Kolestrol Daging PEMANFAATAN SERAT SAWIT-Cr ORGANIK FERMENTASI SEBAGAI PENGGANTI RUMPUT LAPANGAN TERHADAP
98 menghasilkan daya cerna lemak lebih tinggi daripada perlakuan C dan A
kontrol. Kecernaan BETN yang didapat dalam penelitian antara 78.48 - 83.83
dan secara statistik berbeda tidak nyata P 0.05. Daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, spesies ternak, umur dan rasio komposisinya Tillman et al
1998. Tidak berbedanya kecernaan BETN karena ternak mendapatkan sumber pati yang sama dari kosentrat, sesuai dengan pendapat Parakkasi 1999 bahwa
perbedaan sumber karbohidrat dalam ransum akan mempengaruhi pula tinggi rendahnya daya cerna BETN. Patinya yang terdapat dalam sebagian besar
makanan penguat akan lebih dapat dicerna dari pada serat kasarnya. Menurunnya konsentrasi BETN menyebabkan meningkatnya daya cerna BETN karena BETN
akan lebih lama berada didalam saluran pencernaan, sesuai dengan pendapat Church 1993 yang menyatakan bahwa lamanya zat makanan di dalam saluran
pencernaan menunjukkan salah satu faktor yang menentukan daya cerna zat maka nan.
Penga ruh Ransum Pe rlak uan terhadap Pertambahan Bobot Badan Domba
Salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ialah dengan pengukuran pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan
yang diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil metabolisme zat- zat makanan yang dikonsumsi. Makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak
akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi Pond et al 2005 Menurut Lawrence dan Fowler 1997 pertumbuhan adalah perubahan skala dan
bentuk serta peningkatan dalam massa tubuh. Menurut Tillman et al 1998 pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi
pada saat sampai pubertas, dan tahap lambat terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah telah tercapai. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran
kenaikan bobot badan yang dilakukan dengan penimbagan berulang yaitu tiap hari, minggu, atau bulan Tillman et al. 1998. Setelah dilakukan penimbangan
bobot badan domba dalam penelitian yaitu akhir kolekting dan satu bulan sesudahnya didapat rataan pertambahan bobot badan BB disajikan pada Tabel
19. Pada penelitian ini pertambahan bobot badan antara 47.10- 74.98 g dan secara statistik pengaruh penggantian rumput lapangan dengan serat sawit fermentasi
99 berbeda tidak nyata P0.05. Hal ini menunjukkan kemampuan ransum A, B, C,
dan D sama untuk pertumbuhan dan penggantian rumput lapangan dengan serat sawit fermentasi sampai 45 tidak mempengaruhi pertumbuhan. Tidak
terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan bobot badan disebabkan daya cerna zat- zat makanan yang hampir sama pada semua perlakuan sehingga
retensi N juga berbeda tidak nyata sampai perlakuan D 45 SSF-Cr. Pada penelitian ini konsumsi zat makanan memang semakin sedikit
dengan semakin ba nyaknya serat sawit fermentasi tetapi daya cernanya hampir sama sehingga penyerapannya pun mungkin hampir sama. Sesuai dengan
pendapat Parakkasi 1999 ba hwa dalam pertumbuhan hewan tidak sekedar meningkatkan berat badannya tetapi juga menyebabkan perubahan konformasi
oleh perbedaan tingkat pertumbuhan komponen tubuh. Konsumsi PK dari perlakuan A sampai dengan D juga hampir sama, begitu juga konsumsi
BK dan serat kasar. Pertumbuhan yang dimanifestasikan dengan pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jumlah konsumsi, total
Tabe l 19 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan domba
dan retensi nitrogen gekor hari Peuba h
Perlakuan A
B C
D 1. Pertambahan BB
74.98±29.84 61.18±16.93 52.90±18.38 47.10±19.54 2. Retens i N
7.05
A
7.36 ±0.96
A
5.19 ±2.34
AB
3.88 ±1.79
B
±0.69
Keterangan: A = Kontrol 60 RL + 40 konsentrat, B = 15 SSF-Cr + 45 RL, C = 30 SSF-Cr + 30 RL, D = 45 SSF-Cr + 15 RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-
Cr, RL = ru mput lapangan. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda sangat nyata P0.01
protein yang didapat setiap hari, jenis bangsa ternak, jenis kelamin, iklim, kesehatan, tipe kelahiran dan managemen Tillman et al. 1998.
Pertambahan bobot badan menurun pada perlakuan D, tapi tidak memberikan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Ini menggambarkan sebagian
besar percobaan penambahan mineral kromium organik yang dilakukan di daerah sub-tropis tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan
bobot badan, sedangkan pada daerah tropis pengaruh suplementasi kromium lebih baik. Lindemann et al 1995 menyatakan bahwa penambahan mineral kromium
dapat meningkatkan pertambahan bobot badan hingga 30 tergantung pada
100 tingkat stress keadaan nutrisi, lingkungan dan penyakit. Pada percobaan ini
beberapa domba di dalam rumennya terdapat kawat spiral yang sebelumnya tidak diketahui, diduga hal ini yang menyebabkan berkurang-nya pertambahan bobot
badan domba. Page et al 1993, yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi sedang tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb
meningkatkan pertambahan bobot badan 0.87 kghari lebih tinggi dibanding kontrol 0.81 kghari, sedangkan pada penelitian ini pertambahan bobot badan
lebih rendah dari yang diatas, ini menggambarkan terjadinya penurunan sintesis protein dan lemak pada jaringan perifer akibat menurunnya uptake asam amino
dan glukosa oleh efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr. Retensi N penelitian berkisar antara 3.88-7.05 g Tabe l 19 dan secara
statistik berbeda sangat nyata P 0.01. Rendahnya retensi N pada perlakuan D disebabkan konsumsi PK pada perlakuan D juga terendah, tapi daya cerna sama.
Rendahnya retensi nitrogen pada perlakuan dapat juga dipengaruhi oleh banyaknya protein yang digunakan untuk membentuk energi ATP, sehingga N
yang diretensi jadi berkurang. Berapa banyak asam amino dari protein bahan makanan yang digunakan untuk sintesa di da lam tubuh tergantung pada komposisi
asam aminonya. Kualitas protein yang baik akan mendukung pembentukan protein mikroba sehingga jumlah protein yang tertinggal dalam tubuh ternak
pakan meningkat, karena sebagian besar nitrogen dalam rumen berasal dari protein mikroba. Untuk mencapai efisiensi harus ada keseimbangan zat- zat
makanan yang ada dalam bahan makanan Church 1993. Tingkat retensi N tergantung pada konsumsi nitrogen, keseimbangan antara energi metabolisme dan
protein dalam ransum, daya cerna protein dan kualitas protein, sehingga untuk menyusun ransum perlu keseimbangan antara protein dan energi Wahyu
1992.
Penga ruh Ransum Pe rlak uan terhadap Kimia Daging Domba
Komposisi kimia adalah salah satu faktor yang menentukan mutu daging. Sumbangan terbesar dari daging sebagai sumber bahan makanan adalah kualitas
proteinnya yang tinggi, sumber vitamin B kompleks dan beberapa mineral khususnya yaitu Fe. Menurut Lawrie 2003 mengatakan bahwa kadar protein
daging relatif konstan dengan kisaran 16-22, adanya perbedaan kadar protein
101 diantara otot dapat disebabka n oleh perbedaan struktur otot terutama terdiri atas
protein miofibrilar dan jaringan ikat. Kadar air yang berbeda pada otot menyebabkan perbedaan kadar protein, karena protein otot mempunyai hubungan
yang erat dengan kadar airnya, karena protein otot ini mempunyai sifat hidrofilik, yaitu dapat mengikat molekul- molekul air. Ngadiyono 1995 mendapatkan
bahwa kadar air yang berbeda diantara bangsa sapi dapat menyebabkan perbedaan kadar protein.
Secara umum daging terbentuk dari beberapa unsur pokok seperti air, protein, lemak dan abu Sifat dan komposisi kimianya bervariasi tergantung pada
spesies hewan, umur, jenis kelamin, pakan, perbedaan pertumbuhan, letak dan fungsi bagian daging tersebut dalam tubuh, kondisi ternak, potongan karkas, proses
pengawetan, penyimpanan dan cara pengepakan Lawrie 2003.
