2017 Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlaw
Jurnalruang.com
https://jurnalruang.com/read/1508571384-musik-indie-tidak-bisa-jadi-pahlawan
Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlawan
oleh Ferdhi F Putra
20 Oktober 2017 | Durasi: 7 Menit
Ilustrasi: Yulia Saraswati
Akhir dekade 1990-an adalah momen krusial bagi Indonesia. Suharto tumbang setelah 32
tahun bercokol sebagai penguasa tunggal, dan Indonesia memasuki fase transisi menuju
demokrasi. Dalam banyak narasi sejarah mengenai periode tersebut, anak muda –
terutama mahasiswa – kerap disebut sebagai biangnya. Sebagaimana periode 1965-66,
mahasiswa angkatan 1998 juga memainkan peranan penting dalam proses peralihan
kekuasaan. Bedanya, pada ‘98, ada kelompok anak muda lain yang dianggap turut
berperan melengserkan Suharto. Mereka adalah para penikmat musik underground.
Esai etnomusikolog asal Amerika Serikat, Jeremy Wallach yang berjudul Underground
Rock Music: And Democratization in Indonesia (2005) menyuratkan itu. Secara
sederhana, Wallach mengajukan bahwa scene musik underground turut berperan dalam
perubahan sosial pada tahun-tahun tersebut. Sebagai gerakan kebudayaan, musik populer
— termasuk musik underground atau independen — memainkan peranan lain di luar
Politik (dengan ‘P’ besar) selama kurun waktu krisis.
Scene inilah yang turut mempengaruhi perspektif anak muda, terutama yang bergiat
dalam scene, agar mau ikut ambil pusing dalam urusan politik (dengan ‘p’ kecil).
Bangkitnya kesadaran politik anak muda ini, tulis Wallach, terhitung penting setelah
bertahun-tahun lamanya anak muda dijauhkan dari politik melalui berbagai kebijakan
Orde Baru – mulai dari NKK/BKK hingga pelarangan rambut gondrong.
Membaca selintas sejarah scene underground — termasuk punk — di Indonesia, kita akan
menemukan banyak kisah mengenai bagaimana scene ini berdinamika pada senjakala
hingga pasca kejatuhan Orde Baru. Di Bandung, misalnya komunitas-komunitas punk
membentuk Front Anti Fasis (FAF) dan berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik
(PRD), organisasi yang radikal pada masanya. Tidak hanya mengorganisir komunitas,
‘anak-anak punk’ ini terlibat dalam aksi politik kelompok lain, seperti aksi solidaritas
pada Hari Buruh Internasional tahun 1997.
Pola serupa terjadi di Jakarta. Dalam tesisnya, Fathun Karib mencatat bahwa komunitas
punk Jakarta terlibat dalam aktivitas politik seiring dengan memanasnya situasi nasional
kala itu. Seperti di Bandung, komunitas punk Jakarta juga bergabung dengan PRD. Masih
menurut Karib, pada masa itu PRD memang sengaja merekrut anak muda dari kelompokkelompok punk di seluruh Indonesia. Meski sebetulnya, kecuali kasus Jakarta dan
Bandung, saya belum menemukan literatur yang memperkuat kesimpulan itu.
Artinya, selain melalui gerakan kebudayaan seperti musik, konser, dan zine, sebagian
anak punk atau scenester underground juga terlibat dalam gerakan politik. Hanya saja,
tak banyak literatur yang menyorot keterlibatan punk dalam politik. Beberapa penelitian
justru memberi panggung pada estetika musik underground semata, alih-alih politik.
(Wallach 2003 & 2005, Martin-Iverson 2007 & 2014).
****
Dari sekian banyak produk budaya musik underground, lirik lagulagu underground memang kerap jadi favorit bagi para peneliti untuk membuktikan
keberpihakan suatu subyek terhadap isu tertentu. Singkatnya, ia mudah diteliti. Wallach
(2005), misalnya, mengambil contoh lirik band Death Metal bernama Slowdeath yang
dianggapnya sangat tajam: “There’s no difference between Dutch Colonialism and the
New Order! (Tak ada bedanya kolonialisme Belanda dan Orde Baru)”.
Bukan sekadar liriknya yang bikin Wallach terkesima. Lirik tersebut, yang diambil dari
lagu berjudul The Pain Remains the Same, ditulis dan dinyanyikan di masa ketika Suharto
masih berjaya. Tak banyak musisi – kalaupun ada – yang berani seterang-terangan itu
mengkritik Orba ketika ia masih berkuasa.
Tapi, pertanyaannya: apakah analisis terhadap liri lagu – atau elemen kultural lainnya –
sudah cukup representatif? Apakah dengan melihat 1-2 lirik lagu, kita bisa menyimpulkan
bahwa ini adalah cikal bakal perubahan sosio-politik yang akan terjadi kelak?
Salah satu eksponen gerakan ‘98 yang juga saksi hidup musik underground dan gerakan
sosial di Bandung, Herry ‘Ucok’ Sutresna, meyakini bahwa musik tidak seperkasa itu.
“Saya tidak percaya musik bisa berbicara banyak di gerakan sosial,” kata Ucok
ketika diwawancarai Jurnal Ruang. “Kalau lu mau bikin gerakan sosial, terlibatlah. Turun
dan organisir bersama masyarakat. Di luar itu, enggak ada hal lain. Para petani itu tidak
akan tergerak untuk mereklaim lahan hanya karena mereka mendengar lagu lu.”
Pun pada kenyataannya, di Indonesia, lagu-lagu dengan lirik politis tidak serta merta
menumbuhkan kesadaran politik para scenester underground. Salah satu buktinya, liriklirik bernada pembangkangan milik Sex Pistols, Crass, Black Flag atau Dead Kennedys,
tidak berpengaruh apapun bagi Generasi Pertama Punk Jakarta. Kesadaran politik mereka
baru tumbuh melalui zine seperti Profane Existence dan Maximum Rock N Roll, dan – ini
kuncinya – infiltrasi organisasi politik seperti PRD (Karib, 2007).
Itulah mengapa meski hampir setiap produk lirik dari musik underground berisi nadanada perlawanan nan politis, tidak semua scenester memiliki keinginan untuk berpolitik.
Yang Politis dan Apolitis
Sejatinya, perbedaan pilihan politik adalah kenyataan sosial yang tidak hanya terjadi di
ranah underground. Ia terjadi di hampir setiap lapisan masyarakat. Tentu kita tidak
membayangkan bahwa scene underground memiliki suara politik yang seragam – toh
mereka bukan Orba. Tapi dalam konteks ini, pilihan politik sangat berimplikasi pada
bagaimana kita melihat scene underground dan perannya dalam perubahan sosial.
Perbedaan pilihan politik ini, hemat saya, mestinya menjadi aspek yang penting
digarisbawahi bila ingin melihat seberapa besar pengaruh scene underground terhadap
perubahan sosial-politik. Sebab, di Jakarta dan Bandung misalnya, keberadaan punk
politis diimbangi oleh keberadaan punk yang secara terang-terangan menolak politik.
Dalam risetnya, Fransiska Titiwening (2001; dalam Karib 2007) menemukan, perseteruan
antara punk politis (anarcho-punk) dengan punk apolitis (street-punk) begitu mewarnai
perjalanan komunitas punk Jakarta. Meski tidak ada konfrontasi fisik antara keduanya —
beritahu saya jika ada — garis demarkasi ‘ideologis’-nya cukup jelas. Punk politis
melihat bahwa keterlibatan dalam politik (bukan ‘P’ besar, artinya politik di sini
dimaknai secara lebih luas) adalah sesuatu yang penting. Di masa-masa bergejolak, tidak
sedikit scenester yang ikut mengorganisir massa, beradu batu dan molotov dengan aparat
di jalanan, mengokupasi gedung radio milik pemerintah — laiknya Cakrabirawa pada 1
Oktober ‘65, hingga diculik dan disiksa oleh aparat (Yunus, 2004).
Sementara di sisi lain, punk apolitis melihat bahwa politik adalah omong kosong belaka.
Tentu mereka tidak mempersetankan politik. Tapi, mereka cenderung enggan
menyangkutpautkan politik dengan laku produksi dan konsumsi budaya mereka.
