IRMAWAN DWI PRATIKO BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Konsep Nyeri
a. Pengertian Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat sulit untuk didefenisikan karena nyeri adalah suatu pengalaman yang sangat subjektif dan sangat personal (Black & Hawks, 2009). Nyeri adalah sebuah sensasi subjektif sehingga tidak ada dua orang yang berespon dengan cara yang sama (Kozier, et al., 2010). McCaffery (1999 dalam Ignatavicius & Workman, 2010) mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaanya diketahui hanya jika orang itu pernah mengalaminya.
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for The Study of Pain (IASP), dalam Lewis, et al., 2011).
b. Mekanisme Nyeri Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik (Rospond, 2008). Provokasi jalur-jalur sensorik nyeri menghasilkan ketidaknyamanan, distress dan penderitaan (Potter &
10 Perry, 2009; Black & Hawks, 2009; Berman, 2010). Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireseptor, secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Smeltzer & Bare, 2002; Rospond, 2008).
Strong et al (2002) membagi nosireseptor berdasarkan letaknya, yaitu nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit terbagi dalam dua komponen yaitu : 1) Reseptor A delta
Serabut ini berjenis kecil, termielinisasi, yang akan direkrut pertama kali sebagai respon terhadap stimuli noxious. Mielin adalah senyawa seperti lemak yang membentuk selaput mengelilingi axon beberapa neuron dan yang memungkinkan untuk meningkatkan transmisi stimuli. Manifestasi respon pertama (nyeri cepat) karena serabut komponennya memiliki kecepatan tranmisi 6-30 m/det, yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, sensasinya jelas, dan terlokalisasi, tetapi akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. Ambang batas nyeri ini relatif sama untuk semua orang.
2) Serabut C Sensasi nyeri yang menyebar, perlahan, membakar atau linu merupakan akibat dari stimuli yang ditransmisikan oleh serabut C yang tidak bermielinisasi. Serabut ini adalah komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Ambang batas pada nyeri kedua ini bervariasi antar individu. Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut nosireseptor, yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Nosireseptor menyusun axon perifer tingkat pertama. Reseptor ini umumnya dijumpai pada bagian superfisial/permukaan kulit, kapsul sendi, periosteum tulang dan di sekitar dinding pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002; Rospond, 2008; Black & Hawks, 2009).
Saat nosireseptor distimulasi, axon perifer tingkat pertama meneruskan data sensori ke badan sel pada ganglion akar dorsal.
Sensasi lalu diteruskan ke bagian abu-abu (gray matter) korda spinalis dorsal. Neuron tingkat kedua memiliki badan sel pada tanduk dorsal, dan neuron ini mengarah ke atas korda spinalis (jalur asending) melalui satu atau dua jalur yaitu, traktus spinotalamikus (meliputi spinal dan talamus), atau traktus spinoretikuler (Potter & Perry, 2009; Guyton & Hall, 2008; Black & Hawks, 2009).
Sensasi nyeri yang berasal dari reseptor kecil akan terlokalisasi pada perifer dan berjalan pada jalur traktus spinotalamikus. Nyeri yang dihasilkan memiliki persepsi afek yang jelas (durasi, intensitas, lokasi, sifat). Daerah penerimaan yang luas pada perifer juga akan memproyeksikan sensasi ke korteks, dan sensasi ini menghasilkan persepsi aspek afektif dan emosi (Strong et al., 2002). Neuron tingkat kedua yang mengarah ke atas melalui traktus spinoretikuler berjalan menuju batang otak. Neuron ini menjelaskan adanya aspek emosi pada sensasi nyeri (Black & Hawsk, 2009).
Serabut syaraf ke arah bawah (jalur desending) dari korteks, talamus atau batang otak dapat menghambat penerusan impuls yang bergerak melalui jalur asending. Serabut syaraf berhenti pada kolumna abu-abu dorsal korda spinalis. Neurotransmitter (misalnya epinefrin, norepinefrin, serotonin, dan berbagai opioid endogen) terlibat dalam modulasi sensasi nyeri. Jalur nyeri desending bertanggungjawab untuk menghambat transmisi nyeri di korda spinalis (Rospond, 2008; Black & Hawsk 2009).
