang. Nada et al. (2012)
menyebutkan adanya pengaruh curah hujan terhadap populasi kunang-kunang di
daerah Sungai Selangor, Malaysia. Penurunan populasi kunang-kunang imago
19
pada bulan September dan November 2006 berhubungan dengan rendahnya curah
hujan antara bulan Juni dan Agustus 2006. Rendahnya curah hujan tersebut
mengakibatkan kondisi yang kering pada daerah sungai. Populasi siput dan larva
kunang-kunang yang membutuhkan kelembaban tinggi pun mengalami penurunan.
Curah hujan meningkat pada periode November hingga Desember dan masih
cukup tinggi di bulan Maret hingga Mei. Keterkaitan peningkatan curah hujan
pada periode tersebut terlihat pada kelimpahan kunang-kunang imago yang tinggi
di pertengahan tahun. Jadi, bulan-bulan basah lebih sesuai untuk kelangsungan
hidup kunang-kunang fase larva.
20
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Karakteristik lokasi berpengaruh terhadap kunang-kunang dari aspek
perbedaan spesies, penyebaran, dan tingkat kemunculan kunang-kunang. Elevasi,
kerapatan vegetasi, dan badan air mampu membentuk suatu kondisi iklim secara
mikro yang kondusif. Tingkat kemunculan paling tinggi ditemukan di jalur Curug
Cimanaracun dengan tutupan tajuk yang lebih rapat dibandingkan pada jalur
lainnya dengan tersedianya badan air yang sesuai untuk kunang-kunang, terutama
fase telur dan larva. Kondisi yang lembab di jalur Curug Cimamaracun juga sesuai
untuk kelangsungan hidup siput yang menjadi makanan larva kunang-kunang.
Oleh karena itu, jalur Curug Cimanaracun sangat berpotensi untuk dijadikan
taman kunang-kunang.
Unsur cuaca juga memiliki keterkaitan dengan kemunculan kunang-kunang
di kawasan Situ Gunung. Suhu optimum saat kemunculan kunang-kunang
berkisar antara 17.5–19.5 ⁰C dan kemunculan paling tinggi pada RH 93–95%.
Penurunan suhu udara, kejadian presipitasi, dan RH yang semakin tinggi dapat
menghambat pergerakan sayap akibat pemadatan udara seta banyakya partikel air,
sehingga kurang sesuai untuk kemunculan kunang-kunang imago.
Saran
Hasil penelitian ini memberikan informasi yang relatif singkat, sehingga
perlu dilakukan penelitian lanjutan pada waktu yang lebih lama. Penelitian
lanjutan lebih baik dilaksanakan pada bulan basah dan bulan kering agar lebih
terlihat keterkaitannya antara unsur cuaca dengan kemunculan kunang-kunang.
Keterkaitan tersebut bersifat penting dan perlu diteliti karena sangat menentukan
jadwal yang tepat untuk wisata kunang-kunang. Berdasarkan penelitian ini, jadwal
wisata paling baik untuk melihat kunang-kunang pada pukul 19.30–22.00. Lokasi
dengan tingkat kemunculan kunang-kunang yang tinggi dapat dikembangkan
untuk wisata kunang-kunang, namun harus mempertahankan kelestarian
lingkungan untuk keberlanjutannya. Lokasi untuk taman kunang-kunang
memerlukan tingkat naungan yang rapat dan keberadaan badan air, sehingga
terbentuk iklim mikro yang sesuai.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ahrens CD. 2007. Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and
the Environment. 8th ed. Belmont (CA): Thomson Brooks.
Akram W, Tabassum MS, Zia K. 2012. The distribution and abundance of
fireflies in natural and agricultural areas of Pakistan. Lampyrid. 2.
Andrewartha HG, Birch LC. 1974. The Distribution and Abundance of Animal.
Chicago (US): The University of Chicago Press.
Avecedo OC, Fitzjarrald DR. 2001. The early evening surface-layer transition:
Temporal and spatial variability. Atmospheric Sciences. 58(17): 2650-2667.
[Biolib Gallery]. 1993-2013. Lampyridae: Fireflies. [Internet]. (diunduh 2014
Feb 21). Tersedia pada: http://www.biolib.cz/en/gallery/dir82/pos21,21/.
Ballantyne LA, Lambkin C. 2001. A new firefly, Luciola (Pygoluciola) kinabalua,
new species (Coleoptera: Lampyridae), from Malaysia, with observations on
a possible copulation clamp. Raffles Bulletin of Zoology. 49(2): 363-378.
Borror DJ, White RE. 1970. Peterson Field Guides: Insects. Boston (US):
Houghton Mifflin Company.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Pengertian dalam
Buletin Curah Hujan. Buletin Meteorologi. Edisi 055. Batam (ID): Stasiun
Meteorologi Hang Nadim Batam.
David TS, Gash JHC, Valente F, Pereira JS, Ferreira MI, David JS. 2006. Rainfall
interception by isolated evergreen oak tree in a Mediterranean savannah.
Hydrological Processes. 20(13): 2713-2726.
De Wasseige C, Bastin D, Defourny P. 2003. Seasonal variation of tropical forest
LAI based on field measurements in Central African Republic. Agricultural
and Forest Meteorology. 119(3): 181-194.
[Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat]. 2007. Taman Wisata Alam Situ Gunung.
[Internet]. (diunduh 2014 Apr 11). Tersedia pada: http://www.
http://dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=4
73&idMenu=486.
Essig EO. 1958. College Entomology. 5th ed. New York (US): MacMillan
Company.
[Evergreen Outdoor Center]. 2014. Firefly canoe tour. [internet]. [diacu 2014 Mei
9]. Tersedia dari: http://www.evergreen-hakuba.com/tours/hotaru.html.
Fries A, Rollenbeck R, Nauß T, Peters T, Bendix J. 2012. Near surface air
humidity in a megadiverse Andean mountain ecosystem of southern
Ecuador and its regionalization. Agricultural and Forest Meteorology. 152:
17-30.
Fu X, Wang Y, Lei C, Nobuyoshi O. 2005. The swimming behavior of the aquatic
larvae of the firefly Luciola substriata (Coleoptera: Lampyridae). The
Coleopterists Bulletin. 59(4): 501-505.
Fu X, Nobuyoshi O, Vencl FV, Lei C. 2006. Life cycle and behaviour of the
aquatic firefly Luciola leii (Coleoptera: Lampyridae) from Mainland China.
Can Entomol. 138(06): 860-870.
Fu X, Ballantyne L, Lambkin C. 2012. The external larval morphology of aquatic
and terrestrial Luciolinae fireflies (Coleoptera: Lampyridae). Zootaxa 3405:
1-34.
22
Gómez JA, Giráldez JV, Fereres E. 2001. Rainfall interception by olive trees in
relation to leaf area. Agricultural Water Management. 49(1): 65-76.
Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insects: An Outline of Entomology. Ed ke-2.
Oxford (UK): Blackwell Science Ltd.
Iijima Y, Shinoda M. 2002. The influence of seasonally varying atmospheric
characteristics on the intensity of nocturnal cooling in a high mountain
hollow. Applied Meteorology. 41(7): 734-743.
Jusoh WFAW, Hashim NR, Ibrahim ZZ. 2010. Distribution and abundance of
Pteroptyx fireflies in Rembau-Linggi Estuary, Pen
KAWASAN SITU GUNUNG, KABUPATEN SUKABUMI
ANIK WIJAYANTI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Habitat dan
Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di
Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Anik Wijayanti
NIM G24100044
ABSTRAK
ANIK WIJAYANTI. Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang
dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten
Sukabumi. Dibimbing oleh BREGAS BUDIANTO dan NINA MARYANA.
Kunang-kunang merupakan serangga yang menghasilkan cahaya alami dan
berperan sebagai indikator lingkungan. Beberapa negara seperti Jepang, Thailand,
dan Malaysia telah memanfaatkan potensi kunang-kunang di bidang pariwisata.