Di Bandung, Resmi Setia (2001; dalam Martin-Iverson, 2014) dalam studinya menemukan
pola yang hampir serupa. Ada perbedaan yang cukup besar di salah satu tongkrongan
punk di Bandung; antara scenester lawas dari kelas menengah yang punya komitmen kuat
terhadap musik dan politik, dengan kelompok baru yang terdiri dari anak-anak jalanan
kelas bawah yang hanya tertarik pada fashion dan gaya hidup ala punk.
Ini persoalan nyata yang masih bertahan sejak era awal punk di Indonesia hingga
Pemilihan Presiden 2014 — dan mungkin pemilu-pemilu selanjutnya. Ada dua esai
menarik dari Herry Sutresna yang berjudul Making Punk A Threat Again dan Rosemary,
Punk Rock dan Endorsment Polisi: Garis Tipis antara Naif dan Moron . Keduanya ditulis
berdasarkan peristiwa di lapangan, yang menurut saya mampu memperlihatkan anomali
punk di Indonesia; bagaimana pilihan untuk menjadi politis atau apolitis akan sangat
berdampak pada situasi kultural dan politik, bahkan dalam scene itu sendiri. Ini tidak
hanya terjadi di scene punk, tapi juga di scene underground lain seperti metal, hip hop,
dan alternatif — omong-omong, ini klasifikasi underground menurut Wallach.
Sejarah yang Berulang
Apa yang terjadi pada anak muda di senjakala kekuasaan Suharto, menurut saya, tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi di penghujung kekuasaan Sukarno. Pada tahun 1965,
1998, serta fase setelah ’65 dan ’98, anak muda – terutama yang menyukai musik nonmainstream – hanya sedang merayakan kebebasannya tanpa memiliki kecenderungan
politik apapun.
Seperti yang Wallach kutip dari pernyataan Yukie (Pas Band), “ underground rock
movement di Indonesia adalah bukti bahwa pemuda Indonesia sedang menentukan
pilihannya sendiri,” (Wallach, 2005). Atau simak kesaksian Munif Bahasuan ketika
diminta menggambarkan masa-masa pasca kejatuhan Sukarno: “Jujur saja, setelah Pak
Harto berkuasa, semuanya jadi lebih terbuka. Kami merasakan masa-masa penuh
kebebasan.”
Tentu saja kita bisa memaknai kedua pernyataan tersebut sebagai pilihan politik — toh
saya meyakini kebebasan individual adalah tindakan politik. Tapi, apakah ini berdampak
pada Politik (huruf ‘P’ besar) pada skala yang lebih besar? Belum tentu.
Ketika Orba membuka diri terhadap pengaruh Barat, termasuk budaya, para ‘pemuda’
berbondong-bondong mengadopsi gaya hidup ala Barat, lebih spesifik lagi
budaya hippies. Jika di Amerika Serikat hippies melakukan pembangkangan budaya
sekaligus politik, tidak demikian di Indonesia. Aria Wiratma dalam Dilarang
Gondrongmenyebut kelompok hippies di Indonesia sebagai hippies abal-abal (plastic
hippies), karena hanya mengimitasi laku dipermukaan saja seperti berambut gondrong,
mabuk-mabukan, seks bebas, dan mengkonsumsi musik rock.
Sejarah membuktikan, meruaknya kebebasan di setiap transisi tidak melulu bermakna
politis. Ini hanya gejala industri budaya, yang membuat semangat perlawanan
dalam hippies maupun gerakan underground beralihrupa menjadi komoditas belaka. Tak
ada yang politis, kecuali kecenderungan untuk bebas mengonsumsi segala tetek bengek
dari ‘budaya perlawanan’, tanpa peduli dengan perlawanan itu sendiri.
Dalam Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer , Dominic Strinati
menyebut bahwa, “industri budaya telah membentuk selera dan kecenderungan massa,
sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan atas
kebutuhan-kebutuhan palsu.” Boleh dikatakan, kebutuhan akan perubahan sistemik
kondisi sosial-politik, disederhanakan menjadi perkara kebebasan
berekspresi/menentukan pilihan sendiri belaka; menjadi perkara kebebasan memilih
benda-benda atau gaya hidup ‘pembangkang’ yang sebetulnya sama sekali tidak
menyentuh bagian yang substansial. Atau dalam bahasa Strinati, “mengesampingkan
kebutuhan-kebutuhan riil, konsep-konsep alternatif dan radikal, serta cara-cara berpikir
dan bertindak oposisional politis.”
