DWI AGUNG NUGROHO BAB II

BAB ll TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan

  Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Menurut Kelman (1958) dalam Sarwono (2007) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran / instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan

  

(compliance). Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya

  sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang, perilaku itupun ditinggalkan.

  Perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, dan kemudian menjadi internalisasi. Mula – mula individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan, dan seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran. Tahap ini disebut tahap kepatuhan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini sifatnya sementara, artinya tindakan itu akan dilakukan selama masih ada pengawasan.

  11 Pada tahap identifikasi, kepatuhan yang timbul dari seseorang individu disebabkan untuk menjaga hubungan baik dengan individu lain yang menganjurkan perubahan. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada tahap kepatuhan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku, karena individu belum dapat mengaitkan perilaku dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya.

  Tahap internilitas adalah tahap individu melakukan sesuatu karena memahami makna dari pentingnya kepatuhan. Perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri da diintegrasikan dengan nilai – nilai lain dari kehidupannya. Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi (Kelman, 1995).

B. Cuci Tangan

  1. Pengertian cuci tangan.

  Mencuci tangan merupakan suatu proses yang secara mekanis melepaskan kotoran dan debu dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air, dengan tujuan untuk mencegah infeksi (Depkes, 2007). Mencuci tangan dengan sabun adalah praktik mencuci tangan yang paling umum dilakukan. Walaupun perilaku mencuci tangan dengan sabun sudah diperkenalkan sejak lama, dengan tujuan untuk memutus mata rantai kuman.

  Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk menghindari penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar hilang. Mencuci tangan juga mengurangi pemindahan mikroba ke pasien dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berada pada kuku, tangan dan lengan (Schaffer, et.al., 2000).

  Pada fasilitas-fasilitas kesehatan sepertimencuci tangan bertujuan untuk melepas atau membunuh patogen mikroorganisme, agar tidak terjadi perpindahan mikroorganisme kepada pasien. Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik. Karena itu para staf medis, khususnya dokter bedah, sebelum melakukan operasi diharuskan mensterilkan tangannya dengan menggunakan antiseptik kimia dalam sabunnya (sabun khusus atau sabun anti mikroba) atau deterjen. Untuk profesi-profesi ini pembersihan mikro organisme tidak hanya diharapkan hilang namun mereka harus bisa memastikan bahwa mikro organisme yang tidak bisa bersih dari tangan, mati, dengan zat kimia antiseptik yang terkandung dalam sabun. Aksi pembunuhan mikroba ini penting sebelum melakukan operasi dimana mungkin terdapat organisme yang kebal terhadap antibiotik.

  Sesuai perkembangan zaman, dikembangkan juga cairan pembersih tangan beralkohol. Namun apabila tangan benar-benar dalam keadaan kotor, baik oleh tanah, darah, ataupun lainnya, maka penggunaan air dan sabun untuk mencuci tangan lebih disarankan karena cairan pencuci tangan yang berbahan dasar alkohol, walaupun efektif membunuh kuman cairan ini tidak membersihkan tangan, ataupun membersihkan material organik lainnya. Cuci tangan menggunakan sabun atau cairan pencuci tangan yang beralkohol sama- sama efektif dalam membersihkan bakteria-bakteria tertentu. Namun cairan pembersih tangan berbahan dasar alkohol tidak efektif dalam membunuh bakteria yang lain seperti e-coli dan salmonela. Karena alkohol tidak menghancurkan spora-spora namun dengan mencuci tangan dengan sabun spora-spora tersebut terbasuh dari tangan.

  Metode terbaik adalah pada saat keadaan tidak memungkinkan untuk mengakses air dan sabun, maka cairan pencuci tangan jauh lebih baik daripada tidak menggunakan apapun.

  2. Indikasi cuci tangan.

  Pitet et.al. (2009) menganjurkan cuci tangan pada saat keadaan:

  a. Ketika tangan terlihat kotor atau terkontaminasi dengan bahan yang mengandung protein, darah, cairan tubuh lainnya, setelah menggunakan kamar kecil, dan jika terpapar spora organisme yang telah terbukti keberadaanya.

  b. Setelah kontak dengan cairan tubuh, membran mukosa, luka terbuka, atau melakukan pembalutan luka.

  c. Saat sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, setelah melepas sarung tangan, sebelum menggunakan perangkat invasif untuk perawatan pasien, dan jika tangan berpindah melaksanakan tindakan keperawatan dari situs tubuh terkontaminasi ke tubuh yang bersih. d. Sebelum memegang obat dan menyiapkan makanan.

  World Health Organisation (2009) dalam bukunya yang

  berjudul Hand hygiene tehnical reference manual : to be used by

  

health-care workers, trainer, and observers of hand hygiene practices,

  menulis lima waktu untuk membersihkan tangan pada tenaga kesehatan. Lima waktu untuk mencuci tangan pada saat keadaan : a. sebelum menyentuh pasien.

  b. Sebelum melaksanakan tindakan aseptic maupun non aseptic.

  c. Setelah kontak dengan cairan tubuh yang beresiko.

  d. Setelah menyentuh pasien.

  e. Setelah menyentuh benda di sekitar pasien.

  3. Sarana cuci tangan.

  Sarana untuk melaksanakan cuci tangan harus menggunakan air bersih dan mengalir. Air yang bersih yang layak digunakan untuk cuci tangan tentunya adalah air yang jernih, tidak berbau dan tidak berwarna. Ada banyak sekali standar kesehatan mengenai air bersih terutama yang berhubungan dengan air minum dan untuk kesehatan, termasuk di dalamnya air yang bebas mikroorganisme, bahan kimia, dan bahan radioaktif. Namun untuk keperluan mencuci tangan bagi masyarakat awam, maka cukup digunakan kriteria yang disebutkan yakni jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.

  Dengan mencuci tangan di air mengalir, maka kotoran dan kuman akan hanyut terbawa air. Jadi mulai sekarang bila kita makan di rumah makan atau di warung makan yang ada wastafelnya, sebaiknya cuci tangan di wastafel walaupun di sediakan mangkuk tempat mencuci tangan di meja. Karena air di mangkuk cuci tangan tidak mengalir, sehingga bakteri dan virus tetap tergenang di air dan dapat menempel kembali ke tangan saat cuci tangan.

  Cuci tangan sebaiknya dilakukan menggunakan sabun, baik berupa sabun padat maupun cair. Karena sabun dapat membantu proses pelepasan kotoran dan kuman yang menempel di permukaan luar kulit tangan dan kuku. Dengan mencuci tangan yang benar menggunakan sabun maka kotoran dan kuman akan terangkat dan dapat membantu mengurangi resiko terinfeksi penyakit.

  Seiring perkembangan jaman, cuci tangan tidak hanya menggunakan air dan sabun saja. Cuci tangan bisa menggunakan cairan antisepsis yang telah menjadi alternatif untuk membersihkan tangan dari kuman, karena lebih praktis dari cuci tangan dengan air dan sabun. Pembersih tangan berbahan dasar alkohol cukup cepat bekerja dan secara signifikan mengurangi jumlah bakteri pada kulit, tetapi tidak semua jenis bakteri bisa mati dengan Cairan pembersih tangan yang efektif jika mengandung sedikitnya 60 % alkohol. Jadi untuk membersihkan tangan dari kuman hal terbaik yang dapat Anda lakukan adalah mencuci dengan sabun dan air.

  Pemakaian cairan pembersih tangan hanya dilakukan jika tidak tersedia air dan sabun.

  4. Macam-Macam Cuci Tangan dan Cara Mencuci Tangan WHO (2005) mengeluarkan pesan kesehatan untuk mencuci tangan dengan 7 langkah. Dalam pelaksanaan di bidang kesehatan ada yang mengembangkan dari 7 langkah menjadi 10 langkah mencuci tangan. Berikut ini adalah cara mencuci tangan yang telah ditetapkan oleh WHO: a. Cuci tangan biasa atau cuci tangan 7 langkah.

  Cuci tangan biasa adalah proses pembuangan kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air mengalir. 1) Peralatan dan perlengkapan

  (a) Sabun biasa/ antiseptik. (b) Handuk bersih atau tisu. (c) Wastafel atau air mengalir. 2) Prosedur pelaksanaan.

  (a) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan. (b) Lepas cincin, jam tangan, dan gelang. (c) Basahi kedua tangan degan menggunakan air mengalir. (d) Tuangkan sabun secukupnya. (e) Ratakan sabun pada kedua telapak tangan. (f) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya.

  (g) Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari. (h) Bersihkan punggung jari dengan gerakan mengunci.

  (i) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan, lakukan sebaliknya.

  (j) Bersihkan ujung jari tangan kanan dengan gerakan memutar pada telapak tangan kiri dan lakukan sebaliknya.

  (k) Gosok pergelangan tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan, dan lakukan sebaliknya.

  (l) Bilas kedua tangan dengan air mengalir. (m) Keringkan tangan dengan tisu sekali pakai sampai benar- benar kering.

  (n) Gunakan tisu tersebut untuk menutup keran.

  Berikut gambar (2.1) cuci tangan biasa atau cuci tangan 7 langkah:

Gambar 2.1 Cara mencuci tangan biasa(7 langkah).

  Sumber : Pitet, Allegranzi, dan Boyce (2009).

  b. Cuci Tangan Bedah atau cuci tangan 10 langkah.

  Cuci tangan bedah adalah menghilangkan kotoran, debu dan organisme sementara secara mekanikal dan mengurangi flora tetap selama pembedahan. Tujuannya adalah mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme dari kedua belah tangan. Cuci tangan dengan sabun biasa dan air yang diikuti dengan panggunaan penggosok dengan bahan dasar alkohol tanpa air yang mengandung klorheksidin menunjukkan pengurangna yang lebih besar pada jumlah mikrobial pada tangan, meningkatkan kesehatan kulit dan mereduksi waktu dan sumber daya. 1) Peralatan Dan Perlengkapan

  (a) Sabun biasa/antiseptik. (b) Sikat. (c) Spon. (d) Handuk steril / lap bersih dan kering. (e) Wastafel atau air mengalir. 2) Prosedur Pelaksanaan

  (a) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan. (b) Lepas cincin, jam tangan dan gelang. (c) Basahi kedua tangan dengan menggunakan air mengalir sampai siku.

  (d) Gunakan sabun kearah lengan bawah, lakukan hal yang sama pada sebelah tangan.

  (e) Bersihkan kuku dengan pembersih kuku atur sikat lembut kearah luar, kemudian bersihkan jari hingga siku dengan gerakan sirkular dengan spon. Ulangi hal yang sama pada lengan yang lain. Lakukan selama minimal 2 menit.

  (f) Membilas tangan dan lengan secara terpisah dengan air yang mengalir, setelah bersih tahan kedua tangan mengarah ke atas sebatas siku. Jangan biarkan air bilasan mengalir ke area bersih.

  (g) Menggosok seluruh permukaan kedua belah tangan, jari dan lengan bawah dengan antiseptik minimal selama 2 menit. (h) Membilas setiap tangan dan lengan secara terpisah dengan air yang mengalir, setelah bersih tahan kedua tangan mengarah ke atas sebatas siku. Jangan biarkan air bilasan mengalir ke area tangan.

  (i) Menegakkan kedua tangan kea arah atas dan jauhkan dari badan, jangan sentuh permukaan atau benda apapun.

  (j) Mengeringkan tangan menggunakan handuk steril atau diangin-anginkan. Seka tangan dimulai dari ujung jari hingga siku. Untuk tangan yang berbeda gunakan sisi handuk yang berbeda.

  (k) Pakai sarung tangan bedah yang steril.

  Berikut gambar mencuci tangan bedah atau cuci tangan 10 langkah:

Gambar 2.2 Cara cuci tangan bedah atau cuci tangan 10 langkah.

  Sumber : Pitet, Allegranzi, dan Boyce (2009).

  5. Akibat tidak Melaksanakan Cuci Tangan.

  Media penyebaran mikroorganisme paling potensial melalui tangan. Tidak melaksanakan cuci tangan berarti membiarkan mikroorganisme yang ada di tangan menyebar ketempat lainnya. Mikroorganisme ini sangat merugikan, karena bias menyebabkan infeksi.

  Infeksi merupakan suatu tindakan perkembangbiakan oleh organisme asing terhadap organisme inang dan membahayakan inang.

  Organisme penginfeksi atau patogen menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri yang pada akhirnya merugikan inang. Penyakit infeksi disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis. Mikroba bertahan hidup dan berkembang biak pada reservoir. Reservoir mikroba patogen dapat berupa benda hidup (manusia dan hewan) maupun benda mati (meja, kursi, tempat sampah, dll), reservoir juga sebagai tempat hidup dan berkembang biak bagi mikroba patogen (Darmadi, 2008).

  Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit dan terjadi pada pasien yang dirawat maupun tenaga kesehatan di rumah sakit. Infeksi nosokomial menyebar saat pelaksanaan asuhan keperawatan ataupun tindakan medis yang dilakukan. Perlu di ingat, rumah sakit adalah gudang mikroba patogen. Penularan infeksi nosokomial yang berpengaruh di rumah sakit yaitu: a. Petugas pelayanan medis.

  Dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan petugas lainnya yang berada di rumah sakit.

  b. Peralatan medis.

  Jarum, respirator, linen, kasa, dan peralatan lain yang ada di rumah sakit.

  c. Lingkungan sekitar.

  Ruang perawatan, ruang bersalin, kamar bedah, halaman rumah sakit, tempat pengolahan lombah, dan tempat sampah.

  d. Makanan dan minuman.

  Hidangan yang dikonsumsi oleh penderita. e. Pasien lain.

  Keberadaan pasien lain yang saling berdekatan atau bersama dalam satu ruang perawatan.

  f. Pengunjung maupun keluarga.

  Pengunjung dan keluarga bisa sebagai sumber penularan infeksi.

  Peranan penting perawat adalah mengetahui prosedur dan praktik yang paling mungkin menyebabkan infeksi, serta menyadari factor-factor yangdapat meningkatkan resiko infeksi. Tindakan atau upaya pencegahan penularan infeksi merupakan tindakan yang utama, cara pencegahan bisa dilaksanakan dengan memutus rantai penularan. Rantai penularan merupakan suatu rentetan proses perpindahan pathogen dari sumber penularan ke pejamu melalui perantara atau tanpa melalui perantara.

  Kasus infeksi nosokomial yang bersumber pada rumah sakit dan lingkungannya dapat dicegah serta dikendalikan dengan penerapan kewaspadaan standar, yang diharapkan dapat menurunkan resiko penularan melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui dan sumber yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus selalu dilaksanakan terhadap semua pasien, dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Kebersihan tangan merupakan komponen penting dari kewaspadaan standar, dan merupakan salah satu metode efektif dalam mencegah penularan pathogen yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Selain kebersihan tangan, pemilihan alat pelindung diri (APD) yang akan digunakan harus didahului dengan penilaian resiko pajanan dan sejauh mana antisipasi kontak dengan pathogen darah ataupun cairan tubuh lainnya.macam-macam alat pelindung diri yang disesuaikan dengan kebutuhannya: a. Sarung tangan.

  Digunakan saat akan bersentuhan dengan bagian tubuh untuk pemeriksaan, darah, cairan tubuh lainnya, membrane mukosa, dan kulit yang tidak utuh atau luka. Sarung tangan diganti setelah selesai satu tindakan ke tindakan yang berikutnya pada pasien yang sama, ataupun setelah kontak dengan bahan yang beresiko infeksius. Lepaskan setelah penggunaan selesai dan sebelum menyentuh benda lainnya yang tidak terkontaminasi. Cuci tangan sebelum dan sesudah melepas sarung tangan.

  b. Pelindung wajah (mata, hidung, dan mulut).

  Pelindung wajah digunakan saat tindakan yang beresiko terkena kontaminasi udara, percikan darah, dan cairan tubuh lainnya.

  Pelindung wajah memiliki dua kombinasi dalam penggunaannya:

  a) Berupa masker dan pelindung mata, berguna untuk melindungi bagian hidung, mulut, dan mata.

  b) Pelindung wajah, berguna untuk melindungi seluruh permukaan wajah.

  c. Gaun pelindung.

  Digunakan untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian terkena percikan darah, terkena kotoran, dan cairan tubuh lainnya.

  6. Faktor – Faktor yang Berpengaruh terhadap Kepatuhan Cuci Tangan.

  World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa ada faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pelaksanaan cuci tangan pada tenaga kesehatan. Pernyataan itu ditulis di dalam buku yang berjudul WHO guidelines on hand hygiene in health care (WHO, 2005). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan yaitu: a. Jenis Pekerjaan.

  WHO menyatakan bahwa dokter dan pembantu perawat memiliki resiko tidak melaksanakan cuci tangan dibandingkan dengan perawat(WHO, 2005), Adinma et.al. (2009) yang melakukan penelitian di Nigeria, menemukan tingkat kepatuhan perawat lebih tinggi dari dokter.

  b. Jenis Kelamin.

  WHO (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin laki – laki kurang patuh dalam melaksanakan cuci tangan dibandingkan dengan jenis kelamin wanita. Wanita memiliki kepatuhan dengan presentase sebesar 75% dibandingkan dengan laki – laki yang hanya memiliki presentase 15,2% saja (Adinma et.al.) c. Tempat Bekerja.

  Tenaga kesehatan yang bertugas di ruang perawatan intensif dan bekerja pada akhir pekan beresiko untuk tidak melakukan cuci tangan (WHO, 2005). d. Penggunaan Srung Tangan.

  Adanya kepercayaan pada tenaga kesehatan yang menyatakan bahwa, tidak perlu melakukan cuci tangan lagi jika menggunakan sarung tangan (WHO, 2005).

  e. Sarana Cuci Tangan.

  Petugas kesehatan tidak melakukan cuci tangan dengan alasan tidak tersedianya saran cuci tangan. Sarana yang menyebabkan tidak terlaksannya cuci tangan yaitu, air mengalir, cairan cuci tangan menyebabkan iritasi, tempat yang tidak nyaman, tidak ada sabun cuci tangan, dan tidak ada alat untuk mengeringkannya (WHO,2005). Sarana cuci tangan berupa kurangnya air menjadi alasan tidak melaksanakan cuci tangan (Adinma et.al., 2009).

  f. Ketersediaan Waktu.

  Kurang dan keterbatasan waktu bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan, meningkatkan resiko tidak melaksanakan cuci tangan (WHO, 2005). Keadaan darurat memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan umum (Adinma et.al., 2009).

  g. Keadaan Pasien.

  Menurut WHO, cuci tangan beresiko tinggi tidak dilaksanakan jika, keadaan pasien membutuhkan penanganan segera dan pasien memiliki resiko infeksi penyakit yang rendah

  (WHO, 2005). Anggapan bahwa keadaan pasien tidak infeksius menyebabkan penurunan kepatuhan (Adinma et.al., 2009).

  h. Pengetahuan.

  Kurang pengetahuan tentang pentingnya melaksanakan cuci tangan bagi tenaga kesehatan, mampu menjadi pemicu resiko melaksanakan cuci tangan (WHO, 2005). i. Penyuluhan dan Pemberian Contoh.

  Kurangnya pelaksanaan promosi dan kurangya contoh dalam pelaksanaan prosedur cuci tangan yang benar, menyebabkan resiko tidak melaksanakan cuci tangan (WHO, 2005). j. Sikap Terhadap Standar Operasional Prosedur.

  Sikap tenaga kesehatan yang tidak setuju dengan Standar

  

Operating Procedure (SOP), khusunya SOP cuci tangan, beresiko

  tidak melaksanakan prosedur cuci tangan yang telah ditetapkan (WHO, 2005). k. Faktor Lainnya.

  Peningkatan resiko tidak melaksanakan prosedur cuci tangan dikarenakan oleh, jumlah tenaga kesehatan yang banyak, sabun yang menyebabkan iritasi, tidak ada sanksi atau imbalan terhadap pelaksanaan cuci tangan, dan keadaan peraturan keselamatan tenaga kesehatan yang tidak baik (WHO, 2005). Adinma et.al. (2009) dalam penelitiannya juga menemukan faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan, seperti; keikutsertaan petugas kesehatan dalam pelatihan, kelalaian petugas, mengganggu ketrampilan teknis, dan pasien menjadi tidak koperatif.

  Menurut Saefudin, et.al. (2006), tingkat kepatuhan untuk melakukan KU (Kewaspadaan Universal), khususnya berkaitan dengan HIV/AIDS, dipengaruhi oleh faktor individu (jenis kelamin, jenis pekerjaan, profesi, lama kerja dan tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap HIV dan virus hepatitis B, ketegangan dalam suasana kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), dan faktor organisasi manajemen (adanya kesepakatan untuk membuat suasana lingkungan kerja yang aman, adanya dukungan dari rekan kerja dan adanya pelatihan).

  Smet (1994) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau perawatan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Sedangkan dukungan sosial berpengaruh terhadap kepatuhan seseorang. Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan perawat. Dukungan sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas internal perawat, petugas kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau manajer pelayanan kesehatan serta keperawatan.

  Menurut Atkinson (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: a. Norma Sosial

  Norma sosial merupakan salah satu faktor yang dapat menumbuhkan kepatuhan yang cukup besar. Norma sosial adalah suatu kekuatan pendorong yang lebih besar yang memaksa seseorang untuk tetap patuh terhadap aturan yang ada.

  b. Pengawasan Pengawasan adalah prosedur atau urut-urutan pelaksaan dalam merealisasi tujuan badan usaha (Manullang, 1985). Salah satu faktor yang penting untuk menimbulkan kepatuhan adalah pengawasan dari pengawas atau atasan. Jika tidak ada pengawas, maka kepatuhanpun akan menurun. Setiap pengawas memberikan cara pengawasan atau supervisi yang berbeda-beda terhadap pekerja. Pengawasan yang baik tidak sekedar mengawasi tetapi memberikan perhatian, pengawasan yang teratur, pengarahan, petunjuk serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pekerja. Pengawasan yang diberikan pengawas ini akan menjadi stimulus yang diserap, dipersepsi dan cara-cara bagaimana informasi diproses mempunyai pengaruh yang penting pada tingkah laku seseorang (Martinah, 1984).

C. Lama Kerja

  Robbins (2006) menyatakan bahwa lama kerja merupakan karakteristik biografis terakhir dalam konsep karakter individu yang sering dikaji. Berbicara mengenai masa kerja pasti akan berhubungan dengan senioritas dalam suatu organisasi. Kajian-kajian ekstensif mengenai hubungan senioritas terhadap produktivitas telah dilakukan, dan hasilnya adalah ada hubungan positif antara senioritas dan produktivitas kerja seorang karyawan.

  Menurut Siagian (2008) menyatakan bahwa, masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabatan .

  Lama pengalaman kerja (Years Of Job Experience). Widiastuti (2003) yang membagi level hierarkis auditor (akuntan publik) menjadi dua yaitu termasuk kategori senior apabila telah bekerja lebih dari dua tahun dan yunior di bawah dua tahun. Lama bekerja merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan (Winarsih dan Faizin, 2006).

D. Supervisi 1

  Pengertian supervisi Sebagai salah satu dari fungsi manajemen, pengertian supervisi telah berkembang secara khusus. Secara umum yang dimaksud dengan supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya (Azwar, Smith dan Bem, 1996).

  Menurut Arwani (2006) menyatakan bahwa kegiatan supervisi adalah kegiatan-kegiatan yang terencana seorang manajer melalui aktifitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi dan evaluasi pada stafnya dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehari-hari.

  2. Manfaat dan tujuan supervisi Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan diperoleh banyak manfaat. Manfaat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut

  (Suarli & Bachtiar, 2009) : 1) Supervisi dapat meningkatkan efektifitas kerja.

  Peningkatan efektifitas kerja ini erat hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dan bawahan.

  2) Supervisi dapat lebih meningkatkan efesiensi kerja.

  Peningkatan efesiensi kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta dan sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah.

  Apabila kedua peningkatan ini dapat diwujudkan, sama artinya dengan telah tercapainya tujuan suatu organisasi. Tujuan pokok dari supervisi ialah menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan secara benar dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efesien, sehingga tujuan yang telah ditetapkan organisasi dapat dicapai dengan memuaskan (Suarli & Bachtiar, 2008).

  3. Prinsip supervisi keperawatan Agar seorang manajer keperawatan mampu melakukan kegiatan supervisi secara benar, harus mengetahui dasar dan prinsip- prinsip supervisi. Prinsip-prinsip tersebut harus memenuhi syarat antara lain didasarkan atas hubungan professional dan bukan hubungan pribadi, kegiatan harus direncanakan secara matang, bersifat edukatif, memberikan perasaan aman pada perawat pelaksana dan harus mampu membentuk suasana kerja yang demokratis. Prinsip lain yang harus dipenuhi dalam kegiatan supervisi adalah harus dilakukan secara objektif dan mampu memacu terjadinya penilaian diri (self evaluation), bersifat progresif, inovatif, fleksibel, dapat mengembangkan potensi atau kelebihan masing-masing orang yang terlibat, bersifat kreatif dan konstruktif dalam mengembangkan diri disesuaikan dengan kebutuhan, dan supervisi harus dapat meningkatkan kinerja bawahan dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan ( Arwani, 2006).

  Ada beberapa prinsip supervisi yang dilakukan di bidang keperawatan (Nursallam, 2007) antara lain: 1) Supervisi dilakukan sesuai dengan struktur organisasi. 2) Supervisi menggunakan pengetahuan dasar manajemen, keterampilan hubungan antar manusia dan kemempuan menerapkan prinsip manajemen dan kepemimpinan.

  3) Fungsi supervisi diuraikan dengan jelas, terorganisasi dan dinyatakan melalui petunjuk, peraturan urian tugas dan standard, 4) Supervisi merupakan proses kerja sama yang demokratis antara supervisor dan perawat pelaksana.

  5) Supervisi merupakan visi, misi, falsafah, tujuan dan rencana yang spesifik.

  6) Supervisi menciptakan lingkungan yang kondusif, komunikasi efektif, kreatifitas dan motivasi.

  7) Supervisi mempunyai tujuan yang berhasil dan berdaya guna dalam pelayanan keperawatan yang memberi kepuasan klien, perawat dan manajer E.

Pengetahuan

  1. Pengertian pengetahuan.

  Pengetahuan adalah hasil tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2007). Proses yang didasari oleh pengetahuan kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersikap langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).

  2. Tingkatan pengetahuan.

  Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut: a. Tahu (know).

  Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, dan mendefinisikan (Notoatmodjo, 2003).

  b. Memahami (comprehension).

  Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan menyebutkan cotoh menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari (Notoatmodjo, 2003).

  c. Analisis (analysis).

  Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan (Notoatmodjo, 2003).

  d. Aplikasi (Application).

  Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

  Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip (Notoatmodjo, 2003).

  e. Sintesis (synthesis).

  Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

  Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang ada (Notoatmodjo, 2003).

  f. Evaluasi (evaluation).

  Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2003).

  3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah: a. Umur.

  Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pengetahuan. Umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Semakin tinggi umur seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman yang diperoleh dari orang lain.

  b. Pendidikan.

  Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi. Pendidikan termasuk peran penting dalam menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan implikasinya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang baik yang menjadikan hidup yang berkualitas.

  c. Paparan media massa.

  Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai ini berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki.

  d. Sosial ekonomi (pendapatan).

  Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun skunder keluarga, status ekonomi yang baik akan lebih mudah tercukupi disbanding orang dengan status ekonomi rendah, semakin tinggi status social ekonomi seseorang semakin mudah dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga menjadikan hidup lebih berkualitas.

  e. Hubungan sosial.

  Faktor hubungan sosial mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikasi media. Apabila hubungan sosial seseorang dengan individu baik maka pengetahuan yang dimiliki juga akan bertambah.

  f. Pengalaman.

  Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

  Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal biasanya diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses pengembangan misalnya sering mengikuti organisasi.

  4. Sumber-sumber pengetahuan.

  Sumber-sumber pengetahuan didapatkan dari beberapa media antara lain (Notoatmodjo, 2007): a. Media cetak.

  Media cetak merupakan alat bantu untuk menyampaikan suatu pesan yang sangat bervariasi, antara lain sebagai berikut : (1) Booklet, ialah suatu media untuk menyampaikan pesan-pesan dalam bentuk buku, baik berupa tulisan maupun gambar.

  (2) Leaflet, ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat dalam bentuk kalimat maupun gambar kombinasi. (3) Flyer (selebaran), bentuknya seperti leaflet tapi tidak berlipat. (4) Flift chart (lembar balik) media penyampaian pesan dalam bentuk lembar balik, biasanya dalam bentuk buku dimana tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan lembaran baliknya berisi kalimat sebagai pesan atau informasi yang berkaitan dengan gambar tersebut. (5) Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah yang memabahas suatu masalah.

  (6) Poster ialah bentuk media cetak yang berisi pesan-pesan atau informasi yang biasanya ditempel di tembok-tembok atau di kendaraan umum. (7) Foto yang mengungkapkan informasi.

  b. Media elektronik.

  Media elektronik sebagai sasaran untuk menyampaikan pesan-pesan atau informasi-informasi berbeda jenisnya, antara lain: televisi, radio , video, slide, dan film strip.

  c. Media papan (Billboard).

  Adalah papan yang dipasang ditempat-tempat umum dapat diisi dengan pesan-pesan atau informasi-informasi (Notoatmodjo, 2007).

