BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan - SYAEFUL AZIZ BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan A.S. Laksana adalah seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan Indonesia yang dikenal aktif menulis cerita pendek. Beberapa karya A.S. Laksana yaitu kumpulan cerpen Murjangkung (2013), Bidadari yang Mengembara

  (2014), Si Janggut Mengencingi Harucakra (2015). Karya A.S. Laksana yang lain yaitu berupa novel Cinta Silver (2005), novel tersebut merupakan adapatasi dari film

  

Cinta Silver . Selain menulis buku fiksi, A.S. Laksana juga pernah menulis buku non

  fiksi yang berjudul Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (2013).

  Oktaviani (2012), mengkaji tentang struktur cerita fantastik dan makna keluarga. Sumber data yang digunakan berupa kumpulan cerpen Bidadari yang

  

Mengembara karya A.S. Laksana. Pendekatan yang digunkan yaitu teori fantastik.

  Hasil penelitian tersebut yaitu, (1) wujud khayalan dan pemberontakan anak pada orang tua, (2) perempuan yang mendominasi dalam rumah tangga, (3) ayah sebagai pemimpin dalam rumah tangga, (4) gejala emosional sebagai salah satu bentuk traumatik pada anak, (5) peran ibu dalam keluarga, dan (6) pentingnya pendidikan seks pada anak. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa terdapat kompleksitas masalah dalam keluarga. Keluarga menghadirkan dua sisi makna, yaitu posittif dan negatif.

  Sementara itu, Muhriani (2017) mengkaji tentang penggunaan metafora dan efek penggunaan metafora. Tujuan penelitian tersebut yaitu mendeskripsikan

  6 penggunaan metafora dan efek penggunaan metafora dalam kumpulan cerpen

  

Bidadari yang Mengembara karya A.S. Lakasana. Sumber data yang digunakan dalam

  penelitian tersebut yaitu buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara karya A.S. Laksana. Pendekatan yang digunakan yaitu stilistika. Hasil penelitian tersebut yaitu (1) penggunaan metafora, berupa (a) mempersingkat narasi, (b) memunculkan ketaksaan sehingga akan muncul berbagai pemahaman sesuai dengan interpretasi masing-masing pembaca, dan (c) melibatkan berbagai pilihan kata yang disediakan bahasa dan menjadi modus untuk berpikir dengan menyamakan suatu peristiwa dengan peristiwa lain, dan (2) efek penggunaan metafora, berupa (a) pengestetisan atau memperindah bahasa, dan (b) memberi nilai rasa atau konotasi makna kata dan menciptakan gambaran peristiwa yang lebih hidup.

  Kemudian, Aprijianti (2017) mengkaji tentang struktur kumpulan cerpen

Bidadari yang Mengembara dan tanda-tanda yang merujuk pada kehidupan anak.

  Tujuan dalam penelitian tersebut yaitu mendeskripsikan struktur kumpulan cerpen

  

Bidadari yang Mengembara dan menafsirkan tanda-tanda yang merujuk pada

  kehidupan anak. Sumber data yang digunkan dalam peneltian tersebut yaitu buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara karya A.S. Laksana. Pendekatan yang digunakan yaitu semiotika (Charles Sanders Pierce). Dari hasil penelitian tersebut terdapat temuan tentang isu kenakalan remaja serta peranan orang tua. Temuan lain juga mengarah pada perilaku moralitas terhadap seorang anak ketika perhatian dan kasih sayang dari orang tua tidak tercurahkan dengan baik dan maksimal. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan kedisiplinan dan pendidikan seksual menjadi hal penting dalam pembentukan karakter dan perilaku seorang anak.

  Dari beberapa penelitian, terlihat karya A.S. Laksana banyak dijadikan objek material. Penelitian yang membahas objek material kumpulan cerpen Bidadari yang

  

Mengembara karya A.S. Laksana, antara lain (1) mengkaji struktur cerita fantastik dan

  makna keluarga, pendekatan yang digunakan yaitu teori fantastik, (2) mengkaji penggunaan metafora dan efek penggunaan metafora, pendekatan yang digunakan yaitu stilistika, (3) mengkaji struktur kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara dan tanda-tanda yang merujuk pada kehidupan anak, pendekatan yang digunakan yiatu semiotika (Charles Sanders Peierce). Sedangkan objek penelitian yang peneliti lakukan yaitu penyimpangan perilaku dan mekanisme pertahanan tokoh utama dalam kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara karya A.S. Laksana. Sumber data dalam penelitian ini yaitu buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara karya A.S. Laksana. Pendekatan dalam penelitian ini yaitu psikologi sastra.

B. Pengertian Cerpen

  Cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca (Sayuti, 2000: 9). Cerpen memuat penceritaan yang memusat kepada satu peristiwa pokok. Namun peristiwa pokok tersebut tidak selalu berdiri sendiri, tetapi terdapat peristiwa lain yang sifatnya mendukung peristiwa pokok (Suyitno, 2009: 44). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa cerpen merupakan sebuah karya sastra yang padat dan tuntas. Cerpen juga merupakan salah satu alternatif untuk dijadikan sebagai sebuah bacaan yang dapat diselesaikan secara singkat. Oleh karena itu, maka cerpen disebut sebagai sebuah karya sastra yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk. Artinya dalam membaca cerpen tidak membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyelesaikannya. Cerpen juga merupakan sebuah karya sastra yang tidak terlalu bertele-tele dalam hal mengembangkan cerita, namun lebih kepada pemadatan isi dan topik untuk lebih efektif dan tidak panjang lebar.

C. Tokoh dan Penokohan 1. Tokoh

  Tokoh cerita (character), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 165). Menurut Sayuti (2000: 73), tokoh adalah elemen struktural fiksi yang melahirkan peristiwa. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik (Nurgiyantoro, 2010: 165). Dengan demikian menurut Nurgiyantoro, ada lima jenis tokoh, yaitu (a) tokoh utama dan tokoh tambahan, (b) tokoh antagonis dan tokoh protagonis, (c) tokoh sederhana dan tokoh bulat, (d) tokoh statis dan berkembang, dan (e) tokoh tipikal dan tokoh netral.

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

  Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

  Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tak langsung (Nurgiyantoro, 2010: 176-177). Tokoh utama yaitu (1) tokoh yang paling terlibat dengan makna dan tema, (2) tokoh yang palning berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) tokoh yang paling banyak memerlukan waktu waktu penceritaan (Sayuti, 2000: 74). Dari penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa perbedaan antara tokoh utama dan tambahan terlihat jelas. Tokoh utama adalah tokoh yang sering muncul dalam cerita. Sedangkan tokoh tambahan hanyalah sebagai tokoh pelengkap atau pendukung dalam sebuah cerita.

b. Tokoh Antagonis dan Tokoh Protagonis

  Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altendberd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2010: 178). Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis beroperasi dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2010: 179). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan tokoh antagonis dan tokoh protagonis memiliki peran dan sifat yang berlainan. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menghadirkan konflik bagi tokoh protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh pengejawantahan norma-norma, dan sekilas menjadi tokoh yang dikagumi oleh pembaca.

  c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Kompleks

  Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau tokoh bulat. Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat- watak yang tertentu saja (Nurgiyantoro, 2010: 181-182). Tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga (Nurgiyantoro, 2010: 183). Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Tokoh kompleks adalah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya (Sayuti, 2000: 77- 78). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan tokoh sederhana dan tokoh bulat mempunyai sisi perbedaan yang jelas. Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki tingkah laku terbatas. Sedangkan tokoh bulat dapat ditampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam, bertentangan dan sulit diduga.

  d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

  Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan tidak berkembang perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa- peristiwa yang terjadi (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2010: 272). Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa serta plot dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkup sosial, alam, maupun yang lainnya, semua itu akan mempengaruhi sikap wataknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara tokoh statis dan berkembang terlihat jelas pada perwatakannya dalam cerita. Tokoh statis dalam perwatakannya cenderung tetap atau monoton, artinya dari awal cerita sampai akhir cerita tidak mengalami perubahan. Sedangkan tokoh berkembang dalam perwatakannya berubah- ubah atau dinamis, dalam arti dari awal samapi akhir cerita dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu.