****
Apa yang kemudian terjadi pasca-Orba tumbang? Dalam wawancara dengan Jurnal Ruang,
Wallach memberikan pandangan yang lebih jelas: “Mungkin, anak-anak kelas menengah
ini (para scenester underground) lelah. Setelah politis selama beberapa tahun, mereka
mulai berpikir, ‘Kita sudah terlalu banyak bikin lagu anti-Suharto.’ Buat apa? Toh dia
sudah lengser. Biarin aja, tinggal kita sekarang mau apa? Lantas, musik independen
bergeser. Band yang sangat politis seperti Burgerkill dan Puppen disusul oleh band yang
lebih eksperimental dan ‘nyeni’ seperti The Upstairs, White Shoes & The Couples
Company, dan Mocca.”
Sebetulnya tidak berhenti di situ. Pergeseran yang terjadi bukan cuma dari politis menjadi
‘nyeni’, tetapi juga dari segi komersil. Demokrasi pasar pasca-Orba telah mengakibatkan
disorientasi wacana dan gerakan scene underground, menyamarkan musuh, dan yang
paling penting, membuka peluang bagi setiap individu untuk semakin terlibat di sistem.
Industri budaya memastikan kelompok-kelompok ini turut serta dalam sistem (Strinati,
2016).
Penelitian Martin-Iverson (2012) menemukan bahwa pada dekade 2000-an di
Bandung, scene underground terus mengalami depolitisasi dan malah berorientasi pada
urusan gaya hidup semata. Ada pergeseran motif dari politik menjadi ekonomi yang pada
akhirnya menghilangkan identitas mereka sebagai kelompok ‘lawan’. Distro adalah salah
satu manifestasinya: ia bermula sebagai ruang alternatif, kemudian beralih menjadi ruang
transaksional dan menjadi mata rantai ekonomi neo-liberalisme.
“Para pengikutnya aman secara finansial,” tulis Strinati. “bisa membeli banyak barang
yang mereka inginkan; atau yang mereka pikir mereka inginkan, dan tak lagi memiliki
alasan-alasan sadar untuk menghendaki tumbangnya kapitalisme dan menggantikannya
dengan sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara.” Pada akhirnya semua pelaku
di scene underground — yang politis maupun apolitis — menjadi betul-betul apolitis.
****
Dalam kesempatan diskusi di Jakarta beberapa waktu silam, ada satu pertanyaan menarik
dari partisipan diskusi untuk Jeremy Wallach. Orang itu kira-kira bertanya: “Seberapa
signifikan pengaruh musik populer bagi perubahan sosial, terutama pada periode '98?”
Wallach kemudian menjawab, "Kalau tidak ada pengaruhnya, Orba (mungkin) masih
bertahan sampai sekarang."
Ada raut kekecewaan dari si penanya. Ia tidak puas. Demikian dengan saya. Selama
beberapa waktu, pertanyaan orang itu juga membenak di kepala saya. Dan menurut saya,
jawaban Wallach saat itu terlalu menyederhanakan. Entah memang itu jawaban yang ada
di kepalanya, atau ia cuma sedang malas menjawab saja.
Kita bisa bersepakat bahwa setiap budaya tanding punya daya ubah. Tapi seberapa besar
pengaruhnya? Bagaimana ia bekerja? Hingga level mana? Cukupkah lagu-lagu itu
‘menginspirasi’ massa — bukan cuma individu — untuk bergerak? Dan yang paling
penting, apakah perubahan pada skala individu atau kelompok kecil dapat berpengaruh
terhadap situasi yang lebih makro?
Tanpa ekosistem, sebuah elemen radikal – lirik lagu, misalnya – tidak akan berarti apaapa. Sebuah laku budaya bisa dianggap memiliki daya ubah hanya apabila ia bekerja
secara sistemik sehingga memengaruhi situasi yang lebih luas. Lebih jauh lagi, ia mampu
menandingi ekosistem arus utama.