Kunang-kunang membutuhkan kondisi habitat yang sesuai dari segi ekologis
maupun unsur-unsur fisiknya, termasuk unsur iklim dan cuaca. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keterkaitan unsur-unsur cuaca skala mikro dan
karakteristik lokasi dengan kemunculan kunang-kunang. Metode yang digunakan
adalah observasi cuaca, visual encounter survey (VES) time search, dan
identifikasi spesies. Observasi cuaca dan pengamatan kemunculan dilakukan
secara bergiliran di jalur Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau, dan Curug
Cimanaracun pada malam hari pukul 19.30–22.00 WIB. Suhu optimum untuk
kemunculan kunang-kunang berkisar pada 17.5–19.5 °C dengan kemunculan
tertinggi pada RH 93–95%. Penurunan suhu udara, kejadian presipitasi, dan RH
yang semakin tinggi dapat menghambat pergerakan sayap, sehingga kurang sesuai
untuk kemunculan kunang-kunang. Karakteristik wilayah juga berkaitan dengan
kunang-kunang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan spesies,
penyebaran dan tingkat kemunculan kunang-kunang di setiap wilayah. Tingkat
kemunculan kunang-kunang paling tinggi berada di jalur Curug Cimanaracun
dengan tutupan tajuk yang lebih rapat, kelembaban cukup tinggi, dan terdapat
badan air yang mendukung kunang-kunang, terutama fase telur dan larva. Kondisi
yang lembab di jalur Curug Cimamaracun juga sesuai untuk kelangsungan hidup
siput yang menjadi makanan larva kunang-kunang.
Kata Kunci: Lampyridae, presipitasi, RH, suhu udara, VES
ABSTRACT
ANIK WIJAYANTI. Habitat Studies and Activities of Fireflies Emergence with
Micro-Scale Weather Observation in Situ Gunung, Sukabumi. Supervised by
BREGAS BUDIANTO and NINA MARYANA.
Firefly is an insect that produces bioluminescence and serve as
environmental indicator. Several countries such as Japan, Thailand, and Malaysia
have use the potential of a firefly for tourism. Fireflies require suitable habitat
conditions in terms of ecological and physical elements, including weather
elements. This study aimed to determine the linkage elements of micro-scale
weather with the emergence of fireflies. The methods used in this study include
the weather observation, visual encounter surveys (VES) time search, and
identification of species. Weather and emergence observation were conducted in
rotation on four lanes (Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau and Curug
Cimanaracun) at night (19.30–22.00). The optimum temperature of emergence at
range 17.5–19.5 °C and most found at RH 93–96%. Decreasing of air
temperature, precipitation events, and higher RH can inhibit the movement of the
wings, making they less suitable for the emergence of fireflies. Besides weather
elements, the characteristics of any area related to the fireflies. Those indicated by
the difference in species, the spread and the rate of appearance of fireflies in each
region. The highest emergence of fireflies is located on Curug Cimanaracun lane
where has denser canopy cover, humidity is quite high, and there is a body of
water that supports the fireflies, especially eggs and larval phase. Humid
conditions in Curug Cimanaracun lane also suitable for habitat of snails as prey of
firefly larvae.
Keywords: air temperature, Lampyridae, precipitation, RH, VES
KAJIAN HABITAT DAN AKTIVITAS KEMUNCULAN KUNANGKUNANG DENGAN OBSERVASI CUACA SKALA MIKRO DI
KAWASAN SITU GUNUNG, KABUPATEN SUKABUMI
ANIK WIJAYANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi : Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan
Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten
Sukabumi
Nama
: Anik Wijayanti
NIM
: G24100044
Disetujui oleh
Ir Bregas Budianto, AssDpl
Pembimbing I
Dr Ir Nina Maryana, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Tania June, MSc
Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini adalah biometeorologi, dengan judul Kajian
Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca
Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi.
Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Ir Bregas Budianto, AssDpl. dan
Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, MSi. selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran maupun kritik. Ungkapan terima kasih ini juga saya sampaikan kepada ayah,
ibu, dan adik yang telah memberikan doa dan dukungannya. Selain itu, terima
kasih kepada Beasiswa Bidik Misi, Pengelola Wisata Situ Gunung, Rakata, UKF,
rekan Workshop Instrumentasi, LIPI Cibinong, dan teman-teman mahasiswa yang
telah memberikan banyak bantuan secara material maupun non material. Saya
berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat di kemudian hari.
Bogor, Januari 2015
Anik Wijayanti
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Karakteristik dan Habitat Kunang-Kunang
3
Kondisi Umum dan Iklim Mikro Situ Gunung
4
METODE
6
Waktu dan Tempat
6
Alat dan Bahan
6
Prosedur Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Identifikasi Kunang-Kunang di Kawasan Situ Gunung
9
9
Sebaran Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
10
Tingkat Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
11
Keterkaitan Unsur Cuaca dengan Kemunculan Kunang-Kunang
14
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR GAMBAR
Beberapa jenis kunang-kunang
Peta Kawasan Situ Gunung sebagai taman wisata alam
Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina
Morfologi kunang-kunang genus Luciola
Morfologi kunang-kunang Lucernuta lateralis
Peta sebaran kemunculan kunang-kunang di jalur pengamatan
Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan pada
kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan
Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB
Suhu udara malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan kemunculan
kunang-kunang di keempat jalur
Kelembaban relatif (RH) malam hari (19.30–22.00 WIB) saat
pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur
Curah hujan harian dengan pengamatan kemunculan kunang-kunang di
keempat jalur
Pengaruh kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan
terhadap perbedaan kemunculan kunang-kunang pada kedua periode
di jalur Wisma Kantor (1, 2, 3), Curug Sawer (4, 5, 6), Danau (7, 8,
9), dan Curug Cimanaracun (10, 11, 12)
3
4
9
9
10
11
12
14
15
16
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
Lokasi jalur pengamatan pada Kawasan Situ Gunung
Lokasi wilayah pada jalur Wisma Kantor
Lokasi wilayah pada jalur Curug Sawer
Lokasi wilayah pada jalur Danau
Lokasi wilayah pada jalur Curug Cimanaracun
Karakteristik wilayah pada setiap jalur pengamatan
Kondisi setiap wilayah pada jalur pengamatan
Data observasi cuaca dan kemunculan kunang-kunang di empat jalur
pengamatan
24
25
26
27
28
29
31
32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kunang-kunang termasuk dalam keanekaragaman hayati di kawasan Situ
Gunung. Serangga ini dikenal sebagai indikator lingkungan yang alami dan bersih
(Akram et al. 2012). Ciri khas kunang-kunang terdapat pada tubuhnya yang dapat
menghasilkan cahaya berpendar di malam hari. Hal tersebut menjadikan kunangkunang menarik untuk dimanfaatkan sebagai objek wisata ecotourism. Jepang,
Malaysia, dan Thailand telah membangun wisata kunang-kunang untuk tujuan
wisata sekaligus usaha konservasi lingkungan. Bentuk wisata ini berupa firefly
watching tour, yaitu pengunjung diarahkan agar melewati tempat-tempat strategis
untuk melihat kunang-kunang. Jepang memiliki firefly canoe tour di kawasan
Danau Aokiko pada musim panas (Evergreen Outdoor Center 2014). Kampung
Kuantan Firefly Park di Malaysia menjadi salah satu tempat wisata kunangkunang sekaligus kawasan CBE (Community-Based Ecotourism) (Mohd
Shahwahid et al. 2013). Thailand juga memiliki wisata kunang-kunang yang
pengelolaannya melibatkan penduduk lokal, perusahaan wisata, serta komunitas di
sekitar (Nurancha et al. 2013). Lokasi wisata kunang-kunang di Thailand terdapat
di Sungai Mae Klong, Amphawa.
