Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Tungau Merah dari Tanaman Ubi Kayu di Daerah Bogor, Garut dan Rembang

EKSPLORASI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES PADA
TUNGAU MERAH DARI TANAMAN UBI KAYU DI DAERAH
BOGOR, GARUT DAN REMBANG

SUTARJO

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Eksplorasi Cendawan
Entomophthorales pada Tungau Merah dari Tanaman Ubi Kayu di Daerah Bogor,
Garut dan Rembang” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Sutarjo
A34100069

ABSTRAK
SUTARJO. Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Tungau Merah dari
Tanaman Ubi Kayu di Daerah Bogor, Garut dan Rembang. Dibawah bimbingan
RULY ANWAR.
Tungau merah merupakan hama penting pada ubi kayu yang dapat
menimbulkan kerugian ekonomi mencapai 95%. Cendawan Entomophthorales
merupakan musuh alami dari tungau merah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menghitung tingkat infeksi cendawan Entomophthorales
yang menginfeksi tungau merah dari tanaman ubi kayu di lapangan. Sebanyak 50100 tungau merah diambil sebanyak 4 kali di semua lokasi dan kemudian
dimasukkan ke dalam botol yang berisi alkohol. Preparat tungau merah dibuat
dengan media larutan lactophenol-cotton blue dan diidentifikasi menggunakan
mikroskop cahaya. Stadia cendawan Entomophthorales yang ditemukan adalah
badan hifa, konidia sekunder, konidia primer dan cendawan saprofitik. Tingkat
infeksi cendawan Entomophthorales paling rendah 22.58% di Desa Babakan

Raya dan paling tinggi 55.07% di Desa Cikarawang.
Kata kunci: musuh alami, stadia cendawan, tingkat infeksi

ABSTRACT
SUTARJO. Exploration of Entomophthoralean Fungus for Red Mites on Cassava
Plants in Area of Bogor, Garut and Rembang. Under supervised by RULY
ANWAR.
The cassava red mite have been considered as one of the important cassava
pests in Indonesia. Entomophthoralean fungus is one of the natural enemy agents
has been used to control red mite. The objective of this study was to explore the
entomophthoralean fungus in cassava mite. The number of sampled mites was 50100 mites for each sampling date. Sampled mites were put in 30 ml volume jar
and filled up with 70% etanol for next work in laboratory. Microscope slide
squash mounts in lactophenol cotton blue were made for mites to determine
development stages of entomophthoralean fungus found infecting red mites in
cassava plants. The fungus development stage found on the mites were hyphal
body, conidia secondary, primary conidia, and saprophytic fungi. The highest
fungus infection on the mites occurred in the Cikarawang’s village (55.07%) and
the lowest fungus infection level occurred in the Babakan Raya’s village
(22.58%).
Keywords: fungus stages, infection levels, natural enemies


Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

EKSPLORASI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES PADA
TUNGAU MERAH DARI TANAMAN UBI KAYU DI DAERAH
BOGOR, GARUT DAN REMBANG

SUTARJO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian

pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Tungau Merah dari
Tanaman Ubi Kayu di Daerah Bogor, Garut dan Rembang
Nama
: Sutarjo
NIM
: A34100069

Disetujui oleh

Dr Ir Ruly Anwar, MSi
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat Rahmat dan
Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir ini
yang berjudul “Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Tungau Merah dari
Tanaman Ubi Kayu di Daerah Bogor, Garut dan Rembang” dapat diselesaikan
dengan baik, sebagai salah satu syarat menjadi sarjana pertanian IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua dan kakak yang
selalu memberikan semangat dan dukungan untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis ucapankan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. sebagai
dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan,
pengetahuan, saran dan arahan kepada penulis. Ucapan terima kasih tidak lupa
penulis ucapkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan dukung-an dana

penelitian melalui Beasiswa Bidik Misi. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 dan seseorang
yang selalu mendukung terlaksananya penelitian tugas akhir penulis. Serta pihak
lain yang turut membantu dalam penyusunan penelitian tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
penelitian tugas akhir ini. Semoga penelitian tugas akhir ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan pembaca.

Bogor, Juni 2014
Sutarjo

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

BAHAN DAN METODE

3

Tempat dan Waktu Penelitian

3

Bahan dan Alat

3

Metode Penelitian

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Deskripsi varietas Tanaman Ubi Kayu di Lokasi Pengamatan

5

Gambaran Umum Tanaman Ubi kayu di Lokasi Pengamatan

6

Fase Cendawan Entomophthorales pada Tungau Merah

7

Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Cendawan Entomophthorales

9


Infeksi Cendawan Entomophtorales pada Tungau Merah
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

10
14
14

Saran
DAFTAR PUSTAKA

14
15

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP


19

DAFTAR TABEL
1. Waktu Pengambilan Tungau Merah di Lahan Penelitian
2. Rata-rata Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthoraes

4
13

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.