Protein daging terlihat antara 15.74 - 18.77 dan secara statistik berbeda tidak nyata P0.05, seiring dengan konsumsi BK dan serat kasar yang juga
berbeda tidak nyata. Komposisi kimia daging bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa, umur pakan, perbedaan pertumbuhan,
termasuk perbedaan waktu penggemukan Lawrie 2003. Peningkatan jumlah SSF-Cr dalam ransum terjadi peningkatan protein daging, hal ini disebabkan
supplementasi kromium organik yang dapat membantu metabolisme protein. Di da lam strukt ur GTF kromium adalah komponen aktifnya, sehingga tanpa adanya
Cr pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin Burton 1995. Linder 1992 menyatakan kerja GTF pada sistem transport
glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor
spesifik pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, uptake seluler glukosa dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah
meningkatkan efektifitas potensi insulin. Lemak daging cenderung menurun dengan masuknya SSF-Cr tetapi secara statistik hampir sama, ini disebabka n
umur ternaknya juga hampir sama dan dengan adanya SSF-Cr merobah komposisi lemak daging akibat penggunaan kromium. Hal ini juga terjadi pada
penelitian di Brazil yang memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 400 ppb pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian
dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan Hossain 1995. Pada percobaan ini rataan kandungan lemak SSF-Cr adalah 2.58 hampir sama dengan
102 yang dikatakan oleh Lawrie 2003 kandungan lemak daging 2.5. Daging yang
dinilai baik adalah daging yang tingkat perlemakan- nya tidak terlalu banyak, tetapi cukup mempunyai perlemakan di dalam urat daging Thu 2006. Murray
dan Slezacek 1976 menyatakan bahwa domba yang memperoleh pakan ad libitum nyata mempunyai lebih banyak lemak subkutan dan sedikit lemak
intermuskuler daripada domba yang diberi pakan terbatas. Domba yang diberi pakan berselang atau kompensasi lebih banyak lemak intermuskuler daripada
domba dengan perlakuan ad libitum pada bobot karkas yang sama. Suplementasi kromium lebih baik pada negara- negara sedang berkembang yang mempunyai
masalah nutrisi. Hal ini disebabka n oleh defisiensi kromium dan tingginya cekaman panas di daerah tersebut. Pada percobaan ini secara umum asam lemak
yang didapat terjadi penurunan seiring dengan meningkatnya jumlah SSF-Cr dalam ransum. Ransum A adalah perlakuan tanpa menggunakan SSF-Cr,
sedangkan ransum B, C, dan D menggunakan SSF-Cr dengan penggunaan yang meningkat. Hal ini terlihat, bahwa kadar lemak yang mendapatkan pakan limbah
sawit SSF-Cr cenderung lebih kecil dibandingkan dengan yang mendapat pakan kontrol. Ini terjadi karena diduga kadar glukosa pakan limbah sawit terbatas,
sehingga NADP yang dihasilkan juga terbatas untuk mengubah asam asetat yang berasal dari serat kasar limbah kelapa sawit menjadi lemak tubuh.
Pada penelitian ini diperoleh asam lemak daging yang berpengaruh tidak nyata P0.05 disajikan pada Tabel 20. Asam lemak jenuh laurat, miristat,
palmitat dan stearat yang diperoleh dari penelitian ini terjadi penur unan sesuai dengan penambahan SSF-Cr dalam ransum, tetapi terjadi peningkatan pada asam
lemak tidak jenuh oleat, sedangkan pada linoleat, linolenat dan arakidonat tidak terjadi peningkatan. Hal ini menunjukka n efektifitas jumlah SSF-Cr yang
diberikan dalam ransum cukup memberikan pengaruh terhadap penurunan asam lemak jenuh.
Kolesterol daging yang didapat dalam penelitian Tabel 20 terjadi penurunan sesuai dengan jumlah SSF-Cr yang meningkat tapi secara statistik
berbeda tidak nyata P0.05. Nampaknya suplementasi kromium organik SSF- Cr dalam ransum dapat menurunkan jumlah kolesterol daging domba, terjadi
persentase penurunan yaitu 23.24. kadar kolesterol pada otot Longissimus dorsi
103 domba yang mendapat pakan komersial adalah 70,4 – 78,1 mg100 g, sedangkan
dengan pakan berserat kasar tinggi adalah 64,20 mg100 g Solomon et al. 1991. Arnim 1992 menyatakan tidak terdapat pengaruh pakan terhadap kandungan
kolesterol pada sapi dan kerbau, karena salah satu penyebabnya adalah adanya mekanisme homeostasis dalam tubuh.
Kandungan Cr dalam daging dan hati meningkat dengan meningkatnya SSF_C r dalam ransum P 0.01. Sesuai menurut Linder 1992 mengatakan
bahwa Cr organik diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan be ntuk atau j uga terikat de ngan transferin. Dari intestin, hampir semua
kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkop erasi ke dalam GTF.
Tabe l 20 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kimia daging domba
Peubah Perlakuan
A B
C D
Kimia daging Kadar air
74.55±2.16 78.31±2.89
77.68±0.93 73.26±2.81
Protein 15.74±2.11
16.77±1.17 17.12±2.93
18.77±1.10 Lemak
6.47±3.34 2.92±1.92
3.09±1.17 1.74±0.74
Asam lemak daging
mg 100g
Laurat 0.0139±0.00311
0.0079±0.00141 0.0086±0.00354 0.00895±0.00643
Miristat 0.11245±0.0354
0.07155±0.0207 0.0848±0.0113
0.0817±0.0110 Palmitat
2.8791±0.9451 2.5804±0.7799
2.0664±0.2188 2.0062±0.4006
Stearat 0.0233±0.0076
0.0280±0.0086 0.0207±0.0006
0.0171±0.0109 Oleat
7.3620±2.6308 7.3544±2.6297
5.0954±0.6422 8.6974±2.6558
Linoleat 0.0361±0.0083
0.0276±0.0006 0.0244±0.0110
0.0247±0.0117 Linolenat
0.0026±0.0004 0.0099±0.0087
0.0471±0.0566 0.0026±0.0014
Arakidonat 0.0599±0.0408
0.0642±0.0433 0.0498±0.0196
0.0593±0.0156 Kolesterol
daging
mg 100g
41.35
a
39.69 ±1.89
a
35.48 ±1.77
b
±3.68 31.74
c
±1.33 Kromium
daging ppm
0.61
a
1.17 ±0.50
b
1.30 ±0.45
b
3.06 ±0.28
c
Kromium hati ppm
±1.76 0.75
a
1.17 ±0.23
a
1.49 ±0.57
a
2.48 ±0.47
b
±1.41
Keterangan: A = Kontrol 60 RL + 40 konsentrat, B = 15 SSF-Cr + 45 RL, C = 30 SSF-Cr + 30 RL, D = 45 SSF-Cr + 15 RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-
Cr, RL = ru mput lapangan
104 Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia
dalam membantu aktivitas insulin. Kalau kadar glukose darah meningkat, danatau insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF danatau kromium ke dalam
plasma, GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin. Pada percobaan ini terjadi penyerapan Cr organik
yang meningkat dengan meningkatnya level SSF-Cr.
Penga ruh Ransum Pe rlak uan terhadap Uji Fisik Daging Domba
Hasil utama yang diharapkan dari pemeliharaan ternak potong adalah daging- nya. Daging dari berbagai jenis ternak mempunyai daya terima yang
berbeda bagi konsumen. Daya terima setiap jenis daging oleh setiap individu konsumen juga berbeda, tergantung pada fakor fisiologis dan sensasi organoleptik.
