Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian Ke Non Pertanian Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat

DISKUSI ILMIAH

“Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian Ke Non Pertanian Dalam Rangka
Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Pertanian Dan Pedesaan
Dalam Perspektif Lokal”
( Tinjauan Umum Petani Sumatera Timur/Deli)
Yusak Maryunianta
Soekirman
Fakultas Pertanian
Jurusan Sosial Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
I. Kondisi Makro tentang kemiskinan kota
Berbicara tentang kemiskinan, tenaga kerja pertanian dan perdesaan harus dikaitkan dengan
masalah kemiskinan perkotaan. Dinegara dunia ketiga (Afrika dan Asia) diramalkan sebelum
tahun 2020 lebih separoh penduduk akan tinaaal diperkotaan. Masalah yang kemudian dihadapi
adalah mayoritas penduduk kota hidup dalam keadaan miskin. Kumpulan masyarakat miskin
kota itu terpaksa menghadapi pelbagai masalah termasuk MCK, tempat tinggal dan pekerjaan
tetap. Disamping itu jurang pemisah antara penduduk miskin kota dengan yang berkecukupan
semakin lebar dan menimbulkan kecemburuan sosial dan berpotensi kerawanan sosial. Di
kawasan Asia timur dan Pasifik pada tahun 2025 sekitar 1,3 milyar penduduk yang
diperkirakan akan tinggal dikawasan perkotaan dan sebahagian besar menggerakkan roda

ekonomi sektor informal3. Tentu saja perkembangan sektor informal kota tidak terlepas dari
asumsi semakin tidak berdayanya sektor perdesaan dan pertanian dalam mznciptakan
kemakmuran. Bagaimana trend kemiskinan kota dibeberapa negara untuk jangka 1996-2020
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Penduduk kota dinegara-negara terpilih 1996 - 2020 (juta)
Negara

1996

2020

China
Indonesia
Filipina
Korea Selatan
Vietnam
Myanmar

377
72

40
40
15
12

712
146
70
48
28
26

Malaysia

11

2

Total
568

1.052
Sumber : Todaro 1989 dalam Nor Aini Haji Idris 2003
Dari tabel diatas terlihat bahwa dalam dua dekade Indonesia akan menghadapi masalah
kenaikan jumlah penduduk kota > 100%. Itu berarti berbanding lurus dengan
1.

2.
3.

Makalah Pengantar Diskusi Ilmiah "Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian Ke Non Pertanian Dalam Rangka
Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Pertanian Dan Pedesaan Dalam Perspektif Lokal" di Gedung DH. Penny,
FP-USU, Medan, 1 Maret 2004.
Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU dan Konsultan Perencanaan Pembangunan
Nor Aini Haji Idris & Chamuri Siwar, 2003. Kemiskinan Bandar dan Sektor Tidak Formal di Malaysia. Penerbit
UKM Bangi, Malaysia.

1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

semakin tidak mampunya desa mengakomodir kehidupan rakyat. Pertanian seba`~ai penyerap