Varietas Ubi Kayu di Lokasi Penelitian
Kondisi Lokasi Penelitian
Stadia Cendawan Entomophthorales yang ditemukan
Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Tungau Merah
Komposisi Stadia Cendawan Entomophthorales yang Menginfeksi
Tungau Merah

5
7
9
10
13

DAFTAR LAMPIRAN
1. Stadia Cendawan Entomophthorales
2. Infeksi Stadia cendawan Entomophthorales

16
18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ubi kayu merupakan tanaman pangan dan industri penting di Indonesia.
Tanaman ini mempunyai peranan penting, diantaranya adalah untuk memenuhi
kebutuhan pangan, mengatasi ketimpangan sosial dan mendukung pengembangan
industri. Sebagian besar masyarakat Indonesia, menjadikan tanaman ubi kayu
sebagai makanan pokok, karena merupakan sumber karbohidrat yang tinggi
setelah beras dan jagung. Bidang industri, tanaman ini dikembangkan sebagai
sumber energi bioetanol (Wargiono et al. 2009).
Permintaan ubi kayu di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan
sebesar 2.23%, tetapi produksinya mengalami penurunan (Wargiono et al. 2009).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012) produksi ubi kayu di Indonesia
pada tahun 2011 mencapai 24 044 025 ton dan mengalami penurunan pada tahun
2012 menjadi 22 267 786 ton. Penurunan produksi ubi kayu diantaranya
diakibatkan oleh serangan hama tanaman.
Salah satu hama penting pada tanaman ubi kayu adalah tungau merah,
(Tetranychus kanzawai), (Acari: Tetranychidae) yang dapat menimbulkan
kerugian secara ekonomi. Kerugian secara ekonomi akibat serangan hama tersebut
dapat mencapai 95% pada serangan yang parah dan dalam waktu serangan yang
lama (Indiati 1999).
Pengendalian hayati hama adalah salah satu teknik pengendalian yang
aman, ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan memanfaatkan musuh alami
hama, seperti predator, parasitoid dan patogen. Salah satu musuh alami yang
efektif digunakan untuk mengendalikan hama tungau adalah adalah patogen dari
golongan cendawan.
Cendawan Entomophthorales merupakan musuh alami dari hama kutukutuan dan tungau. Sembilan spesies cendawan tersebut, dilaporkan bersifat
patogenik terhadap Artrhopoda, dimana 7 spesies diantaranya dapat menginfeksi
tungau dan 2 spesies lainnya dapat menginfeksi famili Phalangiidae (Keller dan
Wegensteiner 2007). Cendawan tersebut bersifat obligat pada inang yang spesifik
di lapangan. Cendawan ini, di Amerika Selatan dan Afrika Selatan digunakan
untuk mengendalikan tungau ubi kayu, Mononychellus tanajoe (Oduor et al.
1997).
Tungau yang terinfeksi cendawan Entomophthorales akan mati pada sore
hari, konidia primer akan dihasilkan selama kondisi kelembaban udara tinggi dan
suhu rendah yaitu pada waktu malam hari, atau pagi sebelum terbitnya matahari.
Konidia primer tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi kelembaban udara
rendah pada siang hari. Konidia primer tersebut, kemudian menghasilkan
capiliconidia (konidia sekunder) pada malam hari. Tungau merah akan aktif
bergerak pada siang hari, sebagaian besar tungau merah akan bergerak di sekitar
permukaan daun, capiliconidia tersebut menempel pada tubuh tungau dan
menginfeksi dan berkecambah pada malam berikutnya (Poinary 1998).
Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi tungau merah di Indonesia
belum pernah dilaporkan, sehingga penelitian ini sangat penting dilakukan untuk
mengetahui potensi cendawan Entomophthorales sebagai agen hayati tungau
merah dari tanaman ubi kayu di lapangan. Penelitian yang dilakukan Nurhayati

2
dan Anwar (2012) ditemukan bahwa genus Neozygites menginfeksi Paracoccus
marginatus pada tanaman ubi kayu di Wilayah Kecamatan Rancabungur dan
Bubulak, Bogor, Jawa Barat.
Perumusan Masalah
Tungau merah Tetranychus kanzawai merupakan salah satu hama penting
tanaman ubi kayu. Pengendalian yang selama ini dilakukan oleh petani dengan
insektisida atau akarisida. Pemanfaatan cendawan Entomophthorales merupakan
salah satu alternatif cara pengendalian hama yang aman dan ramah lingkungan.
Sampai saat ini asosiasi cendawan Entomophthorales terhadap tungau merah
belum diketahui. Oleh karena itu penelitian untuk mengetahui eksplorasi
cendawan Entomophthorales dan tingkat infeksinya sebagai agen pengendali
hayati pada tungau di lapangan.
.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menghitung tingkat
infeksi cendawan Entomophthorales pada tungau merah dari tanaman ubi kayu di
daerah Bogor, Garut dan Rembang.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
cendawan Entomophthorales yang dapat dijadikan sebagai agen pengendali hayati
pada tungau merah di lapangan.

3

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel tungau merah dilakukan di daerah Bogor, Garut dan
Rembang dari tanaman ubi kayu. Pembuatan preparat dan identifikasi tungau
merah yang terinfeksi cendawan Entomophthorales dilakukan di Laboratorium
Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2013 sampai bulan Maret 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lactophenol-cotton blue,
alkohol 70%, dan pewarna kuku bening. Alat yang digunakan adalah pinset,
gunting, pipet tetes, tisu, kertas label, preparat slide beserta kaca penutup, botol
bervolume 30 ml, dan mikroskop cahaya.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Tungau Merah di Lapangan
Sampel tungau merah diambil dari tanaman ubi kayu dengan cara
memotong bagian tanaman yang terserang. Sampel tersebut, kemudian
dimasukkan ke dalam botol bervolume 30 ml yang telah berisi alkohol 70%.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali selama 2 minggu di semua lokasi
penelitian. Jumlah tungau merah yang diambil sebanyak 50-100 tungau dan
kemudian dibawa ke laboratorium untuk proses selanjutnya.
Karakteristik Lokasi Pengambilan Sampel Tungau Merah
Pengambilan sampel tungau merah di daerah Bogor dilakukan Desa
Babakan Raya dan Desa Cikarawang, pada bulan September 2013. Daerah
tersebut, terletak pada ketinggian 221 m dari atas permukaan laut. Berdasarkan
data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu udara
adalah sebesar 22 oC dan kelembaban udara sebesar 78%. Curah hujan pada bulan
tersebut adalah 503.2 mm/hari dan hari hujan sebanyak 28 hari.
Pengambilan sampel tungau merah di daerah Garut dilakukan di Desa
Sukarame, pada bulan Juli 2013. Daerah tersebut terletak pada ketinggian 1.248 m
dari atas permukaan laut dengan curah hujan pada bulan tersebut, 265 mm/hari
dan hari hujan sebanyak 16 hari.
Pengambilan sampel tungau merah di daerah Rembang dilakukan Desa
Gunung Sari, antara akhir bulan Januari sampai awal bulan Februari 2014. Daerah
tersebut terletak pada ketinggian 70 m di atas permukaan laut dengan curah hujan
pada bulan tersebut, 151-200 mm/hari.