Ucok pernah bertutur dengan sinis: “Kalau sekadar soal musik sebagai produk artistik
yang menghipnotis massa dan meruntuhkan tirani, saya rasa itu cuma dongeng.” Memang,
musik tidak akan meruntuhkan tirani. Musik cuma bakal menarik tirani untuk menonton,
mendengar, dan ikut bernyanyi. (*)
https://jurnalruang.com/read/1508571384-musik-indie-tidak-bisa-jadi-pahlawan
Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlawan
oleh Ferdhi F Putra
20 Oktober 2017 | Durasi: 7 Menit
Ilustrasi: Yulia Saraswati
Akhir dekade 1990-an adalah momen krusial bagi Indonesia. Suharto tumbang setelah 32
tahun bercokol sebagai penguasa tunggal, dan Indonesia memasuki fase transisi menuju
demokrasi. Dalam banyak narasi sejarah mengenai periode tersebut, anak muda –
terutama mahasiswa – kerap disebut sebagai biangnya. Sebagaimana periode 1965-66,
mahasiswa angkatan 1998 juga memainkan peranan penting dalam proses peralihan
kekuasaan. Bedanya, pada ‘98, ada kelompok anak muda lain yang dianggap turut
berperan melengserkan Suharto. Mereka adalah para penikmat musik underground.
Esai etnomusikolog asal Amerika Serikat, Jeremy Wallach yang berjudul Underground
Rock Music: And Democratization in Indonesia (2005) menyuratkan itu. Secara
sederhana, Wallach mengajukan bahwa scene musik underground turut berperan dalam
perubahan sosial pada tahun-tahun tersebut. Sebagai gerakan kebudayaan, musik populer
— termasuk musik underground atau independen — memainkan peranan lain di luar
Politik (dengan ‘P’ besar) selama kurun waktu krisis.
Scene inilah yang turut mempengaruhi perspektif anak muda, terutama yang bergiat
dalam scene, agar mau ikut ambil pusing dalam urusan politik (dengan ‘p’ kecil).
Bangkitnya kesadaran politik anak muda ini, tulis Wallach, terhitung penting setelah
bertahun-tahun lamanya anak muda dijauhkan dari politik melalui berbagai kebijakan
Orde Baru – mulai dari NKK/BKK hingga pelarangan rambut gondrong.
Membaca selintas sejarah scene underground — termasuk punk — di Indonesia, kita akan
menemukan banyak kisah mengenai bagaimana scene ini berdinamika pada senjakala
hingga pasca kejatuhan Orde Baru. Di Bandung, misalnya komunitas-komunitas punk
membentuk Front Anti Fasis (FAF) dan berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik
(PRD), organisasi yang radikal pada masanya. Tidak hanya mengorganisir komunitas,
‘anak-anak punk’ ini terlibat dalam aksi politik kelompok lain, seperti aksi solidaritas
pada Hari Buruh Internasional tahun 1997.
Pola serupa terjadi di Jakarta. Dalam tesisnya, Fathun Karib mencatat bahwa komunitas
punk Jakarta terlibat dalam aktivitas politik seiring dengan memanasnya situasi nasional
kala itu. Seperti di Bandung, komunitas punk Jakarta juga bergabung dengan PRD. Masih
menurut Karib, pada masa itu PRD memang sengaja merekrut anak muda dari kelompokkelompok punk di seluruh Indonesia. Meski sebetulnya, kecuali kasus Jakarta dan
Bandung, saya belum menemukan literatur yang memperkuat kesimpulan itu.
Artinya, selain melalui gerakan kebudayaan seperti musik, konser, dan zine, sebagian
anak punk atau scenester underground juga terlibat dalam gerakan politik. Hanya saja,
tak banyak literatur yang menyorot keterlibatan punk dalam politik. Beberapa penelitian
justru memberi panggung pada estetika musik underground semata, alih-alih politik.
(Wallach 2003 & 2005, Martin-Iverson 2007 & 2014).
****
Dari sekian banyak produk budaya musik underground, lirik lagulagu underground memang kerap jadi favorit bagi para peneliti untuk membuktikan
keberpihakan suatu subyek terhadap isu tertentu. Singkatnya, ia mudah diteliti. Wallach
(2005), misalnya, mengambil contoh lirik band Death Metal bernama Slowdeath yang
dianggapnya sangat tajam: “There’s no difference between Dutch Colonialism and the
New Order! (Tak ada bedanya kolonialisme Belanda dan Orde Baru)”.