Sutherst dan Maywald (1985) menyebutkan, peningkatan serta penurunan
populasi serangga secara umum dipengaruhi faktor-faktor lingkungan, termasuk
faktor cuaca dan iklim. Data unsur cuaca dan iklim dapat dimanfaatkan untuk
mengestimasi populasi serta penyebaran serangga secara komputerisasi. Oleh
karena itu, penulis ingin meneliti dan mengidentifikasi habitat dan aktivitas
kunang-kunang dengan observasi cuaca skala mikro untuk perencanaan taman
kunang-kunang di Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi.
1.
2.
3.
4.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini meliputi:
Ada beberapa spesies kunang-kunang yang ditemukan pada jalur pengamatan.
Jumlah individu kunang-kunang yang ditemukan di setiap jalur pengamatan
tidak sama.
Ada peningkatan maupun penurunan aktivitas kemunculan kunang-kunang
selama waktu pengamatan yang telah ditentukan.
Unsur cuaca skala mikro yang diobservasi (suhu udara, kelembaban relatif,
curah hujan, dan kejadian presipitasi) berkaitan dengan kemunculan kunangkunang pada malam hari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan unsur cuaca skala
mikro dengan kemunculan kunang-kunang pada malam hari serta
mengidentifikasi lokasi yang berpotensi untuk dijadikan taman kunang-kunang di
Situ Gunung.
2
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Menambah informasi mengenai keterkaitan unsur cuaca dan karakteristik
lokasi terhadap kemunculan kunang-kunang.
2. Memberikan informasi untuk perencanaan wisata kunang-kunang di kawasan
Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi, terutama perencanaan lokasi dan jadwal
kunjungan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Habitat Kunang-Kunang
Kunang-kunang (Gambar 1) merupakan serangga jenis kumbang yang
diklasifikasikan dalam famili Lampyridae dan ordo Coleoptera. Kata Lampyridae
berasal dari bahasa Yunani, yaitu α π ι (lampyris) yang diartikan sebagai
―yang bercahaya‖. Kunang-kunang juga dikenal dengan istilah glowworm (Essig
1958). Secara lebih spesifik, kunang-kunang dibagi ke dalam beberapa genus,
antara lain Cortus, Lamprophorus, Lampyris, Luciola, Photinus, Photuris,
Pteroptyx, Pyractomena, Pyrocoelia, dan lain-lain (Essig 1958; McDermott 1964;
Ballantyne & Lambkin 2001; Fu et al. 2012).
Waktu aktif kunang-kunang pada malam hari, sehingga disebut sebagai
serangga nocturnal. Serangga malam ini memiliki keistimewaan karena mampu
menghasilkan cahaya berpendar dari bagian tubuhnya. Cahaya tersebut digunakan
sebagai alat komunikasi, terutama untuk mencari pasangannya pada musim kawin
(Ohba 2004). Proses untuk menghasilkan cahaya melibatkan sel khusus
(photocytes) dan kerja enzim luciferase. Luciferase bekerja untuk mengaktifkan
luciferin. Selanjutnya, luciferin bergabung dengan oksigen dan menghasilkan
cahaya pada photocytes yang terletak pada ruas pertama atau ke-dua di belakang
dari abdomennya (Timmins et al. 2001). Kunang-kunang menghasilkan cahaya
mulai dari fase telur, tetapi dengan intensitas cahaya yang berbeda-beda. Kunangkunang jantan lebih sedikit bercahaya dibandingkan dengan kunang-kunang
betina yang menggunakan cahaya pijarnya untuk menarik dan menstimulasi
pejantan (Oba et al. 2010).
Gambar 1 Beberapa jenis kunang-kunang. Luciola lusitanica (a), Lampyris
noctiluca (b), Pteroptyx tener (c).
Sumber: Biolib Gallery (1993–2013)
Kunang-kunang biasanya berwarna kecoklatan atau kehitaman. Serangga ini
memiliki tubuh yang lunak dan memanjang. Kepalanya tersembunyi di bawah
pronotum dan antenanya menyerupai benang. Hanya beberapa ruas abdominal
dari kunang-kunang yang dapat bercahaya. Kunang-kunang jantan berukuran
lebih kecil daripada kunang-kunang betina. Kunang-kunang jantan memiliki dua
pasang sayap, namun hanya sayap belakang yang digunakan untuk terbang.
Pasangan sayap pertama, elytra, menjadi pelindung untuk pasangan sayap ke-dua.
Kunang-kunang betina ada yang mempunyai sayap dan tidak mempunyai sayap,
sehingga tidak selalu terbang (Borror & White 1970).
Siklus hidup kunang-kunang diawali dari fase telur, larva, pupa, hingga
imago (dewasa). Betina akan meletakkan telur sekitar seratus butir atau lebih di
tanah dan di dasar pohon. Telur akan menetas dalam 2-4 minggu yang kemudian
4
menjadi larva. Larva bersifat predator yang memakan serangga lain, siput dan
keong. Umumnya siklus hidup kunang-kunang memerlukan waktu tiga bulan
hingga satu tahun, tergantung pada jenis kunang-kunang dan lingkungannya.
Ketika dewasa kunang-kunang hanya bertahan hidup kurang dari dua minggu
dengan memakan polen bunga atau bahkan tidak makan sama sekali (Nurancha et
al. 2013).
Ada lebih dari 2 000 spesies kunang-kunang tersebar di daerah beriklim
tropis dan subtropis. Jumlah terbesar dengan keragaman paling tinggi dapat
dijumpai pada wilayah tropis Asia, Amerika Utara dan Tengah, serta Amerika
Serikat. Spesies kunang-kunang sering ditemukan di daerah dengan kelembaban
tinggi dan hangat seperti kolam, sungai, payau, lembah, parit dan padang rumput
(Essig 1958). Kazama et al. (2007) menjelaskan bahwa habitat yang paling sesuai
untuk kunang-kunang berupa lingkungan hidro (hydro-enviroment) yang meliputi,
area non urban, hutan gugur daun (deciduous forest), lahan pertanian, dan lahan
tanaman padi. Lahan tersebut berupa lahan dengan polusi air yang sangat rendah
dan bebas dari jenis pupuk atau pestisida an-organik. Kunang-kunang sangat
rentan terhadap pencemaran lingkungan, sehingga dijadikan indikator lingkungan
alami dan bersih.
Kondisi Umum dan Iklim Mikro Situ Gunung
Kawasan Situ Gunung (Gambar 2) merupakan kawasan hutan alam sub
pegunungan dan hutan tanaman damar yang mengelilingi danau dan berada dalam
wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat.
Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 461/Kpts/Um/11/1975 seluas 100 ha. Letak
geografis kawasan terdapat pada 106o54’37‖ hingga 106o55’30‖ Bujur Timur dan
06o39’40‖ hingga 06o41’12‖ Lintang Selatan. Secara administratif, Situ Gunung
termasuk wilayah Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten
Sukabumi. (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2007).
Gambar 2 Peta Kawasan Situ Gunung sebagai taman wisata alam.
Sumber : Pengelola Situ Gunung Park (2012)
5
Kawasan TWA Situ Gunung terletak pada ketinggian antara 950–1 036
mdpl. Keadaan topografinya sebagian kecil datar dan sebagian besar
bergelombang sampai berbukit. Kondisi iklim mikro di kawasan ini dipengaruhi
oleh ketinggian tersebut. Suhu udara memiliki kisaran 16–28 oC dan kelembaban
relatif rata-rata 84 %. Curah hujan berkisar antara 1 611–4 311 mm per tahun
dengan 106–187 hari hujan per tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat,
2007).
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2007) juga menyebutkan bahwa
kawasan ini mempunyai potensi keanekaragaman biodiversitas flora dan fauna
yang tinggi. Potensi lain dari kawasan Situ Gunung adalah keindahan alam yang
terbentuk dari bentukan vegetasi, panorama pegunungan, dan elemen air. Potensi
ini dimanfaatkan sebagai objek wisata alam untuk masyrakat umum. Objek wisata
yang memiliki daya tarik utama adalah wisata danau buatan dan air terjun.
