Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Beberapa Spesies Kutuputih dan Kutukapuk pada Berbagai Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur

EKSPLORASI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES PADA
BEBERAPA SPESIES KUTUPUTIH DAN KUTUKAPUK PADA
BERBAGAI TANAMAN HIAS DI BOGOR DAN CIANJUR

FILDZAH JAMALINA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Eksplorasi Cendawan
Entomophtorales pada beberapa spesies kutuputih dan kutukapuk diberbagai
tanaman hias di Bogor dan Cianjur adalah benar karya saya denganarahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor
Fildzah Jamalina
NIM A34080059

ABSTRAK
FILDZAH JAMALINA. Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Beberapa
Spesies Kutuputih dan Kutukapuk pada Berbagai Tanaman Hias di Bogor dan
Cianjur. Dibimbing oleh RULY ANWAR.
Tanaman hias merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dan memiliki keindahan serta daya tarik tertentu. Namun,
upaya budidaya tanaman tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen
menghadapi berbagai masalah, terutama organisme pengganggu tanaman (OPT),
seperti serangga hama, cendawan, jamur, bakteri, virus, dan nematoda. Salah satu
OPT yang sering menimbulkan masalah pada pertanaman hias adalah kutuputih
(Hemiptera: Pseudococcidae) dan kutukapuk (Hemiptera: Margarodidae). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi cendawan Entomophthorales yang berasosiasi dengan beberapa spesies kutuputih dan kutukapuk yang menjadi hama
pada berbagai tanaman hias. Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2012
sampai bulan Febuari 2013. Pengambilan sampel kutuputih dari berbagai tanaman
hias dilakukan di Bogor, yaitu Kelurahan Babakan Raya (Kecamatan Darmaga)

dan Kecamatan Cibeber, Cianjur. Pengambilan sampel dilakukan pada lima jenis
tanaman hias, dengan masing-masing tanaman hias diambil 50 individu kutu
sejenis. Sampel kutu yang diperoleh dari lapang dimasukkan dalam alkohol 70%
untuk digunakan pada pengujian selanjutnya. Preparat slide dibuat untuk serangga
uji dengan menggunakan larutan lactophenol-cotton blue. Stadia cendawan yang
teridentifikasi adalah hyphal bodies, primary conidia, secondary conidia,
saprophytic fungi. Infeksi kutuputih dan kutukapuk sangat berbeda, kutukapuk
pada tanaman puring sendok, melati dan kuping gajah tidak terinfeksi oleh
cendawan Entomophthorales sedangkan kutuputih pada tanaman puring norma
kuning, aspar dan agav memiliki tingkat infeksi yang tinggi.
Kata kunci: kutuputih, kutu kapuk, tanaman hias, Cendawan Entomophthorales
ABSTRACT
FILDZAH JAMALINA. Exploration of Entomophthorales fungus for some
Mealybug and Ground pearls species on Several Ornamental Plants in Bogor and
Cianjur. Under Supervision RULY ANWAR.
The ornamental plants are the ones of the high economic valued
horticultural crops that have beauty and a certain appeal. However, there are
several problems of the cultivation efforts to meet consumen desire to face a
variety of problems, especially plant pests (OPT), such as insect pests, fungi,
bacteria, viruses, and nematodes. The mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae)

and ground pearls (Hemiptera: Margarodidae) have been considered as the
important pests causing seriously problems in ornamental plants. The objective of
this research was to explore the Entomophthoralean fungi associated with several

species of mealybugs and ground pearls. The insects were sampled from
September 2012 until February 2013, at the Village Babakan raya (District
Darmaga) and Cibeber District, Cianjur. There were five sampled ornamental
plants. Fifty insects were sampled from each plant. The samples were preserved in
30 ml screw cup vials filled with 70% alcohol. These were later processed in the
laboratory to confirm presence of entomophthorealan fungus. Microscope slide
squash mounts in lactophenol cotton blue were made for the insects on each plant.
Each insect was examined with a microscope to determine if secondary conidia,
hyphal bodies, conidiophores, primary conidia, and resting spores were present.
Developmental stages of the fungus founded were hyphal bodies, primary conidia,
secondary conidia, and saprophytic fungi. The fungus infection in mealybug and
ground pearls was very different. There was no fungus infection on the ground
pearls scoop in ornamental plant, jasmine and anthurium. The entomophthoralean
fungus occurred on mealybug in the garden croton, Aspar and Agave with high
levels of fungus infection.
Key Words:


Mealybug, Ground pearls, Ornamental plant, Entomophthoralean
fungus.

EKSPLORASI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES PADA
BEBERAPA SPESIES KUTUPUTIH DAN KUTUKAPUK PADA
BERBAGAI TANAMAN HIAS DI BOGOR DAN CIANJUR

FILDZAH JAMALINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Petanian
pada
Departemen Ptoteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi : Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Beberapa Spesies
Kutuputih dan Kutukapuk pada Berbagai Tanaman Hias di Bogor
dan Cianjur.
Nama
: Fildzah Jamalina
NIM
: A34080059

Disetujui oleh

Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

ludul Skripsi: Ekspiorasi Cendawan Entomophthorales pad a Beberapa Spesies
Kutuputih dan Kutukapuk pada Berbagai Tanaman Bias di Bogor
dan Cianjur.
Nama
: Fildzah lamalina
: A34080059
NIM

Disetujui oleh

;

Dr. If. Ruly Anwar, M.Si.
Dosen Pembimbing

Tanggal Lulus:

1 3 SEP 2013


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat Rahmat dan
Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul:
“Eksplorasi Cendawan Entomophthorales pada Beberapa Spesies Kutuputih dan
Kutukapuk pada Berbagai Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur”. Penelitian ini
akan dilaksanakan sejak bulan September 2012 sampai Maret 2013.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Ruly Anwar,
M.Si., sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan
dukungan sejak awal sampai akhir penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA. sebagai Kepala Laboratorium
Patologi Serangga dan Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si. sebagai dosen
penguji tamu.
Terimakasih penulis ucapkan kepada ayahanda Drs. Jamaludin, ibunda
Nunung Rohaeti dan keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk
kelancaran peneliti dan kasih sayangnya.Terimakasih tidak lupa juga peneliti
ucapkan kepada sahabat M Yasin Farid SP., Yuke Nur Aprilianti SP., Arif
Marwanto. SP, Novita Hidayat, Maharani Rahman, SP, Maeni Rahmawati dan
Rado Puji Santoso, SP yang selalu memberikan motivasi dan semangat. Rekan

kerja di Laboratorium Patologi Serangga, Prasasti Dwi Phrameswani, SP., Sherly
Vonia Ismy, SP., yang telah banyak membantu dalam penelitian dan memberikan
dukungan semangat dalam mengerjakan penelitian.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan agar dapat
menyempurnakan skipsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan
dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi semua pihak yang
membacanya.