Bukan sekadar liriknya yang bikin Wallach terkesima. Lirik tersebut, yang diambil dari
lagu berjudul The Pain Remains the Same, ditulis dan dinyanyikan di masa ketika Suharto
masih berjaya. Tak banyak musisi – kalaupun ada – yang berani seterang-terangan itu
mengkritik Orba ketika ia masih berkuasa.
Tapi, pertanyaannya: apakah analisis terhadap liri lagu – atau elemen kultural lainnya –
sudah cukup representatif? Apakah dengan melihat 1-2 lirik lagu, kita bisa menyimpulkan
bahwa ini adalah cikal bakal perubahan sosio-politik yang akan terjadi kelak?
Salah satu eksponen gerakan ‘98 yang juga saksi hidup musik underground dan gerakan
sosial di Bandung, Herry ‘Ucok’ Sutresna, meyakini bahwa musik tidak seperkasa itu.
“Saya tidak percaya musik bisa berbicara banyak di gerakan sosial,” kata Ucok
ketika diwawancarai Jurnal Ruang. “Kalau lu mau bikin gerakan sosial, terlibatlah. Turun
dan organisir bersama masyarakat. Di luar itu, enggak ada hal lain. Para petani itu tidak
akan tergerak untuk mereklaim lahan hanya karena mereka mendengar lagu lu.”
Pun pada kenyataannya, di Indonesia, lagu-lagu dengan lirik politis tidak serta merta
menumbuhkan kesadaran politik para scenester underground. Salah satu buktinya, liriklirik bernada pembangkangan milik Sex Pistols, Crass, Black Flag atau Dead Kennedys,
tidak berpengaruh apapun bagi Generasi Pertama Punk Jakarta. Kesadaran politik mereka
baru tumbuh melalui zine seperti Profane Existence dan Maximum Rock N Roll, dan – ini
kuncinya – infiltrasi organisasi politik seperti PRD (Karib, 2007).
Itulah mengapa meski hampir setiap produk lirik dari musik underground berisi nadanada perlawanan nan politis, tidak semua scenester memiliki keinginan untuk berpolitik.
Yang Politis dan Apolitis
Sejatinya, perbedaan pilihan politik adalah kenyataan sosial yang tidak hanya terjadi di
ranah underground. Ia terjadi di hampir setiap lapisan masyarakat. Tentu kita tidak
membayangkan bahwa scene underground memiliki suara politik yang seragam – toh
mereka bukan Orba. Tapi dalam konteks ini, pilihan politik sangat berimplikasi pada
bagaimana kita melihat scene underground dan perannya dalam perubahan sosial.
Perbedaan pilihan politik ini, hemat saya, mestinya menjadi aspek yang penting
digarisbawahi bila ingin melihat seberapa besar pengaruh scene underground terhadap
perubahan sosial-politik. Sebab, di Jakarta dan Bandung misalnya, keberadaan punk
politis diimbangi oleh keberadaan punk yang secara terang-terangan menolak politik.
Dalam risetnya, Fransiska Titiwening (2001; dalam Karib 2007) menemukan, perseteruan
antara punk politis (anarcho-punk) dengan punk apolitis (street-punk) begitu mewarnai
perjalanan komunitas punk Jakarta. Meski tidak ada konfrontasi fisik antara keduanya —
beritahu saya jika ada — garis demarkasi ‘ideologis’-nya cukup jelas. Punk politis
melihat bahwa keterlibatan dalam politik (bukan ‘P’ besar, artinya politik di sini
dimaknai secara lebih luas) adalah sesuatu yang penting. Di masa-masa bergejolak, tidak
sedikit scenester yang ikut mengorganisir massa, beradu batu dan molotov dengan aparat
di jalanan, mengokupasi gedung radio milik pemerintah — laiknya Cakrabirawa pada 1
Oktober ‘65, hingga diculik dan disiksa oleh aparat (Yunus, 2004).
Sementara di sisi lain, punk apolitis melihat bahwa politik adalah omong kosong belaka.
Tentu mereka tidak mempersetankan politik. Tapi, mereka cenderung enggan
menyangkutpautkan politik dengan laku produksi dan konsumsi budaya mereka.
Di Bandung, Resmi Setia (2001; dalam Martin-Iverson, 2014) dalam studinya menemukan
pola yang hampir serupa. Ada perbedaan yang cukup besar di salah satu tongkrongan
punk di Bandung; antara scenester lawas dari kelas menengah yang punya komitmen kuat
terhadap musik dan politik, dengan kelompok baru yang terdiri dari anak-anak jalanan
kelas bawah yang hanya tertarik pada fashion dan gaya hidup ala punk.
Ini persoalan nyata yang masih bertahan sejak era awal punk di Indonesia hingga
Pemilihan Presiden 2014 — dan mungkin pemilu-pemilu selanjutnya. Ada dua esai
menarik dari Herry Sutresna yang berjudul Making Punk A Threat Again dan Rosemary,
Punk Rock dan Endorsment Polisi: Garis Tipis antara Naif dan Moron . Keduanya ditulis
berdasarkan peristiwa di lapangan, yang menurut saya mampu memperlihatkan anomali
punk di Indonesia; bagaimana pilihan untuk menjadi politis atau apolitis akan sangat
berdampak pada situasi kultural dan politik, bahkan dalam scene itu sendiri. Ini tidak
hanya terjadi di scene punk, tapi juga di scene underground lain seperti metal, hip hop,
dan alternatif — omong-omong, ini klasifikasi underground menurut Wallach.
Sejarah yang Berulang
Apa yang terjadi pada anak muda di senjakala kekuasaan Suharto, menurut saya, tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi di penghujung kekuasaan Sukarno. Pada tahun 1965,
1998, serta fase setelah ’65 dan ’98, anak muda – terutama yang menyukai musik nonmainstream – hanya sedang merayakan kebebasannya tanpa memiliki kecenderungan
politik apapun.
Seperti yang Wallach kutip dari pernyataan Yukie (Pas Band), “ underground rock
movement di Indonesia adalah bukti bahwa pemuda Indonesia sedang menentukan
pilihannya sendiri,” (Wallach, 2005). Atau simak kesaksian Munif Bahasuan ketika
diminta menggambarkan masa-masa pasca kejatuhan Sukarno: “Jujur saja, setelah Pak
Harto berkuasa, semuanya jadi lebih terbuka. Kami merasakan masa-masa penuh
kebebasan.”
Tentu saja kita bisa memaknai kedua pernyataan tersebut sebagai pilihan politik — toh
saya meyakini kebebasan individual adalah tindakan politik. Tapi, apakah ini berdampak
pada Politik (huruf ‘P’ besar) pada skala yang lebih besar? Belum tentu.
Ketika Orba membuka diri terhadap pengaruh Barat, termasuk budaya, para ‘pemuda’
berbondong-bondong mengadopsi gaya hidup ala Barat, lebih spesifik lagi
budaya hippies. Jika di Amerika Serikat hippies melakukan pembangkangan budaya
sekaligus politik, tidak demikian di Indonesia. Aria Wiratma dalam Dilarang
Gondrongmenyebut kelompok hippies di Indonesia sebagai hippies abal-abal (plastic
hippies), karena hanya mengimitasi laku dipermukaan saja seperti berambut gondrong,
mabuk-mabukan, seks bebas, dan mengkonsumsi musik rock.
Sejarah membuktikan, meruaknya kebebasan di setiap transisi tidak melulu bermakna
politis. Ini hanya gejala industri budaya, yang membuat semangat perlawanan
dalam hippies maupun gerakan underground beralihrupa menjadi komoditas belaka. Tak
ada yang politis, kecuali kecenderungan untuk bebas mengonsumsi segala tetek bengek
dari ‘budaya perlawanan’, tanpa peduli dengan perlawanan itu sendiri.
Dalam Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer , Dominic Strinati
menyebut bahwa, “industri budaya telah membentuk selera dan kecenderungan massa,
sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan atas
kebutuhan-kebutuhan palsu.” Boleh dikatakan, kebutuhan akan perubahan sistemik
kondisi sosial-politik, disederhanakan menjadi perkara kebebasan
berekspresi/menentukan pilihan sendiri belaka; menjadi perkara kebebasan memilih
benda-benda atau gaya hidup ‘pembangkang’ yang sebetulnya sama sekali tidak
menyentuh bagian yang substansial. Atau dalam bahasa Strinati, “mengesampingkan
kebutuhan-kebutuhan riil, konsep-konsep alternatif dan radikal, serta cara-cara berpikir
dan bertindak oposisional politis.”
