Pengembangan produk edible dishware
PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE
LUPITA MAULIDA MUNAWAR
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Produk
Edible Dishware adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Lupita Maulida Munawar
NIM F34100035
ABSTRAK
LUPITA MAULIDA MUNAWAR. Pengembangan Produk Edible Dishware.
Dibimbing oleh INDAH YULIASIH.
Edible dishware merupakan pengembangan produk dari makanan menjadi
wadah peralatan makan edible dishware. Secara bersamaan, kemasan edible aman
dikonsumsi dan dapat menurunkan pencemaran lingkungan. Penelitian diarahkan
pada pengembangan wafer dan opak singkong sebagai produk dasar yang
umumnya berbentuk rigid dan hambar. Penelitian bertujuan mempelajari dan
mendapatkan formula produk, mendapatkan teknologi produksi, serta profil
produk edible dishware. Basis edible dishware ditentukan melalui formulasi 2
produk dasar sampai diperoleh formula terpilih yang memenuhi aspek teknologi
produksi dan profil produk. Formula edible dishware terbaik adalah wafer skala
industri dengan komposisi bahan terigu, minyak kelapa, lesitin kedelai cair, garam,
baking soda, dan air. Teknologi produksi terdiri atas pencampuran all-in
menggunakan air dingin (± 17 oC) selama 6 menit, pemanggangan sekaligus
pencetakan dalam 1 tahap menggunakan mesin khusus pada suhu 150 oC selama 4
menit, dan cooling selama 5 menit. Edible dishware berbentuk piring kecil
berukuran diameter 9 cm dengan bobot per unit 8 gram menyumbang kebutuhan
1,5% energi; 0,1% lemak; 1,4% protein; dan 2,2% karbohidrat terhadap Angka
Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata. Pengujian ketahanan menunjukkan batas waktu
maksimal produk kontak dengan udara adalah 90 menit dengan kadar air kritis
sebesar 4,3776% (b/b). Penanganan produk terdiri atas penanganan pada tingkat
produsen dan konsumen.
Kata kunci: edible dishware, kemasan edible, opak singkong, wadah, wafer
ABSTRACT
LUPITA MAULIDA MUNAWAR. Product Development of Edible Dishware.
Supervised by INDAH YULIASIH.
Edible dishware is a product development from food to edible dishware.
Edible packaging is both safe to consume and able to reduce environment
pollution. This research was conducted in developing wafer and opak singkong as
base product which ordinarily have rigid shape and plain taste. This study was
aimed to learn and obtain formula, determine production technology and profile of
edible dishware. Edible dishware base was determined by formulating 2 base
products until formula which is suitable in meeting production technology and
product profile requirements was obtained. The best edible dishware formula was
wafer for industry containing flour, coconut oil, liquid soya lechitin, salt, baking
soda, and water. Production technology required all-in mixing using cold water
(± 17 oC) for 6 minutes, 1 stage baking and shaping using a dedicated machine in
150 oC for 4 minutes, and 5 minutes cooling time. A small plate-shape edible
dishware which had 9 cm of diameter and 8 grams of weight per unit contributed
1,5% energy; 0,1% fat; 1,4% protein; and 2,2% carbohydrate to average minimum
nutritional requirement. Maintenance analyses showed that maximum time limit
for product in contact with open air was 90 minutes and critical moisture was
4,3776% (w/w). Product handling consisted of handling in producer and customer
level.
Keywords: dish, edible dishware, edible packaging, opak singkong, wafer
PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE
LUPITA MAULIDA MUNAWAR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2014 ini berjudul
Pengembangan Produk Edible Dishware.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Indah Yuliasih, STP, MSi
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan, serta
Dr Ir Aji Hermawan, MM dan Muhammad Arif Darmawan, STP, MT sebagai
dosen penguji. Di samping itu, penghargaan disampaikan kepada Recognition and
Mentoring Program (RAMP) IPB sebagai pihak yang menyediakan dana
penelitian, Ir Ade Iskandar, MSi sebagai dosen yang merancang mesin khusus
pada penelitian ini, dan staff laboratorium TIN. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada orang tua, keluarga, teman sebimbingan (Tiwi, Novi,
Auwalin, Suci, Ismanda, Elok, dan Feriska), teman seperjuangan program
technopreneurship, seluruh mahasiswa TIN 47, dan teman-teman kost Aisyah
(Tiara, Wanda, Astri, Icha, Sulis, Indah, Mega, Desty, dan Tri) yang selama ini
selalu memberikan dorongan dan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Lupita Maulida Munawar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
METODE
2
Alat dan Bahan
2
Tahapan Penelitian
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Opak Singkong
7
7
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Wafer
10
Pengembangan Formulasi Edible Dishware
15
Teknologi Produksi
19
Profil Produk
22
Analisis Kecocokan Produk dengan Pasar
26
SIMPULAN DAN SARAN
27
Simpulan
27
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap 1
Karakteristik prototipe produk pada formulasi opak singkong tahap 1
Karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap 1
Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap
2
Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap
3
Komposisi bahan pada formulasi edible dishware berbasis wafer skala
industri
Perhitungan biaya bahan baku edible dishware berbasis wafer formula 1
dan 4 dengan basis komposisi 100 gram tepung
Rendemen berdasarkan variasi bentuk edible dishware
Persentase AKG formula edible dishware berbasis wafer
5
8
10
11
13
17
19
22
23
DAFTAR GAMBAR
Diagram alir formulasi produk
Diagram alir pembuatan opak singkong
Diagram alir pembuatan wafer
Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap opak singkong pada jenis
singkong yang berbeda
5 Prototipe produk untuk formula opak singkong terpilih
6 Prototipe produk untuk formula wafer terpilih
7 Prototipe produk untuk formula edible dishware berbasis wafer
8 Grafik rata-rata kesukaan panelis pada formulasi edible dishware
berbasis wafer
9 Profil produk edible dishware berbasis wafer
10 Grafik penerimaan mutu kerenyahan edible dishware berbasis wafer
selama kontak dengan udara
11 Grafik hubungan antara waktu kontak udara edible dishware berbasis
wafer dengan kadar air produk
1
2
3
4
3
4
4
8
9
15
17
18
23
24
24
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Formulir uji organoleptik opak singkong
Formulir uji organoleptik wafer
Prosedur analisis komponen kimia produk
Formulir uji mutu hedonik kerenyahan pada uji ketahanan
Prosedur uji kadar air pada uji ketahanan
Data uji organoleptik pada formulasi opak singkong
Data uji organoleptik pada formulasi wafer
Daftar spesifikasi bahan baku produk edible dishware berbasis wafer
Data analisis kimia produk edible dishware terpilih
Data uji organoleptik kerenyahan pada uji ketahanan
Data kadar air produk edible dishware berbasis wafer pada uji ketahanan
29
30
31
33
33
34
35
36
38
39
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dishware adalah sejenis kemasan berbentuk wadah yang digunakan sebagai
peralatan makan. Komponen bahan penyusun kemasan pangan perlu diperhatikan
mengingat kondisi penggunaan kemasan yang tidak sesuai dapat menimbulkan
risiko keamanan pangan akibat migrasi. Migrasi adalah proses terjadinya
perpindahan suatu zat dari kemasan pangan ke dalam pangan, seperti pemutih,
pewarna, pengawet, dan lain-lain. Fenomena migrasi komponen kimia tertentu di
luar batas yang dapat diterima oleh tubuh dapat membahayakan kesehatan.
Peraturan mengenai bahan yang dilarang dan diizinkan sebagai kemasan yang
bersentuhan langsung dengan pangan, termasuk kondisi penggunaan kemasan
diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. HK 00.05.55.6497 Tahun 2007 tentang
bahan kemasan pangan. Edible dishware merupakan inovasi unik di bidang
kemasan yang aman dikonsumsi.
Gennadios (2002) menyebutkan bahwa dibandingkan dengan kemasan
berbasis petrokimia, kemasan edible dapat dimakan sehingga tidak meninggalkan
sisa kemasan. Bahkan apabila tidak dimakan, kemasan edible tetap dapat
berkontribusi menurunkan pencemaran lingkungan karena dapat didegradasi oleh
lingkungan. Menurut Robertson (2012), kemasan edible umumnya berbentuk
edible film, sheet, coating, atau pouch. Kemasan edible dishware merupakan
pengembangan dari produk pangan yang dapat dibuat menjadi wadah rigid dengan
rasa yang cenderung hambar agar tidak mengganggu makanan yang diwadahi,
misalnya wafer dan opak singkong. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan pada
pengembangan produk pangan menjadi wadah peralatan makan.
Wafer dan opak singkong dibuat melalui metode yang berbeda. Pada
umumnya wafer memiliki karakteristik bentuk yang tipis, renyah (Manley 2000),
hambar, dan rigid (Manley 2001). Istilah wafer mengarah pada tipe biskuit yang
dibuat dengan memanggang adonan cair di antara 2 jenis lempeng logam panas
yang berat (Manley 2000). Sementara itu, opak merupakan sejenis keripik
simulasi yang dibuat dari singkong. Keripik simulasi pertama kali dibuat oleh
Liepa (1976) dengan beberapa tahapan, yaitu pembuatan adonan, pembentukan
lembaran, pencetakan, dan penggorengan.
Basis produk pangan untuk edible dishware ditentukan melalui formulasi
kedua jenis produk dasar. Masing-masing formula dievaluasi agar diperoleh
alternatif formula yang layak diuji secara organoleptik. Jenis produk dasar dan
formula terpilih ditentukan dengan mempertimbangkan aspek teknologi produksi
terkait dengan pengadaan bahan dan metode pembuatan serta profil produk
terutama penampakan bentuk dan warna produk pada setiap tahap formulasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan mendapatkan formula produk
edible dishware, mendapatkan teknologi produksinya, serta profil produk edible
dishware.
2
METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri
Pertanian yaitu Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan
Mutu, dan Laboratorium Organoleptik, serta Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada Februari
sampai Juli 2014. Metode penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu formulasi
produk, identifikasi teknologi produksi, dan identifikasi profil produk.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah panci pengukus, food processor, sheeter,
blower, penggorengan, spinner peniris minyak, mixer, mesin pemanggang wafer
manual, dan mesin khusus untuk pemanggang wafer berbentuk wadah yang terdiri
atas pendeteksi suhu, pemanas, dan pemanggang sekaligus pencetak. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah 3 jenis singkong, yaitu gading, manggu, dan
roti, serta bahan penyusun wafer, yaitu terigu, margarin, minyak kelapa, minyak
sawit, telur ayam, susu cair, susu bubuk, lesitin kedelai cair, garam, gula, baking
soda, dan air.
Tahapan Penelitian
Formulasi Produk
Formulasi edible dishware bertujuan memperoleh formula produk yang
dapat diterima secara organoleptik. Formulasi dilakukan dengan cara penyusunan
dan pembuatan beberapa formula produk dasar yang dievaluasi dengan
mempertimbangkan aspek teknologi produksi dan profil produk. Aspek teknologi
produksi berhubungan dengan kemudahan pengadaan bahan dan teknis
pembuatan sedangkan profil produk berhubungan dengan penampakan bentuk dan
warna produk akhir. Dengan adanya evaluasi, perbaikan formula dapat dilakukan
lebih awal sehingga pengujian lebih lanjut terhadap formula yang tidak layak
dapat dihindari. Alternatif formula terpilih dilanjutkan ke tahap uji organoleptik
untuk mengetahui penerimaan panelis. Diagram formulasi produk disajikan pada
Gambar 1.
Formulasi dilakukan terhadap 2 jenis produk pangan, yaitu wafer dan opak
singkong. Kedua produk tersebut pada dasarnya memiliki kriteria utama yang
diperlukan dalam pengembangan edible dishware, yaitu kemampuan untuk dapat
dibentuk menjadi wadah rigid dan rasa yang cenderung hambar sehingga tidak
mengganggu makanan yang diwadahi. Akan tetapi, metode pembuatan keduanya
berbeda.
Menurut Djuwardi (2009) berdasarkan kadar asam sianida (HCN), singkong
dibagi ke dalam 3 kategori yaitu (1) tidak beracun (HCN < 50 ppm), (2) setengah
beracun (HCN 50 sampai 100 ppm), dan (3) sangat beracun (HCN > 100 ppm).
Opak singkong dibuat dari jenis singkong yang aman dikonsumsi yaitu memiliki
karakter rasa yang tidak pahit, warna umbi kuning atau putih, bentuk umbi pendek
dan kecil, kandungan pati, serat, serta HCN rendah seperti pada varietas singkong
3
lokal. Jenis singkong konsumsi yang baik digunakan pada produksi opak
singkong adalah singkong yang lembek dan tidak terlalu keras. Formulasi awal
opak singkong dilakukan dengan menggunakan 3 jenis singkong konsumsi, yaitu
singkong gading, manggu, dan roti tanpa menggunakan bahan tambahan lain.
Metode pembuatan opak singkong terdiri atas pengupasan dan pencucian,
pengukusan, penggilingan, pembentukan lembaran, pencetakan, pengeringan,
penggorengan, serta penirisan.
Basis produk
(opak singkong, wafer)
Penyusunan dan pembuatan formula
Evaluasi
Uji organoleptik
Penerimaan panelis
Formula terpilih
Gambar 1 Diagram alir formulasi produk
Pengukusan singkong dilakukan pada panci pengukus selama 45 menit.
Singkong kukus digiling menggunakan food processor hingga menghasilkan
adonan yang lembut dan bentuk yang homogen. Pembentukan lembaran adonan
dilakukan menggunakan sheeter dengan bantuan minyak sebagai pelumas dan
lembaran plastik atau secara manual dengan penggiling kayu. Pencetakan opak
berbentuk wadah dilakukan dengan meletakkan lembaran adonan pada punggung
wadah yang terbuat dari logam dan dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk
wadah. Permukaan wadah dilapisi dengan minyak untuk mempermudah pelepasan
adonan dari cetakan wadah. Adonan bersama cetakan dimasukkan ke dalam
blower pengering agar kadar air adonan singkong menurun sehingga diperoleh
opak kering yang siap digoreng. Pengeringan berlangsung selama 6 sampai 10
jam, pada 2 jam pertama adonan dilepaskan dari wadah cetakan agar pengeringan
merata. Penggorengan dilakukan dengan teknik deep frying dalam waktu singkat
(< 1 menit). Deep frying adalah metode penggorengan yang dilakukan dengan
menenggelamkan bahan ke dalam minyak panas. Minyak pada suhu tinggi
memanaskan dan menguapkan kandungan air dalam bahan hingga keluar melalui
permukaan bahan. Selanjutnya, kelebihan minyak ditiriskan dengan spinner
peniris minyak. Diagram alir pembuatan opak singkong disajikan pada Gambar 2.
Prototipe produk dibuat dengan mencetak lembaran adonan menjadi bentuk
4
lingkaran, kemudian diletakkan di atas loyang beralaskan alumunium foil yang
dilapisi minyak. Pada saat pengeringan, lembaran adonan singkong dilepaskan
dari alumunium foil dan dibalik agar suhu pengeringan merata.
Singkong segar
Pengupasan dan pencucian
Pengukusan (45 menit)
Penggilingan
Pembentukan lembaran
Pencetakan
Pengeringan (50 oC)
Penggorengan
Penirisan minyak
Opak singkong
Gambar 2 Diagram alir pembuatan opak singkong
Metode pembuatan wafer umumnya terdiri atas pencampuran,
pemanggangan, dan pencetakan adonan cair (batter) (Gambar 3). Pada tahap awal,
formulasi dilakukan terhadap 4 formula yang disusun dengan basis 100 gram
tepung. Formula menggunakan 2 jenis tepung yaitu terigu dan mocaf (modified
cassava), serta komposisi gula yang berbeda yaitu 10, 30, dan 40 gram.
Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap awal disajikan pada Tabel 1.
Bahan penyusun wafer
Pencampuran
Pemanggangan
Pencetakan
Wafer
Gambar 3 Diagram alir pembuatan wafer
5
Tabel 1 Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap 1
Komposisi
Terigu serbaguna (gram)
Mocaf (gram)
Minyak kelapa (ml)
Putih telur (gram)
Gula halus (gram)
Garam (gram)
Formula
1
100
0
100
128
40
3
2
100
0
100
128
10
3
3
0
100
100
128
30
3
4
0
100
100
128
10
3
Terigu merupakan bahan yang dapat mempengaruhi kualitas produk bakery
seperti wafer. Matz (1992) menyebutkan bahwa protein yang unik pada terigu
menghasilkan struktur produk bakery yang dapat mengembang tinggi. Berbeda
dengan terigu, mocaf tidak biasa digunakan pada produk bakery. Menurut Balitper
(2011), mocaf adalah tepung singkong yang mengalami proses fermentasi
sebelum dikeringkan. Fermentasi bertujuan memperbaiki sifat tepung singkong
sehingga memiliki karakter lebih putih dan tidak beraroma singkong. Kandungan
serat yang tinggi pada tepung singkong diharapkan dapat memberikan tekstur
yang baik pada produk.
Metode pembuatan wafer dilakukan dengan pembuatan foam dari putih telur
segar. Pengocokan dilakukan dengan mixer kecepatan tinggi selama ± 15 menit.
Pada awal pengocokan, cairan putih telur akan berbusa dan adonan menjadi
ringan. Penambahan gula pada tahap selanjutnya menyebabkan adonan menjadi
sedikit kaku sehingga terbentuk soft peak yaitu puncak yang tumpul. Adonan
terlihat mengkilat dan lembut. Apabila diangkat dengan mixer, adonan menempel
kemudian jatuh kembali. Pada tahap akhir terbentuk hard peak yaitu adonan
menjadi kaku dan membentuk puncak yang tajam. Adonan menjadi tidak
mengkilat. Apabila diangkat dengan mixer, adonan tetap menempel tanpa jatuh
kembali. Setelah foam dibuat, pengocokan dilanjutkan dengan memasukkan bahan
kering yaitu tepung dan garam, lalu minyak kelapa sampai adonan homogen.
Batter dipanggang pada mesin wafer sehingga menghasilkan lembaran wafer yang
fleksibel. Dalam keadaan panas, lembaran wafer segera dicetak secara manual
dengan cara mengapitnya di antara 2 wadah dengan bentuk yang sama.
Evaluasi yang dilakukan pada tiap tahap formulasi opak singkong dan wafer
menyebabkan komposisi formula berubah pada tahap formulasi berikutnya. Uji
organoleptik baru dapat dilakukan apabila formulasi sudah menghasilkan
beberapa alternatif formula dengan karakteristik yang layak sebagai produk edible
dishware. Karakteristik layak yang perlu dipenuhi adalah kemampuan produk
untuk dapat dibentuk, rasa produk yang cenderung hambar, teknologi produksi
yang lebih mudah, dan profil produk yang lebih baik.
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis
terhadap produk berdasarkan respon atau kesan yang diperoleh panca indera. Jenis
uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan yang dirancang untuk
memilih 1 produk di antara produk lain secara langsung (Setyaningsih et al. 2010).
Uji organoleptik melibatkan 31 panelis terlatih yang diminta untuk memberi
penilaian sifat mutu produk berupa tingkat kesukaan atau ketidaksukaan pada
6
skala hedonik 1 sampai 7, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak
tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Parameter
yang dinilai pada uji organoleptik opak singkong adalah warna, tekstur,
kerenyahan, aroma, dan rasa, sedangkan pada wafer adalah warna, kerenyahan,
aroma, dan rasa. Sampel yang disajikan berbeda dengan produk edible dishware
berbentuk wadah, melainkan berupa prototipe lembaran produk yang ukuran
sampelnya dibuat seragam. Formulir uji organoleptik opak singkong dan wafer
disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Identifikasi Teknologi Produksi
Teknologi produksi edible dishware meliputi kajian mengenai pengaruh
bahan yang digunakan dan sejumlah kondisi yang terjadi selama proses produksi.
Hal ini bertujuan memperoleh spesifikasi bahan dan kondisi proses yang sesuai
dengan kebutuhan sehingga kualitas produk seragam. Menurut Manley (2000),
identifikasi spesifikasi bahan berguna untuk mencapai kesepakatan antara
pengguna dan pemasok mengenai parameter terukur dari suatu bahan yang
relevan untuk digunakan. Kesepakatan berupa batas spesifikasi yang disyaratkan
untuk setiap parameter pada setiap bahan dengan teknik pengukuran yang
disepakati pula. Spesifikasi menjadi tidak berguna apabila tidak terjadi
kesepakatan antara kedua belah pihak atau persyaratan berada di luar kemampuan
pemasok. Selain itu, identifikasi kondisi proses dilakukan terutama terhadap tahap
akhir pembuatan produk yaitu pemasakan. Berdasarkan kedua jenis produk dasar
yang diformulasikan, pemasakan yang dimaksud berupa penggorengan atau
pemanggangan yang dapat diidentifikasi kondisi prosesnya berupa suhu dan lama
waktu pemasakan yang dibutuhkan agar diperoleh produk dengan karakteristik
yang baik. Oleh karena itu, identifikasi teknologi produksi dilakukan terhadap
formula terpilih dengan memperhatikan parameter kritis bahan dan kondisi proses
yang diperlukan untuk produk dasar yang dikembangkan menjadi edible dishware.
Identifikasi Profil Produk
Identifikasi profil produk edible dishware bertujuan memperoleh profil
produk dari formula terpilih dengan mengidentifikasi nilai gizi, ketahanan, dan
penanganan produk. Identifikasi nilai gizi produk bertujuan memperoleh
informasi mengenai besarnya sumbangan nilai gizi produk terhadap persentase
Angka Kecukupan Gizi (AKG) umum berupa kandungan lemak, protein,
karbohidrat, dan energi. Besarnya energi ditentukan berdasarkan hasil analisis
komponen kimia produk berupa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein,
dan karbohidrat oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi.
Prosedur analisis kimia disajikan pada Lampiran 3.
Identifikasi ketahanan produk bertujuan mengetahui batas lama waktu
maksimal produk dapat kontak dengan udara dan persentase kadar air kritis
produk agar dapat diterima oleh panelis. Sebagai produk kering, edible dishware
bersifat hidrofilik sehingga mudah menarik uap air dari udara (Syarief et al. 1989).
Peningkatan kadar air pada produk kering ini berhubungan dengan penerimaan
mutu kerenyahan produk. Pengujian ketahanan dilakukan terhadap produk yang
dikontakkan dengan udara selama 180 menit. Pengujian dilakukan secara subjektif
dan objektif setiap 30 menit. Secara subjektif, sebanyak 11 panelis terlatih
melakukan uji organoleptik mutu hedonik terhadap parameter kerenyahan agar
7
diperoleh batas lama waktu maksimal produk dapat kontak dengan udara sehingga
produk masih dapat diterima secara organoleptik oleh panelis. Formulir uji
ketahanan disajikan pada Lampiran 4. Penerimaan uji mutu kerenyahan
dikelompokkan ke dalam 3 skala penerimaan yaitu tidak suka (1 sampai 3), netral
(4), dan suka (5 sampai 7). Secara objektif, pengukuran kadar air dilakukan
terhadap sampel agar diperoleh pola perubahan kadar air selama produk kontak
dengan udara. Metode uji kadar air mengacu pada AOAC (2005) untuk produk
cereal foods pada Lampiran 5. Kadar air kritis produk diperoleh berdasarkan
waktu kontak maksimal produk dan pola perubahan kadar air produk selama
kontak dengan udara. Identifikasi penanganan produk meliputi penanganan pada
tingkat produsen dan konsumen berdasarkan karakteristik produk terpilih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Opak Singkong
Pembuatan prototipe formula opak singkong tahap 1 menunjukkan bahwa
ketiga jenis opak singkong memiliki perbedaan pada aspek produksi dan
karakteristik produk (Tabel 2). Adonan ketiga jenis singkong memiliki warna dan
tingkat kelengketan yang berbeda. Warna adonan tidak mempengaruhi
penerimaan panelis karena hanya penampakan visual produk akhir saja yang
dinilai. Sementara itu, tingkat kelengketan akan mempengaruhi kemudahan teknis
produksi. Adonan yang lengket pada singkong gading dan manggu mudah
menempel pada alat dan mesin sehingga mempersulit proses pembentukan
lembaran, pencetakan, dan pelepasan adonan dari cetakan wadah. Adonan
singkong roti yang cenderung keras dan kering pada permukaannya sulit melewati
2 logam pemutar sheeter sehingga sulit dibentuk lembaran. Akan tetapi, lembaran
adonan singkong roti paling mudah dicetak menjadi wadah apabila dibandingkan
dengan 2 jenis singkong yang lain. Tingkat kelengketan adonan yang berbeda
diatasi dengan penggunaan minyak yang berfungsi sebagai pelumas pada mesin
sheeter, alas alumunium foil, dan cetakan wadah logam. Singkong gading
memerlukan tambahan minyak paling banyak karena sangat lengket.
Karakteristik formula opak singkong memiliki perbedaan warna, rasa,
tingkat kekerasan, dan tekstur. Opak singkong gading memiliki banyak kelemahan
yaitu sangat keras, rasa pahit, dan tekstur permukaan yang bergelembung.
Sementara itu, profil opak singkong manggu dan roti hampir sama. Berdasarkan
formulasi tahap 1, opak singkong gading tidak dipilih karena proses pembuatan
yang sulit dan karakteristik rasa serta kekerasan yang tidak layak. Opak singkong
manggu masih dapat diterima karena meskipun pembuatan opak singkong
manggu sulit, karakteristiknya masih lebih baik dibandingkan dengan opak
singkong gading. Formulasi dilanjutkan pada tahap uji organoleptik menggunakan
opak dari singkong manggu dan roti.
Hasil pengolahan data uji organoleptik opak singkong pada tingkat
kepercayaan 95% disajikan pada Lampiran 6. Pengujian menunjukkan bahwa
kedua formula opak singkong manggu dan roti tidak memberikan pengaruh yang
8
signifikan terhadap tingkat penerimaan panelis pada parameter warna, tekstur,
kerenyahan, aroma, dan rasa. Akan tetapi, berdasarkan nilai rata-rata kesukaan
panelis pada Gambar 4 diperoleh bahwa karakteristik opak singkong manggu
lebih unggul pada parameter warna, tekstur, kerenyahan, dan rasa, sedangkan
opak singkong roti hanya unggul pada parameter aroma. Rendahnya penerimaan
aroma pada opak singkong disebabkan oleh penggunaan minyak yang berlebih
selama pembuatan produk.
Tabel 2 Karakteristik prototipe produk pada formulasi opak singkong tahap 1
Evaluasi
Penggilingan
Pembentukan
lembaran
Pencetakan
Pengeringan
Karakteristik
produk
Gading
Adonan berwarna
kuning dan lengket
Sulit, adonan terlalu
lengket
Sulit, membutuhkan
banyak minyak
7 sampai 10 jam
Warna kuning
kecokelatan, rasa
pahit, keras, tekstur
permukaan banyak
bergelembung
Jenis singkong
Manggu
Adonan berwarna
putih dan lengket
Sulit, adonan lengket
Sulit, membutuhkan
banyak minyak
6 sampai 9 jam
Warna cokelat muda,
rasa khas singkong,
agak keras, tekstur
permukaan
bergelembung
Roti
Adonan berwarna
putih, agak keras, dan
kering pada permukaan
Sulit, adonan terlalu
kering
Mudah, membutuhkan
minyak
6 sampai 8 jam
Warna putih
kecokelatan, rasa khas
singkong, tidak keras,
tekstur permukaan
sedikit bergelembung
Produk berlemak tinggi dapat mengalami kerusakan berupa perubahan bau
dan flavor menjadi tengik. Ketaren (2008) menyebutkan bahwa ketengikan
merupakan kerusakan lemak yang paling penting disebabkan oleh kontak oksigen
di udara dengan lemak. Oksidasi oksigen terjadi secara spontan jika bahan yang
mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara. Ketengikan pada opak
singkong disebabkan oleh minyak yang digunakan sebagai pelumas dan media
penggorengan.
Rata-rata kesukaan
7
6
5
4
Manggu
3
Roti
2
1
warna
tekstur
kerenyahan
aroma
rasa
Parameter uji
Gambar 4 Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap opak singkong pada jenis
singkong yang berbeda
9
Pada pembuatan opak, oksidasi dapat terjadi sejak pembentukan lembaran
adonan ketika minyak digunakan sebagai pelumas. Penggunaan minyak pada
proses pembentukan lembaran dan pencetakan opak singkong manggu yang lebih
banyak daripada opak singkong roti menyebabkan rendahnya penerimaan aroma
opak singkong manggu. Oksidasi juga dipercepat oleh suhu tinggi dan paparan
cahaya. Menurut Ketaren (2008), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di
udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan
penurunan suhu. Suhu tinggi berperan dalam oksidasi ketika proses pengeringan
dan penggorengan. Paparan cahaya selama penyiapan produk juga berperan
karena keberadaan oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi
sebagai akibat dari dekomposisi peroksida yang secara alamiah terdapat dalam
lemak.
Formula opak singkong manggu memiliki teknis pembuatan yang lebih sulit,
tetapi unggul pada penilaian warna, rasa, tekstur, dan kerenyahan. Sementara itu,
formula singkong roti memiliki teknis pembuatan yang lebih mudah daripada
singkong manggu, tetapi penerimaan panelis yang lebih rendah untuk hampir
semua parameter kecuali aroma. Rendahnya penilaian aroma yang disebabkan
oleh kerusakan minyak dapat dihindari dengan memperbaiki prosedur pembuatan
produk untuk meminimalkan penggunaan minyak dan menghindari faktor yang
dapat mempercepat oksidasi. Oleh karena itu, formula terpilih pada formulasi
opak singkong adalah singkong manggu. Prototipe opak singkong manggu
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Prototipe produk untuk formula opak singkong
terpilih
Prototipe opak singkong manggu selanjutnya dikembangkan menjadi
produk edible dishware. Pada proses penggorengan, opak kering yang sudah
berbentuk wadah berubah mengembang menjadi tidak beraturan. Semakin besar
ukuran opak akan semakin tidak beraturan bentuk produk sehingga produk edible
dishware berbasis opak singkong hanya dapat dibentuk menjadi wadah kecil
berukuran diameter 5 cm agar tetap diperoleh penampakan yang seragam.
10
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Wafer
Formulasi edible dishware berbasis wafer tahap 1 diawali dengan
pembuatan prototipe dari 4 formula yang telah disusun. Prototipe dibuat dengan
mesin wafer manual yang dapat menghasilkan wafer berbentuk lembaran.
Karakteristik prototipe produk pada formulasi tahap 1 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap 1
Karakteristik
Rasa
Kemampuan dibentuk
Konsistensi batter
1A
manis
bisa
kental
Formula
1B
1C
hambar
manis
tidak
bisa
kental
kental
1D
hambar
tidak
kental
Secara keseluruhan, keempat formula menghasilkan batter yang kental dan
tekstur produk yang mudah lembek ketika kontak dengan udara. Kekentalan
batter berhubungan dengan komponen cair yang digunakan pada formula, yaitu
minyak kelapa dan putih telur. Perbedaan terletak pada rasa dan kemampuan
wafer untuk dibentuk.
Prototipe formula 1A dan 1C menghasilkan wafer yang manis karena
memiliki kandungan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula 1B dan
1D. Selain itu, formula 1A dan 1C juga menghasilkan wafer yang bisa dibentuk
sedangkan formula 1B dan 1D tidak bisa dibentuk. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan komposisi gula tidak hanya mempengaruhi rasa, tetapi juga
kemampuan wafer untuk dapat dibentuk. Almond et al. (1991) menyebutkan
bahwa resep wafer dengan kandungan gula tinggi (> 60% dari bobot tepung)
dapat menghasilkan jenis wafer yang fleksibel ketika dalam kondisi panas tepat
setelah pemanggangan, sehingga dapat dibentuk dan dilipat menjadi berbagai
bentuk. Setelah beberapa saat, wafer akan kembali mengeras sesuai dengan
bentuk yang diinginkan. Berdasarkan pembuatan formula tahap 1, meskipun gula
yang digunakan hanya sebesar 30% sampai 40% dari bobot tepung, wafer sudah
memiliki kemampuan untuk dapat dibentuk menjadi wadah. Kemampuan wafer
untuk dapat dibentuk ini berhubungan dengan kemampuan gula sukrosa murni
yang dapat mengkristal.
Kristalisasi sukrosa dapat terjadi apabila konsentrasi dan suhu diatur
sedemikian rupa sehingga berada pada kondisi jenuh (supersaturated). Pada saat
pemanggangan, panas menyebabkan kadar air batter menurun akibat penguapan.
Penurunan kadar air akan meningkatkan konsentrasi gula. Pada kondisi tepat
setelah pemanggangan, gula tidak berada pada fasa jenuh (supersaturated)
maupun tidak jenuh (unsaturated), melainkan fasa metastable di mana larutan
gula berada dalam wujud cair. Konsentrasi gula yang tinggi mempengaruhi
karakteristik wafer sehingga wafer menjadi fleksibel. Kondisi ini dimanfaatkan
untuk membuat wafer dengan berbagai bentuk. Beberapa saat kemudian suhu
produk akan segara menurun menyebabkan gula memasuki fasa jenuh sehingga
mengkristal bersama dengan bahan lainnya. Apabila komposisi gula tidak cukup
tinggi, gula tidak dapat mempengaruhi karakteristik wafer sehingga produk akan
langsung mengeras. Panas menyebabkan komponen pati pada tepung
11
tergelatinisasi. Berdasarkan formulasi tahap 1, kemampuan wafer untuk dapat
dibentuk secara manual tepat setelah pemanggangan hanya dapat dipenuhi apabila
kandungan gula tinggi, yang berdampak pada rasa wafer yang manis. Oleh karena
itu, kemampuan wafer yang dapat dibentuk dipertahankan dengan menyusun 2
formula lain yang memiliki kandungan gula tinggi.
Formula pizzele waffle cone oleh Weinstein (2009) dalam The Ultimate Ice
Cream Book mengandung komponen gula dan lemak yang tinggi, yaitu 75% gula
dan 163% mentega (butter) dari bobot tepung. Komponen lainnya adalah terigu
dan telur utuh. Formulasi tahap 2 dikembangkan dari formula ini dengan
mengganti beberapa komponen bahan yaitu tepung dan mentega. Tepung
dibedakan menjadi terigu dan mocaf, sedangkan mentega digantikan dengan
margarin. Menurut Ketaren (2008), mentega biasanya memberikan aroma yang
enak dan khas pada produk yang berasal dari penguraian laktosa dalam lemak
susu. Akan tetapi, kemampuan mentega ini tidak diperlukan pada produk. Edible
dishware diharapkan memiliki rasa dan aroma yang cenderung hambar agar tidak
mengganggu makanan yang diwadahi. Selain itu, harga mentega cenderung lebih
mahal dibandingkan dengan bahan lemak lainnya. Margarin dikenal sebagai
bahan pengganti mentega yang terbuat dari lemak nabati dan memiliki aroma
yang tidak sekuat mentega. Oleh karena itu, penggunaan mentega digantikan
dengan margarin. Komposisi bahan yang digunakan pada formulasi tahap 2
disajikan pada Tabel 4. Pembuatan formulasi tahap 2 lebih sederhana
dibandingkan dengan tahap 1 karena tidak dilakukan proses pemisahan telur
menjadi putih dan kuning telur. Metode pencampuran pada formulasi tahap 2
adalah pengocokan gula dan telur sampai pucat, penambahan margarin yang telah
dicairkan, kemudian tepung sedikit demi sedikit.
Tabel 4 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer
tahap 2
Komposisi dan karakteristik
Komposisi
Terigu serbaguna (gram)
Mocaf sangrai (gram)
Margarin (gram)
Telur utuh (gram)
Gula halus (gram)
Karakteristik
Rasa
Kemampuan dibentuk
Konsistensi batter
Aroma telur
Minyak
Tekstur
Formula
2A
2B
100
0
163
128
75
0
100
163
128
75
manis dan asin
khas margarin
mudah
kental
kuat
tidak berminyak
manis dan asin
khas margarin
mudah
kental
kuat
sangat banyak,
tersisa pada mesin
sangat rapuh
rapuh
12
Berdasarkan Tabel 4, formulasi tahap 2 tetap menghasilkan wafer dengan
batter yang kental. Kedua formula menghasilkan wafer yang lebih mudah
dibentuk, aroma telur yang kuat, tekstur yang rapuh, warna batter yang kuning,
dan rasa khas margarin. Kemudahan pembentukan ditunjukkan dengan wafer
yang fleksibel lebih lama setelah dipanggang dibandingkan dengan formulasi
tahap 1. Penggunaan margarin dalam jumlah besar juga secara langsung
mempengaruhi warna batter dan rasa produk. Warna batter menjadi kuning sesuai
dengan warna margarin dan rasa asin margarin muncul menutupi rasa wafer yang
manis. Rasa wafer pada formulasi tahap 2 tidak dapat dikatakan hambar, tetapi
pada penggunaannya cocok untuk mewadahi produk manis atau asin. Aroma telur
dan tekstur yang rapuh disebabkan oleh penggunaan telur. Aroma telur terlalu
kuat sehingga mengganggu produk.
Matz (1992) menyebutkan bahwa telur dapat mempengaruhi cita rasa, warna,
dan tekstur pada produk bakery. Penggunaan sedikit komponen telur pada formula
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap struktur karena kandungan protein
dan emulsifier yang secara alami terdapat pada telur. Selain telur, lemak juga
mempengaruhi tekstur produk.
Menurut Manley (2000), selama pencampuran terjadi kompetisi antara fase
lemak dan air pada permukaan tepung. Komponen air atau larutan gula
berinteraksi dengan tepung terigu menyebabkan protein glutenin dan gliadin
terhidrasi dan membentuk massa gluten, dalam hal ini fase air diperoleh secara
alami dari bahan karena tidak ada tambahan air pada formula. Lemak melapisi
campuran ini dan menganggu hubungan air dan tepung memberikan karakter
produk yang lebih rapuh dan mencair di mulut. Jika kandungan lemak tinggi,
massa gluten yang terbentuk sedikit, pati mengalami swelling, dan gelatinisasi
berkurang memberikan tekstur yang sangat lembut. Akan tetapi, struktur formula
2B yang menggunakan mocaf menghasilkan wafer yang sangat rapuh hingga
berlubang dan tidak dapat terbentuk secara utuh. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan mocaf dalam membentuk massa gluten, berbeda dengan tepung
terigu pada formula 2A. Komponen minyak pada formula 2B juga banyak tersisa
pada mesin wafer hingga mengganggu pemanggangan batter. Formulasi tahap 2
menunjukkan bahwa penggunaan terigu memberikan struktur wafer yang lebih
baik dibandingkan dengan mocaf. Formulasi dilanjutkan ke tahap 3 untuk
mengurangi kekentalan batter, aroma telur, dan komponen minyak.
Formula waffle cone oleh Williams Sonoma Kitchen (2013) menggunakan
lemak yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan formula Weinstein yaitu
sebesar 68% dari bobot tepung. Pengurangan jumlah komponen lemak diiringi
dengan penambahan komponen susu cair agar diperoleh batter dengan konsistensi
yang lebih cair. Jumlah gula pada formula Williams sebanyak 75% dari bobot
tepung. Pengembangan formula pada formulasi tahap 3 dilakukan dengan
melakukan beberapa modifikasi pada komponen telur dan lemak. Jenis telur
dibedakan menjadi telur utuh dan putih telur untuk mengurangi aroma telur yang
menyengat. Putih telur yang digunakan berasal dari 2 butir telur. Sama seperti
formulasi tahap 2, mentega diganti dengan margarin. Komposisi bahan yang
digunakan pada formulasi tahap 3 disajikan pada Tabel 5.
Pembuatan batter formula 3B dilakukan dengan terlebih dahulu membuat
foam dari putih telur dan gula. Selanjutnya, margarin cair, terigu, dan susu cair
13
dimasukkan secara berurutan. Berdasarkan Tabel 5, formulasi tahap 3
menghasilkan wafer yang dapat dibentuk, rasa khas margarin, dan tidak
berminyak pada mesin juga wafer. Perbedaan kedua formula terdapat pada
kekentalan batter, tekstur, dan aroma wafer. Formula 3A memiliki batter yang
lebih cair, aroma telur yang lebih kuat, dan tekstur yang lebih rapuh dibandingkan
dengan formula 3B. Formula 3B yang menggunakan putih telur memiliki tekstur
yang rapuh tetapi agak liat sehingga tidak mudah hancur. Sampai pada formulasi
tahap 3, formula 3B memiliki karakteristik yang cukup layak kecuali rasa wafer
yang tidak dapat dibuat hambar. Beberapa tahap formulasi lanjutan dilakukan
untuk menentukan jenis bahan yang paling baik.
Tabel 5 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer
tahap 3
Komposisi dan karakteristik
Komposisi
Terigu serbaguna (gram)
Margarin (gram)
Telur utuh (gram)
Putih telur (gram)
Susu cair (ml)
Gula halus (gram)
Garam (gram)
Karakteristik
Rasa
Kemampuan dibentuk
Konsistensi batter
Aroma telur
Minyak
Tekstur
Formula
3A
3B
100
68
128
0
70
75
2
100
68
0
149
70
75
2
manis dan asin
khas margarin
mudah
sangat cair
kuat
tidak berminyak
rapuh
manis dan asin
khas margarin
mudah
cair
tidak ada
tidak berminyak
rapuh tetapi liat
Formulasi tahap 4 dilakukan dengan mengganti jenis gula dari gula halus
menjadi gula pasir. Gula pasir memiliki harga yang cenderung lebih murah
dibandingkan dengan gula halus. Ukuran partikel gula pasir yang lebih besar tidak
mengganggu teknis pembuatan karena skala yang digunakan pada pengembangan
produk masih kecil. Berdasarkan prototipe produk yang dibuat, penggantian jenis
gula tidak secara signifikan mempengaruhi karakteristik wafer, terutama
kemampuan untuk dibentuk sehingga gula pasir dipilih untuk formulasi
selanjutnya.
Formulasi tahap 5 membandingkan jenis minyak yang digunakan yaitu
margarin, minyak kelapa, dan minyak sawit. Berdasarkan formulasi jenis minyak
diperoleh bahwa formula minyak kelapa dan minyak sawit memberikan rasa yang
lebih manis dibandingkan dengan margarin sedangkan formula yang mengandung
margarin memberikan rasa gurih yang secara bersamaan menutupi rasa manis
14
sebagai dampak dari penggunaan gula dalam jumlah besar. Rasa manis tidak
diinginkan pada produk, sedangkan rasa manis dan asin yang dihasilkan pada
formula margarin masih dapat dikombinasikan dengan produk manis dan asin.
Oleh karena itu, jenis komponen minyak yang dipilih adalah margarin.
Formulasi tahap 6 membandingkan penggunaan kombinasi tepung terigu
dengan tepung lain sebesar 3:1. Jenis tepung yang digunakan tergolong tepung
minor dalam pembuatan biskuit, yaitu maizena, tapioka, dan tepung beras. Secara
keseluruhan, tekstur wafer yang dihasilkan menjadi lebih renyah dan rapuh
dibandingkan dengan penggunaan tepung terigu saja. Hal ini berhubungan dengan
kandungan protein pada tepung.
Menurut Manley (2000), terigu memiliki ciri khas yang unik karena
kandungan proteinnya yang dapat membentuk massa gluten melalui proses
pencampuran dan hidrasi oleh air. Pada produk wafer, semakin rendah kandungan
protein tepung semakin lemah dan rapuh tekstur yang dihasilkan sedangkan
semakin tinggi kandungan protein tepung, semakin kuat tekstur wafer tersebut.
Pada maizena dan tapioka, komponen pati dipisahkan dari komponen lain dalam
tepung jagung dan singkong sehingga memiliki kandungan protein, vitamin, dan
mineral yang rendah. Pada tepung beras, kandungan protein juga rendah. Akan
tetapi, protein yang dimaksud dalam pembuatan biskuit adalah protein yang
mampu membentuk massa gluten seperti pada terigu. Jadi, meskipun terdapat
sedikit kandungan protein yang berasal dari jagung, singkong, dan beras, protein
tersebut tidak dapat membentuk massa gluten sehingga tekstur wafer akan
menjadi lemah dan rapuh. Berdasarkan formulasi tahap 6, jenis tepung yang
terpilih adalah terigu karena tekstur wafer yang dihasilkan lebih kuat
dibandingkan dengan kombinasi tepung terigu dengan maizena, tapioka, dan
tepung beras. Tekstur wafer yang kuat diperlukan untuk pengembangan produk
wadah agar dapat menahan benturan dan goncangan.
Formulasi dilanjutkan ke tahap 7 untuk dengan membandingkan
penggunaan susu cair dan tidak sama sekali. Penggunaan bahan susu cair pada
formula berarti menambah jumlah bahan yang digunakan pada formula. Akan
tetapi, semakin sedikit jenis bahan yang digunakan, semakin mudah pengadaan
dan penyimpanan bahan selama hal tersebut sesuai dengan karakteristik produk
yang diinginkan. Penggunaan susu cair secara langsung berkontribusi pada
peningkatan jumlah komponen cair sehingga memungkinkan perbedaan
karakteristik produk yang dihasilkan. Berdasarkan formulasi tahap 7 diperoleh
bahwa penggunaan susu cair secara signifikan menghasilkan batter yang lebih
cair dan tekstur wafer yang sedikit lebih rapuh dibandingkan tanpa penggunaan
susu cair. Hal ini sesuai dengan Manley (2000) bahwa semakin kental batter
wafer semakin berat atau tebal wafer yang dihasilkan. Kekentalan batter
sebenarnya dapat mempengaruhi beberapa hal pada produksi wafer, salah satunya
adalah warna produk akhir yang tidak merata. Pada saat batter yang kental
dialirkan ke atas plat besi pemanggang wafer, batter akan sulit mengalir sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama hingga diperoleh sejumlah batter untuk
memenuhi 1 unit wadah. Bagian batter yang terlebih dahulu kontak dengan panas
pada permukaan pemanggang akan mengalami gelatinisasi lebih awal sehingga
memungkinkan warna produk yang tidak merata. Akan tetapi pada formulasi
tahap 7, tetap diperoleh warna wafer yang seragam. Hal ini terkait dengan waktu
penutupan mesin pemanggang yang dilakukan secara cepat sehingga panas
15
pemanggang tersebar secara lebih awal dan merata. Oleh karena itu, formula yang
terpilih adalah tanpa penggunaan susu cair.
Formulasi tahap 8 dilakukan untuk memperbaiki rasa produk dengan
meminimalkan penggunaan gula. Pengurangan gula perlu dilakukan agar
diperoleh produk dengan rasa yang dapat diaplikasikan untuk produk dengan
berbagai macam rasa. Akan tetapi, meskipun pengurangan gula dapat menurunkan
rasa manis, kemampuan produk untuk dapat dibentuk akan berkurang. Formulasi
dilakukan dengan membandingkan penggunaan gula pasir sebesar 75% dengan
47% dari bobot tepung. Formulasi menunjukkan bahwa pengurangan gula pasir
menjadi 47% dapat menurunkan rasa manis dan kemampuan wafer untuk
dibentuk, tetapi produk masih dapat dibentuk menjadi wadah. Oleh karena itu,
formula yang terpilih adalah formula dengan komposisi gula sebesar 47%. Secara
keseluruhan, formula wafer terpilih terdiri atas terigu, margarin, putih telur, gula
pasir, dan garam dengan prototipe yang disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Prototipe produk untuk formula wafer terpilih
Pengembangan Formulasi Edible Dishware
Berdasarkan formulasi yang telah dilakukan, diperoleh 2 formula terpilih
untuk opak singkong dan wafer. Produk dasar yang akan dikembangkan menjadi
edible dishware sebaiknya memiliki aspek teknologi yang sederhana dan
karakteristik profil produk yang sesuai agar dapat diproduksi secara komersial.
Akan tetapi, terdapat kendala yang ditemui pada pengembangan kedua produk
tersebut. Pembuatan opak dan wafer masih menggunakan bahan baku segar.
Opak dibuat dari bahan singkong segar yang cenderung cepat rusak
sehingga hanya dapat disimpan paling lama sekitar 2 hari (Djuwardi 2009).
Sementara itu, wafer dibuat menggunakan putih telur segar yang perlu ditangani
secara hati-hati. Putih telur berfungsi sebagai bahan pengembang sekaligus
komponen cair utama pada formula wafer. Kemampuan putih telur untuk
membentuk foam akan terganggu seiring dengan lamanya penyimpanan dan
adanya kontaminasi kuning telur akibat pemisahan yang tidak baik (Matz 1992).
Penggunaan bahan baku yang mudah rusak dalam produksi menyebabkan
pembelian dan pengiriman bahan baku menjadi lebih sering dilakukan sehingga
16
berdampak pada biaya yang lebih tinggi. Akan tetapi, biaya penggudangan
menjadi lebih rendah karena perputaran bahan dalam gudang terjadi secara cepat.
Selain itu, terdapat risiko mutu bahan baku segar yang tidak konsisten sehingga
menyebabkan mutu produk menjadi tidak seragam.
Produksi opak memiliki beberapa kendala, yaitu sulitnya teknis pembuatan
dan terbatasnya jenis produk wadah yang dapat dihasilkan. Pembuatan opak
terdiri atas banyak tahapan yang hampir seluruhnya perlu dilakukan secara
manual. Kegiatan yang dilakukan secara manual berarti diperlukan banyak
pekerja dan kontak antara produk dengan pekerja terjadi lebih sering. Kontak ini
perlu diminimalkan terkait dengan aspek kebersihan produk yang dihasilkan. Jenis
produk yang dapat dibuat dari opak singkong hanya terbatas pada wadah
berukuran kecil saja karena penampakan wadah yang tidak beraturan. Hal ini
dapat mempersulit pengembangan jenis produk wadah lain sehingga
mempersempit penjualan produk edible dishware.
Penggunaan formula terpilih produk wafer juga memiliki beberapa kendala
berhubungan dengan rasa dan bahan baku yang digunakan. Produk wafer hanya
dapat dibentuk menjadi wadah secara manual apabila kandungan gula tinggi.
Penggunaan margarin dapat menutupi rasa manis yang berasal dari gula. Akan
tetapi, produk yang dihasilkan menjadi kaya rasa dan tidak hambar. Selain itu
menurut Manley (2000), penggunaan putih telur dan gula pada formula wafer
termasuk ke dalam bahan yang memperkaya batter (enriching ingredients).
Bahan-bahan tersebut dalam jangka panjang dapat memberikan dampak buruk
pada proses produksi. Batter dengan komposisi ini cenderung menyebabkan
terakumulasinya kelebihan karbon pada lempeng oven, terutama pada bagian
sudut oven. Hal ini menyebabkan pelepasan lembaran wafer dari lempengan
logam pemanas menjadi sulit karena lengket. Matz (1992) juga menyebutkan
bahwa formula wafer yang menggunakan enriching ingredients telah lama
digunakan sehingga sudah jarang digunakan pada saat ini. Berdasarkan formulasi
kedua jenis produk, formula yang digunakan pada pengembangan edible dishware
sebaiknya mengacu pada formula untuk skala industri untuk meminimalkan
kendala produksi yang dihadapi. Wafer sudah banyak diproduksi pada industri
biskuit sedangkan opak masih diproduksi pada skala yang lebih kecil. Oleh karena
itu, formulasi dilanjutkan pada pengembangan wafer untuk skala industri.
Terdapat 4 formula wafer skala industri yang digunakan pada formulasi
lanjutan (Tabel 6). Formula telah mengalami beberapa modifikasi untuk jenis
bahan lesitin dan susu bubuk. Jenis dan jumlah lesitin pada formula yang
menggunakan lesitin dibuat sama yaitu lesitin cair sebanyak 0,05 gram per 100
gram terigu. Manley (2001) memberikan batas penggunaan lesitin cair sebesar
0,05 sampai 0,06 gram lesitin cair per 100 gram terigu. Sementara itu, jenis susu
diganti dari susu bubuk skim menjadi susu bubuk biasa dengan jumlah yang sama.
Pembuatan keempat formula menghasilkan karakteristik batter dan wafer yang
hampir sama.
Formula wafer skala industri menghasilkan karakteristik batter yang cair,
wafer dengan rasa hambar, tekstur renyah dan kuat, serta tidak berminyak.
Pembentukan wafer tidak dapat dilakukan secara manual karena formula tidak
menggunakan gula. Oleh karena itu, proses pemanggangan dan pencetakan
digabung dalam 1 tahap pengerjaan menggunakan mesin yang dirancang khusus.
17
Tabel 6 Komposisi bahan pada formulasi edible dishware berbasis wafer skala
industri
Komposisi (gram)
Tepung terigu, rendah protein
Minyak sawit
Minyak kelapa
Garam
Soda
Lesitin caire
Susu bubuk
Air
a
1
100,00
0,00
1,00
0,50
0,50
0,05
0,00
140,00
Formula
2
3c
100,00
100,00
2,25
2,40
0,00
0,00
0,25
0,23
0,32
0,32
0,05
0,05
0,00
0,00
137,00
147,00
b
4d
100,00
0,00
0,00
0,75
0,25
0,00
2,5f
150,00
a
Sumber: Matz & Matz (1978)
Sumber: Manley (200
LUPITA MAULIDA MUNAWAR
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Produk
Edible Dishware adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Lupita Maulida Munawar
NIM F34100035
ABSTRAK
LUPITA MAULIDA MUNAWAR. Pengembangan Produk Edible Dishware.
Dibimbing oleh INDAH YULIASIH.
Edible dishware merupakan pengembangan produk dari makanan menjadi
wadah peralatan makan edible dishware. Secara bersamaan, kemasan edible aman
dikonsumsi dan dapat menurunkan pencemaran lingkungan. Penelitian diarahkan
pada pengembangan wafer dan opak singkong sebagai produk dasar yang
umumnya berbentuk rigid dan hambar. Penelitian bertujuan mempelajari dan
mendapatkan formula produk, mendapatkan teknologi produksi, serta profil
produk edible dishware. Basis edible dishware ditentukan melalui formulasi 2
produk dasar sampai diperoleh formula terpilih yang memenuhi aspek teknologi
produksi dan profil produk. Formula edible dishware terbaik adalah wafer skala
industri dengan komposisi bahan terigu, minyak kelapa, lesitin kedelai cair, garam,
baking soda, dan air. Teknologi produksi terdiri atas pencampuran all-in
menggunakan air dingin (± 17 oC) selama 6 menit, pemanggangan sekaligus
pencetakan dalam 1 tahap menggunakan mesin khusus pada suhu 150 oC selama 4
menit, dan cooling selama 5 menit. Edible dishware berbentuk piring kecil
berukuran diameter 9 cm dengan bobot per unit 8 gram menyumbang kebutuhan
1,5% energi; 0,1% lemak; 1,4% protein; dan 2,2% karbohidrat terhadap Angka
Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata. Pengujian ketahanan menunjukkan batas waktu
maksimal produk kontak dengan udara adalah 90 menit dengan kadar air kritis
sebesar 4,3776% (b/b). Penanganan produk terdiri atas penanganan pada tingkat
produsen dan konsumen.
Kata kunci: edible dishware, kemasan edible, opak singkong, wadah, wafer
ABSTRACT
LUPITA MAULIDA MUNAWAR. Product Development of Edible Dishware.
Supervised by INDAH YULIASIH.
Edible dishware is a product development from food to edible dishware.
Edible packaging is both safe to consume and able to reduce environment
pollution. This research was conducted in developing wafer and opak singkong as
base product which ordinarily have rigid shape and plain taste. This study was
aimed to learn and obtain formula, determine production technology and profile of
edible dishware. Edible dishware base was determined by formulating 2 base
products until formula which is suitable in meeting production technology and
product profile requirements was obtained. The best edible dishware formula was
wafer for industry containing flour, coconut oil, liquid soya lechitin, salt, baking
soda, and water. Production technology required all-in mixing using cold water
(± 17 oC) for 6 minutes, 1 stage baking and shaping using a dedicated machine in
150 oC for 4 minutes, and 5 minutes cooling time. A small plate-shape edible
dishware which had 9 cm of diameter and 8 grams of weight per unit contributed
1,5% energy; 0,1% fat; 1,4% protein; and 2,2% carbohydrate to average minimum
nutritional requirement. Maintenance analyses showed that maximum time limit
for product in contact with open air was 90 minutes and critical moisture was
4,3776% (w/w). Product handling consisted of handling in producer and customer
level.
Keywords: dish, edible dishware, edible packaging, opak singkong, wafer
PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE
LUPITA MAULIDA MUNAWAR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2014 ini berjudul
Pengembangan Produk Edible Dishware.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Indah Yuliasih, STP, MSi
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan, serta
Dr Ir Aji Hermawan, MM dan Muhammad Arif Darmawan, STP, MT sebagai
dosen penguji. Di samping itu, penghargaan disampaikan kepada Recognition and
Mentoring Program (RAMP) IPB sebagai pihak yang menyediakan dana
penelitian, Ir Ade Iskandar, MSi sebagai dosen yang merancang mesin khusus
pada penelitian ini, dan staff laboratorium TIN. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada orang tua, keluarga, teman sebimbingan (Tiwi, Novi,
Auwalin, Suci, Ismanda, Elok, dan Feriska), teman seperjuangan program
technopreneurship, seluruh mahasiswa TIN 47, dan teman-teman kost Aisyah
(Tiara, Wanda, Astri, Icha, Sulis, Indah, Mega, Desty, dan Tri) yang selama ini
selalu memberikan dorongan dan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Lupita Maulida Munawar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
METODE
2
Alat dan Bahan
2
Tahapan Penelitian
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Opak Singkong
7
7
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Wafer
10
Pengembangan Formulasi Edible Dishware
15
Teknologi Produksi
19
Profil Produk
22
Analisis Kecocokan Produk dengan Pasar
26
SIMPULAN DAN SARAN
27
Simpulan
27
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap 1
Karakteristik prototipe produk pada formulasi opak singkong tahap 1
Karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap 1
Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap
2
Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap
3
Komposisi bahan pada formulasi edible dishware berbasis wafer skala
industri
Perhitungan biaya bahan baku edible dishware berbasis wafer formula 1
dan 4 dengan basis komposisi 100 gram tepung
Rendemen berdasarkan variasi bentuk edible dishware
Persentase AKG formula edible dishware berbasis wafer
5
8
10
11
13
17
19
22
23
DAFTAR GAMBAR
Diagram alir formulasi produk
Diagram alir pembuatan opak singkong
Diagram alir pembuatan wafer
Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap opak singkong pada jenis
singkong yang berbeda
5 Prototipe produk untuk formula opak singkong terpilih
6 Prototipe produk untuk formula wafer terpilih
7 Prototipe produk untuk formula edible dishware berbasis wafer
8 Grafik rata-rata kesukaan panelis pada formulasi edible dishware
berbasis wafer
9 Profil produk edible dishware berbasis wafer
10 Grafik penerimaan mutu kerenyahan edible dishware berbasis wafer
selama kontak dengan udara
11 Grafik hubungan antara waktu kontak udara edible dishware berbasis
wafer dengan kadar air produk
1
2
3
4
3
4
4
8
9
15
17
18
23
24
24
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Formulir uji organoleptik opak singkong
Formulir uji organoleptik wafer
Prosedur analisis komponen kimia produk
Formulir uji mutu hedonik kerenyahan pada uji ketahanan
Prosedur uji kadar air pada uji ketahanan
Data uji organoleptik pada formulasi opak singkong
Data uji organoleptik pada formulasi wafer
Daftar spesifikasi bahan baku produk edible dishware berbasis wafer
Data analisis kimia produk edible dishware terpilih
Data uji organoleptik kerenyahan pada uji ketahanan
Data kadar air produk edible dishware berbasis wafer pada uji ketahanan
29
30
31
33
33
34
35
36
38
39
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dishware adalah sejenis kemasan berbentuk wadah yang digunakan sebagai
peralatan makan. Komponen bahan penyusun kemasan pangan perlu diperhatikan
mengingat kondisi penggunaan kemasan yang tidak sesuai dapat menimbulkan
risiko keamanan pangan akibat migrasi. Migrasi adalah proses terjadinya
perpindahan suatu zat dari kemasan pangan ke dalam pangan, seperti pemutih,
pewarna, pengawet, dan lain-lain. Fenomena migrasi komponen kimia tertentu di
luar batas yang dapat diterima oleh tubuh dapat membahayakan kesehatan.
Peraturan mengenai bahan yang dilarang dan diizinkan sebagai kemasan yang
bersentuhan langsung dengan pangan, termasuk kondisi penggunaan kemasan
diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. HK 00.05.55.6497 Tahun 2007 tentang
bahan kemasan pangan. Edible dishware merupakan inovasi unik di bidang
kemasan yang aman dikonsumsi.
Gennadios (2002) menyebutkan bahwa dibandingkan dengan kemasan
berbasis petrokimia, kemasan edible dapat dimakan sehingga tidak meninggalkan
sisa kemasan. Bahkan apabila tidak dimakan, kemasan edible tetap dapat
berkontribusi menurunkan pencemaran lingkungan karena dapat didegradasi oleh
lingkungan. Menurut Robertson (2012), kemasan edible umumnya berbentuk
edible film, sheet, coating, atau pouch. Kemasan edible dishware merupakan
pengembangan dari produk pangan yang dapat dibuat menjadi wadah rigid dengan
rasa yang cenderung hambar agar tidak mengganggu makanan yang diwadahi,
misalnya wafer dan opak singkong. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan pada
pengembangan produk pangan menjadi wadah peralatan makan.
Wafer dan opak singkong dibuat melalui metode yang berbeda. Pada
umumnya wafer memiliki karakteristik bentuk yang tipis, renyah (Manley 2000),
hambar, dan rigid (Manley 2001). Istilah wafer mengarah pada tipe biskuit yang
dibuat dengan memanggang adonan cair di antara 2 jenis lempeng logam panas
yang berat (Manley 2000). Sementara itu, opak merupakan sejenis keripik
simulasi yang dibuat dari singkong. Keripik simulasi pertama kali dibuat oleh
Liepa (1976) dengan beberapa tahapan, yaitu pembuatan adonan, pembentukan
lembaran, pencetakan, dan penggorengan.
Basis produk pangan untuk edible dishware ditentukan melalui formulasi
kedua jenis produk dasar. Masing-masing formula dievaluasi agar diperoleh
alternatif formula yang layak diuji secara organoleptik. Jenis produk dasar dan
formula terpilih ditentukan dengan mempertimbangkan aspek teknologi produksi
terkait dengan pengadaan bahan dan metode pembuatan serta profil produk
terutama penampakan bentuk dan warna produk pada setiap tahap formulasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan mendapatkan formula produk
edible dishware, mendapatkan teknologi produksinya, serta profil produk edible
dishware.
2
METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri
Pertanian yaitu Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan
Mutu, dan Laboratorium Organoleptik, serta Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada Februari
sampai Juli 2014. Metode penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu formulasi
produk, identifikasi teknologi produksi, dan identifikasi profil produk.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah panci pengukus, food processor, sheeter,
blower, penggorengan, spinner peniris minyak, mixer, mesin pemanggang wafer
manual, dan mesin khusus untuk pemanggang wafer berbentuk wadah yang terdiri
atas pendeteksi suhu, pemanas, dan pemanggang sekaligus pencetak. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah 3 jenis singkong, yaitu gading, manggu, dan
roti, serta bahan penyusun wafer, yaitu terigu, margarin, minyak kelapa, minyak
sawit, telur ayam, susu cair, susu bubuk, lesitin kedelai cair, garam, gula, baking
soda, dan air.
Tahapan Penelitian
Formulasi Produk
Formulasi edible dishware bertujuan memperoleh formula produk yang
dapat diterima secara organoleptik. Formulasi dilakukan dengan cara penyusunan
dan pembuatan beberapa formula produk dasar yang dievaluasi dengan
mempertimbangkan aspek teknologi produksi dan profil produk. Aspek teknologi
produksi berhubungan dengan kemudahan pengadaan bahan dan teknis
pembuatan sedangkan profil produk berhubungan dengan penampakan bentuk dan
warna produk akhir. Dengan adanya evaluasi, perbaikan formula dapat dilakukan
lebih awal sehingga pengujian lebih lanjut terhadap formula yang tidak layak
dapat dihindari. Alternatif formula terpilih dilanjutkan ke tahap uji organoleptik
untuk mengetahui penerimaan panelis. Diagram formulasi produk disajikan pada
Gambar 1.
Formulasi dilakukan terhadap 2 jenis produk pangan, yaitu wafer dan opak
singkong. Kedua produk tersebut pada dasarnya memiliki kriteria utama yang
diperlukan dalam pengembangan edible dishware, yaitu kemampuan untuk dapat
dibentuk menjadi wadah rigid dan rasa yang cenderung hambar sehingga tidak
mengganggu makanan yang diwadahi. Akan tetapi, metode pembuatan keduanya
berbeda.
Menurut Djuwardi (2009) berdasarkan kadar asam sianida (HCN), singkong
dibagi ke dalam 3 kategori yaitu (1) tidak beracun (HCN < 50 ppm), (2) setengah
beracun (HCN 50 sampai 100 ppm), dan (3) sangat beracun (HCN > 100 ppm).
Opak singkong dibuat dari jenis singkong yang aman dikonsumsi yaitu memiliki
karakter rasa yang tidak pahit, warna umbi kuning atau putih, bentuk umbi pendek
dan kecil, kandungan pati, serat, serta HCN rendah seperti pada varietas singkong
3
lokal. Jenis singkong konsumsi yang baik digunakan pada produksi opak
singkong adalah singkong yang lembek dan tidak terlalu keras. Formulasi awal
opak singkong dilakukan dengan menggunakan 3 jenis singkong konsumsi, yaitu
singkong gading, manggu, dan roti tanpa menggunakan bahan tambahan lain.
Metode pembuatan opak singkong terdiri atas pengupasan dan pencucian,
pengukusan, penggilingan, pembentukan lembaran, pencetakan, pengeringan,
penggorengan, serta penirisan.
Basis produk
(opak singkong, wafer)
Penyusunan dan pembuatan formula
Evaluasi
Uji organoleptik
Penerimaan panelis
Formula terpilih
Gambar 1 Diagram alir formulasi produk
Pengukusan singkong dilakukan pada panci pengukus selama 45 menit.
Singkong kukus digiling menggunakan food processor hingga menghasilkan
adonan yang lembut dan bentuk yang homogen. Pembentukan lembaran adonan
dilakukan menggunakan sheeter dengan bantuan minyak sebagai pelumas dan
lembaran plastik atau secara manual dengan penggiling kayu. Pencetakan opak
berbentuk wadah dilakukan dengan meletakkan lembaran adonan pada punggung
wadah yang terbuat dari logam dan dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk
wadah. Permukaan wadah dilapisi dengan minyak untuk mempermudah pelepasan
adonan dari cetakan wadah. Adonan bersama cetakan dimasukkan ke dalam
blower pengering agar kadar air adonan singkong menurun sehingga diperoleh
opak kering yang siap digoreng. Pengeringan berlangsung selama 6 sampai 10
jam, pada 2 jam pertama adonan dilepaskan dari wadah cetakan agar pengeringan
merata. Penggorengan dilakukan dengan teknik deep frying dalam waktu singkat
(< 1 menit). Deep frying adalah metode penggorengan yang dilakukan dengan
menenggelamkan bahan ke dalam minyak panas. Minyak pada suhu tinggi
memanaskan dan menguapkan kandungan air dalam bahan hingga keluar melalui
permukaan bahan. Selanjutnya, kelebihan minyak ditiriskan dengan spinner
peniris minyak. Diagram alir pembuatan opak singkong disajikan pada Gambar 2.
Prototipe produk dibuat dengan mencetak lembaran adonan menjadi bentuk
4
lingkaran, kemudian diletakkan di atas loyang beralaskan alumunium foil yang
dilapisi minyak. Pada saat pengeringan, lembaran adonan singkong dilepaskan
dari alumunium foil dan dibalik agar suhu pengeringan merata.
Singkong segar
Pengupasan dan pencucian
Pengukusan (45 menit)
Penggilingan
Pembentukan lembaran
Pencetakan
Pengeringan (50 oC)
Penggorengan
Penirisan minyak
Opak singkong
Gambar 2 Diagram alir pembuatan opak singkong
Metode pembuatan wafer umumnya terdiri atas pencampuran,
pemanggangan, dan pencetakan adonan cair (batter) (Gambar 3). Pada tahap awal,
formulasi dilakukan terhadap 4 formula yang disusun dengan basis 100 gram
tepung. Formula menggunakan 2 jenis tepung yaitu terigu dan mocaf (modified
cassava), serta komposisi gula yang berbeda yaitu 10, 30, dan 40 gram.
Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap awal disajikan pada Tabel 1.
Bahan penyusun wafer
Pencampuran
Pemanggangan
Pencetakan
Wafer
Gambar 3 Diagram alir pembuatan wafer
5
Tabel 1 Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap 1
Komposisi
Terigu serbaguna (gram)
Mocaf (gram)
Minyak kelapa (ml)
Putih telur (gram)
Gula halus (gram)
Garam (gram)
Formula
1
100
0
100
128
40
3
2
100
0
100
128
10
3
3
0
100
100
128
30
3
4
0
100
100
128
10
3
Terigu merupakan bahan yang dapat mempengaruhi kualitas produk bakery
seperti wafer. Matz (1992) menyebutkan bahwa protein yang unik pada terigu
menghasilkan struktur produk bakery yang dapat mengembang tinggi. Berbeda
dengan terigu, mocaf tidak biasa digunakan pada produk bakery. Menurut Balitper
(2011), mocaf adalah tepung singkong yang mengalami proses fermentasi
sebelum dikeringkan. Fermentasi bertujuan memperbaiki sifat tepung singkong
sehingga memiliki karakter lebih putih dan tidak beraroma singkong. Kandungan
serat yang tinggi pada tepung singkong diharapkan dapat memberikan tekstur
yang baik pada produk.
Metode pembuatan wafer dilakukan dengan pembuatan foam dari putih telur
segar. Pengocokan dilakukan dengan mixer kecepatan tinggi selama ± 15 menit.
Pada awal pengocokan, cairan putih telur akan berbusa dan adonan menjadi
ringan. Penambahan gula pada tahap selanjutnya menyebabkan adonan menjadi
sedikit kaku sehingga terbentuk soft peak yaitu puncak yang tumpul. Adonan
terlihat mengkilat dan lembut. Apabila diangkat dengan mixer, adonan menempel
kemudian jatuh kembali. Pada tahap akhir terbentuk hard peak yaitu adonan
menjadi kaku dan membentuk puncak yang tajam. Adonan menjadi tidak
mengkilat. Apabila diangkat dengan mixer, adonan tetap menempel tanpa jatuh
kembali. Setelah foam dibuat, pengocokan dilanjutkan dengan memasukkan bahan
kering yaitu tepung dan garam, lalu minyak kelapa sampai adonan homogen.
Batter dipanggang pada mesin wafer sehingga menghasilkan lembaran wafer yang
fleksibel. Dalam keadaan panas, lembaran wafer segera dicetak secara manual
dengan cara mengapitnya di antara 2 wadah dengan bentuk yang sama.
Evaluasi yang dilakukan pada tiap tahap formulasi opak singkong dan wafer
menyebabkan komposisi formula berubah pada tahap formulasi berikutnya. Uji
organoleptik baru dapat dilakukan apabila formulasi sudah menghasilkan
beberapa alternatif formula dengan karakteristik yang layak sebagai produk edible
dishware. Karakteristik layak yang perlu dipenuhi adalah kemampuan produk
untuk dapat dibentuk, rasa produk yang cenderung hambar, teknologi produksi
yang lebih mudah, dan profil produk yang lebih baik.
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis
terhadap produk berdasarkan respon atau kesan yang diperoleh panca indera. Jenis
uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan yang dirancang untuk
memilih 1 produk di antara produk lain secara langsung (Setyaningsih et al. 2010).
Uji organoleptik melibatkan 31 panelis terlatih yang diminta untuk memberi
penilaian sifat mutu produk berupa tingkat kesukaan atau ketidaksukaan pada
6
skala hedonik 1 sampai 7, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak
tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Parameter
yang dinilai pada uji organoleptik opak singkong adalah warna, tekstur,
kerenyahan, aroma, dan rasa, sedangkan pada wafer adalah warna, kerenyahan,
aroma, dan rasa. Sampel yang disajikan berbeda dengan produk edible dishware
berbentuk wadah, melainkan berupa prototipe lembaran produk yang ukuran
sampelnya dibuat seragam. Formulir uji organoleptik opak singkong dan wafer
disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Identifikasi Teknologi Produksi
Teknologi produksi edible dishware meliputi kajian mengenai pengaruh
bahan yang digunakan dan sejumlah kondisi yang terjadi selama proses produksi.
Hal ini bertujuan memperoleh spesifikasi bahan dan kondisi proses yang sesuai
dengan kebutuhan sehingga kualitas produk seragam. Menurut Manley (2000),
identifikasi spesifikasi bahan berguna untuk mencapai kesepakatan antara
pengguna dan pemasok mengenai parameter terukur dari suatu bahan yang
relevan untuk digunakan. Kesepakatan berupa batas spesifikasi yang disyaratkan
untuk setiap parameter pada setiap bahan dengan teknik pengukuran yang
disepakati pula. Spesifikasi menjadi tidak berguna apabila tidak terjadi
kesepakatan antara kedua belah pihak atau persyaratan berada di luar kemampuan
pemasok. Selain itu, identifikasi kondisi proses dilakukan terutama terhadap tahap
akhir pembuatan produk yaitu pemasakan. Berdasarkan kedua jenis produk dasar
yang diformulasikan, pemasakan yang dimaksud berupa penggorengan atau
pemanggangan yang dapat diidentifikasi kondisi prosesnya berupa suhu dan lama
waktu pemasakan yang dibutuhkan agar diperoleh produk dengan karakteristik
yang baik. Oleh karena itu, identifikasi teknologi produksi dilakukan terhadap
formula terpilih dengan memperhatikan parameter kritis bahan dan kondisi proses
yang diperlukan untuk produk dasar yang dikembangkan menjadi edible dishware.
Identifikasi Profil Produk
Identifikasi profil produk edible dishware bertujuan memperoleh profil
produk dari formula terpilih dengan mengidentifikasi nilai gizi, ketahanan, dan
penanganan produk. Identifikasi nilai gizi produk bertujuan memperoleh
informasi mengenai besarnya sumbangan nilai gizi produk terhadap persentase
Angka Kecukupan Gizi (AKG) umum berupa kandungan lemak, protein,
karbohidrat, dan energi. Besarnya energi ditentukan berdasarkan hasil analisis
komponen kimia produk berupa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein,
dan karbohidrat oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi.
Prosedur analisis kimia disajikan pada Lampiran 3.
Identifikasi ketahanan produk bertujuan mengetahui batas lama waktu
maksimal produk dapat kontak dengan udara dan persentase kadar air kritis
produk agar dapat diterima oleh panelis. Sebagai produk kering, edible dishware
bersifat hidrofilik sehingga mudah menarik uap air dari udara (Syarief et al. 1989).
Peningkatan kadar air pada produk kering ini berhubungan dengan penerimaan
mutu kerenyahan produk. Pengujian ketahanan dilakukan terhadap produk yang
dikontakkan dengan udara selama 180 menit. Pengujian dilakukan secara subjektif
dan objektif setiap 30 menit. Secara subjektif, sebanyak 11 panelis terlatih
melakukan uji organoleptik mutu hedonik terhadap parameter kerenyahan agar
7
diperoleh batas lama waktu maksimal produk dapat kontak dengan udara sehingga
produk masih dapat diterima secara organoleptik oleh panelis. Formulir uji
ketahanan disajikan pada Lampiran 4. Penerimaan uji mutu kerenyahan
dikelompokkan ke dalam 3 skala penerimaan yaitu tidak suka (1 sampai 3), netral
(4), dan suka (5 sampai 7). Secara objektif, pengukuran kadar air dilakukan
terhadap sampel agar diperoleh pola perubahan kadar air selama produk kontak
dengan udara. Metode uji kadar air mengacu pada AOAC (2005) untuk produk
cereal foods pada Lampiran 5. Kadar air kritis produk diperoleh berdasarkan
waktu kontak maksimal produk dan pola perubahan kadar air produk selama
kontak dengan udara. Identifikasi penanganan produk meliputi penanganan pada
tingkat produsen dan konsumen berdasarkan karakteristik produk terpilih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Opak Singkong
Pembuatan prototipe formula opak singkong tahap 1 menunjukkan bahwa
ketiga jenis opak singkong memiliki perbedaan pada aspek produksi dan
karakteristik produk (Tabel 2). Adonan ketiga jenis singkong memiliki warna dan
tingkat kelengketan yang berbeda. Warna adonan tidak mempengaruhi
penerimaan panelis karena hanya penampakan visual produk akhir saja yang
dinilai. Sementara itu, tingkat kelengketan akan mempengaruhi kemudahan teknis
produksi. Adonan yang lengket pada singkong gading dan manggu mudah
menempel pada alat dan mesin sehingga mempersulit proses pembentukan
lembaran, pencetakan, dan pelepasan adonan dari cetakan wadah. Adonan
singkong roti yang cenderung keras dan kering pada permukaannya sulit melewati
2 logam pemutar sheeter sehingga sulit dibentuk lembaran. Akan tetapi, lembaran
adonan singkong roti paling mudah dicetak menjadi wadah apabila dibandingkan
dengan 2 jenis singkong yang lain. Tingkat kelengketan adonan yang berbeda
diatasi dengan penggunaan minyak yang berfungsi sebagai pelumas pada mesin
sheeter, alas alumunium foil, dan cetakan wadah logam. Singkong gading
memerlukan tambahan minyak paling banyak karena sangat lengket.
Karakteristik formula opak singkong memiliki perbedaan warna, rasa,
tingkat kekerasan, dan tekstur. Opak singkong gading memiliki banyak kelemahan
yaitu sangat keras, rasa pahit, dan tekstur permukaan yang bergelembung.
Sementara itu, profil opak singkong manggu dan roti hampir sama. Berdasarkan
formulasi tahap 1, opak singkong gading tidak dipilih karena proses pembuatan
yang sulit dan karakteristik rasa serta kekerasan yang tidak layak. Opak singkong
manggu masih dapat diterima karena meskipun pembuatan opak singkong
manggu sulit, karakteristiknya masih lebih baik dibandingkan dengan opak
singkong gading. Formulasi dilanjutkan pada tahap uji organoleptik menggunakan
opak dari singkong manggu dan roti.
Hasil pengolahan data uji organoleptik opak singkong pada tingkat
kepercayaan 95% disajikan pada Lampiran 6. Pengujian menunjukkan bahwa
kedua formula opak singkong manggu dan roti tidak memberikan pengaruh yang
8
signifikan terhadap tingkat penerimaan panelis pada parameter warna, tekstur,
kerenyahan, aroma, dan rasa. Akan tetapi, berdasarkan nilai rata-rata kesukaan
panelis pada Gambar 4 diperoleh bahwa karakteristik opak singkong manggu
lebih unggul pada parameter warna, tekstur, kerenyahan, dan rasa, sedangkan
opak singkong roti hanya unggul pada parameter aroma. Rendahnya penerimaan
aroma pada opak singkong disebabkan oleh penggunaan minyak yang berlebih
selama pembuatan produk.
Tabel 2 Karakteristik prototipe produk pada formulasi opak singkong tahap 1
Evaluasi
Penggilingan
Pembentukan
lembaran
Pencetakan
Pengeringan
Karakteristik
produk
Gading
Adonan berwarna
kuning dan lengket
Sulit, adonan terlalu
lengket
Sulit, membutuhkan
banyak minyak
7 sampai 10 jam
Warna kuning
kecokelatan, rasa
pahit, keras, tekstur
permukaan banyak
bergelembung
Jenis singkong
Manggu
Adonan berwarna
putih dan lengket
Sulit, adonan lengket
Sulit, membutuhkan
banyak minyak
6 sampai 9 jam
Warna cokelat muda,
rasa khas singkong,
agak keras, tekstur
permukaan
bergelembung
Roti
Adonan berwarna
putih, agak keras, dan
kering pada permukaan
Sulit, adonan terlalu
kering
Mudah, membutuhkan
minyak
6 sampai 8 jam
Warna putih
kecokelatan, rasa khas
singkong, tidak keras,
tekstur permukaan
sedikit bergelembung
Produk berlemak tinggi dapat mengalami kerusakan berupa perubahan bau
dan flavor menjadi tengik. Ketaren (2008) menyebutkan bahwa ketengikan
merupakan kerusakan lemak yang paling penting disebabkan oleh kontak oksigen
di udara dengan lemak. Oksidasi oksigen terjadi secara spontan jika bahan yang
mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara. Ketengikan pada opak
singkong disebabkan oleh minyak yang digunakan sebagai pelumas dan media
penggorengan.
Rata-rata kesukaan
7
6
5
4
Manggu
3
Roti
2
1
warna
tekstur
kerenyahan
aroma
rasa
Parameter uji
Gambar 4 Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap opak singkong pada jenis
singkong yang berbeda
9
Pada pembuatan opak, oksidasi dapat terjadi sejak pembentukan lembaran
adonan ketika minyak digunakan sebagai pelumas. Penggunaan minyak pada
proses pembentukan lembaran dan pencetakan opak singkong manggu yang lebih
banyak daripada opak singkong roti menyebabkan rendahnya penerimaan aroma
opak singkong manggu. Oksidasi juga dipercepat oleh suhu tinggi dan paparan
cahaya. Menurut Ketaren (2008), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di
udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan
penurunan suhu. Suhu tinggi berperan dalam oksidasi ketika proses pengeringan
dan penggorengan. Paparan cahaya selama penyiapan produk juga berperan
karena keberadaan oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi
sebagai akibat dari dekomposisi peroksida yang secara alamiah terdapat dalam
lemak.
Formula opak singkong manggu memiliki teknis pembuatan yang lebih sulit,
tetapi unggul pada penilaian warna, rasa, tekstur, dan kerenyahan. Sementara itu,
formula singkong roti memiliki teknis pembuatan yang lebih mudah daripada
singkong manggu, tetapi penerimaan panelis yang lebih rendah untuk hampir
semua parameter kecuali aroma. Rendahnya penilaian aroma yang disebabkan
oleh kerusakan minyak dapat dihindari dengan memperbaiki prosedur pembuatan
produk untuk meminimalkan penggunaan minyak dan menghindari faktor yang
dapat mempercepat oksidasi. Oleh karena itu, formula terpilih pada formulasi
opak singkong adalah singkong manggu. Prototipe opak singkong manggu
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Prototipe produk untuk formula opak singkong
terpilih
Prototipe opak singkong manggu selanjutnya dikembangkan menjadi
produk edible dishware. Pada proses penggorengan, opak kering yang sudah
berbentuk wadah berubah mengembang menjadi tidak beraturan. Semakin besar
ukuran opak akan semakin tidak beraturan bentuk produk sehingga produk edible
dishware berbasis opak singkong hanya dapat dibentuk menjadi wadah kecil
berukuran diameter 5 cm agar tetap diperoleh penampakan yang seragam.
10
Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Wafer
Formulasi edible dishware berbasis wafer tahap 1 diawali dengan
pembuatan prototipe dari 4 formula yang telah disusun. Prototipe dibuat dengan
mesin wafer manual yang dapat menghasilkan wafer berbentuk lembaran.
Karakteristik prototipe produk pada formulasi tahap 1 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap 1
Karakteristik
Rasa
Kemampuan dibentuk
Konsistensi batter
1A
manis
bisa
kental
Formula
1B
1C
hambar
manis
tidak
bisa
kental
kental
1D
hambar
tidak
kental
Secara keseluruhan, keempat formula menghasilkan batter yang kental dan
tekstur produk yang mudah lembek ketika kontak dengan udara. Kekentalan
batter berhubungan dengan komponen cair yang digunakan pada formula, yaitu
minyak kelapa dan putih telur. Perbedaan terletak pada rasa dan kemampuan
wafer untuk dibentuk.
Prototipe formula 1A dan 1C menghasilkan wafer yang manis karena
memiliki kandungan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula 1B dan
1D. Selain itu, formula 1A dan 1C juga menghasilkan wafer yang bisa dibentuk
sedangkan formula 1B dan 1D tidak bisa dibentuk. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan komposisi gula tidak hanya mempengaruhi rasa, tetapi juga
kemampuan wafer untuk dapat dibentuk. Almond et al. (1991) menyebutkan
bahwa resep wafer dengan kandungan gula tinggi (> 60% dari bobot tepung)
dapat menghasilkan jenis wafer yang fleksibel ketika dalam kondisi panas tepat
setelah pemanggangan, sehingga dapat dibentuk dan dilipat menjadi berbagai
bentuk. Setelah beberapa saat, wafer akan kembali mengeras sesuai dengan
bentuk yang diinginkan. Berdasarkan pembuatan formula tahap 1, meskipun gula
yang digunakan hanya sebesar 30% sampai 40% dari bobot tepung, wafer sudah
memiliki kemampuan untuk dapat dibentuk menjadi wadah. Kemampuan wafer
untuk dapat dibentuk ini berhubungan dengan kemampuan gula sukrosa murni
yang dapat mengkristal.
Kristalisasi sukrosa dapat terjadi apabila konsentrasi dan suhu diatur
sedemikian rupa sehingga berada pada kondisi jenuh (supersaturated). Pada saat
pemanggangan, panas menyebabkan kadar air batter menurun akibat penguapan.
Penurunan kadar air akan meningkatkan konsentrasi gula. Pada kondisi tepat
setelah pemanggangan, gula tidak berada pada fasa jenuh (supersaturated)
maupun tidak jenuh (unsaturated), melainkan fasa metastable di mana larutan
gula berada dalam wujud cair. Konsentrasi gula yang tinggi mempengaruhi
karakteristik wafer sehingga wafer menjadi fleksibel. Kondisi ini dimanfaatkan
untuk membuat wafer dengan berbagai bentuk. Beberapa saat kemudian suhu
produk akan segara menurun menyebabkan gula memasuki fasa jenuh sehingga
mengkristal bersama dengan bahan lainnya. Apabila komposisi gula tidak cukup
tinggi, gula tidak dapat mempengaruhi karakteristik wafer sehingga produk akan
langsung mengeras. Panas menyebabkan komponen pati pada tepung
11
tergelatinisasi. Berdasarkan formulasi tahap 1, kemampuan wafer untuk dapat
dibentuk secara manual tepat setelah pemanggangan hanya dapat dipenuhi apabila
kandungan gula tinggi, yang berdampak pada rasa wafer yang manis. Oleh karena
itu, kemampuan wafer yang dapat dibentuk dipertahankan dengan menyusun 2
formula lain yang memiliki kandungan gula tinggi.
Formula pizzele waffle cone oleh Weinstein (2009) dalam The Ultimate Ice
Cream Book mengandung komponen gula dan lemak yang tinggi, yaitu 75% gula
dan 163% mentega (butter) dari bobot tepung. Komponen lainnya adalah terigu
dan telur utuh. Formulasi tahap 2 dikembangkan dari formula ini dengan
mengganti beberapa komponen bahan yaitu tepung dan mentega. Tepung
dibedakan menjadi terigu dan mocaf, sedangkan mentega digantikan dengan
margarin. Menurut Ketaren (2008), mentega biasanya memberikan aroma yang
enak dan khas pada produk yang berasal dari penguraian laktosa dalam lemak
susu. Akan tetapi, kemampuan mentega ini tidak diperlukan pada produk. Edible
dishware diharapkan memiliki rasa dan aroma yang cenderung hambar agar tidak
mengganggu makanan yang diwadahi. Selain itu, harga mentega cenderung lebih
mahal dibandingkan dengan bahan lemak lainnya. Margarin dikenal sebagai
bahan pengganti mentega yang terbuat dari lemak nabati dan memiliki aroma
yang tidak sekuat mentega. Oleh karena itu, penggunaan mentega digantikan
dengan margarin. Komposisi bahan yang digunakan pada formulasi tahap 2
disajikan pada Tabel 4. Pembuatan formulasi tahap 2 lebih sederhana
dibandingkan dengan tahap 1 karena tidak dilakukan proses pemisahan telur
menjadi putih dan kuning telur. Metode pencampuran pada formulasi tahap 2
adalah pengocokan gula dan telur sampai pucat, penambahan margarin yang telah
dicairkan, kemudian tepung sedikit demi sedikit.
Tabel 4 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer
tahap 2
Komposisi dan karakteristik
Komposisi
Terigu serbaguna (gram)
Mocaf sangrai (gram)
Margarin (gram)
Telur utuh (gram)
Gula halus (gram)
Karakteristik
Rasa
Kemampuan dibentuk
Konsistensi batter
Aroma telur
Minyak
Tekstur
Formula
2A
2B
100
0
163
128
75
0
100
163
128
75
manis dan asin
khas margarin
mudah
kental
kuat
tidak berminyak
manis dan asin
khas margarin
mudah
kental
kuat
sangat banyak,
tersisa pada mesin
sangat rapuh
rapuh
12
Berdasarkan Tabel 4, formulasi tahap 2 tetap menghasilkan wafer dengan
batter yang kental. Kedua formula menghasilkan wafer yang lebih mudah
dibentuk, aroma telur yang kuat, tekstur yang rapuh, warna batter yang kuning,
dan rasa khas margarin. Kemudahan pembentukan ditunjukkan dengan wafer
yang fleksibel lebih lama setelah dipanggang dibandingkan dengan formulasi
tahap 1. Penggunaan margarin dalam jumlah besar juga secara langsung
mempengaruhi warna batter dan rasa produk. Warna batter menjadi kuning sesuai
dengan warna margarin dan rasa asin margarin muncul menutupi rasa wafer yang
manis. Rasa wafer pada formulasi tahap 2 tidak dapat dikatakan hambar, tetapi
pada penggunaannya cocok untuk mewadahi produk manis atau asin. Aroma telur
dan tekstur yang rapuh disebabkan oleh penggunaan telur. Aroma telur terlalu
kuat sehingga mengganggu produk.
Matz (1992) menyebutkan bahwa telur dapat mempengaruhi cita rasa, warna,
dan tekstur pada produk bakery. Penggunaan sedikit komponen telur pada formula
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap struktur karena kandungan protein
dan emulsifier yang secara alami terdapat pada telur. Selain telur, lemak juga
mempengaruhi tekstur produk.
Menurut Manley (2000), selama pencampuran terjadi kompetisi antara fase
lemak dan air pada permukaan tepung. Komponen air atau larutan gula
berinteraksi dengan tepung terigu menyebabkan protein glutenin dan gliadin
terhidrasi dan membentuk massa gluten, dalam hal ini fase air diperoleh secara
alami dari bahan karena tidak ada tambahan air pada formula. Lemak melapisi
campuran ini dan menganggu hubungan air dan tepung memberikan karakter
produk yang lebih rapuh dan mencair di mulut. Jika kandungan lemak tinggi,
massa gluten yang terbentuk sedikit, pati mengalami swelling, dan gelatinisasi
berkurang memberikan tekstur yang sangat lembut. Akan tetapi, struktur formula
2B yang menggunakan mocaf menghasilkan wafer yang sangat rapuh hingga
berlubang dan tidak dapat terbentuk secara utuh. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan mocaf dalam membentuk massa gluten, berbeda dengan tepung
terigu pada formula 2A. Komponen minyak pada formula 2B juga banyak tersisa
pada mesin wafer hingga mengganggu pemanggangan batter. Formulasi tahap 2
menunjukkan bahwa penggunaan terigu memberikan struktur wafer yang lebih
baik dibandingkan dengan mocaf. Formulasi dilanjutkan ke tahap 3 untuk
mengurangi kekentalan batter, aroma telur, dan komponen minyak.
Formula waffle cone oleh Williams Sonoma Kitchen (2013) menggunakan
lemak yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan formula Weinstein yaitu
sebesar 68% dari bobot tepung. Pengurangan jumlah komponen lemak diiringi
dengan penambahan komponen susu cair agar diperoleh batter dengan konsistensi
yang lebih cair. Jumlah gula pada formula Williams sebanyak 75% dari bobot
tepung. Pengembangan formula pada formulasi tahap 3 dilakukan dengan
melakukan beberapa modifikasi pada komponen telur dan lemak. Jenis telur
dibedakan menjadi telur utuh dan putih telur untuk mengurangi aroma telur yang
menyengat. Putih telur yang digunakan berasal dari 2 butir telur. Sama seperti
formulasi tahap 2, mentega diganti dengan margarin. Komposisi bahan yang
digunakan pada formulasi tahap 3 disajikan pada Tabel 5.
Pembuatan batter formula 3B dilakukan dengan terlebih dahulu membuat
foam dari putih telur dan gula. Selanjutnya, margarin cair, terigu, dan susu cair
13
dimasukkan secara berurutan. Berdasarkan Tabel 5, formulasi tahap 3
menghasilkan wafer yang dapat dibentuk, rasa khas margarin, dan tidak
berminyak pada mesin juga wafer. Perbedaan kedua formula terdapat pada
kekentalan batter, tekstur, dan aroma wafer. Formula 3A memiliki batter yang
lebih cair, aroma telur yang lebih kuat, dan tekstur yang lebih rapuh dibandingkan
dengan formula 3B. Formula 3B yang menggunakan putih telur memiliki tekstur
yang rapuh tetapi agak liat sehingga tidak mudah hancur. Sampai pada formulasi
tahap 3, formula 3B memiliki karakteristik yang cukup layak kecuali rasa wafer
yang tidak dapat dibuat hambar. Beberapa tahap formulasi lanjutan dilakukan
untuk menentukan jenis bahan yang paling baik.
Tabel 5 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer
tahap 3
Komposisi dan karakteristik
Komposisi
Terigu serbaguna (gram)
Margarin (gram)
Telur utuh (gram)
Putih telur (gram)
Susu cair (ml)
Gula halus (gram)
Garam (gram)
Karakteristik
Rasa
Kemampuan dibentuk
Konsistensi batter
Aroma telur
Minyak
Tekstur
Formula
3A
3B
100
68
128
0
70
75
2
100
68
0
149
70
75
2
manis dan asin
khas margarin
mudah
sangat cair
kuat
tidak berminyak
rapuh
manis dan asin
khas margarin
mudah
cair
tidak ada
tidak berminyak
rapuh tetapi liat
Formulasi tahap 4 dilakukan dengan mengganti jenis gula dari gula halus
menjadi gula pasir. Gula pasir memiliki harga yang cenderung lebih murah
dibandingkan dengan gula halus. Ukuran partikel gula pasir yang lebih besar tidak
mengganggu teknis pembuatan karena skala yang digunakan pada pengembangan
produk masih kecil. Berdasarkan prototipe produk yang dibuat, penggantian jenis
gula tidak secara signifikan mempengaruhi karakteristik wafer, terutama
kemampuan untuk dibentuk sehingga gula pasir dipilih untuk formulasi
selanjutnya.
Formulasi tahap 5 membandingkan jenis minyak yang digunakan yaitu
margarin, minyak kelapa, dan minyak sawit. Berdasarkan formulasi jenis minyak
diperoleh bahwa formula minyak kelapa dan minyak sawit memberikan rasa yang
lebih manis dibandingkan dengan margarin sedangkan formula yang mengandung
margarin memberikan rasa gurih yang secara bersamaan menutupi rasa manis
14
sebagai dampak dari penggunaan gula dalam jumlah besar. Rasa manis tidak
diinginkan pada produk, sedangkan rasa manis dan asin yang dihasilkan pada
formula margarin masih dapat dikombinasikan dengan produk manis dan asin.
Oleh karena itu, jenis komponen minyak yang dipilih adalah margarin.
Formulasi tahap 6 membandingkan penggunaan kombinasi tepung terigu
dengan tepung lain sebesar 3:1. Jenis tepung yang digunakan tergolong tepung
minor dalam pembuatan biskuit, yaitu maizena, tapioka, dan tepung beras. Secara
keseluruhan, tekstur wafer yang dihasilkan menjadi lebih renyah dan rapuh
dibandingkan dengan penggunaan tepung terigu saja. Hal ini berhubungan dengan
kandungan protein pada tepung.
Menurut Manley (2000), terigu memiliki ciri khas yang unik karena
kandungan proteinnya yang dapat membentuk massa gluten melalui proses
pencampuran dan hidrasi oleh air. Pada produk wafer, semakin rendah kandungan
protein tepung semakin lemah dan rapuh tekstur yang dihasilkan sedangkan
semakin tinggi kandungan protein tepung, semakin kuat tekstur wafer tersebut.
Pada maizena dan tapioka, komponen pati dipisahkan dari komponen lain dalam
tepung jagung dan singkong sehingga memiliki kandungan protein, vitamin, dan
mineral yang rendah. Pada tepung beras, kandungan protein juga rendah. Akan
tetapi, protein yang dimaksud dalam pembuatan biskuit adalah protein yang
mampu membentuk massa gluten seperti pada terigu. Jadi, meskipun terdapat
sedikit kandungan protein yang berasal dari jagung, singkong, dan beras, protein
tersebut tidak dapat membentuk massa gluten sehingga tekstur wafer akan
menjadi lemah dan rapuh. Berdasarkan formulasi tahap 6, jenis tepung yang
terpilih adalah terigu karena tekstur wafer yang dihasilkan lebih kuat
dibandingkan dengan kombinasi tepung terigu dengan maizena, tapioka, dan
tepung beras. Tekstur wafer yang kuat diperlukan untuk pengembangan produk
wadah agar dapat menahan benturan dan goncangan.
Formulasi dilanjutkan ke tahap 7 untuk dengan membandingkan
penggunaan susu cair dan tidak sama sekali. Penggunaan bahan susu cair pada
formula berarti menambah jumlah bahan yang digunakan pada formula. Akan
tetapi, semakin sedikit jenis bahan yang digunakan, semakin mudah pengadaan
dan penyimpanan bahan selama hal tersebut sesuai dengan karakteristik produk
yang diinginkan. Penggunaan susu cair secara langsung berkontribusi pada
peningkatan jumlah komponen cair sehingga memungkinkan perbedaan
karakteristik produk yang dihasilkan. Berdasarkan formulasi tahap 7 diperoleh
bahwa penggunaan susu cair secara signifikan menghasilkan batter yang lebih
cair dan tekstur wafer yang sedikit lebih rapuh dibandingkan tanpa penggunaan
susu cair. Hal ini sesuai dengan Manley (2000) bahwa semakin kental batter
wafer semakin berat atau tebal wafer yang dihasilkan. Kekentalan batter
sebenarnya dapat mempengaruhi beberapa hal pada produksi wafer, salah satunya
adalah warna produk akhir yang tidak merata. Pada saat batter yang kental
dialirkan ke atas plat besi pemanggang wafer, batter akan sulit mengalir sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama hingga diperoleh sejumlah batter untuk
memenuhi 1 unit wadah. Bagian batter yang terlebih dahulu kontak dengan panas
pada permukaan pemanggang akan mengalami gelatinisasi lebih awal sehingga
memungkinkan warna produk yang tidak merata. Akan tetapi pada formulasi
tahap 7, tetap diperoleh warna wafer yang seragam. Hal ini terkait dengan waktu
penutupan mesin pemanggang yang dilakukan secara cepat sehingga panas
15
pemanggang tersebar secara lebih awal dan merata. Oleh karena itu, formula yang
terpilih adalah tanpa penggunaan susu cair.
Formulasi tahap 8 dilakukan untuk memperbaiki rasa produk dengan
meminimalkan penggunaan gula. Pengurangan gula perlu dilakukan agar
diperoleh produk dengan rasa yang dapat diaplikasikan untuk produk dengan
berbagai macam rasa. Akan tetapi, meskipun pengurangan gula dapat menurunkan
rasa manis, kemampuan produk untuk dapat dibentuk akan berkurang. Formulasi
dilakukan dengan membandingkan penggunaan gula pasir sebesar 75% dengan
47% dari bobot tepung. Formulasi menunjukkan bahwa pengurangan gula pasir
menjadi 47% dapat menurunkan rasa manis dan kemampuan wafer untuk
dibentuk, tetapi produk masih dapat dibentuk menjadi wadah. Oleh karena itu,
formula yang terpilih adalah formula dengan komposisi gula sebesar 47%. Secara
keseluruhan, formula wafer terpilih terdiri atas terigu, margarin, putih telur, gula
pasir, dan garam dengan prototipe yang disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Prototipe produk untuk formula wafer terpilih
Pengembangan Formulasi Edible Dishware
Berdasarkan formulasi yang telah dilakukan, diperoleh 2 formula terpilih
untuk opak singkong dan wafer. Produk dasar yang akan dikembangkan menjadi
edible dishware sebaiknya memiliki aspek teknologi yang sederhana dan
karakteristik profil produk yang sesuai agar dapat diproduksi secara komersial.
Akan tetapi, terdapat kendala yang ditemui pada pengembangan kedua produk
tersebut. Pembuatan opak dan wafer masih menggunakan bahan baku segar.
Opak dibuat dari bahan singkong segar yang cenderung cepat rusak
sehingga hanya dapat disimpan paling lama sekitar 2 hari (Djuwardi 2009).
Sementara itu, wafer dibuat menggunakan putih telur segar yang perlu ditangani
secara hati-hati. Putih telur berfungsi sebagai bahan pengembang sekaligus
komponen cair utama pada formula wafer. Kemampuan putih telur untuk
membentuk foam akan terganggu seiring dengan lamanya penyimpanan dan
adanya kontaminasi kuning telur akibat pemisahan yang tidak baik (Matz 1992).
Penggunaan bahan baku yang mudah rusak dalam produksi menyebabkan
pembelian dan pengiriman bahan baku menjadi lebih sering dilakukan sehingga
16
berdampak pada biaya yang lebih tinggi. Akan tetapi, biaya penggudangan
menjadi lebih rendah karena perputaran bahan dalam gudang terjadi secara cepat.
Selain itu, terdapat risiko mutu bahan baku segar yang tidak konsisten sehingga
menyebabkan mutu produk menjadi tidak seragam.
Produksi opak memiliki beberapa kendala, yaitu sulitnya teknis pembuatan
dan terbatasnya jenis produk wadah yang dapat dihasilkan. Pembuatan opak
terdiri atas banyak tahapan yang hampir seluruhnya perlu dilakukan secara
manual. Kegiatan yang dilakukan secara manual berarti diperlukan banyak
pekerja dan kontak antara produk dengan pekerja terjadi lebih sering. Kontak ini
perlu diminimalkan terkait dengan aspek kebersihan produk yang dihasilkan. Jenis
produk yang dapat dibuat dari opak singkong hanya terbatas pada wadah
berukuran kecil saja karena penampakan wadah yang tidak beraturan. Hal ini
dapat mempersulit pengembangan jenis produk wadah lain sehingga
mempersempit penjualan produk edible dishware.
Penggunaan formula terpilih produk wafer juga memiliki beberapa kendala
berhubungan dengan rasa dan bahan baku yang digunakan. Produk wafer hanya
dapat dibentuk menjadi wadah secara manual apabila kandungan gula tinggi.
Penggunaan margarin dapat menutupi rasa manis yang berasal dari gula. Akan
tetapi, produk yang dihasilkan menjadi kaya rasa dan tidak hambar. Selain itu
menurut Manley (2000), penggunaan putih telur dan gula pada formula wafer
termasuk ke dalam bahan yang memperkaya batter (enriching ingredients).
Bahan-bahan tersebut dalam jangka panjang dapat memberikan dampak buruk
pada proses produksi. Batter dengan komposisi ini cenderung menyebabkan
terakumulasinya kelebihan karbon pada lempeng oven, terutama pada bagian
sudut oven. Hal ini menyebabkan pelepasan lembaran wafer dari lempengan
logam pemanas menjadi sulit karena lengket. Matz (1992) juga menyebutkan
bahwa formula wafer yang menggunakan enriching ingredients telah lama
digunakan sehingga sudah jarang digunakan pada saat ini. Berdasarkan formulasi
kedua jenis produk, formula yang digunakan pada pengembangan edible dishware
sebaiknya mengacu pada formula untuk skala industri untuk meminimalkan
kendala produksi yang dihadapi. Wafer sudah banyak diproduksi pada industri
biskuit sedangkan opak masih diproduksi pada skala yang lebih kecil. Oleh karena
itu, formulasi dilanjutkan pada pengembangan wafer untuk skala industri.
Terdapat 4 formula wafer skala industri yang digunakan pada formulasi
lanjutan (Tabel 6). Formula telah mengalami beberapa modifikasi untuk jenis
bahan lesitin dan susu bubuk. Jenis dan jumlah lesitin pada formula yang
menggunakan lesitin dibuat sama yaitu lesitin cair sebanyak 0,05 gram per 100
gram terigu. Manley (2001) memberikan batas penggunaan lesitin cair sebesar
0,05 sampai 0,06 gram lesitin cair per 100 gram terigu. Sementara itu, jenis susu
diganti dari susu bubuk skim menjadi susu bubuk biasa dengan jumlah yang sama.
Pembuatan keempat formula menghasilkan karakteristik batter dan wafer yang
hampir sama.
Formula wafer skala industri menghasilkan karakteristik batter yang cair,
wafer dengan rasa hambar, tekstur renyah dan kuat, serta tidak berminyak.
Pembentukan wafer tidak dapat dilakukan secara manual karena formula tidak
menggunakan gula. Oleh karena itu, proses pemanggangan dan pencetakan
digabung dalam 1 tahap pengerjaan menggunakan mesin yang dirancang khusus.
17
Tabel 6 Komposisi bahan pada formulasi edible dishware berbasis wafer skala
industri
Komposisi (gram)
Tepung terigu, rendah protein
Minyak sawit
Minyak kelapa
Garam
Soda
Lesitin caire
Susu bubuk
Air
a
1
100,00
0,00
1,00
0,50
0,50
0,05
0,00
140,00
Formula
2
3c
100,00
100,00
2,25
2,40
0,00
0,00
0,25
0,23
0,32
0,32
0,05
0,05
0,00
0,00
137,00
147,00
b
4d
100,00
0,00
0,00
0,75
0,25
0,00
2,5f
150,00
a
Sumber: Matz & Matz (1978)
Sumber: Manley (200