Bogor, Maret 2013
Fildzah Jamalina

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lokasi Pengamatan
Gambaran Umum Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur
Fase Cendawan Entomophthorales pada Kutuputih
Fase Cendawan Entomophthorales pada Kutukapuk
Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis pada Kutuputih
Cendawan Entomophthorales pada Kutuputih
Infeksi Cendawan Entomophtorales pada Kutuputih dan Kutukapuk pada
Berbagai Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii

vii
1
1
2
2
2
2
2
3
4
4
4
6
8
8
9
11
14
14
14

14
17
20

DAFTAR GAMBAR
1

Kutukapuk dan kutuputih yang menyerang tanaman hias

5

2

Tanaman hias yang terserang kutuputih dan kutukapuk di Bogor dan
Cianjur

6

3

Fase cendawan Entomophthorales pada kutuputih

7

4

Makroskopis dan mikroskopis kutuputih pada tanaman puring norma
kuning, aspar dan agavError! Bookmark not defined.

8

Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutuputih pada
tanaman puring norma kuning, aspar, dan agav di Bogor

10

Proporsi fase cendawan yang menginfeksi kutuputih pada tanaman
puring norma kuning, aspar dan agaError! Bookmark not defined.

13

5
6

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Jumlah fase cendawan Entomophthorales yang kutuputih dan
kutukapuk
Infeksi Cendawan Entomophthorales pada kutuputih

17
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman hias merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki
keindahan serta daya tarik tertentu. Tanaman hias yang termasuk salah satu
komoditaas yang mengandung arti ekonomi tinggi tersebut, seringkali digunakan
untuk keperluan hiasan, baik di dalam maupun di luar ruangan. Tanaman hias
dapat diusahakan menjadi suatu usaha yang menjanjikan keuntungan yang besar
(Kusumah 1998). Di Indonesia, tanaman hias telah melengkapi bahkan memenuhi
salah satu fungsi pekarangan, yaitu fungsi estetika, di samping fungsi lain
pekarangan seperti sosial, produksi, subsistem, produksi komersial dan
pengawetan tanah dan air (Naiola 1996).
Tanaman hias yang memiliki keindahan dan daya tarik memberikan peran
dan manfaat bagi kehidupan manusia. Tanaman hias dapat memberikan kesejukan
dan kenyamanan karena mampu menurunkan suhu udara serta memproduksi
oksigen yang diperlukan mahluk hidup untuk bernafas. Fungsi tanaman hias
lainnya meliputi keindahan, stabilisator atau pemelihara lingkungan, pendidikan,
pemeliharaan kesehatan, ekonomi dan sosial, serta fungsi sebagai tanaman obat
(Krisantini, 2007).
Tanaman hias yang memiliki penampilan cantik, unik, dan menarik dengan
kualitas yang prima senantiasa di tuntut oleh konsumen. Namun, upaya memenuhi
keinginan konsumen tersebut seringkali menghadapi berbagai masalah, terutama
organisme pengganggu tanaman (OPT), seperti serangga hama, cendawan, jamur,
bakteri, virus, dan nematoda. Hama dan penyakit dapat merusak tanaman secara
langsung dan mengganggu penampilan tanaman sehingga kualitasnya menurun
atau bahkan tidak layak jual (Balai Penelitian Tanaman Hias tahun 2009).
Salah satu serangga hama yang menjadi masalah pada pertanaman hias
adalah serangga kutu-kutuan. Selain secara langsung menyerang tanaman,
beberapa jenis kutu tanaman dapat berperan sebagai vektor virus dan dapat juga
secara langsung menimbulkan klorosis (Williams & Willink 1992). Kutuputih
(Pseudococcidae) merupakan salah satu ordo serangga hama yang mempunyai
kisaran inang yang luas (polifag). Beberapa diantaranya berukuran cukup besar,
panjangnya dapat mencapai 4 mm dan merupakan hama tanaman hias dan buahbuahan. Serangga tersebut dinamai kutuputih karena terdapat serbuk lilin warna
putih yang menyelubunngi seluruh tubuhnya. Serbuk lilin itu melindunginya dari
serangan predator. Serangga ini menyukai bagian tanaman di sekitar buku-buku
batang dan permukaan daun muda (Widodo dan Sutiyoso 2008).
Famili Margarodidae sering disebut kutukapuk (Sosromarsono et al. 2007).
Kelompok serangga ini termasuk famili primitif diantara kelompok superfamili
Coccoidea (CSIRO 1991). Kelompok serangga ini menjadi hama yang penting
pada tanaman kehutanan dan tanaman buah, juga terdapat spesies yang hidup di
bawah permukaan tanah yang dapat menghancurkan tanaman tebu dan anggur
(William dan Watson 1990). Di Indonesia kelompok serangga ini menyerang
tanaman jeruk, kembang sepatu dan mawar di daerah pulau Jawa dan pulau
Sumatera (Kalshoven 1981).