6
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung selama enam bulan yang dimulai dari bulan
Februari hingga Juli 2014. Proses pembuatan alat ukur cuaca dilakukan di ruang
Workshop Instrumentasi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan
sampel dan data dilakukan di kawasan Situ Gunung, Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Jawa Barat selama 12 kali dari tanggal 7 Mei hingga 24 Mei
2014. Identifikasi spesimen kunang-kunang dilakukan di Laboratorium
Entomologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi termometer bola basah dan bola kering
(sensor LM35), penakar hujan sederhana, GPS, kamera digital, seperangkat alat
komputer dengan perangkat lunak Ms. Excel, Google Earth, Global Mapper, dan
ArcGIS 9.3. Bahan yang digunakan berupa spesies kunang-kunang pada habitat
alami di kawasan Situ Gunung, data GPS, data observasi cuaca skala mikro, dan
citra Google Earth akusisi 9 Desember 2014.
Prosedur Penelitian
Penentuan Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatan terdiri dari empat jalur pengamatan yaitu, jalur Wisma
Kantor, Curug Sawer, Danau, dan Curug Cimanaracun. Keempat jalur
pengamatan dibagi menjadi wilayah A hingga O berdasarkan karakteristiknya.
Perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari segi lokasi, jenis vegetasi dominan,
dan keberadaan badan air (Lampiran 1–7). Pembagian wilayah ini digunakan
untuk mengkaji hubungan kemunculan kunang-kunang dengan karakteristik
wilayah.
Observasi Suhu Udara
Nilai suhu udara diukur dengan termometer bola kering (sensor LM35).
Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 19.30-22.00 WIB (Waktu Indonesia
Barat). Data yang digunakan untuk analisis hanya data malam karena berkaitan
langsung dengan kemunculan kunang-kunang.
Penghitungan Kelembaban Relatif (Relative Humidity, RH)
Data kelembaban relatif diperoleh dari pengukuran suhu bola basah dan
suhu bola kering yang dihasilkan oleh sensor temperatur. Selanjutnya, hasil
pengukuran dikonversi menjadi data kelembaban relatif dengan persamaan
psikrometrik berikut.
esTbk =
esTbb =
ea = esTbb – 0.67 x (Tbk – Tbb)
RH =
x 100
7
Keterangan :
ea
= Tekanan uap air aktual (mb)
esTbk = Tekanan uap air jenuh pada suhu bola kering (mb)
esTbb = Tekanan uap air jenuh pada suhu bola basah (mb)
Tbk = Suhu termometer bola kering (oC)
Tbb = Suhu termometer bola basah (oC)
RH
= Kelembaban relatif (Relative Humidity) (%)
Pengukuran Curah Hujan
Curah hujan diukur dengan alat penakar hujan sederhana yang berupa
tabung berdiameter 11.5 cm dengan tinggi 15 cm. Alat diletakkan pada tempat
datar, terbuka dan bebas naungan. Alat ini hanya dipasang pada satu titik yang
mewakili luasan wilayah penyebaran plot, sehingga alat dipasang di wilayah
Wisma. Air hujan yang tertampung terukur dalam satuan mililiter (ml), kemudian
dikonversi ke dalam satuan milimeter (mm) sesuai standar satuan curah hujan.
Kejadian hujan yang berdekatan dengan waktu pengamatan juga diamati dan
dicatat secara langsung.
Pengamatan Respon Spesies
Pengamatan respon spesies berupa kemunculan kunang-kunang dilakukan
bersamaan dengan observasi cuaca. Metode yang digunakan untuk pengamatan ini
adalah metode visual encounter survey (VES) time search, yaitu penghitungan
langsung jumlah spesies (kunang-kunang) yang terlihat pada lokasi pengamatan
(Magurran 1988). Lokasi kunang-kunang ditandai dengan GPS untuk dipetakan
dengan ArcGIS 9.3. Pengamatan dilakukan pada pukul 19.30–22.00 WIB secara
bergilir dan terbagi menjadi dua periode, yaitu periode I (19.30–20.45 WIB) dan
periode II (20.45–22.00 WIB). Waktu pengamatan ini terhitung dalam tiga
minggu dan setiap minggunya dianggap sebagai ulangan.
Tabel 1 Jalur dan waktu pengamatan di kawasan Situ Gunung
Jalur Pengamatan
Wisma Kantor
Curug Sawer
Danau
Curug Cimanaracun
Ulangan (Minggu ke-)
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Waktu Pengamatan
07 Mei 2014
14 Mei 2014
21 Mei 2014
08 Mei 2014
15 Mei 2014
22 Mei 2014
09 Mei 2014
16 Mei 2014
23 Mei 2014
10 Mei 2014
17 Mei 2014
24 Mei 2014
Identifikasi Spesimen Kunang-Kunang dan Vegetasi
Sampel spesimen kunang-kunang yang diambil dari lapangan dibuat awetan
kering. Spesimen tersebut diidentifikasi hingga tingkat spesies dengan cara
mencocokkan pada spesies koleksi yang dimiliki oleh LIPI Cibinong. Pengukuran
8
panjang dan lebar tubuh spesimen juga dilakukan sebagai data pendukung.
Vegetasi dominan diidentifikasi secara langsung di lapangan dari keterangan
papan nama dan buku tanaman.
Pengolahan Data
Data kemunculan kunang-kunang dan data observasi cuaca skala mikro
diolah dengan metode statistik deskriptif dan perangkat lunak Ms. Excel. Metode
statistik deskriptif adalah suatu metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan
menyajikan data sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistik
deskriptif ini memberikan informasi dalam berbagai bentuk, seperti tabel, grafik,
dan histogram. Informasi yang tersaji dapat menunjukkan pemusatan, penyebaran,
serta kecenderungan gugus data (Mattjik & Sumertajaya 2006). Perangkat lunak
Google Earth, Global Mapper, dan ArcGIS 9.3 digunakan untuk membuat peta
lokasi penelitian dan peta sebaran kunang-kunang dari data GPS yang di-overlay
dengan citra Google Earth akusisi 9 Desember 2014.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Identifikasi Kunang-Kunang di Kawasan Situ Gunung
Kunang-kunang di kawasan Situ Gunung termasuk ke dalam enam spesies.
Keenam spesies tersebut tersebar di keempat jalur pengamatan. Lamprophorus sp.
ditemukan di jalur Wisma Kantor. Luciola sp.(3) ditemukan di jalur Curug Sawer.
Luciola pallescens ditemukan di jalur Danau dan Wisma Kantor. Spesies yang
ditemukan di Jalur Curug Cimanaracun lebih bervariasi daripada di ketiga jalur
lainnya, yaitu Luciola sp.(1), Luciola sp.(2), dan Lucernuta lateralis.
Lamprophorus sp. yang ditemukan (Gambar 3) merupakan spesies betina
tanpa sayap yang memiliki panjang sekitar 5.20 cm dan lebar tubuh 1.00 cm.
Spesies kunang-kunang ini jarang ditemukan saat pengamatan. Morfologinya
memanjang menyerupai ulat yang terdiri atas sebelas ruas dari kepala sampai
abdomen. Organ bercahaya pada Lamprophorus sp. terletak di ruas paling
belakang. Morfologi tersebut secara jelas ditunjukkan oleh Gambar 3. Selain itu,
Gambar 3 juga menunjukkan aktivitas Lamprophorus sp. ketika sedang memakan
mangsa berupa siput.
Gambar 3 Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina. Dorsal (a), Ventral (b),
Aktivitas makan (c).
Spesies dari genus Luciola rata-rata memiliki kisaran panjang 0.70–1.10 cm
dan lebar 0.25–0.60 cm. Luciola sp2. berukuran paling kecil dengan panjang
sekitar 0.70 cm dan lebar 0.25 cm. Kunang-kunang Luciola paling besar adalah
Luciola pallescens dengan panjang sekitar 1.10 cm dan lebar 0.60 cm. Luciola
sp1., Luciola sp3. dan Luciola pallescens sekilas terlihat sama karena memiliki
warna yang mirip, yaitu coklat muda (Gambar 4).
