PENGARUH PERAN GURU PKN DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KENAKALAN REMAJA SMA NEGERI 15 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PERAN GURU PKN DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KENAKALAN REMAJA SMA NEGERI 15

BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

Maulina Rahmawati

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji pengaruh peran guru PKn terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013, pengaruh kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013, serta pengaruh peran guru PKn dan kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013.

Metode penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan sampel 28 responden. Teknik pokok pengumpulan data menggunakan angket dan tes. Untuk menguji adanya pengaruh antar variabel bebas dengan variabel terikat, maka digunakan uji regresi. Dengan model regresi linier sederhana dan regresi linier multiple.

Hasil penelitian sebagai berikut: (1) Ada pengaruh yang negatif dan signifikan antara peran guru PKn terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung. (2) Ada pengaruh yang negatif antara kecerdasan emosional dengan kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung. (3) Ada pengaruh yang negatif dan signifikan antara peran guru PKn dan kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung.


(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF CIVICS TEACHER'S ROLE AND EMOTIONAL INTELLIGENCE ON JUVENILE DELINQUENCY OF

SMA NEGERI 15 BANDAR LAMPUNG ACADEMIC YEAR

2012/2013

This research was aimed to analyze and to test the effect of civics teacher's role on juvenile delinquency of SMA Negeri 15 Bandar Lampung academic year 2012/2013, effect of emotional intelligence on juvenile of SMA Negeri 15 Bandar Lampung academic year 2012/2013, and the effect of civics teacher's role and emotional intelligence on juvenile delinquency of SMA Negeri 15 Bandar Lampung academic year2012/2013.

This research used correlation method with 28 respondents as the sample. The basic techniques of data collecting used questionnaires and tests. Regression model is used to examine the influence between independent variables with the dependent variable. The regression model that is used are simple linear regression and multiple linear regression.

The results of this research are: (1) there was negative and significant effect between of civics teacher's role on juvenile delinquency of SMA Negeri 15 Bandar Lampung academic year 2012/2013. (2) there was negative effect of emotional intelligence on juvenile of SMA Negeri 15 Bandar Lampung academic year 2012/2013. (3) there was negative and significant the effect of civics teacher's role and emotional intelligence on juvenile delinquency of SMA Negeri 15 Bandar Lampung academic year2012/2013.

Key Word : Civics Teacher's Role, Emotional Intelligence, Juvenile delinquency.


(3)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Kerangka Pikir ... 60


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Bentuk-Bentuk Kenakalan Siswa SMA Negeri 15 Bandar

Lampung dari Bulan Juli Sampai November Tahun

Pelajaran 2012/2013 ... 3

Tabel 3.1 Jumlah Siswa yang Melakukan Kenakalan di SMA Negeri 15 Bandar Lampung ... 66

Tabel 3.2 Jumlah Siswa yang Melakukan Kenakalan di SMA Negeri 15 Bandar Lampung yang Dijadikan Sampel ... 67

Tabel 3.3 Distribusi Hasil Ujicoba Angket dari Responden di Luar Populasi Tahun 2012/2013 untuk Item Ganjil (X) ... 76

Tabel 3.4 Distribusi Hasil Ujicoba Angket dari Responden di Luar Populasi Tahun 2012/2013 untuk Item Genap (Y) ... 77

Tabel 3.5 Distribusi Antara Item Ganjil (X) dengan Item Genap (Y) Mengenai Pengaruh Peran Guru PKn dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kenakalan Remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013 ... 78

Tabel 4.1 Keadaan Sarana dan Prasarana SMA Negeri 15 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013 ... 88

Tabel 4.2 Distribusi Skor Angket Peranan Guru PKn... 90

Tabel 4.3 Kategori Variabel Peran Guru PKn ... 91

Tabel 4.4 Kategori Variabel Peran Guru Sebagai Pengajar ... 93

Tabel 4.5 Kategori Variabel Peran Guru Sebagai Pembimbing ... 94

Tabel 4.6 Kategori Variabel Peran Guru Sebagai Motivator ... 96

Tabel 4.7 Distribusi Skor Tes Kecerdasan Emosional ... 98


(5)

Tabel 4.9 Distribusi Kenakalan Yang Pernah Dilakukan Siswa SMA

Negeri 15 Bandar Lampung ... 101 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Tentang Kenakalan Remaja di SMA

Negeri 15 Bandar Lampung ... 103 Tabel 4.11 Distribusi Nilai dari 28 Responden ... 105 Tabel 4.12 Sumbangan Relatif dan Efektif ... 119


(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada:

Ayahanda Suwarno dan Ibunda Sukini tercinta

Kakak- kakakku tersayang

Maryanto, Kustaruji, Molyati, Siti Maymunah, Rohmadi, Umi Munasiroh

Segenap Keluarga besarku yang selalu mendoakan

Keberhasilanku,

Sahabat dan teman-teman yang selalu berbagi

Kebahagiaan,


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kenakalan remaja bukan merupakan permasalahan baru yang muncul kepermukaan, akan tetapi masalah ini sudah ada sejak lama. Banyak cara, mulai dari tindakan prefentif, kuratif, hingga tindakan represif dilakukan untuk menanggulangi permasalahan kenakalan remaja ini, namun dari tahun-ketahun masalah kenakalan remaja ini selalu ada. Menurut Fuad Hasan dalam Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa “kenakalan adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak atau remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan”.

Kenakalan remaja sering disebut juga sebagai juvenile delinquency. Menurut Bimo Walgito dalam Sudarsono (2012: 11) merumuskan arti selengkapnya dari juvenile delinquency sebagai berikut: “tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan oleh anak-anak, khususnya anak remaja”.

Di Indonesia masalah kenakalan remaja dirasa telah mencapai tingkat yang cukup meresahkan masyarakat, misalnya saja tindakan tawuran yang terjadi antar pelajar, narkoba, seks bebas, dan lain sebagainya, dimana tindakan


(8)

tersebut dapat melukai atau bahkan memakan korban jiwa, dan mengganggu ketertiban umum.

Sekolah yang merupakan lingkungan pendidikan, juga salah satu tempat dimana terjadinya proses interaksi sosial dan tempat dimana para siswa memperoleh pendidikan dan pembelajaran, yang mana pada setiap mata pelajarannya diwajibkan adanya integrasi pendidikan karakter. Dengan adanya penyisipan pendidikan karakter diharapkan agar siwa dapat membentengi diri dengan karakter yang baik tersebut dari hal-hal yang negatif. Namun pada kenyataanya masih sering terjadi tindakan-tindakan pelanggaran terhadap tata tertib yang dilakukan siswa terjadi dalam lingkungan sekolah.

Kenakalan siswa merupakan suatu tindakan pelanggaran terhadap aturan-aturan tata tertib, nilai dan norma yang berlaku dilingkungan sekolah yang dilakukan oleh siswa, yang dapat menggangu ketentraman sekolah dan masyarakat, serta tidak dapat menutup kemungkinan akan membahayakan diri siswa itu sendiri.

Tindak kenakalan terjadi juga di SMA Negeri 15 Bandar Lampung, dimana di SMA ini masih sering dijumpai kenakalan-kenakalan siswa seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(9)

Tabel 1.1 Bentuk-Bentuk Kenakalan Siswa SMA Negeri 15 Bandar Lampung dari Bulan Juli Sampai November Tahun Pelajaran 2012/2013

No Jenis Kenakalan Jumlah Kenakalan Pada Bulan Jumlah

Juli Agustus September Oktober November 1 Tidak Masuk

Sekolah Tanpa Keterangan

4 7 24 12 6 53

2 Membolos 3 6 6 1 16

3 Merokok 1 3 5 2 11

4 Berkelahi antar siswa satu sekolah

1 6 7 14

5 Mencuri 1 1 2

6 Menyimpan vido/foto porno

1 1 1 3

7 Tidak sopan kepada guru dan teman

1 2 1 4

8 Tidak

menggunakan seragam sesuai

aturan

5 3 8

9 Perkelahian pelajar antar-sekolah

1 1

10 Membawa barang yg seharusnya tidak

di bawa ke sekolah

3 5 8

11 Mengganggu di saat KBM

6 1 2 9

12 Lain-lain 1 5 6 2 14

Jumlah 14 7 60 41 21 138

Sumber: Data BK SMA Negeri 15 Bandar Lampung

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat dalam kurun waktu lima bulan di awal semester ganjil ini sudah banyak terjadi kenakalan-kenakalan siswa di SMA Negeri 15 Bandar Lampung. Dimulai dari kenakalan yang tergolong ringan seperti tidak menggunakan seragam sesuai aturan, sampai kenakalan yang tergolong berat seperti perkelahian pelajar antar sekolah.

Kenakalan-kenakalan pada remaja tentunya tidak akan muncul tanpa ada penyebabnya. Faktor-faktor penyebab dari kenakalan remaja dapat dibagi


(10)

menjadi faktor intern (faktor dari dalam diri) dan faktor ekstern (faktor dari luar). Adapun yang termasuk ke dalam faktor intern seperti krisis identitas dan kecerdasan emosional, sedangkan yang termasuk ke dalam faktor ekstern seperti pola asuh orang tua, lingkungan dan teman sepermainan, peran guru PKn, contoh keteladanan pemimpin dan lain-lain.

Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua sehingga mengakibatkan krisis identitas. Masa remaja merupakan masa transisi untuk mencari identitas diri, serta mengikuti rasa ingin tahu yang besar. Karena rasa ingin tahu yang besar untuk mencari identitas diri, membuat remaja selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, baik itu yang positif maupun yang negatif , sehngga tidak sediki pula mengakibatkan remaja terjerumus pada kenakalan.