2
Salah satu musuh alami dari serangga hama adalah cendawan entomopatogen. Kelompok cendawan Hyphomycetes merupakan entomopatogen yang paling
dieksploitasi secara komersial untuk tujuan pengendalian biologis pada hama
tanaman. Selain itu, salah satu kelompok cendawan lain, yaitu Entomophthorales
dilaporkan menyebakan epizootik pada beberapa serangga, terutama serangga
menusuk menghisap (Hajek & Leger1994).
Cendawan entomophthorales merupakan salah satu golongan entomopatogen yang berperan sebagai musuh alami pada serangga dan tungau. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa cendawan entomophthorales telah menginfeksi
Paracoccus marginatus di wilayah bogor, Jawa Barat. Nurhayati dan Anwar
(2012) melaporkan bahwa genus Neozygites telah menginfeksi P. marginatus
pada tanaman singkong di Wilayah Kecamatan Rancabungur dan Bubulak, Bogor,
Jawa Barat. Menurut Ismy (2012), cendawan Entomophthorales genus Neozygites
dari famili Naeozygitaceae telah menginfeksi Phenacoccus manihoti di Desa
Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi. Keller (1997) menemukan Neozygites
fumosa (Zygomycetes: Entomophthorales) menginfeksi kutuputih singkong,
Phenacoccus herreni (Hemiptera : Pseudococcidae) di Brazil.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengeksplorasi dan menghitung tingkat
infeksi cendawan Entomophthorales pada beberapa spesies kutu-kutuan
(Pesodococcidae dan Margarodidae) pada berbagai tanaman hias di Daerah Bogor
dan Cianjur.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang cendawan Entomophthorales dapat dijadikan sebagai pengendalian hayati
pada beberapa hama tanaman.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2012 sampai Februari 2013.
Pengambilan sampel kutu dari berbagai tanaman hias dilakukan di Bogor, yaitu
Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor dan di Desa Cisalak, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Identifikasi cendawan Entomophthorales dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lactophenol-cotton blue,
alkohol 70%, dan pewarna kuku bening. Alat yang digunakan adalah pinset,

3
gunting, pipet tetes, tisu, kertas label, preparat slide beserta kaca penutup, botol
bervolume 30 ml, dan mikroskop cahaya.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Kutu
Sampel diambil pada beberapa tanaman hias dilakukan dengan cara memotong bagian tanaman yang terserang kutu. Sampel kemudian dimasukkan kedalam
botol bervolume 30 ml yang telah berisi alkohol 70%. Pengambilan sampel
dilakukan 1 kali dalam seminggu sebanyak 5 kali pengamatan pada tanaman yang
sama. Jumlah kutu yang diambil sebanyak 50-100 kutu per botol. Kutu yang
berbeda jenis pada tanaman hias yang sama disimpan dalam botol yang berbeda
untuk mempermudah pengamatan.
Pembuatan Preparat
Sampel kutu yang telah diperoleh dari lapang dibawa ke Laboratorium
Patologi Serangga kemudian dibuat preparat slide. Sepuluh ekor kutu per preparat
yang ditata secara diagonal dengan ukuran kutu yang relatif sama dan sejenis
sedangkan kutu (Margarodidae) dibuat preparat slide berjumlah 4 kutu ditata
secara sejajar. Pembuatan preparat kutu dilakukan dengan menggunakan pewarna
lactophenol-cotton blue. Setelah itu ditutup menggunakan kaca penutup secara
perlahan-lahan dengan sedikit menekan tubuh kutu untuk mempermudah
pengamatan. Preparat yang dibuat diolesi dengan menggunakan pewarna kuku
bening pada bagian pinggir kaca penutup agar preparat tidak mudah rusak.
Preparat kemudian diberi label yang berisi lokasi pengambilan tanaman sampel,
tanggal pengambilan sampel, dan waktu pengambilan sampel (hujan atau
kemarau).
Identifikasi Fase Cendawan Entomophthorales
Preparat kutu diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk
mengidentifikasi stadia cendawan Entomophthorales pada perbesaran 400 kali.
Kutu yang diidentifikasi diklasifikasikan ke dalam enam kategori (Steinkraus etal.
1995), yaitu serangga sehat, terserang secondary conidia (tungkai, antena, tubuh
kutu putih), hypal bodies, konidiofor dan primary conidia, resting spores, dan
saprophytic fungi.
Perhitungan Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales
Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutu dihitung menggunakan rumus :
Tingkat Infeksi (%) =

X100%

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lokasi Pengamatan
Desa Babakan raya terletak di Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Kecamatan Darmaga terletak di 06o31’LS 104o44’BT dengan
ketinggian 207 m dari atas permukaan laut. Berdasarkan data dari Stasiun
Klimatologi Darmaga, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG),
temperatur rata-rata di Kecamatan Darmaga pada bulan september 26oC dan bulan
Oktober 26.3oC. Kelembaban rata-rata pada bulan September adalah 76% dan
bulan Oktober 81%. Curah hujan pada bulan September adalah 270.5 mm/hari dan
Oktober 540 mm/hari. Rata-rata curah hujan di Cianjur pada bulan September
adalah 260.5 mm/hari sedangkan pada Oktober adalah 130.5 mm/hari.
Gambaran Umum Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur
Pengambilan sampel kutuputih dan kutukapuk diambil dari tempat yang
berbeda. Kutuputih yang didapat berasal dari Tanaman hias yang terdapat di
Bogor yaitu jenis tanaman puring norma kuning (Codiaeum variegatum), aspar
(Furcraea foetida L. Haw var. mediopicta) dan agav (Agave americana L var.
Marginata aurea), sedangkan sampel kutukapuk berasal dari tanaman hias yang
terdapat di Cianjur yaitu tanaman puring sendok (Codiaeum variegatum), melati
(Jasminum sambac) dan kuping gajah(Anthurium crystallinum). Tanaman hias
yang terdapat di Cianjur ditanam didepan pekarangan rumah warga, untuk
tanaman yang terdapat di bogor yaitu agav dan aspar ditanam sebagai penghias
taman. Tanaman puring yang terdapat di Bogor ditanam dipinggir jalan dengan
populasi tanaman cukup banyak.
Hasil identifikasi yang dilakukan berdasarkan Sartiami et al. (2011), spesies
kutuputih yang diperoleh dari lapang yang menyerang pada tanaman puring
norma kuning yaitu spesies Planacoccus minor, sedangkan pada tanaman agav
dan aspar yaitu spesies Dymicoccus neobrevipes. Spesies kutukapuk yang didapat
pada tanaman melati dan kuping gajah yaitu spesies Icerya seychellarum,
sedangkan pada tanaman puring sendok yaitu Icerya aegyptiaca (Gambar 1).
Populasi kutuputih pada tanaman yang terdapat di Bogor cukup tinggi baik
pada puring norma kuning, aspar maupun agav, terlihat bahwa gejala yang
ditimbulkan cukup parah (Gambar 2a, 2b, 2c). Daun pada tanaman puring yang
terserang kutuputih berwarna coklat dan layu, begitupun pada tanaman aspar dan
agav. Menurut Widodo dan Sutiyoso (2008), gejala yang ditimbulkan oleh
kutuputih menyebabkan tunas baru gagal tumbuh, daun tua menguning dan layu,
akar menjadi kurus dengan permukaan mengempis. Tanaman menguning layu
kehitaman. Daun menguning layu dan rontok.
Populasi kutukapuk pada tanaman puring sendok dan kuping gajah tidak
begitu tinggi, terlihat bahwa gejala yang ditimbulkan tidak begitu parah (Gambar
2e, 2f). Sedangkan pada tanaman melati terlihat tanaman terbut dipenuhi oleh
kutukapuk yang terdapat dibatang tanaman melati (Gambar 2d). Daun pada
tanaman melati rontok dan bungapun gugur.