Mekanisme terjadinya nyeri dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1 Mekanisme Nyeri(Sumber : www.medscape.com) 3) Gate Control Theory
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri, namun teori gerbang kendali (Gate Control Theory) yang dikembangkan oleh Melzack dan Wall (1974) dianggap paling relevan (Hus, 2007; Black & Hawsk, 2009). Teori gate control menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem syaraf pusat. Teori ini menyimpulkan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri ( Strong et al., 2002 ; Smeltzer & Bare, 2002).
Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal dan cepat, yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan (Potter & Perry, 2009).
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur syaraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Endorfin sebagai agonis sistem penghambat nyeri tubuh sendiri telah diidentifikasikan sebagai polipeptida dan oligopeptida. Sementara dinorfin dengan 17 atau 18 asam amino, pentapeptida metionin enkefalin (met-enkefalin dan leu-enkefalin). Opioid endogen terdiri atas 5 asam amino ujung dari endorfin (met-enkefalin) serta 5 asam amino ujung dari dinorfin (leuenkefalin). Endorfin dan dinorfin bekerja pada reseptor yang sama, disebut reseptor opiat, sehingga menunjukkan kerja farmakodinamika yang sama seperti opiat (Katzung, 2007).
Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi (misalnya : masase, hipnotis, musik, dan guided imagery), konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin sehingga pesan yang sampai di korteks adalah stimulasi modulasi dan bukan nyeri (Potter & Perry, 2009; Black & Hawks, 2009).
c. Proses Nyeri Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus mendeteksi kerusakan jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi nyeri disebut nosiseptor (Kozier, et. al., 2010). Proses yang berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi (Kozier, et al., 2010), dimana terdapat empat proses yang terlibat dalam nosisepsi yaitu: 1) Transduksi
Tranduksi adalah proses dimana stimulus berbahaya (cedera jaringan) memicu pelepasan mediator kimia (misal., prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin) yang mensensitasi nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga menyebabkan pergerakan ion-ion menembus membran sel, yang membangkitkan nosiseptor.
Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat produksi prostaglandin (missal: ibuprofen) atau dengan menurunkan ion-ion menembus membran sel (Kozier, et al., 2010).
Menurut Lewis, et al., (2011) transduksi terjadi saat konversi stimulus mekanik, termal, atau kimia beracun menjadi sinyal listrik yang disebut potensial aksi. Stimulus berbahaya yang timbul saat adanya kerusakan jaringan, suhu (misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya, sayatan bedah) atau rangsangan kimia (misalnya, zat beracun), menyebabkan pelepasan berbagai bahan kimia ke dalam jaringan yang rusak. Bahan kimia lainnya dikeluarkan oleh sel mast (misalnya, serotonin, histamin, bradikinin, dan prostaglandin) dan makrofag (misalnya, interleukin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Bahan kimia ini mengaktifkan nosiseptor, yang merupakan reseptor khusus atau ujung saraf bebas yang menanggapi stimulus menyakitkan hasil aktivasi nociceptors dalam potensial aksi yang dibawa dari nosiseptor ke sumsum tulang belakang terutama melalui saraf kecil dengan cepat, serat delta-A yang bermielin dan secara perlahan-lahan oleh serat C yang tidak bermielin.
2) Transmisi Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan dari bagian perifer ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke otak.
Dimana potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke spinal cord kemudian dari spinal cord diteruskan ke otak dan hipotalamus, kemudian dari hipotalamus diteruskan ke korteks untuk kemudian diproses (Lewis, et. al., 2011). Proses ini meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier. et al., 2010) yaitu:
a) Segmen pertama Impuls nyeri berjalan dari serabut saraf tepi ke medulla spinalis.
Zat P bertindak sebagai neurotransmitter yang meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron afferen primer ke neuron ordo ke dua di kornu dorsalis medula spinalis.
Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medula spinalis yaitu serabut C, yang mentranmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan serabut A delta yang mentranmisikan nyeri tajam dan lokal.
b) Segmen kedua Segmen ini meliputi transmisi dari medula spinalis dan asendens melalui traktus spinotalamikus ke batang otak dan talamus.
c) Segmen ketiga Melibatkan tranmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri.
3) Persepsi Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri. Pada tahap ini individu akan berespon terhadap adanya nyeri dengan memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri (McCaffery & Pasero, 2007 dalam Kozier,
et al ., 2010). Menurut Lewis, et al., (2011) persepsi terjadi ketika
nyeri diakui, didefinisikan, dan ditanggapi oleh individu mengalami rasa sakit. Di otak, masukan nociceptive dirasakan sebagai nyeri. tidak ada satupun lokasi yang tepat di mana persepsi nyeri ini terjadi, sebaliknya, persepsi nyeri melibatkan beberapa struktur di otak.
4) Modulasi Sering kali digambarkan sebagai sistem desendens, proses ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu dorsalis medula spinalis (Kozier, et al., 2010). Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opioid endogen, serotonin dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya impuls yang menyakitkan di kornu dorsalis. Namun neurotransmitter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Mc Caffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010).
d. Dimensi Nyeri Multidimensionalitas nyeri terdiri atas: 1) Dimensi Fisiologis
Dimensi ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan genetik, anatomi dan fisik dari pengaruh nyeri serta bagaimana stimulasi yang menyakitkan itu di proses, diakui dan di jelaskan (Lewis, et al., 2011). Menurut National Institute of Nursing Reseach (NINR) (dalam Sauls, 2002) Dimensi ini mencakup aspek struktural, fungsional, dan biokimia dari pengalaman rasa sakit serta berbagai perbedaan jenis nyeri yang termasuk dalam dimensi fisiologis. Persepsi dan transmisi rasa sakit dibawa oleh nosiseptor sepanjang jalur naik dan jalur turun saraf yang difasilitasi oleh mediator neurochemical merupakan komponen penting dari mekanisme fisiologis dari pengalaman nyeri.
Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles, et al., 1983; Davies, 2003 dalam Ardinata, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007). 2) Dimensi Afektif
Dimensi afektif adalah suatu respon emosional terhadap nyeri seperti marah, takut, depresi dan cemas. Emosi yang negatif dapat mengurangi kualitas hidup. Hubungan negatif antara depresi dan nyeri dapat menyebabkan kerusakan fungsi (Lewis, et al., 2011). Tekanan emosional dapat dianggap sebagai komponen atau bagian dari rasa sakit, mungkin juga konsekuensi atau penyebab serta bersamaan dengan fenomena yang termasuk emosi seperti rasa takut, depresi, kecemasan, kemarahan, relief, antisipasi, agresi, dan karakteristik kepribadian. Adanya tanda-tanda gangguan emosi memungkinkan seseorang mengenali adanya nyeri (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).
Menurut Ardinata (2007) dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu.
Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. 3) Dimensi Sensori
Menurut NINR (dalam Sauls, 2002), dimensi sensorik nyeri mengacu ke lokasi, intensitas, dan kualitas. Ketika menilai lokasi, struktur anatomi dan lokasi ditengarai dapat membantu dalam menentukan etiologi nyeri. Intensitas ketegangan mengacu pada jumlah atau beratnya nyeri yang dialami dan dapat dinilai menggunakan skala penilaian nyeri numerik atau dengan kata-kata dengan menggunakan istilah-istilah seperti ringan, sedang, dan berat. Faktor-faktor seperti etiologi, toleransi, dan ambang nyeri dapat mempengaruhi intensitas nyeri. Kualitas adalah terkait dengan apa rasa sakit terasa seperti apa dan mungkin dipengaruhi oleh etiologi, menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat memiliki kualitas sensorik yang berbeda.
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Ahles, et al., (1983 dalam Ardinata, 2007) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri.
Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).
Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat.
Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu.
Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). 4) Dimensi Kognitif
Dimensi ini berkaitan dengan suatu kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam berespon terhadap pengaruh nyeri. Penggunaan strategi koping kognitif dan keyakinan saat bernegosiasi dengan nyeri (Lewis, et al., 2011).
Menurut NINR (1994 dalam Sauls, 2002) dimensi kognitif nyeri melibatkan persepsi individu tentang diri; makna penderitaan, pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang rasa sakit dan terapi nyeri; dan preferensi pribadi serta strategi penanggulangan. Dalam dimensi ini juga termasuk tingkat dan kualitas kognisi individu yang berkaitan dengan dirinya atau kemampuannya untuk mentoleransi nyeri.
Individu dengan fungsi kognitif terbatas atau yang mengalami gangguan, seperti bayi, orang-orang dengan ketidakmampuan belajar, pasien dengan gannguan jiwa, atau orang-orang dengan demensia, mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan rasa sakit yang mereka alami.
Barkwell (2005, dalam Ardinata, 2007) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya.
5) Dimensi Perilaku Dimensi ini berkaitan dengan suatu perilaku yang dapat diamati sebagai respon atau kontrol terhadap nyeri. Misalnya ekspresi wajah saat menahan nyeri seperti meringis atau mudah marah. Orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengkomunikasikan rasa nyerinya dapat mengalami perubahan perilaku seperti agitasi (Lewis, et al., 2011).
Dimensi perilaku mencakup aspek perilaku nyeri termasuk yang dapat diamati atau diperlihatkan oleh individu yang menunjukkan rasa sakit yang sedang dialami, atau tindakan / upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Perilaku seperti merintih, mengerang, wajah meringis, dan berjalan pincang mungkin merupakan indikator nyeri, sedangkan tindakan seperti berbaring, kegiatan yang tidak aktif, pijat, penggunaan obat-obatan, dan mencari perawatan kesehatan adalah menampilkan upaya untuk mengurangi rasa sakit Perilaku seperti tidur, istirahat, atau kelelahan yang terkait dengan fenomena nyeri juga sesuatu yang dapat diamati (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).
Menurut Fordyce dalam Ardinata, 2007 dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri. Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat.
6) Dimensi Sosiokultural Dimensi sosiokultural adalah dimensi lainnnya yang mempengaruhi nyeri seperti faktor demografi, usia dan jenis kelamin.
Keluarga dan care giver juga dapat mempengaruhi. Penggunaan obat- obatan dan strategi koping juga mempengaruhi terhadap tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang (Lewis, et al., 2011).
Persepsi individu dan tanggapan rasa sakit tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran anggota keluarga serta kemampuan mereka untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Daerah penting untuk menilai meliputi keluarga dan sosialnya, rumah dan lingkungan kerja, sikap dan keyakinan tentang rasa sakit. Tidak hanya variabel-variabel sosial budaya yang berkaitan dengan penderita tetapi juga variabel sosial budaya terkait dengan penyedia layanan akan mempengaruhi penilaian mereka dan manajemen dari pengalaman nyeri sebagai persepsi penderita dan penyedia layanan mungkin berbeda (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). e. Tipe nyeri Tipe nyeri dapat dikelompokkan berdasarkan waktu, tempat dan penyebabnya (Kozier et al., 2010)
1) Menurut waktu nyeri Nyeri menurut waktu disini adalah lamanya nyeri yang dialami seseorang.
a) Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang umumnya berlangsung dalam waktu singkat atau kurang dari enam bulan (Black & Hawks,
2009), memiliki awitan mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefinisikan nyeri akut adalah nyeri yang biasanya berlangsung singkat, terjadi secara tiba- tiba dan terlokalisasi dimana pasien umumnya dapat menjelaskan tentang nyeri yang dirasakan. Nyeri akut umumnya dapat diakibatkan oleh karena adanya trauma (seperti: fraktur, luka bakar, laserasi), luka akibat pembedahan, iskemia atau inflamasi akut.
b) Nyeri kronik Nyeri yang berlangsung lama, biasanya bersifat kambuhan atau menetap selama enam bulan atau lebih dan mengganggu fungsi tubuh (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefenisikan nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung menetap atau nyeri yang berulang-ulang untuk periode yang tidak tentu, biasanya nyeri berlangsung lebih dari tiga bulan.
2) Menurut lokasi nyeri Nyeri berdasarkan asal lokasi atau sumber nyeri dapat dibagi ke dalam: a) Nyeri kutaneus
Nyeri yang berasal di kulit atau jaringan subkutan. Teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar adalah sebuah contoh nyeri kutaneus (Kozier, et al., 2010). Nyeri kutaneus dapat ditandai dengan onset mendadak dan tajam atau kualitas tetap atau dengan onset lambat dan kualitas seperti rasa terbakar, tergantung pada jenis serat saraf yang terlibat. Reseptor nyeri kutaneus berakhir tepat di bawah kulit dan karena konsentrasi tinggi dari ujung saraf, maka nyeri ini didefinisikan sebagai nyeri lokal dengan durasi pendek (Black & Hawks, 2009).
b) Nyeri somatic profunda Nyeri yang berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf. Nyeri somatik profunda menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus. Keseleo pada pergelangan kaki adalah sebuah contoh nyeri somatic profunda (Kozier, et al., 2010). Nyeri somatik merupakan hasil aktivasi nosiseptors (reseptor sensorik) sensitif terhadap rangsangan zat atau bahan berbahaya di cutaneus atau jaringan lebih dalam.
Pengalaman nyeri terlokalisasi yang digambarkan sebagai rasa yang konstan, sakit dan menggerogoti (Gililland, 2008).
c) Nyeri viseral Nyeri yang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks. Nyeri viseral cenderung menyebar dan seringkali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri viseral seringkali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot (Kozier et al., 2010).
Nyeri viseral sangat sulit untuk dilokalisasi, dan beberapa cedera pada jaringan visceral terlihat seperti nyeri alih atau referred
pain , di mana sensasi terlokalisir pada daerah yang tidak ada
hubungannya dengan tempat terjadinya cedera (Black & Hawks, 2009). Nyeri viseral adalah nyeri yang dimediasi oleh nosiseptor.
Nyeri yang digambarkan sebagai nyeri yang mendalam, sakit dan kolik. Sulit untuk dilokalisasi dan sering dirasa pada daerah cutaneus, yang mungkin lembut (Gililland, 2008). 3) Menurut tempat nyeri di rasakan
Nyeri berdasarkan tempat nyeri di rasakan dapat dibagi ke dalam:
a) Nyeri menjalar Nyeri yang dirasakan di sumber nyeri dan meluas ke jaringan- jaringan di sekitarnya. Misalnya, nyeri jantung tidak hanya dapat dirasakan di dada tetapi juga dirasakan di bahu kiri dan turun ke lengan (Kozier, et al., 2010).
b) Nyeri alih Nyeri alih adalah nyeri yang di rasakan di satu bagian tubuh yang cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya, nyeri yang berasal dari sebuah bagian visera abdomen dapat dirasakan di suatu area kulit yang jauh dari organ yang menyebabkan nyeri (Kozier, et al., 2010).
Nyeri alih adalah bentuk nyeri viseral dan dirasakan di daerah yang jauh dari tempat stimulus. Itu terjadi ketika serat saraf yang melayani area tubuh yang jauh dari tempat stimulus lewat di dekat stimulus. Sensasi nyeri alih mungkin intens, dan mungkin ada sedikit atau tidak ada rasa sakit pada titik stimulus berbahaya (Black & Hawks, 2009).
c) Nyeri tak tertahankan Nyeri tak tertahankan adalah nyeri yang sangat sulit diredakan. Salah satu contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut (Kozier, et al., 2010).
d) Nyeri neuropatik Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau saraf pusat di masa kini atau masa lalu dan mungkin tidak mempunyai sebuah stimulus, seperti kerusakan jaringan atau saraf untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul dan nyeri tumpul yang berkepanjangan (Kozier, et al., 2010). Nyeri yang melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer (Gililland, 2008).