Beberapa faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging yang dikonsumsi adalah warna, pH, daya meng ikat air DMA oleh protein daging atau
water holding capacity WHC, susut masak, dan keempukan daging Purbowati et al. 2005. Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH Lawrie 2003,
pada penelitian ini level SSF-Cr dalam ransum berpengaruh tidak nyata P0.05 terhadap pH daging. Perlakuan A sebagai kontrol mempunyai nilai pH lebih
rendah dari perlakuan D de ngan 45 SSF-Cr, ini berarti nilai pH yang dihasilkan dari penggantian rumput lapangan dengan SSF-Cr adalah meningkat, tidak terjadi
penuruna n pH berarti tidak terjadi akumulasi asam laktat akibat proses glikolisis selama proses konversi otot menjadi daging pasca pemotongan. Hasil perhitungan
pH pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh berada dalam kisaran pH normal daging. Nilai pH daging segar menurut Bahar 2003 adalah
5.6. Nilai pH daging mempuny ai pe ngaruh yang berarti pada kualitas
daging, karena nilai pH daging berhubungan dengan warna, DMA, jus daging, keempukan dan susut masak. pH daging ultimat pH yang tercapai setelah
glikogen otot habis atau glikogen tidak lagi sensitif oleh serangan-serangan enzim glikolitik normalnya adalah 5,4–5,8 Soeparno 1994. Nilai pH daging ultimat
hasil penelitian ini lebih rendah 5.25 dari pH daging ultimat normal. Hal ini kemungkinan karena jumlah cadangan glikogen otot saat pemotongan lebih tinggi
105 sehingga penimbunan asam laktat tidak terjadi karena cadangan glikogen otot
masih tersedia sebelum pH daging ultimat normal tercapai. Terdepresinya glikogen dapat terjadi karena ternak lelah, lapar atau takut sebelum pemotongan
Lawrie 2003. Keempuka n merupaka n penentu kualitas da ging yang paling besar. Keempukan bisa bervariasi antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies
yang sama, potongan karkas, dan diantara otot, serta pada otot yang sama. Keempukan daging yang diperoleh pada penelitian ini Tabel 21 antara 3.83-5.49
kgcm2, berarti keempukan daging SSF-Cr berada pada kriteria daging empuk memiliki daya putus WB Warner Bratzler ya itu 4.15 - 5.86 kgcm
2
Peuba h Suryati
dan Arief 2005. Suplementasi SSF-Cr dalam ransum lebih menguntungkan karena adanya inkoporasi Cr dan A. niger yang mengakibatkan perubahan struktur
miofibrilar akan mempengaruhi keempukan daging.
Tabe l 21 Pengaruh ransum perlakuan terhadap analisis fisik da ging domba
Perlakuan A
B C
D Analisis fisik daging
- pH daging 5.22±0.07
5.24±0.01 5.25±0.05
5.23±0.01 -Keempukan daging
kgcm
2
3.83±0.28 4.87±1.84
4.55±0.96 5.49±0.54
-Warna daging 4
4 dan 5 5
3 dan 4 -Susut masak
40±3.01 41.34±0.86
36.29±2.21 43.36±2.03
-DMA mg H
2
126.38±4.33 O
111.41±5.29 121.28±9.62 127.72±12.06
Keterangan: A = Kontrol 60 RL + 40 konsentrat, B = 15 SSF-Cr + 45 RL, C = 30 SSF-Cr + 30 RL, D = 45 SSF-Cr + 15 RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-
Cr, RL = ru mput lapangan. 3= me rah muda, 4= merah, 5= me rah tua
Perbedaan bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk daripada daging dari tipe besar Lawrie 2003.
Menurut Epley 2008 keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak
mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua. Pemasakan daging dalam oven 135
o
C sampai suhu dalam 50
o
C atau 60
o
C tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler Lawrie 2003. Combes et al. 2002 menyatakan bahwa nilai keempukan
daging dengan Warner Bratzler mencapai minimum pada suhu dalam 60-65
o
C dan meningkat kembali mencapai maksimum pada suhu dalam daging 80-90
o
C.
106 Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging myoglobin, tipe molekul dan status kimia myoglobin Purbowati et al. 2005. Warna daging pada otot longissimus dorsi LD pada penelitian ini hampir
sama dengan kontrol, hal ini disebabkan sistem pemeliharaan domba yang dikandangkan mengakibatkan ternak tidak bebas bergerak. Otot yang banyak
digunakan untuk bergerak mempunyai myoglobin penentua warna merah daging yang lebih banyak daripada otot yang kurang banyak digunakan untuk bergerak
misalnya otot LD Lawrie 2003. Faktor penentu warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress tingkat
aktivitas dan tipe otot, pH dan oksigen Purbo wati et al. 2005. Pada penelitian ini Tabel 19 terlihat bahwa warna daging yang diperoleh merah muda sampai
merah tua yang dihasilkan dari otot longissimus dorsi. Hal ini terjadi karena adanya SSF-Cr dalam ransum yang mengakibatkan warna merah pada daging.
Pada perlakuan C warna daging merah tua, ini adalah akibat menurunnya kapasitas aerobik dan meningkatnya kapasitas anaerobik otot-otot tersebut dengan
adanya penurunan aktifitas sitokrom oksidase Abd El-aal da n Suliman 2008. Susut masak pada penelitian ini berkisar 36.29 – 43.36 P0.05.
Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan
nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Pada umumnya, susut masak bervariasi dengan kisaran 15 - 40 Soeparno 1994. Pada perlakuan B susut
masak adalah 41.34 dan D susut masak adalah 43.36. Hal ini berarti pada perlakuan B da n D terjadi susut masak yang lebih tinggi dibandingkan kisaran
susut masak menurut Soeparno 1994 yang mengakibatkan daging mempunyai kualitas kurang baik, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
banyak. Selanjutnya dijelaskan, bahwa bobot potong dapat mempengaruhi susut masak apabila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular lemak marbling.
Perlakuan C mempunyai susut masak 36.29 berada pada kisaran susut masak yang disaranka n, ini menunjukka n bahwa daging dengan susut masak yang lebih
rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
sedikit.
107 Daya ikat air DMA daging adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daya ikat
air dipengaruhi oleh perbedaan macam otot, species, umur dan fungsi otot. Fungsi atau gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang
menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DIA yang berbeda. DMA yang dihasilkan pada penelitian ini hampir sama. Penurunan
nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai susut masak. Daya ikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-
potein daging antara 5,0 – 5.1.
Konve rsi Pakan
. Konversi pakan dihitung dengan membandingkan antara konsumsi bahan kering pakan dan pertambahan bobot badan harian domba.
Rerata konversi pakan dalam penelitian ini berturut-turut dari A, B, C dan D adalah 7.62, 9.30, 10.10 dan 8.60. Angka di atas pada pakan perlakuan A
menggambarkan bahwa domba lokal jantan pada penelitian mengkonsumsi bahan kering sebanyak 7,62 g untuk menaikkan 1 g bobot badannya, sedangkan pada
pakan perlakuan B membutuhkan pakan sebanyak 9,30 g untuk menaikka n 1 g bobot badan dan seterusnya. Konversi ransum dipengaruhi oleh kualitas ransum,
nilai kecernaan dan efisiensi pemanfaatan nutrisi dalam proses metabolisme di Lawrie 2003, mengatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak, semakin tua umur ternak, kapasitas memegang air daging lebih sedikit.
Analisis Ekonomi
Suatu usaha yang dijalanka n tentu untuk mendapatkan ke untungan, keuntungan akan diperoleh apabila dalam proses produksi mampu memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan ekonomis. Untuk mengetahui perlakuan mana yang paling ekonomis, maka dilakukan analisis ekonomis dengan
pendekatan Efisiensi Pemberian Pakan Feed Efisiensi yakni jumlah pakan yang dihabiskan untuk mendapatkan satu kilogram pertambahan bobot badan, dan Feed
Cost per Gain FCG yaitu nilai rupiah paka n yang dihabiska n untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot badan. Hasil analisis ekonomis
antar perlakuan disajikan pada Tabel 22.
108 dalam jaringan tubuh ternak. Semakin baik kualitas ransum yang dikonsumsi
ternak, diikuti dengan pertambahan bobot badan yang ba ik maka nilai konversi pakan aka n semakin renda h da n aka n semakin efisien paka n yang digunakan
Ponds et al. 1995. Hasil analisis variansi menunjukan bahwa subs titusi hijauan menggunakan serat sawit fermentasi berpengaruh nyata P0.05 terhadap
konversi pakan. Hasil penelitian ini lebih besar dari pada penelitian Purbo wati et al 2007, yaitu sebesar 6,63. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai konversi pakan
yang diperoleh tidak seefisien hasil penelitian Purbowati, hal ini disebabkan karena penggunaan bahan pakan sumber protein dan ka ndungan PK yang berbeda,
sumber protein yang digunakan pada penelitian Purbowati adalah tepung ikan dan
bungkil kedele. Feed Cos t per Gai n FCG
. Nilai feed cost per gain dihitung berdasarkan biaya pakan, pertambahan bobot badan harian dan konversi pakan.
