Produksi Bioetanol Dari Bahan Baku Tongkol Jagung Melalui Delignifikasi Termal

PRODUKSI BIOETANOL DARI BAHAN BAKU TONGKOL
JAGUNG MELALUI DELIGNIFIKASI TERMAL

AZKA RABBANI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Bioetanol
dari Bahan Baku Tongkol Jagung melalui Delignifikasi Termal adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Azka Rabbani
NIM G84100079

ABSTRAK
AZKA RABBANI. Produksi Bioetanol dari Bahan Baku Tongkol Jagung melalui
Delignifikasi Termal. Dibimbing oleh INDA SETYAWATI dan POPI ASRI
KURNIATIN.
Bioetanol dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar yang bersifat
ramah lingkungan. Bioetanol dapat diproduksi dari limbah pertanian yang
memiliki kandungan lignoselulosa, seperti limbah tongkol jagung. Lignoselulosa
merupakan komponen yang dapat dikonversi menjadi bioetanol dengan
pemanfaatan khamir seperti Candida tropicalis. Penelitian ini bertujuan
menentukan kondisi delignifikasi optimum untuk produksi bioetanol dengan
perlakuan pemanasan autoklaf, perbandingan tongkol jagung : air, dan perbedaan
ukuran mesh serbuk tongkol jagung. Perlakuan optimum dilihat berdasarkan kadar
holoselulosa tinggi dan kadar lignin rendah. Hasil penelitian menunjukkan
perlakuan optimum, yaitu pemanasan autoklaf pada siklus 1x15 menit,
perbandingan 1:8 antara tongkol jagung dan air, ukuran 40 mesh serbuk tongkol

jagung. Produksi bioetanol optimum diperoleh pada perlakuan delignifikasi termal
sebesar 0.28 % dibandingkan tanpa delignifikasi termal sebesar 0.1 %.
Kata kunci: bioetanol, Candida tropicalis, delignifikasi termal, tongkol jagung

ABSTRACT
AZKA RABBANI. Bioethanol Production from Corn Cob Material with Thermal
Delignification. Supervised by INDA SETYAWATI and POPI ASRI
KURNIATIN.
Bioethanol used as substitute for environmentally fuels. Bioethanol can be
produced using agricultural waste that contains lignocellulose, such as corn cob
waste. Lignocellulose is a component that can be converted into bioethanol by
yeasts such as Candida tropicalis. This research aims to determine the optimum
delignification for bioethanol production by autoclave treatment, corn cobs :
water comparison, and powder mesh size difference. The optimum treatment was
determined based on the level of holocellulose and lignin content. The result
showed optimum treatment were 1x15 minutes cycle of autoclave process, the
ratio of 1:8 between corn cobs and water, the size of 40 mesh powder corn cobs.
Optimum bioethanol production obtained in the thermal treatment delignification
0.28% than without thermal delignification 0.1%.
Keywords: bioethanol, Candida tropicalis, corn cobs, thermal delignification


PRODUKSI BIOETANOL DARI BAHAN BAKU TONGKOL
JAGUNG MELALUI DELIGNIFIKASI TERMAL

AZKA RABBANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Produksi Bioetanol dari Bahan Baku Tongkol Jagung melalui
Delignifikasi Termal

Nama
: Azka Rabbani
NIM
: G84100079

Disetujui oleh

Inda Setyawati, STP, Msi
Pembimbing I

Popi Asri Kurniatin, SSi, Apt, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini adalah Produksi Bioetanol
dari Bahan Baku Tongkol Jagung melalui Delignifikasi Termal.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Inda Setyawati, STP, MSi dan
Ibu Popi Asri Kurniatin, SSi, Apt, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi arahan dan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga, dan teman-teman Biokimia 47 atas segala doa, kasih
sayang dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Azka Rabbani

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
viii

DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan dan Alat
2
Prosedur Penelitian
2
Persiapan Serbuk Tongkol Jagung
3
Pengukuran Kadar Air (AOAC (1984) dalam Subekti (2006))
3
Optimasi Jumlah Siklus Autoklaf (Modifikasi Wagiman et al. 2011)
3

Optimasi Perbandingan Tongkol Jagung Terhadap Air (Modifikasi Indriany
et al. 2013)
3
Optimasi Ukuran Mesh Tongkol Jagung (Modifikasi Indriany et al. 2013) 3
Peremajaan Kultur Sel Khamir C. tropicalis (Rao et al. 2006)
5
Penyiapan Kultur Starter
5
Pembuatan Fermentasi Produksi Bioetanol (Modifikasi Rao et al. 2006)
5
Analisis Kadar Etanol dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
(Modifikasi Ambarsari et al. 2013)
5
Pengukuran Kadar Gula Pereduksi (Modifikasi Miller 1959)
6
HASIL
6
Kadar Air Tongkol Jagung
6
Jumlah siklus autoklaf optimum

6
Perbandingan Optimum Jumlah Tongkol Jagung dan Akuades
7
Ukuran Mesh Optimum Serbuk Tongkol Jagung
7
Kadar Gula Pereduksi dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
8
Produksi Bioetanol dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
8
PEMBAHASAN
9
Kadar Air Tongkol Jagung
9
Jumlah Siklus Autoklaf Optimum
9
Perbandingan Optimum Jumlah Tongkol Jagung dan Akuades
10
Ukuran Mesh Optimum Serbuk Tongkol Jagung
11
Kadar Gula Pereduksi dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis

11
Produksi Bioetanol dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
12
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
16

DAFTAR GAMBAR
1

Hasil pengukuran komponen lignoselulosa dengan perlakuan jumlah
siklus autoklaf berbeda
2 Hasil pengukuran komponen lignoselulosa dengan perbandingan

jumlah tongkol jagung dan air yang berbeda
3 Hasil pengukuran komponen lignoselulosa dengan ukuran mesh
tongkol jagung yang berbeda
4 Kadar gula pereduksi selama proses fermentasi menggunakan
substrat tongkol jagung

7
7
8
8

DAFTAR TABEL
1 Persentase kadar air
2 Produksi bioetanol dengan bantuan C.tropicalis

6
9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian

2 Kadar lignoselulosa dengan perlakuan jumlah siklus autoklaf berbeda
3 Kadar lignoselulosa dengan perbandingan jumlah tongkol jagung dan
air yang berbeda
4 Kadar lignoselulosa dengan ukuran mesh tongkol jagung yang
berbeda
5 Hasil bioetanol
6 Absorbansi gula pereduksi selama proses fermentasi
7 Kurva standar etanol
8 Kurva standar gula pereduksi
9 Puncak (peak) HPLC larutan standar etanol

