Pengadaan Bahan Baku Produk Edible Dishware

PENGADAAN BAHAN BAKU PRODUK EDIBLE DISHWARE

NOVI KURNIAWAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengadaan Bahan Baku
Produk Edible Dishware adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014

Novi Kurniawan
NIM F34100006

ABSTRAK
NOVI KURNIAWAN. Pengadaan Bahan Baku Produk Edible Dishware.
Dibimbing oleh INDAH YULIASIH dan M ARIF DARMAWAN
Edible dishware merupakan produk baru yang dikembangkan berdasarkan
pendekatan kanvas model bisnis. Terdapat empat komponen penunjang yang
berhubungan dengan bahan baku yaitu key resorces, key activities, key partnes,
dan cost structure. Keempat komponen tersebut berkaitan dengan pemasok
sebagai mitra, pembelian, distribusi, persediaan, dan biaya-biaya yang harus
dikeluarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria pemilihan
pemasok, membuat perencanaan proses pengadaan bahan baku dan menganalisis
biaya yang timbul dari proses tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan wawancara terhadap pemasok dan pengamatan langsung di lapangan.
Berdasarkan hasil analisis bahwa pemasok terbaik yaitu Toko Makmur Cileungsi,
Makmur Pasar Anyar, Kimia Setia Guna, dan Bratachem Bogor. Sistem lot untuk
bahan baku tepung terigu, minyak kelapa, garam, baking soda, dan lesitin cair
yaitu L4L, POQ, POQ, L4L, dan POQ. Biaya pengadaan bahan baku selama enam
periode pertama terdiri dari biaya distribusi sebesar Rp 325.000, biaya opportunity

of capital sebesar Rp 50.894, dan biaya telepon sebesar Rp 33.000 dengan total
keseluruhan biaya Rp 408.894.
Kata kunci : bahan baku, edible dishware, pemasok, pengadaan bahan baku.

ABSTRACT
NOVI KURNIAWAN. Raw Materials Procurement of Edible Dishware.
Supervised by INDAH YULIASIH and M ARIF DARMAWAN
Edible dishware is a new product developed based on business model
canvas. There are four supporting components related to raw materials, i.e.: key
resources, key activities, key partners, and cost structure. These four components
are related to suppliers as partners, purchase, distribution, inventory, and costs.
This study aims to identified a criteria suppliers selection, making the right
planning and analyze costs of raw materials procurement process. Data was
collected by interview with suppliers and direct observation in the field. Based on
analysis the best suppliers or store of raw materials are Makmur Cileungsi,
Makmur Pasar Anyar, Setia Guna Chemical and Bratachem Bogor. Lot system for
wheat flour, coconut oil, salt, baking soda, and liquid lecithin are L4L, POQ, POQ,
L4L, and POQ. Procurement costs of raw materials during the sixth period
consists of distribution costs is Rp 325.000, opportunity cost of capital is Rp
50.894 , call charges is Rp 33.000 and for total cost is Rp 408.894.

Keywords : raw materials, edible dishware, suppliers, raw materials procurement

PENGADAAN BAHAN BAKU PRODUK EDIBLE DISHWARE

NOVI KURNIAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengadaan Bahan Baku Produk Edible Dishware
Nama

: Novi Kurniawan
NIM
: F34100006

Disetujui oleh

Dr Indah Yuliasih, STP, MSi
Pembimbing I

M Arif Darmawan, STP, MT
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini berjudul “Pengadaan Bahan Baku
Produk Edible Dishware”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Indah Yuliasih, STP, MSi dan
Bapak Muhammad Arif Darmawan, STP, MT selaku dosen pembimbing, Bapak
Dr Ir Aji Hermawan, MM selaku dosen penguji, dan lembaga Recognition and
Mentoring Program (RAMP) IPB yang telah banyak memberi saran sekaligus
mendanai penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis ucapakan pada Ibu
Linda Kartika (Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), Bapak Indra (Sub
Bidang Fisik Bappeda Jawa Barat) dan Bapak Agus Subianto (Distributor tepung
wilayah Bogor) yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan
satu tim dalam pengembangan produk edible dishware ini yaitu Lupita Maulida
Munawar dan Ginanjar Ummi Pratiwi atas kerja sama dan masukannya. Terima
Kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan perhatian, motivasi dan
nasehatnya Rieska, Achor, Sutresno, Krisna, Rahmy Ardani, Ardi Patriadi, Rhida,
Ari, Ardi Ginting, Ratna, Annisa, Prayuga, Hadi, dan Mawardi; rekan-rekan satu
bimbingan Alin, Elok, Feriska, Suci, Ismanda; TIN 47, IKAMUSI Sumatera

Selatan, BEM Fateta, dan seluruh teman-teman, kerabat, serta pihak yang telah
membantu dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Novi Kurniawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2


Pengumpulan data

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kanvas Model Bisnis

8

Lokasi Industri

9


Karakteristik Bahan Baku

10

Kebutuhan Bahan Baku

11

Pemasok Bahan Baku

13

Klasifikasi Bahan Baku

15

Persediaan Pengaman dan Titik Pemesanan Kembali

16


Biaya Pengadaan Bahan Baku

16

Material Requirement Planning (MRP)

17

Total Biaya Pengadaan Bahan Baku

19

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19


Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HDUP

35

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Total nilai masing-masing alternatif daerah
Karakteristik bahan baku
Jumlah target market produk edible dishware (pcs)
Formula bahan baku produk edible dishware
Bobot masing-masing produk berdasarkan rendemen produksi
Total bahan baku yang dibutuhkan berdasarkan bobot produk
Kebutuhan masing-masing bahan baku produk edible dishware
Calon pemasok bahan baku
Data pemasok bahan baku terpilih
Klasifikasi bahan baku berdasarkan hukum pareto
Jumlah safety stock dan reorder point
Biaya pengadaan bahan baku
Rencana pemesanan dan penerimaan bahan baku (kg)
Total biaya pengadaan bahan baku (Rp)

10
11
11
12
13
13
13
13
14
15
16
17
18
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Diagram alir penelitian
Proses pemilihan lokasi produksi edible dishware
Masukan dan keluaran dalam metode MRP
Struktur produk edible dishware

3
4
6
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Penilaian kriteria lokasi produksi
Neraca massa produksi edible dishware
Data calon pemasok bahan baku
Perhitungan biaya opportunity of capital per kg bahan (Rp/periode)
Ukuran lot material requirement planning (kg)