****
Apa yang kemudian terjadi pasca-Orba tumbang? Dalam wawancara dengan Jurnal Ruang,
Wallach memberikan pandangan yang lebih jelas: “Mungkin, anak-anak kelas menengah
ini (para scenester underground) lelah. Setelah politis selama beberapa tahun, mereka
mulai berpikir, ‘Kita sudah terlalu banyak bikin lagu anti-Suharto.’ Buat apa? Toh dia
sudah lengser. Biarin aja, tinggal kita sekarang mau apa? Lantas, musik independen
bergeser. Band yang sangat politis seperti Burgerkill dan Puppen disusul oleh band yang
lebih eksperimental dan ‘nyeni’ seperti The Upstairs, White Shoes & The Couples
Company, dan Mocca.”
Sebetulnya tidak berhenti di situ. Pergeseran yang terjadi bukan cuma dari politis menjadi
‘nyeni’, tetapi juga dari segi komersil. Demokrasi pasar pasca-Orba telah mengakibatkan
disorientasi wacana dan gerakan scene underground, menyamarkan musuh, dan yang
paling penting, membuka peluang bagi setiap individu untuk semakin terlibat di sistem.
Industri budaya memastikan kelompok-kelompok ini turut serta dalam sistem (Strinati,
2016).
Penelitian Martin-Iverson (2012) menemukan bahwa pada dekade 2000-an di
Bandung, scene underground terus mengalami depolitisasi dan malah berorientasi pada
urusan gaya hidup semata. Ada pergeseran motif dari politik menjadi ekonomi yang pada
akhirnya menghilangkan identitas mereka sebagai kelompok ‘lawan’. Distro adalah salah
satu manifestasinya: ia bermula sebagai ruang alternatif, kemudian beralih menjadi ruang
transaksional dan menjadi mata rantai ekonomi neo-liberalisme.
“Para pengikutnya aman secara finansial,” tulis Strinati. “bisa membeli banyak barang
yang mereka inginkan; atau yang mereka pikir mereka inginkan, dan tak lagi memiliki
alasan-alasan sadar untuk menghendaki tumbangnya kapitalisme dan menggantikannya
dengan sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara.” Pada akhirnya semua pelaku
di scene underground — yang politis maupun apolitis — menjadi betul-betul apolitis.
****
Dalam kesempatan diskusi di Jakarta beberapa waktu silam, ada satu pertanyaan menarik
dari partisipan diskusi untuk Jeremy Wallach. Orang itu kira-kira bertanya: “Seberapa
signifikan pengaruh musik populer bagi perubahan sosial, terutama pada periode '98?”
Wallach kemudian menjawab, "Kalau tidak ada pengaruhnya, Orba (mungkin) masih
bertahan sampai sekarang."
Ada raut kekecewaan dari si penanya. Ia tidak puas. Demikian dengan saya. Selama
beberapa waktu, pertanyaan orang itu juga membenak di kepala saya. Dan menurut saya,
jawaban Wallach saat itu terlalu menyederhanakan. Entah memang itu jawaban yang ada
di kepalanya, atau ia cuma sedang malas menjawab saja.
Kita bisa bersepakat bahwa setiap budaya tanding punya daya ubah. Tapi seberapa besar
pengaruhnya? Bagaimana ia bekerja? Hingga level mana? Cukupkah lagu-lagu itu
‘menginspirasi’ massa — bukan cuma individu — untuk bergerak? Dan yang paling
penting, apakah perubahan pada skala individu atau kelompok kecil dapat berpengaruh
terhadap situasi yang lebih makro?
Tanpa ekosistem, sebuah elemen radikal – lirik lagu, misalnya – tidak akan berarti apaapa. Sebuah laku budaya bisa dianggap memiliki daya ubah hanya apabila ia bekerja
secara sistemik sehingga memengaruhi situasi yang lebih luas. Lebih jauh lagi, ia mampu
menandingi ekosistem arus utama.
Ucok pernah bertutur dengan sinis: “Kalau sekadar soal musik sebagai produk artistik
yang menghipnotis massa dan meruntuhkan tirani, saya rasa itu cuma dongeng.” Memang,
musik tidak akan meruntuhkan tirani. Musik cuma bakal menarik tirani untuk menonton,
mendengar, dan ikut bernyanyi. (*)