17
18
19
20
21
21
22
23
23

PENDAHULUAN
Bioetanol merupakan energi alternatif bersifat ramah lingkungan (Oktavia et
al. 2013). Bioetanol dapat dihasilkan dengan memanfaatkan limbah pertanian yang
memiliki kandungan lignoselulosa, seperti limbah tongkol jagung. Berdasarkan
penelitian Indriany et al. (2013), kandungan lignoselulosa tongkol jagung memiliki
kadar selulosa 45 %, hemiselulosa 35 %, dan lignin 15 %. Data tersebut
menunjukkan bahwa kadar lignin yang dimiliki tongkol jagung lebih rendah
dibandingkan limbah lainnya, seperti kulit kacang, ampas tebu, dan tandan kosong
kelapa sawit. Komponen lignin yang terdapat dalam tongkol jagung dapat
mempengaruhi tingginya produksi bioetanol. Lignin memiliki fungsi mengikat selsel tanaman satu dengan lainnya sehingga menyebabkan komponen hemiselulosa
dan selulosa sulit untuk dihidrolisis. Melihat hal itu, perlu adanya proses perlakuan
awal untuk melepaskan lignin dari matriks lignoselulosa dan juga dapat berfungsi
memecah struktur kristalin selulosa.
Perlakuan awal untuk meminimalkan kadar lignin adalah dengan cara
delignifikasi. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Laksa et al. (2013)
dengan proses termal, delignifikasi dapat membuat kadar lignin berkurang
mencapai 8.19 %. Proses delignifikasi dapat dilakukan secara termal, penambahan
asam atau basa, serta enzimatis. Penelitian ini menggunakan delignifikasi secara
termal karena memiliki keunggulan, seperti ramah lingkungan, harganya cukup
murah, waktu yang dibutuhkan sedikit, dan tidak memerlukan proses pemurnian
(Schacht et al. 2008). Selain perlakuan dengan delignifikasi, pengurangan kadar
lignin dapat dilakukan dengan proses hidrolisis. Hidrolisis yang dapat mengurai
ikatan lignin salah satunya hidrolisis menggunakan pelarut air, seperti penelitian
yang telah dilakukan oleh Rachmaniah et al. (2009). Keunggulan hidrolisis
menggunakan air adalah tidak terbentuknya senyawa inhibitor di akhir reaksi dan
tidak terjadinya korosifitas pada peralatan.
Proses delignifikasi yang baik menurut Purnomo (2013) dapat terjadi oleh
beberapa faktor, yaitu melarutnya rantai-rantai lignin dalam pelarut akibat
perbedaan tekanan osmosis atau penurunan berat lignoselulosa akibat penolakan
elektrostatis antara partikel-partikel lignin. Selain proses delignifikasi dan
hidrolisis, pengurangan lignin dapat dibuktikan melalui meningkatnya produksi
bioetanol. Produksi bioetanol dapat dilakukan dengan proses fermentasi
menggunakan bantuan mikroorganisme, seperti Candida tropicalis yang termasuk
ke dalam kelompok khamir memiliki xilosa reduktase, xilitol dehidrogenase dan
xilulokinase (Wuryaningrum 2010). Enzim-enzim tersebut mampu mengubah
xilosa yang nantinya akan diteruskan ke dalam Pentosa Fosfat Pathway (PPP) dan
reaksi glikolisis sehingga akan dihasilkan produk akhir berupa etanol
(Wuryaningrum 2010). Dengan kemampuan yang dimilikinya, hemiselulosa
menjadi target utama sebagai sumber karbon karena terkandung xilosa yang dapat
direduksi langsung oleh enzim-enzim tersebut. Pada penelitian ini tongkol jagung
merupakan biomassa untuk produksi bioetanol karena komponen hemiselulosa
yang mengandung xilan cukup tinggi dibandingkan biomassa lainnya (Indriany et
al. 2013).
Adanya informasi tentang tongkol jagung dan kemampuan yang dimiliki
mikroorganisme C. tropicalis, maka dilakukan penelitian dengan tujuan

2

menentukan optimasi delignifikasi tongkol jagung secara termal untuk produksi
bioetanol. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi penelitian
lanjutan dan memberikan informasi mengenai produksi bioetanol pada substrat
tongkol jagung dengan bantuan C. tropicalis.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2014 hingga Februari 2015 di
Laboratorium Penelitian Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Khamir yang digunakan ialah isolat C. tropicalis. Bahan-bahan yang
digunakan untuk berlangsungnya penelitian adalah tongkol jagung hibrida, H2SO4
sebagai bahan untuk pengukuran kadar lignin, asam asetat, NaOCl sebagai bahan
untuk pengukuran kadar holoselulosa, serta NaOH sebagai bahan untuk pengukuran
selulosa. Selain itu, bahan-bahan seperti glukosa, HCl, ekstrak khamir, ekstrak
malt, bakto pepton, agar, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O, ammonium sulfat,
akuades steril, dan pH larutan ini diatur sebesar 5 dengan penambahan HCl 0,1 M
sebagai pembuatan media agar malt khamir. Media inokulum menggunakan bahanbahan seperti glukosa, ekstrak khamir, pepton, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O,
ammonium sulfat, dan akuades. Kemudian pembuatan media fermentasi
menggunakan ekstrak khamir, pepton, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O,
ammonium sulfat, dan akuades. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengukuran
gula pereduksi adalah 3.5-dinitrosalisilat (DNS), NaOH 2 N, dan Na-K-tartarat.
Alat-alat yang digunakan sebagai pendukung penelitian adalah tabung
reaksi, jarum ose, tabung Erlenmeyer (250 dan 500 mL), gelas ukur 100 mL, gelas
piala (50 dan 250 mL), pipet mikro 1 mL, pipet tetes, labu ukur (50 dan 100 mL),
sudip, oven (Eyela), waterbath (Wisebath), aluminium foil, plastik wrap, magnetic
stirerr, autoklaf (Tomy), laminar air flow (Esco), pinset, dan kertas saring.
Pengukuran gula pereduksi menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Genesys
10UV, Thermo Scientific), tabung Eppendrof, sentrifus (Beckman J2-21), dan
vortex (Janke & Kunkel). Serta alat-alat lain seperti stopwatch, kamera, inkubator,
lemari pendingin, pH meter, neraca analitik (Ohaus), dan inkubator bergoyang
(Eyela). Pengukuran kadar etanol dilakukan menggunakan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (Shimadzu).
Prosedur Penelitian
Susunan pengerjaan penelitian yang akan dilakukan dibagi menjadi 4 tahap.
Tahap pertama adalah penyiapan bahan baku tongkol jagung, yaitu pencucian,
pengeringan, dan penggilingan. Tahap kedua adalah delignifikasi secara termal
menggunakan jumlah siklus autoklaf, perbandingan tongkol jagung dan air, serta
ukuran mesh tongkol jagung. Tahap ketiga adalah produksi bioetanol dari tongkol

3

jagung yang difermentasi. Tahap keempat adalah pengukuran kadar etanol dan gula
pereduksi.
Persiapan Serbuk Tongkol Jagung
Tongkol jagung terlebih dahulu dicuci hingga bersih dan dikeringkan di
bawah sinar matahari. Selanjutnya, tongkol jagung dicacah menjadi ukuran yang
lebih kecil agar dapat digiling. Penggilingan dilakukan untuk menghasilkan serbuk
tongkol jagung dengan ukuran 40 dan 60 mesh.
Pengukuran Kadar Air (AOAC (1984) dalam Subekti (2006))
Serbuk tongkol jagung dimasukkan ke dalam tiga buah cawan porselen (yang
sudah ditimbang bobotnya) masing-masing sebanyak 2 gram. Kemudian, ketiga
cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 100 oC selama 12 jam. Selanjutnya,
cawan dipindahkan ke dalam desikator dan didiamkan selama 1 jam. Setelah
didinginkan dalam desikator, bobot akhir tongkol jagung ditimbang.
% kadar air =