Selain faktor intern seperti krisis identitas, kecerdasan emosional juga berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Pada masa remaja individu mengalami puncak emosionalitasnya, perkembangan emosi tingkat tinggi. Daniel Golemen dalam Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 62) mengatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan kecendrungan untuk bertindak”. Selanjutnya Muhammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 64-65), menyatakan “remaja memiliki karakteristik berupa sifat kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan biasanya respon yang diberikan berlebihan


(11)

sehingga menyebabkan mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak”.

Jika remaja memiliki kecerdasan emosional yang baik maka remaja tersebut akan dapat mengelola emosi-emosi yang ada pada dirinya, dapat mengendalika emosinya dengan baik, serta bertindak rasional sehingga ia tidak akan melakukan tindakan penyimpangan terhadap norma-norma yang ada. Adapun jika ia melakukan pelanggaran tentunya ia akan merasa bersalah setelah melakukan tindakan tersebut, sehingga tindakan pengulangan terhadap pelanggaran norma-norma yang ada tidak akan terjadi lagi. Bagi remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang kurang baik, akan kesulitan dalam mengatur emosi yang ada pada dirinya, akan mudah marah dan gampang tersinggung. Contohnya tawuran yang sering terjadi pada remaja bisa saja disebabkan karena kurangnya pengendalian emosi pada remaja tersebut sehingga tindakan yang diambil remaja tidak melalui pemikiran yang rasional.

Keluarga yang termasuk faktor ekstern juga turut berperan dalam menangani kenakalan remaja, dimana keluarga merupakan pendidikan pertama bagi anak, orang tua memiliki peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan anak. Pola asuh yang dilakukankan oleh orang tua juga dapat mempengaruhi psikologi anak. Misalnya, pola didik orang tua yang mendidik anaknya dengan cara keras atau otoriter bisa jadi akan membuat anak menjadi anak yang pemberontak, bahkan bukan hanya kepada orang tuanya saja melainkan juga terhadap orang lain. Hal tersebut dapat didukung oleh


(12)

pendapat dari Sigmun Freud dalam Muhammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 65), menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut:

Bahwa seseorang yang pada masa kanak-kanak sering mendapat pukulan yang menyakitkan, setelah dewasa akan bereaksi terhadap hardikan atau kemarahan dengan perasan sangat takut atau kebencian, meskipun sebenarnya hardikan atau kemarahan itu tidak lagi menimbulkan ancaman seperti yang dialaminya pada masa lampau.

Bahkan pola didik yang otoriter atau keras dapat juga membuat anak menjadi anak yang penakut karena tekanan yang diberikan oleh orang tua, sehingga membuat kepribadian anak menjadi pribadi yang introvet dan sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Teman sepermainan dan lingkungan anak tumbuh akan membawa pengaruh besar terhadap anak. Apabila teman sepermaianan anak baik maka akan membawa pengaruh yang baik juga, akan tetapi apa bila sebaliknya teman sepermaianan anak merupakan anak-anak yang bermasalah maka anak akan terbawa pengaruh untuk melakukan kegiatan kenakalan bersama teman-temannya. Begitu juga dengan lingkungan pergaulan apabila anak tumbuh dilingkungan yang didominasi oleh orang-orang biasa melakukan tindakan-tindakan kriminal bisa jadi remaja tersebut akan terbawa atau terpengaruh oleh lingkungan dimana ia tinggal

Guru yang berperan sebagai pendidik dan menanamkan karakter yang baik kepada siwa, juga turut berperan dalam menangani masalah kenakalan remaja. Lebih utama lagi sebagai guru bidang studi PKn memiliki peranan penting dalam membina siswanya, dimana guru PKn memiliki tugas atau tanggung jawab besar terhadap penanaman nilai, etika, dan moral untuk


(13)

menjadikan siswa sebagai warga negara yang baik (good citizenship) dan bertanggung jawab. Peran-peran tersebut dapat dilakukan dalam proses pengajaran dengan menyampaikan pengetahuan dan pemahamna tentang nilai moral kepada siswa dengan memberikan contoh yang nyata dalam kehidupan.

Guru juga berperan dalam hal pembinaan siswa dengan cara membimbing siswa ke arah yang baik, dan mengarahkan siswanya dari tindakan yang menyimpang, memberikan contoh atau sebagai model bagi siswanya dengan cara berprilaku baik dan sesuai etika. Misalnya saja dengan tidak datang terlambat dan masuk kelas tepat waktu, dengan contoh tindakan disiplin yang dilakukan oleh guru tersebut tentunya dapat dijadikan panutan bagi siswanya. Selain itu perhatin dan pengarahan dari guru terhadap siswa yang bermasalah dapat memotivasi siswa untuk dapat bangkit dari permasalahan yang dihadapi dan agar dapat membenahi tingkah lakunya.

Selain itu, keteladanan sangatlah penting dalam membantu tumbuhnya karakter yang baik pada diri remaja. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang yang memiliki keteladanan yang dapat dijadikan panutan dalam berperilaku. Namun pada kenyataannya saat ini ada beberapa pemimpin bangsa yang seharusnya dapat dijadikan panutan malah bertindak mengecewakan.

Apabila tidak segera diatasi kenakalan-kenakalan pada siswa ini tentunya akan menimbulkan kerugian, dampak kenakalan siswa pasti akan berimbas pada siswa itu sendiri. Misalnya siswa tersebut sering membolos maka ia akan tertinggal pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah, apabila ia merokok


(14)

atau berkelahi tentunya itu akan merugikan kesehatan fisiknya sendiri, dan masih banyak lagi. Bukan hanya siswa yang melakukan kenakalan yang akan dirugikan keluarga atau orang tua juga akan dirugikan merekan akan merasa malu atas tindakan siswa tersebut, begitu juga dengan pihak sekolah, sekolah tersebut bisa saja akan dicap sebagai sekolah yang buruk karena tingkah siswa yang melakukan kenakalan tersebut, dan masih banyak lagi kerugian yang dapat disebabkan dari kenakalan-kenakalan siswa.

Kenakalan-kenakalan yang dilakukan siswa seperti pada tabel 1.1 merupakan tindakan pelanggaran terhadap nilai dan moral. Hal tersebut dianggap melanggar nilai moral dikarenakan kenakalan-kenakalan tersebut melanggar aturan-aturan yang ada sehingga perbutan tersebut tidak diterima atau dibenarkan oleh masyarakat, dimana dalam kasus ini pelanggaran tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat sekolah (pendidik dan peserta didik) karena telah menggangu kenyamanan warga sekolah.

Bertolak ukur dari permasalahan di atas peneliti mengadakan penelitian yang berjudul: “Pengaruh Peran Guru PKn dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kenakalan Remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013”.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja cukup banyak, yakni dapat diidentifikasi sebagai berikut:


(15)

1. Krisis identitas. 2. Kecerdasan emosional 3. Pola asuh orang tua

4. Lingkungan dan teman sepermainan 5. Peran guru PKn

6. Contoh keteladanan pemimpin

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, ternyata cukup banyak variabel bebas atau yang mempengaruhi kenakalan remaja, untuk penelitian ini dibatasi pada:

1. Kecerdasan emosional, dan 2. Peran guru PKn.

Maka, penelitian ini dibatasi pada: Pengaruh Peran Guru PKn dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kenakalan Remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

D.Rumusan masalah

Sesuai dengan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat pengaruh peran guru PKn terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013?

2. Apakah terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013?


(16)

3. Apakah terdapat pengaruh peran guru PKn dan kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013?

E.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan menguji:

a. Pengaruh peran guru PKn terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013

b. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013

c. Pengaruh peran guru PKn dan kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan antara lain:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis kegunaan penelitian ini menerapkan konsep, teori, prinsip, dan prosedur ilmu pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan pada kajian pendidikan nilai moral Pancasila. Karena pembahasan yang diangkat disini adalah tentang kenakalan remaja yang merupakan pelanggaran terhadap nilai moral yang berkembang di lingkungan masyarakat khusunya di lingkungan sekolah.


(17)

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini berguna untuk:

1) Bagi siswa, untuk mengoptimalkan kemampuan pengelolaan emosional siswa dan pemahaman mengenai nilai moral agar dapat mengurangi atau menghilangkan prilaku negatif yang dilakukan siswa.

2) Bagi guru, untuk mengoptimalkan proses pembelajaran dalam penanaman nilai moral kepada siswa dan mengarahkan siswa agar tidak terjadi tindakan kenalakan.

3) Bagi sekolah, untuk memberikan saran tentang pemecahan masalah kenakalan siswa, pihak sekolah agar dapat memberikan dukungan moral dan pencegahan kepada siswa agar siswa tidak melakukan dan mengulangi tindakan kenakalan seperti yang pernah dilakukan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang Lingkup Ilmu

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan kajian pendidikan nilai dan moral Pancasila.

2. Ruang Lingkup Objek

Objek dalam penelitian ini adalah pengaruh peran guru PKn dan kecerdasan emosional terhadap kenakalan remaja SMA Negeri 15 Bandar Lampung.


(18)

3. Ruang Lingkup Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 15 Bandar Lampung yang melakukan tindakan kenakalan.

4. Ruang Lingkup Wilayah

Wilayah penelitian ini adalah SMA Negeri 15 Bandar Lampung

5. Ruang Lingkup Waktu

Waktu penelitian ini sesuai dengan surat izin penelitian pendahuluan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Diskripsi Teori

1. Tinjauan Tentang Peran Guru PKn

a. Pengertian Peran

Setiap orang pasti akan memiliki peran dalam kehidupan ini, misalnya di lingkungan sekolah, di lingkungan tersebut tentunya akan terdapat peran yang diambil tiap masing-masing individu, seperti peran sebagai kepala sekolah, peran sebagai guru, peran sebagai siswa, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan ini akan dibatasi pada peranan guru. Sebelum membahas lebih jauh akan lebih baik jika kita mengetahui apa pengetian dari peran itu sendiri.

Teori Peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu.