4
Waktu Pengambilan Sampel Tungau Merah
Tabel 1 Waktu pengambilan tungau merah di lahan penelitian
Pengamatan
1
2
3
4

Bogor
11/09/2013
13/09/2013
18/09/2013
20/09/2013

Garut
12/07/2013
14/07/2013
19/07/2013
21/07/2013

Rembang
29/01/2014
31/01/2014
06/02/2014
08/02/2014

Pembuatan Preparat Tungau
Sampel tungau merah yang telah diperoleh dari lapang dibawa ke
laboratorium untuk dibuat preparat slide. Sepuluh tungau merah per preparat
ditata secara diagonal dengan ukuran yang relatif sama. Pembuatan preparat
tungau dilakukan dengan menggunakan lactophenol-cotton blue. Setelah itu
ditutup menggunakan kaca penutup secara perlahan-lahan dengan sedikit
menekan tubuh tungau merah tersebut untuk memudahkan pengamatan. Preparat
yang telah kering kemudian diolesi dengan menggunakan pewarna kuku bening
pada bagian pinggir kaca penutup agar preparat tidak mudah rusak. Preparat diberi
label yang berisi lokasi, tanggal dan waktu pengambilan sampel.
Identifakasi Stadia Cendawan Entomophthorales
Preparat tungau diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk
mengidentifikasi stadia cendawan Entomophthorales yang menginfeksi tungau
pada perbesaran 400 kali. Sampel tungau merah yang dikategorikan ke dalam
enam kategori yaitu tungau sehat, terserang konidia sekunder (secondary conidia)
(yang dapat ditemukan pada tungkai, antena dan tubuh tungau), badan hifa (hypal
bodies), konidia primer (primary conidia) dan konidiofor, spora istirahat (resting
spores), dan cendawan saprofitik (saprophytic fungi) (Steinkraus et al. 1995).
Penghitungan Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales
Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada tungau dihitung
menggunakan rumus :
Tingkat Infeksi (%) = ∑



x 100%

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi varietas Tanaman Ubi Kayu di Lokasi Pengamatan
Varietas ubi kayu di semua lokasi pengambilan sampel berbeda-beda. Petani ubi
kayu tersebut dilokasi tersebut, tidak mengetahui varietas yang ditanam.
Perbedaan tersebut, dapat dilihat dari pengamatan perbedaan warna dan bentuk
morfologi dari tanaman. Tanaman ubi kayu di Desa Babakan Raya, Bogor, warna
daun tua adalah hijau tua dan tangkai daun berwarna kuning kemerahan. Bentuk
daun tanaman tersebut menjari dan daunnya berbentuk runcing dan melebar. Ratarata jumlah daun yaitu antara 4-6 daun setiap tangkainya dan memiliki ukuran
yang tidak sama besar. Tinggi batang tanaman tersebut rata-rata 2 m dan batang
tua berwarna kecoklatan (Gambar 1a). Tanaman ubi kayu di Desa Cikarawang,
Bogor, mempunyai ciri morfologi daun tua berwarna hijau tua, tangkai daun
berwarna kuning-kehijauan dengan bentuk daun menjari dan ukuran daun setiap
tangkainya sama besar. Jumlah daun setiap tangkainya 4-6 daun, dalam satu.
tangkai daunnya. Tinggi batang tanaman tersebut kurang dari 2 m.

Gambar 1 Varietas ubi kayu di lokasi pengambilan sampel (a.) Desa Babakan
Raya, Bogor, (b.) Desa Cikarawang, Bogor, (c.) Desa Sukarame,
Garut, (d.) Desa Gunung Sari, Rembang.