ℎ�

ℎ �





×

%

Optimasi Jumlah Siklus Autoklaf (Modifikasi Wagiman et al. 2011)
Sebanyak 10 gram tongkol jagung dimasukkan ke dalam tiga buah
Erlenmeyer 250 mL. Setelah itu ditambahkan akuades sebanyak 40 mL. Kemudian,
ketiga Erlenmeyer tersebut dimasukkan ke dalam autoklaf. Setiap 1 siklus autoklaf
berdurasi 15 menit. Ketiga sampel dilakukan perlakuan masing-masing sebanyak 1
siklus, 2 siklus, dan 3 siklus. Setiap siklus berdurasi 15 menit. Setelah proses
autoklaf, sampel dikeringkan pada suhu ruang untuk pengukuran jumlah kadar
lignin, holoselulosa, selulosa, dan hemiselulosa.
Optimasi Perbandingan Tongkol Jagung Terhadap Air (Modifikasi Indriany
et al. 2013)
Masing-masing sebanyak 10 gram sampel tongkol jagung dimasukkan ke
dalam empat buah Erlenmeyer 250 mL. Keempat Erlenmeyer ditambahkan air
dengan perbandingan tongkol jagung : volume air, yaitu 1:4, 1:5, 1:6, dan 1:8.
Sehingga, volume air yang ditambahkan ke dalam Erlenmeyer masing-masing
sebanyak 40 mL, 50 mL, 60 mL, dan 80 mL. Setelah semua ditambahkan air
dengan volume berbeda, keempat Erlenmeyer dimasukkan ke dalam autoklaf untuk
dikombinasikan dengan perlakuan dari hasil optimasi jumlah siklus autoklaf.
Jumlah siklus autoklaf yang menghasilkan kadar lignin paling rendah dan
homoselulosa yang paling tinggi adalah jumlah siklus yang digunakan. Setelah
selesai dipanaskan menggunakan autoklaf, sampel dikeringkan dalam suhu ruang
untuk pengukuran jumlah kadar lignin, holoselulosa, selulosa, dan hemiselulosa.
Optimasi Ukuran Mesh Tongkol Jagung (Modifikasi Indriany et al. 2013)
Sampel tongkol jagung berukuran 40 dan 60 mesh dimasukkan ke dalam
dua buah Erlenmeyer 250 mL berbeda masing-masing diisi sebanyak 10 gram.
Kemudian, kedua Erlenmeyer ditambahkan air berdasarkan optimasi perbandingan
volume air yang memiliki kadar lignin paling rendah dan homoselulosa paling
tinggi. Setelah sampel ditambahkan air, sampel dimasukkan ke dalam autoklaf

4

dengan jumlah siklus autoklaf yang menghasilkan kadar lignin paling rendah dan
homoselulosa paling tinggi. Terakhir, sampel dikeringkan dalam suhu ruang untuk
pengukuran jumlah kadar lignin, holoselulosa, selulosa, dan hemiselulosa.
Pengukuran Kadar Lignin (Modifikasi Lignin Klason TAPPI 1991 (Lin dan
Dence 1992))
Sebanyak 0.5 gram serbuk tongkol jagung dimasukkan ke dalam gelas piala
50 mL. Sampel dicampur dengan 5 mL asam sulfat 72 %. Kemudian, sampel
diaduk setiap 15 menit sekali selama 3 jam pada suhu ruang. Selanjutnya, sampel
dipindahkan dalam Erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan akuades sebanyak 196
mL agar konsentrasi asam sulfat menjadi 3 %. Setelah itu, sampel dimasukkan
dalam autoklaf selama 30 menit dengan suhu 121 ˚C. Tahap terakhir, sampel
disaring menggunakan kertas saring yang sudah diketahui bobot keringnya dan
dibilas menggunakan air panas sampai sampel tidak bersifat asam, lalu dioven pada
suhu 105 ˚C selama 1 hari dan ditimbang.
Pengukuran Kadar Holoselulosa (Browning 1967)
Sebanyak 2 gram tongkol jagung ditempatkan dalam gelas piala 250 mL,
kemudian ditambahkan 80 mL akuades, 1 gram NaOCl, dan 0.5 mL asam asetat.
Sampel dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 70 ˚C. Air yang ada di dalam
waterbath dijaga agar tingginya tidak lebih rendah daripada sampel. Setiap 1 jam
sekali selama 5 jam, sampel ditambahkan 1 g NaOCl dan 0.5 mL asam asetat.
Setelah waktu sudah mencapai 5 jam, sampel disaring menggunakan kertas saring
dan dibilas menggunakan air panas 1 kali. Pembilasan dilanjutkan dengan 25 mL
asam asetat 10% dan dibilas kembali menggunakan air panas hingga sampel tidak
bersifat asam. Sampel dimasukkan dalam oven dengan suhu 105 ˚C selama 1 hari
dan ditimbang.
% holoselulosa =



ℎ�











×



%

Pengukuran Kadar Selulosa (Cross dan Bevan 1912 (Fengel dan Wegener
1984)) dan Kadar Hemiselulosa
Sebanyak 1 gram tongkol jagung hasil uji holoselulosa ditempatkan dalam
gelas piala 250 mL, kemudian ditambahkan 10 mL NaOH 17.5 % dan diinkubasi
pada suhu 20 ˚C sambil diaduk perlahan. Setiap 5 menit sekali, sampel
ditambahkan dengan 5 mL NaOH 17.5 % sehingga volume totalnya NaOH 17.5 %
25 mL. Setelah penambahan NaOH 17.5 % terakhir, sampel dibiarkan selama 30
menit. Saat waktu sudah mencapai 30 menit, sampel ditambahkan akuades 33 mL,
diaduk, dan didiamkan kembali selama 1 jam pada suhu 20 ˚C. Kemudian, sampel
disaring menggunakan kertas saring dan dibilas menggunakan NaOH 8.3 % 100
mL. Pembilasan dilakukan kembali menggunakan akuades hingga sampel sudah
tidak bersifat basa. Sampel dimasukkan dalam oven pada suhu 105 ˚C selama 1 hari
dan ditimbang. Setelah kadar selulosa diperoleh, maka kadar hemiselulosa dapat
diketahui berdasarkan hasil pengurangan antara kadar holoselulosa dan kadar
selulosa.
% selulosa =