lapangan kerja ternyata tidak mampu memberi kesejahteraan. Masalah lain adalah fragmentasi
lahan semakin sempit akibat pembagian warisan oranR tua sehingga tidak layak sebagai usaha
tani. Alih fungsi lahan dari agararis ke non pertanian termasuk penyebab yang penting. Di
Indonesia HKTI melaporkan pengalihan fungsi lahan dari sawah ke non pertanian sebesar
1.280.000 ha dalam sepuluh tahun terakhir, atau rata-rata 128.000 ha setiap tahun.4
Kondisi Indonesia berbanding terbalik dengan Malaysia yang mampu menekan jumlah penduduk
kota yang berjumlah 11 juta di tahun 1996 ke angka 2 juta pada tahun 2020. Itu berarti sektor
informal atau kemiskinan kota berkurang hingga SO%. Kebijakan pembangunan SDM Malaysia
yang menekan sektor perkotaan tentu tidak terlepas dari kepesatan pembangunan perdesaan (luar
banda), bahkan pembangunan tersebut telah menjadi penarik orang-orang Indonesia untuk
merantau ke Malaysia sebagai tenaga kerja baik legal ataupun illegal.
Apakah penyebab Malaysia mampu melakukan penekanan kemiskinan kota sekaligus
meningkatkan kemakmuran sektor desa? Apakah Desentralisasi (otonomi federal) telah
menciptakan pembangunan Malaysia lebih merata? Apa keputusan politik yang akan berpengaruh
pada kondisi sosial ekonomi clan sosial di Indonesia yang diperlukan di Indonesia, untuk
menumbuhkan serapan tenaga kerja di sektor pertanian?
II. Eksodus petani Deli "Empat Tahap"
Bagaimana kondisi desa pertanian clan sumber daya manusianya, beberapa kasus pada level desa
dapat dipakai sebagai gambaran. Gerakan masuk Belanda di Pantai Timur Sumatera, mengakhiri
kedaulatan kerajaan-kerajaan (kesultanan-kesultar.an di muara-muara sungai). Beberapa lintasan

sejarah digambarkan sebagai berikut;

1613
1780
1814
1854
1858
1862
1865
1872

Sebahagian pantai timur Sumatra merupakan daerah taklukan kesultanan
Aceh.
Kesultanan Siak mengusir Aceh.
Raja Deli yang bergelar panglima oleh Sultan Siak diangkat jadi Sultan.
Aceh berhasil menegakkan kembali kedaulatan atas Deli.
Sultan Siak mengikat perjanjian dengan Belanda.
Sultan Deli menyatakan diri takluk kepada Belanda dan menyatakan diri
setaraf dengan sultan Siak.
Kesultanan Serdang diserang oleh Belanda.

Belanda menyerang kedudukan Datuk Sunggal di pedalaman Deli tapi
terpukul mundur (perlawanan orang batak Karo)

Sepanjang lintasan sejarah itu Belanda teiah mendirikan Deli Maatschapij yang membuka
Tanah Deli, yang diserahkan oleh sultan Deli sebagai konsesi untuk perkebunan tembakau
tahun 1869. Pada tahun 1883 daerah perkebunan Belanda sudah begitu meluas sehingga
dibangunlah jalan kereta api Deli Spoorweg Maatschapij (DSM) sepanjang 213 km.
Meskipun pada saat itu belum ada akses

4

BPN 2003 Prosiding Seminar Ketahanan Pangan HKTI 11-12 November 2003 di Jakarta.

2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

dari pantai timur kepedalaman Danau Toba, namun perlakuan orang-orang Belanda kepada kaum
pribumi kuli kontrak telah sampai ketelinga mereka.~
Apa kaitan lintasan sejarah diatas dengan ketersediaan tenaaa kerja di desa-desa Sumatera timur?
Hampir dapat dipastikan bahwa masukn-va suku jawa sebagai kuli kontrak adalah disekitar tahun