Gambar 4
Morfologi kunang-kunang genus Luciola. Luciola pallescens (a),
Luciola sp1. (b), Luciola sp2. (c), Luciola sp3. (d). Dorsal (1),
Ventral (2).
10
Keempat spesies Luciola yang ditemukan berjenis kelamin jantan.
Perbedaan morfologi ketiga spesies dari genus Luciola tersebut dapat dibedakan
dari ukuran tubuh, warna tungkai, dan bentuk organ bercahaya. Sebagian tungkai
Luciola sp1. berwarna kuning kecoklatan dan hitam. Berbeda dengan tungkai
Luciola sp3. dan L. pallescens yang dominan berwarna kuning dan berwarna
hitam di bagian tarsus. Luciola sp2. memiliki sepasang sayap berwarna coklat tua
mendekati hitam disertai garis jingga di bagian pinggir sayap. Warna jingga ini
juga terlihat di bagian tungkai, pronotum, hingga di sekitar mata Luciola sp2..
Lucernuta lateralis (Gambar 5) termasuk spesies yang paling jarang
dijumpai. Selama pengamatan, spesies ini hanya ditemukan satu individu di jalur
Curug Cimanaracun. Morfologi L. lateralis berbeda dengan spesies kunangkunang lainnya. Perbedaan tersebut ditunjukkan pada bentuk kepala, ukuran, dan
warna tubuh. Bentuk kepala L. lateralis cenderung pipih dan melebar dengan
warna jingga. Ukuran tubuhnya pun lebih besar dari kunang-kunang genus
Luciola yang ditemukan. Panjang tubuh L. lateralis mencapai 1.7 cm dengan lebar
0.8 cm. Bagian sayap dan tubuhnya terlihat memiliki kombinasi warna hitam dan
jingga. Organ bercahaya di abdomen bagian bawah tubuh L. lateralis juga
memiliki bentuk yang berbeda.
Gambar 5 Morfologi kunang-kunang Lucernuta lateralis. Dorsal (a), Ventral (b).
Perbedaan spesies kunang-kunang dan lokasi ditemukannya dapat
memberikan informasi bahwa setiap jalur menjadi habitat bagi spesies yang
berbeda. Hal ini juga mengindikasikan adanya adaptasi setiap spesies terhadap
karateristik jalur yang dapat menjadi faktor pendukung maupun pembatas. Viviani
(2001) menemukan sebanyak 26 spesies kunang-kunang Brazil dari sepuluh genus
berbeda mendiami tempat yang tidak sama. Cratomorphus sp. dan Aspisoma sp.
mendiami daerah rawa, sedangkan spesies yang termasuk dalam Photurinae tidak
hanya mendiami daerah rawa, tetapi juga mendiami lingkungan berkayu lembab.
Spesies kunang-kunang dari genus Luciola biasanya hidup di daerah yang dekat
dengan sumber air (Llyod et al. 1989; Fu et al. 2005; Fu et al. 2006).
Sebaran Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
Variasi sebaran kemunculan kunang-kunang pada setiap jalur ditandai
dengan titik berwarna hitam dan putih (Gambar 6). Titik-titik tersebut merupakan
lokasi saat kunang-kunang terlihat, sehingga tidak memberikan informasi jumlah
individu. Sebaran kemunculan kunang-kunang tidak dibedakan berdasarkan
spesies akibat beberapa faktor keterbatasan. Pembedaan fase larva dan imago di
lapangan terlihat jelas dari morfologi, letak, serta kekuatan cahaya.
11
Sebaran kunang-kunang pada Gambar 6 menunjukkan keberadaan kunangkunang imago pada setiap jalur, terutama di jalur Curug Cimanaracun. Lokasi
keberadaan kunang-kunang sangat rapat di sepanjang jalur Curug Cimanaracun.
Hal ini menandakan bahwa kunang-kunang imago sangat mudah ditemukan di
jalur tersebut daripada di jalur lainnya. Sebaran di jalur Curug Cimanaracun pun
bersifat stabil, sehingga sangat baik untuk dijadikan jalur wisata kunang-kunang.
Penyebaran kunang-kunang imago berbeda dengan penyebaran fase larva
yang lebih terbatas pada lokasi tertentu di sepanjang jalur. Selama pengamatan
tidak ditemukan adanya larva kunang-kunang di jalur Danau. Keterbatasan
penyebaran larva dipengaruhi oleh perbedaan alat gerak dengan kunang-kunang
imago. Selain itu, larva kunang-kunang membutuhkan lingkungan yang lembab
dan dekat dengan makanannya, yaitu siput. Sebagian jalur Danau terpapar cahaya
matahari karena tegakan pohon tidak serapat di jalur lainnya. Permukaan pun
lebih mudah mengalami pemanasan pada siang hari, sehingga kelembabannya
akan menurun. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk kebutuhan lingkungan larva
dan siput. Keberadaan larva di jalur Danau kemungkinan terdapat pada area
ternaung dan sulit dijangkau.
Akram et al. (2012) menjelaskan, penyebaran maupun jumlah populasi
kunang-kunang di alam dipengaruhi oleh karakteristik wilayah dan tingkat
adaptasi atau toleransi spesies. Kunang-kunang juga sensitif terhadap jenis
penggunaan lahan. Alih guna lahan di daerah estuari Rembau-Linggi, Malaysia
dalam penelitian Jusoh et al. (2010) mengurangi habitat kunang-kunang. Alih
guna lahan tersebut meliputi areal pertanian, pembudidayaan ikan, dan
pemukiman. Pengurangan habitat kunang-kunang berpotensi menurunkan
populasinya.
Gambar 6 Peta sebaran kemunculan kunang-kunang di jalur pengamatan. Wisma
Kantor (
), Curug Sawer (
), Danau (
), Curug Cimanaracun
(
). Larva (), Imago (). Minggu ke-1 (a), Minggu ke-2 (b),
Minggu ke-3 (c).
Tingkat Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan
Tingkat kemunculan di setiap jalur dan wilayah berbeda-beda (Gambar 7).
Wilayah dengan tingkat kemunculan paling tinggi adalah wilayah M di jalur
Curug Cimanaracun. Namun, wilayah K, L, dan N di sekitarnya juga termasuk
memiliki tingkat kemunculan kunang-kunang yang dominan. Apabila dikaji lebih
dalam, setiap jalur memiliki wilayah dengan tingkat kemunculan dominan. Jalur
Wisma Kantor hanya memiliki wilayah A sebagai wilayah dominan, karena
12
Jumlah Kemunculan
karakteristiknya sama sepanjang jalur. Jalur Curug Sawer memiliki tiga wilayah
dominan, yaitu wilayah B, C, dan D. Jalur Danau juga memiliki wilayah dominan
pada wilayah H dan I.
100
80
60
40
20
0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
K
L
M
N
O
Wilayah
1
2
3
Jumlah Kemunculan
(a)
100
80
60
40
20
0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Wilayah
1
2
3
(b)
Gambar 7 Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan
pada kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan. Periode I
(19.30–20.45 WIB) (a), Periode II (20.45–22.00 WIB) (b).
Karakteristik wilayah A, B, C, H, I, K, dan M sangat mirip dari segi tipe
tutupan vegetasi (Lampiran 6). Ketujuh wilayah ini ditutupi oleh tegakan pohon
yang cukup rapat disertai oleh tumbuhan lantai hutan, seperti semak, herba, dan
paku-pakuan. Kesamaan vegetasi dominan pada wilayah A, B, H, I, dan K terlihat
dari beberapa jenis vegetasi, yaitu damar (Agathis dammara), kaliandra
(Calliandra sp.), puspa (Schima wallichii) beserta jenis tumbuhan lantai hutan
yang cenderung sama. Meskipun memiliki kesamaan vegetasi dominan, kerapatan
tegakan pohon di wilayah H lebih rendah. Daerah ternaung pun lebih sedikit
daripada daerah yang terpapar cahaya matahari. Namun, permukaan tanah di
wilayah H ditutupi oleh rumput gajah (Axonopus compressus) secara merata.