6
Tanaman ubi kayu di Desa Sukarame, Garut, mempunyai ciri morfologi
daun muda berwarna hijau muda sampai hijau tua, tangkai daun berwarna ungu
dengan bentuk daun menjari. Jumlah daun rata-rata 5 setiap tangkainya dengan
meruncing ke atas, ukuran batang kurang dari 2 m (Gambar 1c).
Tanaman ubi kayu di Desa Gunung Sari, Rembang, mempunyai ciri
morfologi daun muda berwarna hijau muda dan tangkai daun berwarna ungu.
Jumlah daun setiap tangkainya 5-7 dengan ukuran daun tidak sama. Batang muda
tanaman berwarna hijau terang. Tinggi tanaman 60-80 cm dengan diameter batang
berukuran sangat kecil (Gambar 1d).
Gambaran Umum Tanaman Ubi kayu di Lokasi Pengamatan
Tanaman ubi kayu di Desa Babakan Raya, Bogor, lahannya terletak di
tengah pemukiman warga dengan sistem penanaman monokultur. Kondisi
tanaman kurang terawat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gulma yang tinggi di
sekitar pertanaman ubi kayu. Umur tanaman tersebut, rata-rata 7 sampai 8 bulan
(Gambar 2a). Tanaman ubi kayu di Desa Cikarawang, Bogor, lahannya terletak
lahan persawahan yang luas dengan sekitar lahan terdapat tanaman padi dan
kacang-kacangan. Sistem penanaman dilakukan secara monokultur dengan jumlah
tanaman cukup banyak (Gambar 2b). Umur tanaman ubi kayu rata-rata 5 sampai
6 bulan.
Lahan pertanaman ubi kayu di Desa Sukarame, Garut terletak di tengah
pemukiman warga. Sistem penanaman dilakukan secara tumpang sari dengan
tanaman ubi jalar dan jagung. Kondisi lahan sangat terawat, seperti keadaan lahan
yang bersih dari gulma. Populasi tanaman ubi kayu di lahan tersebut berjumlah
sedikit dengan umur tanaman ubi kayu rata-rata 7 sampai 8 bulan (Gambar 2c).
Tanaman ubi kayu di Desa Gunung Sari, Rembang, lahannya terletak di
lahan persawahan dengan sistem penanaman tumpangsari dengan tanam-an
pepaya dan tanaman pisang. Kondisi lahan tidak terawat dengan populasi tanaman
berjumlah sedikit. Umur tanaman ubi kayu rata-rata 2 sampai 3 bulan (Gambar
2d).
Spesies tungau merah dalam penelitian ini, tidak dilakukan identifikasi,
diduga spesies tungau merah disemua lokasi penelitian adalah Tetranychus
kanzawai yang banyak ditemukan pada tanaman ubi kayu di Indonesia. Menurut
Kalshoven (1981) spesies lain dari tungau merah famili Tetranychidae yang
menyerang tanaman ubi kayu di Indonesia antara lain Tetranychus urticae, T.
cinnabarinus dan T. bimaculatus.
Populasi tungau di lapang paling rendah terdapat di Desa Sukarame, Garut,
terlihat gejala yang ditimbulkan berupa kerusakan ringan yaitu bercak keperakan
yang putus-putus dan daun belum banyak yang mengering atau nekrotik (Gambar
2e-2f). Populasi tungau paling tinggi terdapat di Desa Cikarawang, Bogor, terlihat
dari gejala yang ditimbulkan berupa kerusakan berat, yaitu berupa bercak
keperakan yang menyatu dan daun menglami nekrotik atau mengering. Menurut
Kalshoven (1981) daun-daun ubikayu yang terserang menunjukkan bintik kuning,
yang kemudian menyatu dan daun berwarna keperakan. Tungau tersebut, terlihat
seperti bercak-bercak merah (red spot) menyerupai jarum yang merayab di bagian
bawah daun. Populasi tungau tidak dihitung, tetapi hanya dilihat dari penampakan
gejala dan koloni tungau pada daun yang terserang (Gambar 2g-2i).

7

Gambar 2 Kondisi lahan tanaman ubi kayu (a.) Desa Babakan Raya, Bogor, (b.)
Desa Cikarawang, Bogor, (c.) Desa Sukarame, Garut, (d.) Desa
Gunung Sari, Rembang, (e.) gejala kerusakan ringan permukaan atas
daun di Desa Babakan Raya, (f.) gejala kerusakan berat pada
permukaan atas daun di Desa Cikarawang, (g.) koloni tungau merah di
permukaan bawah daun di Desa Babakan Raya, (h.) koloni tungau
merah di Desa Cikarawang, (i.) koloni tungau merah di Desa
Sukarame, Garut.
Fase Cendawan Entomophthorales pada Tungau Merah
Preparat yang dibuat dalam penelitian ini sebanyak 80 preparat (747 tungau
merah). Tungau merah tersebut dimasukkan ke dalam salah satu dari 5 kategori,
yaitu tungau sehat, tungau yang terinfeksi badan hifa, terinfeksi konidia sekunder,
terinfeksi konidia primer dan konidiofor, terinfeksi spora istirahat dan terinfeksi
cendawan saprofitik (Steinkraus et al. 1995). Stadia cendawan Entomophthorales
yang ditemukan dalam pengamatan secara mikroskopis adalah badan hifa, konidia
sekunder, konidia primer dan cendawan saprofitik.
Cendawan Entomophthorales yang banyak menginfeksi arthropoda kecil,
terutama tungau, Collembola, trips, dan kutu daun adalah genus Neozygites (Entomophthorales: Neozygitaceae) (Keller 1997). Menurut Pell et al. (2001) spesies
dari famili Neozygitaceae, yang diketahui menyerang tungau antara lain adalah
Apterivorax acaricida, Neozygites abacaridis, N. acaridis, N. tetranychi, N.
floridana dan N. tanajoae.