22
23
24
26
27

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Edible dishware adalah jenis kemasan yang berfungsi sebagai wadah suatu
bahan pangan. Kemasan edible dishware berasal dari sumber terbarukan, yaitu
berbasis pati atau tepung sehingga memiliki potensi menggantikan penggunaan
kemasan konvensional seperti plastik dan styrofoam. Selain itu, kemasan edible
dishware bersifat aman dikonsumsi dan dapat terdegradasi sehingga ramah bagi
lingkungan. Aplikasi kemasan edible di Indonesia masih terbatas, padahal produk
edible memiliki prospek yang baik dan berkelanjutan di masa depan.
Pada pelaksanaannya, produsen edible dishware memerlukan bahan baku
untuk melakukan proses produksi. Bahan baku berpengaruh pada keberlanjutan
dan keberlangsungan suatu proses produksi. Dalam merencanakan suatu bisnis
harus memenuhi kriteria kelayakan dari aspek ketersediaan bahan baku. Aspek
bahan baku erat kaitannya dengan biaya yang dibutuhkan untuk menyuplai
kebutuhan produksi.
Mitra penting dari sistem penyediaan bahan baku adalah pemasok bahan
baku. Pemasok berperan dalam memenuhi permintaan bahan baku termasuk
dalam menjamin kualitas dan ketepatan waktu distribusi. Dalam menentukan
pemasok yang tepat perlu diperhatikan aspek lokasi, jumlah ketersediaan dan
prosedur pemesanannya. Efektifitas dan keuntungan yang tinggi didapatkan dari
pemilihan pemasok yang tepat dengan berbagai pertimbangan seperti waktu,
harga dan biaya distribusi bahan baku tersebut.
Sebuah perusahaan akan selalu berusaha melakukan berbagai strategi untuk
mendapatkan tingkat efektifitas dan keuntungan yang tinggi. Jumlah pemesanan
bahan baku harus seoptimal mungkin sesuai dengan kebutuhan. Jumlah
pemesanan akan berpengaruh pada total biaya pemesanan yang harus dikeluarkan
oleh produsen. Penggunaan bahan baku seringkali tidak teratur, baik dari segi
jumlah dan frekuensinya sehingga perlu dilakukan penyimpanan sebagai barang
persediaan (inventory). Pengadaan dan pengendalian persediaan bahan baku
berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses produksi. Menurut Indrajit dan
Djokopranoto (2005) biaya persediaan barang dalam susunan aset perusahaan
manufaktur sekitar 31%. Sebagai salah satu barang persediaan, bahan baku
memiliki aset yang cukup besar dari sebuah perusahaan sehingga perlu dilakukan
upaya perencanaan dalam menentukan jumlah, frekuensi, dan biaya-biaya yang
timbul dari persediaan tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kriteria pemilihan pemasok,
membuat perencanaan pengadaan dan menganalisis biaya yang timbul pada
proses pengadaan bahan baku produk edible dishware. Penelitian ini digunakan
untuk melakukan start up business produk tersebut.

2

Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah mengembangkan model bisnis
menggunakan kanvas model bisnis yang berfokus pada key resources, key
partners, key activities, dan cost structure. Keempat kunci tersebut merupakan
komponen pendukung dari suatu rencana bisnis yang ingin dikembangkan.
Penelitian ini difokuskan pada pengadaan sumber daya berupa bahan baku,
memilih pemasok yang digunakan sebagai mitra dan menghitung biaya yang
timbul dari proses pengadaan bahan baku tersebut.

METODE
Bahan baku merupakan faktor penting untuk memperlancar proses produksi,
sehingga diperlukan manajemen yang baik terhadap ketersediaan bahan baku.
Manajemen bahan baku berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pembelian, distribusi,
dan persediaan. Tahap pertama pada penelitian ini adalah menentukan lokasi
untuk memproduksi produk edible dishware. Lokasi produksi yang dipilih akan
menentukan proses pemilihan pemasok bahan baku. Alternatif yang dipilih
merupakan lokasi yang mewakili kemudahan akses distribusi terhadap pasar yang
dituju (target market). Lokasi tersebut terdapat pada beberapa daerah startegis
yaitu Kabupaten Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Ketiga daerah tersebut
merupakan wilayah terpadu Jabodetabek yang memiliki akses distribusi yang
baik. Pemilihan lokasi ini menggunakan metode perbandingan eksponensial untuk
mengetahui perbandingan profil umum antar daerah alternatif.
Selanjutnya adalah mengidentifikasi karakteristik bahan baku yang
digunakan untuk memproduksi edible dishware terkait jenis bahan baku dan
kualitas yang diinginkan. Karakteristik ini didapatkan dari standar mutu masingmasing bahan baku untuk membentuk produk yang diinginkan. Tahap selanjutnya
adalah menentukan kebutuhan bahan baku berdasarkan kapasitas produksi yang
diinginkan. Kapasitas didasarkan pada jumlah pasar yang dituju dan jumlah waktu
produksi.
Karakteristik dan jumlah kebutuhan bahan baku digunakan sebagai acuan
untuk melakukan observasi terhadap pemasok yang potensial. Observasi berkaitan
dengan lokasi, jumlah ketersediaan, dan prosedur pemesanan. Setelah itu
dilakukan identifikasi kriteria pemilihan pemasok terdiri dari waktu penerimaan
bahan baku setelah pemesanan (lead time), biaya pemesanan, biaya distribusi,
harga, dan ketentuan minimum pesanan.
Selanjutnya menentukan tingkat kepentingan bahan baku menggunakan
hukum pareto (analisis ABC) untuk mengetahui jumlah penyerapan modal
sehingga dapat menentukan tingkat pengawasan masing-masing bahan baku.
Tingkat pengawasan ini penting sebagai acuan dalam manajemen pengadaan
masing-masing bahan baku. Tahap akhir penelitian ini adalah membuat
perencanaan pengadaan bahan baku berdasarkan biaya yang paling minimal
selama enam periode analisis. Selanjutnya adalah menghitung keseluruhan biaya
yang timbul dari proses pengadaan bahan baku tersebut. Tahapan yang akan
dilakukan pada penelitian ini tersaji pada Gambar 1.

3

Mulai
Penentuan rencana lokasi produksi
Identifikasi karakteristik bahan baku
Penentuan kebutuhan bahan baku
Observasi calon pemasok bahan baku
Pemilihan pemasok bahan baku
Klasifikasi bahan baku
Perencanaan pemesanan dan pengendalian
persediaan bahan baku
Menghitung biaya pengadaaan
bahan baku

Selesai
Gambar 1 Diagram alir penelitian

Pengumpulan Data
Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dilakukan dengan wawancara kepada calon pemasok bahan
baku, melakukan pengamatan di lapangan yang berhubungan dengan distribusi
bahan baku, kuisioner pakar mengenai alternatif daerah untuk memproduksi
produk edible dishware, dan wawancara kepada pihak yang berkaitan dengan
prosedur pendirian suatu tempat produksi. Data primer yang diperlukan adalah
data yang berhubungan dengan proses pembelian, distribusi, penyimpanan, nilai
perbandingan alterntif daerah, dan mekanisme dalam mendirikan sebuah tempat
produksi. Data sekunder didapatkan dari badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Jawa Barat mengenai rencana tata ruang wilayah (RTRW)
daerah alternatif, penelitian mengenai pengembangan produk dan pasar edible
dishware, serta literatur-literatur dan penelitian yang relevan.