ℎ�











×

%

% hemiselulosa = % ℎ����������� − % ��������

5

Peremajaan Kultur Sel Khamir C. tropicalis (Rao et al. 2006)
Media agar malt khamir dalam cawan Petri yang telah disterilisasi pada
suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit dibuat sebagai media
perkembangbiakan khamir C. tropicalis. Setelah itu, media agar yang telah
diinokulasi C. tropicalis diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 °C. Komposisi
(g/L) media agar malt khamir, yaitu ekstrak khamir 3, ekstrak malt 4, pepton 5,
glukosa 20, dan agar 20, dilarutkan dalam 5 mL akuades, kemudian diremajakan
setiap 4 minggu.
Penyiapan Kultur Starter
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan kultur starter memiliki
komposisi (g/L), yaitu glukosa 20, ektrak khamir 10, pepton 20, KH 2PO4 0.5,
K2HPO4 0.5, MgSO4. 7H2O 0.5, amonium sulfat 5, dilarutkan dalam 12.5 mL
akuades, dan pH larutan diatur 5 dengan penambahan HCl 0.1 M, kemudian
disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C bertekanan 1 atm selama 15
menit. Setelah kultur starter selesai disterilisasi, sebanyak 1 ose diambil dari media
perkembangbiakkan khamir C. tropicalis dimasukkan ke dalam kultur strater.
Kultur starter diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator bergoyang dengan
berkecepatan 120 rpm dan suhu 30 °C.
Pembuatan Fermentasi Produksi Bioetanol (Modifikasi Rao et al. 2006)
Jumlah media fermentasi dibuat sebanyak 100 mL dalam 250 mL tabung
Erlenmeyer dengan komposisi (g/L): tongkol jagung 1, ekstrak khamir 10, pepton
20, KH2PO4 0.5, K2HPO4 0.5, MgSO4.7H2O 0.5, ammonium sulfat 5, dan pH
larutan diatur 5 dengan penambahan HCl 0.1 M. Media fermentasi disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.
Tongkol jagung yang digunakan dalam media fermentasi dibagi menjadi dua, yaitu
tongkol jagung yang diberi perlakuan hasil optimasi delignifikasi termal dan
tongkol jagung tanpa pemanasan autoklaf. Tongkol jagung yang diberi perlakuan
disiapkan dengan kombinasi perlakuan berdasarkan optimasi ukuran mesh,
penambahan volume air, dan jumlah siklus autoklaf yang menghasilkan kadar
lignin paling rendah dan kadar holoselulosa paling tinggi.
Kultur starter yang telah siap digunakan, dimasukkan ke dalam media
fermentasi. Penambahan kultur strater ke dalam media fermentasi dilakukan di
dalam laminar. Media fermentasi yang telah siap untuk dilakukan proses fermentasi
diinkubasi dengan inkubasi bergoyang berkecepatan 120 rpm, bersuhu 30 °C.
Proses fermentasi dilakukan selama 72 jam. Hari ke-0 dan setiap 24 jam sekali akan
diambil sampel sebanyak 6 mL untuk pengukuran pertumbuhan C. tropicalis, kadar
gula pereduksi, dan kadar bioetanol. Pengukuran kadar bioetanol hanyal diukur
pada jam ke-0 dan ke- 72.
Analisis Kadar Etanol dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
(Modifikasi Ambarsari et al. 2013)
Kondisi pengaturan KCKT (Shimadzu) adalah sebagai berikut: kolom
SHODEX SH1011, detektor RID, fase gerak 50 Mm H2SO4, laju alir 0,6 µL/menit,
suhu 50 °C, dan waktu retensi bioetanol pada menit ke-21. Jumlah sampel yang
dibutuhkan untuk satu kali injek sebanyak 20 µL. Sebelum diinjek, sampel
dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama 5 menit. Supernatan

6

hasil sentrifugasi dianalisis berdasarkan waktu retensi dari puncak (peak) yang
terbentuk. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan puncak larutan standar
etanol agar diketahui apakah benar senyawa di dalam sampel merupakan etanol
atau bukan. Dengan instrumen KCKT, diduga dapat mengetahui tingkat kemurnian
produk.
Pengukuran Kadar Gula Pereduksi (Modifikasi Miller 1959)
Pengukuran kadar gula pereduksi dilakukan dengan mengacu metode Miller
(1959). Metode tersebut dilakukan dengan mencampurkan antara sampel yang ingin
diukur gula pereduksinya dan pereaksi DNS. Pembuatan pereaksi DNS dibuat
dengan melarutkan 5 g asam 3,5-dinitrosalisilat dan 5 g NaOH yang dilarutkan
dalam 100 mL akuades. Kemudian, ditambahkan 150 g Na-K-Tatrat dan 100 mL
akuades yang diaduk menggunakan magnetic stirer. Setelah itu, larutan tersebut
ditambahkan akuades lagi hingga volume 500 mL dan didiamkan semalam.
Pereaksi DNS yang telah dibuat, diambil sebanyak 500 μL untuk
dicampurkan dengan 500 μL sampel dalam tabung Eppendorf. Sampel dikocok
menggunkan vortex agar homogen. Setelah tercampur, didiamkan pada air
mendidih selama 10 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah itu,
larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelobang 550 nm. Nilai absorbansi yang didapat akan dibuat kurva standarnya
secara linear.
Kurva standar dibuat berdasarkan nilai gula pereduksi glukosa
menggunakan metode DNS. Nilai gula pereduksi diperoleh berdasarkan absorbansi
dari konsentrasi glukosa yang digunakan. Konsentrasi glukosa yang digunakan
adalah (ppm): 0, 80, 160, 240, 360, dan 400. Masing-masing absorbansi dari
konsentrasi yang digunakan diplotkan dalam grafik secara linear.

HASIL
Kadar Air Tongkol Jagung
Analisis proksimat yang diujikan pada tongkol jagung hanya pengukuran
kadar air. Tujuan pengukuran kadar air adalah untuk menghitung persentase kadar
lignin, holoselulosa, hemiselulosa dan selulosa berdasarkan bobot kering bahan.
Hasil yang diperoleh dengan 3 kali ulangan menunjukkan persentase kadar air yang
didapat sebesar 6.32 %, 6.94 %, dan 6.79 % (Tabel 1).
Tabel 1 Persentase kadar air
Ulangan
Bobot awal (g)
1
2
2
2
3
2
Rata-rata

Bobot akhir (g)
1.8736
1.8611
1.8642

Persentase (%)
6.32
6.94
6.79
6.68

Jumlah siklus autoklaf optimum
Hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa perlakuan jumlah siklus autoklaf 1x15 menit merupakan perlakuan yang

7

Persentase (% b/b)

paling optimum dibandingkan lainnya. Hal ini dapat dilihat pada kadar holoselulosa
yang memiliki persentase paling tinggi sebesar 67.39 % dengan kadar lignin yang
tidak jauh berbeda dibandingkan percobaan jumlah siklus autoklaf lainnya sebesar
16,44 %. Pada proses autoklaf 1x15 menit dihasilkan kadar hemiselulosa tertinggi
dibandingkan perlakuan jumlah siklus autoklaf lainnya, yaitu sebesar 19.18 %.
Perbedaan kadar lignoselulosa pada sampel dengan masing-masing perlakuan
ditunjukkan pada Gambar 1.
80
70
60
50
40
30
20
10
0

67.39

65.03
48.73

64.96
49.79

48.21

16.29
16.39

Tanpa autoklaf

61.81
51.08

10.73
16.03

15.17
16.47

19.18
16.44

1
2
Jumlah Siklus Autoklaf (kali)

3

Gambar 1 Hasil pengukuran komponen lignoselulosa dengan perlakuan jumlah
siklus autoklaf berbeda. Holoselulosa , selulosa , hemiselulosa ,
dan lignin .

Persentase (% b/b)

Perbandingan Optimum Jumlah Tongkol Jagung dan Akuades
Berdasarkan penelitian yang diperoleh dapat diketahui bahwa kadar
holoselulosa dari semua perbandingan memiliki jumlah yang tidak jauh berbeda,
yaitu 67.39 %, 67.3 %, 67.08 %, dan 67.57 %. Akan tetapi, sampel dengan
perbandingan 1:8 memiliki kadar lignin paling rendah yaitu sebesar 11.04 %. Jika
kadar hemiselulosa dibandingkan dengan sampel yang memiliki perbandingan 1:6
sebesar 21.72 %, sampel perbandingan 1:8 memiliki jumlah yang tidak jauh
berbeda yaitu sebesar 21.18 %. Dapat dikatakan bahwa perbandingan jumlah
tongkol jagung : air optimum adalah perbandingan 1:8. Hasil uji kadar
lignoselulosa dengan perbandingan berbeda ditunjukkan pada Gambar 2.
80
70
60
50
40
30
20
10
0

67.39

67.30
48.21

47.01

19.18
16.44

1:4
1;4

67.57

67.08

20.29
11.41
1:5
1;5

45.35
21.72
12.38
1:6
1;6

46.38
21.18
11.04
1:8
1;8

Perbandingan tongkol jagung : air

Gambar 2 Hasil pengukuran komponen lignoselulosa dengan perbandingan jumlah
tongkol jagung dan air yang berbeda. Holoselulosa , selulosa
,
hemiselulosa , dan lignin .
Ukuran Mesh Optimum Serbuk Tongkol Jagung
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran 40 mesh memiliki kadar
holoselulosa lebih besar dibandingkan 60 mesh yaitu sebesar 73.33 %. Hal yang

8

Persentase (% b/b)

sama terlihat pada kadar hemiselulosa, bahwa sampel dengan ukuran 40 mesh
memiliki kadar yang lebih tinggi sebesar 27.44 % dibandingkan ukuran 60 mesh
hanya sebesar 22.63 %. Akan tetapi, kadar lignin yang diperoleh tidak menujukkan
perbedaan yang besar yaitu 18.06 % dan 18.51 %. Berdasarkan data tersebut,
diketahui sampel dengan ukuran 40 mesh merupakan ukuran mesh optimum untuk
delignifikasi tongkol jagung secara termal.
73.33

80
70
60
50
40
30
20
10
0

69.67
47.04

45.89
27.44

22.63

18.06

18.51

40 mesh
60 mesh
Ukuran serbuk tongkol jagung (mesh)

Gambar 3 Hasil pengukuran komponen lignoselulosa dengan ukuran mesh tongkol
jagung yang berbeda. Holoselulosa , selulosa , hemiselulosa , dan
lignin .
Kadar Gula Pereduksi dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
Hasil uji yang diperoleh, memperlihatkan rata-rata persentase kadar gula
pereduksi kedua sampel dari jam ke-0 hingga jam ke-72 semakin menurun (Gambar
4). Data sampel tanpa delignifikasi menunjukkan bahwa kadar gula pereduksi dari
jam ke-0, 24, 48, dan 72 terjadi penurunan, yaitu sebesar 0.48, 0.37, 0.30, dan 0.12.
Sama halnya dengan sampel didelignifikasi, pada jam ke-0, 24, dan 48 terjadi
penurunan, yaitu sebesar 0.60, 0.27, dan 0.09, walaupun terjadi kenaikan pada jam
ke-48 hingga ke-72, yaitu sebesar 0.26.
Kadar gula pereduksi (mg/mL)

0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0

20

40
Waktu (jam)

60

80

Gambar 4 Kadar gula pereduksi selama proses fermentasi menggunakan substrat
tongkol jagung. Substrat tongkol jagung yang didelignifikasi
dan
tanpa delignifikasi
.
Produksi Bioetanol dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
Hasil uji yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa penurunan kadar gula
pereduksi mengakibatkan kadar bioetanol meningkat. Hal ini dapat dilihat dari

9

kadar bietanol sampel tanpa delignifikasi dan sampel didelignifikasi pada jam ke-0
hanya sebesar 0.04% dan 0.04% menjadi 0.1% dan 0.28% pada jam ke-72 (Tabel
2).
Tabel 2 Produksi bioetanol dengan bantuan C.tropicalis
Kadar etanol (% v/v)
Waktu
(Jam ke-)

Substrat tongkol jagung yang
tanpa delignifikasi

Substrat tongkol jagung yang
didelignifikasi

0

0.04

0.04

72

0.10

0.28

PEMBAHASAN
Kadar Air Tongkol Jagung
Kadar air merupakan salah satu analisis proksimat yang menjadi parameter
penting untuk menentukan kualitas suatu sampel dengan kondisi kering. Jika kadar
air rendah maka sampel dapat mengurangi kerusakan akibat mikroorganisme yang
tumbuh karena suhu lembab, terganggunya aktivitas enzim, dan terganggunya
aksesibilitas enzim terhadap substrat (Gayang 2013). Berdasarkan hasil yang
diperoleh, kadar air rata-rata sebesar 6.68 %. Persentase tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan kadar air penelitian Retnoningtyas et al. (2013) yang
memiliki kadar air sebesar 8.55 %. Perbedaan kadar air tongkol jagung dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan varietas, tempat tumbuh,
kelembaban, dan cuaca saat pemanenan (Subekti 2006).
Jumlah Siklus Autoklaf Optimum
Tongkol jagung memiliki lignoselulosa yang mengandung komponen lignin
dan holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa). Lignin berfungsi sebagai pengikat
sel-sel tanaman satu dengan lainnya sehingga menyebabkan komponen lignin sulit
untuk dihidrolisis. Oleh sebab itu, perlakuan awal dan hidrolisis merupakan
tahapan proses penting mempengaruhi perolehan gula monomer yang nantinya
akan dikonversi menjadi bioetanol. Perlakuan awal yang bisa dilakukan untuk
memisahkan komponen lignin adalah delignifikasi, yang dapat dilakukan dengan
cara termal.
Berdasarkan hasil percobaan pada Gambar 1 proses delignifikasi yang
optimum menggunakan autoklaf dilakukan selama 1x15 menit karena
menghasilkan kadar holoselulosa paling tinggi dengan kadar lignin yang tidak jauh
berbeda dibandingkan autoklaf selama 2x15 menit dan 3x15 menit. Autoklaf
selama 1x15 menit membutuhkan jumlah proses yang lebih sedikit sehingga lebih
menghemat energi dibandingkan dengan autoklaf selama 2x15 menit dan 3x15
menit yang membutuhkan energi lebih besar. Jika menggunakan jumlah siklus
autoklaf yang semakin besar dapat mempengaruhi kadar holoselulosa. Panas yang

10

ditimbulkan oleh jumlah siklus autoklaf yang semakin besar membuat komponen
holoselulosa terdegradasi sehingga kadar holoselulosa yang diperoleh semakin
sedikit. Oleh karena itu, jumlah siklus autoklaf yang semakin lama merupakan
jumlah siklus autoklaf yang tidak optimum. Pada dasarnya tujuan optimasi
delignifikasi yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan kadar
holoselulosa setinggi mungkin dengan kadar lignin yang rendah. Kadar
holoselulosa yang tinggi menunjukan komponen selulosa dan hemiselulosa belum
terhidrolisis menjadi monomer sehingga sumber karbon yang dibutuhkan untuk
proses selanjutnya (fermentasi) diperoleh dalam jumlah banyak.
Delignifikasi dapat dikombinasikan menggunakan pelarut tertentu. Pelarut
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pelarut air. Kombinasi
delignifikasi secara termal dan pelarut air akan menguraikan struktur ikatan lignin
karena ikatan hidrogen yang terkandung di dalamnya terputus. Air yang digunakan
dalam kondisi terkompresi seiring dengan peningkatan suhu membuat konstanta
disosiasi air (Kw) akan meningkat menyebabkan penurunan pH, karena terurainya
air (H2O) menjadi ion H+ dan OH-. Nilai pH yang menurun akan menyebabkan
proses hidrolisis semakin efektif, seperti hidrolisis dengan menggunakan asam
(H2SO4 atau HCl) (Rachmaniah et al. 2009). Proses hidrolisis menggunakan air
mendidih lebih menguntungkan karena tidak terbentuknya inhibitor diakhir reaksi
dan tidak menyebabkan korosi pada alat. Selain itu, dapat meminimalkan hidrolisis
monosakarida menjadi produk samping seperti furfural, asam format,
hidroksimetilfurfural, dan asam levulinat (Rachmaniah et al. 2009). Oleh karena
itu, lignin akan terlarut pada fraksi cairan sedangkan selulosa dan hemiselulosa
menjadi fraksi padatan (Gunam et al. 2010). Fraksi padatan ini merupakan substrat
yang difermentasi oleh C. Tropicalis menjadi bioetanol.
Menurut Wagiman et al. (2011), delignifikasi secara termal dapat dilakukan
menggunakan temperatur dan tekanan tinggi, seperti pemanasan menggunakan
autoklaf bersuhu 121 °C tekanan 1 atm. Pemanasan tersebut bertujuan memecah
struktur kristalin menjadi amorf (struktur tidak beraturan) dan meningkatkan
porositas selulosa. Hal tersebut membuat komponen lignin terpisah sehingga
memperoleh kadar holoselulosa semaksimal mungkin dengan jumlah lignin yang
sedikit. Waktu pemanasan optimum dapat membuat rusaknya struktur kristalin
selulosa sehingga mempermudah terurainya selulosa menjadi glukosa. Selain itu,
hemiselulosa akan ikut terurai menjadi senyawa gula sederhana, seperti glukosa,
galaktosa, manosa, heksosa, pentosa, xilosa, dan arabinosa. Senyawa-senyawa gula
tersebut akan difermentasi oleh mikroorganisme menghasilkan bioetanol
(Narayanaswamy et al. 2011)
Perbandingan Optimum Jumlah Tongkol Jagung dan Akuades
Tahap pengujian kadar lignoselulosa dilanjutkan dengan perlakuan
perbandingan jumlah tongkol jagung dan akuades. Perbandingan yang digunakan
antara lain 1:4, 1:5, 1:6, dan 1:8. Hasil penelitian yang tersaji pada Gambar 2
menunjukkan kadar lignin terendah diperoleh pada pebandingan 1:8 sebesar
11.04 %. Kadar tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan kadar lignin
sebelum perlakuan sebesar 16.39 %. Hal tersebut menunjukkan perbandingan yang
optimum antara tongkol jagung dan akuades yang baik untuk proses delignifikasi
adalah 1:8. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Schacht et al. (2008),
yaitu penambahan volume akuades berfungsi memisahkan komponen organiknya,

11

mengubah sifat-sifat selulosa, dan membuat lignin mudah larut saat dilakukan
delignifikasi akibat serat selulosa berubah menjadi lebih terbuka.
Volume air yang bertambah dapat membuat kadar lignin semakin
berkurang. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa perbandingan volume air 1:8
memiliki kadar lignin paling rendah. Selain itu, kadar hemiselulosa yang diperoleh
juga menunjukkan kadar paling tinggi diantara perbandingan lainnya. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Indriany et al. (2013), bahwa semakin
banyak volume pelarut maka dapat mempercepat proses pemecahan ikatan dalam
lignoselulosa sehingga kadar gula yang diperoleh semakin tinggi.
Ukuran Mesh Optimum Serbuk Tongkol Jagung
Pengujian yang telah dilakukan untuk mengukur lignoselulosa dengan
perbedaan ukuran mesh memperlihatkan hasil yang cukup signifikan, tersaji pada
Gambar 3. Berdasarkan hasil optimasi menunjukan delignifikasi menggunakan
tongkol jagung ukuran 40 mesh memiliki kadar holoselulosa 73.33 % dengan
kadar hemiselulosa sebesar 27.44 %, sedangkan delignifikasi menggunkan tongkol
jagung ukuran 60 mesh menghasilkan kadar holoselulosa sebesar 69.67 % dengan
kadar hemiselulosa 22.63 %. Kadar lignin yang tersisa pada proses dengan
menggunakan kedua ukuran serbuk tidak jauh berbeda (18.06 % delignifikasi pada
ukuran 40 mesh dan 18.51 % delignifikasi pada ukuran 60 mesh). Berdasarkan data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa delignifikasi menggunakan ukuran tongkol
jagung 40 mesh lebih optimal dibandingkan dengan menggunakan serbuk ukuran
60 mesh.
Ukuran mesh tongkol jagung merupakan parameter yang memberikan
pengaruh cukup besar dalam efisiensi delignifikasi. Semakin besar ukuran mesh
atau semakin kecil ukuran partikel substrat, maka kadar holoselulosa akan semakin
kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh luas permukaan yang menjadi lebih besar
sehingga kontak antara pelarut air dan tongkol jagung membuat aksesibilitas proses
hidrolisis semakin besar untuk mencapai ke bagian dalam dinding sel (Fatmawati et
al. 2008). Selain itu menurut Dehani et al. (2013), kandungan air dalam sel tongkol
jagung cepat menguap sehingga mengkatalis dekomposisi struktur hemiselulosa
menjadi mudah terlepas dari selulosa. Sama halnya seperti penelitian yang telah
dilakukan oleh Subekti (2006), kadar hemiselulosa dengan ukuran partikel sampel
tongkol jagung 40 mesh lebih besar daripada 60 mesh. Begitu pula dengan
penelitian Ruriani et al. (2013), sampel kulit kopi dengan perlakuan ukuran yang
berbeda mempengaruhi kadar lignoselulosa. Semakin kecil ukuran partikel sampel,
maka porositas bahan semakin meningkat sehingga mengakibatkan kadar selulosa
meningkat sedangkan kadar hemiselulosa menurun. Penurunan tersebut terjadi
karena hemiselulosa terdegradasi menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
akibat pemecahan rantai polimernya dan terbuang bersama dengan pelarut.
Kadar Gula Pereduksi dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
Peningkatan produksi bioetanol dan petumbuhan khamir memiliki pengaruh
terhadap jumlah gula pereduksi. Gula pereduksi dapat menunjukkan kadar gula
sederhana yang terbentuk sebelum dikonversi menjadi bioetanol. Berdasarkan hasil
pengukuran gula pereduksi (Gambar 6) menggunakan metode DNS, kadar gula
pereduksi dari jam ke-0 hingga jam ke-72 pada sampel tanpa delignifikasi lebih
rendah dibandingkan sampel yang didelignifikasi, yaitu berturut-turut sebesar

12

0.48 % menjadi 0.12 % dan 0.60 % menjadi 0.26 %. Sama halnya dengan
penelitian Retnoningtyas et al. (2013), pada hari ke-0 hingga 24 kadar gula
pereduksi meningkat dari sebesar 1.07 g/L menjadi 2.06 g/L karena terjadi
hidrolisis selulosa menjadi glukosa oleh enzim kasar selulase terhadap tongkol
jagung. Selama proses fermentasi tongkol jagung dengan bantuan Saccharomyces
cerevisiae kadar gula pereduksi menurun dari sebesar 2.06 g/L menjadi 1.12 g/L
pada hari ke-24 hingga 48. Hal ini serupa dengan jumlah bioetanol bahwa sampel
tanpa delignifikasi lebih rendah dibandingkan sampel didelignifikasi. Kadar gula
pereduksi memiliki sifat berbanding terbalik dengan kadar bioetanol. Gula
pereduksi kedua sampel cenderung menurun, akan tetapi pada jam ke-48 hingga ke72 pada sampel didelignifikasi mengalami peningkatan. Merina (2011)
menyatakan, bahwa kenaikan kadar gula pereduksi disebabkan oleh substrat yang
terkandung polisakarida sudah terhidrolisis saat proses delignifikasi dan hidrolisis.
Selain itu, selama proses fermentasi khamir melakukan dua aktivitas, yaitu
mengubah monosakarida menjadi bioetanol dan menghidrolisis polisakarida.
Akibatnya, terjadi kenaikan jumlah monosakarida membuat pengukuran gula
pereduksi meningkat.
Produksi Bioetanol dari Fermentasi Tongkol Jagung oleh C. tropicalis
Hasil penelitian fermentasi menggunakan bantuan C. tropicalis diukur
jumlah produk akhirnya berupa bioetanol pada jam ke-0 dan ke-72. Pengukuran
bioetanol hanya diukur pada jam ke-0 dan ke-72 saja karena mengacu pada
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Nur’aeni (2014). Berdasarkan data
hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan kedua sampel menghasilkan kadar
bioetanol yang meningkat. Sampel tanpa delignifikasi dan sampel didelignifikasi
pada jam ke-0 berturut-turut sebesar 0.04 % dan 0.04 %. Pada jam ke-72, sampel
tanpa delignifikasi dan sampel didelignifikasi sebesar 0.10 % dan 0.28 %. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nur’aeni (2014), memproduksi
bioetanol melalui detoksifikasi substrat hidrolisat ampas tebu dan adaptasi sel
C.tropicalis. Ada tiga perlakuan untuk mengetahui produksi bioetanol optimum,
yaitu perlakuan adaptasi-detoksifikasi, adaptasi-non detoksifikasi, dan non
adaptasi-detoksifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Nur’aeni (2014), diperoleh
kadar bioetanol yang semakin meningkat dengan perlakuan terbaik yaitu adaptasi
dan detoksifikasi dengan persentase bioetanol dari jam ke-0, 24, 48, dan 72
berturut-turut sebesar 0.04%, 0.34 %, 0.4 %, dan 0.43 %. Dapat disimpulkan bahwa
jam ke-72 dengan perlakuan adaptasi dan detoksifikasi memiliki persentase kadar
etanol paling tinggi dibandingkan jam ke-24 dan 48. Jika kadar bioetanol pada jam
ke-72 dengan perlakuan delignifikasi terhadap tongkol jagung dibandingkan
penelitian Nur’aeni (2014) dengan perlakuan adaptasi sel C.tropicalis dan
detoksfikasi hidrolisat substrat ampas tebu, maka kadar bioetanol hasil penelitian
Nur’aeni (2014) lebih besar yaitu sebesar 0.43 %. Perbedaan kadar bioetanol
tersebut dapat dipengaruhi oleh jumlah lignin yang terkandung dalam substrat. Hal
tersebut dapat mengakibatkan khamir sulit untuk mengkonversi hemiselulosa
menjadi bioetanol karena terhambat oleh komponen lignin sehingga sumber gula
yang tersedia tidak semua dapat dikonversi dengan baik.
Proses delignifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
pemanasan autoklaf selama 1x15 menit, perbandingan tongkol jagung dan air 1:8,
dan ukuran serbuk tongkol jagung 40 mesh. Perlakuan tersebut memberi pengaruh

13

terhadap berkurangnya komponen lignin dengan terurainya struktur ikatan lignin
karena ikatan hidrogennya terputus dan struktur hemiselulosa menjadi gula
sederhana sehingga gula sederhana tersebut dapat dikonversi menjadi bioetanol
selama proses fermentasi. Penelitian lain dilakukan Fachry et al. (2013) bertujuan
memproduksi bioetanol dari tongkol jagung menggunakan pelarut asam klorida 0.5
M dan lama fermentasi 3 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh kadar
bioetanol sebesar 0.18 %. Kadar bioetanol tersebut dapat dikatakan lebih kecil
dibandingkan kadar bioetanol dengan perlakuan delignifikasi tongkol jagung yaitu
sebesar 0.28 %. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan pelarut asam dapat
menghasilkan senyawa furfural dan melarutkan senyawa gula sehingga proses
produksi bioetanol kurang optimal.
Produksi bioetanol dari hasil delignifikasi termal memiliki kadar etanol
sekitar dua kali lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan substrat hidrolisat
hasil perlakuan kimiawi dari penelitian Nur’aeni (2014). Akan tetapi hasil hidrolisis
termal ini membutuhkan proses yang lebih efisien serta tidak menggunakan bahan
kimia sehingga lebih menghemat biaya. Adapun untuk meningkatkan kadar etanol
dengan delignifikasi termal perlu dilakukan kombinasi dengan proses yang lainnya
seperti delignifikasi kimiawi konsentrasi rendah, hidrolisis enzimatik atau
fermentasi simultan dengan mikroba penghidrolisis.
Peningkatan kadar bioetanol dan petumbuhan khamir memiliki hubungan
yang erat. Semakin meningkatnya pertumbuhan khamir dari waktu ke waktu, maka
meningkatnya pula kadar bioetanol. Data yang diperoleh mengenai meningkatnya
pertumbuhan C. tropicalis dari jam ke-0 hingga 72 dapat membuat kadar bioetanol
semakin meningkat pula. Hal tersebut disebabkan C. tropicalis membutuhkan
sumber energi dari substrat tongkol jagung yang merupakan sumber karbon untuk
konversi gula-gula sederhana menjadi bioetanol. Gula sederhana yang menjadi
sumber utama untuk memenuhi metabolisme C. tropicalis adalah xilosa.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses delignifikasi termal 1x15 menit pemanasan autoklaf, perbandingan
1:8 antara tongkol jagung dan air, serta ukuran 40 mesh, mampu memberikan
pengaruh terhadap proses fermentasi produksi bioetanol selama 72 jam. Kadar
bioetanol akhir yang diperoleh pada sampel tanpa delignifikasi sebesar 0.10 %
sedangkan sampel didelignifikasi sebesar 0.28%.
Saran
Delignifikasi termal menggunakan pelarut air belum membuat komponen
lignin banyak berkurang, maka perlu dilakukan optimasi dengan kombinasi proses
enzimatik atau perlakuan fisik lainnya, untuk mengetahui cara delignifikasi yang
efektif sehingga kadar lignin dapat dikurangi secara maksimal, tetapi kadar
holoselulosa dan hemiselulosa tetap tinggi. Selain itu, penggabungan dengan
mikroorganisme lain dan penambahan waktu proses fermentasi perlu dilakukan

14

agar kandungan dalam substrat yang digunakan dapat dimanfaatkan dengan baik
untuk produksi bioetanol.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarsari et al. 2013. Pengembangan biolistrik dan bioetanol dari bahan baku
ampas tebu [laporan penelitian]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry Vol.1. New York: Interscience
Publ.
Dehani FR, Argo BD, Yulianingsih. 2013. Pemanfaatan Iradiasi gelombang mikro
untuk memaksimalkan untuk peroses pretreatment degradasi jerami padi
(pada produksi bioetanol). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, 1(1): 1320.
Fachry AR, Astuti P, Puspitasari TG. 2013. Pembuatan Bietanol dari Limbah
Tongkol Jagung dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu
Fermentasi. Jurnal Teknik Kimia, 1(19): 60-69.
Fatmawati A. Soeseno N, Chiptadi N, Natalia S. 2008. Hidrolisis Batang padi
dengan menggunakan asam sulfat encer. Jurnal Teknik Kimia, 3(1): 187191.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reaction. Berlin:
Walter de Gruyter.
Gayang F. 2013. Konversi lignoselulosa tandan kosong kelapa sawit menjadi gula
pereduksi menggunakan enzim xilanase dan selulosa komersial [skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Gunam IBW, Antara NS, Anggreni AAMD. 2010. Pemanfaatan limbah
lignoselulosa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dengan teknik sel
terimobilisasi [laporan penelitian]. Denpasar: Universitas Udayana.
Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2010.
Pemanfaatan biomassa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol.
Jurnal Litbang Pertanian, 29(4): 121-130.
Indriany D, Mappiratu, Nurhaeni. 2013. Pemanfaantan Limbah Tongkol Jagung
(Zea Mays) untuk Produksi Bioetanol Menggunakan Sel Ragi Amobil
Secara Berulang. J Nature Sci, 2(3): 54-65.
Laksa FOA, Tripuspaningsih NN, Sumarsih S. 2013. Pengaruh Enzim Lakase pada
Perlakuan Awal Amonium Hidroksida dan Hidrogen Peroksida dalam
Produksi Bioetanol dari Tongkol Jagung. Media Kimia FST, 1(1): 1-14.
Lin SY, Dence CW. 1992. Methods in Lignin Chemistry. Tokyo: Springer Verlag.
Miller GL. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid Reagent for Determination of
Reducing Sugar [jurnal]. Anal Chem 31(3): 300-310.

15

Merina F, Trihadiningrum Y. 2011. Produksi bioetanol dari eceng gondok
(Eichhornia crassipes) dengan Zymomonas mobilis dan Saccharomyces
cereviseae. Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII. Surabaya.
Narayanaswamy N, Faik A, Goetz DJ, Gu T. 2011. Supercritical carbon dioxide
pretreatment of corn stover and switchgrass for lignocellulosic ethanol
production. Bioresource Technology, 102: 6995-7000.
Nur’aeni S. 2014. Produksi bioetanol melalui detoksifikasi substrat hidrolisat
ampas tebu dan adaptasi sel Candida tropicalis [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Oktavia M, Mardiah E, Chaidir Z. 2013. Produksi Bioetanol dari Tongkol Jagung
dengan Metoda Simultan Sakarifikasi dan Fermentasi. Jurnal Kimia
Unand, 2(1): 107-112.
Purnomo F. 2013. Proses delignifikasi tongkol jagung menggunakan ammonium
hidroksida (NH4OH) sebagai bahan baku bioetanol [tesis]. Purwokerto:
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Rachmaniah O, Febriyanti L, Lazuardi K. 2009. Pengaruh liquid hot water terhadap
perubahan struktur sel bagas. Seminar Nasional XIV. Surabaya.
Rao RS, Jyothi CP, Prakasam RS, Saema PN, Rao LV. 2006. Xylitol production
from corn fiber and sugarcane bagasse hydrolysate by Candida tropicalis.
Bioresource Technology, 97:1974-1978.
Ruriani E, Nafi A, Sunarti TC. 2013. Karakteristik dan pretreatment kulit kopi hasil
samping pengolahan kopi metode kering untuk produksi bieotanol [laporan
penelitian]. Jember: Universitas Jember.
Retnoningtyas ES, Antaresti, Aylianawati. 2013. Aplikasi crude enzim selulosa dari
tongkol jagung (Zea mays L.) pada produksi etanol dengan metode
Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). Reaktor, 14(4):
272-276.
Schacht C, Zetzl C, Brunner G. 2008. From plant materials to ethanol by means of
supercritical fluid technology. The Journal of Supercritical Fluids, 46:
299-321.
Subekti H. 2006. Produksi etanol dari hidrolisat fraksi selulosa tongkol jagung oleh
Saccaromyches cerevisiae [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
The Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI). 1991. TAPPI
Test Methods. Atlanta: TAPPI Press.
Wagiman, Fauzi AM, Mangunwidjaja J, Sukardi. 2011. Efek perlakuan kiwiawi
dan hidrotermolisis pada biomas tanaman jagung (Zea mayz L.) sebagai
substrat produksi bioetanol. Agritech, 31(2): 146-152.
Wuryaningrum. 2010. Produksi xilitol oleh khamir penghasil enzim xylose
reductase, Candida fukuyamaensis UICC Y-247 dari hidrolisis limbah
sorgum (Sorghum bicolor L.) ZH-30 [tesis]. Jakarta (ID) : Universitas
Indonesia.

16

LAMPIRAN

17

Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Cacahan tongkol
jagung

Dicuci dan dikeringkan
hingga kadar air ± 7%

Digiling hingga ukuran
40 dan 60 mesh

Pengkuran kadar
holoselulosa,
selulosa,
hemiselulosa, dan
lignin

Pengkuran kadar
holoselulosa,
selulosa,
hemiselulosa, dan
lignin

Pengkuran kadar
holoselulosa,
selulosa,
hemiselulosa, dan
lignin
Analisis kadar gula pereduksi
menggunakan spektrofotometri
Analisis kadar etanol
menggunakan KCKT

Optimasi jumlah siklus
autoklaf

Optimasi perbandingan
tongkol jagung : air

Optimasi ukuran mesh
tongkol jagung

Fermentasi dengan
bantuan Candida
tropicalis

18

Lampiran 2 Kadar lignoselulosa dengan perlakuan jumlah siklus autoklaf berbeda

Tanpa Autoklaf
1x15 menit

2.0004
2.0006

Bobot (g)
Kertas
Saring
0.8252
0.8132

2x15 menit

2.0010

0.8074

2.1073

64.96

3x15 menit

2.0003

0.8118

2.0482

61.81

Sampel

Kertas Saring
dan Residu
1.3403

Siklus autoklaf

Sampel

Kertas Saring
dan Residu
2.1260
2.1614

Kadar
Holoselulosa (%)
65.03
67.39

Tanpa Autoklaf

1.0015

Bobot (g)
Kertas
Saring
0.8537

1x15 menit

1.0019

0.8456

1.3286

48.21

2x15 menit

1.0012

0.8269

1.3242

49.79

3x15 menit

1.0023

0.8214

1.3310

51.08

Siklus autoklaf

Kadar Selulosa
(%)
48.73

Tanpa Autoklaf
1x15 menit

65.03
67.39

48.73
48.21

Kadar
Hemiselulosa (%)
16.29
19.18

2x15 menit

64.96

49.79

15.17

3x15 menit

61.81

51.08

10.73

Siklus autoklaf

Kadaar Holoselulosa (%)

Siklus autoklaf

Bobot (g)