8
Permukaan tubuh tungau merah yang sehat berwarna merah cerah dan
bagian tubuh tungau utuh. Pada permukaan tubuh tungau tersebut tidak terdapat
infeksi dari cendawan Entomophthorales atau cendawan saprofitik (Gambar 3a).
Tungau merah yang sakit terlihat tubuh tungau tersebut rusak, berwarna hitam dan
terdapat infeksi dari cendawan Entomophthorales atau cendawan saprofitik
(Gambar 3b). Menurut Elliot (1998) tungau yang terserang cendawan
Entomophthorales badan tungau hancur dan berubah warna menjadi hitam pada
permukaan luar.
Badan hifa (hyphal body) merupakan fase perkembangan vegetatif dari
cendawan Entomophthorales yang ditemukan pada serangga atau tungau yang
masih hidup atau yang telah mati. Badan hifa yang ditemukan dalam pengamatan
ini berbentuk batang dan bulat. Badan hifa berbentuk batang hanya ditemukan
pada sampel tungau merah yang diambil dari Desa Cikarawang, Bogor dan badan
hifa yang berbentuk bulat ditemukan di semua lokasi pengambilan sampel tungau
merah (Gambar 3c-3d). Bentuk badan hifa yang spesifik menjadi ciri penting
dalam menggolongkan cendawan Entomophthorales (Keller 1997).
Konidia sekunder merupakan fase cendawan Entomophthorales yang
bersifat paling infektif. Apabila terjadi kontak antara konidia sekunder dan
serangga atau tungau inang, maka konidia akan membentuk tabung kecambah
(germ tube). Stadia cendawan tersebut, akan melakukan invasi pada haemosol
serangga atau tungau, sehingga terjadi infeksi (Keller 2007). Tipe konidia
sekunder yang ditemukan dalam penelitian ini adalah Tipe II yang merupakan ciri
yang dimiliki oleh genus Neozygites yang sering disebut capilliconidia (Gambar
3e). Konidia tersebut dihasilkan secara satu per satu, berukuran panjang dan
mempunyai tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer.
Konidia primer terbentuk dari perkembangan konidiofor yang mengalami
perkecambahan dan berhasil menembus kutikula serangga atau tungau. Stadia
konidia primer ditemukan pada tungau merah yang telah mati dan permukaan
tubuhnya hancur. Konidia primer yang ditemukan berbentuk seperti buah pir atau
ova. Stadia tersebut hanya ditemukan pada sampel tungau yang diambil dari Desa
Cikarawang, Bogor (Gambar 3f). Bentuk dan ukuran dari konidia primer sangat
penting untuk digunakan sebagai kunci identifikasi cendawan Entomophthorales
(Keller 1987). Menurut Geest (2000), konidia primer dapat menyebar dan
menghasilkan capilliconidia pada waktu sebelum matahari terbit, saat suhu udara
rendah dan kelembaban udara tinggi.
Cendawan saprofitik adalah cendawan yang ditemukan pada tungau merah
yang telah mati dan permukaan tubuhnya hancur. Cendawan ini merupakan
infeksi lanjutan dari infeksi primer cendawan Entomophthorales. Cendawan ini
memperoleh makanan dari tungau yang telah mati. Tubuh tungau yang terinfeksi
cendawan ini diselimuti oleh hifa dan konidia dari cendawan saprofitik (Gambar
3g).
Spora istirahat tidak ditemukan pada penelitian ini. Stadia ini hanya bisa
ditemui pada lingkungan yang ekstrim dan ketidakadaanya inang di lapangan.
Spora ini pada Neozygites berwarna coklat gelap menuju hitam, berbentuk bola
atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua asam nukleat. Spora istirahat
tidak cepat menyebar (Keller 2007).

9
Hasil penelitian dari Oduor et al. (1997) menunjukkan bahwa cendawan
Entomophthorales dapat menginfeksi dan mematikan cassava green mites,
Mononycellus tanajoe di negara Amerika Selatan dan Afrika Selatan. Genus lain
dari ordo Entomophthorales yang mampu menginfeksi tungau adalah
Conidiobolus, Entomophaga, Zoophthora, Erynia, Empusa dan Culicola.
Entomophthora sp. yang dilaporkan juga dapat menginfeksi Panonychus sp.,
Tetranychus sp., Tyrophagus sp. dan Vatacarus sp. (Poinar 1998).

Gambar 3 Stadia cendawan Entomophthorales yang ditemukan (a.) tungau sehat,
(b.) tungau sakit, (c.) badan hifa berbentuk bulat, (d.) badan hifa
berbentuk lonjong, (e) konidia sekunder pada rambut tungkai, (f.)
konidia sekunder pada tungkai, (g.) konidia primer.
Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis
Hasil pengamatan secara makroskopis ditemukan berbagai warna pada
permukaan tubuh tungau merah, yaitu merah cerah, coklat-kehitaman dan hitam
(Gambar 4a-4c). Tubuh tungau yang berwarna merah tidak terdapat infeksi dari
cendawan Entomophthorales atau cendawan saprofitik dan merupakan tungau
sehat. Tubuh tungau yang berwarna coklat-kehitaman dan hitam ditemukan pada
tungau merah yang telah mati dan tubuhnya rusak yang terdapat infeksi cendawan
Entomophthorales atau cendawan saprofitik. Hal ini dapat dilihat dari hasil
pengamatan secara mikroskopis bahwa tubuh tungau yang berwarna merah tidak
terdapat infeksi, sedangkan yang berwarna coklat-kehitaman dan hitam ditemukan
infeksi cendawan Entomophthorales berupa badan hifa, konidia primer dan
cendawan saprofitik (Gambar 4d-4e). Stadia cendawan Entomophthorales yang
sering ditemukan badan hifa, yang sulit ditemukan konidia primer dan yang tidak
ditemukan spora istirahat.

10

Gambar 4 Pengamatan makroskopis dan mikroskopis tungau merah (a.) tubuh
berwarna merah cerah, (b.) tubuh berwarna hitam, (c.) badan hifa
bulat, (d.) badan hifa batang, (e.) konidia primer, (f.) konidia
cendawan saprofitik.
Infeksi Cendawan Entomophtorales pada Tungau Merah
Hasil pengamatan di Desa Babakan Raya, Bogor, stadia cendawan
Entomophthorales yang ditemukan adalah badan hifa dan konidia sekunder,
sedangkan di Desa Cikarawang, Bogor, yang ditemukan adalah badan hifa dan
konidia sekunder dan konidia primer. Persentase badan hifa di Desa Cikarawang
lebih tinggi dari pada di Desa Babakan Raya. Persentase badan hifa di Desa
Cikarawang paling tinggi pada pengamatan 3 sebesar 55.17%, sedangkan di Desa
Babakan Raya paling tinggi pada pengamatan 4 sebesar 28.57%. Perbedaan
tingkat infeksi diduga diakibatkan oleh faktor lingkungan diantaranya suhu udara
dan kelembaban udara. Stadia konidia sekunder di Desa Babakan Raya hanya
ditemukan pada 1 kali pengamatan, yaitu pengamatan 4 dengan presentase sebesar
2.04% (Gambar 5a), sedangkan di Desa Cikarawang, ditemukan pada 4 kali
pengamatan yang dengan persentase tertinggi pada pengamatan 1 sebesar 19.61%,

11
dan persentase terendah pada pengamatan 3 sebesar 1.92%. Banyaknya
stadiakonidia sekunder yang ditemukan di Desa Cikarawang, menunjukan tingkat
infeksi yang tinggi di lapangan, karena stadia tersebut merupakan stadia yang
paling infeksius untuk menginfeksi inangnya. Stadia konidia primer hanya
ditemukan di Desa Cikarawang, pada 3 kali pengamatan yang dilakukan stadia
tersebut, tidak ditemukan di tempat pengamatan lainnya dalam penelitian ini.
Persentase konidia primer paling tinggi pada pengamatan 3 sebesar 6.90% dan
persentase paling rendah pada pengamatan 2 sebesar 1.92% (Gambar 5b). Konidia
primer yang ditemukan hanya pada pengamatan di Desa Cikarawang, Bogor.
Menurut Geest et al. (2000) konidia primer dapat menyebar dan menghasilkan
capilliconidia pada waktu sebelum matahari terbit, saat suhu udara rendah dan
kelembaban udara tinggi.
Hasil pengamatan sampel tungau merah di Desa Sukarame, Garut, Jawa
Barat, stadia cendawan Entomophthorales yang ditemukan adalah badan hifa,
konidia sekunder dan cendawan saprofitik. Stadia badan hifa didapatkan pada 4
kali pengamatan dengan persentase terendah pada pengamatan 2 sebesar 14.71%
dan tertinggi pada pengamatan 4 sebesar 35.71%. Konidia sekunder hanya
ditemukan pada pengamatan 2 dan 3 dengan masing-masing sebesar 6.12% dan
2.94%. Cendawan saprofitik hanya ditemukan pada pengamatan 2 dengan
persentase sebesar 6.12% dan pengamatan 4 dengan persentase sebesar 26.79%
(Gambar 5c).
Hasil pengamatan di Desa Gunung Sari, Rembang, Jawa Tengah, stadia
cendawan Entomophthorales yang ditemukan adalah badan hifa, konidia sekunder
dan cendawan saprofitik. Persentase stadia badan hifa yang ditemukan paling
tinggi pada pengamatan 4 sebesar 42.86% dan paling rendah pada pengamatan 2
sebesar 10%. Konidia sekunder ditemukan pada pengamatan 3 kali pengamatan
dengan persentase tertinggi sebesar 6% pada pengamatan 3 dan persentase
pengamatan 1 dan 2 masing-masng sebesar 4%. Cendawan saprofitik hanya
ditemukan pada pengamatan 2 dan pengamatan 3 dengan persentase sebesar 2%
dan 12% (Gambar 5d).
Persentase stadia cendawan Entomophthorales yang dalam penelitian ini
didominasi oleh stadia badan hifa diduga stadia ini merupakan tahap awal untuk
membentuk stadia lain dari cendawan Entomophthorales. Konidia primer hanya
ditemukan pada pengamatan di Desa Cikarawang, Bogor. Menurut Keller (2007)
stadia konidia primer merupakan stadia yang paling rentan terhadap kondisi
lingkungan sehingga, stadia tersebut akan cepat berkecambah dan membentuk
konidia sekunder untuk menginfeksi inang yang baru atau menjadi spora istirahat
ketika lingkungan kurang mendukung dan ketiadakan inang. Stadia spora istirahat
juga tidak ditemukan pada penelitian ini. Stadia ini sulit ditemukan diduga karena
lingkungan masih mendukung dan inang masih tersedia dalam jumlah banyak,
sehingga stadia ini tidak ditemukan.

12
a
Komposisi cendawan (%)

100 %

80 %
Konidia Primer
60 %
Cendawan Saprofitik
Spora Istirahat

40 %

Badan Hifa
Konidia Sekunder

20 %

Sehat
0%
1

2

3

4

Pengamatan
Komposisi stadia cendawan (%)

b

100 %

80 %
Konidia Primer
60 %
Cendawan Saprofitik
Spora Istirahat

40 %

Badan Hifa
Konidia Sekunder

20 %

Sehat
0%
1

2

3

4

Pengamatan

c
Proporsi Stadia Cendawan (%)

100 %

80 %
Konidia Primer
60 %
Cendawan Saprofitik
Spora Istirahat

40 %

Badan Hifa
Konidia Sekunder

20 %

Sehat
0%
1

2

3

Pengamatan

4

13
d
Komposisi stadia cendawan (%)

100 %

80 %
Konidia Primer

60 %

Cendawan Saprofitik
Spora Istirahat

40 %

Badan Hifa
20 %

Kondia Sekunder
Sehat

0%
1

2

3

4

Pengamatan
Gambar 5 Komposisi stadia cendawan Entomophthorales yang menginfeksi
tungau merah dari Tanaman ubi kayu, (a.) Desa Babakan Raya, Bogor,
(b.) Desa Cikarawang, Bogor, (c.) Desa Sukarame, Garut, (d.) Desa
Gunung Sari, Rembang.
Rata-rata tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada tungau merah di
lokasi pengamatan berbeda-beda. Rata-rata tingkat infeksi tertinggi terjadi di Desa
Cikarawang, Bogor, sebesar 55.07% dan sebaliknya rata-rata tingkat infeksi
terendah terjadi di Desa Babakan Raya, Bogor, sebesar 22.58% (Tabel 2). Ratarata tingkat infeksi di Desa Sukarame, Garut sebesar 34.53% dan di Desa Gunung
Sari, Rembang, sebesar 36.79%. Populasi tungau merah yang tinggi berbanding
lurus dengan tingkat infeksi cendawan Entomophthorales. Faktor alam seperti
curah hujan yang tinggi atau rendah dapat mempengaruhi tingkat infeksi karena
pada waktu hujan tungau dan cendawan akan jatuh ketanah sehingga populasi
tungau menurun dan tingkat infeksi cendawan tersebut juga menurun. Menurut
Streinkrus et al. (1995) populasi hama dan curah hujan mempengaruhi infeksi
cendawan Entomophthorales di lapangan. Populasi hama meningkat, infeksi akan
meningkat, karena hama akan menyebarkan infeksi dari cendawan tersebut.
Tabel 2 Rata-rata tingkat infeksi cendawan Entomophthoraes (%)
Waktu
pengamatan

Garut
Bayongbong

1
2
3
4
Rata-rata

28.57
17.65
29.41
62.50
34.53 ± 19.39

Bogor
Babakan
Cikarawang
Raya
20.59
70.59
13.04
42.31
26.08
63.79
30.61
43.59
22.58 ± 7.56 55.07 ± 14.27

Rembang
Gunung Sari
28.00
14.00
48.00
42.57
36.79 ± 15.36

14

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Sampel tungau merah yang diambil dari tanaman ubi kayu di Bogor, Garut,
dan Rembang terinfeksi oleh cendawan Entomophthorales dengan tingkat infeksi
berbeda. Stadia cendawan Entomophthorales yang ditemukan pada penelitian ini
yaitu badan hifa, konidia sekunder, konidia primer dan cendawan saprofitik.
Tungau merah yang terinfeksi cendawan Entomophthorales mengalami perubahan
warna hitam dan coklat-kehitam. Persentase infeksi pada tungau merah paling
tinggi terjadi di Desa Cikarawang, Bogor, sebesar 55.07% dan paling rendah di
Desa Babakan Raya, Bogor, sebesar 22.58% , sedangkan di Desa Sukarame,
Garut, sebesar 34.53% dan di Desa Gunung Sari, Rembang, sebesar 36.79%.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada musim kemarau untuk
menemukan stadia resting spores pada cendawan Entomophthorales. Waktu
pengambilan sampel lebih lama dan lokasi yang lebih banyak. Perlu dilakukan
identifikasi spesies tungau merah yang ditemukan juga spesies dari cendawan
Entomophthorales.

15

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik RI. 2012. Tabel luas panen-produksi tanaman ubikayu Provinsi Indonesia [Internet] [diunduh 2013 Nov 14]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/tnmn pgn.php.
Geest Van der L E, Elliot S L, Breeuwer JAJ, Beerling E A M. 2000. Deseases of
Mites. Annual Review of Entomology 43(4): 497-560.
Indiati.1999. Status tungau merah pada tanaman ubikayu. Di dalam: Rahmianna,
editor. Pemberdayaan Tepung Ubi kayu sebagai Subsidi Terigu, dan
Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Edisi khusus
Balitkabi No.15-1999. Malang (ID): Balitkabi. hlm 122-126.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in indonesie.
Keller S. 1997. The genus Neozygitez (Zygomycetes::Entomophthorales) with
special reference to species found in tropical regions. Sydowia 49: 118-146.
Keller S, Wegensteiner R. 2007. Introduction. Di dalam: Keller S (ed.).
Anthropod-patogenic Entomphthorales: Biology, Ecology, Indentification.
pp. 1-6. Brussels: COST Office.
Keller S. 2007. Fungal struktur and biology. Di dalam: Keller S, editor.
Arthropod-pathogenic Entomophthorales: Biology, Ecology, Identification.
pp. 27-54. Brussels (BE): COST Office.
Keller S, Wegensteiner R. 2007. Systematics, taxonomy and identifikasi. Di
dalam: Keller S, editor. Anthropod-patogenic Entomophthorales: Biologi,
Ecology, Identification. pp. 111-115. Brussels (BE): COST Office.
Nurhayati A, R Anwar. 2012. Prevalensi cendawan entomopatogenik, Neozygites
fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales)
pada populasi kutuputih, Paracoccus marginatus Williams and Granara De
Willin (Hemiptera: Pseudococcidae) di wilayah Bogor. Jurnal Entomologi
Indonesia (92-2): 71-80.
Oduor G.I, Sabelis M.W, Lingemana R, De Moraes G.J, and Yaninek J.S. 1997.
Modelling fungal (Neozygites cf. floridana) epizootics in local populations
of cassava green mites (Mononychellus tanajoa). Experimental & Applied
Acarology 21 (1) : 485-506.
Pell JK, Eilenberg J, Hajek AE, Steinkraus DC. 2001. Biology, ecology, and pest
management potential of Entomophthorales. Di dalam: Butt TM, Jackson C,
Magan N, (ed.). Fungi as Biocontrol Agents. Oxon: CAB International. hlm.
57-154.
Poinar G. Jr., Poinar R. 1998. Parasites and Patogens of Mites. Annual Reviews
Enthomologi 43: 449-469.
Steinkraus DC, Geden JG, Ruzt DA. 1995. Prevalence of Entomophthorales
(Diptera: Muscidae) on diary farms in New York and induction of epizootics. Biologycal Control 3(1): 93-100.
Wargiono J, Hermanto, Suninhardi. 2009. Ubi kayu Inovasi Teknologi dan
Kebijakan Pengembangan. Jakarata (ID): Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.

