IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEMBANGUNAN PASAR KOTA METRO (PEMBANGUNAN KAWASAN NIAGA METRO MEGA MALL) DI KOTA METRO TAHUN 2010

(1)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF POLICY OF METRO CITY MARKET DEVELOPMENT ARRANGEMENT (DEVELOPMENT OF COMMERCIAL AREA METRO MEGA MALL) IN METRO CITY

YEAR 2010

By

FRANSISKA YULIANTI SARI

The implementation of policy of Metro City market development arrangement (development of commercial area metro mega mall) is a policy made by Metro City government so that Metro City has a more ideal and tidy market. Due to market condition, particulary Shopping Centre owned by Metro City Right to build (HGB) in land management right (HPL) which expired in 2000; from terms of aesthetics, this Shopping Centre area is no longer reflecting market city design; in park area particulary many street vendors and traders are selling on the street which disturbing the traffic, hygine and beauty of the city. To do development of commercial area metro mega mall, government of Metro City in cooperation with investor which is PT. Nolimax Jaya. But in practice, this development got the refusal from traders who are located at Shopping Centre that resulted the process of development becomes not running smoothly.

By using qualitative descriptive type with interview techniques, observation, and documentation, researcher desribes the implementation of policy of metro city market development arrangement (development of commercial area metro mega mall) in metro city year 2010. this research uses focus taken from model Edward III, which are: (1) communication, (2) sources, (3) tendencies, (4) bureaucratic structure.

Result shows that implementation of policy of Metro City market development arrangement by built commercial area metro mega mall is not running smoothly, because it got the refusal from the trades. This is caused by communication factor with socialization to the traders is not maximum, facilities such as temporary shelters for the traders is not provided, lack of support from the traders, shop rent in commercial area metro mega mall is too expensive for traders, and violation of


(2)

Conclusion is that process of the implementation of development commercial area metro mega mall in metro city year 2010 is not running smoothly. To improve the implementation of development commercial area metro mega mall, Metro City government and PT. Nolimax should: (1) held the four elements meeting, which are Metro City government, regional parliamentary, PT. Nolimax and traders; (2) provided temporary shelter for traders; (3) held a forum for the community’s aspiration traders; (4) conducted a study on the economic ability of the traders so that shop rent in commercial area metro mega mall can adjust to the ability of traders.


(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEMBANGUNAN PASAR KOTA METRO

(PEMBANGUNAN KAWASAN NIAGA METRO MEGA MALL) DI KOTA METRO TAHUN 2010

Oleh

FRANSISKA YULIANTI SARI

Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall) adalah kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Metro agar Kota Metro memiliki pasar yang lebih ideal dan rapi. Karena kondisi pasar khususnya Shopping Center yang dimiliki Kota Metro HGB (Hak Guna Bangunan) diatas HPL (Hak Pengelolaan Lahan) telah berakhir tahun 2000; dari segi estetika kota, area Shopping tidak lagi mencerminkan disain pasar kota; di area taman parkir khususnya banyak pedagang kaki lima dan hamparan yang berjualan di badan jalan yang mengganggu kelancaran lalu lintas, kebersihan dan keindahan kota. Untuk melakukan Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall ini Pemerintah Kota Metro bekerjasama dengan investor yakni PT. Nolimax Jaya. Namun dalam pelaksanaannya pembangunan ini mendapat penolakan dari para pedagang yang berada di lokasi Shopping Center yang mengakibatkan proses pembangunan menjadi tidak lancar.

Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara, observarsi dan dokumentasi, peneliti mendeskripsikan Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall) di Kota Metro Tahun 2010. Penelitian ini menggunakan fokus yang diambil dari Model Edwards III, yaitu: (1) Komunikasi, (2) Sumber-Sumber, (3) Kecenderungan-Kecenderungan, (4) Stroktur Birokrasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dengan membangun Kawasan Niaga Metro Mega Mall tidak berjalan dengan lancar karena mendapat penolakan dari para pedagang. Hal ini disebabkan oleh faktor komunikasi dengan jalan sosialisasi kepada para pedagang belum maksimal, fasilitas berupa tempat penampungan sementara bagi para pedagang tidak disediakan, tidak adanya dukungan dari para pedagang, harga


(4)

mundur selama dua tahun.

Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa proses Implementasi Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall) di Kota Metro tahun 2010 tidak berjalan dengan lancar. Untuk memperbaiki Implementasi Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall hendaknya Pemerintah Kota Metro dan PT. Nolimax : (1) mengadakan pertemuan 4 elemen, yakni Pemerintah, DPRD, PT. Nolimax dan pedagang, (2) menyediakan tempat penampungan sementara bagi para pedagang, (3) adanya forum bagi aspirasi masyarakat pedagang, (4) adanya studi mengenai kemampuan ekonomi para pedagang sehingga harga ruko dan kios di kawasan Niaga Metro Mega Mall dapat menyesuaikan dengan kemampuan para pedagang.

Kata Kunci: Implementasi, Kawasan Niaga, Metro Mega Mall.


(5)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan. Otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kini telah direvisi menjadi Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah maka daerah diberikan hak, kewenangan dan kewajiban oleh pusat untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan ini merupakan hasil dari suatu kebijakan publik.

Kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang diambil oleh seorang atau sekelompok aktor politik mengenai tujuan yang ingin dicapai dimana disertai


(6)

dengan tata cara untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Anderson (Winarno, 2008:18) kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Ini berarti bahwa kebijakan publik itu memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan.

Kebijakan publik tidak terbentuk begitu saja, melaikan melalui beberapa proses. Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks, dimana melibatkan banyak proses maupun variabel. Kebijakan publik itu muncul diawali dengan adanya tuntutan dan dukungan dari masyarakat atau negara, dimana tuntutan dan dukungan ini kemudian diproses di dalam suatu sistem politik dan menghasilkan suatu output yaitu penetapan kebijakan publik yang dapat berupa suatu surat keputusan presiden, peraturan perundangan dan lain sebagainya.

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit apabila program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh sebeb itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi, agen-agen pemerintah ataupun melibatkan pihak swasta. Maka suatu kebijakan publik sangatlah penting untuk diimplementasikan, agar masyarakat dapat merasakan tujuan daripada dibentuknya suatu kebijakan ini.

Berdasarkan undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang nomor 12 tahun 2008, maka Kota Metro


(7)

mempunyai hak untuk membuat kebijakan guna mewujudkan suatu tujuan yang dicita-citakan. Kota Metro merupakan kota yang memiliki penduduk sekitar 152 ribu jiwa dengan mata pencaharian paling besar berada di sektor jasa (28,56%) (sumber: www.kotametro.go.id diakses tanggal 9 febuari 2010). Maka dari itu Kota Metro diarahkan untuk menjadi kota jasa. Untuk mewujudkan Kota Metro agar menjadi kota jasa maka perlu didukung oleh infrastruktur yang memadai. Untuk itu kota Metro memerlukan adanya infrastuktur yang lebih baik, dimana infrastruktur ini mencakup ruang-ruang aktifitas bagi masyarakat seperti ruang perdagangan, perkantoran, rekreasi, dan sebagainya.