Posisi aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater,


(20)

posisi orang dalam masyarakat sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan adanya orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Begitu juga halnya dengan seorang guru dimana dalam menjalankan perannya ia tidak berdasarkan atas kemaun dirinya sendiri saja tetapi juga berkaitan dengan adanya keinginan dari orang lain yang dalam hal ini bisa saja dari keinginan siswa atau kepala sekolah misalnya.

Biddle dalam Krisnawardhani (http://karinakandhik.blogspot.com) membagi peristilahan dalam teori peran dalam empat golongan, yaitu:

a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial; b. perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut;

c. kedudukan orang-orang dalam perilaku; dan d. kaitan antara orang dan perilaku.

Menurut Soerjono Soekanto (1990: 268), “Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran”.

Livinson juga turut memberikan pendapat yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1990:221)

1) Peran meliputi norma-norma yang diungkapkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.


(21)

2) Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu masyarakat sebagai individu.

3) Peran juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting sebagai struktur sosial masyarakat

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa peran merupakan sutu hal yang berhubungan dengan tempat atau kedudukan seseorang di dalam lingkuang masyarakat, dimana seseorang tersebut menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat. Bahkan, tiap-tiap orang pasti tidak hanya memiliki satu peran akan tetapi dapat memiliki lebih dari satu peran, sesuai dengan tempat dimana ia berada.

b. Peran Guru

Suatu pembelajaran di lingkungan pendidikan, perlu diperhatikan adanya faktor yang mendukung atau mempengaruhi terhadap keberhasilan suatu proses pembelajaran. Salah satu faktor pendukung yang sangat penting yaitu guru. Sebelum membahas lebih lanjut untuk lebih baiknya kita bahas pengertian dari guru itu sendiri.

Menurut N.A. Ametembun dalam Sayaiful Bahri Djamarah (2009:32), bahwa “guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah”. Sedangkan menurut Hamid Darmadi (2010: 59),” guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam proses pembelajaran”.


(22)

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa guru merupakan setiap orang yang mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan baik di sekolah maupun di luar sekolah yang memiliki posisi paling penting dalam proses pembelajaran. Maka, peran guru adalah menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat, yaitu sebagai seorang pendidik dan memberikan ilmu.

Setelah kita mengetahui pengertian dari peran guru tentunya akan menimbulkan pertanyaan “seperti apa peran guru tersebut?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat pendapat para ahli di bawah ini.

Abin Syamsuddin Makmun (2003: 73) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :

1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;

2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;

3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;

4) Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;

5) Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).


(23)

Lebih luas lagi Hamid Darmadi (2010:39) mengatakan “pendidik mengembangkan peran-peran sebagai ukuran koknitif, sebagai agen moral, sebagai inovator, dan kooperatif”.

Berdasarkan pernyatan di atas perana guru dapat berupa pendidik, pengajar, pembimbing, inovator dan administrator dengan tujuan untuk mengubah kearah yang lebih baik pada aspek koknitif, afektif, dan psikomotor yang ada pada siswa.

Sedangkan menurut Nana Sudjana (1996: 32-35), peranan guru dalam pengajaran adalah:

1. Pemimpin belajar, artinya merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengontrol kegiatan siswa belajar.

2. Fasilitator belajar, artinya memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya.

3. Moderator belajar, artinya sebagai pengatur urusan kegiatan belajar siswa.

4. Motivator belajar, artinya pendorong agar siswa mau melakukan kegiatan belajar.

5. Evaluator belajar, artinya sebagai penilai yang objektif dan konfrehensif.

Dengan mengoptimalkan peran guru dalam pembelajaran tentunya hal tersebut akan memaksimalkan dalam penyampaian materi serta membuat siswa mudah menerima serta memahami apa yang disampaikan oleh guru. Dengan memahami materi yang disampaikan guru tentunya harapan kedepannya siswa dapat menerapkan ilmu yang didapat tersebut dalam kehidupan.


(24)

Syaiful Bahri Djamarah (2009: 34) juga menyatakan pendapatnya bahwa:

Banyak peranan yang diperlukan guru sebagai pendidik, atau siapa saja yang telah menerjunkan diri menjadi guru. Semua peran yang diharapkan dari guru seperti disebutkan dibawah ini:

1) Korektor, sebagai korektor guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Semua nilai yang baik harus guru pertahankan dan nilai yang buruk harus dihilangkan dari watak siswa.

2) Inspirator, guru harus mampu memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar siswa. Guru harus memberi petunjuk bagaimana cara belajar yang baik.

3) Informator, guru harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum.

4) Organisator, dalam bidang ini guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik, dan sebagainya.

5) Motivator, guru hendaknya dapat mendorong siswa agar bergairah dan aktif dalam belajar.

6) Inisiator, guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran.


(25)

7) Fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar siswa.

8) Pembimbing, peran ini harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing siswa menjadi manusia dewasa.

9) Demonstrator, dalam interaksi edukatif, untuk bahan pelajaran yang sukar dipahami siswa, guru harus berusaha membantu dengan cara memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman siswa.

10)Pengelola kelas, guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena akan menunjang jalanya interaksi edukatif.

11)Mediator. ketrampilan guru dalam menggunakan media yang disesuaikan dengan pencapaian tujuan belajar dapat digunakan sebagai penengah dalam proses belajar siswa.

12)Supervisor, guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran.

13)Evaluator, guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur, dengan pemberian penilaian, yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik.

Dilihat dari pendapat di atas maka dapat kita tarik kesimpulan, bahwa peranan guru meliputi sebagai demonstrator, pengelola kelas, korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, mediator, supervisor, evaluator yang


(26)

kesemuanya itu sangat penting dalam mendukung dan memperlancar proses belajar-mengajar.

Setiap proses pembelajaran tentunya akan selalu menghasilkan hasil belajar yang telah dicapai oleh individu yang belajar tersebut berupa hasil kualitatif dalam bentuk prilaku maupun kuantitatif dalam bentuk nilai. Untuk mencapai hasil belajar tersebut pada setiap kegiatan pembelajaran, guru dituntut untuk mampu menjalankan perannya secara optimal, yaitu perannya sebagai pengajar, sebagai pembina, dan sebagai motivator.

Pelaksanaan proses pembelajaran diwarnai oleh berbagai aspek keberhasilan mengajar, oleh karena itu selain peranannya sebagai pengajar, guru juga harus mampu memainkan peranannya sebagai pembimbing dan motivator siswa untuk berprilaku yang sesuai dengan makna yang terkandung di dalam pembelajaran PKn. Dalam proses belajar mengajar ketrampilan guru dalam mempengaruhi siswa sangat mutlak diperlukan, selain itu guru juga harus dapat memberikan contoh yang baik bagi para siswanya.

c. Peran Guru PKn

Guru memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, bukan hanya sekedar memberikan ilmu tetapi guru juga memiliki peran untuk mendidik dan mengarahkan siswanya untuk dapat bersikap, berprilaku dan berdisiplin dengan baik. Kondisi sekolah yang aman dan nyaman


(27)

dapat diciptakan apabila guru mampu mengatur dan mengarahkan siswanya untuk selalu menaati peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah.

Tugas guru bukan hanya sekedar pada batas profesi yang meliputi mendidik, mengajar, dan melatih saja. Akan tetapi, guru juga bertugas dalam bidang kemanusiaan, yaitu guru disekolah harus dapat menempatkan dirinya sebagai orang tua kedua bagi siswa-siswanya, ia harus mampu menjadi tauladan bagi siswanya dalam hal tingkah laku dan sikap disiplin terhadap peraturan yang berlaku baik dilingkungan sekolah maupun masyarakat.

Kaitanya dengan peran guru PKn, Nu’man Soemantri (1976: 46) berpendapat bahwa:

Guru PKn harus banyak berusaha agar siswa-siswanya mempunyai sikap yang baik, kecerdasan yang tinggi serta keterampilan yang bermanfaat. Oleh karena itu guru PKn harus dapat memanfaatkan fungsinya sebagai penuntun moral, sikap serta memberi dorongan kearah yang lebih baik.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, Tugas guru PKn sangatlah berat karena bukan hanya mentransfer pengetahuan kepada siswanya, tetapi juga harus berfungsi sebagai penuntun moral, mentransfer nilai-nilai yang dihapkan dapat dipahami dan diwujudkan dalam prilaku siswa, serta memberi dorongan kepada siswa untuk berprilaku baik.


(28)

Lebih lanjut Nu’man Soemantri (1976: 20) mendefinisikan pendidikan kewarganegaraan sebagai berikut:

Pendidikan kewarganegaraan program pendidikan yang yang berinteraksi demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran tidak hanya sekedar menitikberatkan pada pengetahuan (koknitif) saja melainkan juga pada keterampilan (psikomotor) siswa, yaitu berupa keterampilan berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak positif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat kita tarik pengertian dari peran guru PKn adalah menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat, yaitu sebagai seorang pendidik yang mentransfer pengetahuan, penuntun moral, mentransfer nilai-nilai, serta melatih siswa untuk dapat berpikir kritis, analitis, bersikap, dan bertindak demokratis dalam menanggapi permasalahan di masyarakat.

Dalam kaitannya dengan peran guru PKn Kosasih Djahiri (1996: 19) mengemukakan tentang tri fungsi peran PKn, yaitu:

1) Membina dan membentuk kepribadian atau jati diri manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berkepribadian Indonesia.


(29)

2) Membina bangsa Indonesia melek politik, melek konstitusi atau hukum, melek pembangunan dan melek permasalahan diri, masyarakat, bangsa dan Negara.

3) Membina pembekalan siswa (substantial dan potensi dirinya untuk belajar lebih lanjut).

Sehubungan dengan peran PKn di atas, seorang guru PKn dituntut untuk bisa mentransfer pengetahuan agar siswa dapat memiliki kepribadian dan berjiwa Pancasila, melek politik, melek hukum dan melek permasalahan diri, masyarakat, bangsa dan negara. Berpartisipasi dalam pembangunan serta membekali pelajar dengan ilmu pengetahuan yang semuanya ini akan menjadi bekal bagi pelajar dalam berperilaku di masyarakat, bangsa dan negara.