itu. Kemudian bagi suku jawa yang tidak memperpanjang kontrak, memilih keluar dari
perkebunan clan membuka hutan untuk dijadikan persawahan. Pada awal abad 19 sekitar tahun
1902 clan 1904 migrasi spontan orang-orang jawa ke Deli sudah dilakukan secara mandiri, bukan
sebagai kuli kontrak. Sawah pada saat itu masih sistem pindah-pindah. Belum ada irigasi. Di Deli
orang melayu mendiami pesisir pantai, selain sebagai nelasan juga bertanam tanaman keras.
Bersamaan dengan dibuka kebun tembakau orang banten, cina dan tamil masuk sebagai tenaga
perkebunan denRan spesialisasi cocok tanam (orang jawa), bangunan bangsal (banten),
penaaturan drainase (cina), clan pengangkutan (tamil). Fase ini adalah dimulainya exodus orang
jawa dari perkebunan tembakau, dan ka_ret ke sektor tanaman pangan (padi sawah).
Exodus tahap dua pada tahun 50-an, adanya PP 10 banyak orang Cina pulang dari Aceh ke
Sumatera timur. Sudah ada transmigrasi spontan dari Jawa ke Lampung. Petani yang berhasil
mengusahakan padi sawah biasanya kembali ke pulau Jawa dan menjemput saudaranya untuk
kemudian membuka savvah baru. Di Sumatera Timur exodus orang-orang Toba ke Sumatera
Timur membuka saw-ah-sawh baru, sementara orang-orang jawa exodus ke wilayah Aceh.
Daerah persavvahan pinggir jalan raya (Deli Serdang) yang semula dimiliki oranQ Jaw-a akhirnva dijual kepada orang toba. Kebanyakan orang jawa pindah ke desa-desa _vang aaak jauh dari
jalan raya.
Exodus ketiga ketika terjadi explosi hama wereng pada tahun 1975 banv-ak petani padi sawah
yang meninggalkan desa merantau dari Deli serdang ke Labuhan Batu clan sebahaaian lagi ke
Aceh. Pada awal delapan puluhan baru mereka kembali mengusahakan sawah yang telah
ditinggalkan. Selama exodus ketika ini luasan hamparan sawah yang tetap telah diurai menjadi

bagian-baaian lebih kecil (fragmentasi). Masuknya industri telah merubah sawah menjadi
bangunan, perumahan dan lain-lain.
Tahun 1990-an terjadi lagi exodus tahap Empat, terutama ketika peristiwa Aceh meletus tahun
1999. Petani jawa dari Aceh kembali ke Sumatera timur, sementara sebahagian lagi mener uskan
merantau ke Labuhan Batu, R.iau dan Jambi. Bagi petani padi sawah di Deli Serdang kesempatan
itu dipakai sebagai momen untuk menjual sawah yang relatif sempit dan membuka lahan baru di
wilavah Riau. Pola bertani berubah dari tanaman pangan (padi sawah) ke tanaman perkebunan
kelapa sawit atau karet. Banyak yang berhasil merubah nasib kearah lebih baik. Akan tetapi tidak
sedikit pula yang tertipu diperantauan akibat membeli tanah dengan surat ganda. Akhirnya
mereka yang gagal kembaii pulang kedaerah asal dengan posisi tidak lagi memiliki tanah,
kemudian menumpang ditanah famili atau tetangga dan menempuh mata pencaharian sebagai
pekerja "mocok-mocok" dan kondisi kehidupan semakin memperihatinkan.

5

Sitor Situmorang, 1993. Guru Somalaing dan Modigliani "utusan Raja Rom-, penerbit Gratindo, Vtukti, Jakarta.

3
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara


Dari kejadian diatas, dapat disimpulkan bahwa pola ketenaga kerjaan didesa pertanian
khususnva Deli Serdang terjadi pergeseran baik dalam hal komoditi dari tanaman pangan ke
tanaman keras, dan juga alih lokasi dari Deli Serdang ke daerah lain. Akan tetapi dalam hal
etnik yang paling dominan sebagai aktor usaha tani van- melakukan exodus adalah suku Jawa
dan Batak Toba.
III. Pergeseran Angkatan Kerja Pertanian ke Non Pertanian
Menurut statistik 2002 penduduk Sumut 11.863.692 tersebar di 5.349 desa/kelurahan. Jumlah
penduduk miskin mencapai 1.883,890 orang atau 15,84%. Tingkat partisipasi angkatan kerja
pada tahun 2002 sebesar 67,39% dengan pengangguran terbuka 6,74% atau 355.000 orang.
Jumlah penduduk miskin di kota 698,830 jiwa (13,60%) dan didesa 1.185.007 jiw-a.(17,55%).
Dari angka ini dapat dilihat bahwa kemiskinan lebih besar terdapat dipedesaan. Jika asumsinya
pedesaan identik dengan pertanian, maka data diatas menjelaskan bahwa kehidupan didesa
lebih banyak yang tidak menarik dibanding dikota.6 Apakah desa tak mampu memberi lapangan
pekerjaan bagi warganya? Data global yang terjadi di negara-negara lain (Tabel 1) terbukti
bahwa sel.rtor informal kota akan naik lebih dua kali lipat (2020). Dapat diduga desa-desa
semakin ditinggalkan karena peluang mengais rezeki semakin sulit. tilungkin keadaan ini ada
hubungannya dengan pola yang berubah dalam sistem usaha tani dan penanganan usaha tani,
atau fragmentasi lahan semakin sempit, atau terlepasnya aset tanah orang desa kepada para
pendatang.
Ada baiknya program-program pengentasan kemiskinan yang dirancang pemerintah dievaluasi