4

Analisis Data
Penentuan Lokasi Produksi
Dalam menentukan sebuah lokasi produksi suatu bisnis, maka yang pertama
harus dilakukan adalah menentukan daerah (kabupaten atau kota) yang strategis
untuk bisnis tersebut. Hal ini dikarenakan lingkup terkecil yang mengatur
penggunaan lahan adalah pemerintah daerah tersebut. Daerah yang menjadi
prioritas tertinggi selanjutnya ditentukan lokasi spesifik berdasarkan keunggulankeunggulan yang dimiliki lokasi tersebut. Proses penentuan lokasi produksi
produk edible dishware seperti tersaji pada Gambar 2.

Mulai
Daerah prioritas tertinggi berdasarkan MPE
Lokasi spesifik tempat produksi

Kelayakan lokasi

Tidak
Ya
Lokasi terpilih

Selesai
Gambar 2 Proses pemilihan lokasi produksi produk edible dishware
Setiap alternatif daerah memiliki perbedaan dengan daerah lainnya sehingga
untuk menentukan prioritas daerah yang dipilih dapat menggunakan metode
perbandingan eksponensial (MPE) melalui penilaian pakar dengan beberapa tahap
yang harus dilakukan yaitu:
1 Menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih berupa daerahdaerah yang memungkinkan untuk pendistribusian secara cepat di wilayah
Jabodetabek dan sekitarnya.
2 Menentukan kriteria-kriteria penilaian.
3 Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan.
4 Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria.
5 Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif.
6 Menentukan urutan prioritas keputusan berdasarkan pada skor atau nilai total
masing-masing alternatif.
Menurut Marimin (2005) formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif
pada metode perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut:

5

m


TNi
RKij
TKKj
j
i

= Total nilai alternatif ke-i
= Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
= Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0; bulat
= ,2,3,…m; m = Jumlah kriteria keputusan
= ,2,3,…n; n = Jumlah pilihan alternatif

Sistem Klasifikasi Bahan Baku
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan tingkat kepentingan
bahan baku adalah:
1 Mengumpulkan data bahan baku yang akan dianalisis yaitu harga dan
kebutuhan per periode bahan baku.
2 Menghitung nilai barang dengan mengalikan harga dan kebutuhan per periode
bahan baku.
3 Melakukan sortir berdasarkan nilai barang dalam satu periode dari yang paling
besar ke yang paling kecil.
4 Mengakumulasikan nilai barang dan menghitung persentasenya.
5 Mengelompokkan bahan baku kedalam kelas A (bahan baku dengan nilai
kumulatif sampai dengan 70%), B (bahan baku dengan nilai kumulatif sampai
dengan 20%) dan C (bahan baku dengan nilai kumulatif sampai dengan 10%)
sesuai dengan persentase nilai barang.
6 Menganalisis kelas bahan baku dan menentukan tingkat pengawasannya.
Hasil klasifikasi ini akan berpengaruh pada pengawasan terhadap bahan
baku tersebut. Indrajit dan Djokopranoto (2005) menyatakan bahwa bahan baku
dengan kategori A harus sangat akurat, perlu ditugaskan orang khusus, dan harus
dilakukan pencatatan aktual setiap minggunya. Bahan baku kategori A juga
sebaiknya disimpan di tempat yang dekat dengan pengawas. Sementara untuk
bahan baku kategori B dan C pengawasan bersifat cukup saja.
Jumlah Pemakaian Bahan Baku
Jumlah pemakaian bahan baku ditentukan berdasarkan total permintaan
pasar (target market), jam produksi, rendemen produk, dan jumlah bahan baku
dalam formulasi. Total permintaan pasar adalah jumlah produk yang direncanakan
akan diproduksi, sedangkan rendemen produk adalah jumlah produk yang dapat
dihasilkan oleh mesin produksi. Jumlah pemakaian bahan baku menunjukkan
besar permintaan bahan baku setiap periodenya. Untuk menentukan banyaknya
bahan baku yang dibutuhkan maka dilakukan perhitungan neraca massa bahan
mulai dari proses pencampuran sampai pendinginan (cooling). Perhitungan neraca
massa menggunakan basis 100 gram bahan. Neraca massa akan menunjukkan
jumlah keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan. Untuk menghitung jumlah
masing-masing bahan baku maka digunakan persentase dari formula terpilih
produk edible dishware. Pada perencanaan pemesanan dan persediaan, waktu
produksi yang digunakan yaitu selama satu periode. Periode pemakaian
merupakan jumlah kebutuhan bahan baku setiap bulannya. Pada penelitian ini
waktu produksi direncanakan sebanyak 12 bulan per tahun, 24 hari per bulan, dan

6

8 jam per hari. Target market merupakan kapasitas awal yang akan diproduksi
berdasarkan peluang permintaan produk selama satu tahun, sehingga untuk
menentukan kebutuhan per hari dibagi jumlah hari produksi selama setahun.
Persediaan Pengaman dan Titik Pemesanan Kembali
Persediaan pengaman (SS) berguna untuk menjaga kemungkinan terjadinya
kekurangan bahan baku yang disebabkan oleh keterlambatan, kerusakan, dan
penggunaan yang berlebih. Persediaan pengaman menggunakan konsep tingkat
layanan (service level). Menurut Russel dan Taylor (2006) service level
merupakan kemungkinan persediaan yang dapat disediakan untuk memenuhi
permintaan selama waktu pemesanan (lead time).
SS = d x L x z
= Safety stock (kg)
= Pemakaian bahan baku selama waktu tunggu (kg)
= Lead time (hari)
= Tingkat layanan (%)
Reorder point (ROP) atau titik pemesanan kembali bahan baku dilakukan
untuk mempertahankan jumlah persediaan agar tetap optimal dan sebagai titik
acuan jumlah persediaan minimal yang harus ada selama proses pemesanan bahan
baku. ROP dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Russel dan
Taylor 2006):

SS
d
L
z

ROP = (d x L) + SS
ROP
d
L
SS

= Reorder point (kg)
= Pemakaian bahan baku selama waktu tunggu (kg)
= Waktu tunggu (hari)
= Safety stock (kg)

Material Requirement Planning System
Material requirement planning (MRP) merupakan teknik perencanaan dan
penjadwalan aliran barang (Indrajit dan Djokopranoto 2005). Sistem MRP
menerapkan prinsip keterkaitan antar bahan baku untuk membuat suatu produk
yang utuh yaitu suatu produk tidak akan diproduksi jika salah satu bahan baku
tidak tersedia (dependen). Pada MRP setiap kebutuhan dihitung sesuai dengan
kebutuhan masing-masing bahan baku dan dihitung secara berkala (periode tetap).
Proses yang terjadi dalam sistem MRP dapat dilihat pada Gambar 3.





Input
1 Bill of material
2 Data persediaan
3 Jadwal produksi utama

Proses MRP

Output
1 Pemesanan kembali
2 Penjadwalan kembali
pesanan

Gambar 3 Masukan dan keluaran dalam metode MRP

7

Dalam metode MRP dikenal beberapa teknik untuk menentukan ukuran lot
pemesanan yaitu teknik lot fot lot (L4L), economic order quantity (EOQ), dan
periodic order quantity (POQ). Menurut Russel dan Taylor (2006) Pemesanan
bahan baku teknik L4L didasarkan pada jumlah yang dibutuhkan pada setiap
periode saja, sehingga perusahaan tidak memerlukan pemesanan berlebih selama
dapat memenuhi kebutuhan periode tersebut. Teknik EOQ merupakan jumlah
minimum order yang harus dipesan berdasarkan biaya pemesanan (ordering cost)
dan biaya penyimpanan (carrying cost) paling ekonomis. POQ merupakan teknik
pemesanan berdasarkan jumlah periode yang dapat digabung. Berikut ini adalah
rumus pemesanan bahan baku masing-masing teknik tersebut.
L4L quantity = D + SS

EOQ

POQ
D
SS
Co
Cc

= Kebutuhan per periode (kg)
= Safety stock (kg)
= Ordering cost (Rp)
= Carrying cost (Rp)



2

+ SS


+ SS

Menghitung Biaya Persediaan Bahan Baku
Secara umum biaya yang timbul dari proses pengadaan bahan baku terdiri
dari biaya pemesanan, pengangkutan, kehabisan barang, penyimpanan, dan biayabiaya lainnya seperti pajak dan asuransi (Indrajit dan Djokopranoto 2005). Dalam
penelitian ini, sangat sulit untuk menentukan biaya kehabisan barang namun biaya
ini sudah diantisipasi dengan adanya persediaan pengaman (safety stock). Pajak
juga tidak diperhitungkan karena semua pajak umumnya sudah masuk pada
bagian perhitungan pajak secara umum, sedangkan asuransi tidak diberlakukan
pada bahan baku. Untuk menghitung biaya pengadaan bahan baku hanya pada
biaya pemesanan dan biaya penyimpanan.
PC = (Frekuensi pemesanan x Co) + ∑persediaan
PC = Procurement cost (Rp)
Co = Ordering cost (Rp)
Cc = Carrying cost (Rp)

Cc)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kanvas Model Bisnis
Kanvas model bisnis dikembangkan oleh Osterwalder dan Pigneur (2010).
Dalam model bisnis tersebut menggambarkan sembilan komponen bangunan
dasar sebuah perusahaan untuk menghasilkan uang. Kesembilan komponen
tersebut adalah segmen pelanggan (customer segments), proposisi nilai (value
proposition), saluran (channel), hubungan pelanggan (customer relationship),
aliran pendapatan (revenue streams), sumberdaya kunci (key resorces), aktivitas
kunci (key activities), kemitraan (key partners), dan struktur biaya (cost
structure). Dari sembilan komponen tersebut empat kompenen terakhir yaitu key
resorces, key activities, key partners, dan cost structure merupakan komponen
yang berhubungan dengan proses pengadaan bahan baku.
Sumberdaya Kunci (Key Resources)
Sumber daya yang dibutuhkan sebuah bisnis umumnya terbagi menjadi
empat yaitu sumberdaya manusia, teknologi, finansial, dan sumberdaya fisik
(bahan baku). Sumberdaya merupakan komponen penting agar perusahaan dapat
menciptakan proposisi nilai, mempertahankan pelanggan, dan menciptakan arus
pendapatan. Bahan baku merupakan sumber daya kunci untuk produk edible
dishware. Bahan baku yang dibutuhkan adalah tepung terigu, minyak kelapa,
baking soda, garam, lesitin cair dan air.
Aktivitas Kunci (Key Activities)
Aktivitas kunci merupakan kegiatan utama yang dikuasai oleh perusahaan
untuk menjalankan bisnis. Pengadaan bahan baku merupakan salah satu dari
aktivitas kunci untuk menjamin keberlangsungan proses produksi. Aktivitas kunci
pengadaan bahan baku terdiri dari pemesanan, distribusi, dan persediaan
(inventory).
Kemitraan (Key Partners)
Mitra merupakan perantara yang bukan milik perusahaan tetapi berperan
dalam mengubah produk menjadi uang. Mitra dari bisnis ini adalah pemasok
bahan baku, pemasok kemasan, dan jasa distribusi. Pemasok bahan baku untuk
bisnis ini terdiri dari toko yang menyediakan tepung terigu, minyak kelapa,
garam, baking soda, dan lesitin cair sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan
produksi. Bahan baku air tidak membutuhkan pemasok karena termasuk bahan
baku yang disediakan dengan membuat instalasi penyediaan air.
Struktur Biaya (Cost Structure)
Struktur biaya adalah bagian yang menjelaskan semua biaya yang ada untuk
menjalankan sebuah model bisnis. Biaya yang dikeluarkan pada bisnis ini adalah
biaya produksi, biaya non produksi, dan biaya penyusutan. Biaya pengadaan
bahan baku umumnya termasuk dalam biaya non produksi. Biaya pengadaan
bahan baku terdiri dari biaya pemesanan dan biaya menyimpan persediaan.

9

Lokasi Industri
Menurut Render dan Heider (2001) keputusan strategis menentukan lokasi
sebuah bisnis tergantung dari jenis bisnisnya. Bisnis pengolahan biasanya
ditempuh dengan meminimisasi biaya sedangkan bisnis eceran atau jasa
cenderung pada maksimisasi pendapatan. Bisnis edible dishware ini merupakan
bisnis pengolahan yang ditujukan untuk bisnis lainnya (business to business) yang
tersebar, sehingga keputusan pemilihan lokasi produksi lebih cocok berdasarkan
pada minimisasi biaya distribusi. Render dan Heider (2001) juga menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi diantaranya biaya tenaga
kerja (UMR), jarak lokasi dengan bahan baku dan pasar, kebijakan fiskal (pajak),
peraturan lingkungan hidup, sarana transportasi, isu kualitas hidup masyarakat,
kurs, dan kualitas pemerintah.
Penentuan lokasi industri berkaitan erat dengan lokasi pasar dan pemasok
bahan baku. Proses pemesanan bahan baku diupayakan seoptimal mungkin dapat
menekan biaya yang timbul dan menyediakan bahan baku secara cepat. Bahan
baku produk edible dishware termasuk dalam kategori bahan baku yang mudah
didapat dan memiliki distributor pada setiap daerahnya sehingga pemenuhan
bahan baku dapat menyesuaikan dengan lokasi yang dipilih. Dari aspek pasar,
berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2014) bahwa potensi pasar dari produk
edible dishware ini terdiri dari restoran di Indonesia yang menyediakan menu es
krim, fast food, menu yang berhubungan dengan adanya penyajian tambahan
seperti sambal, saus, mayones, makaroni schotel, dan lain sebagainya. Jumlah
pasar yang dapat dilayani merupakan restoran dengan skala menengah-besar
sekitar 72% berada di Pulau Jawa. Tahap pengembangan awal produk ini
ditujukan kepada 2% dari total pasar yang dapat dilayani tersebut.
Pasar yang dituju pada tahap pengembangan awal ini merupakan pelanggan
yang tersebar sehingga lokasi produksi harus memiliki akses distribusi yang baik.
Jumlah pasar yang dituju (target market) terbilang sedikit dibandingkan dengan
keseluruhan pasar yang dapat dilayani, sehingga tahap pengembangan awal
produk ini diarahkan pada daerah yang memiliki jumlah pasar yang banyak
dengan fasilitas distribusi yang memadai. Wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi) dan sekitarnya memiliki jumlah restoran yang
lebih banyak dan terus berkembang sehingga tempat produksi diarahkan pada
daerah-daerah tersebut. Daerah alternatif yang dipilih yaitu Kabupaten Bogor,
Bekasi, dan Tangerang. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki
akses langsung dengan wilayah Jabodetabek. Kabupaten Bogor mewakili lingkup
daerah Kota bogor, Depok, dan Jakarta bagian selatan. Kabupaten Bekasi
mewakili Kota Bekasi dan Jakarta bagian timur. Kabupaten Tangerang mewakili
Kota Tangerang dan Jakarta bagian barat. Kabupaten Bogor dan Bekasi
merupakan wilayah pengembangan Provinsi Jawa Barat dengan unggulan sebagai
tempat pengembangan industri (Perda Jawa Barat No 2 Tahun 2003). Kabupaten
Tangerang termasuk dalam wilayah pengembangan nasional terpadu kawasan
Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, dan Cianjur)
sehingga memiliki akses langsung dengan daerah-daerah tersebut (Bappeda
Kabupaten Bogor 2007). Dari hasil penilaian seperti pada Tabel 1 bahwa alternatif
daerah yang memiliki prioritas tertinggi adalah Kabupaten Bogor. Perhitungan
selengkapnya masing-masing daerah alternatif dapat dilihat pada Lampiran 1.

10

Tabel 1 Total nilai masing-masing alternatif daerah
Peringkat
Nama daerah
Total nilai
1
Kabupaten Bogor
1.817.904
2
Kabupaten Bekasi
655.225
3
Kabupaten Tangerang
655.225
Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007) posisi geografis Kabupaten
Bogor yang banyak berbatasan dengan provinsi, kabupaten, dan kota lain disisi
lain memiliki nilai positif bagi perkembangan ekonomi. Kabupaten Bogor dengan
luas mencapai 298 km² berbatasan langsung dengan kota-kota besar di sebelah
utara (Tangerang, DKI dan Bekasi) dan dilihat dari aspek pasar potensi yang
dimilki Kabupaten Bogor dekat dengan pusat-pusat pemasaran. Dalam rencana
tata ruang wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Barat (Perda No 2 Tahun 2003),
Kabupaten Bogor diposisikan sebagai wilayah andalan pengembangan industri
wilayah sekitarnya (Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Lebak, Kabupaten
Tangerang, Kabupaten Bekasi dan Provinsi Jakarta). Dalam arahan rencana
pengembangan kawasan andalan di Jawa Barat, Kabupaten Bogor diklasifikasikan
sebagai kawasan andalan Bodebek (Bogor Depok Bekasi) dengan salah satu
kegiatan utama adalah industri. Kabupaten Bogor, sebagai salah satu hinterland
Provinsi Jakarta merupakan kawasan yang dipandang strategis bagi investasi.
Kabupaten Bogor memiliki variasi dataran, sehingga tidak semua daerah
dapat dimanfaatkan secara keseluruhan untuk pembangunan sebuah industri.
Kawasan peruntukan industri lebih diarahkan pada dataran rendah seperti
Kecamatan Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Cibinong, Citeureup, dan Parung
panjang. Bappeda Kabupaten Bogor (2007) dalam arahanannya pada naskah
akademis rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor, terdapat beberapa klaster
yang disarankan untuk lokasi strategis industri pengolahan. Klaster
Cileungsi/Klapanunggal/Jonggol merupakan daerah yang berdekatan dan
dijadikan sebagai sebuah klaster yang diarahkan pada kelompok industri
manufaktur, industri besar, industri sedang dan industri kecil. Cukup tingginya
tingkat investasi di bidang industri di tiga kecamatan tersebut merupakan
gambaran tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Kecamatan
Cileungsi, Klapanunggal, dan Jonggol juga didukung oleh akses sarana
transportasi yang baik yaitu jalan tol Jagorawi (Jakarta, Bogor, dan Ciawi) yang
juga berhubungan dengan jalan tol lainnya untuk wilayah Jabodetabek dan
sekitarnya sehingga memudahkan akses distribusi produk dan bahan baku. Lokasi
produksi produk edible dishware pada skala start-up ini diarahkan pada klaster
tersebut.

Karakteristik Bahan Baku
Merujuk pada Munawar (2014) bahwa bahan baku yang dibutuhkan dalam
formulasi produk edible dishware adalah tepung terigu, minyak kelapa, garam,
baking soda, lesitin cair, dan air. Penelitian ini mengkhususkan pada bahan baku
yang membutuhkan pemasok sebagai mitra yaitu tepung terigu, minyak kelapa,
garam, baking soda, dan lesitin cair. Kriteria yang dipersyaratkan terdiri dari
kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria umum merupakan standar mutu untuk

11

semua jenis dari masing-masing bahan baku tersebut, sedangkan kriteria khusus
adalah standar mutu jenis bahan baku spesifik yang dapat membentuk produk.
Kriteria yang dipersyaratakan merupakan standar agar kualitas produk yang
dihasilkan konsisten. Karakteristik masing-masing bahan baku tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.

Jenis bahan baku
Tepung terigu

Minyak kelapa

Garam
Baking soda
Lesitin cair
Aira

Tabel 2 Karakteristik bahan baku
Kriteria umum
Kriteria khusus
Protein
:≤ %
UP 120 mesh : ±10%
UP 270 mesh : ±35 - 45%
Standar Grade I APPCC FFA : ≤ 0,10 %
dan SNI Minyak Goreng BP : ≤ ,5 Meq
3741 : 1995
SNI Garam 3556 : 2010
emurnian : ≥ 99,25%
NaCl
Co A Baking Soda
Co A LECICO F 2000
SNI Tepung Terigu 3751
: 2009

Sumber : Munawar (2014); abahan baku air tidak dilakukan identifikasi kriteria mutu; UP : ukuran
pratikel, FFA : free fatty acid, BP : bilangan peroksida.

