BAB I PENDAHULUAN Infeksi Human

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun
1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang
dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan
penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.(8)
Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat, dan
saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab
kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7
juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS. (8)
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang
warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember
1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali
diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah
negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia meningkat
setelah tahun 1995. Berdasarkan pelaporan kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 hingga 31
Desember 2008 terjadi peningkatan signifikan. Setidaknya, 2007 hingga akhir Desember 2008
tercatat penambahan penderita AIDS sebanyak 2.000 orang. Angka ini jauh lebih besar dibanding
tahun 2005 ke 2006 dan 2006 ke 2007 yang hanya ratusan. Sedangkan dari keseluruhan
penderita, pada akhir 2008, AIDS sudah merenggut korban meninggal sebanyak 3.362 (20,87
persen), sedangkan mereka yang hidup adalah 12.748 (79,13 persen) orang. Untuk proporsi

berdasarkan jenis kelamin hingga kini masih banyak diderita oleh kaum laki-laki yaitu 74,9
persen, dibanding perempuan sebanyak 24,6 persen. Fakta baru tahun 2002 menunjukkan bahwa
penularan infeksi HIV di Indonesia telah meluas ke rumah tangga, sejumlah 251 orang diantara
penderita HIV/AIDS di atas adalah anak-anak dan remaja, dan transmisi perinatal (dari ibu
kepada anak) terjadi pada 71 kasus. (5), (8),(10)

Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi
pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar 83% antara
tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari
seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode
peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari
transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang
terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih
sering ditemukan pada masa remaja.(1),(2)
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada
anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda
peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan
terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri
yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar
sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan

perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.
Referat ini dibuat bertujuan supaya para pembaca mengetahui, mengenali dan memahami
infeksi HIV/AIDS pada anak yang dapat diaplikasikan dalam praktek sehari-hari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai
sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut
lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus
AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak
diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal
juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated
virus (LAV) dan AIDS-associated virus.(4)
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.(9)
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang

asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut. (9)
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu

reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada
kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan
gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein
yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan
tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan
kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol,
jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. (9)
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV

dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. (9)
2.2 PATOFISIOLOGI INFEKSI HIV
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun
akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel T helper yang
memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting
sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan
dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan
sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.(8)
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik.
Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel
limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.
Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4
pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV.
Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai
limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa.
HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon
dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6
minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome
(demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan


terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah
mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit
dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit. (1)
Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada
anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk sequence asam nukleat
dari virus, hanya (1)
Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar CD4 pada orang
dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-mediated single cell killing,
formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik yang terinfeksi maunpun yang tidak (formasi
syncytia), respon imun spesifik untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluer tergantung
antibodi), aktivasi mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV),
autoimun dan apoptosis.(1)
3 pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang
terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan
gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup
ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami
perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan
periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke
sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat

dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan
ontogenik normal sel imun, yang mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan
keadaan seperti ini menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada
48 jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan
terus meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda
dengan orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun
pertama. (1)
Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola
penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan

median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur
yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang
terinfeksi intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3 bulan
pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini
berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi
primer. (1)
Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil
( 2
minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada
PCR DNA untuk diagnosis awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur

HIV mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih
sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR
yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk
dilakukan namun kurang sensitif dibandingkan dengan uji virologis lainnya, dan tidak
direkomendasikan untuk usia (1)
Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika
pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk
darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali
hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral
blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase
chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaanpemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi yang belum
pernah diberi ASI sebelumnya. (1)
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak
terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari
empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI. (1)

2. 5 PENATALAKSANAAN
2.5.1 Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus untuk
memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan

infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis
menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan : (1),(7)
1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau
persentasenya. (7)
2. Usia
3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2
pilihan :
a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.
b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau
adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan
kepatuhan.
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah : (7)
1. Peningkatan viral load
2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori Imun
2 pada tabel 2.1)
3. Timbulnya gejala klinis(7)
Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut : (7)
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV
secara dini.
2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1

tahun
3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya
kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.
4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta
untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.

6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat
HIV
7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan
sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.
9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan
informasi dan pedoman baru.
10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku. (7)
Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan
orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan

anak yang terinfeksi HIV.(7)
Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus
tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan
tersendiri. (7)
Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang
menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat
serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa. (7)
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia: (7)
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog
nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini
diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine
(AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir
(ABC). (7)
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI
walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini
termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV). (7)
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai
panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk

Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV, Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV),

dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r). (7)

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :
Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari
Kolom B
Kolom A

Kolom B

Nevirapine (NVP)

AZT + ddl

Nelfinavir (NVF)

ddl+3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
d4T + 3TC

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease inhibitor dengan 2NRTIs.
Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atau zidovudine
dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua
dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai
pilihan utama dengan 2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling
direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan
efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang
dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimen nonnucleoside terpiliih adalah
2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah
zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.
2.5.2 Pemantauan pengobatan
Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat : (7)
1. Kepatuhan minum obat.

2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu
sendiri.
Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya
setiap 3 bulan sekali.
Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART: (7)
1. Secara klinis
a. Berat badan meningkat
b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat
c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu,
demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah,
kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan
penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes
jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat
dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total. (7)
2.5.3 Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART
Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih obat
dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas. (7)
Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian
terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi
diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan
apabila : (7)
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi
atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi
kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.
3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggu
4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali
kekebalan. (7)

2.5.4 Asuhan Gizi
Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV.
Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini
berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia,
gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan
muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik
maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS. (7)
Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi
ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opoortunistik
dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat
lambung kosong. (7)
Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara
oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian
stimulan nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth hormone dapat
memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan. (7)
Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat
drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein
dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine. (7)
Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan
pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak
memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan
cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66 OC untuk membunuh virus
HIV. (7)
Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :
1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi atau ibu yang
tidak diketahui status HIV-nya.

2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan susu
formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.
3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan kemudian
segera dihentikan untuk diganti dengan PASI. (7)
2.6 PROGNOSIS
Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko perjalanan
penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal berhubungan dengan
terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya
jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi
berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan.
Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendah.(2)
2.7 PENCEGAHAN
Edukasi dan konseling pasien yang terdeteksi terinfeksi HIV. Infeksi HIV yang muncul
pada wanita biasanya karena pengguna obat-obatan dan pasangan seksual laki-laki yang resiko
tinggi. Sehingga dibutuhkan pendidikan seks yang baik dan sehat. Konseling juga jangan hanya
membahas tentang modifikasi stress namun juga memodifikasi perubahan gaya hidup melalui
pesan-pesan budaya dan religi.(3)
Perlu dilakukan uji tapis serologis bagi darah pendonor dan pengawasan serta perlakuan
yang lebih ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan pada
anak yang perlu mendapat transfusi atau pemberian bahan yang berasal dari darah berulangulang atau daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.(4)
Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja, perlu dipikirkan strategi
penerapannya di sekolah dan akademi dan untuk remaja yang berada di luar sekolah.(5)
Transmisi vertical dapat dicegah dengan memberikan terapi antiretrovirus pada ibu
selama kehamilan dan memberikan profilaksis pada bayinya yang baru lahir. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV sebaiknya diberikan terapi kombinasi 3 (tiga) obat. Terapi kombinasi dapat
membuat supresi virus (2)

BAB III
KESIMPULAN
Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan saat
menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak akan
melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun pertama kehidupannya, bila tidak
diberi ART. Namun pada sebagian besar anak dengan HIV, perkembangan penyakit akan lebih
pelan, dan ada harapan mereka dapat tahan hidup tanpa ART selama 8-9 tahun atau lebih.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya
bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas kesehatan
baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.