Wilayah C dan M ditumbuhi oleh jenis pohon yang berbeda, tetapi tumbuhan
lantai hutannya tidak jauh berbeda. Wilayah D, L, dan N didominansi oleh
tumbuhan pisang (Musa sp.) dan tepus (Amomum pseudofoetens Val.). Tutupan
vegetasi di wilayah dengan tingkat kemunculan dominan ini membentuk naungan
yang tinggi, sehingga terdapat cukup ruang untuk pergerakan di bagian bawahnya.
13
Ohba dan Wong (2004) menjelaskan bahwa daerah ternanug sangat diperlukan
kunang-kunang dewasa untuk istirahat sebelum waktu malam hari.
Wilayah dengan tingkat kemunculan yang rendah mencakup wilayah E, F,
G, J, dan O. Wilayah E dan F merupakan tempat yang cukup banyak mendapatkan
paparan cahaya matahari. Jenis vegetasi pada wilayah E dan F tidak terlalu
beragam, terutama untuk jenis tegakan pohon. Wilayah G cukup basah akibat air
danau yang naik hingga ke sebagian permukaan tanah. Berbeda dengan wilayah J
yang cenderung kering dan bervegetasi rapat. Wilayah O adalah wilayah di jalur
Curug Cimanaracun yang ditutupi oleh paku-pakuan. Vegetasi paku-pakuan yang
mendominasi seperti dinding, akibatnya wilayah O agak sulit ditelusuri.
Kerapatan paku-pakuan di wilayah J dan O berpotensi mengurangi gerak kunangkunang. Karakteristik kelima wilayah tersebut kemungkinan lebih mendukung
untuk habitat musuh alami atau kurang menyediakan sumber makanan bagi
kunang-kunang.
Wilayah M merupakan wilayah dengan karakteristik paling unik, karena
individu kunang-kunang paling banyak ditemukan pada wilayah tersebut. Wilayah
M memiliki badan air berupa curug (air terjun) kecil yang beraliran lambat, tenang,
dangkal dan jernih. Kondisi badan air di wilayah M sesuai dengan hasil
pengamatan Kazama et al. (2007) dan Koji et al. (2012). Kazama et al. (2007) dan
Koji et al. (2012) menyebutkan bahwa kunang-kunang cenderung menyukai
tempat dengan aliran air lambat, dangkal, dan tergenang. Kondisi badan air
tersebut diperlukan untuk perkembangan larva kunang-kunang dan siput sebagai
makanannya. Badan air di wilayah M juga dikelilingi oleh vegetasi berupa
tegakan pohon hingga tumbuhan lantai hutan. Vegetasi tersebut membentuk
nangan yang rapat, cahaya matahari pun terhalang untuk masuk, sehingga bagian
bawah tajuk sesuai untuk tempat berlindung dan beristirahat kunang-kunang.
Wirth et al. (2001) dan De Wasseige et al. (2003) menyebutkan bahwa kerapatan
tajuk tanaman yang tinggi memiliki nilai LAI (Leaf Area Index) yang tinggi. Nilai
LAI yang tinggi menandakan wilayah yang ternaung cukup luas sehingga hanya
sedikit radiasi surya yang dapat diteruskan sampai ke permukaan. Nilai LAI
tersebut juga dipengaruhi oleh jenis tanaman, jarak antar tanaman, dan pergantian
musim.
Wilayah H dan I berada di sekitar danau. Badan air berupa danau tidak
sesuai untuk larva kunang-kunang karena tidak dangkal. Pertemuan danau dengan
permukaan tanah membentuk kubangan air di wilayah I. Kubangan air yang
dangkal memenuhi kriteria, tetapi kubangan air di wilayah I hanya bersifat
sementara. Wilayah H dan kubangan air di wilayah I juga mendapat cukup banyak
cahaya matahari serta dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang melintas. Selain
wilayah H dan I, wilayah E juga memiliki badan air dengan aliran yang cukup
deras. Kondisi aliran air pada wilayah E tidak sesuai untuk kelangsungan hidup
larva kunang-kunang karena dapat menghanyutkan larva tersebut.
Perbedaan tingkat kemunculan juga terjadi pada kedua periode waktu. Hal
tersebut menandakan potensi keterkaitan dengan kondisi cuaca saat pengamatan,
yaitu pola penurunan suhu dan kejadian presipitasi. Pola penurunan suhu
menyebabkan kemunculan di periode II lebih rendah yang ditunjukkan dari hasil
pengamatan di wilayah K, L, M, N, dan O. Sebaliknya, kemunculan di periode II
cenderung lebih banyak jika terdapat kejadian presipitasi yang dekat dengan
waktu pengamatan seperti di wilayah A hingga I
14
Keterkaitan Unsur Cuaca dengan Kemunculan Kunang-Kunang
Suhu Udara
Pengukuran suhu udara dilakukan dalam dua periode waktu pengamatan,
yaitu periode I pada pukul 19.30–20.45 WIB dan periode II pada pukul
20.45–22.00 WIB. Suhu udara pada periode I secara keseluruhan lebih tinggi
daripada hasil pengukuran di periode II (Gambar 8).
Suhu (⁰C)
20,0
19,0
18,0
17,0
16,0
19:12:00
Wisma Kantor
20:45:36
Waktu (WIB)
Curug Sawer
Danau
22:19:12
Curug Cimanaracun
(a)
Suhu (⁰C)
20,0
19,0
18,0
17,0
16,0
19:12:00
20:45:36
22:19:12
Waktu (WIB)
Wisma Kantor
Curug Sawer
Danau
Curug Cimanaracun
Suhu (⁰C)
(b)
20,0
19,0
18,0
17,0
16,0
19:12:00
Wisma Kantor
20:45:36
Waktu (WIB)
Curug Sawer
Danau
22:19:12
Curug Cimanaracun
(c)
Gambar 8 Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB. Minggu ke1 (a), Minggu ke-2 (b), Minggu ke-3 (c).
15
Perbedaan suhu udara yang terjadi menunjukkan pola kecenderungan penurunan
suhu udara pada malam hari. Suhu udara selama selang waktu 2.5 jam memiliki
kecenderungan menurun dengan selisih nilai yang cukup kecil, yaitu 0 ⁰C hingga
0.7 ⁰C (Lampiran 8). Penurunan suhu pada malam hari disebabkan oleh pelepasan
energi dari permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Penurunan suhu
akan semakin kuat pada kondisi malam cerah tanpa awan dan angin tenang.
Pendinginan permukaan yang terjadi akan menurunkan suhu udara. Proses
pendinginan tersebut sangat intensif pada selang waktu satu hingga dua jam
setelah matahari tenggelam (Avecedo & Fitzjarrald 2001; Iijima & Shinoda 2002).
Suhu udara yang terukur pada keempat jalur berkisar antara 16.5–20.0 °C.
Fluktuasi suhu udara dapat dipicu oleh hujan yang terjadi sebelumnya atau
penutupan awan. Tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi juga mampu
mendinginkan udara. Kunang-kunang paling banyak muncul pada kisaran suhu
udara 18.0–18.5 °C (Gambar 9). Kemunculan paling banyak di kisaran suhu
tersebut mendapat pengaruh dari faktor karakteristik lokasi. Tingkat kemunculan
pada kisaran suhu 17.5–18.0 °C dan 19.0–19.5°C juga relatif tinggi. Kemunculan
sangat rendah ketika kisaran suhu udara di bawah suhu 17.5 °C. Oleh sebab itu,
kisaran suhu udara 17.5–19.5 °C dianggap suhu yang optimum bagi kemunculan
kunang-kunang di Situ Gunung.
Jumlah Kemunculan
200
150
100
50
0
17.0 - 17.5
19.0 - 19.5
16.516.5 - 17.0
17.0
17.517.5 - 18.0
18.018.0 - 18.5
18.518.5 - 19.0
19.0
19.519.5 - 20.0
20.0
Suhu (⁰C)
Gambar 9 Suhu udara malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan
kemunculan kunang-kunang di keempat jalur
Gullan dan Cranston (2000) menjelaskan, serangga termasuk hewan
poikiloterm, sehingga sangat sensitif dengan perubahan suhu di lingkungan sekitar.
Suhu lingkungan yang tidak optimum dapat mempengaruhi kerja enzim dan
kecepatan metabolisme serangga, termasuk kunang-kunang. Teori tersebut
menjelaskan penyebab rendahnya kemunculan kunang-kunang saat terjadi
penurunan suhu di periode II (20.45–22.00 WIB) dan kisaran suhu udara di bawah
17.5 °C. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kunang-kunang lebih menyukai
suhu udara yang lebih hangat. Ohba (2012) melalui hasil pengamatannya
menjelaskan bahwa kunang-kunang L. crusiata dan L. lateralis aktif terbang di
daerah aliran air selama musim panas.
16
Penurunan suhu udara yang cenderung terjadi di periode II dan suhu di
bawah suhu 17.5 °C diduga dapat menghambat pergerakan kunang-kunang saat
terbang. Suhu udara yang rendah bersifat mendinginkan, sehingga udara
cenderung memadat dan menjadi lebih berat (Ahrens 2007). Udara yang
mengalami pendinginan tersebut akan bergerak turun, sehingga dapat memberikan
beban yang lebih berat pada sayap kunang-kunang. Selain suhu udara, jam
Kelembaban Relatif (Relative Humidity, RH)
Kelembaban relatif (RH) rata-rata pada kedua periode pengamatan
cenderung konstan. Nilai RH tersebut juga tergolong tinggi, yaitu sebesar 94%
hingga 98% (Lampiran 8). Tingginya kelembaban di lokasi pengamatan
disebabkan oleh tutupan vegetasi yang rapat, keberadaan badan air, serta pengaruh
iklim pegunungan. Hal serupa ditemukan oleh Fries et al. (2012), kelembaban
hutan pegunungan lebih tinggi daripada daerah peternakan yang terletak di
sekitarnya akibat tingginya kerapatan vegetasi. Sementara itu, fluktuasinya
dipengaruhi oleh hujan sebelum pengamatan dan kabut yang muncul. Hujan dan
kabut meningkatkan partikel air di lingkungan sehingga dapat menambah
kelembaban udara maupun tanah.
Kelembaban relatif saat pengamatan memiliki keterkaitan dengan
kemunculan kunang-kunang di keempat jalur pengamatan. Kemunculan kunangkunang paling banyak ditemukan pada kisaran RH 93–95% yang terukur di jalur
Curug Cimanaracun. Kemudian kemunculannya mengalami penurunan saat RH di
atas 95% hingga 100% (Gambar 10). Kunang-kunang yang ditemukan pada RH di
atas 97% biasanya terbang di dekat permukaan atau hinggap di dedaunan.
Jumlah Kemunculan
200
150
100
50
0
93 93 - 95
95
95 - 97 97
97 - 99 99
RH (%)
Gambar 10 Kelembaban relatif (RH) malam hari (19.30–22.00 WIB) saat
pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur
Kondisi kelembaban di jalur pengamatan sesuai dengan Andrewartha dan
Birch (1974) yang menyebutkan bahwa serangga secara umum toleran terhadap
kisaran RH sebesar 73–100%. Kazama et al. (2007) menemukan bahwa kunangkunang menyukai tempat yang lembab dan dekat dengan sumber air yang dangkal
dan tenang. Namun, semakin tinggi kelembaban udara atau RH dapat
17
menghambat pergerakan sayap kunang-kunang imago. Nilai RH yang semakin
tinggi mengindikasikan jumlah partikel air yang ada di udara semakin banyak.
Jumlah partikel air yang semakin banyak membuat sayap kunang-kunang yang
tipis menjadi basah dan berat. Kemampuan pergerakan sayapnya pun menjadi
terbatas. Hal tersebut menyebabkan kemunculan kunang-kunang lebih sedikit
pada kelembaban yang lebih tinggi. Minami (1961) dan Mitsushi (1996)
menambahkan, tempat dengan kelembaban tinggi lebih dibutuhkan untuk
peletakkan telur kunang-kunang dan perkembangannya hingga fase larva. Selain
itu, tempat lembab sesuai untuk habitat siput yang merupakan makanan kunangkunang fase larva.
Curah Hujan dan Kejadian Hujan
Kunang-kunang ditemukan paling banyak pada curah hujan 0–20 mm
(Gambar 11). Kisaran hujan tersebut termasuk dalam kriteria hujan ringan
(BMKG 2012). Kunang-kunang masih dapat ditemukan pada curah hujan sekitar
60 mm di jalur Danau dengan jumlah jauh lebih sedikit. Jumlah yang tetap
melimpah teramati di jalur Curug Cimanaracun saat curah hujan 56 mm dan 48
mm. Hal ini disebabkan oleh tutupan tajuk yang lebih rapat di jalur Curug
Cimanaracun dibandingkan dengan jalur lainnya. Air hujan yang dapat
diintersepsi pun menjadi lebih banyak, sehingga bagian bawah tajuk dapat
menjadi tempat berlindung kunang-kunang. Gómez et al. (2001) dan David et al.
(2006) juga menjelaskan bahwa tajuk dan jarak antar tanaman yang semakin rapat
dapat meningkatkan nilai LAI beserta kapasitas intersepsi air hujan. Tutupan tajuk
tidak hanya berfungsi untuk mengintersepsi air hujan tetapi juga dapat
meminimalisir pengaruh cahaya matahari dan terpaan angin. Curah hujan paling
tinggi (85 mm) saat pengamatan di jalur Curug Sawer sudah tidak memungkinkan
untuk kemunculan kunang-kunang. Curah hujan 85 mm juga berpeluang
mengurangi populasi kunang-kunang di semua jalur pada pengamatan berikutnya.
Jumlah Kemunculan
250
200
150
100
50
0
0
0 - 20 20 20 - 40 40 40 - 60 60 60 - 80 80 80 - 100100
Curah Hujan Harian (mm)
Gambar 11 Curah hujan harian dengan pengamatan kemunculan kunang-kunang
di keempat jalur
18
Curah hujan harian kurang merepresentasikan keterkaitan langsung terhadap
kemunculan kunang-kunang, sehingga ditinjau secara spesifik dari faktor kejadian
presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan. Pola kemunculan terlihat
dalam Gambar 12 yang ditandai dengan selisih jumlah kunang-kunang pada
periode II dan periode I. Hasil yang positif menunjukkan ada penambahan jumlah
kunang-kunang yang muncul di periode II. Sebaliknya, hasil negatif adalah
inisialisasi untuk penurunan kemunculan di periode II. Kejadian hujan atau
adanya presipitasi selalu diikuti oleh hasil positif, kecuali pada pengamatan di
jalur Curug Cimanaracun ulangan ke- 2 (no.11). Kondisi tersebut disebabkan oleh
kemampuan intersepsi tajuk yang lebih besar di jalur Curug Cimanaracun.
Populasi kunang-kunang di jalur Curug Cimanaracun juga diperkirakan jauh
lebih tinggi daripada yang ada di jalur lain, sehingga tingkat kemunculan tetap
tinggi walaupun terjadi presipitasi.
Hujan atau presipitasi mengakibatkan kesulitan untuk terbang, sehingga
mengharuskan kebanyakan serangga berlindung. Hujan memiliki pengaruh secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung berupa mekanik, yaitu butirbutir hujan yang jatuh merusak tempat hidup serangga atau langsung
menghanyutkan serangga, sehingga populasinya berkurang. Pengaruh tidak
langsung adalah perubahan pada lingkungan, seperti perbedaan kelembaban udara
dan kelembaban tanah (Koesmaryono 1985). Oleh sebab itu, curah hujan harian di
atas 20 mm dan kejadian hujan yang dekat dengan waktu pengamatan dapat
mempengaruhi tingkat kemunculan kunang-kunang.
Selisih Jumlah Kemunculan
15
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
-15
-30
-45
Hari Pengamatan
Ada Presipitasi
Tanpa Presipitasi
Gambar 12 Pengaruh kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu
pengamatan terhadap perbedaan kemunculan kunang-kunang pada
kedua periode di jalur Wisma Kantor (1, 2, 3), Curug Sawer (4, 5,
6), Danau (7, 8, 9), dan Curug Cimanaracun (10, 11, 12)
Curah hujan juga memberikan dampak secara tidak langsung bagi
kelangsungan hidup dan populasi kunang-kunang. Nada et al. (2012)
menyebutkan adanya pengaruh curah hujan terhadap populasi kunang-kunang di
daerah Sungai Selangor, Malaysia. Penurunan populasi kunang-kunang imago
19
pada bulan September dan November 2006 berhubungan dengan rendahnya curah
hujan antara bulan Juni dan Agustus 2006. Rendahnya curah hujan tersebut
mengakibatkan kondisi yang kering pada daerah sungai. Populasi siput dan larva
kunang-kunang yang membutuhkan kelembaban tinggi pun mengalami penurunan.
Curah hujan meningkat pada periode November hingga Desember dan masih
cukup tinggi di bulan Maret hingga Mei. Keterkaitan peningkatan curah hujan
pada periode tersebut terlihat pada kelimpahan kunang-kunang imago yang tinggi
di pertengahan tahun. Jadi, bulan-bulan basah lebih sesuai untuk kelangsungan
hidup kunang-kunang fase larva.
20
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Karakteristik lokasi berpengaruh terhadap kunang-kunang dari aspek
perbedaan spesies, penyebaran, dan tingkat kemunculan kunang-kunang. Elevasi,
kerapatan vegetasi, dan badan air mampu membentuk suatu kondisi iklim secara
mikro yang kondusif. Tingkat kemunculan paling tinggi ditemukan di jalur Curug
Cimanaracun dengan tutupan tajuk yang lebih rapat dibandingkan pada jalur
lainnya dengan tersedianya badan air yang sesuai untuk kunang-kunang, terutama
fase telur dan larva. Kondisi yang lembab di jalur Curug Cimamaracun juga sesuai
untuk kelangsungan hidup siput yang menjadi makanan larva kunang-kunang.
Oleh karena itu, jalur Curug Cimanaracun sangat berpotensi untuk dijadikan
taman kunang-kunang.
Unsur cuaca juga memiliki keterkaitan dengan kemunculan kunang-kunang
di kawasan Situ Gunung. Suhu optimum saat kemunculan kunang-kunang
berkisar antara 17.5–19.5 ⁰C dan kemunculan paling tinggi pada RH 93–95%.
Penurunan suhu udara, kejadian presipitasi, dan RH yang semakin tinggi dapat
menghambat pergerakan sayap akibat pemadatan udara seta banyakya partikel air,
sehingga kurang sesuai untuk kemunculan kunang-kunang imago.
Saran
Hasil penelitian ini memberikan informasi yang relatif singkat, sehingga
perlu dilakukan penelitian lanjutan pada waktu yang lebih lama. Penelitian
lanjutan lebih baik dilaksanakan pada bulan basah dan bulan kering agar lebih
terlihat keterkaitannya antara unsur cuaca dengan kemunculan kunang-kunang.
Keterkaitan tersebut bersifat penting dan perlu diteliti karena sangat menentukan
jadwal yang tepat untuk wisata kunang-kunang. Berdasarkan penelitian ini, jadwal
wisata paling baik untuk melihat kunang-kunang pada pukul 19.30–22.00. Lokasi
dengan tingkat kemunculan kunang-kunang yang tinggi dapat dikembangkan
untuk wisata kunang-kunang, namun harus mempertahankan kelestarian
lingkungan untuk keberlanjutannya. Lokasi untuk taman kunang-kunang
memerlukan tingkat naungan yang rapat dan keberadaan badan air, sehingga
terbentuk iklim mikro yang sesuai.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ahrens CD. 2007. Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and
the Environment. 8th ed. Belmont (CA): Thomson Brooks.
Akram W, Tabassum MS, Zia K. 2012. The distribution and abundance of
fireflies in natural and agricultural areas of Pakistan. Lampyrid. 2.
Andrewartha HG, Birch LC. 1974. The Distribution and Abundance of Animal.
Chicago (US): The University of Chicago Press.
Avecedo OC, Fitzjarrald DR. 2001. The early evening surface-layer transition:
Temporal and spatial variability. Atmospheric Sciences. 58(17): 2650-2667.
[Biolib Gallery]. 1993-2013. Lampyridae: Fireflies. [Internet]. (diunduh 2014
Feb 21). Tersedia pada: http://www.biolib.cz/en/gallery/dir82/pos21,21/.
Ballantyne LA, Lambkin C. 2001. A new firefly, Luciola (Pygoluciola) kinabalua,
new species (Coleoptera: Lampyridae), from Malaysia, with observations on
a possible copulation clamp. Raffles Bulletin of Zoology. 49(2): 363-378.
Borror DJ, White RE. 1970. Peterson Field Guides: Insects. Boston (US):
Houghton Mifflin Company.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Pengertian dalam
Buletin Curah Hujan. Buletin Meteorologi. Edisi 055. Batam (ID): Stasiun
Meteorologi Hang Nadim Batam.
David TS, Gash JHC, Valente F, Pereira JS, Ferreira MI, David JS. 2006. Rainfall
interception by isolated evergreen oak tree in a Mediterranean savannah.
Hydrological Processes. 20(13): 2713-2726.
De Wasseige C, Bastin D, Defourny P. 2003. Seasonal variation of tropical forest
LAI based on field measurements in Central African Republic. Agricultural
and Forest Meteorology. 119(3): 181-194.
[Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat]. 2007. Taman Wisata Alam Situ Gunung.
[Internet]. (diunduh 2014 Apr 11). Tersedia pada: http://www.
http://dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=4
73&idMenu=486.
Essig EO. 1958. College Entomology. 5th ed. New York (US): MacMillan
Company.
[Evergreen Outdoor Center]. 2014. Firefly canoe tour. [internet]. [diacu 2014 Mei
9]. Tersedia dari: http://www.evergreen-hakuba.com/tours/hotaru.html.
Fries A, Rollenbeck R, Nauß T, Peters T, Bendix J. 2012. Near surface air
humidity in a megadiverse Andean mountain ecosystem of southern
Ecuador and its regionalization. Agricultural and Forest Meteorology. 152:
17-30.
Fu X, Wang Y, Lei C, Nobuyoshi O. 2005. The swimming behavior of the aquatic
larvae of the firefly Luciola substriata (Coleoptera: Lampyridae). The
Coleopterists Bulletin. 59(4): 501-505.
Fu X, Nobuyoshi O, Vencl FV, Lei C. 2006. Life cycle and behaviour of the
aquatic firefly Luciola leii (Coleoptera: Lampyridae) from Mainland China.
Can Entomol. 138(06): 860-870.
Fu X, Ballantyne L, Lambkin C. 2012. The external larval morphology of aquatic
and terrestrial Luciolinae fireflies (Coleoptera: Lampyridae). Zootaxa 3405:
1-34.
22
Gómez JA, Giráldez JV, Fereres E. 2001. Rainfall interception by olive trees in
relation to leaf area. Agricultural Water Management. 49(1): 65-76.
Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insects: An Outline of Entomology. Ed ke-2.
Oxford (UK): Blackwell Science Ltd.
Iijima Y, Shinoda M. 2002. The influence of seasonally varying atmospheric
characteristics on the intensity of nocturnal cooling in a high mountain
hollow. Applied Meteorology. 41(7): 734-743.
Jusoh WFAW, Hashim NR, Ibrahim ZZ. 2010. Distribution and abundance of
Pteroptyx fireflies in Rembau-Linggi Estuary, Pen