  5. Cara Memperoleh pengetahuan.

  Beberapa cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo (2010) adalah sebagai berikut: a. Cara Tradisional atau cara non ilmiah.

  Cara tradisional ini dipakai orang umum untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sebelum ditemukan metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara penemuan pengetahuan pada periode ini antaralain : 1) Cara coba salah (trial and error).

  Cara yang paling tradisional, yang pernah digunakan oleh manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah melalui cara coba-coba.

  2) Secara kebetulan.

  Penemuan secara kebetulan terjadi karena tidak sengaja ditemukan oleh orang yang bersangkutan.

  3) Cara kekuasaan atau otoritas.

  Pengetahuan diperoleh berdasarkan otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama maupunahli ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman pribadi melalui jalan pikiran

  4) Berdasr pengalaman pribadi.

  Pengetahuan merupakan sumber pengetahuan, dan pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. 5) Cara akal sehat (Common sense).

  Akal sehat kadang dapat menemukan teori atau kebenaran. Orang tua zaman dulu memberikan hukuman fisik (mencubit atau menjewer) agar anaknya menurut atau disiplin. Metode ini sampai sekarang berkembang menjadi teori bahwa hukuman adalah merupakan metode (meskipun bukan metode yang terbaik) bagi pendidikan anak. 6) Kebenaran melalui wahyu.

  Ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi sebagai wahyu, bukan hasil penalaran atau penyelidikan manusia.

  7) Kebenaran secara intuitif.

  Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses diluar kesadaran, dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir. 8) Melalui jalan pikiran.

  Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan pikirannya.

  9) Berpikir induksi.

  Berpikir secara induksi dalam pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman empiris yang ditangkap oleh panca indra, kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang mungkin seseorang bisa memahami suatu gejala.

  10) Berpikir deduksi.

  Aristoteles (384-322 SM) mengembangka cara berpikir ini ke dalam suatu cara yang disebut silogisme. Silogisme merupakan bentuk deduksi yang memungkinkan seseorang untuk dapat mencapai kesimpulan yang lebih baik.

  b. Cara ilmiah.

  Cara baru dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih logis, sistematis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah, atau lebih popular disebut metodologi penelitian.

  6. Cara pengukuran pengetahuan.

  Pengukuran pengetahuan dapat di lakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subyek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui, atau kita ukur dengan tingkat-tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Menurut Arikunto (2006 ) tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi 4, yaitu baik (76-100% jawaban benar), Cukup (56-75% jawaban benar), Kurang (40-55% jawaban benar), dan tidak baik (<40% jawaban benar).

F. Kerangka Teori

  Kerangka teori adalah model konseptual yang menggambarkan hubungan diantara berbagai macam faktor yang telah diidentifikasikan sebagai sesuatu hal yang penting bagi masalah (Notoatmodjo, 2010).

  Skema 2. 3 Kerangka teori. Sumber: Modifikasi WHO (2005), Saefudin et. al. (2006) & Adinma et.al (2009).

  Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan. Jenis pekerjaan.

  Penggunaan sarung tangan.

  Jenis kelamin. Lama kerja

  Keadaan pasien Pengetahuan. Saran cuci tangan.

  Penyuluhan dan pemberian contoh. Ketersediaan waktu.

  Organisasi manajemen: suepervisi

  Sikap terhadap standar operasional prosedur.

  Kepatuhan.

G. Kerangka Konsep

  Kerangka konsep merupakan formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau teori – teori yang mendukung penelitian (Notoatmodjo, 2010).

  Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut.

  Variabel Independent Variabel dependen - Faktor lama kerja.

  Kepatuhan

  • Faktor supervisi - Faktor pengetahuan.

  Variabel counfunding.

  • Ketersediaan waktu.
  • Ketersediaan sarana - Penggunaan sarung tangan.
  • Keadaan pasien.
  • Penyuluhan dan pemberian contoh.
  • Sikap terhadap standar operasional prosedur.

  Gambar 2. 4 Kerangka konsep. Keterangan : : yang diteliti.

  : yang tidak diteliti.

H. Hipotesis

  Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang diduga atau hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris.

  Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan dua hipotesis, yaitu:

  1. Faktor supervisi berpengaruh terhadap kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP cuci tangan.

  2. Faktor lama kerja berpengaruh terhadap kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP cuci tangan.

  3. Faktor pengetahuan berpengaruh terhadap kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP cuci tangan.