e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

  Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, dan penunjuk terhadap orang. Atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata (Nurgiyantoro, 2010: 275). Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

  Ia benar-benar merupakan tokoh imajinatif yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah yang sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan hanya diceritakan (Nurgiyantoro, 2010: 275). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan tokoh tipikal dan tokoh netral terdapat pada peranannya di dalam sebuah cerita. Tokoh tipikal disebut- sebut sebagai tokoh yang cenderung memperlihatkan kualitas dirinya dalam hal perbuatan yang mewakili dalam dunia nyata. Sedangkan tokoh netral adalah tokoh yang dengan sengaja dihadirkan sebagai tokoh yang hanya hidupdi dunia fiksi tanpa ada relevansinya dengan kehidupan di luar fiksi.

2. Penokohan

  Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 166). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penokohan berarti cara pengarang menggambarkan atau melukiskan tokoh dalam sebuah karya sastra. Penokohan juga sekaligus mengarah pada teknik perwujudan serta pengembangan tokoh yang dilakukan oleh pengarang.

  Menurut Sayuti (2000: 90-92), terdapat dua metode penokohan, yaitu metode diskursif dan metode dramatis. Metode diskursif hanya menceritakan kepada pembaca tentang karakter tokohnya. Dengan metode ini pengarang menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokohnya. Sedangkan metode dramatis berarti tokoh-tokoh dinyatakan seperti drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri melalui kata-kata, tindakan, atau perbuatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam melukiskan tokoh dapat menggunakan teknik diskursif dan dramatis. Kedua metode tersebut dapat digunakan oleh pengarang dalam menggambarkan dan melukiskan tokoh dalam karya sastra.

D. Hubungan Sastra dan Psikologi

  Atkinson (dalam Minderop, 2016: 3), psikologi berasal dari kata Yunani psyce, yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia. Bagi Aristoteles, ilmu jiwa adalah ilmu mengenai gejala-gejala hidup sehingga setiap makhluk yang hidup itu sebenarnya mempunyai jiwa (Gerungan, 2004: 6). Menurt Suryabrata (2001: 121), tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran, kesadaran digambarkan terdiri dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya dengan proses-proses dalam pancaindera. Psikologi berusaha mencari unsur dasar daripada kesadaran itu dan menentukan bagaimana unsur-unsur itu bergabung. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi merupakan ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Melalui ilmu psikologi, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku manusia dipelajari di dalam ilmu tersebut. Selain itu tugas dari psikologi adalah kesadaran, dalam arti kesadaran tersebut berhubungan dengan pancaindra manusia.

  Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 2014: 3). Menurut Semi (2012: 1), sastra lahir disebabkan oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Psikologi sastra adalah suatu ilmu untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Psikologi sastra erat kaitannya dengan unsur- unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya satra (Ratna, 2012: 342). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi sastra suatu disiplin ilmu yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan dalam karya sastra melalui tokoh-tokoh rekaan yang terdapat dalam suatu karya sastra.

E. Penyimpangan Perilaku

  Penyimpangan perilaku ialah tingkah laku yang tidak memenuhi syarat, tidak dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada. Pribadi yang mengalami penyimpangan perilaku pada umumnya jauh dari status integrasi baik secara internal dalam batin sendiri, maupun secara eksternal dengan lingkungan sosialnya. Pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering didera oleh konflik batin dan tidak jarang dihinggapi gangguan mental (Kartono, 2011: 14). Penyimpangan perilaku bersesuaian dengan gangguan mental atau mental disorder atau semacamnya (Wiramihardja, 2007: 3). Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyimpangan perilaku merupakan sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan kebiasaan anggota masyarakat pada umumnya. Hal itu bisa berupa tindakan yang tidak sesuai norma atau aturan yang berlaku. Penyimpangan perilaku berangkat dari sebuah kecemasan atau kondisi yang tidak menguntungkan pada diri seseorang, sehingga memicu adanya tindakan yang tidak sesuai atau menyimpang.

  Coleman, menyatakan bahwa penyebab penyimpangan perilaku tidaklah tunggal, tetapi terkait dengan kompleksnya perkembangan kepribadian. Perilaku dan gangguan jiwa umumnya memiliki banyak penyebab dan berkaitan dengan apa yang telah ada sebelum gangguan itu muncul, yaitu faktor-faktor bawaan, predisposisi, kepekaan, dan kerapuhan merupakan hasil interaksi antara faktor-faktor bawaan dengan pengaruh-pengaruh luar yang terjadi pada seseorang (Slamet dan Markam, 2003: 32-33). Dari pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa munculnya penyimpangan perilaku dapat disebabkan oleh beberapa hal. Artinya, terjadinya penyimpangan perilaku pada diri seseorang tidak hanya disebabkan oleh faktor internal, tetapi juga oleh faktor eksternal.

  Kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi dapat dikatakan penyimpangan perilaku bila tidak sesuai dengan situasinya (Nevid, 2005: 5). Menurut Nevid, secara umum kriteria penyimpangan perilaku yaitu, (1) perilaku yang tidak biasa, (2) perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial, (3) persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas, (4) stres personal yang signifikan, dan (5) perilaku maladaptif.

  Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan penyimpangan perilaku. Merasakan panik berlebihan ketika memasuki suatu departemen store atau ketika dalam lift yang sesak merupakan hal yang tidak umum dianggap penyimpangan perilaku (Nevid, 2005: 5). Perilaku tidak biasa dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan perilau karena tidak sesuai dengan perilaku individu yang normal. Perilaku tidak biasa juga dapat diaktakan sebagai perilaku yang berlebihan dan tidak wajar.

  Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial. Setiap masyarakat memiliki norma-norma yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam konteks tertentu. Satu implikasi dari definisi penyimpangan perilaku pada norma sosial adalah bahwa norma-norma tersebut mereflesikan standar yang relatif, bukan kebenaran universal (Nevid, 2005:5). Dari pemeparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu masyarakat tentunya memiliki standar norma yang berlaku. Seseorang yang tidak berperilaku sesuai norma yang berlaku dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial.

  Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas. Sistem sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas dapat berupa paranoid, halusinasi, dan delusi (Nevid, 2005: 6).

  Paranoid adalah gangguan kepribadian dengan sifat curiga yang menonjol. Sering bersikap apriori, memvonis sesuatu tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu, tanpa dukungan data yang kuat (Baihaqi, dkk, 2007:134). Paranoid merupakan gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan waham atau imajinasi. Gangguan ini ditanndai dengan berkembangnya satu atau beberapa ide yang salah karena tidak sesuai dengan pendapat orang pada umumnya (Hartati, 2017: 19). Individu yang mengalami paranoid sering merasa curiga kepada orang lain bahkan saudara- saudarnya sendiri. Individu yang mengalami paranoid yang sudah semakin berat dapat memicu munculnya rasa marah tanpa sebab yang jelas dan dapat meresahkan masyarakat (Ambarita, 2014: 104). Waham yang menonjol disertai dengan adanya halusinasi auditorik dan afek datar menjadi karakteristik yang paling sering ditemukan pada penderita paranoid (Lestari, 2014: 11). Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa paranoid merupakan gangguan kepribadian berupa curiga berlebihan. Individu dengan gangguan paranoid mengarah pada persepsi atau interpretasi yang salah terhadap raalitas. Gangguan paranoid juga dapat mersahkan masyarakat jika muncul secara berlebihan dan tidak terkontorol. Selain itu, munculnya paranoid dapat disebabkan persoalan yang menimpa seseorang, dan persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Paranoid erat hubungannya dengan waham atau inmajinasi yang tidak rasional.

  Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu, tetapi tidak ada rangsangan yang menimbulkannya. Halusinasi pada umumnya dialami oleh sebagian besar para penderita gangguan mental berat (Baihaqi, dkk, 2007: 71). Menurut Arif (2006: 18), halusinasi dapat berwujud pengindraan yang keliru, tetapi yang paling sering berupa halusinasi dengar dan halusinasi penglihatan. Sedangkan menurut Pieter dan Lubis (2010: 113), halusinasi merupakan gejala gangguan psikotik penderita skizofrenia yang ditandai gangguan persepsi pada berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa halusinasi merupakan gangguan yang dapat berupa persepsi yang salah. Halusinasi erat kaitannya dengan pancainrda, seperti pendengaran dan penglihatan.

  Delusi adalah kesalahan dalam menilai, atau keyakinan tentang isi pikirannya, padahal tidak sesuai dengan kenyataan (Baihaqi, dkk, 2007: 101). Delusi merupakan waham tentang dirinya dikendalikan atau dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. Secara jelas merujuk pada pengalam inderawi yang tidak wajar (Berawi dan Umar, 2017: 112). Delusi merupakan keyakinan yang salah berdasarkan pengalaman yang tidak benar terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan kultur seseorang (Zahnia dan Sumekar, 2016: 163). Delusi menunjukkan pikiran yang tidak beres, karena berdasarkan suatu keyakinan palsu. Tidak dapat memakai akal sehat, tidak ada dasar kenyataan dan tidak sesuai dengan pengalaman (Pasaribu, 2013: 192). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa delusi merupakan suatu gangguan yang mengarah pada kondisi pikiran yang tidak rasional.

  Individu yang mengalami delusi biasanya dipicu oleh persoalan yang menimpanya. Hal itulah yang akhirnya membuat seseorang dihinggapi oleh gangguan delusi.

  Stres personal yang signifikan adalah kondisi stres personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi, kecemasan, ketakutan, atau depresi dapat dianggap penyimpangan perilaku. Ancaman dan kehilangan yang nyata terjadi dan dialami oleh setiap orang dari waktu ke waktu, dan tidak adanya respon emosional pada kondisi tersebut dapat dianggap sebagai penyimpangan perilaku (Nevid, 2005: 6). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa individu yang mengalami stres persenolan yang signifikan merupakan salah satu kriteria penyimpangan perilaku. Stres personal erat kaitannya dengan gangguan emosi dan depresi yang menimpa seseorang.

  Perilaku maladaptif merupakan perilaku yang menghasilkan ketidakbahagiaan dan bukan pemenuhan diri dapat dianggap sebagai penyimpangan perilaku. Perilaku yang membatasi kemampuan seseorang untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan juga dapat disebut sebagai penyimpangan perilaku (Nevid, 2005: 7). Maladaptif merupakan perilaku yang mempunyai dampak merugikan bagi individu dan masyarakat. Perilaku maladaptif mencakup gangguan- gangguan seperti neurosis dan psikosis (Baihaqi, dkk, 2007: 21). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku maladaptif termasuk perilaku yang nerugikan orang lain. Perilaku maladaptif dapat dikatakan sebagai perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri dan anggota masyarakat lainnya.

  Menurut Wiramihardja (2007: 6) penyimpangan perilaku berdasarkan karakteristik yaitu, (1) kerusakan, (2) perilaku yang menyebabkan perasaan menderita, (3) perilaku yang secara serius diintervensi dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) karakteristik yang menginndikasikan bahwa individu telah kehilangan sentuhan realitas. Demage (kerusakan) yang sifatnya individual, sama seperti seorang remaja yang memotong rambut dan sebagainya sehingga nampak eksklusif sebagai akibat dari kejenuhan, kekesalan dan ketidaknyamanan diri (Wiramihardja, 2007: 6). Perilaku itu menyebabkan perasaan atau alam perasaan individual menderita, misalnya ada rasa sakit hati dan depresi yang dirasakan orang ketika menjalani kehidupan dan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya atau melaksanakan apa yang dikehendaki orang (Wiramihardja, 2007: 6). Perilaku yang secara berat atau serius diintervensi khususnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti seseorang yang memiliki fobia-fobia yang ekstrim terhadap berbagai macam objek ataupun keadaan (Wiramihardja, 2007: 7). Karakteristik yang mengindikasikan bahwa individu telah kehilangan sentuhan realitas dan tidak dapat mengendalikan perilaku serta pikirannya seperti yang terjadi dalam gangguan yang disebut skizofrenia (Wiramihardja, 2007:7).

  Dalam bukunya Kartono, selain karakteristik juga disebutkan mengenai aspek- aspek penyimpangan perilaku. Berikut ini menurut Kartono (2011: 15), aspek-aspek penyimpangan perilaku yaitu aspek lahiriah dan aspek-aspek simbolik yang tersembunyi. Aspek lahiriah, yaitu meliputi deviasi lahiriah verbal dan deviasi lahiriah nonverbal. Deviasi lahiriah verbal berbentuk kata-kata yang tidak sesuai norma yang ada, misalnya dalam bentuk makian, kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan dunia kriminal. Sedangkan deviasi lahiriah nonverbal merupakan semua tingkah laku nonverbal yang nyata kelihatan. Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi, aspek tersebut meliputi sikap- sikap hidup, emosi-emosi, sentimen-sentimen, dan motivasi-motivasi yang mengembangkan tingkah laku menyimpang. Hal itu berupa pikiran yang paling dalam dan tersembunyi, atau berupa iktikad kriminal di balik semua aksi-aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang (Kartono, 2011: 7).

F. Mekanisme Pertahanan

  Menurut Hilgard (dalam Minderop, 2016: 29), istilah mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap kecemasan. Mekanisme ini melindunginya dari ancaman-ancaman eksternal atau adanya impuls-impuls yang timbul dari kecemasan internal dengan memutarbalikan realitas dengan berbagai cara. Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada mekanisme pertahanan diri berkaitan dengan dinamika kepribadian. Mekanisme pertahanan dapat melindungi dari ancaman-anacaman yang muncul pada diri seseorang, ancaman tersebut berasal dari luar dan dari dalam diri seseorang.

  Mekanisme pertahanan menjadikan alat sebagai bentuk penolakan terhadap realitas.

  Mekanisme pertahanan jika digunakan secara berlebihan, maka dapat menyebabkan tingkah laku yang memaksa, pengulangan, dan neurotik (Semiun, 2006: 96). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apabila mekanisme pertahanan tidak terkontrol dengan baik akan menyebabkan tindakan-tindakan yang tidak baik dalam diri manusia. Mekanisme pertahanan dapat mengarah pada dorongan yang memaksa untuk diwujudkan. Selain itu, mekanisme pertahanan yang berjalan tidak baik juga dapat mengarah pada kondisi kejiwaan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

  Menurut Cervone dan Pervin (2011: 110), macam-macam mekanisme pertahanan yaitu penyangkalan, isolasi, reaksi formasi, sublimasi, dan represi.

  Sedangkan menurut Minderop (2016: 32), macam-macam mekanisme pertahanan yaitu represi, sublimasi, proyeksi, pengalihan, rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, agresi, dan fantasi. Dari dua pendapat para ahli tersebut, macam-macam mekanisme pertahanan mempunyai keterkaitan dan juga saling melengkapi satu sama lain, sehingga dapat digabungkan untuk kepentingan penelitian agar nantinya dapat saling memperkuat penelitian yang peneliti lakukan. Dengan demikian jenis mekanisme pertahanan meliputi, (1) penyangkalan, , (2) represi, (3) agresi, dan (4) fantasi.

1. Penyangkalan

  Penyangkalan merupakan sebuah upaya menolak mengakui adanya stimulus yang menimbulkan kecemasan. Seseorang yang melakukan penyangkalan biasanya mengalami stres atau rasa sakit yang berat (Friedman dan Schustack, 2008: 94). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penyangkalan merupakan upaya untuk menghindari atau menolak kecemasan. Penyangkalan yang muncul dari dalam diri seseorang biasanya disebabkan oleh persoalan-persoalan yang dialamnya. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan stres atau rasa sakit yang berat.

  Individu dalam pikiran sadar menyangkal peristiwa traumatis yang ada atau di sisi lain fakta yang tidak dapat diterima secara sosial, sehingga mereka menyangkal kebenarannya. Seperti diketahui, anak-anak menyangkal kematian binatang yang disayanginya dan berlaku seolah-olah binatang tersebut masih hidup lama setelah kematiannya (Cervone dan Pervin, 2011: 110-111). Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyangkalan adalah sebuah usaha pertahanan diri seseorang ketika mengalami persoalan dalam dirinya. Persoalan tersebut tidak bisa diterima oleh dirinya sehingga melakukan perilaku yang bertolak belakang. Penyangkalan yang dilakukan oleh seseorang juga bisa diartikan sebagai usaha untuk menghindar dari kecemasan sebagai bentuk penolakan terhadap realita atau hal-hal yang tidak bisa diterima dari dalam dirinya.

2. Represi

  Represi merupakan proses penekanan dorongan-dorongan ke alam bawah sadar. Seseorang cenderung menekan keinginan atau hasrat yang apabila dilakukan dapat menimbulkan perasaan bersalah dan konflik yang menimbulkan rasa cemas atau menekan ingatan yang menyakitkan (Yusuf dan Nurikhsan, 2011: 53-54). Tugas represi ialah mendorong keluar implus-implus id yang tidak diterima, dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan atau mendorong implus-implus yang mengancam agar keluar dari alam sadar (Minderop, 2016: 33). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa represi erat kaitannya dengan dorongan alam sadar. Represi berperan penting untuk menjaga dan menahan dorongan alam bawah sadar yang mengancam atau tidak diinginkan.

  Represi memaksa pengalaman-pengalaman yang tidak diinginkan dan penuh dengan kecemasan memasuki ketidaksadaran sebagai pertahanan terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh kecemasan (Semiun, 2006: 57). Represi salah satu mekanisme pertahanan yang berperan penting. Dorongan id dapat dengan sangat leluasa menuntut untuk direalisasikan oleh ego. Apabila semua dorongan tersebut tidak terkontrol maka akan menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain. Bentuk pertahanan dari represi yaitu mengembalikan atau membatalkan dorongan id yang tidak baik agar tidak direalisasikan oleh ego. Maka dari itu represi benar-benar bekerja keras untuk tetap menjaga dan menahan dorongan-dorongan yang tidak layak dari id.

3. Agresi

  Agresi adalah suatu tindakan yang ditujukan pada penghambat, tetapi dengan efek maupun cara yang merusak. Dalam hal ini kerusakan itu bisa dirinya sendiri, orang lain, maupun sistem (Wiramihardja, 2007: 46). Perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Agresi pengalihan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tak tersentuh (Minderop, 2013: 38-39). Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa mekanisme pertahanan dalam bentuk agresi dapat merusak atau memunculkan dampak negatif. Agresi berupa sebuah tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Hal itu itu dikarenakan agresi adalah sebuah tindakan yang muncul akibat sebuah keadaan tidak baik yang menimpa seseorang. Agresi muncul sebagai upaya pemenuhan diri seseorang yang mengalami tekanan atau persoalan lain yang tidak menguntungkan.

4. Fantasi

  Fantasi ialah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan baru. Kekuatan fantasi manusia dapat melepaskan diri dari keadaan yang dihadapinya dan menjangkau ke keadaan-keadaan yang akan mendatang (Walgito, 2010: 159). Fantasi yaitu pikiran tentang suatu keadaan atau kejadian yang diharapkan atau diinginkan, tetapi sebenarnya tidak nyata (Baihaqi, dkk, 2007: 99). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam diri manusia terdapat fantasi untuk memenuhi tuntutan yang bertolak belakang dengan realitas. Fantasi membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan baru dalam diri seseorang. Kekuatan fantasi mengarah pada kondisi psikologis seseorang untuk menjangkau ke kejadian yang belum terjadi atau bahkan tidak akan pernah terjadi.

  Menurut Hilgard (dalam Minderop, 2016: 39), ketika seseorang menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang-kadang seseorang tersebut mencari solusi dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang berdasarkan fantasi daripada realitas. Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa fantasi atau khayalan muncul akibat kondisi yang teramat berat pada diri seseorang. Fantasi muncul ketika kondisi tersebut benar-benar tidak bisa diselesaikan, sehingga pada situasi tersebut mengarah pada perilaku berupa khayalan sebagai pemenuhan diri.