Tidak Semua Sarjana Bisa Jadi Guru

  

Tidak semua sarjana bisa jadi guru

  Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian pasal 9 Undang-Undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sangat menyakiti alumni dan mahasiswa keguruan dan ilmu pendidikan.

  Pasal 8 Undang-Undang no 14 tahun 2005 berbunyi “guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Selanjutnya pasal 9 berbunyi “kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”. Pasal sembilan inilah yang memunculkan peluang besar bagi alumni berijazah nonkependidikan untuk “merambah” wilayah kerja alumni berijazah kependidikan.

  Mahkamah Konstitusi menolak pengujian pasal 9 Undang-Undang no 14 tahun 2005 dengan alasan bahwa setiap warga Negara berhak menjadi guru tanpa harus kuliah di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dengan pertimbangan mengacu pada pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sangat disayangkan dan terasa sangat tidak adil bagi alumni sarjana lembaga pendidikan tenaga kependidikan karena dengan keputusan tersebut maka lapangan kerja bagi alumni berijazah sarjana kependidikan akan semakin sempit.

  Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak menganggap bahwa untuk menjadi guru semua orang berijazah strata satu maupun diploma empat bisa melakukakannya. Tetapi untuk menjadi guru profesional diperlukan persiapan sejak awal menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Secara garis besar guru profesional dipersiapkan melalui dua tahap. Pertama berkaitan dengan pemilihan dan persiapan calon guru. Fase ini umumnya dikenal dengan pra-layanan pendidikan. Mencetak guru profesional tidaklah semudah yang dibayangkan, untuk menjadikan seseorang menjadi guru professional perlu persiapan jauh sebelum dia mengajar di sekolah, yaitu saat akan masuk perguruan tinggi dengan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru pada program studi yang dipilih, berstatus sebagai mahasiswa dengan diberikan bekal ilmu yang sesuai dengan program studi yang dipilih beserta bekal bagaimana karakteristik peserta didik, dan praktik pengalaman lapangan (PPL) sebagai wujud konkrit calon guru yang akan terjun di lapangan. Kedua berkaitan dengan peningkatan kualitas guru dalam pekerjaan yang dikenal dengan dalam layanan pendidikan.

  Pada dasarnya guru dididik untuk menjadi orang yang ahli dalam bidang tertentu termasuk bagaimana cara membelajarkan serta mengendalikan peserta didik dalam pembelajaran di kelas, sehingga apabila ada guru yang berasal dari sarjana nonkependidikan mencoba menjadi guru maka sangat patut diduga bahwa kemampuannya dalam membelajarkan peserta didik diragukan. Hal ini dikarenakan selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi mahasiswa nonkependidikan tidak diajarkan bagaimana cara mengajar dan membelajarkan peserta didik, yang tentu sangat berbeda dengan mahasiswa kependidikan yang memang secara intensif dipersiapkan untuk menjadi guru professional.

  Sarjana nonkependidikan mungkin ahli dalam bidangnya tetapi pembelajaran bukan masalah keahlian saja melainkan juga melibatkan kemampuan guru dalam mentransfer ilmunya kepada peserta didik. Percuma jika ahli dalam suatu bidang tetapi tidak mampu mentransfer ilmunya kepada peserta didik karena sasaran pendidikan adalah membelajarkan peserta didik.

  Selain itu, dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10 disebutkan bahwa guru sebagai pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

  Jika kita cermati, untuk kompetensi pedagogik saja guru berijazah nonkependidikan sudah terkendala yaitu dalam perencanaan dan evaluasi hasil belajar. Hal tersebut disebabkan mereka tidak diajarkan saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi, belum lagi dengan kompetensi yang lain.

  Berdasar hal tersebut, Mahkamah Konstitusi seharusnya lebih bijak dengan tidak menolak pengujian pasal 9 Undung-Undang no 14 tahun 2005 jangan hanya karena pertimbangan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pekerjaan yang layak sehingga semua orang diberi peluang untuk menjadi guru. Mahkamah konstitusi seharusnya juga mempertimbangkan bahwa untuk menjadi guru bukan sekedar harus memenuhi persyarata akademik yang disyaratkan, tetapi juga harus melihat bahwa seseorang memang berniat / memiliki jiwa guru yang dibuktikan dengan sejak awal masuk kuliah memilih fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.

  Apabila keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 ini final, sebagai alumni sarjana pendidikan sangat berharap bahwa dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) khusus formasi guru hendaknya tes yang dilakukan tidak hanya meliputi tes tertulis saja melainkan juga harus ada tes kemampuan mengajar di dalam kelas, sehingga meskipun dengan pertimbangan bahwa semua warga Negara Indonesia berhak menjadi guru tetapi guru yang dimaksud bukan sembarang guru melainkan guru yang benar-benar layak menjadi guru.

  Dunia pendidikan sudah cukup lama terpuruk akibat banyaknya guru yang berasal dari orang yang sebenarnya tidak ingin menjadi guru, hanya karena melihat peluang dan keterjaminan jika menjadi guru sajalah maka berbondong-bondong ingin menjadi guru. Harus diingat, guru memang merupakan profesi yang memerlukan keahlian tetapi yang tidak kalah penting dari hal itu adalah kemampuan dalam mentransfer ilmunya kepada peserta didik, kombinasi antara keahlian dan kemampuan mentransfer ilmu inilah yang membuat profesi guru tidak bisa dilakukan oleh semua alumni berijazah strata satu atau diploma empat.

  Muhammad Syamsuri, M.Pd