Feed cost per gain perlakuan A kontrol lebih rendah dari pada perlakuan lainnya,
Tabe l 22 Analisis ekonomis masing- masing perlakuan
Uraian Nilai Rp
A B
C D
RL Rp100 kg 40.000,20
30.000,15 20.000,10
10.000,05 SSF-Cr Rp100 kg
- 8.625
17.250 25.875
Biaya konsentrat per 100 kg
Pollard 53.650
53.650 53.650
53.650 Jagung
40.000 40.000
40.000 40.000
B. kedelai 40.000
40.000 40.000
40.000 Molases
20.000 20.000
20.000 20.000
NaCl 825
825 825
825 Cattle mix
7.500 7.500
7.500 7.500
CaCO3 300
300 300
300 Biaya ransum Rp100
kg 202.275,20 200.900,15 199.525,10 198.1150,05
Biaya ransum Rp kg 2.022,75
2.009 1.995
1.981 PBBH gekorhr
74,98 61,18
52,90 47,10
Konsumsi BK ransum g ekorhr
571,3 568,99
534,54 405,07
Konversi Pakan 7,62
9,3 10,1
8,6 Feed Cost per Gain Rp
15.413,36 18.683,70
19.950 17.036,60
Keterangan: A = Kontrol 60 RL + 40 konsentrat, B = 15 SSF-Cr + 45 RL, C = 30 SSF-Cr + 30 RL, D = 45 SSF-Cr + 15 RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-
Cr, RL = ru mput lapangan
109
ini berarti bahwa semakin tinggi substitusi hijauan dengan serat sawit fermentasi akan meningkatkan biaya pakan dalam menghasilkan kenaikan per kilogram
bobot badan domba lokal jantan. Hal ini terjadi karena nilai feed cost per gain erat kaitannya dengan konversi pakan yang semakin meningkat dengan
meningkatnya substitusi hijauan dengan serat sawit fermentasi. Hasil penelitian ini masih lebih rendah apabila dibandingka n dengan hasil penelitian Karjito
2010, pada penelitian Karjito diperoleh feed cost per gain sebesar Rp 18.013, 51kg sedangkan pada penelitian ini feed cost per gain yang didapat sebesar Rp
15.413,36kg. Artinya pada penelitian ini untuk mendapatkan 1 kg pertambahan bobot badan di dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp 15.413,36 lebih efisien,
apabila harga domba per kg bobot hidup sebesar Rp 30.000, maka income over feed cost yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar Rp 14.586,64.
SIMPULAN
Suplementasi 6 pp m Cr mampu menurunkan kandungan lemak dan kolesterol daging serta meningkatkan kandungan kromium pada daging dan hati,
namun tidak dapat meningkatkan pertambahan bobot badan pada domba lokal. Ransum yang mengandung 45 SSF-Cr dikombinasikan dengan 40 konsentrat
dan 15 rumput lapangan merupakan ransum yang terbaik dan lebih menguntungkan dari pada ransum yang mengandung SSF-Cr 15 atau SSF-Cr
30.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle et al. 2001. Principles of Meat Science. San Fransisco. W.H Freeman and Co.
Abd El-aal HA, Suliman AIA. 2008. Carcass traits and meat quality of lamb fed on ration containing different levels of Leuceaena hay Leucaena
leucocephala L. Biotechnology in Animal Husbandry 24 3-4, p 77-92, 2008. Belgrade-Zemun. Publisher : Institute for Animal Husba ndry.
Agustin F et al. 2010. Inkorporasi Kromium oleh Fungi Ganoderma lucidum dengan Limba h Industri Kelapa Sawit Sebagai Substrat. Media
Peternakan, 331. April 2010, hlm. 18-24.
110 Amatya JL, Haldart S, Ghosh TK. 2004. Effects of chromium supplementation
from inor ganic and organic sources on nutrient utilization, mineral metabolism and meat quality in broiler chicken exposed to natural heat
stress. Animal Science. 79:241-253.
Amoiko n EK et al. 1995. Effect of chromium tripicolinate on growth, glucose tolerance, insulin sensitivity, plasma metabolites, and growth hormone in
pigs. J. Anim. Sci. 73:1123-1130. [AOAC] The Association of Official Analytical Chemists. 1990. Method of
Analysis. 16thEd. Washington DC. Assoc Agric Chemist. Areghero EM. 2001. Nutritive value and utilization of three grass species by
crossbed Anglo-Nubian goays in Samoa. J. Anim. Sci. 1410:1353- 1364.
Arnim. 1992. Komposisi asam lemak dan kandungan kholesterol lemak pelvis serta kandungan energi daging pada sapi Peranakan Brahman dan kerbau
dengan sumber energi ransum yang berbeda [Disertasi]. Bogor : Program Pasca-sarjana IPB.
Arora SP. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Yogyakarta : Gajah Mada University press.
Aus- meat. 1995. Aus-Meat for Indonesia Workshop. Work Book No.1. Australian Meat and Livestock Corpo ration. Perth Western Australia.
Bahar B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama. Bentley R, Bennett JW. 2008. A ferment of fermentations: Reflections on the
production of commodity chemical using microor ganisms in Advances in Applied Microbiology Volume 63. First edition. Academic Press of
Elsevier.
Boleman SL et al. 1995. Effect of chromium picolinate on growth, body composition, and tissue accretion in pigs. J.Anim.Sci. 73:2033-2042.
Burton JL. 1995. Supplemental chromium : its benefits to the bovine immune system. Anim. Feed Sci. Tech. 53:117
Burton JL, Mallard BA, Mowat DN. 1994. Effect of supplemental chromium on antibody responses of newly weaned feedlot calves to immunization with
infectious bovine rhinotracheitis and parainfluenza 3 virus. Can J Vet Res 58:1148-151
111 Cakra IGLO, Siti NW. 2008. Koefisen cerna bahan kering dan nutrient ransum
kambing peranakan etawah yang diberi hijauan dengan suplementasi konsentrat molamik. Majalah Ilmiah Peternakan. 11 1, p:12-17
Campbell RG. 1994. Effects of chromium picolinate on the performance carcass characteristic and some measure of meat quality of female pigs. Report
on a contract Research program by Bunge Meat Industry for prince Agri Products Unpublished
Chang X, Mowat DN. 1992. Supplemental chromium for stressed and growing feeder calves. J. Anim Sci. 70:559-565.
Church DC. 1993. The Ruminant Animal : Digestive Physiology and Nutrition. Waveland Press.
Combes S, Lepetit J, Darche B, Lebas F. 2002. Effect of cooking temperature and cooking time on Warner Bratzler tenderness measurement and
collagen content in rabbit meat. J. Meat Sci. 66:91-96 Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspect in Nutrition and Health.
San Diego: Academic Press, Inc. Admission of Harcourt Brace Company.
Davendra C, Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah: Ir. IDK Harya Putra, PhD. Penerbit ITB Bandung dan Universitas
Uda yana Davis CM, Vincent JB. 1997. Chromium in carbohydrate and lipid metabolism.
J Cell Biol 2:675-679 Dunn TG, Moss GE. 1992. Effects of nutrient deficiencies and excesses on
reproductive effeiciency of livestock. J. Anim. Sci. 70:1580-1693 Ede y TN. 1983. Lactation, Growth and Body Composition In : Tropical Sheep
and Ltd. Melbourne. p: 81-108. Epley RJ. 2008. Meat tenderness.http:www.extension.umn.edudistribution
nutrition DJ0856.html [27oktober 2009] Freer M, Dove H. Sheep Nutrition. 2002. Canberra. CABI Publishing.
Gatenby RM. 1991. The Tropical Agriculturalist Sheep. 1 Edition. Mc Millan
Education Ltd. Londo n and Basingt one Gatenby RM et al. 1995. Reproductive performance of Sumatera and hair sheep
crossbred ewes. SR-CRSP annual report 1994-1995, Sungai Putih, Sumatera Utara.
112 General Laboratory Procedures. 1996. Department of Dairy Science. Madison.
University of Wisconsin. Gentry LR et al. 1999. Dietary protein and chromium tripcolinate in suffoklk
wether lambs: effects on production characteristics, metabolic and hormonal responses, and immune status. J.Anim.Sci. 77:1284-1294.
Ginting BL. 1996. Penggunaan serat sawit palm press fiber yang diperlakukan dengan NaOH dalam ransum domba lokal [tesis]. Program Pascasarjana,
Universitas Andalas. Padang. Haddad SG, Grant RJ, Klopfenstein TJ. 1995. Digestibility of alkali-treated
wheat straw measured in vitro or in vivo using Holstein heifers. J Anim Sci 72:3258-3265.