16

LAMPIRAN

17

lampiran 1 Stadia cendawan Entomophthorales yang menginfeksi tungau merah.
Pengamatan
1
2
3
4

Pengamatan
1
2
3
4

Konidia
sekunder
3
1
0
0

Tanaman Ubi Kayu di Desa Sukarame, Garut
Konidia Badan
Spora Cendawan
Sehat
primer
hifa
istirahat saprofitik
0
8
0
3
35
0
5
0
0
28
0
10
0
0
24
0
20
0
15
21

Tanaman Ubi Kayu di Desa Babakan Raya, Bogor
Konidia Konidia Badan
Spora Cendawan
Jumlah
Sehat
sekunder primer
hifa
istirahat saprofitik
tungau
0
0
7
0
0
27
34
0
0
6
0
0
40
46
0
0
12
0
0
34
46
1
0
14
0
0
34
49

Tanaman Ubi Kayu di Desa Cikarawang, Bogor
Pengamatan Konidia Konidia Badan
Spora Cendawan
Sehat
sekunder primer
hifa
istirahat saprofitik
1
10
1
25
0
0
15
2
1
1
20
0
0
30
3
1
4
32
0
0
21
4
1
0
16
0
0
22

Pengamatan

1
2
3
4

Jumlah
tungau
49
34
34
56

Tanaman Ubi Kayu di Desa Gunung Sari, Rembang
Konidia Konidia Badan
Spora Cendawan
Sehat
sekunder primer
hifa
istirahat saprofitik
2
0
11
0
1
36
2
1
5
0
0
43
3
0
15
0
6
26
0
0
21
0
0
28

Jumlah
tungau
51
52
58
39

Jumlah
tungau
50
50
50
49

18

lampiran 2 Infeksi stadia cendawan Entomophthorales yang menginfeksi tungau
merah.
Tanaman

Pengamatan
1
2
3
4

Ubi kayu (di
Desa
Babakan
Raya, Bogor)

Tanaman
Ubi kayu (di
Desa
Cikarawang,
Bogor)

Tanaman
Ubi kayu
(di Desa
Sukarame,
Garut)

Tanaman
Ubi kayu (di
Desa
Gunung Sari,
Rembang)

Pengamatan
1
2
3
4

Pengamatan
1
2
3
4

Pengamatan
1
2
3
4

Konidia
sekunder
0
0
0
2.04

Konidia
sekunder
19.61
1.92
1.72
2.56

Badan
hifa
20.59
13.04
26.09
28.57

Badan
hifa
49.02
38.46
55.17
41.03

Konidia
primer
0
0
0
0

Konidia
primer
1.96
1.92
6.90
0

Stadia Cendawan
istirahat saprofitik
0
0
0
0
0
0
0
0

Stadia Cendawan
istirahat saprofitik
0
6.12
0
0
0
0
0
0

Konidia
sekunder
6.12
2.94
0
0

Badan
hifa
16.33
14.71
29.41
35.71

Konidia
primer
0
0
0
0

Stadia Cendawan
istirahat saprofitik
0
6.12
0
0
0
0
0
26.79

Konidia
sekunder
4
4
6
0

Badan
hifa
22
10
30
42.86

Konidia
primer
0
0
0
0

Stadia Cendawan
istirahat saprofitik
0
2
0
0
0
12
0
0

Sehat
79.41
86.96
73.91
69.39

Sehat
29.41
57.69
36.21
56.41

Sehat
71.43
82.35
70.59
37.50

Sehat
72
86
52
57.14

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Rembang pada 3 Februari 1991 sebagai anak kedua dari dua
bersaudara dari pasangan Sunar dan Temok. Penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Rembang pada tahun 2010, kemudian
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Selama masa kuliah, penulis aktif mengikuti kegiatan kampus di luar
kegiatan akademik. Penulis pernah mengikuti organisasi sebagai Staf Kementrian
Pendidikan BEM KM IPB 2010-2011, Staf Akademi dan Keprofesian BEM
FAKULTAS PERTANIAN 2011-2012. Kepanitia yang pernah diikuti divisi acara
IDEA BEM KM IPB 2010-2011, ketua Temu Alumni Fakultas Pertanian 20112012, ketua panitia Migratoria Proteksi Tanaman 2013. Penulis juga aktif dalam
Organisasi Mahasiswa daerah Rembang di Bogor (HKRB) selama di IPB.
Organisasi kewirausahaan yang diikuti yaitu SABISA FARM IPB 2013 sampai
sekarang bidang hortikultura khususnya buah naga dan pepaya Kalina sebagai
Direktur Utama.