5

Gambar 1 Kutukapuk dan kutuputih yang menyerang tanaman hias (a) puring
sendok (Icerya aegyptiaca) , (b) kuping gajah (Icerya seychellarum),
(c) melati (Icerya seychellarum), (d) agav (Dymicoccus neobrevipes),
(e) puring norma kuning (Planacoccus minor), (f) aspar (Dymicoccus
neobrevipes)
Perbedaan kandungan senyawa kimia pada tanaman diduga dapat
mempengaruhi perilaku makan serangga dan perilaku kopulasi serta tingkat
reproduksinya. Kelimpahan populasi serangga pada tanaman dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor fisik seperti curah hujan dan hembusan angin. Serangga kecil
seperti kutu-kutuan (Hemiptera) dapat rentan terhadap tetesan air hujan dan
hembusan angin. Tetesan hujan dan hembusan angin dapat menyebabkan
serangga jatuh ke tanah dan tidak dapat kembali kepermukaan daun, sehingga
kelimpahan populasi kutu pada daun akan berkurang (Steyenoff 2001).

6

Gambar 2 Tanaman hias yang terserang kutuputih dan kutukapuk di Bogor dan
Cianjur (a) daun agav berwarna coklat dan layu, (b) pinggir daun
berwarna coklat pada tanaman aspar (c) daun berwarna coklat, layu
dan kutuputih menyerang batang pada tanaman puring norma kuning,
(d) bercak coklat pada batang melati, (e) bercak coklat pada kuping
gajah, (f) bercak coklat pada puring sendok
Fase Cendawan Entomophthorales pada Kutuputih
Eksplorasi cendawan Entomophthorales pada kutuputih diamati dari 90
preparat (600 kutuputih) pada tanaman puring norma kuning, agav, dan aspar.
Hasil pengamatan mikroskopis, fase cendawan yang ditemukan menginfeksi
adalah konidia sekunder, konidia primer, badan hifa, dan cendawan saprofit.
Konidia sekunder mempunyai jenis, bentuk, dan ukuran yang spesifik.
Jenis bentuk konidia sekunder merupakan kriteria penting dalam mengidentifikasi
cendawan Entomophthorales. Tipe konidia sekunder yang ditemukan pada kutu
putih dari tiga jenis tanaman hias menunjukan konidia sekunder tipe II atau
kapilikonidia, menyerupai bentuk konidia primer (Gambar 3b). Konidia sekunder
akan ditemukan pada bagian luar tubuh kutuputih dengan posisi menempel pada
bagian tubuh tertentu. Bagian tubuh tersebut adalah antena, tungkai, dan
abdomen.

7

Gambar 3 Stadia cendawan Entomophthorales pada kutuputih (a) badan hifa
berbentuk bulat, (b) konidia sekunder pada tungkai, (c) konidia primer
didekat tungkai, (d) cendawan saprofitik
Konidia primer ditemukan pada tubuh kutuputih yang masih utuh.
Konidia primer berbentuk oval menyerupai buah pir dan memiliki papilla
(Gambar 3c). Konidia terbentuk secara aktif dari bagian ujung konidiofor atau
kapilokonidia (Keller 2007). Konidia primer dihasilkan pada konidiofor tidak
bercabang mengandung dua atau lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan pada
konidiofor bercabang mengandung satu nukleus. Badan hifa merupakan fase yang
hampir ditemukan disemua contoh kutuputih yang terinfeksi. Fase ini merupakan
perkembangan vegetatif. Badan hifa berkembang dari protoplas dan merupakan
proses awal yang terjadi pada inang yang terinfeksi (Keller 2007). Bentuk yang
spesifik menjadikan badan hifa sebagai suatu ciri penting dalam penggolongan
cendawan (Keller 1987).
Spora istirahat tidak ditemukan pada kutuputih dari ketiga tanaman contoh.
Spora tersebut merupakan struktur dinding berukuran tebal yang berfungsi untuk
bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan seperti ketiadaan inang
dan lingkungan yang ekstrim. Spora istirahat secara spesifik hanya dapat
ditemukan pada Neozygites. Spora ini pada Neozygites berwarna coklat gelap
menuju hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua
asam nukleat. Spora istirahat tidak cepat menyebar (Keller 1987).
Pada beberapa jenis cendawan Entomophthorales, spora istirahat atau
konidia yang dihasilkan sangat tergantung pada fase serangga inang yang
diinfeksi. Jika menginfeksi serangga muda, maka akan menghasilkan konidia
primer. Sedangkan apabila menginfeksi serangga yang lebih tua, maka yang
dihasilkan adalah spora istirahat (Keller 1987). Fase akhir dalam identifikasi

8
cendawan Entomophthorales adalah cendawan Saprofitik (Gamar 2d). Cendawan
saprofitik akan muncul setelah serangga mati atau buduk (Keller 1987).
FaseCendawan Entomophthorales pada Kutukapuk
Eksplorasi cendawan Entomophthorales pada kutukapuk diamati dari 90
preparat (600 kutukapuk) pada tanaman puring, melati, dan kuping gajah. Hasil
pengamatan mikroskopis menunjukan bahwa tidak ada kutukapuk yang terinfeksi
cendawan Entomophthorales. Sebelumnya belum ada penelitian yang menyatakan bahwa cendawan Entomophthorales menginfeksi kutukapuk (Famili
Margarodidae).

Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis pada Kutuputih

Gambar 4 Makroskopis dan mikroskopis kutuputih pada tanaman puring norma
kuning (a) tubuh kutuputih berwarna coklat, (b) konidia primer (c)
tubuh kutuputih berwarna putih, (d) serangga sehat, (e) tubuh
kutuputih berwarna hitam dan mati (f) konidiofor, (g) konidia primer

9
Pengamatan dilakukan secara makroskopis yaitu dengan cara
mengklasifikasikan kutuputih sesuai dengan warna tubuhnya, warna tubuh
serangga yang ditemukan yaitu hitam, coklat dan putih. Tubuh kutuputih yang
berwarna hitam dan sudah mati menunjukan adanya infeksi cendawan
Entomophthorales. Hal tersebut terlihat pada saat pengamatan mikroskopis. Fase
cendawan yang ditemukan adalah konidia primer dan konidiofor (Gambar 4e, 4f).
Badan kutuputih yang berwarna coklatpun terlihat terinfeksi oleh cendawan Entomophthorales, karena pada saat pengamatan secara mikroskopis terlihat bahwa
seluruh tubuh kutuputih dipenuhi oleh konidia primer (Gambar 4b, 4c). Sedangkan tubuh kutuputih berwarna putih terlihat tidak terinfeksi cendawan
Entomophthorales (Gambar 4h). Cendawan saprofit dapat menginfeksi kutuputih
yang telah mati akibat infeksi cendawan Entomphthorales. Cendawan saprofit
akan berkembang pada tubuh serangga yag sudah mati dan mendapat sumber
makanan dari serangga yang sudah mati tersebut.
Konidia merupakan struktur yang berperan dalam proses infeksi. Puluhan
ribu konidia dapat diproduksi dari satu tubuh inang (Pell et al. 2001). Pada
kondisi yang tidak menguntungkan atau saat populasi inang rendah, cendawan
dapat bertahan lama dengan membentuk fase spora istirahat yang dapat bertahan
di permukaan tanah. Spora istirahat memiliki struktur yang kuat dengan
dindingsel ganda.
Cendawan Entomophthorales pada Kutuputih
Eksplorasi cendawan Entomophthorales pada kutuputih diamati dari 60
preparat (900 kutuputih) pada tiga macam tanaman hias puring agav, dan aspar.
Pengamatan fase cendawan yang menginfeksi kutuputih dibagi menjadi 5 kategori
menurut klasifikasi yang dilaporkan Steinkraus et al. (1995), yaitu, secondary
conidia (konidia sekunder), hyphal bodies (badan hifa), primary conidia (konidia
primer), resting spores (spora istirahat), dan kategori saprophytic fungi (cendawan
saprofit) serta serangga sehat. Berdasarkan pengamatan preparat sampel kutuputih
pada ketiga jenis tanaman tersebut, fase cendawan yang ditemukan adalah
secondary conidia, hyphal bodies, primary conidia, dan saprophytic fungi.
Konidia primer yang ditemukan pada kutuputih di tanaman puring, aspar,
dan agav berbentuk oval menyerupai buah pir (Gambar 5b). Konidia primer
tersebut ditemukan pada kutuputih yang utuh dan yang telah rusak. Konidia
sekunder tidak ditemukan pada semua sampel kutuputih yang diamati hanya
ditemukan pada kutuputih yang menyerang tanaman puring dan aspar. Konidia
sekunder terlihat menyerupai biji almond (Gambar 5c). Konidia tersebut bersifat
infektif dan mampu berkecambah dan menembus tubuh seranga. Badan hifa hampir
ditemukan pada semua sempel kutuputih bentuk tidak rata (Gambar 5a),
berjumlah banyak yang mengisi seluruh bagian tubuh kutuputih. Cendawan
saprofitik ditemukan pada sempel kutuputih yang menyerang tanaman aspar dan
agav (Gambar 5d). Cendawan saprofitik akan muncul setelah serangga mati
(Keller 1987).
Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan di atas, cendawan Entomophthorales
yang menginfeksi kutuputih yang menyerang ketiga tanaman hias tersebut
termasuk dalam genus Neozygites, famili Neozygitaceae. Cendawan genus
Neozygites memiliki ciri-ciri konidia berbentuk globose atau filiform yang

10
diperpanjang dengan papila diujungnya. Dengan hyphal bodies berbentuk bola
atau berbentuk tidak rata, secondary konidia berbentuk menyerupai biji almond,

Gambar 5 Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutuputih pada
tanaman puring norma kuning, aspar, dan agav di Bogor (a) badan
hifa yang berbentuk bulat, (b) konidia primer, (c) konidia sekunder
pada tungkai, (d) cendawan saprofitik, (e) konidia cendawan saprofitik
seperti bulan sabit, (f) konidia cendawan saprofitik
sedangkan primary conidia berbentuk seperti bulat telur dan memiliki papila
serta capilliconidia dapat terbentuk secara pasif dari kapiler konidiofor (Humber
& Steinkraus 1998). Cendawan Neozygites fumosa merupakan patogen pada
beberapa kutuputih dari family Pseudococcidae (Keller 2007).
Cendawan famili Neozygitaceae mampu menghasilkan 3000 konidia primer
per individu inang dalam waktu 3-4 hari siap menginfeksi inang. Cendawan ini
hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menginfeksi inangnya kemudian bersporulasi. Selain kemampuan berkembang yang pesat dan dapat menghasilkan
konidia dalam jumlah yang sangat banyak, cendawan dari famili Neozygitaceae
juga mampu menginfeksi hampir semua stadia serangga inang kecuali telur. Hal
ini berbeda dengan cendawan dari ordo Entomophthorales lainnya yang umumnya
hanya menginfeksi inang pada stadia imago (Pell et al. 2001). Sebagai cendawan
obligat, patogen akan memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya yang ada
pada serangga inang sampai serangga mati. Setelah serangga mati cendawan akan
bersporulasi kemudian menginfeksi serangga sehat lainnya.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa cendawan Entomophthorales
telah menginfeksi P. marginatus di wilayah Bogor, Jawa Barat. Ismy (2012)

11
melaporkan bahwa, cendawan Entomophthorales genus Neozygites telah menginfeksi P. manihoti di Desa Sukaraja Kaum dan Desa Kebon Awi. Fase cendawan
yang ditemukan adalah konidia sekunder, konidia primer, badan hifa, dan
cendawan saprofitik. Menurut Nurhayati dan Anwar (2012), genus Neozygites
telah menginfeksi P. marginatus pada tanaman singkong di Wilayah Kecamatan
Rancabungur dan Bubulak, Bogor, Jawa Barat.
Speare (1922 dalam Delalibera et al. 1997) melaporkan bahwa N. fumosa
menginfeksi Planococcus citri (Risso) (Hemiptera: Pseudococcidae) yang merupakan hama pada tanaman jeruk di Florida dan Ficus di Lousiana. N. fumosa juga
telah dilaporkan menginfeksi Phenacoccus sp. pada tanaman Hibiscus di Lousiana
dan dilaporkan juga dapat menginfeksi Phenacoccus manihoti pada tanaman
singkong di Kongo (Le Rü et al. 1985 dalam Delalibera et al. 1997).
Infeksi Cendawan Entomophtorales pada Kutuputih dan Kutukapuk
pada Berbagai Tanaman Hias di Bogor dan Cianjur
Presentase badan hifa pada kutuputih di tanaman puring norma kuning
sebanyak 5% pada pengamatan 17, 24, 31 Oktober 2012. Fase konidia primer
yang paling tinggi ditemukan pada tanggal 17/10/2012 (43.33%) dan terdapat
konidia sekunder (3.33%) pada tanggal 31/10/2012. Fase badan hifa pada kutuputih di tanaman aspar terlihat pada 5 kali pengamatan. Fase badan hifa paling
tinggi ditemukan pada tanggal 31/10/2012 (68.33%). Persentase yang cukup
tinggi ini diduga adanya faktor pengaruh lingkungan. Menurut BMKG 2012,
kelembaban rata-rata di daerah Darmaga Bogor bulan Oktober sekitar 81%
dengan suhu rata-rata 26oC. Di Afrika Barat, kondisi kelembaban relatif 90%
untuk minimal 5 jam per hari dan suhu 20oC paling menguntungkan untuk
pengembangan N. Fumosa (Le Ru dan Izequel 1990). Cendawan Entomophthorales memiliki inang yang lebih spesifik dan berpotensi dalam membatasi
tingkat infeksi serangga hama seperti musuh alami lainnya. Infeksi konidia primer
dan sekunder tidak ditemukan pada kutuputih di tanaman agav, tetapi infeksi
cendawan saprofitik ditemukan pada tanggal 31/10/2012 sebesar 3.33%.
Populasi kutuputih dan kutuputih di kedua tempat pada berbagai jenis tanaman tidak dihitung, pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil 50 jenis
kutuputih dan kutukapuk selama 5 kali pengamatan. Metode tersebut dilakukan
karena hanya ingin mencari informasi mengenai keberadaan cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutuputih dan kutukapuk pada tanaman hias di
Bogor dan Cianjur.
Rata-rata tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutuputih di
tanaman aspar lebih tinggi daripada infeksi pada kutuputih di tanaman puring
norma kuning dan tanaman agav. Hal ini terlihat pada ke-3 fase cendawan yang
ditemukan menginfeksi kutuputih tersebut. Presentase badan hifa yang menginfeksi kutuputih pada tanaman aspar pada tanggal 3/10/2012 (75%), sedangkan
pada tanggal 10/10/2012 meningkat menjadi 78.33%, dan menurun kembali pada
tanggal 17/10/2012 (76.67%). Tingkat infeksi badan hifa yang paling tinggi
terlihat pada tanggal 24/10/2012 sebesar 81.67% dan menurun kembali pada
pengamatan terakhir sebesar 60%. Terjadinya penurunan infeksi cendawan Entomophthorales pada kutuputih di kedua tanaman hias diduga karena sehari sebelum
pengamatan terjadi hujan, namun belum dapat ditentukan faktor yang menye-

12
babkan menurunnya infeksi cendawan tersebut pada kutuputih di tanaman aspar
dan agav. Konidia primer dan konidia sekunder hanya ditemukan pada tanggal
31/10/2012 berturut-turut (3.33%) dan (1.67%). Infeksi cendawan sekunder ditemukan pada tanggal 3/10/2012 sebesar 1.67%.
Proporsi Cendawan Entomophthorales yang menginfeksi kutuputih di
dominasi oleh fase badan hifa (Gambar 6), sedangkan pada kutukapuk berbanding
terbalik, tidak ada kutukapuk yang terinfeksi oleh cendawan Entomophthorales.
Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Keller dan Wegensteiner (2007) terhadap
cendawan Entomophthorales menunjukkan bahwa 176 spesiesnya menyerang
serangga. Sembilan spesies diketahui bersifat patogenik pada Arachnida, 7 spesies
ditemukan pada Acari dan 2 spesies pada Phalangiidae. Sebagian besar spesies
(34% atau sekitar 68 spesies) ditemukan pada Diptera dan 23% pada Homoptera,
dan kurang dari 10% ditemukan pada inang lainnya, seperti spesies yang
menyerang Trichoptera, Collembola, Dictyoptera (Blattaria) dan Rhaphidoptera
a.

Puring norma kuning

b.

Aspar

13
c.

Agav

Gambar 6

Proporsi fase cendawan yang menginfeksi kutuputih pada tanaman
puring norma kuning, aspar dan agav

Rata-rata infeksi kutuputih dan kutukapuk sangat berbeda, pada kutukapuk
tidak ada kutu yang terinfeksi oleh cendawan Entomophtholares. Hal ini diduga
kutukapuk tidak cocok sebagai inang dari cendawan Entomophthorales. Berbeda
dengan rata-rata infeksi kutuputih, terlihat bahwa kutuputih yang terinfeksi sudah
ditemukan dari awal pengamatan pada tanaman aspar dan agav, sedangkan pada
puring norma kuning infeksi ditemukan pada pengamatan ke-3 (Tabel 1).
Tabel 1 Rata-rata infeksi cendawan Entomophthorales terhadap kutuputih dan
kutukapuk pada beberapa jenis tanaman hias di Bogor dan Cianjur
Tanaman
Waktu
pengamatan

a

Puring

Kutukapuk
Kuping
Melati
gajah
0
0

Kutuputih
b

Puring

Aspar

Agav

1

0

0

76.67

43

2

0

0

0

0

78.33

36.67

3

0

0

0

62

76.67

13.33

4

0

0

0

48

81.67

61.67

5

0

0

0

51.67

65

71.67

rata-rata

0

0

0

32.33±29.96

75.67±6.30

45.27±22.72

a

Puring sendok, bPuring norma kuning

Rata-rata infeksi kutuputih yang paling tinggi dari ketiga tanaman tersebut
yaitu terdapat pada tanaman aspar (Tabel 1). Hal ini diduga karena kutuputih yang
terdapat pada tanaman aspar mendapatkan nutrisi cukup baik dari inangnya,
sehingga cendawan Entomophthorales semaksimal mungkin memanfaatkan sum-

14
berdaya yang ada pada serangga inang tersebut. Perbedaan kandungan senyawa
kimia pada tanaman diduga dapat mempengaruhi perilaku makan serangga dan
perilaku kopulasi serta tingkat reproduksinya. Kelimpahan populasi yang tinggi
menyebabkan infeksi cendawan Entomophthorales lebih tinggi. Namun demikian,
hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi kutuputih yang lebih tinggi terdapat
pada tanaman agav dibandingkan populasi pada tanaman aspar, namun tidak
diiukuti oleh tingginya tingkat infeksi (Tabel 1). Walaupun, populasi pada
kutuputih tidak dihitung tetapi pada saat pengamatan pengambilan sampel pada
minggu terakhir terlihat bahwa populasi kutuputih pada tanaman agav masih
cukup banyak dibandingkan pada tanaman aspar.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hanya kutuputih pada tanaman puring norma kuning, aspar dan agav yang
terinfeksi oleh cendawan Entomophthorales dengan tingkat infeksi yang tinggi.
Tingkat infeksi kutuputih paling tinggi terjadi di tanaman aspar. Cendawan yang
menginfeksi kutuputih di Bogor adalah Neozygites fumosa. Serangga yang
terinfeksi cendawan Entomophthorales mengalami perubahan warna hitam,
kelabu atau coklat. Stadia cendawan yang ditemukan adalah badan hifa, konidia
primer, konidia sekunder, cendawan saprofitik.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada musim kemarau untuk
menemukan fase resting spores pada cendawan Entomophthorales. Penelitian
lebih lanjut terhadap kutukapuk untuk mengetahui penyebab kenapa tidak adanya
infeksi cendawan Entomophthorales.

DAFTAR PUSTAKA
[BPTH] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Biopestisida pengendalian hama
dan penyakit. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 3(3):6-8.
[CSIRO] Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation:
Division of Entomology. 1991. The Insects of Australia. Volume 1.
Canberra (AU): Melbourne University Press.
Delibera Jr, Humber R, Bento JMS, De Matos AP. 1997. First record of the
entomopathogenic fungus Neozygites fumosa on cassava mealybag
Phenacoccus herreni. Journal of Invertebrate Pathology 69:279-278.
Hajek, A. E. and St-Leger, R.J., (1994): Interactions between fungal pathogens
and insect hosts.Annual Review of Entomology. 39: 293-322.

15
Ismy SV. 2012. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada kutuputih
(Hemiptera: Pseudococcidae) pada tanaman singkong di wilayah Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kalshoven, LG.E. 1981. The Pets of Crops in Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru.
Keller S. 1987. Obsevations on the overwintering of Enthomophtora
planchoniana. Journal of Invertebrate Pathology. 50(3):333-335.
Keller S. 1997. The genus Neozygites (Zygomycetes, Entomophthorales) with
special reference to spesies found in tropical regions. Sydowia 49:118-146.
Keller S. 2007. Fungal struktur and biology.Di dalam: Keller S, editor. Arthropodpathogenic Entomophthorales: Biology, Ecology, Identification. Brussels
(BE): COST Office. hlm 27-54.
Keller S, Wegensteiner R. 2007. Introduction. In: Keller S (Ed.), AnthropodpatogenicEntomphthorales: Biology, Ecology,Indentification. pp. 1-6.
Brussels: COST Office.
Krisantini. 2007. Galeri Tanaman Hias Bunga. Jakarta (ID): Penerbit Penebar
Swadaya.
Kusumah E. 1998. Referensi konsumen dan nilai komersial varietas baru mawar.
Di dalam: Kusumah E, Komar D, editor. Balai Penelitian Tanaman Hias,
Risalah Seminar Nasional Tanaman Hias. [Waktu dan tempat pertemuan
tidak diketahui]. Jakarta (ID). hlm 172-179.
Le Ru, B. Iziquel, Y. 1990. [New observationson theepizootiologyof Neozygites
fumosainpopulationsofthecassava
mealybug
Phenacoccus
manihoti.]Nouvelles donnees sur le deroulement de la mycose a Neozygites
fumosa sur la cochenille du manioc Phenacoccus manihoti(In French).
Entomaphaga35(2): 173-183.
Naiolo BP. 1996. Potensi tanaman hias di pedesaan dan kemungkinan pekarangan
Desa sebagai sumber materi penunjang agribisnis tanaman hias. Di dalam:
Nailo BP, Danimihardjo S, editor. Puslitbang Biologi-LIPI, Prosiding
Seminar Tanaman Hias [internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak
diketahui]. Bogor (ID). hlm 96-100; [diunduh 2013 Mar 17]. Tersedia pada:
http://pustaka.litbang.deptan. go.id/ publikasi/ wr313094.pdf
Nurhayati A, R Anwar. 2012. Prevalensi cendawan entomopatogenik, Neozygites
fumosa (Speare) Remaudie’re & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales)
pada populasi kutuputih, Paracoccus marginatus Williams and Granara
De Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) di wilayah Bogor. Jurnal
Entomologi Indonesia (92-2): 71-80
Pell JK, Eilenberg J, Hajek AE, Steinkraus DC. 2001. Biology, ecology and pest
management potential of Entomophthorales. In; Butt TM, C Jackson CW,
Magan N (eds.), Fungi as biocontrol Agents:Progress, Problems and
Potential. Pp. 71-153. Waliingford (GB). CABI Publishing.
Speare, A. T. (1922). Natural control of the citrus mealybug in Florida.
USDABull. 1117.
Sartiami D, Riyadi S, Desmawati, Susetyo HP, Mulyaman S, Chalid NI, Railan
M, Ra-madani S, Azhar A. 2011. Pedoman pengenalan dan pengendalian
kutu-kutuan pa-da tanaman florikultur. Jakarta (ID). Direktorat
Perlindungan Hortikultura. Direktorat Jendral Hortikultura.

16
Sosromarsono S, Wardojo S, Adisoemarto S, Suhardjono YR. 2007. Nama Umum
Serangga. Bogor (ID): Perhimpunan Entomologi Indonesia.
Steinkraus DC, Geden JG, Ruzt DA. 1995. Prevalence of Entomophthorales
muscae (Cohn) Fresenius (Zygomycetes: Entomophthoraceae) in house flies
(Diptera: Muscidae) on diary farms in New York and induction of
epizootics. Biologycal Control 3:93-100.
Steyenoff JL. 2001. Plant washing as a pest management technique for countol of
aphid (Homoptera: Aphididae). Journal of Economic Entomology 94:14921499.
Widodo, Sutioso Y. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman. Volume ke-9. Bogor
(ID): Penerbit PT Trubus Swadaya.
Williams DJ, Watson W. 1990. The Scale Insects of the Tropical South Pacific
Region Part 3: The Soft Scale (Coccidae) and Other Families. Wallingford
(GB): CAB International Intitute of Entomology.
Williams DJ and deWillink MCG. 1992. Mealybugs of Central and South
America. Wallingford (GB): CABI.

17

LAMPIRAN
Lampiran 1

Waktu
30/09/2012
7/10/2012
14/10/2012
21/10/2012
28/10/2012
waktu
30/09/2012
7/10/2012
14/10/2012
21/10/2012
28/10/2012
waktu
30/09/2012
7/10/2012
14/10/2012
21/10/2012
28/10/2012
waktu
3/10/2012
10/10/2012
17/10/2012
24/10/2012
31/10/2012

Jumlah fase cendawan Entomophthorales yang kutuputih dan
kutukapuk

Konidia
sekunder
0
0
0
0
0

konidia
primer
0
0
0
0
0

Tanaman Melati
badan
Spora
Cendawan
hifa
istirahat
saprofitik
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Konidia
sekunder
0
0
0
0
0

konidia
primer
0
0
0
0
0

Tanaman kuping gajah
badan
Spora
Cendawan
hifa
istirahat
saprofitik
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Konidia
sekunder
0
0
0
0
0

konidia
primer
0
0
0
0
0

Tanaman puring sendok
badan
Spora
Cendawan
hifa
istirahat
saprofitik
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Konidia
sekunder
0
0
0
0
2

konidia
primer
0
0
34
26
26

Tanaman puring norma kuning
badan
Spora
Cendawan
hifa
istirahat
saprofitik
0
0
0
0
0
0
3
0
0
3
0
0
3
0
0

sehat
50
50
50
50
50

sehat
50
50
50
50
50

sehat
50
50
50
50
50

sehat
60
60
23
31
29

jumlah
kutu
50
50
50
50
50

jumlah
kutu
50
50
50
50
50

jumlah
kutu
50
50
50
50
50

jumlah
kutu
60
60
60
60
60

18

Waktu
3/10/2012
10/10/2012
17/10/2012
24/10/2012
31/10/2012
Waktu
3/10/2012
10/10/2012
17/10/2012
24/10/2012
31/10/2012

Tanaman Furerae (aspar)
Badan
Spora
Cendawan
hifa
istirahat
saprofitik
45
0
1
47
0
0
46
0
0
49
0
0
36
0
0

Konidia
sekunder
0
0
0
0
1

Konidia
primer
0
0
0
0
2

Konidia
sekunder
0
0
0
0
0

Tanaman Agave, Americana L (agav)
Konidia Badan
Spora
Cendawan
Sehat
primer
hifa
istirahat
saprofitik
0
26
0
0
34
0
22
0
0
38
0
8
0
0
52
0
37
0
0
23
0
41
0
2
17

Sehat
14
13
14
11
21

Jumlah
kutu
60
60
60
60
60

Jumlah
kutu
60
60
60
60
60

19
Lampiran 2
Tanaman
puring
norma
kuning

Tanaman

Aspar

Infeksi Cendawan Entomophthorales pada kutuputih

1
2
3
4

Konidia
sekunder
0
0
0
0

Badan
hifa
0
0
5
5

Konidia
primer
0
0
56.67
43.33

Stadia
istirahat
0
0
0
0

Cendawan
saprofitik
0
0
0
0

100
100
38.33
51.67

5

3.33

5

43.33

0

0

48.33

Pengamatan

Pengamatan

Konidia
sekunder

1
2

Sehat

Badan
hifa

Konidia
primer

Stadia
istirahat

Cendawan
saprofitik

Sehat

0

75

0

0

1.67

23.33

0

78.33

0

0

0

21.67

3

0

76.67

0

0

0

23.33

4

0

81.67

0

0

0

18.33

5

1.67

60

3.33

0

0

35

Tanaman

Pengamatan

Konidia
sekunder

Badan
hifa

Konidia
primer

Stadia
istirahat

Cendawan
saprofitik

Agav

1

0

43.33

0

0

0

56.67

2

0

36.67

0

0

0

63.33

3

0

13.33

0

0

0

86.67

4

0

61.67

0

0

0

38.33

5

0

68.33

0

0

3.33

28.34

Sehat

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada 9 Juli 1990 sebagai anak pertama dari empat
bersaudara pasangan Drs. Jamaludin dan Nunung Rohaeti. Penulis menyelesaikan
pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Cibeber pada tahun 2008,
kemudian melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Selama masa kuliah, penulis pernah mengikuti panitia Masa Perkenalan
Departemen (MPD) Proteksi Tanaman tahun 2009, penulis pernah mengikuti
praktik kerja lapang (PKL) di Balai Penelitian Tanaman Sayur Bandung Jawa
Barat tahun 2010. Penulis pernah mengikuti panitia Goes to Filed 2010.