Keberadaan guru bagi suatu bangsa sangatlah penting, apa lagi bagi suatu bangsa yang sedang berkembang, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah pengaruh globalisasi dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang semuanya memberi dampak baik positif dan negatif, yang membutuhkan adaptasi terhadap perubahan dengan tidak melupakan budaya-budaya yang ada.

d. Peran Guru Terhadap Kenakalan Remaja

Saat memasuki usia remaja proses soialisasi anak semakin bertambah luas seiring semakin luas jangkauan pertemanan. Seperti bersosialisasi dengan guru maupun teman-teman sebaya yang secara geografis berjauhan dengannya. Dalam sosialisasi tersebut tentunya akan


(30)

berdampak positif ataupun sebaliknya dalam perkembangan moralnya. Seperti mendapatkan dukungan/motivasi dari guru dan teman-teman untuk berprestasi tentunya akan berdampak positif bagi perkembangan anak itu sendiri. Begitu juga sebaliknya, apabila menadapatkan pengaruh-pengaruh buruk dari teman-teman sebayanya seperti berkelahi, merokok, dan kenakalan-kenakalan remaja lainnya dan hal tersebut dibiarkan saja tanpa ada pengendalian atau kontrol dari guru dan orang tua, tentu saja berdampak negatif bagi perkembangan anak itu sendiri.

Guru, sebagai salah satu komponen dari sekolah yang berperan sebagai lembaga pencetak generasi penerus bangsa tersebut, seharusnya bukan hanya menitik beratkan pada transfer ilmu kepada siswanya tetapi juga harus bisa membentuk karakter siswa yang jauh dari hal-hal negatif.

Peran guru sebagai pendidik merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi ilmu (pengajar), pembinaan (supervisor) dan motivator serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

Guru diharapkan mampu menjalankan peranannya baik di lingkungan sekolah maupun pada saat proses belajar mengajar agar tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan secara optimal. Dalam kaitannya dengan


(31)

kajian ini, seorang guru PKn diharapkan bisa menjadi manajer atau pengelola kelas yang profesional guna terciptanya suasana kelas dan lingkungan sekolah yang kondusif yang memungkinkan untuk suasana belajar yang menggairahkan dan terbentuknya siswa-siswa yang memiliki disiplin yang tinggi.

2. Tinjauan Tentang Tingkat Kecerdasan Emosional

a. Pengertian Kecerdasan Emosional

Seseorang dikatakan cerdas apabila ia dapat berinteraksi secara logis dan mampu melakukan sesuatu yang berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya. Kecerdasan tersebut bukan hanya dilihat dari IQ (Intelligence Quotient) atau kecerdasan intelektualnya saja melainkan juga termasuk kecerdasan emosionalnya (EQ).

Menurut Cooper dan Sawaf dalam Tridhonanto (2009:4) mengatakan bahwa, “kecerdasan emosional kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi”. Sedangkan menurut Howes dan Herald dalam Tridhonanto (2009:5), “kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain”. Golmen juga berpendapat bahwa “kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam


(32)

memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa” (Tridhonanto, 2009:4).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kempuan untuk merasakan, memahami, dan mengelola emosi yang ada pada diri untuk kepentingan diri dan untuk berinterksi atau berhubungan dengna orang lain. Jika dipahami lebih mendalam kecerdasan emosional bukan hanya mengembangkan kemampuan emosional saja akan tetapi juga kemampuan sosial, yaitu kemampuan untuk dapat berinteraksi, diterima, dan tumbuh di masyarakat.

Apabila ditinjau lebih dalam ternyata terdapat tiga unsur yang pokok mengenai kecerdasan emosional, yakni mengenai kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan), dan ketrampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain). ketiga unsur pokok inilah yang membentuk unsur kecerdasan emosional secara utuh.

Lalu seperti apa orang yang memiliki kecerdasan emosional? Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan emosional, antara lain:

1) Sadar diri, terpercaya, mampu beradaptasi, dan kreatif. 2) Mengatasi konflik yang terjadi.


(33)

3) Bekerjasama dalam tim, membangun persahabatan, dan memengaruhi orang lain.

4) Motivasi tinggi dan optomis.

5) Menyukai pengalaman baru, teliti, dan perfeksionis. 6) Mengingat kejadian dan pengalaman dengan mudah. 7) Memiliki rasa humor tinggi.

b. Faktor Penentu Kecerdasan Emosional

Sejak manusia dilahirkan ia telah memiliki emosi sehingga pada saat terlahir di dunia seorang bayi akan menangis memohon pelukan sang ibu. Pada perkembangannya seorang anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya, baik itu melalui pengasuhan dan pendidikan. Bila ditinjau secara seksama ternyata terdapat faktor yang berpengaruh pada emosi.

Menurut Tridhonanto (2009:16) terdapat tiga faktor yang berpengaruh pada emosi, antara lain:

1) Faktor pengaruh lingkungan, 2) faktor pengasuhan, dan

3) faktor pendidikan baik di rumah maupun di sekolah.

Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 69-71) ia berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja adalah:


(34)

1) Perubahan jasmani

Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya perubahan yang sangat cepat pada anggota tubuh. Ketidakseimbangan tubuh sering mempunyai akibat yang tak terduga pada perkembangan emosi remaja. Lebih-lebih jika perubahan tersebut terjadi pada perubahan kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 69), “seiring dengan perkembangna alat kelamin hormon-hormon tertentu juga mulai aktif sehingga sering kali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya”.

Akibat pengaruh aktifnya hormon yang ada pada tubuh akan menimbulkan rangsangan di dalam tubuh remaja yang awalnya belum mereka rasakan, akibat dari kurang terkendalinya rangsangan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam perkembangna emosi siswa.

2) Perubahan pola interaksi dengan orang tua

Pola asuh orang tua terhadap anak sangatlah berfariasi. Perbedaan pola asuh orang tua dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi siswa. Cara memberikan hukuman misalnya, kalau dulu anak dipukul karena nakal, pada masa remaja cara semacam itu justru dapat menimbulkan ketegangan yang lebih berat antara remaja dengan orang tuanya. Dalam konteks ini Gardner dalam Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 70)


(35)

mengibaratkan dengan kalimat “Too Big to Spank” yang maknanya bahwa remaja itu sudah terlalu besar untuk dipukul.

Pemberontakan terhadap orang tua menunjukan bahwa mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari pengawasan orang tua. Dengan adanya pemberontakan kepada orang tua mereka ingin dianggap bahwa mereka sudah dewasa dan mereka belum puas sebelum orang tua menunjukkan pengertian terhadap apa yang mereka inginkan. Keadaan seperti ini sangat berpengaruh pada perkembangan emosi remaja.

3) Perubahan interaksi dengan teman sebaya

Remaja seringkali membuat interaksi dengan teman sebayanya secara khas dengan berkumpul untuk melakukan aktifitas bersama dengan membentuk kelompok (geng). Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 70) berpendapat bahwa:

Pembentukan kelompok dalam bentuk geng ini diusahakan terjadi pada masa remaja awal saja karena biasanya bertujuan positif, yaitu untuk memenuhi minat mereka bersama. Sedangkan pada remaja tengah dan akhir pembentukan kelompok (geng) ini para anggotanya membutuhkan teman-teman untuk melakukan perbuatan tidak baik atau bahkan kejahatan bersama.

Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungna cinta dengan lawan jenis. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik dan gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa. Gangguan emosi yang


(36)

mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau pemutusan hubungan cinta dari salah satu pihak.

4) Perubahan pandangan luar

Faktor penting yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja selain perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri sendiri adalah pandangna dunia luar tentang dirinya. Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 70-71), mengemukakan:

Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja, yaitu sebagai berikut:

a) Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. b) Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai

yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan.

c) Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab.

Sikap yang tidak konsisten yang menganggap anak remaja kadang sebagai anak yang sudah dewasa namun tindakan-tindakan mereka dibatasi, dan membuat remaja masih dianggap anak kecil sehingga hal ini dapat memicu kejengkelan yang dapat berubah menjadi tingkah laku emosi. Penerapan nilai yang berbeda yang tidak disertai dengan adanya pemberian pengertian juga dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional.

5) Perubahan interaksi dengan sekolah

Pada masa anak-anak, sebelum menginjak masa remaja, sekolah merupakan tempat pendidikan yang ideal bagi mereka. Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 71-72) berpendapat bahwa:


(37)

Para guru merupakan tokoh yang paling penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu, tidak jarang anak-anak lebih percaya, lebih patuh, lebih takut kepada guru dari pada orang tua.

Posisi guru semacam itu sangat setrategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian materi-materi yang positif. Namun, tidak jarang terjadi bahwa dengan figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada para peserta didiknya. Peristiwa seperti ini sering tidak disadari oleh para guru bahwa dengan ancaman-ancaman itu sebenarnya dapat menambah permusuhan dari anak-anak setelah anak-anak itu menginjak masa remaja. Cara-cara seperti ini dapat menimbulkan stimulasi negatif bagi perkembangan emosi.

c. Komponen Pendukung Kecerdasan Emosional

Goleman dalam Tridhonanto (2009: 6-8) mengenai kecerdasan emosional menemukan lima komponen pendukung kecerdasan emosional yang tentu saja dapat dijadikan oleh individu bila ingin sukses, yaitu:

1) Mampu mengenali perasan sendiri

Maksud dari mampu mengenali perasaan sendiri adalah kemampuan dalam melihat perasaan diri sendiri dari waktu ke waktu. Dalam tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan secara berkesinambungan, agar muncul wawasan kejiwaan dan


(38)

pemahaman tentang diri. Jika individu tidak mampu mencermati perasaan yang sesungguhnya, ia berada dalam kekuasaan perasaan. Karena itu tidak peka akan masalah.

2) Mampu mengelola perasaan

Kemampuan dalam mengelola perasaan dibutuhkan supaya perasaan yang terungkap itu tepat. Dalam hal ini diperlukan kesadaran diri. Perasaan seseorang dikatakan dikelola dengan baik, bila individu mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola perasaan, ia terus menerus bergumul dengan perasan murung bahkan tidak jarang melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan diri sendiri.

3) Memotivasi diri

Arti dari motivasi diri adalah usaha yang dilakukan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki. Kemampuan seseorang dalam memotivasi diri dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut:

a) cara mengendalikan dorongan hati;

b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang;

c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan


(39)

e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya teracuh ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjannya hanya terpaku pada satu objek.

Jika seseorang memiliki kemampuan untuk memotifasi diri, ia akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam diri.

4) Mampu berempati dengan orang lain

Kata empati sendiri memiliki arti kemampuan seseorang dalam memahami perasaan orang lain. Manusia yang memiliki empati biasanya adalah seseorang yang mampu menghangatkan suasana untuk menempatkan dirinya pada situasi dan perasaan orang lain dan tetap mempertahankan perasaan dirinya. Jika seseorang dapat menerima perasaan yang ada dalam dirinya apa adanya, secara otomatis ia pun dapat merasa perasaan orang lain. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak dapat menerima perasaan secara utuh, ia pun tidak akan bisa menerima atau menghormati perasan orang lain.

5) Mampu menjalin hubungan sosial dengan orang lain

Menjalin hubungan dengan orang lain adalah sifat hakiki yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial. Seseorang dikatakan berhasil dalam menjalin hubungan dengan orang lain, jika ia sukses dalam pergaulan dan penampilannya selaras dengan perasaanya sendiri. dalam hal ini, dibutuhkan kemampuan empati untuk


(40)

menerima diri sendiri. Seseorang dikatakan gagal dalam menjalin hubungan sosoial dengan orang lain, jika ia tidak mengerti perasaan dan keberadaan orang lain, biasanyan ditampilkan dengan sikap sombong atau angkuh.

d. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional lebih menekankan pada sifat perasaan, imajinasi, intuisi, maupun emosional. Apabila ditelaah lebih jauh lagi bahwa kecerdasan emosional meliputi beberapa aspek, di antaranya:

1) Persepsi Emosi

Seseorang yang menyadari akan emosinya berarti ia telah mampu mengenali jenis emosi yang sedang dialaminya, yang dimaksud emosi disini adalah perasaan yaitu suatu jenis aktivitas psikis yang dialami manusia secara langsung.

Sam R-Loyd dalam penelitiannya pada tahun 1991, “membedakan perasan atas empat kelompok besar, yaitu amarah, sedih, senang, dan takut. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya kombinasi dari masing-masing perasaan”. (Tridhonanto, 2009: 11)

Daniel Golmen dalam Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 63) ia mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi, yaitu sebagi berikut:

1) Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati. 2) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis,


(41)

3) Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri.

4) Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga.

5) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat,dan kemesraan.

6) Terkejut: terkesiap, terkejut.

7) Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka. 8) Malu: malu hati, kesal.

Berdasarkan pendapat diatas terdapat bentuk-bentuk emosi yang yang akan dirasakan oleh seseorang. Seseorang dalam suatu keadaan perasaannya dapat mengalami lebih dari satu emosi atau menurut Daniel Golmen dalam suatu emosi itu akan menimbulkan emosi-emosi lain.

Menurut Tridhonanto (2009: 12) ia mengemukakan bahwa “ekspresi wajah, warna, cerita dan musik yang didengar dapat memberikan rangsangan terhadap perasaan”. Misalnya, tidak jarang seseorang akan merasa sedih bila melihat orang lain berwajah muram dan menagis. Jenis-jenis warna juga dapat mengasosiasikan perasaan tertentu, misalnya warna merah diasosiasikan sebagai perasaan amarah, warna kuning sebagai perasaan gembira, dan warna biru sebagai perasaan yang menenangkan. Misalnya, jika kita melihat hamparan padi yang hijau hal tersebut dapat menimbulkan rasa tenang dalam diri.

Cerita atau dongeng juga dapat menggugah emosi seseorang. Bila pencerita dapat mengekspresikan tokoh dalam cerita dengan tepat, seseorang yang mendengarkan akan mengerti benar ekspresi


(42)

seseorang bila sedang marah, kecewa, ataupun gembira. Musik atau lagu juga dapat mempengaruhi emosi. Jika seseorang mendengarkan lagu sedih maka seseorang itu bisa saja menangis. Namun jika sesorang mendengarkan lagu yang semangat dan gembira akan bisa saja akan membuat gembira seseorang yang mendengarkannya.

Kesadaran diri juga sangat diperlukan dalam melihat kemapuan atas perasaan diri sendiri dari waktu ke waktu. Kemampuan ini memungkinkan seseorang menyadari perasaan yang sedang terjadi pada saat ini. Dengan demikian, seseorang dapat mengambil sikap yang lebih tepat untuk merespon. Karena itu, perasaan memiliki keterkaitan dengan pikiran dan perbuatan yang dilakukan.

2) Pemahaman Emosi

Aspek yang juga cukup penting adalah aspek pemahaman emosi. Dengan memahami emosi, seseorang akan semakin mengenali berbagai emosi yang terdapat dalam dirinya maupun orang lain. Sebenarnya semua saling terkait jika seseorang tidak mampu mengenali emosi diri sendiri, tentunya akan sulit pula mengenali emosi orang lain. Ketidakmampuan memahami perasaan orang lain akan mengakibatkan terjadinya hambatan dalam menjalin hubungan dengan sesama.

Seseorang dapat dikatakan memahami emosi jika seseorang tersebut dapat atau mampu menyelesaikan permasalahan yang ada tanpa


(43)

mementingkan ego yang ada pada dirinya atau melihat dari sudut pandang dirinya sendiri tanpa melihat dari sudut pandang lain atau orang lain, mementingkan perasaannya saja tanpa mementingkan perasaan orang lain.

3) Pengelolaan Emosi

Pengelolaan emosi merupakan pemahaman seseorang tentang akibat perbuatanya terhadap emosinya atau orang lain dan bagaimana mengatur kembali kondisi emosi menjadi positif. Dalam mengelola emosi diharapkan jangan sampai malah menjauhi perasaan yang tidak menyenangkan agar selalu bahagia, tetapi dengan tidak membiarkan perasaan sedih berlangsung tak terkendali. Artinya, setiap orang pasti akan mengalami perasan sedih itu, disinilah seseorang harus dapat mengelola perasan sedih itu agar tidak berlarut-larut. Jika seorang telah mampu mengendalikan perasaan yang ada pada diri sendiri baik itu perasan sedih maupun bahagia agar tidak meluap-luap maka orang tersebut telah mampu mengelola emosinya.

e. Ciri Utama Pikiran Emosional

Melalui teori kecerdasan emosional yang dikembangkan Daniel Goleman dalam Muhammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 64-65), mengemukakan sejumlah ciri utama pikiran emosional.

Adapun ciri utama pikiran emosional adalah sebagai berikut: 1) Respon yang cepat tetapi ceroboh.


(44)

2) Mendahulukan perasaan kemudian pikiran. 3) Memperlakukan relitas sebagai realitas simbolik. 4) Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang. 5) Realitas yang ditentukan oleh keadaan.

1) Respon yang cepat tetapi ceroboh

Pemikiran yang emosional ternyata memiliki respon yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan pemikiran yang rasional karena pemikiran yang emosional sesungguhnya langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan apapun yang akan dilakukannya. Karena kecepatannya itu sehingga sikap hati-hati dan proses analisis dalam pikiran dikesampingkan begitu saja sehingga tidak jarang menjadi ceroboh.

Muhammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 64), menyatakan “remaja memiliki karakteristik berupa sifat kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan biasanya respon yang diberikan berlebihan sehingga menyebabkan mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak”.

Dengan karakteristik remaja yang disebutkan oleh Muhammad Ali dan Mohammad Ansori tersebut bahwa remaja biasanya akan memberikan respon yang berlebihan terhadap situasi yang dialaminya, maka tidak menutup kemungkinan dengan adanya respon berlebihan, cepat tetapi ceroboh tersebut dapat mendorong siswa untuk melakukan tindakan penyimpangan atau kenkalan


(45)

karena pengendalian dari emosinya yang kurang, karena kurang menekankan pada pemikiran yang rasional.

2) Mendahulukan perasaan kemudian pikiran

Pada dasarnya, pikiran rasional sesungguhnya membutuhkan waktu sedit lama dibandingkan dengan pikiran emosional sehingga dorongan yang lebih dahulu muncul adalah dorongan hati atau emosi, kemudian dorongan pikiran. Dalam urutan respon yang cepat, perasaan mendahului atau minimal berjalan serempak dengan pikiran. Oleh karena itu orang sering bertindak berdasarkan perasaan yang dirasakan pada saat itu tanpa memikirkan akibat-akibat yang akan ditimbulkan, karena tindakan tidak didasari oleh pemikiran yang rasional.

3) Memperlakukan relitas sebagai realitas simbolik

Logika pikiran emosional yang disebut juga logika hati bersifat asosiatif. Artinya, memandang unsur-unsur yang melambangkan suatu realitas itu sama dengan realitas itu sendiri. Berarti apa yang dirasakan oleh perasaan seseorang akibat respon dari luar.

4) Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang

Dari sudut pandang ini, apabila sejumlah ciri suatu peristiwa tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi maka pikiran emosional akan menanggapinya


(46)

dengan memicu perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat. Pikiran emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau.

Untuk lebih memudahkan dalam memahaminya Sigmun Freud dalam Muhammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 65), menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut:

Bahwa seseorang yang pada masa kanak-kanak sering mendapat pukulan yang menyakitkan, setelah dewasa akan bereaksi terhadap hardikan atau kemarahan dengan perasan sangat takut atau kebencian, meskipun sebenarnya hardikan atau kemarahan itu tidak lagi menimbulkan ancaman seperti yang dialaminya pada masa lampau.

Pola didikan dari orang tua juga akan mempengaruhi keadaan emosional pada anak, jika seorang anak dididik dengan kekerasan dan sering dihadapkan pada pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di dalam keluarga, tidak menutup kemungkinan akan membuat anak melakukan tindakan-tindakan kenakalan atau respon yang menyimpang dari norma dalam menghadapi situasi yang ada dalam lingkungan kehidupan. Misanya saja ketika anak ribut dan ditegur oleh guru anak bukan akan merasa bersalah dan memperbaiki sikap melainkan anak akan memberikan respon yang sebaliknya yaitu melawan atau bersikap acuh terhadap teguran tersebut.


(47)

5) Realitas yang ditentukan oleh keadaan

Pikiran emosional individu banyak ditentukan oleh keadaan dan didiktekan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat itu. Dalam mekanisme emosi itu ada repertoar pikiran, reaksi, bahkan ingatanya sendiri. Repertoar akan menjadi sangat menonjol pada saat disertai intensitas emosi yang tinggi. Cannon mengemukakan teori kedaruratan emosi yaitu “bahwa perbuatan atau tingkah laku seseorang merupakan akibat dari emosi yang dialami orang tersebut, bukan sebaliknya”. Mohammad Ali dan Mohammad Ansori (2008: 67).

Sepeti yang dikatakan Muhammad Ali dan Mohammad Ansori bahwa remaja biasanya akan memberikan respon yang berlebihan terhadap situasi yang dialaminya. Bagi siswa yang kesulitan dalam mengontrol emosinya maka akan mengakibatkan tindakan-tindakan atau tingkah laku yang terkesan berlebihan, seperti merasakan senang yang berlebihan atau marah yang berlebihan terhadap sesuatu hal yang sepele.

Berdasarkan pendapat di atas mengenai ciri-ciri pemikiran emosional yaitu respon yang cepat tetapi ceroboh, mendahulukan perasaan kemudian pikiran, memperlakukan relitas sebagai realitas simbolik, masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas yang ditentukan oleh keadaan, dapat mempengruhi timbulnya kenakalan-kenakalan pada remaja. Namun, jika siswa


(48)

yang dapat mengelola emosi yang ada pada dirinya atau memiliki kecerdasan emosional maka hal-hal negatif yang timbul dari pemikiran yang emosional tersebut dapat diminimalisir. Seorang individu dikatakan memiliki kecerdasan emosional apabila ia telah mampu untuk mengenali perasan sendiri, mengelola perasaan, memotivasi diri, berempati dengan orang lain, dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain.

3. Tinjauan Tentang Tingkat Kenakalan Remaja

a. Pengertian Kenakalan Remaja

Seiring dengan berkembangnya jaman dalam kehidupan masyarakat sering terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dari nilai maupun norma yang berlaku di lingkungan sosial, tidak dipungkiri bahkan para remaja juga sering melakukan tindakan-tindakan penyimpangan yang sering disebut kenakalan remaja atau juvenile delinquency.

Menurut Fuad Hasan dalam Anjarsari (2011: 19), “kenakalan adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak atau remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan”. Dengan demikian kenakalan dapat dikatakan suatu tindakan yang melanggar aturan, nilai, atau norma yang berlaku di dalam masyarakat. Hal tersebut dikatakan kenakalan apabila perbuatan pelanggaran tersebut dilakukan dikalangan anak-anak atau remaja.


(49)

Berdasarkan pengertian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kenakalan adalah suatu tingkah laku individu atau kelompok yang melanggar atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan sosial dengan ciri-ciri pokoknya sebagai berikut:

1) Nampak adanya perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan norma dan bersifat pelanggaran hukum yang berlaku (norma hukum).

2) Perbutan atau tingkah laku bertentangan dengan nilai moral atau norma kesopanan.

3) Kenakalan tersebut mempunyai arti yang asusila, yaitu dengan perbuatan yang bertentangan dengan norma sosial (norma kesusilaan) dengan masyarakatnya.

Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari (2004: 53). “masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria”. Sedangkan WHO memberikan definisi tentang remaja dalam tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.

1) Individu berkembang pada saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya saat ia mencapai kematangan seksual;

2) Individu mengalami perkembangan emosi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa

3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri.


(50)

WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian , yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarlito Wirawan Sarwono, 2005: 9-10).

Sudarsono (2012: 11) ia berpendapat bahwa, “.... kenakalan remaja ialah perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama”. Sedangkan Fuad Hasan dalam Sudarsono (2012: 11) merumuskan definisi juvenile delinquency sebagai “perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila mana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan”.

Singgih D. Gunarsa dan Ny. Singgih D. Gunarsa (2004: 137), dalam bukunya “Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga” memberikan beberapa ciri pokok kenakalan remaja yaitu:

1) Dalam pengertian kenakalan harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai norma.

2) Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang asusila, yakni perbuatan atau tingkah laku tersebut bertentangan dengan nilai atau norma sosial yanga ada di lingkungan hidupnya.

3) kenakalan remaja dapat dilakukan oleh remaja saja, atau dapat juga dilakukan bersama-sama dalam satu kelompok remaja.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kenakalan remaja adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap aturan-aturan tata tertib (hukum), nilai dan norma yang berlaku, yang hanya dilakukan oleh remaja, karena bila dilakukan oleh orang dewasa maka tidak dapat disebut


(51)

sebagai kenakalan melainkan kejahatan. Dimana tindakan kenakalan yang dilakukan oleh remaja dapat menggangu ketentraman dan ketertiban masyarakat, serta tidak dapat menutup kemungkinan akan membahayakan diri remaja itu sendiri.

b. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja

Semakain berkembangnya zaman, semakin beragam pula bentuk kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja, berikut ini bentuk-bentuk kenakalan remaja menurut para ahli:

Sudarsono (1995:13) menyatakan yang termasuk kenakalan remaja meliputi:

1) perbuatan awal pencurian meliputi perbuatan berkata bohong dan tidak jujur;

2) perkelahian antar siswa termasuk juga tawuran antar pelajar; 3) mengganggu teman;

4) memusuhi orang tua dan saudara, meliputi perbuatan berkata kasar dan tidak hormat pada orang tua dan saudara;

5) menghisap ganja, meliputi perbuatan awal dari menghisap ganja yaitu merokok;

6) menonton pornografi; dan 7) corat-coret tembok sekolah.

Berbeda lagi dengan Sudarsono, Sunarwiyati S dalam Siswati Budiarti (http://siswatibudiarti.wordpress.com) membagi kenakalan remaja berdasarkan bentuknya kedalam tiga tingkatan:

1) Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit.

2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai sepera motor tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa ijin.

3) Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dan lain-lain. Siwati Budiarti


(52)

Adapun bentuk-bentuk/jenis-jenis kenakalan yang sering dilakukan oleh para remaja di SMA Negeri 15 Bandar Lampung, adalah sebagai berikut:

1) Tidak Masuk Sekolah Tanpa Keterangan (Alfa)

Tidak masuk sekolah tanpa keterangan merupakan tindakan siswa yang tidak masuk sekolah dari awal pelajaran hingga berakhirnya sekolah tanpa memberi keterangan kepada pihak sekolah. Penyebab siswa tersebut tidak datang bisa jadi karena siswa malas untuk mengikuti pelajaran, siswa dengan sengaja tidak masuk sekolah dan pergi ke tempat-tempat yang menurut mereka menarik.

2) Membolos

Membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan dari pihak sekolah. Membolos disini pada hakekatnya mereka berangkat ke sekolah dengan berpakain seragam dari rumah akan tetapi mereka tidak datang ke sekolah mereka pergi entah kemana. Keadaan seperti ini sering terjadi karena mereka merasa bosan dengan suasana sekolah, ada pula yang beralasan terlambat akhirnya mereka memutuskan untuk membolos saja.

3) Merokok

Merokok di sekolah bagi para siswa merupakan tindakan yang melanggar dan tidak diperbolehkan oleh pihak sekolah. Merokrok


(53)

bagi para siswa merupakan kepuasan tersendiri bagi mereka yang sudah terbiasa merokok di rumah maupun di sekolah. Dan ada pula siswa yang hanya ikut-ikutan dan mencari perhatian supaya dipandang keren. Oleh karena itu pendidik/guru harus bisa memberikan contoh yang baik dan memberi pengarahan, misalnya guru tidak boleh merokok di kelas pada waktu jam pelajaran, ataupun merokok di depan siswa-siswanya.

4) Berkelahi antar siswa satu sekolah

Merupakan perkelahian yang terjadi antar siswa yang berada di satu sekolah, hal tersebut biasanya disebabkan karena kesalahpahaman antar siswa. Kesalahpahaman tersebut dapat terjadi karena berbagai alasan, misalnya siswa yang tidak terima atas kata-kata kasar yang dilontarkan siswa lain, sikap dan prilaku siswa yang dipandang tidak baik oleh siswa yang lain, dan lain sebagainya.

5) Mencuri

Mencuri merupakan mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan dari orang. Perbuatan mencuri tentunya termasuk perbuatan kriminal yang tentu saja tidak dibenarkan, apalagi perbuatan tersebut dilakukan di lingkungan sekolah. Tentu saja mencuri termasuk perbuatan pelanggaran yang cukup berat.


(54)

6) Menyimpan vidio/foto porno

Menyimpan vidio atau foto porno merupakan tindakan pelanggaran, dimana seorang siswa tidak diperkenankan untuk melihat ataupun menyimpan hal-hal yang berbau porno. namun biasanya ada siswa yang kedapatan memiliki/menyimpan vidio atua foto porno di HP.