Handa yanta E, Sujito. 2000. Pengaruh suplementasi onggok dan ampas tahu dalam ransum terhadap performans domba. Majalah Ilmiah Dian
Andhini. Th II No. 10 Edisi Maret 2000:82-87 Hartati E. 1998. Supplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang
mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Herman R. 1993. Perbandingan Pertumbuhan, Komposisi Tubuh dan Karkas antara Domba Priangan dan Ekor Gemuk [Disertasi]. Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
.
Hobson PN, Stewart CS. 1997. The Rumen microbial ecosystem. Springer. Hosain S. 1995. Effect of chromium yeast on performance and carcass quality of
broiler. Alltech`s Elevent Ann. Symp. Poster Presentation. Hungate RE. 1966. The Rumen and Its Microbes. United Kingdom Edition.
Published by Academic Press. Londo n. p:50-62. Iyayi EA. 2004. Change in the cellulose, sugar and crude protein contens of
agro- industrial by-products fermented with Aspergillus niger, Aspergillus flavus and Penicilium sp. Afr J Biotechnol 3:186-188.
Iyayi EA, Aderolu ZA. 2006. Enhancement of the feeding value of some agro- industrial by-products for laying hens after their solid state fermentation
with Trichoderma viride. Afr J Biotechnol 3:186-188. Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi
sebagai pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak. Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Bogor. Fakultas
Peternaka n Institut Pertanian Bogor.
113 Jamhari. 2000. Perubahan sifat fisik dan organoleptik da ging sapi selama
penyimpanan beku. Buletin Peternakan Vol. 24 1. 2000 Kamalzadeh A, Hasanbaigy A, Achshang A. 2008. Intake, growth, energy and
nitrogen requirements and amino acid nitrogen availability in growing sheep. World Journal of Zoology 3 2: 63-70, 2008 ISSN 1817-3098 ©
IDOSI Publications Corresponding.
Kamalzadeh A, Koops WJ, Kiasat A. 2009. Effect of qualitative feed restriction
on energy metabo lism and nitrogen retention in sheep. South African Journal of Animal Science. © South African Society for Animal Science.
Kearl LC. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. International Feeds tuffs Institute Utah. Agric. Exp. USA. Station Utah
Satate University Logan, Utah. Kim BG, Lindemann MD, C romwell GL. 2009. The effects of dietary chromium
III picolinate on growth performance, blood measurement, and respiratory rate in pigs kept in high and low ambient temperature.
J.Anim.Sci. 87:1695-1704.
Krishna C. 2005. Solid-state fermentation systems-an overview. Crit Rev Biotechnol 25:1-30.
Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995. Influence of chromium tripicolinate on glucose metabolism and nutrient
partitioning in growing lambs. J.Anim.Sci. 73:2694-2705. Lateef A et al. 2008. Improving the quality of agro-wastes by solid-state
fermentation: enhanced antioxidant activities and nutritional qualities. World Journal of Microbiology and Biotechnology 24:2369-2374
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging.
Diterjemahkan oleh : A. Parakkasi.
Edisi kelima. Penerbit
UI-Press, Jakarta.
Lewis RM, Emmans GC, Dingwall WS, Simn G. 2002. A description of the growth of sheep and its genetic analys is. British Society of Animal
Sci.74:51-62 Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indo nesia
Press. Jakarta. Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate
supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82: 2972- 2977.
114 Lynd LR, Weimer PJ, Van Zyl WH, Pretorius IS. 2002. Microbial cellulose
utilization: Fundamentals and biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 663:506-577.
Mathius IW, Sitompul D, Manurung BP, Asmi. 2004. Produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit
untuk sapi : suatu tinjauan. Prosiding. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-sapi. Bengkulu, 9 – 10 September 2003. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT Agricial, Bogor.
Matthews JO et al. 2003. Effect of chromium propionate and metabolizable energy on growth, carcass traits, and pork quality of growing- finishing
pigs. J Anim Sci 81: 191-196.
McDonald PR, Edwards A, Greenhalg JFD. 1988. Animal Nutrition 4
th
Ed. Longman Scientificand Technical, John Willey and Sons Inc. NewYork.
Hlm 90 -95.
Mooney KW, Cromwell GL. 1995. Effects of dietary chromium picolinate supplementation on growth, carcass characteristics, and accretion rates of
carcass tissues in growing- finishing swine. J.Anim.Sci. 73:3351-3357 Moore E, Landeker. 1992. Fundamental of Fungi. Frentice Hall, Inc., New
York. Mordenti A, Piva A, Piva G. 1997. the Europen perspective on organic chromium
in animal nutrition. Proc. Alltech 13
th
Annual Symp. Hal. 227. Moss AR, Givents DI, Everington M. 1990. The effect of sodium hydroxide
treatment on the chemical compos ition, digestibility and digestible energy content of wheat, barley and oat straws. Anim. Feed Sci. Technol. 29:73-
87.
Murtidjo BA. 1993. Memelihara Domba. Kanisius. Yogyakarta [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requerement of Sheep. 6
th
Revised Ed. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council, Committee on Animal Nutrition. 1997. The
Role of Chromium in Animal Nutrition. Washington DC: National Academic Press.
Negussie E, Rottmann OJ, Pirchner F, Rege JEO. 2004. Growth and carcass
composition of tropical fat-tailed Menz andHorro sheep breeds. Animal Science, 78:245-252 © 2004 British Society of Animal Science
115 Ngadiyono N. 1995. Pertumbuhan serta Sifat-sifat Karkas dan Daging Sapi
Sumba Ongole, Brahman Cross dan Australian Commercial Cross yang Dipelihara Secara Intensif pada Berbagai Bobot Potong. Bogor.
[Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nur YS. 2006. Efisiensi penggunaan protein bungkil inti sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebagai pakan broiler catatan penelitian.
Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan Semarang, 3
Agustus 2006. ISBN:979-704-485-8
Nur YS, Sofya n LA, Syarief R, Sugandi D. 1993. Peningkatan nilai gizi onggok dengan kultur campuran Aspergillus niger da n Aspergillus oryzae sebagai
pakan broiler. Prosiding Workshop Teknologi Lingkungan. Jakarta. DTPLH. BPPT.
Nur YS. 1998. Pemanfaatan enzim selulase dari Aspergillus niger pada biokonversi dedak padi untuk pakan ternak. Penelitian Dosen MudaBBI
19971998. Padang. Lembaga Penelitian Universitas Andalas. Page TG, Southern LL, Ward TL, Thompson Jr DL. 1993. Effect of chromium in
animal nutrition. Proc Alltech 13
th
Pond WG, Annual Symp. p. 227.
Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta. UI Press.
Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient: a review. Veterinarni Medicina 521:1-18
Pérez J, Muñoz-Dorado J, de la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicelluloses and lignin: an
overview. J International Microbiology. 5:53-63.
Church DC, Pond KR, PA. 2005. Basic Animal Nutrition and Feeding, 5th Edition. New York. John Willey and Sons.
Prawirodigdo S, Yuwono DM, Anda yani D. 1995. Substitusi Bungkil Kedelai dengan Bungkil Biji Kapok Ceiba petandra dalam Ransum Kelinci
Sedang Tumbuh. Jurnal Ilmiah Ternak Klepu. Balitbang Pertanian. Deptan 1 3 : 26 – 31.
Prawoto JA, Lestari CMS, Purbo wati E. 2001. Keragaan dan kenerja produksi domba lokal yang dipelihara secara intensif dengan memanfaatkan ampas
tahu sebagai bahan pakan campuran. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis, special edition: 227-285.
Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2005. Komposisi kimia otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan
116 yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. Journal
Animal Production, [Inpress] .
Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2007. Pengaruh pakan komplit dengan kadar protein dan energi yang berbeda pada
penggemukan domba lokal jantan secara feedlot terhadap konversi pakan. Pros iding : Semina r Nasional Teknologi Peternaka n da n Veteriner.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Peranian, Departemen Pertanian, hal : 394-
401.
Purbo wati E, Suryanto E. 2001. Karakteristik fisik otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba hasil penggemukan feedlot dengan berbagai level
konsentrat dan pakan dasar yang berbeda. Buletin Peternakan. Edisi Tambahan, Desember 2001:89-94.
Purwaningrum IF. 2003. Study of mold isolate potential in converting palm oil fiber waste as ruminant feed stuff [skrips i]. Bogor : Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.. Rachmadi, D. 2003. Dampak pemberian bungkil inti sawit dan konsentrat yang
dilindungi formaldehida pada domba terhadap kinerja dan kandungan asam lemak poli tak jenuh. [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Rahman J, Harnentis, Wiryawan KG. 2007. Biokonvesi limbah sawit menjadi komponen ransum komplit bermineral organic esensial untuk memacu
pertumbuhan dan meningkatkan kwalitas daging domba. Padang. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Andalas Padang.
Riyanto J. 2004. Tampilan kualitas fisik daging sapi peranakan ongole PO. Journal Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition October
2004: 28-32. Sebsibe A, Casey NH, van Niekerk WA, Tegegne A,
Coertze RJ. 2007. Growth performance and carcass characteristics of three Ethiopian goat breeds fed
grainless diets varying in concentrate to roughage ratios. South African Journal of Animal Science 37 4 © South African Soc iety for Animal
Science
Scanes CG. 2003. Biology of growth of domestic animals.
First Edition. Iowa State Press
Siregar Z, Handarini R, Harahap AS. 2008. Penggunaan limbah industry kelapa sawit sebagai pakan terhadap pertumbuhan domba jantan persilangan sei
putih. Jurnal Agribisnis Peternakan Vol.4 No.2 Agustus 2008
117 Soder KJ, Gregorini P. 2010. Relationship between supplemental protein and
ruminal fermentation of an orchardgrass-based herbage diet. The Professional Animal Scientist 2 6:290–297. © 2010 American Registry
of Professional Animal Scient ist.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Solomon MB, Lynch GP, Paroczay E, Norton S. 1991. Influence of rapessed meal, whole rapessed and soybeen meal on fatty acid composition and
cholesterol content of muscle and adipose tissue from ram lamb. J. of Anim. Sci. 69 10 : 4055-4061
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Sunarlin R, Usmiati S. 2006. Profil karkas ternak domba dan kambing.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinir. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Hal :
590-597.
Suryahadi, Piliang WG. 1997. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai ransum komplit ruminansia. Prosiding Seminar II Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi Ilmu Nutrisi Indonesia. Bogor.
Suryati I, Arief II. 2005. Pengujian daya putus Warner Blatzer, susu masak dan organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang
disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan kapsul lisisn serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein.
Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departement Ilmu
Makanan Ternak Fapet IPB Bogor. Sutardi T. 1997. Peluang dan tntangan pengembangan ilmu- ilmu nutrisi
ternak.Orasi imiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Swastike W, Baliarti E, Agus A. 2006. Pertambahan bobot badan dan keberhasilan sinkronisasi estrus pada domba dara dengan kualitas pakan
yang berbeda Body weight gain and evaluated in synchronization estrus of ewes with different feeding quality. AGROSAINS 19 3 Juli 2006
118 Swatland HJ. 1994. Structure and Development of Meat Animals and Poultry.
Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvani. Tangendj aja B, Santoso B, Wina E. 1983. Protected fat : preparation and
digestibility. Proc. Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. RIAP. Bogor. p. 439-447.
Thu DTN. 2006. Meat quality: Understanding o f meat tenderness and influence of fat content on meat flavor. Tap Chi Phat Trien KHCN, TAP 9,
SO12-2006 Tilley JWA, Terry RA. 1963. Two-Stage technique for the in-vitro digestion of
forage crops. J. British grasslandsoc. 18: 104-111. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosukojo S.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Tomaszewka MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1993. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. Van de Ligt JGL, Lindemann MD, Harmon RJ, Monegue HJ, Cromwell GL.
2002. Effect of chromium tripicolinate supplementation on po rcine immune response during the postweaning period. J.Anim.Sci. 80:449-455
Valkeners D, The´wis A, Amant S, Beckers Y. 2006. Effect of various levels of imbalance between energy and nitrogen release in the rumen on microbial
protein synthesis and nitrogen metabolism in growing do uble- muscled Belgian Blue bulls fed a corn silage-based diet. J Anim. Sci. 84:877-885.
Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. Cornell University Press.
Vyas S, Lachke A, Ahmad A. 2003. Fungal cellulases for novel industrial app lications. In: Rao GP, Manoharachari C, Bhat DJ, Rajak RC,
Lakhanpa l TN Eds. Frontiers of Fungal Diversity in India. Lucknow: International Book Distributing Co., 143-159.
Wheeler TL, Shackelford SD, Koohmaraie M. 1999. Tenderness classification of beef III: Effect of the interaction between and point temperature and
tenderness on Warner-Blatzer shear force of beef longissimus. J. Anim. Sci. 77: 400-407
Zain M. 1999. Subsitusi rumput dengan sabut sawit dalam ransum pertumbuhan domba pengaruh amoniasi, defaunasi dan suplementasi analog hidroksi
metionin serta asam amino bercabang [Disertasi]. Bogor. Program Pasca- sarjana Institut Pertanian Bogor.
PEMBAHASAN UMUM
Penelitian tahap ke-I. Penga ruh konsentras i NaOH dan lama pemeraman terhadap kandunga n gi zi serat sawit
Usaha peningkatan produk peternakan menuntut adanya pakan yang murah, berkualitas dan tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia. Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45
, karena itu sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan kecernaannya. Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan secara
kimia diantaranya pemeraman dengan fisik, NaOH, menggiling dan memotong, uap pa nas dan biologi menggunakan khamir, kapang atau jamur untuk
memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling. NaOH adalah alkali yang paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah
pertanianindustri karena mampu memutuskan ikatan lignosellulosa yang lebih besar sehingga kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. 1990
bahwa perlakuan de ngan NaOH ada lah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH
membuat defisiensi nitrogen lebih buruk pada jerami padi. Oleh karena itu penggunaan NaOH pada SS dimanfaatkan untuk melepas ikatan lignoselulosa
yang akan menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan turunnya kadar lignin aka n memudahkan untuk difermentasi
dengan A. niger sebagai pensintesa kromium organik. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan
retensi N, namun tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar Arysoi 1998, tetapi pada penelitian Ginting 1996 perlakuan NaOH de ngan ko nsentrasi 5
memberikan koefisien cerna bahan kering in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 . Metode pencucian pada
hasil pemeraman dengan NaOH memberikan hasil yang tidak menguntungkan, karena hilangnya sebagian nutrisi dari SS, hal ini tidak dapat diaplikasikan dalam
pengolahan bahan berserat tinggi dengan tujuan sebagai pakan ternak. Metode alternatif yang dapat dilakukan adalah pengolahan fisik setelah itu meningkatkan
120 pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang dapat dilihat dengan banyaknya
pertumbuhan hifa dan miselium dan dapat diukur panjang dan berat miselium. Penentuan mor fologi SS-NaOH ditunjukkan dengan menggunakan
teknologi Scanning Electron Microscope SEM. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap dinding sel serat sawit jelas sekali terlihat dengan
menggunakan scanning electron microscopy SEM. Serat sawit tanpa pemeraman dengan NaOH terlihat jaringa n dasar terjalin dengan pita parenkim
longitudinal dan dengan parenkim jari- jari, pembuluh tertutup oleh tilosis. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan lama pemeraman maka aktivitas alkali
akan lebih kuat dalam melarutkan dinding sel serat sawit berarti terjadi perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk memutuskan ikatan lignin dengan
selulosa dan hemiselulosa. Percobaan pemeraman serat sawit dengan NaOH memperlihatkan bahwa
dengan mengingkatnya konsentrasi NaOH terjadi penurunan bahan kering dan protein kasar serat sawit. Serat sawit setelah diperam dilakukan pencucian seiring
dengan berkurangnya bahan kering dan protein kasar karena pencucian dan perlakuan NaOH. Perlakuan alkali diharapkan berperan dalam memutuskan
ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan silika jerami sehingga senyawa ini akan mudah terlarut Arisoy 1998, pada pemeraman dengan NaOH akan terjadi
penurunan ba han kering sesuai dilapo rka n oleh Mos s et al. 1993. Protein juga mengalami hidrolisis pada pH alkalis yang menghasilkan suatu campuran asam
amino bebas. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat menurunkan kandungan protein kasar sesuai menurut penelitian Vadiveloo et al. 2009 dan
Arysoi 1998. Perlakuan SS-NaOH dapat menyebabkan kehilangan bahan organik dan dapat diasumsikan bahwa tidak merubah bentuk ko mpo nen anti
nutrisi fur fural da n phenolik dari degradasi lignin Vadiveloo 1995; Vadiveloo Fadel 1992.
Hasil penelitian terhadap NDF, ADF, hemiselulosa, selulosa dan lignin berbeda tidak nyata. Selulosa yang dihasilkan terjadi penurunan, semakin tinggi
kon sentrasi NaOH maka akt ivitas alkali aka n lebih kuat da lam melarutkan ikatan ligno-selulosa dan ligno hemiselulosa dan makin banyak lignin, silika dan
hemiselulosa yang larut. Fengel dan Wegener 1995 mengatakan bahwa alkali
121 dapat menyebabkan perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk
memutuskan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Liu 1998 mengemukakan bahwa alkali dapat memutuskan ikatan hidrogen inter molekul
dan melarutkan sebagian lignin dan silika, tetapi apabila konsentrasi NaOH semakin tinggi maka kandungan ADF bertambah tinggi pula. Hal ini disebabkan
adanya sebagian fraksi NDF yang mudah larut, sehingga diduga sebagian NDF berubah be ntuk menjadi ADF.
Umikalsom et al 1998 menyatakan bahwa sodium hidroksida menurunkan kristalin selulosa dan lignin ke CO2, H2O dan asam karboksil.
Perlakuan NaOH diharapka n mampu memut uska n ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan sebagian silika menjadi larut, kristal selulosa sebagian kecil dapat
larut dalam alkali encer tetapi tidak dapat larut dalam asam encer. Banyaknya selulosa terbebas dari ikatan lignin memerlukan waktu yang lebih lama untuk
melarutkannya. Secara rata-rata konsentrasi NaOH 2.5-7.5 cukup efektif untuk menurunkan kandungan lignin.
Sedangkan bila dilihat dari lama pemeraman, semakin lama waktunya kandungan lignin semakin turun, hal ini disebabkan
NaOH semakin lama bekerja. NaOH berfungsi untuk mendegradasi dan melarutkan lignin sehingga mudah dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa
Sihite 2008, selanjutnya menurut penelitian Subkaree et al 2007, bagaimanapun pra perlakuan NaOH dapat mengurangi kandungan lignin pada pra-perlakuan serat
sawit.
Penelitian tahap ke II. Fermentasi serat sawit-NaO H denga n Aspergillus niger pensintesa kromium orga nik untuk me ningkatkan kualitas pakan
Penggunaan Aspergillus niger pensintesa Cr-organik sebagai penghasil enzim selulase, dapat memutus rantai serat, enzim menyerang permuka an serat
menghasilkan efek pengelupasan dan dapat memflokulasi serat yang berukuran kurang dari 75 μm serta partikel-partikel kecil serat. Serat yang kecil akan
dihidrolisa mengakibatkan peningkatan derajat giling dan permukaan serat menjadi bersih dari fibril dan partikel-partikel. Hasil ini terlihat pada percobaan
dengan menggunakan SEM, dimana permukaan serat sawit yang mengandung partikel-patikel kecil setelah difermentasi dengan Aspergillus niger pensintesa
Cr-organik menjadi bersih.
122 Penelitian tahap kedua ini terjadi peningkatan protein kasar dari 3.93
serat sawit tanpa fermentasi menjadi 9.21 – 11.45 serat sawit fermentasi=SSF. Peningkatan protein kasar pada serat sawit fermentasi
disebabkan oleh adanya pertumbuhan kapang. Jamarun et al. 2001 menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik
akan meruba h lebih banyak ko mpo nen pe nyus un media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan
dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Ini membuktikan bahwa kapang Aspergillus niger mampu tumbuh pada media serat sawit alkali yang
ditambahkan kromium dan tripthopan. Perbedaan ini disebabkan laju pertumbuhan dan perkembang biakan kapang yang bervariasi. Kadar air,
karakteristik substrat, suplementasi nutrisi, aerasi dan lama fermentasi merupakan variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan metabolit
dalam fermentasi media padat Krisna et al. 2005. Hasil penelitian tahap ke-II perlakuan tidak mempengaruhi NDF, ADF,
hemiselulosa, dan selulosa. Menurut Parakkasi 1999 ADF erat hubungannya dengan kecernaan, sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna
akan tinggi pula. Kandungan VFA yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 83,51-143,56 mM, berarti masih dalam kisaran normal dimana VFA yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba antara 80-160 mM Sutardi 1980, Suryapratama 1999. VFA total yang dihasilkan berada pada kisaran
kebutuhan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen yang optimal. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pada SSF-Cr membantu menguraikan
bahan maka n da n menyebabka n SSF-Cr lebih fermentabe l di rumen. Produksi NH3 dalam penelitian ini adalah 4.79 mM, nilai tersebut berada pada kisaran
produksi NH3 di dalam rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu pada kisaran 4 – 12 mM Erwanto et al. 1993 . Hal ini berarti inkorporasi
A. niger dengan kromium pada SS berfluktuasi dalam memproduksi NH3. Suplementasi kromium pada level 4 mgkg Cr menghasilkan produksi NH3 lebih
tinggi dari perlakuan lainnya, begitu juga dengan 10 inokulum A. niger. Produksi NH3 pada SS adalah 4.55 mM, sedangkan pada penelitian ini rataan
produksi NH3 adalah 4.79 mM. Pada penelitian ini terjadi peningkatan produksi
123 NH3 sebanyak 5.27 , berarti dengan adanya kromium organik terjadi
peningkatan NH3 yang sangat dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba rumen. Pada penelitian ini terlihat bahwa persentase kecernaan bahan kering
berkisar antara 9.63 - 141.47 dan bahan organik antara 4.60 - 197.77. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan
inokulum 10 A. niger lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan kering dan bahan
organik yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak. Terjadinya peningkatan persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan bahan kering
diduga akibat kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi
yang cukup sebagai akibat dari pengaruh persentase A. niger dan level CrCl
3
Hasil penelitian tahap III pada domba lokal menunjukkan bahwa domba yang diberikan isonutrien 12.5 protein kasar dan 65 TDN dengan
penembahan Cr 6 mgkg sangat ditentukan oleh kecukupan makronutrien protein dan energi. Suplementasi Cr anorganik CrCl3.6H2O menunjukkan konsumsi
dan kecernaan berbeda tidak nyata, sama hal nya dengan yang dilaporkan oleh Agustin et al. 2010 dan DePew et al. 1996. Hal ini disebabkan bertambah
banyaknya level serat sawit fermentasi yang diberika n untuk pengganti rumput lapangan menyebabka n palatabilitas ransum menurun. Beberapa pakan tertentu
. Hasil kecernaan bahan kering berkisar antara 9.14 - 22.07 dan bahan organik
antara 7.17 - 21.35. Hal ini disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10 dan kromium 6 mgkg lebih cepat dibandingkan
dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan kering yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak. Kecernaan
bahan organik akibat inkorporasi A. niger dengan kromium terjadi peningkatan sesuai dengan meningkatnya persentase inokulum dan level kromium. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10 dan kromium lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga
dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan organik yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak.
Penelitian tahap ke-III. Pe manfaatan serat sawit-Cr orga nik fermentasi sebagai pengga nti rumput lapanga n terhadap performa dan kualitas daging
124 kurang palatabilitasnya dibandingkan pakan lain Arora 1986 konsumsi pakan
akan lebih banyak jika aliran lewatnya pakan cepat, sedangkan serat sawit fermentasi de ngan kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan laju makanan
da lam sistim pe ncernaan akan lama karena butuh waktu yang cukup guna mencerna.
Pada penelitian ini pertambahan bobot badan antara 47.10- 74.98 gram dan secara statistik pengaruh penggantian rumput lapangan dengan serat sawit
fermentasi berbeda tidak nyata P0.05. Hal ini menunjukkan kemampuan ransum A, B, C, dan D sama untuk pertumbuhan dan penggantian rumput
lapangan dengan serat sawit fermentasi sampai 45 tidak mempengaruhi pertumbuhan. Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan
bobot badan disebabkan daya cerna zat- zat makanan yang hampir sama pada semua perlakuan sehingga retensi N juga berbeda tidak nyata sampai perlakuan
D 45 SSF-Cr. Ini menggambarkan sebagian besar percobaan penambahan mineral kromium organik yang dilakukan di daerah subtropis tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan Evock- Clover et al 1993, Lindemann et al 1995, sedangkan pada daerah tropis
pengaruh suplementasi kromium lebih baik, tetapi de ngan penambahan SSF-Cr sampai perlakuan D terjadi penurunan pertambahan bobot badan, hal ini
disebabkan rendahnya palatabilitas ransum sehingga jumlah ransum yang dikonsumsi sedikit, mengakibatkan pertambahan bobot badan rendah.
Selanjutnya pe nelitian ini didukung DePew et al. 1996 dan Uyanik 2006 bahwa suplementasi kromium tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan ,
kadar kromium darah LDL, tetapi menurunkan kadar glukosa darah pada domba yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr anorganik. William et al. 1994
bahwa supplementasi 0.8 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi cekaman panas heat stress dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi
efisiensi penggunaan ransum, kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan kemampuan untuk mencerna serat kandungan Cr ransum basal tidak diketahui.
Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH, pada penelitian ini level SSF-Cr dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap pH daging. Nilai
pH daging mempunyai pengaruh yang berarti pada kualitas daging, karena nilai
125 pH daging berhubungan dengan warna, DMA, jus daging, keempukan dan susut
masak. pH daging ultimat pH yang tercapai setelah glikogen otot habis atau glikogen tidak lagi sensitif oleh serangan-serangan enzim glikolitik normalnya
adalah 5,4–5,8 Soeparno 1994. Nilai pH daging ultimat hasil penelitian ini lebih rendah 5.25 dari pH daging ultimat normal. Hal ini kemungkinan karena
jumlah cadangan glikogen otot saat pemotongan lebih tinggi sehingga penimbunan asam laktat tidak terjadi karena cadangan glikogen otot masih
tersedia sebelum pH daging ultimat normal tercapai. Terdepresinya glikogen dapat terjadi karena ternak lelah, lapar atau takut sebelum pemotonga n Lawrie
2003. Keempukan daging yang diperoleh pada penelitian ini antara 3.83-5.49
kgcm2, berarti keempukan daging SSF-Cr berada pada kriteria daging empuk memiliki daya putus WB Warner Bratzler ya itu 4.15 - 5.86 kgcm
2
Protein daging terlihat antara 15.74 - 18.77 seiring dengan konsumsi BK dan serat kasar yang juga berbeda tidak nyata. Komposisi kimia daging bervariasi
dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa, umur pakan, perbedaan pertumbuhan, termasuk perbedaan waktu penggemukan Lawrie 2003.
Suryati dan Arief 2005. Suplementasi SSF-Cr dalam ransum lebih menguntungkan
karena adanya inkoporasi Cr dan A. niger yang mengakibatkan perubahan struktur miofibrilar akan mempengaruhi keempukan daging. Perbedaan bangsa juga dapat
menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk daripada daging dari tipe besar Lawrie 2003.
Warna daging pada otot longissimus dorsi LD diperoleh merah muda sampai merah tua. Hal ini terjadi karena adanya SSF-Cr dalam ransum yang
mengakibatkan warna merah pada daging. SSF-Cr nampaknya dapat meningkatkan myoglobin sebagai penentu warna daging, karena pada otot LD
biasanya daging berwarna pucat disebabkan otot yang kurang banyak digunakan untuk bergerak.
Susut masak da n daya ikat air DMA pada penelitian ini berbeda tidak nyata. Pada umumnya, susut masak bervariasi dengan kisaran 15 - 40 Soeparno
1994. Susut masak dan daya ikat air DMA yang dididapat pada penelitian ini berkisar pada kisaran yang yang normal.
126 Peningkatan jumlah SSF-Cr dalam ransum terjadi peningkatan protein da ging, hal
ini disebabkan supplementasi kromium organik yang dapat membantu metabolisme protein. Di dalam struktur GTF kromium adalah komponen
aktifnya, sehingga tanpa adanya Cr pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin Burton 1995. Anderson dan Kozlovsky 1985
menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada organ target.
Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, uptake seluler glukosa dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas
potensi insulin. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder 1992 bahwa kerja GTF dalam transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin.
Hasil- hasil penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, dalam hal
ini difisiensi Cr dapat menyebabka n hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam
amino yang dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin Anderson
1987.
Lemak daging cenderung menurun de ngan masuknya SSF-Cr tetapi secara statistik hampir sama, ini disebabkan dengan adanya SSF-Cr merobah komposisi
lemak daging akibat pengunaan kromium. Hal ini juga terjadi pada penelitian dari Brazil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 400 ppb pada ayam
broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan Hossain 1995. Pada percobaan ini
rataan kandungan lemak SSF-Cr adalah 2.58 hampir sama dengan yang dikataka n oleh Lawrie 1985 kandungan lemak daging 2.5.
Suplementasi kromium lebih baik pada negara- negara sedang berkembang yang mempunyai
masalah nutrisi. Hal ini disebabkan oleh defisiensi kromium dan tingginya cekaman panas di daerah tersebut. Pada percobaan ini secara umum asam lemak
yang didapat terjadi penurunan seiring dengan meningkatnya jumlah SSF-Cr da lam ransum.
Pada penelitian ini asam lemak jenuh laurat, miristat, palmitat dan stearat, asam lemak tidak jenuh oleat yang dipe roleh berbeda tidak nyata sesuai dengan
127 penambahan SSF-Cr dalam ransum. Hal ini menunjukkan efektifitas jumlah SSF-
Cr yang diberikan dalam ransum cukup memberikan pengaruh terhadap penurunan asam lemak jenuh. Menurut French et al. 2000 asam lemak stearat
dan palmitat merupakan jenis asam lemak jenuh terbanyak pada daging, sedangkan pada penelitian ini asam lemak jenuh yang terbanyak adalah asam
lemak miristat dan palmitat. Selama penelitian ini asam lemak jenuh yang dihasilkan terjadi penurunan, berarti dengan adanya SSF-Cr dalam ransum terjadi
penurunan asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner. Dengan adanya penurunan asam lemak jenuh pada daging domba yang
mengandung ransum SSF-Cr, daging domba yang dihasilkan lebih baik dan akan menghindari timbulnya penyakit jantung koroner bagi yang mengkonsumsi
daging. Kolesterol daging yang didapat dalam percobaan ini terjadi penurunanan
sesuai dengan jumlah SSF-Cr yang meningkat, suplementasi kromium organik SSF-Cr dalam ransum dapat menurunkan jumlah kolesterol daging domba. Cr-
organik berperan penting pada metabolisme dan penggunaan karbohidrat, sintesa asam lemak, ko lesterol dan protein. Kromium berfungsi mengatur proses produksi
lemak dalam tubuh, sehingga mencegah pembentukan lemak berlebih dan. mampu meningkatkan sensitifitas insulin tubuh sehingga membantu mencerna gula atau
karbohidrat dengan lebih baik. Inkorporasi Aspergillus niger dengan Cr menunjukkan bahwa terjadi penurunan lemak, asam lemak jenuh, dan kolesterol
daging. Dalam hal ini suplementasi SSF-Cr sebagai ransum komplit perlu diteliti lebih mendalam, tentang manfaat daging yang mengandung SSF-Cr yang
dikonsumsi manusia, berhubungan dengan penyakit diabetes mellitus dan jantung koroner.
Konversi pakan yang didapat dari penelitian ini berbeda tidak nyata, hal ini dipengaruhi antara lain oleh bahan pakan dan formulasi ransum. Konversi pakan
yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah baik, konversi pakan domba di daerah tropis berkisar antara 7-15 artinya untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan
bobot badan dibutuhkan bahan kering pakan sebanyak 7-15 kg. Nilai feed cost per gain dihitung berdasarkan biaya pakan pada saat penelitian berlangsung dan
pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan. Subs itusi SSF-Cr yang
128 meningkat dalam ransum menurunkan biaya ransum, dengan memanfaatkan
bahan paka n loka l dan hasil samping agroindustri berupa serat sawit untuk substitusi hijauan dapat mengurangi biaya pakan besarnya biaya pakan berkisar
antara 60 – 80 dari total biaya. Nilai FCG perlakuan A Rp 15.413 adalah terenda h diba ndingkan de ngan pe rlakuan lainnya, dan perlakuan C Rp 19.950
adalah tertinggi, hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot badan harian A juga lebih baik dari pada perlakuan lainnya sehingga nilai FCG nya juga berbeda,
walaupun harga ransum per kilogram perlakuan A lebih tinggi. Hal ini juga ada kaitannya dengan palatabilitas serat sawit fermentasi lebih rendah dari pada
rumput lapang yang diberikan, walaupun konversi pakan dan feed cost per gain SF-Cr yang dipe roleh berbeda tidak nyata, tapi SSF-Cr masih lebih baik
kualitasnya daripada rumput lapangan dan dapat digunakan sebagai pakan
alternatif.