Kebutuhan Bahan Baku
Formula yang dikembangkan pada pembuatan produk edible dishware
adalah formula industri, sehingga memudahkan dalam proses pembesaran skala.
Selain itu, formula tersebut sudah diproduksi secara komersial dalam bentuk
produk lainnya. Skala yang direncanakan pada penelitian ini adalah skala start up,
yaitu skala awal berdasarkan kemampuan produksi dan tersedianya pasar yang
dituju. Kapasitas produksi yang direncanakan berdasarkan jumlah target market
(TM) dan jumlah jam produksi. Berdasarkan Pratiwi (2014) bahwa target market
untuk produk edible dishware sebanyak 1.030.190 pieces (pcs) per tahun. Jumlah
ini terdiri dari empat macam produk yaitu edible dishware bentuk mangkuk,
piring sedang, piring besar, dan cawan dengan ukuran masing 12, 12, 20, dan 9
cm. Jumlah jam produksi yaitu sebanyak 12 bulan per tahun, 24 hari per bulan,
dan 8 jam per hari. Jumlah target market masing-masing produk tersebut seperti
tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah target market produk edible dishware (pcs)
Bentuk produk TM per tahun TM per bulan TM per hari
Mangkuk
210.613
17.551
731
Piring sedang
354.413
29.534
1.231
Piring besar
232.582
19.382
808
Cawan
232.582
19.383
808
Total
1.030.190
85.849
3.578

12

Kapasitas produksi juga berdasarkan kemampuan mesin dalam
memproduksi. Proses produksi terdiri dari pencampuran, pemanggangan, dan
pencetakan. Sistem produksi yang direncanakan adalah sistem batch dimana
produksi dilakukan dalam sebuah siklus secara berurutan berdasarkan waktu baku
masing-masing proses. Menurut Munawar (2014) proses pencampuran semua
bahan dilakukan selam 6 menit, sedangkan pemangangan dan pencetakan
dilakukan dalam satu tahap pengerjaan menggunakan mesin yang dirancang
khusus selam 1,5 menit. Proses terakhir adalah pendinginan (cooling) selama 5
menit, namun proses ini hanya dengan mengistirahatkan produk dan tidak
memerlukan mesin khusus. Total waktu satu batch untuk menghasilkan produk
adalah selama 7,5 menit. Pada skala start up ini sangat memungkinkan untuk
merancang mesin sesuai dengan target dan jam produksi yang direncanakan.
Mesin cetak yang dirancang khusus harus mampu memproduksi edible dishware
bentuk mangkuk, piring sedang, piring besar, dan cawan sebanyak 11, 19, 13, dan
13 pcs per batch (7,5 menit).
Untuk menghitung kebutuhan bahan baku maka diperlukan rendemen
produk yaitu jumlah produk yang dapat dihasilkan dari hasil konversi bahan baku.
Hasil penelitian Munawar (2014) bahwa pada mesin cetak khusus dengan total
bahan baku sebanyak 242,05 gram akan menghasilkan produk sebanyak 120 gram
atau rendemen sebesar 49,6%. Neraca massa bahan pembuatan produk edible
dishware dapat dilihat pada Lampiran 2. Bahan baku yang dibutuhkan untuk
membentuk produk edibe dishware terdiri dari tepung terigu, minyak kelapa,
garam, baking soda, dan air. Dalam formula terpilih berdasarkan Munawar (2014)
bahwa masing-masing bahan baku memiliki jumlah yang tetap untuk membuat
produk yang standar. Jumlah dan persentase masing-masing bahan baku dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Formula bahan baku produk edible dishware
Bahan baku
Formula (g)
Persentase (%)
Tepung terigu
100
41,314
Minyak kelapa
1
0,413
Garam
0,5
0,207
Baking soda
0,5
0,207
Lesitin cair
0,05
0,021
Air
140
57,839
Total
242,05
100,00
Rendemen ini akan menghasilkan jumlah produk yang berbeda untuk
masing-masing bentuk produk. Keempat jenis produk yang dihasilkan mempunyai
karakter dan kondisi operasi yang sama, sehingga berdasarkan jumlah produk
yang dapat dihasilkan dapat diketahui bobot masing-masing produk. Tabel 5
menunjukkan bobot masing-masing jenis produk. Berdasarkan bobot masingmasing jenis produk tersebut maka dapat diketahui jumlah total bobot produk
berdasarkan kapasitas yang direncanakan. Total bobot produk selanjutnya
dikonversi menjadi kebutuhan total bahan baku berdasarkan rendemen produksi.
Hasil konversi total kebutuhan bahan baku dapat dilihat pada Tabel 6.

13

Tabel 5 Bobot masing-masing produk berdasarkan rendemen produksi
Bahan baku Jumlah produk Rendemen Bobot
Bentuk produk
(g)
(pcs)
(%)
(g/pcs)
Mangkuk
242,05
7
49,6
17
Piring sedang
242,05
7
49,6
17
Piring besar
242,05
4
49,6
30
Cawan
242,05
15
49,6
8
Tabel 6 Total bahan baku yang dibutuhkan berdasarkan bobot produk
Target market Bobot Total bobot Jumlah bahan baku
Bentuk produk
(pcs/hari)
(g/pcs)
(kg/hari)
(kg/hari)
Mangkuk
731
17
12,4
25,1
Piring sedang
1.231
17
20,9
42,2
Piring besar
808
30
24,2
48,8
Cawan
808
8
6,5
13,0
Total
3.578
72
64,0
129,1
Berdasarkan persentase masing-masing bahan baku pada Tabel 4 dan total
kebutuhan bahan baku pada Tabel 6 dapat diketahui jumlah kebutuhan masingmasing bahan baku. Berdasarkan total bahan baku sebanyak 129,1 kg/hari maka
dapat dikonversi menjadi kebutuhan masing-masing bahan baku seperti pada
Tabel 7.
Tabel 7 Kebutuhan masing-masing bahan baku produk edible dishware
Persentase Kebutuhan per Kebutuhan per
Bahan baku
(%)
hari (kg)
bulan (kg)
Tepung terigu
41,314
53,34
1280,1
Minyak kelapa
0,413
0,53
12,8
Garam
0,207
0,27
6,4
Baking soda
0,207
0,27
6,4
Lesitin cair
0,021
0,03
0,6
Air
57,839
74,67
1792,1
Total
100,00
129,10
3098,4

Pemasok Bahan Baku
Proses pembelian umumnya merupakan kegiatan yang memerlukan biaya
yang cukup besar. Proses pembelian bahan baku erat kaitannya dengan kinerja
pemasok. Pada rantai pasokan (supply chain) interaksi yang terjadi antara
pemasok dan perusahaan merupakan tahap awal berlangsung proses yang terjadi
di industri. Calon pemasok bahan baku merupakan toko yang dapat memenuhi
bahan baku sesuai kebutuhan per bulannya dan memiliki bahan baku sesuai
dengan spesifikasi. Calon pemasok potensial hasil observasi dapat dilihat pada
Tabel 8. Penentuan pemasok bahan baku produk edible dishware dilakukan
dengan mengaji jarak lokasi pemasok, proses distribusi, harga yang ditawarkan,
biaya yang timbul dari proses pembelian, dan ketentuan pesanan dari pemasok.

14

Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut selanjutnya dilakukan pengumpulan data
melalui wawancara dan pengamatan terhadap semua calon pemasok. Data kriteria
keseluruhan pemasok dapat dilihat pada Lampiran 3.