sebesar apa mampu mengerem laju aliran desa ke kota. Program seperti IDT, PPK, Martabe,
JPS, PKM, Subsidi BBM, dll adalah contoh yang mewakili kegiatan tersebut.
Hasil pengamatan diseputar Deli Serdang di 4 kecamatan (Tanjung Morawa, Lubuk Pakam,
Perbaungan, dan Pantai Labu), pergeseran jenis pekerjaan didesa selama kurun 10 tahun
terakhir dapat dilihat sebagai berikut :

6

Buku statistik Sumatera Utara 2002

4
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Pergeseran jenis pekerjaan di desa
Jenis 1980- 1990
Pekerjaan di Desa:

1990-an
~
Jenis Pekerjaan di desa:


- Bertani

- Bertani

- Buruh Bangunan
- Tukang Becak
- Kedai kopi
- Tukang bajak sawah
- Beternak hewan
- dll

- Jasa tresher
- Jasa hand tractor
- Buruh Banaunan
- Tukang Becak
- Kedai kopi
- Kedai Nasi
- Bengkel motor; mobil
- Tukang olie
- Tambal ban
- Jasa Wartel
- Sewa Keyboard
- Salon kecantikan
- RBT (ojek)
- Buruh pabrik
- Tukang j ahit
- Ternak a-yam/puyuh
- Keraj inan batu-bata
- Toko Handphone
- Jasa shooting video
- Supir mobil dikota
- Merantau ke Malaysia
- dll

Bila dicermati banyaknya jenis pekerjaan setelah 1990-an sangat besar hubungan denaan
modernisasi teknologi informasi seperti warung handphone, w-artel, keyboard, danvshooting
video. Pada musim Pemilu 2004 hal yang menarik adalah banyaknya yang melihat peluang
menjadi anggota DPR sebagai jenis pekerjaan yang menggiurkan. Sehingga tidak heran jika di
desa - desa di empat kecamatan yang diamati dijumpai banyak sekali anak-anak petani yang
melamar menjadi anggota legislatif dari berbagai macam partai.
IV. Pola Bertani, Mekanisasi Dan Ketahanan Pangan
Pola bertani sekarang sudah berubah baik dalam hal kultur teknis maupun penanganan pasca
panen. Soal kultur teknis banyak pekerjaan yang selama ini ditangani tenaga manusia beralih
dengan aplikasi kimia maupun mekanisasi. Penaburan benih masih menagunakan manual, tetapi
untuk pemberantasan gulma sudah diganti dengan herbisida. Demikian pula pengolahan tanah
hampir 100% petani menggunakan mekanisasi traktor tangan. Demikian pula memanen yang
dulu menggunakan ani-ani sekarang diganti sabit. Sedangkan merontok sudah fully mekanis
denaan menggunakan tresher baik yang manual maupun bermesin. Artinya terjadi pengurangan
tenaga manusia. Dampak ini semua mengurangi kesempatan kerja dan juga hasil sampingan
seperti ternak sapi dan kerbau.