Pembangunan infrastruktur ditempuh Pemerintah Kota Metro dalam penataan kawasan pusat kota. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Daerah Kota Metro memiliki area perdagangan yang berada di pusat kota, namun tampilan dari kawasan ini sudah jauh dari representasi sebuah kawasan di pusat pertokoan. Selain alasan tampilan kawasan pusat perdagangan yang jauh dari representasi sebuah kawasan di pusat pertokoan, alasan lain pemerintah melakukan penataan kawasan ini adalah karena kondisi pasar yang dimiliki Kota Metro, yakni area Shopping Center kondisinya HGB (Hak Guna Bangunan) diatas HPL (Hak Pengelolaan Lahan) telah berakhir tahun 2000; dari segi estetika kota, area Shopping tidak lagi mencerminkan disain pasar kota; khususnya taman parkir banyak pedagang kaki lima dan hamparan yang berjualan di badan jalan (Jalan Cut Nyak Dien, Jalan Agus Salim, Jalan Kh. Arsyad) yang mengganggu kelancaran lalu lintas, kebersihan kota dan keindahan kota. Maka rencana penataan ini dimulai dari penataaan area seluas 2,4Ha (meliputi pasar Shopping,


(8)

taman parkir dan ruko-ruko blok B dan C) dengan konsep urban renewal, membongkar dan membangun kembali tanpa merubah fungsi yang sudah ada saat ini, yaitu fungsi perdagangan dan jasa (sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007). Oleh karena itu Pemerintah Daerah mengajak pihak swasta selaku investor untuk melakukan penataan kawasan ini sehingga dapat tampil lebih nyaman, rapi, dan segar sebagai representasi pusat perdagangan di pusat kota.

Keinginan Pemerintah Kota Metro dalam penataan pembangunan pasar Kota Metro ini dituangkan di dalam:

1. SK nomor 173/KPTS/D.10/2007 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro.

2. Surat nomor 800/651/DPRD/2007 tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro.

3. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Metro dengan PT. Nolimax Jaya nomor 20/KSAD-L/02/2007, dan nomor 167/PKS/NJ/2007 yang kemudian dibuat perjanjian tambahan (addendum) dengan nomor 20/KSDD-D/07/2009 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Kios, Ruko dan Hamparan beserta Fasilitas Penunjangnya diatas tanah seluas 2,4 Ha yang terletak di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall).

Tim evaluasi penataan pembangunan pasar Kota Metro yang dibentuk berdasarkan SK nomor 173/KPTS/D.10/2007 ini bertugas melaksanakan pembahasan teknis terhadap ekspose calon investor yang berminat; analisa dan


(9)

evaluasi terhadap proposal calon investor; pendataan dan kunjungan lapangan sebagai bahan untuk melengkapi hasil evaluasi; melaporkan hasil evaluasi secara tertulis kepada Walikota.

Sebelum melaksanakan penataan pembangunan pasar Kota Metro tersebut, Pemerintah Kota Metro meminta persetujuan kepada Ketua DPRD Kota Metro, dengan surat nomor 800/1228.1/D.10/2007 tentang Persetujuan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro. Kemudian permohonan persetujuan penataan pembangunan pasar Kota Metro ini disetujui DPRD dengan dikeluarkannya surat nomor 800/651/DPRD/2007 tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007). Pemerintah Kota Metro bekerjasama dengan investor yaitu PT. Nolimax dalam Pelaksanaan Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro. Dalam penataan pembangunan pasar Kota Metro semua golongan pedagang (kuat, menengah dan lemah) tetap tertampung di dalam kawasan penataan ini.

Kawasan niaga ini diberi nama Metro Mega Mall. Penataan kawasan niaga ini didasarkan pada Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Metro dengan PT. Nolimax Jaya nomor 20/KSAD-L/02/2007, dan nomor 167/PKS/NJ/2007 yang kemudian dibuat perjanjian tambahan (addendum) dengan nomor 20/KSDD-D/07/2009 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Kios, Ruko dan Hamparan beserta Fasilitas Penunjangnya diatas tanah seluas 2,4 Ha yang terletak di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall). Addendum dilakukan apabila pada saat kontrak berlangsung ternyata


(10)

terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat.

Kawasan Metro Mega Mall menempati lahan seluas 2,4 Ha. Lokasinya berada di pusat Kota Metro. Lahan ini dikelilingi oleh jalan dan dilalui Jalan Sudirman sebagai jalan protokol Kota Metro sehingga Kawasan Metro Mega Mall ini mudah untuk diakses oleh daerah-daerah lain di luar Kota Metro.

Dalam proses pelaksanaannya, pembangunan Metro Mega Mall dibangun melalui 2 (dua) tahap, dimana berdasarkan PKS (Perjanjian Kerja Sama) yang telah di

addendum (dibuat perjanjian tambahan) pembangunan tahap pertama

direncanakan selesai pada 19 Desember 2010 dan tahap kedua akan selesai pada 19 Desember 2013 (sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007).

Penataan Kawasan Niaga dengan Pembangunan Metro Mega Mall ini telah memasuki tahap pertama. Berdasarkan hasil observarsi peneliti selama Prariset pembangunan Metro Mega Mall tahap pertama telah dilaksanakan di daerah bekas taman parkir. Pemerintah Kota Metro atas nama Walikota Metro mengeluarkan SK nomor 28/KPTS/D-10/2009 tentang penghapusan bangunan pertokoan taman parkir jalan Sudirman dan jalan Baru terdiri dari 58 (lima puluh delapan) ruko serta penghapusan sebagian jalan KH. Arsyad dari buku induk inventaris Pemerintah Kota Metro tahun anggaran 2009 guna melancarkan proses pembangunan.


(11)

Namun pada kenyataan pelaksanaan pembangunan ini menuai banyak masalah. Pembangunan tahap pertama ini pun mendapat penolakan dari para pedagang yang menjadi sasaran kebijakan, sehingga pelaksanaan implementasi kebijakan ini menjadi tidak lancar. Untuk menyikapi hal ini maka pemerintah memberhentikan sementara pembangunan Metro Mega Mall dengan mengeluarkan SK Walikota Metro Nomor 800/69/07/2009 tanggal 2 November 2009 tentang Penghentian Sementara Pembangunan Metro Mega Mall. Namun yang terjadi hingga kini pembangunan Metro Mega Mall tetap dijalankan meski adanya kontra di masyarakat kelompok sasaran (pedagang).

Perubahan yang diinginkan dengan adanya kebijakan penataan pembangunan pasar Kota Metro (Kawasan Niaga Metro Mega Mall) ini adalah sebenarnya agar Kota Metro dapat memiliki pasar yang lebih baik dan ideal serta modern. Sasarannya adalah masyarakat, masyarakat sebagai pihak penjual atau para pedagang. Tingkat perubahan perilaku yang hendak dicapai pada kelompok sasaran, merupakan cara lain bagaimana isi kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi. Begitu juga halnya dengan Kebijakan Penataan Kawasan Niaga Metro Mega Mall ini, walaupun dalam konsepnya, pembangunan Metro Mega Mall ini begitu baik, namun tidak dalam implementasinya. Karena kebijakan yang dibuat Pemerintah daerah Kota Metro ini dirancang untuk menciptakan perubahan jangka panjang menimbulkan perubahan cukup besar di masyarakat, pada umumnya akan relatif sulit diimplementasikan dibanding program yang dirancang untuk mencapai perubahan yang sederhana (Wiyoto 2005: 49).


(12)

Adanya kesenjangan antara desain kebijakan dengan pelaksanaan di lapangan yang kemudian menjadi dasar perlu dilakukan penelitian terhadap implementasi kebijakan penataan pembangunan pasar Kota Metro (Kawasan Niaga Metro Mega Mall) ini. Sehingga dari hasil penelitian ini dapat diketahui permasalahan yang muncul ketika kebijakan ini dijalankan.

I.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall)?”

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan proses dari Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall) di Kota Metro tahun 2010.

I.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya wacana pengetahuan peneliti dan kajian Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam bidang Implementasi Kebijakan Publik.


(13)

2. Secara praktis dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi Pemerintah Kota Metro dan PT. Nolimax Jaya dalam Implementasi Kebijakan Penataan Pasar Kota Metro (Kawasan Niaga Metro Mega Mall) di Kota Metro.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Tentang Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan

Kebijaksanaan (policy) memiliki arti yang bermacam-macam. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan (Islamy, 2003:16) mendifinisikan kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.

Sedangkan menurut Friedrich (Wahab,2004:3) mengatakan bahwa Kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Kemudian Anderson (Wahab,2004:2) merumuskan kebijaksanaan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.


(15)

Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya policy (kebijakan) adalah suatu tindakan sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) yang diarahkan untuk pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

II.1.2 Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Thomas Dye (Nugroho, 2008: 54) menjelaskan bahwa Kebijakan Publik meliputi apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public policy is whatever governments choose to do or not to do ).

Sedangkan menurut David Easton (Nugroho, 2008: 54) mendefinisikan kebijakan publik sebagai akibat aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Kemudian menurut George C. Edwards III dan Ira Sharkansky (Islamy, 2003:18) mengartikan kebijakan publik sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah.

Kemudian menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan (Nugroho, 2008:53) mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices).


(16)

Begitu pula yang dijelaskan Anderson (Wahab, 2004:5) bahwa Kebijakan Publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: Kebijakan Publik memiliki tujuan tertentu, berisi tindakan-tindakan pemerintah, merupakan hal yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bukan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan, bisa bersifat positif (tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu), Kebijakan Publik dalam arti positif setidak-tidaknya didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Istilah kebijakan sering dipertukarkan penggunaannya dengan tujuan, program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar (Wahab, 2004:1)

Dari beberapa definisi kebijakan publik menurut ahli di atas, maka kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program-program yang dibuat oleh pemerintah, dimana program-program ini memiliki tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.

II.1.3 Ciri-Ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan negara bersumber pada kenyataan bahwa kebijaksanaan itu dirumuskan oleh apa yang oleh Easton disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam


(17)

sistem politik. Sehingga mereka bertanggung jawab atas urusan-urusan politik tersebut dan berhak untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu sepanjang tindakan-tindakan tersebut masih berada dalam batasan peran dan kewenangan mereka. Sehingga penjelasan tersebut membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijaksanaan negara, (Wahab, 2004: 5-7) yaitu:

1. Kebijaksanaan negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan negara dalam sistem politik modern pada umumnya bukanlah merupakan tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan.

2. Kebijaksanaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri.

3. Kebijaksanaan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.

4. Kebijaksanaan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam bentuknya yang positif, kebijaksanaan negara mungkin mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah-masalah tertentu, sementara dalam bentuknya yang negatif, ia kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan tindakan apapun dalam maalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.


(18)

II.1.4 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Proses-proses penyusunan kebijakan publik tersebut dibagi kedalam beberapa tahapan. Tahapan-tahapan dalam kebijakan publik adalah sebagai berikut (Winarno,2008:32-34):

1. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options). Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan, masing-masing alternatif bersaing untuk dapat


(19)

dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap Penilaian Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah


(20)

yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

II.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan publik adalah tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 1990:123) menerangkan bahwa dengan mengimplementasikan kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijaksanaan negara, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengimplementasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.

Implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan suatu cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan dari konsep kebijakan publik yang dibuat. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada2 (dua) pilihan langkah yang dilakukan (Naihasy, 2006:128), yaitu: (1) Langsung mengimplementasikan ke dalam bentuk program-program, atau; (2) Melalui formulasi kebijakan deriverat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.


(21)

Implementasi kebijakan jika dipandang dalam pengertian yang luas merupakan tahap dari proses kebijakan setelah penetapan undang-undang. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan. Grindle (Wiyoto, 2005:31) memformulasikan pengertian implementasi kebijakan sebagai upaya menciptakan keterkaitan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik dapat diwujudkan sebagai hasil aktivitas pemerintah.

Grindle (Wahab, 2004:59) juga memandang bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijaksanaan. Oleh karena itu implementasi merupakan tahap yang penting dari keseluruhan proses kebijaksanaaan.

Kemudian Ripley dan Franklin (Winarno, 2008:145) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.


(22)

Seiring dengan definisi di atas, Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2008:146) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Sementara itu, Jones (Widodo, 2001:191-192) merumuskan batasan implementasi sebagai suatu proses mendapatkan sumber daya tambahan, sehingga dapat menghitung apa yang harus dikerjakan. Ia juga menambahkan bahwa dalam implementasi tersebut, tidak kurang dari suatu tahap dari suatu kebijakan yang paling tidak memerlukan dua macam tindakan berurutan. Pertama, merumuskan tindakan yang akan dilakukan. Kedua, melaksanakan tindakan apa yang telah dirumuskan tadi.

Dengan demikian, maka penulis menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, individu-individu atau kelompok swasta dengan mengerahkan seluruh sumber-sumber yang ada (dana, SDM, kemampuan organisional) setelah suatu program ditetapkan, dimana tindakan ini diarahkan untuk mencapai hasil-hasil atau tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai.

II.2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik

Terdapat banyak model implementasi kebijakan publik yang disajikan oleh para ahli. Pada dasarnya, menurut Wahab (2004:70) penggunaan model implementasi kebijakan untuk keperluan analisis dalam suatu penelitian akan tergantung


(23)

kompleksitas permasalahan-permasalahan kebijakan yang akan dikaji serta tujuan dan analisis itu sendiri. Semakin kompleks masalah kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model relatif operasional, dimana nantinya model yang dipilih akan mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus analisis.

Berbagai model implementasi kebijakan publik memiliki perbedaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Model implementasi yang pertama adalah model implementasi milik Donald Van Meter dengan Carl Van Horn (Nugroho, 2004:167). Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel: (1) aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi, (2) Karakteristik dari agen pelaksana/implementator, (3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik, (4) Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor.

Kemudian model Hogwood dan Gunn (Nugroho, 2008:443) mendasarkan pada konsep manajemen strategis yang mengarah pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok. Kelemahannya, konsep ini secara tidak tegas menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis, dan teknis atau operasional. Model Mazmanian dan Sabatier (Riant Nugroho, 2008:440) disebut sebagai model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis). Selanjutya model Merilee S. Grindle (Nugroho,


(24)

2004:174) yang ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

Selanjutnya terdapat model Edward III (Nugroho, 2008:447) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation (kurangnya perhatian dari implementasi). Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers will not be carried out successfully (tanpa implementasi yang efektif, pembuat kebijakan tidak akan berjalan lancar). Edward menyarankan untuk memerhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau kecenderungan, dan yang terkhir struktur birokrasi.

II.2.2 Implementasi Kebijakan Publik Dalam Perspektif George Edward III

Penelitian ini menggunakan model Implementasi milik Edward untuk mengukur implementasi kebijakan publik. Alasan peneliti menggunakan model implementasi milik Edwards adalah karena model ini sesuai dengan keadaan atau kondisi yang ada di dalam implementasi kebijakan pembangunan metro mega mall yaitu khususnya faktor komunikasi kebijakan pada saat kebijakan diimplementasikan, selanjutnya dengan mengunakan indikator faktor sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan dan struktur birokrasi dapat diketahui mengapa Implementasi Pembangunan Metro Mega Mall berjalan tidak baik.


(25)

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration (administrasi publik) dan public policy (kebijakan publik). Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Menurut Edwards ada 4(empat) faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik untuk menilai apakah kebijakan itu berhasil atau gagal (Winarno, 2008: 174), yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi atau kecenderungan, dan yang terakhir struktur birokrasi.

a. Komunikasi

Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomuniksikan pada organisasi dan atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementros) (Widodo, 2009:97).


(26)

Edwards (Winarno, 2008: 175) membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana (implementers) kebijakan, tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan tadi, oleh karena itu, dimensi komunikasi mencakup transformasi kebijakan, kejelasan dan konsistensi (Widodo, 2009:97).

Transmisi merupakan faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan. Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak yang terkait dengan kebijakan. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah jalan.

Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana nampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Kejelasan merupakan faktor kedua yang dikemukakan Edwards III (Winarno, 2008: 177). Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang


(27)

diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

Konsistensi merupakan faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah-perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

Di sisi lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada ketidakefektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.

Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi, maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan. Dalam situasi seperti ini, penyimpangan-penyimpangan transmisi merupakan sebab utama bagi kegagalan implementasi.


(28)

b. Sumber Daya (Resources)

Berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out (melaksanakan) kebijakan secara efektif (Nugroho, 2008: 447) Sumber daya yang penting menurut Edwards III (Winarno, 2008: 181) meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, informasi, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.

Staf merupakan sumber daya utama dalam implementasi kebijakan. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi, salah satunya disebabkan oleh staf atau pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan staf atau implementator saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan. Selanjutnya adalah fasilitas fisik. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementator mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi tersebut tidak akan berhasil.


(29)

c. Disposisi (Disposition)

Berkenaan dengan kesediaan dari para implementator untuk carry out (melaksanakan) kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

Edwards III (Widodo, 2009:104) menegaskan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana para pelaku kebijakan (implementors) mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Disposisi merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.

Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diingini oleh pembuat kebijakan. Demikian pula sebaliknya, apabila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.

Menurut Edwards III (Winarno, 2008:194), banyak kebijakan yang masuk ke dalam ”zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Kecenderungan-kecenderungan mungkin menghalangi


(30)

implementasi bila pelaksana benar-benar tidak sepakat dengan substansi suatu kebijakan.

Individu-individu di luar sektor pemerintahan juga mempunyai pengaruh bagi implementasi kebijakan. Sebagian besar penduduk yang terlibat dalam pelaksanaan satu atau lebih kebijakan dan usaha-usaha pelaksanaannya pada umumnya tidak sangat nampak. Dengan demikian potensi untuk melakukan kesalahan dalam implementsi dalah besar jika warganegara-warganegara tidak menyetujui suatu kebijakan. Kecenderungan-kecenderungan dari para individu swasta terhadap tipe-tipe tertentu dari sistem-sistem pemberian pelayanan mungkin juga menghalangi pelaksanaannya karena mencegah orang-orang mengambil keuntungan dari manfaat-manfaat yang ada.

d. Struktur Birokrasi

Berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif.

Menurut Edwards III (Winarno, 2008: 203) ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yaitu, prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite


(31)

legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi-organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.

1. Standar Operating Procedure (SOP)

Salah satu struktur paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur dasar kerja (Standar Operating Prosedure). Dengan menggunakan Standar Operating Prosedure para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia, selain itu SOP juga menyeragami tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan.

2. Fragmentasi

Fragmentasi merupakan pembagian tanggungjawab sebuah bidang kebijakan diantara unit-unit organisasi. Konsekuensi paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda mendorong birokrat untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Fragmentasi menyebabkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi kebijakan. Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu bidang


(32)

kebijakan terpecah-pecah. Kedua, pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan pelaksana mungkin juga akan menghambat perubahan. Bila suatu badan memiliki fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan tersebut akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.

II.3 Tinjauan Tentang Kebijakan Pembangunan Metro Mega Mall

II.3.1 Latar Belakang Kebijakan

1. Pemenuhan infrastruktur dan fasilitas kota yang memadai seperti perdagangan, perkantoran, rekreasi, dan sebagainya.

2. Kondisi pasar khususnya Shoping Center dan Ruko juga Taman Parkir yang terletak di jantung kota kondisinya:

1) HGB diatas HPL telah berakhir tahun 2000

2) Fisik pasar yang tidak layak lagi karena telah berumur 28 tahun

3) Dari segi estetika Kota, Shoping tidak lagi mencerminkan disain pasar Kota

4) Khususnya taman parkir banyaknya pedagang kaki lima dan hamparan yang berjualan di Badan Jalan (Jl. Cut Nyakdien, Jl. Agus Salim, Jl. Kh. Arsyad), yang mana mengganggu kelancaran lalu lintas, kebersihan kota dan keindahan kota. (sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007)


(33)

II.3.2 Dasar Pelaksanaan

1. Pembentukan TIM: SK Walikota Metro Nomor: 173/KPTS/D.10/2007, tanggal 26 Juni 2007

2. Persetujuan DPRD Kota Metro Nomor : 800/651/DPRD/2007, tanggal 22 November 2007

3. Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Daerah Kota Metro dengan PT. Nolimax Jaya Nomor 20/KSAD-L/02/2007, dan nomor 167/PKS/NJ/2007, Tanggal 19 Desember 2007.

(sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007)

II.3.3 Manfaat dan Tujuan

1. Meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat perkotaan, menambah ruang perdagangan yang memadai dan ruang perkantoran

2. Meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota Metro 3. Memperluas akses ekonomi dan memperluas lapangan pekerjaan.

(sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007)

II.3.4 Tahapan-Tahapan Rencana Pelaksanaan Metro Mega Mall

1. Tahapan yang akan dilalui sebelum proyek dilaksanakan:

 Mengadakan sosialisasi kepada pedagang Ruko, toko, dan kaki lima secara berkelanjutan khusus membicarakan masalah pembangunan dan harga jual.


(34)

2. Proses penunjukkan calon investor:

 Pengajuan proposal dari pengembang kepada pemerintah

 Melakukan ekspose

 Melakukan evaluasi tim

 Pengajuan persetujuan kepada DPRD Kota Metro

 Penandatanganan PKS (Perjanjian Kerja Sama).

(sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007)

II.3.5 Tahapan Proses Pembangunan Metro Mega Mall

a) Metro Mega Mall tahap I

Metro Mega Mall tahap pertama ini dibangun diatas lahan seluas 1,2 Ha, dimana sebelah barat berbatasan dengan Jalan KH. Arsyad dan sebelah Selatan dengan Jalan Jendral Sudirman. Diatas lahan bekas Taman Parkir dan Ruko berjumlah 58 unit yang berada di sepanjang Jalan Jendral Sudirman terdiri dan disepanjang jalan Baru.

Area tahap pertama ini terdiri dari Ruko dan Pasar Modern, yang dilengkapi juga oleh fasilitas umum seperti kantor pengelola, parkir, toilet umum, mushola dan gardu keamanan. Pembangunan Metro Mega Mall Tahap Pertama ini terdiri dari: a. - 70 Unit Ruko 3 Lantai ukuran (4,5 x 16) m

- 1 Unit Ruko 3 Lantai ukuran ( 5 x 16) m - 2 Unit Ruko 3 Lantai ukuran ( 7 x 16) m

b. - 18 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,5 x 3,5) m - 17 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,5 x 3 ) m


(35)

- 10 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,5 x 2,8) m - 91 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,5 x 2,5) m - 10 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,4 x 2,5) m - 4 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,3 x 2 ) m - 8 Unit kios 1 Lantai ukuran ( 2 x 1,7 ) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,8 x 2,5 ) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,8 x 2 ) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran (4,4 x 3 ) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran (4,5 x 3 ) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran (3,8 x 2,9) m -108 Unit hamparan 1 Lantai (1,6 x 1,5) m

b) Metro Mega Mall tahap II

Metro Mega Mall tahap II ini rencana akan dibangun di atas lahan seluas 1,2 Ha setelah pembangunan tahap I selesai. Lokasinya di Shopping Center, dengan batas sebelah barat berbatasan dengan jalan Baru, sebelah timur dengan Jalan Imam Bonjol, sebelah utara dengan Jalan KH. Arsyad dan sebelah selatan dengan jalan Jendral Sudirman. Diatas lahan bekas Taman Parkir. Area tahap kedua ini terdiri dari Ruko, Mall dan area kios pedagang kaki lima, yaitu:

a. - 13 Unit Ruko 3 Lantai ukuran (4,5 x 14,5) m - 1 Unit Ruko 3 Lantai ukuran ( 7 x 14,5) m - 7 Unit Ruko 3 Lantai ukuran ( 6 x 14,5) m - 1 Unit Ruko 3 Lantai ukuran (7,5 x 14,5) m


(36)

b. - 27 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,25 x 3,1) m - 26 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,25 x 2,8) m - 315 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,25 x 2,5) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran ( 3,1 x 3,1) m - 4 Unit kios 1 Lantai ukuran ( 3,5 x 2,5) m - 54 Unit kios 1 Lantai ukuran ( 2,5 x 2,5) m - 10 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,09 x 2,25) m - 7 Unit kios 1 Lantai ukuran (2,32 x 2,17) m - 1 Unit kios 1 Lantai ukuran (6,5 x 1,9) m c. - Mall dengan luas bangunan kurang lebih 22.901 m2

(terdiri dari Basement lantai 1, 2, 3, + Mushola dan servise di lantai atap) (sumber: addendum PKS Pemkot Metro dan PT. Nolimax)

II.4 Kerangka Pikir

Metro adalah kota baru yang mempunyai akses dengan jalur lalu lintas Sumatra, artinya suatu kota yang mempunyai lokasi strategis. Penduduk Metro sekitar 152 ribu jiwa yang terdiri dari petani, pegawai, usahawan/pelaku jasa yang mana dengan mengarah pada kota yang mempunyai arah kegiatan jasa (sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2008). Untuk itu, kota Metro harus didukung oleh sarana dan prasarana pusat jasa yang memadai dan yang baik. Namun, kondisi pasar yang dimiliki kota Metro, yakni Shopping Center adalah HGB (Hak Guna Bangunan) diatas HPL (Hak Pengelolaan Lahan) telah berakhir tahun 2000; dari segi estetika Kota, area Shopping tidak lagi mencerminkan disain pasar Kota; khususnya taman parkir banyaknya pedagang kaki lima dan hamparan


(37)

yang berjualan di badan jalan (Jalan Cut Nyak Dien, Jalan Agus Salim, Jalan Kh. Arsyad) yang mana mengganggu kelancaran lalu lintas, kebersihan kota dan keindahan kota (sumber: Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007). Maka Pemerintah Kota Metro mengeluarkan kebijakan penataan pembangunan pasar Kota Metro dengan membangun Kawasan Niaga Metro Mega Mall. Rencana penataan ini dimulai dari penataaan area seluas 2,53Ha (meliputi pasar Shopping, taman parkir dan ruko-ruko blok B dan C) dengan konsep urban renewal, membongkar dan membangun kembali tanpa merubah fungsi yang sudah ada saat ini, yaitu fungsi perdagangan dan jasa.

Untuk melaksanakan kebijakan ini, Pemerintah Kota Metro bekerja sama dengan PT. Nolimax selaku pengembang Pembangunan Metro Mega Mall. Namun dalam proses implementasinya berbagai masalah muncul menyebabkan sasaran atau tujuan yang telah digariskan pada saat perumusan kebijaksanaan tidak dapat terwujud dengan sempurna. Dari hal tersebut maka peneliti merasakan perlu diadakan suatu penelitian untuk melihat proses implementasi Kebijakan Penaaan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall).

Penelitian ini menggunakan Model Edward untuk mengukur implementasi kebijakan publik. Alasan peneliti menggunakan model implementasi milik Edwards adalah karena model ini sesuai dengan keadaan atau kondisi yang ada di dalam implementasi kebijakan pembangunan metro mega mall yaitu komunikasi kebijakan pada saat kebijakan diimplementasikan. Sehingga dengan menggunakan


(38)

model ini akan mempermudah peneliti dalam menjawab rumusan masalah dari penelitian ini berupa : ”Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall) di Kota Metro Tahun 2010?”


(39)

Bagan 1. Kerangka Pikir

Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawan Niaga Metro Mega Mall) di Kota Metro

Kebijakan penataan pembangunan pasar kota Metro: 1. SK no 173/KPTS/D.10/2007

2. Surat DPRD no 800/651/DPRD/2007 3. PKS No. 20/KSAD-L/02/2007, dan nomor

167/PKS/NJ/2007 addendum no 20/KSDD-D/07/2009

Latar Belakang Masalah:

1. Pemenuhan infrastruktur dan fasilitas kota yang memadai

2. Kondisi pasar khususnya Shopping Center dan Ruko juga taman parkir yang kurang

mencerminkan disain pasar kota

3. Banyaknya PKL dan hamparan yang berjualan di badan jalan

Implementasi Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro

(Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall) 1. Analisis proses

implementasi kebijakan: a.Komunikasi b.Sumber Daya c.Kecenderungan d.Struktur Birokrasi Penolakan Pembangunan Metro Mega

Mall oleh hampir seluruh para pedagang sebagai penerima sasaran kebijakan


(40)

III. METODE PENELITIAN

III.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bertipe deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Denzim Lincoln (1987) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moleong, 2005:5). Dalam penelitian kualitatif, metode yang digunakan adalah wawancara, pegamatan, dan pemanfaatan dokumen. Data-data yang akan dikumpulkan di lapangan pada nantinya adalah data-data yang bersifat kualitatif yang berbentuk kata-kata dan bahasa, perilaku, kalimat pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan menggunakan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005:6). Kemudian data-data itu digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan (deskripsi) fenomena sosial yang diteliti.

Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2005:4). Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan


(41)

data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2008:9).

Penelitian ini ditekankan pada metode kualitatif deskriptif yang menekankan pada kebenaran mutlak yang terjadi di lapangan penelitian. Dengan penelitian kualitatif, penelitian ini bermaksud memperoleh kebenaran riil mengenai implementasi penataan pembangunan pasar Kota Metro (Kawasan Niaga Metro Mega Mall) melalui proses wawancara kepada instansi terkait maupun pada kelompok sasaran.

III.2 Fokus Masalah Penelitian

Fokus merupakan pembatasan masalah dalam penelitian kualitatif. Fokus pada dasarnya adalah masalah pokok yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun kepustakaan lainnya (Moleong,2005:97). Dengan fokus, peneliti akan tahu persis data yang perlu dikumpulkan dan yang tidak perlu dikumpulkan.

Fokus penelitian dimaksukan untuk membatasi studi kualitatif sekaligus membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan data yang tidak relevan, agar tidak dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan, walaupun data itu menarik. Moleong (2005:94) merumuskan bahwa ada dua maksud tertentu yang ingin peneliti capai dalam merumuskan masalah dengan jalan memanfaatkan fokus. Pertama, penetapan fokus dapat membatasi


(42)

studi. Jadi, dalam hal ini fokus akan membatasi bidang inkuiri. Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau kriteria masuk-keluar (inclusion-exlusion criteria) suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan. Dengan bimbingan dan arahan suatu fokus, seorang peneliti tahu persis data mana dan data tentang apa yang perlu dikumpulkan dan data mana pula, yang walaupun mungkin menarik, karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan. Jadi, dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, seorang peneliti dapat membuat keputusan yang tepat tentang data mana yang dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah ataupun mana yang akan dibuang.

Dengan melihat proses implementasi kebijakan publik, maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah:

1. Indikator untuk menganalisis implementasi kebijakan penataan pembangunan pasar Kota Metro (Model Edward III):

a. Komunikasi

Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomuniksikan pada organisasi dan atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu: transmisi, konsistensi dan kejelasan.


(43)

b. Sumber Daya (Resources)

Berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out (melaksanakan) kebijakan secara efektif.

c. Disposisi (Disposition)

Berkenaan dengan kesediaan dari para implementator untuk carry out (melaksanakan) kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

d. Struktur Birokrasi

Berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif.

III.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian dalam melihat fenomena atau pristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat. Lokasi penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah Dinas Pasar Kota Metro dan PT. Nolimax. Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive (disengaja) karena dinas dan PT inilah yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan Metro Mega Mall di Kota Metro.


(44)

III.4 Jenis dan Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (Moleong, 2005:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data merupakan suatu benda, hal atau orang maupun tempat yang dapat dijadikan sebagai acuan peneliti untuk mengumpulkan data yang diinginkan sesuai dengan masalah dan fokus penelitian. Jenis data yang akan dikumpulkan melalui penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder (Moleong, 2005:157-159)

1) Data Primer

Yaitu berupa kata-kata dan tindakan (informan), serta peristiwa-pristiwa tertentu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dan merupakan hasil pengumpulan peneliti sendiri selama berada di lokasi penelitian. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden penelitian, baik dari observarsi, wawancara maupun dokumentasi serta catatan lapangan peneliti yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, yaitu mengenai penataan pembangunan pasar kota Metro (Kawasan Niaga Metro Mega Mall). Data primer dalam penelitian ini meliputi:

a. Observarsi langsung dari peneliti terhadap keadaan-keadaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan pembangunan kawasan niaga metro mega mall.

b. Hasil wawancara dengan pihak-pihak yang telibat dan yang menjadi sasaran pembangunan kawasan niaga metro mega mall di Kota Metro, yakni Dinas Pasar Kota Metro, PT. Nolimax Jaya, Pansus DPRD tentang


(45)

Metro Mega Mall, Para pedagang (pemilik Ruko dan para pedagang yang menjadi sasaran pembangunan metro mega mall).

2) Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Adapun data-data sekunder yang didapat peneliti adalah data-data dokumen tentang penataan pembangunan pasar Kota Metro yang didapat dari Dinas Pasar dan PT Nolimax serta foto-foto yang berkaitan dengan penelitian.

Beberapa dokumen yang didapatkan peneliti berupa:

a. SK Walikota Metro Nomor: 173/KPTS/D.10/2007 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Dalam Rangka Rencana Penataan, Pembangunan, Pasar Kota Metro Tahun 2007

b. Surat Walikota Metro kepada Ketua DPRD Kota Metro Nomor: 800/1228.1/ D.10/2007 tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro

c. Surat Persetujuan DPRD Kota Metro Nomor:800/651/ DPRD/ 2007 tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro d. Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Kota MetroLampung dengan PT.

Nolimax Jaya Nomor 20/KSAD-L/02/2007 ; Nomor: 167/PKS/NJ/2007 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Ruko, Kios, dan Hamparan Beserta Fasilitas Penunjang Lainnya Di Atas Lahan Tanah Seluas Kurang lebih 2,4 Hektar yang terletak Di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall)


(46)

e. Addendum Atas Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Kota Metro Provinsi Lampung Dengan PT. Nolimax Jaya Nomor: 20/KSDD-D/07/2009 ; Nomor: 267/PKS/NJ/2009 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Ruko, Kios dan Hamparan Beserta Fasilitas Penunjangnya Diatas Tanah Seluas kurang lebih 2,53 Hektar Yang Terletak Di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall)

f. Surat DPRD Nomor: 030/222/DPRD/2009 tentang Persetujuan Penghapusan Gedung dan Sebagian Jalan KH. Arsyad

g. Surat Walikota Metro Nomor: 800/69/07/2009 tanggal 2 November 2009 Tentang Penghentian Pembangunan

h. Surat DPRD Kota Metro nomor: 170/378/DPRD/2009 tentang Rekomendasi agar PT. Nolimax Jaya menghentikan sementara semua kegiatan yang menyangkut proses pembangunan Metro Mega Mall sampai dengan pansus DPRD Kota Metro tentang Metro Mega Mall menyelesaikan tugasnya.

i. Surat Seketariat Daerah Kota Metro Nomor: 005/67/D.12/2010 tanggal 25 Febuari 2010 Tentang Pemberhentian Pembongkaran

j. Kronologis Metro Mega Mall

III.5 Informan

Informan adalah orang-orang yang benar-benar terlibat atau mengalami proses implementasi kebijakan penataan pembangunan pasar Kota Metro (kawasan niaga metro mega mall). Informan ditentukan secara purposive (disengaja).


(47)

Adapun informan yang telah diwawancarai adalah sebagai berikut: Tabel 1:

Daftar Nama Informan Wawancara

No. Informan Unsur/Jabatan Tanggal Wawancara

1. Drg. Torry Duet Irianto, MM, M. Kes

Asisten II Setda Kota Metro

12 Maret 2010 2. Suciptanto Yudha Kepala Dinas Pasar Kota

Metro

12 Maret 2010, 5 Noveber 2010 3. Leonard Hutabarat, SH Ketua Bidang Pembinaan

dan Penataan Pedagang Pasar Kota Metro

25 Januari 2010, 10 Maret 2010, 3 Mei 2010

4. Uzenda Lukman Perwakilan PT. Nolimax Lampung

11 Mei 2010, 26 Mei 2010

5. Eni Bagian Marketing PT.

Nolimax Perwakilan Lampung

14 Mei 2010

6. Fahmi Anwar Ketua Pansus DPRD

tentang Metro Mega Malll

31 Mei 2010

7. Debora Pemilik Ruko 3 Mei 2010

8. Fifi Pemilik Ruko 3 Mei 2010

9. Abdul Rochman Ketua IKBP3 (Ikatan Keluarga Besar Pedagang dan Pekerja Pasar) Kota Metro

10 Mei 2010

10. Tarmiji Seketaris IKBP3 (Ikatan Keluarga Besar Pedagang dan Pekerja Pasar) Kota Metro

12 Mei 2010, 5 November 2010

11. Defi Pemilik Ruko 5 November 2010

Sumber: Data diolah peneliti tahun 2010

III.6 Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data meliputi tiga tahapan, yaitu proses memasuki lokasi penelitian (getting in), ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dan tahap pengumpulan data (logging the data). Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Feriyanti, 2009:54-55):


(48)

1. Proses Memasuki Lokasi Penelitian (Getting In)

Dalam tahap ini, untuk memasuki lokasi penelitian, peneliti melapor terlebih dahulu kepada instansi yang terkait dengan membawa surat pegantar dari universitas dan hal-hal lainnya yang sesuai dengan prosedur yang berlaku di instansi tersebut.

2. Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Down)

Pada tahap ini peneliti mencoba untuk melakukan hubungan baik dengan para informan, kemudian mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan. 3. Tahap Pengumpulan Data (Logging the Data)

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan di dalam penelitian ini meliputi:

a) Observarsi

Nasution (Sugiyono, 2008:226) menyatakan bahwa observarsi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observarsi. Kemudian observarsi dapat diartikan sebagai teknik yang digunakan dengan mengumpulkan data primer yang diperlukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian.

Pada penelitian ini peneliti melakukan pengamatan langsung pada lokasi pembanguna Metro Mega Mall Tahap I yang dilakukan di area bekas Taman Parkir. Peneliti mengamati secara langsung kegiatan dan para aktor yang terlibat di dalam mengimplementasikan Kebijakan Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall).


(49)

b) Wawancara

Teknik ini digunakan untuk menjaring data-data primer yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara yang teraplikasi di dalam penelitian ini dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide).

Instrumen yang digunakan untuk melakukan wawancara ini adalah tape recorder dan catatan-catatan kecil dari peneliti. Dalam penelitian ini informan yang diwawancarai adalah aktor-aktor yang terlibat ataupun yang berkaitan dengan pengimplementasian kebijakan pembangunan kawasan niaga Metro Mega Mall, yakni: Leonard Hutabarat, SH selaku Ketua Bidang Pembinaan dan Penataan Pedagang Pasar Kota Metro, Suciptanto Yudha, SH selaku Kepala Dinas Pasar Kota Metro, Uzenda Lukman selaku Pimpinan PT. Nolimax Perwakilan Lampung, Eni selaku Bagian Marketing PT. Nolimax Perwakilan Lampung, Debora dan Fifi selaku Pemilik Ruko di Kawasan Pusar Perbelanjaan di Kota Metro, Abdul Rohman, SH selaku Ketua IKBP3, Tarmiji selaku Seketaris IKBP3, Fahmi Anwar selaku Ketua Panitia Khusus DPRD tentang Metro Mega Mall


(50)

Gambar

Dokumentasi Peneliti Saat Sedang Mewawancarai Salah Satu Informan.

c) Dokumentasi

Teknik ini akan digunakan untuk menghimpun berbagai data sekunder yang memuat informasi tertentu yang bersumber dari dokumen-dokumen tertulis yang dimiliki oleh Dinas Pasar Kota Metro serta PT. Nolimax mengenai kebijakan penataan pasar Kota Metro (Kawasan Niaga Metro Mega Mall) yakni: (1) SK Walikota Metro Nomor: 173/KPTS/D.10/2007 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Dalam Rangka Rencana Penataan, Pembangunan, Pasar Kota Metro Tahun 2007, (2) Surat Walikota Metro kepada Ketua DPRD Kota Metro Nomor: 800/1228.1/ D.10/2007 tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro, (3) Surat Persetujuan DPRD Kota Metro Nomor:800/651/ DPRD/ 2007 tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro, (4) Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Kota MetroLampung dengan PT. Nolimax Jaya Nomor 20/KSAD-L/02/2007 ; Nomor: 167/PKS/NJ/2007 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Ruko, Kios, dan Hamparan Beserta Fasilitas Penunjang Lainnya Di Atas


(51)

Lahan Tanah Seluas Kurang lebih 2,4 Hektar yang terletak Di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall), (5) Addendum Atas Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Kota Metro Provinsi Lampung Dengan PT. Nolimax Jaya Nomor: 20/KSDD-D/07/2009 ; Nomor: 267/PKS/NJ/2009 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Ruko, Kios dan Hamparan Beserta Fasilitas Penunjangnya Diatas Tanah Seluas kurang lebih 2,53 Hektar Yang Terletak Di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall), (6) Surat DPRD Nomor: 030/222/DPRD/2009 tentang Persetujuan Penghapusan Gedung dan Sebagian Jalan KH. Arsyad, (7) Surat Walikota Metro Nomor: 800/69/07/2009 tanggal 2 November 2009 Tentang Penghentian Pembangunan, (8) Surat DPRD Kota Metro nomor: 170/378/DPRD/2009 tentang Rekomendasi agar PT. Nolimax Jaya menghentikan sementara semua kegiatan yang menyangkut proses pembangunan Metro Mega Mall sampai dengan pansus DPRD Kota Metro tentang Metro Mega Mall menyelesaikan tugasnya., (9) Surat Seketariat Daerah Kota Metro Nomor: 005/67/D.12/2010 tanggal 25 Febuari 2010 Tentang Pemberhentian Pembongkaran, (11) Kronologis Metro Mega Mall

III.7 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga mudah dipahami, dan temuannya dapat dinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam pola,


(52)

memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain (Sugiyono, 2008:244)

Dalam penelitian ini akan digunakan teknik analisis data dengan model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang meliputi lagkah-langkah sebagai berikut: reduksi data, penyajian data, penyimpulan dan verivikasi (Sugiyono, 2008: 246-253).

a. Reduksi Data

Adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan maupun hasil wawancara di lapangan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa melalui tahapan penajaman informasi, penggolongan berdasarkan kelompoknya, pengarahan, atau diarahkan dari arti data tersebut, membuang yang tidak perlu, dan diorganisasikan dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan dapat ditarik dan diverivikasi.

Pada penelitian ini peneliti melakukan pereduksian data seperti saat penulis melakukan wawancara dengan informan banyak informasi yang diperoleh penulis yang tidak berkaitan dengan penelitian, dalam tahap reduksi data hasil wawancara yang tidak berkaitan dengan dengan fokus penelitian tersebut dibuang, kemudian data diklasifikasikan.


(53)

Pada proses pengklasifikasian juga masih mengalami kelebihan data, sehingga terjadi pembuangan data yang dianggap tidak perlu, hingga pada akhirnya ditemukan data yang benar-benar sesuai untuk menjawab fokus penelitian. Oleh karena itu, selama penelitian penulis melakukan reduksi data secara terus menerus.

b. Penyajian Data

Adalah penyusunan sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan penarikan tindakan. Pada penelitian ini, secara teknis data-data yang telah diorganisir ke dalam matriks analisis data akan disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian data dilakukan dengan cara mendiskripsikan atau memaparkan hasil temuan dalam wawancara terhadap informan serta menghadirkan dokumen sebagai penunjang data.

c. Penarikan Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan terhadap responden kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian atas dasar informasi yang telah diperoleh. Penarikan kesimpulan disesuaikan dengan kategori atau klasifikasi data yang telah ditentukan sebelumnya, atau sesuai dengan fokus atau tinjauan pustaka.


(54)

Bagan 2. Analisis Model Interaksi, Miles dan Huberman

Sumber : Sugiyono, 2008:247

III.8 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Pada penelitian ini pemeriksaan keabsahan data akan mengacu kepada kriteria-kriteria sebagai berikut: kredibilitas, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Setiap kriteria ini menghendaki teknik pemeriksaan keabsahan data yang berbeda satu dengan yang lain. Langkah-langkah tersebut secara lebih rinci ialah sebagai berikut (Moleong, 2005:324-339).

a. Derajat Kepercayaan

Penerapan kriterium derajat kepercayaan (kredibilitas) pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kriterium ini berfungsi: pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada

Data Colection

Data Reduction

Data Display


(55)

kenyataan ganda yang sedang diteliti. Beberapa teknik yang digunakan untuk memeriksa kredibilitas data hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (Moleong, 2005:330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan sumber, metode, penyidik, dan teori.

Untuk memeriksa kebenaran data peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang didapatkan dengan mewawancarai lebih dari satu pihak informan, yakni dengan mewawancarai Dinas Pasar yang diwakilkan oleh Ketua Bidang Pembinaan dan Penataan Pedagang selaku perpanjangan tangan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan, PT. Nolimax Jaya selaku pihak pengembang yang melaksanakan kebijakan pembangunan Metro Mega Mall, Ketua Pansus DPRD tentang Metro Mega Mall serta para pedagang yang menjadi sasaran pembangunan Metro Mega Mall. Selain triangulasi dengan berbagai sumber, peneliti juga melakukan pendalaman dengan tehnik pengumpulan data melalui observarsi dan dokumentasi.


(56)

Salah satu contoh metode triangulasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2:

Data Triangulasi mengenai Implementasi Kebijakan Penataan Pembanguan Pasar Kota Metro (Pembangunan Kawasan Niaga

Metro Mega Mall) di Kota Metro

Objek Penelitian

Wawancara Data Observarsi Kesimpulan Implementasi Pembangunan Kawasan Niaga Metro Mega Mall “Dalam Implementasi Pembangunan Metro Mega Mall ini banyak persoalan yang terjadi. Sebenarnya intinya itu karena sosialisasi kurang, tidak ada tempat penampungan pedagang, dan masalah harga dan isi PKS. Makanya terjadi aksi-aksi damai dari pedagang. Untuk itu dikeluarkan SK dan surat rekomendasi untuk menghentikan pembangunan metro mega mall.” (Fahmi Anwar, Ketua Pansus DPRD tentang Metro Mega Mall). Perjanjian Kerjasama Antara Pemkot Metro dan PT. Nolimax, Sk Walikota dan surat rekomendasi DPRD untuk memberhentik an pembangunan metro mega mall sebagai upaya meredakan polemik yang terjadi di masyarakat penerima sasaran kebijakan. Walaupun telah ada Sk dan surat rekomendasi untuk memberhentikan pembangunan Metro Mega Mall, pembangunan Kawasan Niaga ini tetap berlangsung hingga kini. Implementasi kebijakan penataan pembangunan pasar Kota Metro dengan membangun Kawasan Niaga Metro Mega Mall berjalan kurang baik, dikarenakan adanya penolakan pedagang dan koordiasi dan komunikasi yang kurang baik antara pemerintah dan pengembang.


(1)

Daftar Pustaka

Islamy, Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Naihasy, H. Syahrin. 2006. Kebijakan Publik/Public Policy menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: Mida Pustaka

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksaaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahab, Solichin Abdul.1997. Pengatar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia

Widodo, Joko. 2009. Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses Edisi Revisi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Wiyoto, Budi. 2005. Mengembangkan Riset Strategik Implementasi Kebijakan Publik Perspektif Good Governance. Malang: Partner Consulting.


(2)

Skripsi:

Feriyanti, Suci. 2009. Evaluasi Implementasi Program Konversi Minyak Tanah Ke Gas LPG 3 Kg di Kelurahan Aren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi Tahun 2007. Bandar Lampung: Unila.Unpublished.

Dokumen:

Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007. Kawasan Niaga Metro Mega Mall.

Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007. Kronologis Pembangunan Metro Mega Mall.

Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007. Mengubah Wajah Pusat Perdagangan Kota Metro.

SK Walikota Metro Nomor 173/KPTS/D.10/2007 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Dalam Rangka Rencana Penataan, Pembangunan Pasar Kota Metro

SK Walikota Metro Nomor: 800/1228.1/D.10/2007 kepada DPRD Kota Metro tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro Surat DPRD Kota Metro Nomor 800/651/DPRD/2007 tentang Persetujuan

Rencana Penatan Pembangunan Pasar Kota Metro

Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Metro dengan PT. Nolimax Jaya nomor 20/KSAD-L/02/2007, dan nomor 167/PKS/NJ/2007 addendum dengan nomor 20/KSDD-D/07/2009 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Kios, Ruko dan Hamparan beserta Fasilitas Penunjangnya diatas tanah seluas 2,4 Ha yang terletak di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall).

Surat DPRD Kota Metro Nomor: 030/222/DPRD/2009 tentang Persetujuan Penghapusan Gedung dan Sebagian Jalan KH. Arsyad

SK Walikota Metro nomor 800/69/07/2009 tentang Penghentian Sementara Pembangunan Metro Mega Mall

Surat DPRD Kota Metro Nomor: 170/378/DPRD/2009 Tentang Rekomendasi untuk Menghentikan Sementara Semua Kegiatan Yang Menyangkut Pembangunan Metro Mega Mall.

Surat Seketriat Daerah Kota Metro Nomor: 005/67/D.12/2010 Tentang Pemberhentian Pembongkaran


(3)

SK Walikota Metro nomor 28/KPTS/D-10/2009 tentang Penghapusan Bangunan Pertokoan Taman Parkir Jalan Sudirman dan Jalan Baru terdiri dari 58 (lima puluh delapan) ruko serta Penghapusan Sebagian Jalan KH. Arsyad dari Buku Induk Inventaris Pemerintah Kota Metro Tahun Anggaran 2009

Surat Kabar:

Lampung Post. Akhirnya M3 Dihentikan Ratusan Pedagang Ngelurung. Edisi 3 Oktober 2009

Tribun Lampung. IKBP3 Tolak Relokasi Jumlah Pedagang dan Tempat Tidak Sesuai. Edisi 18 November 2009

Lampung Post. Sengketa Pembangunan Mall Berlanjut. Edisi 25 November 2009 Tribun Lampung. PT Nolimax Hentikan Pembangunan. Edisi 5 Desember 2009. Tribun Lampung. IKBP3 Minta Perjanjian 3M Dibatalkan. Edisi 6 Desember

2009.

Website:

http://www.metrokota.go.id. Visi Misi Kota Metro. 9 Febuari 2010 http://www.metrokota.go.id. Sekilas Kota Metro. 9 Febuari 2010


(4)

Daftar Pustaka

Islamy, Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Naihasy, H. Syahrin. 2006. Kebijakan Publik/Public Policy menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: Mida Pustaka

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksaaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahab, Solichin Abdul.1997. Pengatar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia

Widodo, Joko. 2009. Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses Edisi Revisi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Wiyoto, Budi. 2005. Mengembangkan Riset Strategik Implementasi Kebijakan Publik Perspektif Good Governance. Malang: Partner Consulting.


(5)

Skripsi:

Feriyanti, Suci. 2009. Evaluasi Implementasi Program Konversi Minyak Tanah Ke Gas LPG 3 Kg di Kelurahan Aren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi Tahun 2007. Bandar Lampung: Unila.Unpublished.

Dokumen:

Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007. Kawasan Niaga Metro Mega Mall.

Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007. Kronologis Pembangunan Metro Mega Mall.

Dokumen Dinas Pasar Kota Metro Tahun 2007. Mengubah Wajah Pusat Perdagangan Kota Metro.

SK Walikota Metro Nomor 173/KPTS/D.10/2007 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Dalam Rangka Rencana Penataan, Pembangunan Pasar Kota Metro

SK Walikota Metro Nomor: 800/1228.1/D.10/2007 kepada DPRD Kota Metro tentang Persetujuan Rencana Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro Surat DPRD Kota Metro Nomor 800/651/DPRD/2007 tentang Persetujuan

Rencana Penatan Pembangunan Pasar Kota Metro

Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Metro dengan PT. Nolimax Jaya nomor 20/KSAD-L/02/2007, dan nomor 167/PKS/NJ/2007 addendum dengan nomor 20/KSDD-D/07/2009 tentang Penataan Pembangunan Pasar Kota Metro dan Pengelolaan Mall, Kios, Ruko dan Hamparan beserta Fasilitas Penunjangnya diatas tanah seluas 2,4 Ha yang terletak di Kota Metro Lampung (Kawasan Niaga Metro Mega Mall).

Surat DPRD Kota Metro Nomor: 030/222/DPRD/2009 tentang Persetujuan Penghapusan Gedung dan Sebagian Jalan KH. Arsyad

SK Walikota Metro nomor 800/69/07/2009 tentang Penghentian Sementara Pembangunan Metro Mega Mall

Surat DPRD Kota Metro Nomor: 170/378/DPRD/2009 Tentang Rekomendasi untuk Menghentikan Sementara Semua Kegiatan Yang Menyangkut Pembangunan Metro Mega Mall.

Surat Seketriat Daerah Kota Metro Nomor: 005/67/D.12/2010 Tentang Pemberhentian Pembongkaran


(6)

SK Walikota Metro nomor 28/KPTS/D-10/2009 tentang Penghapusan Bangunan Pertokoan Taman Parkir Jalan Sudirman dan Jalan Baru terdiri dari 58 (lima puluh delapan) ruko serta Penghapusan Sebagian Jalan KH. Arsyad dari Buku Induk Inventaris Pemerintah Kota Metro Tahun Anggaran 2009

Surat Kabar:

Lampung Post. Akhirnya M3 Dihentikan Ratusan Pedagang Ngelurung. Edisi 3 Oktober 2009

Tribun Lampung. IKBP3 Tolak Relokasi Jumlah Pedagang dan Tempat Tidak Sesuai. Edisi 18 November 2009

Lampung Post. Sengketa Pembangunan Mall Berlanjut. Edisi 25 November 2009 Tribun Lampung. PT Nolimax Hentikan Pembangunan. Edisi 5 Desember 2009. Tribun Lampung. IKBP3 Minta Perjanjian 3M Dibatalkan. Edisi 6 Desember

2009.

Website:

http://www.metrokota.go.id. Visi Misi Kota Metro. 9 Febuari 2010 http://www.metrokota.go.id. Sekilas Kota Metro. 9 Febuari 2010