Jenis bahan baku
Tepung terigu
Minyak kelapa
Garam
Baking soda
Lesitin cair

Tabel 8 Calon pemasok bahan baku
Nama toko
Lokasi
Makmur
Cileungsi, Kabupaten Bogor
Yoeks
Jl Salak, Kota Bogor
Makmur
Pasar Anyar, Kota Bogor
Setia
Pasar Anyar, Kota Bogor
Makmur
Cileungsi, Kabupaten Bogor
Yoeks
Jl Salak, Kota Bogor
Kimia Setia Guna
Pasar Anyar, Kota Bogor
Yoeks
Jl Salak, Kota Bogor
Bratachem
Pasar Anyar, Kota Bogor
Bratachem
Manga Besar, Jakarta

Data yang telah didapatkan kemudian dibandingkan antar pemasok dan
ditentukan pemasok terbaiknya. Pemasok bahan baku tepung terigu adalah Toko
Makmur Cileungsi karena jarak yang berdekatan sehingga biaya distribusi lebih
murah dan ketentuan minimum pesanan hanya sebesar 25 kg sehingga
memudahkan dalam mengantisipasi fluktuasi penggunaan bahan baku. Toko
Makmur Cileungsi juga sebagai pemasok bahan baku garam, hal ini dikarenakan
biaya bahan baku yang lebih murah dan jarak lokasi yang lebih dekat. Pemasok
bahan baku minyak kelapa dan baking soda adalah Toko Makmur Pasar Anyar
dan Kimia Setia Guna. Harga bahan baku yang lebih murah merupakan faktor
pertimbangan pemilihan toko tersebut. Pemasok bahan baku lesitin cair adalah
Toko Bratachem Bogor, faktor ketentuan minimum pesanan menjadi
pertimbangan pemilihan toko tersebut. Data kriteria masing-masing pemasok
terpilih dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Data pemasok bahan baku terpilih
Kriteria
Harga (Rp)
Biaya
Pengangkutan (Rp)
Biaya pemesanan
(Rp)
Lead time (hari)
Minimum order
(kg)

Makmur
Cileungsi
154.000
/25 kg
1.000
/25 kg
3.000
/order
1
25

Nama pemasok (toko)
Makmur
Makmur Kimia Setia
Pasar
Cileungsi
Guna
Anyar
313.500
55.000
220.000
/17 kg
/12 kg
/25 kg
13.000
0
0
/order
/order
/order
3.000
3.000
3.000
/order
/order
/order
1
17

1
12

1
25

Bratachem
Bogor
50.000
/kg
0
/order
3.000
/order
7
1

15

Klasifikasi Bahan Baku
Proses pengadaan bahan baku berhubungan dengan proses pembelian,
distribusi, dan manajemen persediaan. Proses pembelian dan distribusi berkaitan
dengan kontrak yang dijalankan dengan pemasok baik dari segi kualitas, harga,
mekanisme pembayaran, biaya pengangkutan, biaya pemesanan, dan waktu
penyampaian bahan baku. Manajemen persediaan menurut Indrajit dan
Djokopranoto (2005) yaitu kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material sedemikian rupa
sehingga di satu pihak kebutuhan operasi dapat dipenuhi dan di lain pihak
investasi persediaan material dapat ditekan secara optimal.
Strategi pengadaan bahan baku spesifik terhadap jenis perusahaan tertentu,
demikian halnya dengan jenis bahan baku. Untuk menentukan starategi yang tepat
dalam pengadaan bahan baku perlu dilakukan analisis terhadap nilai bahan baku
tersebut. Pengelompokan persediaan dapat menggunakan hukum pareto dimana
persediaan dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan volume dan harga bahan
baku tersebut (analisis ABC). Untuk menghitung nilai dari bahan baku dengan
mengalikan kebutuhan per periode dan harga per unitnya. Klasifikasi bahan baku
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Klasifikasi bahan baku berdasarkan hukum pareto
Bahan Baku
Tepung terigu
Minyak kelapa
Baking soda
Lesitin cair
Garam

Harga
(Rp/kg)
6.160
18.441
8.800
50.000
4.583

Kebutuhan per
periode (kg)
1.280,1
12,8
6,4
0,6
6,4

Nilai (Rp)
7.885.207
236.057
56.323
32.002
29.333

Penyerapan
Modal (%)
95,71
2,87
0,68
0,39
0,36

Klasifikasi
A dan B
C
C
C
C

Dari hasil klasifikasi bahan baku bahwa tepung terigu memiliki penyerapan
modal yang sangat besar yaitu sebesar 95,71%. Bahan baku minyak kelapa,
garam, baking soda, dan lesitin cair hanya sebesar 4,29%. Dari hasil persentase ini
dapat disimpulkan bahwa tepung terigu termasuk dalam kategori A dan B (70 dan
20%), sedangkan minyak kelapa, garam, baking soda, dan lesitin cair termasuk
kategori C (10%). Berdasarkan klasifikasi ini maka dapat memberikan gambaran
mengenai kebijakan yang sesuai dengan bahan baku tersebut. Adapun kebijakan
untuk masing-masing bahan baku adalah:
1 Bahan baku kategori A perlu dilakukan proses pengawasan yang lebih ketat
dengan pengawasan oleh karyawan gudang khusus. Perlu disediakan stok
pengaman pada level pelayanan umunya perusahaan (95%) untuk menjaga
kerugian akibat kehabisan barang. Keakuratan pencatatan dan kenyataan
persediaan perlu dievaluasi setiap minggunya.
2 Bahan baku kategori C pengawasan dilakukan bersifat cukup saja. Bahan baku
kategori C termasuk permintaan dependen terhadap bahan baku kategori A
sehingga perlu disediakan stok pengaman juga pada level pelayanan yang sama
(95%).

16

Persediaan Pengaman dan Titik Pemesanan Kembali
Persediaan pengaman (safety stock) dilakukan perusahaan untuk menjaga
kelancaran produksi karena adanya keterlambatan atau kerusakan bahan baku.
Semakin banyak persediaan pengaman maka terjaganya proses produksi semakin
besar, namun banyaknya persediaan pengaman juga membutuhkan biaya
pemesanan dan biaya penyimpanan yang lebih besar. Perhitungan untuk
menentukan jumlah persediaan pengaman pada penelitian ini menggunakan
tingkat pelayanan yang umumnya digunakan oleh perusahaan yaitu sebesar 95%
(Indrajit dan Djokopranoto 2005).
Reorder point (ROP) atau titik pemesanan kembali diperlukan untuk
mengetahui jumlah persediaan minimal yang harus ada ketika dilakukan
pemesanan. Titik pemesanan kembali dihitung berdasarkan lead time pemesanan.
Jika perusahaan mengambil kebijakan adanya stok pengaman, maka harus
ditambahkan dalam perhitungan titik pemesanan kembali. Besarnya persediaan
pengaman dan titik pemesanan kembali masing-masing bahan baku dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah safety stock dan reorder point
Bahan baku
Tepung terigu
Minyak kelapa
Garam
Baking soda
Lesitin cair

Kebutuhan
per hari (kg)

Lead time
(hari)