5
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Demikian halnya dengan pola ketahanan pangan. Dahulu petani akan menyimpan hasil
pertanian (panen) padi kedalam lumbuna dan digunakan untuk persediaan pangan keluarga
hingga panen tahun berikutnya. Sekarang rata-rata petani menjual seluruh hasil, dan
mendapatkan uang kontan. Untuk keperluan makan sehari-hari petani akan membeli beras dari
kilang padi. Jikapun ada petani yang menyimpan stock padi, hanya terbatas untuk keperluan
makan minimal dan dititipkan di kilang padi disekitar desanya. Dengan pola yang berubah ini,
maka istilah ketahanan pangan hanya berupa data pada statistik dinas pertanian atau Badan
Ketahanan Pan-an Pemerintah, bukan merupakan ketahanan petani secara riel dalam menjaga
keperluan pang annya.

V. Penghasilan Sebagai Petani Padi Sawah dan Pekerjaan Lain
Mengusahakan padi sawah dengan lahan milik sendiri seluas 1 ha tahun 2003 memerlukan
modal sebesar Rp 2.500.000,- Jika tidak punya sawah sendiri tetapi harus menyewa lahan milik
orang lain maka modal sewa ditambah Rp 1.500.000,- (bayar dimuka) maka total biaya menjadi
Rp 4.000.000,- Jika hasil produksi per hektar cukup baik maka akan diperoleh hasil 5 - 6 ton.
Dengan harga jual gabah mengikuti harga dasar (meskipun sangat jarang), maka perolehan
kotor adalah 5 ton x Rp 1200 = Rp 6.000.000 hingga Rp 7.200.000,- Hasil bersih setelah
dikurangi biaya jika sawah milik sendiri Rp 3.500.000 - Rp 3.700.000,- Akan tetapi jika sawah
disewa (biaya bertambah tinggi) maka penghasilan menjadi lebih kecil yakni Rp 2.000.000 - Rp
3.200:000.-permusim panen. Jika diambil rata-rata maka bagi sawah milik rata-rata petani
memperoleh Rp 875.000 -Rp Rp 925.000 perbulan, bagi sawah sewa hasil yang diperoleh Rp
500.000 hingga Rp 800.000,- perbulan. Penghasilan untuk ukuran 1 helctar ini jika dibanding
buruh kasar pekerja bangunan yang memperoleh upah Rp 25.000 perhari selama sebulan 26 HK
akan mendapat Rp 650.000 perbulan maka penghasilan buruh kasar bangunan masih lebih
tinggi. Pekerja bangunan tidak mempunyai tanggung jawab atas pekerjaan, dan tidak ikut resiko
rugi. Sedang pekerja pertanian baik milik sendiri atau menyewa masih dibayanb bayangi resiko
kerugian akibat gagal panen (banjir, kemarau, serangan hama, dll).
Dengan perbandingan seperti diatas maka dapat dipahami jika terjadi pergeseran pekerjaan dari
pertanian ke non pertanian, khususnya petani tanaman pangan. Malah sasaran utamanya alih
profesi dengan pekerjaan non formal di kota (urbanisasi harian). Cara penanggulangan agar
pertanian tetap diminati tentu saja dengan menciptakan kondisi dimana produk pertanian
mempunyai harga yang tinggi sehingga pendapatan persatuan luas dan waktu dapat
ditingkatkan. Untuk menuju kearah tersebut peran pemerintah harus cukup kuat (political will)
memiliki komitmen bagi kesejahteraan petani.
Pada petani tanaman keras mungkin keadaan tidak separah petani tanaman pangan. Akan tetapi
hal yang terlihat dilapangan bahwa pada umumnya petani tanaman keras tidak mempunyai
spesifikasi produk yang mampu bersaing, dan tiada peremajaan tanaman. Pola tanaman keras
pekarangan yang dimiliki banyak orang "melayu" kelihatannva perlu diperbaharui dengan
menerapkan konsep SDSK (satu desa satu komoditas) yang sudah terbukti berhasil diaplikasi di
propinsi Oita di Jepang. Pola Corporate Farming (konsolidasi lahan) hingga layak sebagai
kesatuan Usaha Tani, merupakan sebuah terobosan. Di Sumatera Utara pola CF sedang dicoba
di kabupaten Simalungun.

6
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara