DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 20032004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

  

DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL

SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI

SANTA MARIA MALANG TAHUN AJARAN 2003/2004

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK

BIMBINGAN KELOMPOK

  S k r i p s i Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Oleh: Lucia Martini

  NIM : 001114008

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .…………………………….. iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………… v ABSTRAK …………………………………………………………………… vi ABSTRACT ……………………………………………………………….. vii KATA PENGANTAR ...……………………………………………………... viii DAFTAR ISI …………………………………………………………………. xi DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xv DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. xvi

  BAB I: PENDAHULUAN …………………………………………………... 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1 B. Perumusan Masalah ……………………………………………... 7 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………... 8 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………. 8

  BAB II: KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………… 11 A. Hakekat Kecerdasan Emosional ………………………………… 11

  1. Pengertian Kecerdasan Emosional …………………………... 11

  2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ……………………….... 14

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ..... 23

  B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja ……………………………… 27

  1. Ciri-ciri Masa Remaja ……………………………………….. 27

  2. Tugas Perkembangan Remaja ……………………………….. 34

  C. Bimbingan Kelompok …………………………………………… 36

  D. Pelayanan Bimbingan di Asrama ……………………………….. 39

  1. Pengertian Asrama …………………………………………… 39

  2. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama Khususnya Pengembangan Kecerdasan Emosional …………………..... 41

  3. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pelayanan Bimbingan di Asrama ……………………………………………………. 48

  BAB III : METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 50 A. Jenis Penelitian ………………………………………………… 51 B. Subjek Penelitian ………………………………………………. 51 C. Instrumen Penelitian …………………………………………… 52

  E. Teknik Analisis data …………………………………………… 67

  BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………. 69 A. Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……………………………………………………… 69

  B. Pembahasan ……………………………………………………. 70

  BAB V : USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK DAN CONTOH SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN DI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG SEBAGAI IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ………………………………………………. 87 A. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok untuk Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang ……………………………… 87 B. Contoh Satuan Pelayanan Bimbingan …………………………... 93 BAB VI : RINGKASAN, KESIMPULAN, DAN SARAN ………………….. 98 A. Ringkasan ………………………………………………………. 98 B. Kesimpulan …...……………………………………………….. 100 C. Saran ......…...……………………………………………………. 100

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1 : Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosiona untuk Penelitian ……. 55 Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas Item ..………………….. 58 Tabel 3: Kisi-kisi Kecerdasan emosional Yang Diuji Cobakan …………….. 64 Tabel 4: Penggolongan Tingkat Kecerdasan Emosional Penghuni

  Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 …....... 68 Tabel 5: Penggolongan Tingkat kecerdasan Emosional Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 ……... 69 Tabel 6: Tingginya Masing-masing Aspek Kecerdasan Emosional Para Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang Tahun Ajaran 2003/2004 …………………………………………… 70 Tabel 7: Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok Bagi siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang .…………………........ 88

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman Lampiran 1 : Kuesioner Kecerdasan Emosional Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria Malang …………………

  106 Lampiran 2 : Skor Uji Coba Kuesioner Kecerdasan Emosional ….……… 113 Lampiran 3 : Hasil Perhitungan Taraf Validitas …………………………….

  121 Lampiran 4 : Skor Kecerdasan Emosional Siswi SMA Penghuni Asrama Putri Santa Maria……………………….... 131 Lampiran 5 : Surat Permohonan Ijin Penelitian….…………………………. 141

  

ABSTRAK

DESKRIPSI KECERDASAN EMOSIONAL

SISWI SMA PENGHUNI ASRAMA PUTRI SANTA MARIA MALANG

TAHUN AJARAN 2003-2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN

TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

  Lucia Martini Universitas Sanata Dharma, 2004

  Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan kelompok.

  Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripsi dengan survai. Subjek penelitian adalah siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004 yang berjumlah 50 orang. Mereka terdiri dari SMA kelas I: 29 orang, kelas II: 21 orang.

  Instrumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh penulis sendiri dengan mengambil inspirasi dari buku Emotional Intelligence, yang dikarang oleh Goleman (2002). Kuesioner tersebut terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mencakup ke lima aspek kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Jumlah seluruh item ada 90 butir.

  Teknik analisis data yang digunakan adalah perhitungan frekwensi dengan pendistribusiannya berdasarkan rumus Penilaian Acuan Patokan tipe I. Tingginya kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama Santa Maria Malang digolongkan menjadi 5 yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004: (1) yang memiliki kemampuan mengenali emosi yang: sangat rendah 6%, rendah 30%, cukup 64%, tinggi 0%, dan yang sangat tinggi 0%, (2) yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang sangat rendah 0%, rendah 16%, cukup 60%, tinggi 24%, dan sangat tinggi 0%, (3) yang memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri yang sangat rendah 4%, rendah 24%, cukup 58%, tinggi 14%, sangat tinggi 0%, (4) yang memiliki kemampuan mengenali

  

ABSTRACT

THE DESCRIPTION OF THE EMOTIONAL INTELLIGENCE OF THE

SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS, THE OCCUPANTS OF THE

GIRL DORMITORY OF SAINT MARY, MALANG, IN THE

  

ACADEMIC YEAR OF 2003/2004 AND THE IMPLICATION

FOR A PROPOSAL OF CLASS GUIDANCE TOPICS

Lucia Martini

2004

  The aim of this research was to describe the level of the emotional intelligence of the Senior High School students, the occupants of the Girl Dormitory Sanit Mary, in Malang, ini the academic year of 2003/2004, and the implication for a proposal of slass guidance topics.

  This research was a descriptive research applying a survey method. The number of the subjects of this research was 50 students, consisting of 29 firt grade students, and 21 second grade students.

  The instrument employed to collect the data was a questionnaire, constructed by the researcher herself, on the basis of the Emotional Intelligence book, written by Goleman (2002). The questionnaire consisted of questions that covered the five aspects of the emotional intelligence, namely: (1) knowing one’s emotions, (2) managing emotions, (3) motivating oneself, (4) recognizing emotions in others, (5) handling relationships.

  The data were analyzed by classifying the level of the emotional intelligence of the satudents on the basis of the Norm-Reference Test, type I. The results of this research indicate that the level of each of the emotional intelligence aspects of the occupants of the Girl Dormitory Saint Mary, in Malang, in the academic year of 2003/2004 is as follows (1) in knowing one’s emotion, among the students: (a) 6% have very low ability; (b) 30% have low ability; (c) 64% have high enough ability; (d) 0% has high ability; (e) 0% has very high ability; (2) in managing emotions, among the students: (a) 0% has very low ability; (b) 16 % have low ability; (c) 60% have high enough ability; (d) 24% have high ability; (e) 0% has very high ability; (3) in motivating oneself, among the students: (a) 4% have very low ability; (b) 24% have low ability; (c) 58% have high enough ability; (d) 14% have high ability; (e) 0% has very high ability: (4) in recognizing emotions in others,

  Based on the results of the study, the researcher proposed class guidance topics to be delivered for the occupants of the Girl Dormitory Sanit Mary, in Malang.

BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini disajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional. A. Latar Belakang Masalah Intelligence quotient adalah istilah populer yang dikenal oleh banyak orang. Mereka beranggapan bahwa anak dengan kecerdasan intelektual mempunyai

  peluang besar untuk sukses. Banyak orang tua mendewakan “NEM” yang tinggi dan mengandaikan bahwa IQ yang tinggi menjadi penentu sukses dalam kehidupan. Sekarang kita tidak hanya mengenal IQ (Intelligence Quotient) saja, tetapi juga telah dikenal istilah EI (Emotional Intelligence). Dewasa ini EI banyak dibahas dan pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro, 2000: 5). EI dalam bahasa Indonesia adalah kecerdasan emosional. Sekarang kecerdasan tidak lagi dipandang hanya mencakup kecepatan berpikir, ketepatan menghitung, melainkan juga pengendalian emosi dan kemampuan mengendalikan diri dalam hubungan dengan sesama. Mengingat pentingnya kecerdasan emosional, peneliti berpandangan bahwa pengembangan kecerdasan emosional sangat perlu bagi remaja baik lewat lembaga pendidikan di

  Dalam buku laporan pelaksanaan bidang karya para Suster Santa Perawan Maria di Indonesia (1984-1988) disebutkan bahwa sejak awal berdirinya konggregasi, disadari betapa pentingnya pendidikan dalam suatu asrama.

  Pembinaan di asrama merupakan bagian dari medan karya konggregasi para Suster Santa Perawan Maria yang utama, dan bidang ini ternyata sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena masyarakat sadar bahwa pembinaan merupakan kunci perkembangan mental manusia yang mendasari perkembangan lainnya .

  Pengelolaan asrama merupakan salah satu bentuk perwujudan kepedulian Suster-suster Santa Perawan Maria terhadap generasi muda jaman ini. Hal ini merupakan realisasi dari Konstitusi yaitu Konstitusi Kongregasi Suster Santa Perawan Maria (1984, 75 al. 2) yang berbunyi “kita membaktikan diri kepada kebahagiaan hidup manusia dengan berusaha melaksanakan karya belas kasih rohani dan jasmani” sesuai dengan tradisi kita terutama berkarya di bidang pembinaan.

  Asrama Santa Maria di Malang adalah salah satu asrama putri yang menampung siswi Sekolah Menengah Atas. Para remaja penghuni asrama ini berumur sekitar 15-18 tahun. Mereka berada dalam masa remaja. Menurut Hurlock (1994: 207) masa remaja adalah masa peralihan. Biasanya orang mengatakan bahwa masa ini merupakan suatu proses, bukan produk yang sekali

  Sikap dan perilaku remaja diharapkan berkembang seimbang dengan tingkat perubahan fisiknya. Sejak awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi secara pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Sebaliknya, apabila perubahan fisik menurun, perubahan perilaku dan sikap pun menurun.

  Remaja berada pada masa peralihan. Karena itu individu yang bersangkutan bukan lagi anak dan bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti anak- anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai dengan umurnya,” tetapi kalau remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, ia seringkali dituduh “terlalu besar untuk celananya”.

  Pada masa kanak-kanak, individu masih merasa aman karena semuanya ada dalam perlindungan orangtua, namun ketika memasuki masa remaja, individu mengalami kebingungan, kegelisahan. Remaja mulai meniru perilaku orang dewasa, misalnya merokok.

  Menurut Goleman (1997: 14) generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih kompulsif dan agresif. Kecerdasan emosional sangat berpengaruh bagi perkembangan individu. Menurut konsep Goleman, orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang matang dalam hal pengaturan kondisi diri dan emosinya. Lewat penelitian-penelitian para ahli telah ditunjukkan bahwa sudah memasuki dunia kerja. Peran kecerdasan intelektual atau IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua setelah kecerdasan emosional. Menurut penelitian para ahli, IQ hanya menyumbang 20% dari faktor penentu keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80% adalah faktor-faktor lain termasuk kecerdasan emosional (Goleman, 1997). Dalam kenyataannya sekarang ini, dapat dilihat bahwa orang yang ber-IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan mudah marah, sering kali keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup karena tidak dapat berkonsentrasi (Suparno, 2004). Menurut Suparno emosi yang tidak berkembang, tidak terkuasai, sering membuat orang berubah-ubah dalam menghadapi persoalan dan bersikap terhadap orang lain sehingga banyak menimbulkan konflik. Di lain pihak ada orang yang IQ-nya tidak tinggi, tetapi karena ketekunan dan emosinya seimbang, dapat sukses dalam belajar maupun dalam bekerja.

  Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional merupakan sumber daya sinergis; tanpa yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif.

  Kecerdasan intelektual dapat membuat orang berhasil meraih nilai maksimal tetapi tidak berhasil dalam kehidupan. Hanya kecerdasan emosional yang mampu memahami pelbagai perasaan secara mendalam, ketika perasaan itu muncul. Tanpa kemampuan untuk mengenali dan menghargai perasaan, serta bertindak jujur sesuai dengan perasaan yang bersangkutan tersebut, orang tidak akan mudah, dan sering akan terombang-ambing sehingga tidak pernah bersentuhan dengan perasaannya sendiri.

  Orang yang mempunyai kecerdasan emosional, diharapkan mampu mengungkapkan emosinya secara konstruktif. Sebaliknya, orang yang kecerdasan emosionalnya rendah akan kurang berhasil, karena cepat merasa gagal, mudah menyerah jika menghadapi kesukaran.

  Mengingat pentingnya kecerdasan emosional remaja khususnya penghuni asrama, maka perlu ada bimbingan yang dimaksudkan juga untuk mengembangkan kecerdasan emosional di asrama. Bimbingan dimaksudkan agar binimbing mampu mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta mampu menerimanya secara positif sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut. Bagi asrama sendiri, pengembangan kecerdasan emosional merupakan sesuatu yang baru karena selama ini asrama belum mempunyai program bimbingan, sehingga dibutuhkan keberanian dan kemauan untuk memulainya mengingat remaja yang tinggal di asrama adalah generasi penerus bangsa. Pembimbingan yang dilakukan sungguh-sungguh secara optimal dapat memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan mereka di masa depan.

  Pembimbingan di asrama harus mampu menyentuh aspek-aspek kecerdasan emosional yang sering kurang diperhatikan dibandingkan aspek kognitif.

  Lingkungan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi lain-lain. Setiap warga asrama dituntut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, yaitu asrama, di mana mereka tinggal dan hidup bersama.

  Hidup bersama tentu tidak mudah; seringkali timbul berbagai permasalahan dalam hidup bersama di asrama. Keberhasilan menyesuaikan diri dengan kehidupan di asrama sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam menjawab atau mengatasi situasi permasalahan yang ada. Warga asrama perlu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk memperoleh keberhasilan dalam kehidupan di asrama.

  Salah satu tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1994) ialah penyesuaian dengan lingkungan. Bagi remaja menyesuaikan diri dengan lingkungan sering dirasa sulit; untuk dapat mencapai hubungan yang baru dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional. Berdasarkan pengalaman penulis, pengembangan bidang kecerdasan emosional di asrama mempunyai peluang yang lebih besar daripada di sekolah, karena anak-anak tinggal di asrama sehingga pihak pengelola asrama dapat menyusun program sesuai dengan waktu yang ada; di sekolah waktu terbatas antara lain karena padatnya kurikulum. Apabila pengembangan kecerdasan emosional di asrama dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini merupakan sumbangan yang besar bagi kehidupan remaja di masa yang akan datang. Pihak pengelola asrama hendaknya memiliki topik bimbingan yang relevan dengan kebutuhan penghuni asrama sehingga program itu dapat sungguh remaja dan tingkat kecerdasan emosional remaja. Sering dijumpai topik pembimbingan yang diberikan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan remaja dan tugas perkembangan remaja sehingga tujuan tidak tercapai.

  Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menyusun materi pelayanan bimbingan yang sesuai dengan taraf perkembangan, kebutuhan dan permasalahan yang dialami para remaja penghuni asrama khususnya dalam bidang kecerdasan emosional. Dengan memberikan topik bimbingan yang relevan, para remaja yang tinggal di asrama akan dibantu menjadi pribadi yang mampu mengatur hidupnya, dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, memiliki pandangan sendiri, memiliki kemandirian, memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri, dan akhirnya mampu mengambil keputusan secara tepat.

  Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi sangat tertarik dan terdorong untuk melakukan penelitian mengenai tingkat kecerdasan emosional para penghuni asrama putri Santa Maria di Malang tahun ajaran 2003/2004 dan topik- topik bimbingan mana yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya.

B. Perumusan Masalah

  Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang, tingkat masing-masing aspek kecerdasan emosional para siswi SMA penghuni asrama topik bimbingan kelompok dalam bidang kecerdasan emosional. Secara khusus, pertanyaan yang ingin dijawab adalah :

  1. Seberapa tinggikah masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004?

  2. Manakah topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

  1. Mengetahui tingginya masing-masing aspek kecerdasan emosional siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang tahun ajaran 2003/2004.

  2. Dapat menyusun suatu usulan topik bimbingan yang sesuai bagi para siswi SMA penghuni asrama putri Santa Maria Malang, untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya.

  D. Manfaat Penelitian.

  Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak:

  1. Para penghuni asrama putri Santa Maria Malang akan memperoleh informasi tentang tingkat kecerdasan emosionalnya, dan diharapkan termotivasi untuk meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

  2. Pendamping asrama putri Santa Maria di Malang dapat memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam mengembangkan kecerdasan emosional para penghuni asrama .

  3. Persatuan Suster Santa Perawan Maria dapat memperoleh masukan yang berguna untuk pembinaan bidang pengembangan kecerdasan emosional di asrama-asrama yang ada di lingkup Kongregasi Suster Santa Perawan Maria.

  4. Peneliti sendiri memperoleh pengalaman dalam mengungkap tingkat kecerdasan emosional dan dalam menyusun topik-topik bimbingan tentang kecerdasan emosional.

E. Definisi Operasional

  Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini:

  1. Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terinci (Depdikbud, 1990: 201).

  2. Kecerdasan emosional Kemampuan mengenali emosi kita sendiri, dan emosi orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi serta kemampuan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001: 512), seperti yang dimaksudkan dalam butir-butir kuesioner yang digunakan.

  3. Penghuni asrama Penghuni asrama adalah remaja berumur 15-18 tahun yang tinggal di asrama putri Santa Maria di Malang pada tahun ajaran 2003/2004.

  4. Asrama Asrama adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi pelajar Sekolah Menengah Atas, yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

  5. Bimbingan Bimbingan menurut Rachman Natawidjaja (Winkel, 1997: 67) adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat.

  6. Usulan topik-topik bimbingan Usulan topik-topik bimbingan terbatas pada topik-topik yang tercakup dalam kecerdasan emosional yang diusulkan untuk digunakan sebagai acuan pelaksanaan bimbingan kelompok oleh pembimbing di asrama putri Santa Maria di Malang.

  7. Bimbingan kelompok Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan (Winkel, 1997: 518).

BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi uraian mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan topik

  penelitian yaitu: (1) Hakekat kecerdasan emosional yang meliputi: pengertian kecerdasan emosional, aspek-aspek kecerdasan emosional, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional; (2) Penghuni asrama sebagai remaja yang meliputi: ciri-ciri masa remaja, tugas perkembangan remaja; (3) Pengertian bimbingan kelompok; (4) Pelayanan bimbingan di asrama meliputi: pengertian asrama, pentingnya pelayanan bimbingan di asrama khususnya pengembangan kecerdasan emosional, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan bimbingan di asrama.

A. Hakekat Kecerdasan Emosional

  1. Pengertian Kecerdasan Emosional

  Emotional intelligence atau kecerdasan emosional pertama kali

  dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan John Mayer (Shapiro, 2000: 5). Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri, dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa (Goleman, 2001: 512; Goleman, 2002: 45). Senada dengan yang dikatakan oleh Goleman, Peter Salovey dan Jack Mayer (Stein dan Book, 2002: 30) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

  Sejalan dengan Goleman, Patton (1998: 72-73) memberikan definisi kecerdasan emosional lebih sederhana. Kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Salovey dan Mayer (Shapiro, 2001: 8) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

  Cooper dan Sawaf (1998: 15 ) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan berapa saja. Dengan kemampuan ini akan didapat pemahaman yang tepat mengenai pengalaman emosinya serta bagaimana cara mengelola emosi tersebut.

  Sebelum kehadiran konsep kecerdasan emosional, banyak orang berpegang pada kecerdasan intelektual (IQ) untuk menjelaskan keberhasilan seseorang. Orang beranggapan bahwa bila IQ seseorang tinggi, maka ia akan sukses dalam belajarnya dan akhirnya juga sukses dalam kehidupan yang nyata. Anggapan seperti itu tidak selalu benar. Pada kenyataannya ada banyak orang yang IQ-nya tinggi, tetapi gagal dalam hidupnya. Ternyata IQ yang tinggi bukanlah segala-galanya, karena di samping kecerdasan intelektual (IQ), ada kecerdasan lain yang turut mempengaruhi keberhasilan orang. Orang yang sukses bukan orang yang cerdas secara IQ, tetapi orang yang secara emosional cerdas sehingga dapat memperkembangkan kecerdasan-kecerdasan yang lain (Suparno, 2004).

  Shapiro (1997) menekankan konsep kecerdasan emosional sebagai konsep yang sangat bermakna, meskipun mungkin tidak akan pernah dapat diukur secara akurat seperti halnya pengukuran IQ. Cooper dan Sawaf (1998) menganggap bahwa nilai IQ diyakini tidak banyak berubah seumur hidup, sedangkan kecerdasan emosional dipandang sebagai kecerdasan yang dapat dipelajari, dapat dikembangkan dan disempurnakan kapan saja dan pada usia belum bertuliskan apa-apa. Akan jadi apa kertas putih tersebut, sangat tergantung pada proses yang dialami selanjutnya (Sarwono, 1984). Konsep ini ditekankan pula dalam teori-teori psikologi perkembangan, bahwa proses belajar akan sangat berpengaruh dalam diri orang dan akan jauh lebih menentukan dalam proses pembentukan diri dibandingkan dengan faktor genetika.

  Kecerdasan emosional memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait dengan kemampuan orang dalam menggunakan potensi emosionalnya dalam kehidupan sehari-hari. Albin (1983) menyatakan bahwa semua manusia tanpa terkecuali, dianugerahi kemampuan emosional yang unik, sehingga semua dapat belajar untuk memahami dan menerimanya.

  Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menyadari dan mengenali emosi- emosinya sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.

  2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional berkembang bersamaan dengan sejarah manusia itu sendiri (Stein dan Book, 2002). Salovey (Goleman, 2002: 57) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dapat emosional. Kelima wilayah atau aspek kecerdasan emosional tersebut adalah: (a) mengenali emosi diri; (b) mengelola emosi; (c) memotivasi diri sendiri; (d) mengenali emosi orang lain; dan (e) membina hubungan. Berikut ini masing- masing aspek diperjelas.

  a. Mengenali emosi sendiri (Self-Awareness) Kemampuan mengenali emosi merupakan kemampuan mengenali emosi pada waktu emosi itu muncul, dan mampu memberi nama atau menyebutkan nama emosi yang bersangkutan. Orang dikatakan berhasil mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas emosinya. Mengenali emosi diri merupakan kesadaran orang akan emosinya. Mengenali emosi merupakan dasar dari kecerdasan emosional.

  Para ahli psikologi menggunakan istilah metamood untuk menyebut kesadaran orang akan perasaannya. Mengenali emosi sewaktu emosi itu terjadi merupakan inti dari kecerdasan emosional (Goleman, 2002). Menurut konsep Goleman orang yang memiliki kesadaran diri akan lebih peka dan cermat menghadapi suasana hati orang lain. Kesadaran emosi sangat penting untuk memandu pengambilan keputusan, memiliki kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat (Goleman, 2001: 513).

  Menurut Goleman (2000) aspek mengenali emosi sendiri terdiri dari : 1) Kesadaran emosi b) menyadari keterkaitan antara perasaan, pikiran, perbuatan, dan apa yang dikatakannya, c) mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi cara kerjanya,

  d) mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk mencapai nilai- nilai dan tujuannya.

  2) Penilaian diri Orang yang memiliki penilaian diri secara teliti dan tinggi mampu:

  a) menyadari kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya,

  b) memiliki kemampuan untuk mengadakan refleksi diri,

  c) terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima pandangan yang baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri, d) mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang dirinya sendiri dengan perspektif yang luas.

  3) Kepercayaan diri Orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi memiliki kecenderungan: a) berani tampil dengan keyakinan diri,

  b) berani mengungkapkan pendapat dan bersedia berkorban demi kebenaran, c) bersikap tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati b. Mengelola emosi Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri, yang meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit kembali, sedangkan orang yang buruk pengelolaan emosinya akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal- hal negatif yang merugikan diri sendiri.

  Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi memiliki ciri/tanda sebagai berikut: 1) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah, 2) berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas, 3) lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi, 4) berkurangnya larangan masuk sementara dan skors, 5) berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri, 6) perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga, 7) lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa, 8) berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

  Wijokongko (1997: 15) mengatakan bahwa ketidakmampuan Intinya, bukan menjauhi perasaan yang tidak menyenangkan dengan selalu bahagia, namun tidak membiarkan perasaan menderita berlangsung secara tidak terkendali sehingga menghapus semua suasana hati yang menyenangkan.

  Orang yang kemampuan mengelola emosinya rendah, menerima kritik sebagai serangan pribadi, bukan sebagai keluhan yang harus diatasi, kurang memiliki kendali diri, mudah mencemooh atau menghina, bersikap menutup diri atau sikap bertahan yang pasif, mudah patah semangat (Goleman (2002: 214-215).

  Menurut Goleman (2001) aspek kemampuan mengelola emosi meliputi: 1) Mengendalikan emosinya sendiri

  Orang yang dapat mengendalikan emosinya sendiri secara tepat mampu: a) mengelola dengan baik emosi-emosi yang menekan,

  b) tetap teguh, bersikap positif, dan tidak goyah sekalipun dalam situasi yang paling berat, c) berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam keadaan tertekan.

  2) Dapat dipercaya b) membangun kepercayaan dengan sikap apa adanya dan jujur,

  c) mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan yang tidak dapat diterimanya, d) berpegang kepada prinsip secara teguh walaupun akibatnya adalah menjadi tidak disukai.

  c. Kemampuan memotivasi diri sendiri Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung harapan optimis yang tinggi, sehingga dirinya memiliki kekuatan dan semangat untuk melakukan aktivitas tertentu, misalnya belajar, bekerja, menolong orang lain. Kemampuan memotivasi diri kita perlukan lebih-lebih pada waktu motivasi kita negatif, yaitu waktu kita patah semangat, kehilangan pandangan ke masa depan. Tujuannya agar motivasi kita positip dan kita menjadi bersemangat serta bergairah lagi dalam hidup. Orang yang mampu memotivasi dirinya akan lebih berhasil dalam kehidupannya dibandingkan dengan orang yang menunggu orang lain untuk memperhatikan dirinya.

  Salah satu ciri dari kemampuan untuk memotivasi diri adalah kepercayaan diri (Self confidence). Individu yang memiliki motivasi tinggi akan memiliki self confidence yang tinggi pula. Ciri utama self confidence adalah puas terhadap apa yang dihasilkan, melainkan mempunyai kemauan untuk terus berusaha untuk memperbaiki diri. Kemampuan memotivasi diri sendiri menurut Goleman (2001) meliputi aspek: 1) Dorongan untuk berprestasi

  Orang yang memiliki dorongan berprestasi memiliki kemampuan:

  a) berorientasi pada tujuan dengan semangat juang yang tinggi untuk meraihnya, b) menetapkan tujuan yang manantang dan berani mengambil resiko,

  c) mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih tepat, d) terus belajar untuk meningkatkan prestasi. 2) Memiliki komitmen

  Orang yang memiliki komitmen tinggi mampu:

  a) berkorban demi tercapainya tujuan,

  b) merasakan dorongan semangat dalam mencapai tujuan yang utama dalam hidupnya, c) mempertimbangkan nilai-nilai yang diterima dalam masyarakat untuk mengambil keputusan, d) mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya. 3) Memiliki inisiatif b) mengejar sasaran lebih daripada yang dipersyaratkan atau diharapkan, c) berani melanggar batas-batas dan aturan yang tidak prinsip apabila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan, d) berani mengajak orang lain bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

  4) Optimis Orang yang memiliki sifat optimis mampu:

  a) bersikap tekun dalam mengejar cita-citanya meskipun banyak hambatan, b) bekerja atau belajar dengan harapan untuk sukses dan tidak takut gagal, c) berani belajar dari kegagalan.

  d. Mengenali emosi orang lain Mengenali emosi orang lain sering disebut empati. Empati adalah kemampuan menempatkan diri dalam posisi orang lain (Shapiro, 2001:

  50). Individu yang empatik adalah individu yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain atau menyadari apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga dapat berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan orang yang bersangkutan. Orang yang mempunyai empati yang kuat cenderung

  Remaja yang bersikap empatik lebih disukai oleh teman-teman dan lebih berhasil baik di sekolah maupun di tempat kerja, dan ia mampu menyadari perasaan orang lain termasuk perasaan yang terungkap secara nonverbal misalnya suara, intonasi, atau nada suara. Individu yang empatik mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

  Menurut Goleman (2002: 404) orang yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain cenderung atau memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.

  2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain. 3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.

  e. Membina hubungan/ketrampilan sosial Membina hubungan merupakan ketrampilan berinteraksi dengan orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan, dan menempatkan diri dalam suatu kelompok. Kecakapan ini merupakan ketrampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.

  Kemampuan untuk mengungkapkan diri termasuk perasaan merupakan dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

  Menurut Goleman (2002: 404-405) orang yang memiliki kemampuan

  1) lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan, 2) lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan, 3) lebih tegas dan trampil dalam berkomunikasi, 4) lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya, 5) lebih dibutuhkan oleh teman sebaya, 6) lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa, 7) lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok, 8) lebih suka berbagi rasa, bekerjasama, dan suka menolong, 9) lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

  a. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Faktor internal dipengaruhi oleh keadaan otak emosional orang.

  Mula-mula pesan-pesan yang diterima melalui indra, seperti penglihatan, berurusan dengan pengolahan dan penyimpanan data kenangan emosional. Pesan-pesan itu kemudian masuk dan diolah oleh bagian struktur otak yang disebut neocortex – bagian struktur otak yang berurusan dengan proses kegiatan rasional. Karena itu ketika menghadapi sesuatu, terlebih dahulu orang bereaksi secara emosional, sebelum disadari sepenuhnya oleh rasio.

  Kecerdasan emosional tinggi akan membantu untuk menjaga hubungan komunikasi terbuka antara amygdala dan neocortex. Ini akan membuat orang mampu menguasai diri, memahami emosi orang lain secara empatik, dan menyesuaikan diri dengan emosi orang lain atau lingkungan yang dihadapi (Goleman. 2001: 23-25).

  b. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Gottman dan De Claire,

  (2003) berpendapat bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah: 1) Keluarga

  Keluarga merupakan sekolah kita yang pertama untuk mempelajari emosi. Orang tua merupakan pelatih emosi anak pertama kali. Orangtua sebagai pelatih emosi, tidak cukup hanya bersikap hangat dan positip saja, karena sikap demikian belum berarti mereka. Gottman dan De Claire (2003: 4-5) mengidentifikan 3 tipe orang tua yang gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada anak- anak mereka, yaitu:

  a) Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan, menganggap sepi, atau meremehkan emosi-emosi negatif anak mereka.

  b) Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis terhadap ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka, dan barang kali memarahi atau menghukum mereka, karena mengungkapkan emosinya.

  c) Orangtua Laissez-Faire, menerima emosi anak mereka dan berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas-batas pada tingkah laku anak mereka. Orangtua sebagai pelatih emosi, seharusnya dapat menerima kesedihan anaknya, menolong memberi nama emosi itu, membiarkan mengalami perasaan-perasaannya, dan mendampingi sewaktu menangis, tidak memarahi apabila anaknya sedih.

  Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan yang demokratis diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan tindakan-tindakan masa kini. Menurut Prasetya orangtua yang demokratis tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, berani menegur anak bila anak berperilaku buruk. Mereka mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.

  2) Pengalaman Pengalaman-pengalaman hidup juga mempengaruhi emosi kita

  (Albin, 1986: 90). Pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman mengungkapkan emosi, misalnya anak perempuan boleh mengungkapkan rasa takut, tetapi anak laki-laki diharapkan tidak menyatakan perasaan itu, sebaliknya rasa marah dan perlawanan boleh dinyatakan oleh anak laki-laki. Pengalaman dengan orang tua, teman- teman, guru-guru mempengaruhi watak asli kita dan menjadikan kita orang yang unik dalam mengalami emosi, dalam mengungkapkannya dan dalam keterbukaan terhadap orang lain.

  3) Lingkungan Mangunhardjana (1986: 13) mengungkapkan bahwa perkembangan emosi nampak pada gairah remaja yang meledak-ledak, munculnya reaksi apatis, keras kepala dan perbuatan yang kurang sopan.

  Lingkungan (khususnya lingkungan sosial) mempunyai pengaruh cukup besar bagi perkembangan kepribadian orang (Rogers, dalam Hall dkk., 1993: 138). Pencapaian kematangan emosi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana remaja berada, baik lingkungan sekolah, maupun masyarakat. Lingkungan yang harmonis akan mendukung remaja dalam pencapaian kematangan emosi, sebaliknya lingkungan yang kurang mendukung akan membuat remaja mengalami kegelisahan, kecemasan, sikap apatis, sehingga sulit untuk mencapai kematangan.

B. Penghuni Asrama Sebagai Remaja

  1. Ciri-ciri Masa Remaja Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencoba gaya hidup baru.

  Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa (Sarwono, 1988: 51). Masa remaja merupakan masa yang sangat penting karena individu harus mempersiapkan diri menjadi individu yang dewasa, yang tidak lagi sepenuhnya tergantung pada orang tua, dan berani bertanggung jawab sebagai anggota keluarga (Gunarsa dan Gunarsa, 1990).

  Menurut Monks dkk., (1982: 255) masa remaja secara global berlangsung antara umur 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 2 bagian yaitu masa remaja awal (dimulai pada usia 13 tahun sampai dengan 16 atau 17 tahun), dan masa remaja akhir (dimulai pada usia 17 tahun sampai dengan 18 tahun). Blos (Sarwono, 1988) berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap remaja awal (early adolescence), tahap remaja madya (middle

  

adolescence) , dan tahap remaja akhir ( late adolescence). Blos tidak