Safety
stock

ROP

53,34
0,53
0,27
0,27
0,03

1
1
1
1
7

50,67
0,51
0,25
0,25
0,18

104,01
1,04
0,52
0,52
0,36

Biaya Pengadaan Bahan Baku
Menurut Render dan Heizer (2001) biaya dalam manajemen persediaan
terdiri dari biaya pemesanan (ordering cost), biaya menahan persediaan (carrying
cost), dan biaya pemasangan (set up cost). Biaya penyimpanan adalah biaya yang
berkaitan dengan penahanan persediaan dan berkaitan dengan gudang
penyimpanan. Biaya pemesanan berkaitan dengan biaya-biaya pasokan seperti
biaya formulir, pekerja bongkar muat, dan pengangkutan. Biaya pemasangan
berkaitan dengan biaya-biaya untuk mempersiapkan mesin. Biaya pemasangan
sangat sulit diperkirakan. Sama halnya dengan biaya pemasangan, terdapat biaya
yang juga sangat sulit ditentukan yaitu biaya kehabisan barang (shortage cost)
akibat kebutuhan yang melebihi persediaan. Biaya kehabisan barang ini berkaitan
dengan biaya kehilangan penjualan, kehilangan pelanggan, pesanan khusus, dan
sebagainya (Stevenson 2001 dalam Helena 2005).
Pada proses pengadaan bahan baku produk edible dishware dilakukan
perhitungan hanya pada biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Biaya-biaya
tersebut berdasarkan wawancara dan observasi kepada pihak yang terkait dan
berpengalaman dalam bidang penyediaan bahan baku. Biaya pemesanan yang
dihitung terdiri dari biaya telepon dan biaya pengangkutan, sedangkan biaya

17

penyimpanan memperhitungkan biaya modal (opportunity of capital) yaitu
alternatif pendapatan atas dana yang diinvestasikan dalam persediaan. Biaya
modal dihitung berdasarkan suku bunga bank terbesar jenis tabungan deposito
berjangka selama periode analisis (6 bulan) yaitu sebesar 7% per tahun (Imoney
Indonesia 2014). Perhitungan jumlah bunga deposito dikurangi dengan pajak
deposito yang berlaku yaitu sebesar 20%. Suku bunga beberapa bank besar di
Indonesia jenis tabungan deposito berjangka (6 bulan) dan perhitungan
keuntungan deposito dapat dilihat pada Lampiran 4. Biaya-biaya tersebut
merupakan biaya yang berubah tergantung pada banyaknya jumlah pemesanan
dan persediaan yang disimpan. Sementara biaya yang berhubungan dengan
fasilitas dan pengawasan seperti listrik, air, karyawan, penyusutan gudang, dan
perawatan gudang merupakan biaya tetap yang termasuk dalam direct labor dan
overhead. Biaya pengadaan bahan baku produk edible dishware dapat dilihat pada
Tabel 12.

Jenis bahan
baku
Tepung terigu
Minyak kelapa
Garam
Baking soda
Lesitin cair

Tabel 12 Biaya pengadaan bahan baku
Biaya telepon Biaya pengangkutan Biaya penyimpanan
(Rp/order)
(Rp)
per periode (Rp/kg)
3.000
1.000/bal
29
3.000
13.000/order
86
3.000
0/order
24
3.000
0/order
41
3.000
0/order
233

Material Requirement Planning (MRP)
Permintaan terhadap barang persediaan atau bahan baku dapat dibagi
menjadi permintaan independen dan dependen. Indrajit dan Djokopranoto (2005)
menjelaskan bahwa permintaan independen adalah permintaan bebas atau tidak
terkait antar bahan baku, sedangkan permintaan dependen merupakan permintaan
yang terikat atau tergantung dengan bahan baku lainnya. Bahan baku pembuatan
produk edible dishware merupakan bahan baku yang memiliki ketergantungan
antar masing-masing bahan baku (dependen). Menurut Munawar (2014) teknologi
proses pembuatan edible dishware yaitu dengan cara pencampuran semua bahan
(mixing operation), pemanggangan, dan pembentukan, sehingga satu bahan baku
tidak tersedia maka tidak dapat melakukan proses produksi.
Perencanaan pemesanan yang saling memiliki ketergantungan dapat
menggunakan sistem perencanaan pemesanan bahan (material requirement
planning) atau biasa disingkat MRP. MRP merupakan tipikal untuk perusahaan
manufaktur yang secara periodik melakukan perencanaan dan penjadwalan
terhadap kebutuhan material (bahan baku). Sistem MRP membutuhkan jadwal
produksi induk dan kebutuhan bahan baku berdasarkan struktur produk (bill of
material). Bill of material produk edible dishware hanya pada level 1, karena
semua bahan pembentuk produk tidak diproduksi sendiri. Penentuan jadwal
produksi induk berdasarkan pada permintaan per periodenya. Gambar 4
menunjukkan struktur bahan baku yang diperlukan untuk membuat produk edible
dishware.

18

Level 0

Level 1

Edible dishware

Minyak
kelapa

Tepung
terigu

Baking
soda

Garam

Lesitin
cair

Gambar 4 Struktur produk edible dishware
Tahap selanjutnya adalah melakukan perencanaan pembelian bahan baku.
Jumlah dan periode bahan baku yang harus dibeli berdasarkan pada model lot for
lot (L4L), economic order quantity (EOQ), dan periodic order quantity (POQ).
Ketiga model tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan kebutuhan biaya paling
minimal. Dari hasil perhitungan biaya paling minimal maka bahan baku tepung
terigu, minyak kelapa, garam, baking soda, dan lesitin cair sebaiknya
menggunakan model L4L, POQ, POQ, L4L, dan POQ. Perbandingan biaya yang
dikeluarkan masing-masing metode selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 13 Rencana pemesanan dan penerimaan bahan baku (kg)
Bahan
Baku
Tepung
Terigu

Lot system
L4L

Minyak POQ
Kelapa
Garam

POQ

Baking
Soda

L4L

Lesitin
Cair

POQ

Rec
Rel
Rec
Rel
Rec
Rel
Rec
Rel
Rec
Rel

Periode
0

1

1.400
85
48
25
4

1.400
1.275
85
0
48
0
25
0
4
0

2
1.275
1.275
0
0
0
0
0
0
0
0

3
1.275
1.275
0
0
0
0
0
25
0
0

4
1.275
1.300
0
0
0
0
25
0
0
0

5
1.300
1.275
0
0
0
0
0
0
0
0

6
1.275
0
0
0
0

Rec : Planned order receipts (penerimaan), Rel : Planned order releases (pemesanan).

Tabel 13 menunjukkan jumlah dan jadwal pembelian bahan baku. Bahan
baku tepung terigu direncanakan untuk melakukan pembelian setiap periodenya
(lot for lot). Bahan baku tepung terigu dan baking soda direncanakan melakukan
pesanan berdasarkan kebutuhan per periode (L4L) dengan mempertimbangkan
minimum jumlah pesanan. Bahan baku minyak kelapa, garam dan lesitin cair
direncanakan melakukan pembelian berdasarkan pada periode gabungan yang
paling ekonomis (POQ) yaitu 6 periode.

19

Total Biaya Pengadaan Bahan Baku
Total biaya pengadaan bahan baku dihitung dengan menjumlahkan semua
komponen biaya pada proses pemesanan (ordering cost) dan penyimpanan
(carrying cost) selama 6 perio