7) Tidak sopan kepada guru dan teman

Perbuatan tidak sopan terhadap guru ini dapat berupa dari perkataan siswa yang ditujukan kepada guru dan teman atau pun dapat berupa tingkah laku atau perbuatan yang ditunjukkan siswa. Dimana perbuatan dan perkataan tersebut dapat menyinggung orang atau membuat orang merasa tidak senang.

8) Tidak menggunakan seragam sesuai aturan

Pemakaian atribut pada seragam tidak sesuai dengan yang ditentukan oleh sekolah merupakan pelanggaran terhadap tata tertib sekolah. Para siswa kadang kala tidak mematuhi tata tertib yang ada. Mereka memakai atribut pada seragam sesuai dengan kehendak hatinya, misalnya menggunakan celana yang tidak sesuai ketentuan (celana dibuat model pensil), baju yang kekecilan, dan lain-lain.

9) Perkelahian pelajar antar-sekolah

Perkelahian pelajar antar-sekolah yang sering disebut dengan istilah tawuran antar pelajar, merupakan tindakan yang sangat


(55)

dilarang, karena hal tersebut dapat merugikan banyak pihak. Selain itu tindakan tawuran tersebut dapat membuat nama baik sekolah menjadi buruk dipandang masyarakat.

10)Membawa barang yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah

Membawa barang yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah seperti misalnya membawa mercon, membawa rokok, membawa obat dextro, dan barang-barang lain yang seharusnya tidak dibawa kesekolah.

11)Mengganggu disaat KBM

Mengganggu disaat KBM atau membuat kegaduhan disaat pelajaran berlangsung dapat merusak kondisi belajar yang kondusif dan konsentrasi teman-teman yang sedang belajar. Biasanya tindakan tersebut berupa ribut disaat guru menjelaskan, mengobrol dengan teman sebangku, bermain HP disaat KBM sedang berlangsung dan lain sebagainya.

c. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Secara psikologis kenakalan membutuhkan kretifitas dan keberanian yang keduanya bukan potensi sejak lahir, tetapi perolehan dari hasil belajar dan interaksi dengan lingkungan.

Faktor-faktor penyebab munculnya kenakalan remaja, menurut Kumpfer dan Alvarado dalam Ayu Vianti (2011: http://ayuvianti.blogspot.com) adalah:


(56)

1) Kurangnya sosialisasi dari orang tua ke anak mengenai nilai-nilai moral dan sosial.

2) Contoh perilaku yang ditampilkan orangtua (modeling) di rumah terhadap perilaku dan nilai-nilai anti-sosial.

3) Kurangnya pengawasan terhadap anak (baik aktivitas, pertemanan di sekolah ataupun di luar sekolah, dan lainnya). 4) Kurangnya disiplin yang diterapkan orang tua pada anak. 5) Rendahnya kualitas hubungan orang tua- anak.

6) Tingginya konflik dan perilaku agresif yang terjadi dalam lingkungan keluarga.

7) Kemiskinan dan kekerasan dalam lingkungan keluarga.

8) Anak tinggal jauh dari orang tua dan tidak ada pengawasan dari figur otoritas lain.

9) Perbedaan budaya tempat tinggal anak, misalnya pindah ke kota lain atau lingkungan baru.

10) Adanya saudara kandung atau tiri yang menggunakan obat-obat terlarang atau melakukan kenakalan remaja.

Simandjuntak dalam Anjarsari (2011: http://id.shvoong.com) membagi sebab-sebab kenakalan remaja menjadu dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

1) Faktor Intern

Yang dimaksud dengan faktor intern ialah faktor yang datangnya dari dalam tubuh manusia sendiri, tanpa pengaruh lingkungan sekitar, termasuk dalam faktor ini adalah:

a) Personaliti (kepribadian)

Menurut ahli-ahli bahwa personaliti seseorang dapat menjadi penyebab melakukan kenakalan. Memepersoalkan tentang kepribadian seseorang, maka yang menjadi perhatian adalah tingkah laku yang erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan.


(57)

Tiap remaja mempunyai disposisi untuk mengalami pertumbuhan, baik pisikis dan fisik. Potensi remaja ada yang dapat mengarah pada hal-hal yang positif, tetapi ada juga yang mengarah pada hal-hal yang negatif, tergantung pada lingkungan masing-masing. Hal yang negatif itulah yang dapat menyebabkan kenakalan.

b) Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin memang dapat mempengaruhi tindakan atau sikap. Hal ini sangat jelas pada periode pubertas.

c) Kedudukan dalam keluarga

Kedudukan yang dimaksud adalah urut-urutan kelahiran atau posisi seorang anak dalam keluarga. Dimana posisi ini mempengaruhi kepribadian.

2) Faktor ekstern

a) Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan wadah utama dalam pendidikan. Dimana pendidikan diperoleh pertama kali berasal dari keluarga. Kebiasaan orang tua sehari-hari sangat berpengaruh terhadap pembentukan mental anak. Anak yang hidup pada keluarga yang damai maka mereka akan berperilaku yang positif, sedangkan anak yang hidup pada keluarga yang kurang baik


(58)

maka hal itu dapat dicontoh oleh anak dan menyebabkan menyebabkan timbulnya tindak kenakalan.

b) Lingkungan sosio budaya

Ligkungan tempat anak berpijak adalah masyarakat. Tidak jauh juga dengan lingkungan keluarga, apabila anak hidup dalam masyarakat yang baik maka perilaku anak akan menjadi baik begitu juga sebaliknya, anak yang hidup di lingkungan masyarakat yang kurang baik juga akan berpengaruh buruk pada pribadi anak”.(Noach Simanjuntak dan Pasaribu, 1984:112-120).

Sedangkan Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Singgih D. Gunarasa (1998: 134-134) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan kenakalan.

faktor-faktor penting penyebab kenakalan siswa antara lain: 1) Kemungkinan berpangkal pada diri sendiri.

a) Kekurangan penampungan emosional,

b) kelemahan dalam mengendalikan dorongan-dorongan dan kecendrungannya,

c) kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan, dan d) kekurangan dalam pembentukan hati nurani. 2) Kemungkinan berpangkal dari lingkungan

a) Lingkungan keluarga, dan b) lingkungan masyarakat.

3) Perkembangan teknologi yang menyebakan goncangan pada diri siswa yang belum memiliki kekuatan mental untuk menerima perubahan-perubahan baru.

4) Faktor sosial politik, sosial ekonomi dengan kondisi secara keseluruhan atau kondisi setempat seperti di kota-kota besar dengan ciri-ciri khasnya.

5) Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan bermacam-macam kenakalan siswa.

Berdasarakan uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa faktor penyebab dari kenakalan remaja dapat berupa faktor intern (yang berasal dari dalam diri remaja), misalnya tingkat kecerdasan


(59)

emosional dan kepribadian remaja, serta faktor ekstern (faktor yang berada diluar diri remaja), misalnya faktor keluarga, faktor lingkungan (keadaan masyarakat), dan faktor keadaan sekolah.

d. Usaha-Usaha Menanggulangi Kenakalan Remaja

Masalah kenakalan remaja dewasa ini menunjukkan kecenderungan peningkatan, baik dari jumlah kasus pelakunya maupun macam-macamnya, sehingga perlu diambil langkah-langkah positif dan lebih terarah untuk menanggulangi kenakalan tersebut. Dalam usaha menanggulangi kenakalan remaja, pada dasarnya merupakan suatu upaya menghilangkan atau minimal mengurangi sebab-sebab yang dapat menimbulkan terjadinya kenakalan. Oleh sebab itu, perlu adanya usaha sistematis untuk mengatasinya, diantaranya yaitu:

1) Usaha secara prefentif

“Usaha secara prefentif yaitu segala usaha tindakan yang bertujuan untuk mencegah timbulnya kenakalan-kenakalan”. (Singgih D. Gunarsa, 1998:261). Hal ini merupakan aktivitas seseorang dalam rangka mengatasi, mencegah atau menghindarinya dari perbuatan-perbuatan yang dianggap menyimpang. Usaha ini berorientasi pada sumber-sumber atau sebab-sebab yang menimbulkannya yaitu:


(60)

a) Dari lingkungan keluarga

Keluarga merupakan tempat dimana anak untuk berlindung dan mengharapkan dorongan/motivasi. Di dalam keluarga juga, anak memperoleh pemenuhan kebutuhannya, baik kebutuhan yang bersifat biologis seperti makan, minum, dan pakaian, maupun yang bersifat psikologis seperti kasih sayang, perhatian, perlindungan, keadilan, kebebasan, penghargaan, pujian, dan sebagainya. Peranan orang tua dalam berinteraksi pada anak-anaknya diusahakan dengan seoptimal mungkin.

Singgih D. Gunarsa dalam bukunya “Psikologi perkembangan anak dan remaja” mengemukakan bahwa ia menggunakan istilah terapi keluarga, maksudnya memusatkan usaha untuk melakukan perbuatan terhadap keluarga sebagai suatu kesatuan dan mencapai keseimbangan yang serasi dalam hubungan antar pribadi dalam keluarga. (Singgih D. Gunarsa, 1998:190). Maka diharapkan orang tua mampu memberikan hal-hal berupa, keyakinan beragama, yaitu dengan menanamkan pada anak jiwa yang religius membimbingnya untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama. Memberi bimbingan dan pendidikan yang menuju akhlakul karimah. Minimal orang tua memberi suri tauladan atau contoh kepada anak-anaknya sebagai uswatun khasanah. Menciptakan situasi yang harmonis dalam kehidupan berkeluarga. Sedapat


(61)

mungkin percekcokan dihindari, karena hal semacam itu dapat berakibat ketidaktentraman terhadap jiwa dan raga anak.

Orang tua harus selalu mengadakan kontrol terhadap kelompok anaknya, baik kelompok mainnya, kelompok belajarnya, kelompok di sekolahnya, dan di masyarakatnya. Sikap menjaga dan mengontrol ini sangatlah perlu, bahkan agamapun menganjurkan untuk selalu menjaga anggota keluarganya dari perbuatan dosa.

b) Dari lingkungan sekolah

Pada dasarnya sekolah adalah tempat mengadakan pendidikan moral, budi pekerti dan sopan santun disamping ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat itulah tempat bertemunya berbagai individu yang berlainan dalam sifat, pribadinya dan tingkah lakunya. Sehingga dalam berinteraksi sangatlah dimungkinkan untuk berbuat menyimpang, maka tidaklah heran bila kenakalan juga melanda di lingkungan sekolah. Dengan demikian, tanggung jawab pendidik terutama moral dapat ditempuh dengan:

1. Menciptakan suasana sekolah yang harmonis.

2. Kedisplinan guru dalam mengajar agar lebih teratur, karena dengan kedisiplinan dan keaktifan guru akan membawa situasi yang dinginkan.


(1)

mungkin percekcokan dihindari, karena hal semacam itu dapat berakibat ketidaktentraman terhadap jiwa dan raga anak.

Orang tua harus selalu mengadakan kontrol terhadap kelompok anaknya, baik kelompok mainnya, kelompok belajarnya, kelompok di sekolahnya, dan di masyarakatnya. Sikap menjaga dan mengontrol ini sangatlah perlu, bahkan agamapun menganjurkan untuk selalu menjaga anggota keluarganya dari perbuatan dosa.

b) Dari lingkungan sekolah

Pada dasarnya sekolah adalah tempat mengadakan pendidikan moral, budi pekerti dan sopan santun disamping ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat itulah tempat bertemunya berbagai individu yang berlainan dalam sifat, pribadinya dan tingkah lakunya. Sehingga dalam berinteraksi sangatlah dimungkinkan untuk berbuat menyimpang, maka tidaklah heran bila kenakalan juga melanda di lingkungan sekolah. Dengan demikian, tanggung jawab pendidik terutama moral dapat ditempuh dengan:

1. Menciptakan suasana sekolah yang harmonis.

2. Kedisplinan guru dalam mengajar agar lebih teratur, karena dengan kedisiplinan dan keaktifan guru akan membawa situasi yang dinginkan.


(2)

4. Kurikulum disesuaikan dengan kemampuan, bakat dam minat.

5. Diadakan operasi tertib sekolah dengan kontinyu.

6. Menanamkam kedisiplinan dan memfungsikan tata tertib di sekolah.

c) Dari lingkungan masyarakat

Dampak buruk kenakalan siswa secara tidak langsung juga akan dirasakan masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat dalam mengatasi dan menanggulangi kenakalan tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Turut memberikan pengawasan dan pemantauan terhadap remaja

2. Mengadakan pengawasan terhadap peredaran majalah, buku-buku, pertunjukan, pemutaran film yang tidak memiliki nilai pendidikan dilarang beredar.

3. Memberikan, mengadakan dan menyelenggarakan ceramah-ceramah, kursus-kursus dengan mengembangkan kesadaran sosial beragama dengan tujuan pembinaan mental.


(3)

2) Usaha secara kuratif

“Tindakan kuratif yaitu tindakan dalam memperbaiki akibat perbuatan nakal, terutama individu yang telah melakukan perbuatan tersebut”. (Singgih D. Gunarsa, 1998:161)

Usaha menangulangi kenakalan remaja secara kuratif harus dengan melihat situasi dan kondisi, sebab seorang anak remaja pada masa ini emosi masih suka meledak-ledak, bila cara pendekatannya kurang sesuai dengan situasi dan kondisi remaja maka akan menimbulkan tindakan yang lebih buruk. Tindakan ini pada dasarnya dilakukan setelah tindakan pencegahan dan cara ini ditempuh dan dianggap perlu dalam mengubah tingkah laku sipelanggar itu dengan memberikan pendidikan lagi.

3) Usaha secara represif

Terhadap anak dan remaja yang telah melakukan kenakalan memang perlu diadakan pengusutan, penahanan, penuntutan dan hukuman guna menjami rasa aman pada masyarakat dan anak yang nakal itu sendiri.

Jelaslah bahwa pemeliharaan, pencegahan dan pembinaan harus selalu dilakukan, baik terhadap yang telah melakukan kenakalan maupun yang belum pernah melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar ketiga upaya penanggulangan tersebut dapat berfungsi, sehingga tercapai tujuan yang membawa suasana siswa menjadi baik semuanya. Disini yang termasuk usaha represif adalah:


(4)

a) Pembinaan mental, ini dapat ditempuh dengan berbagai ceramah-ceramah keagamaan, kesadaran beragama, kesadaran lingkungan.

b) Program home room, yaitu program kegiatan penasehatan untuk bimbingan kelompok yang bertujuan membangkitkan solidaritas dan perasaan kebersamaan dan perasaan ikut memiliki dengan berbagai aktivitas yang dijalankan dalam kelompok itu.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Sebagai bahan pembanding, peneliti menganbil penelitin untuk membandingkan penelitian ini dengan penelitian yang lain, dimana variabel yang diteliti memiliki kesamaan dengan penelitian ini.

Skripsi yang berjudul Pengruh Tingkat Kecerdasan Emosional Terhadap Sikap dalam Pergaulan Sekolah Kelas XI SMA YP Unila Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2008/2009.

Pembahasan singkat dalam penelitian ini adalah, tingkat kecerdasan emosional seseorang dapat ditentuka berdasarkan pemahaman individu terhadap emosi-emosi yang ada pada dirinya, kemampuan mengelola emosi-emosi, motivasi diri, pemahaman emosi pada diri orang lain, dan kemampuan membina hubungan antar manusia (sosial). Kesimpulan dari penelitian ini adalah derajat atau tingkat keeratan pengaruh tingkat kecerdasan emosional terhadap sikap dalam


(5)

pergaulan disekolah kelas XI SMA YP UNILA Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2008/2009 memiliki tingkat keeratan tinggi.

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan pengertian yang ada, kenakalan remaja dapat ditandai dengan ciri-ciri pokoknya sebagai berikut:

1) Nampak adanya perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan norma dan bersifat pelanggaran hukum yang berlaku (norma hukum) 2) Perbutan atau tingkah laku bertentangan dengan nilai moral atau norma

kesopanan.

3) Kenakalan tersebut mempunyai arti yang asusila, yaitu dengan perbuatan yang bertentangan dengan norma sosial dengan masyarakatnya (norma kesusilaan).

Peran guru adalah menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat, yaitu sebagai seorang pendidik dan memberika ilmu. Dalam mendidik, guru dituntut dapat mengarahkan siswa kepada hal-hal yang baik. Dimana di sini guru juga berperan dalam menangani kenakalan-kenakalan yang dilakukan siswa.

Setiap proses pembelajaran tentunya akan selalu menghasilkan hasil belajar yang telah dicapai oleh individu yang belajar tersebut berupa hasil kualitatif dalam bentuk prilaku maupun kuantitatif dalam bentuk nilai. Untuk mencapai hasil belajar tersebut pada setiap kegiatan pembelajaran, guru dituntut untuk


(6)

mampu menjalankan peranannya secara optimal, yaitu peranannya sebagai pengajar, sebagai pembimbing, dan sebagai motivator.

Dalam risetnya mengenai kecerdasan emosional menemukan lima komponen pendukung kecerdasan emosional yang tentu saja dapat dijadikan oleh individu bila ingin sukses, yaitu:

1) mampu mengenali perasan sendiri; 2) mampu mengelola perasaan; 3) memotivasi diri;

4) mampu berempati dengan orang lain; dan

5) mampu menjalin hubungan sosial dengan orang lain.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

Variabel X

Variabel Y

Variabel X

Peranan Guru PKn:  Sebagai pengajar  Sebagai pembimbing  Sebagai motivator

Kecerdasan Emosional:

 Mampu mengenali perasan sendiri

 Mampu mengelola perasaan  Memotivasi diri

 Mampu berempati dengan orang lain

 Mampu menjalin hubungan sosial dengan orang lain

Kenakalan Siswa Tingkahlaku yang bertentangan dengan :

1. Norma hukum 2. Norma kesopanan 3. Norma kesusilaan


Dokumen yang terkait

PENGARUH PENGAWASAN, MASA KERJA, DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA GURU PADA SMA NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2009/2010

6 20 91

PENGARUH PERGAULAN KAWAN SEBAYA TERHADAP KENAKALAN REMAJA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 NATAR LAMPUNG SELATAN TAHUN PELAJARAN 2011/2012

16 204 55

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP KINERJA GURU YAYASAN PENDIDIKAN PANJANG LAMPUNG (YPPL) BANDAR LAMPUNG

0 20 93

PERSEPSI SISWA TERHADAP CARA MENGAJAR GURU PKN DI SMP NEGERI 21 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1 11 73

Pengaruh Peer Pressure Terhadap Tingkat Kenakalan Remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 9 Bandar Lampung

9 60 71

PERAN GURU DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU BERTANGGUNG JAWAB PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 15 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016

0 6 52

PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DAN GURU PENDIDIKAN AGAMA DALAM PENGELOLAAN KENAKALAN REMAJA Peran Guru Bimbingan Konseling Dan Guru Pendidikan Agama Dalam Pengelolaan Kenakalan Remaja Di SMA Negeri 1 Ngadirojo Pacitan.

0 1 11

PERAN GURU BIMBINGAN KONSELING DAN GURU PENDIDIKAN AGAMA DALAM PENGELOLAAN KENAKALAN REMAJA Peran Guru Bimbingan Konseling Dan Guru Pendidikan Agama Dalam Pengelolaan Kenakalan Remaja Di SMA Negeri 1 Ngadirojo Pacitan.

0 2 22

PENGARUH KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN EMOSIONAL, DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMA NEGERI DI SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2012/ 2013.

0 0 18

PENGARUH MUSIK TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL DI SMA YP UNILA BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2017/2018 - Raden Intan Repository

1 3 117