e) Nyeri bayangan Nyeri bayangan adalah sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang telah hilang misal pada kaki yang telah di amputasi. Nyeri bayangan disebut juga dengan phantom pain (Kozier, et al., 2010). Seseorang yang sudah menjalani amputasi bagian tubuh, dapat terus mengalami atau merasakan sensasi di bagian tubuh yang sudah diamputasi seolah-olah bagian tersebut masih ada atau melekat. Serabut saraf yang melayani bagian ini terus meluas ke bagian perifer, yang berakhir di lokasi sayatan (Black & Hawks, 2009).
f) Breakthrough pain
Breakthrough pain adalah nyeri yang datang tiba-tiba untuk
jangka waktu yang singkat serta tidak dapat diatasi dengan manajemen nyeri yang normal oleh pasien. Hal ini sering terjadi pada pasien kanker yang sering memiliki tingkat latar belakang nyeri yang dikendalikan oleh obat-obatan (Black & Hawks, 2009). f. Pengkajian nyeri Nyeri bersifat subjektif, karena itu pengkajian awal sangat penting berdasarkan laporan klien ( Strong et al., 2002 ). Perlu diingat, bahwa kedalaman dan kompleksitas cara-cara untuk penilaian nyeri ini bervariasi. Tujuan dari pengkajian nyeri adalah mengidentifikasi penyebab nyeri, memahami persepsi klien tentang nyerinya, mendapatkan karakteristik nyeri, menentukan level nyeri yang bisa ditoleransi klien sehingga klien masih dapat memenuhi ADL-nya sesuai batas toleransi (Horlocker, 2006; Rospond, 2008). Idealnya, cara-cara penilaian ini mudah digunakan, artinya mudah dimengerti oleh pasien, dan valid, serta dapat dipercaya (Rospond, 2008; Jablonski & Ersek, 2009). Dan pada akhir tujuan akan menentukan implementasi tehnik manajemen nyeri tersebut (Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawsk, 2009).
Skala pengukuran nyeri menurut Agency for Health Care Policy
and Research (AHCPR) (1992) untuk manajemen nyeri akut dan dikaji
pada saat sekarang atas indikasi operasi, prosedur medis, dan trauma (Smeltzer dan Bare, 2002), terdiri dari: 1) Skala Analogue Visual / Visual Analogue Scale (VAS)
(VAS) adalah cara yang paling banyak
Visual Analogue Scale
digunakan untuk menilai nyeri (Passero & MacCeffery, 2007; Nilssons, 2008; Black & Hawks, 2009). Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami oleh pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada setiap sentimeternya. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri (“no pain)”, sedangkan ujung yang lainnya mewakili rasa nyeri yang terparah yang mungkin terjadi (“worst possible pain”). Skala dapat dibuat vertical atau horizontal. Manfaat utama VAS adalah mudah dan sederhana dalam penggunaan. VAS juga bisa diadaptasi menjadi skala hilangnya / redanya nyeri. Namun pada nyeri post operasi VAS tidak banyak bermanfaat karena pada VAS diperlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi (Rospond, 2008).
Gambar 2.2 Visual Analogue Scale (VAS)(Sumber : www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html) 2) Skala Penilaian Numerik / Numeric Rating Scale (NRS)
Skala ini menggunakan angka 0 sampai dengan 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri (Black & Hawks, 2009). Dua ujung ekstrim juga digunakan dalam skala ini sama seperti pada VAS. NRS lebih bermanfaat pada periode post operasi (Nilssons, 2008; Rospond, 2008), karena selain angka 0 – 10, penilaian berdasarkan kategori nyeri juga dilakukan pada penilaian ini. Skala 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri, skala 1-3 dideskripsikan sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih dapat ditahan). Lalu skala 4-6 dideskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada rasa nyeri, terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahannya. Skala 7-10 didekripsikan sebagai nyeri berat yaitu ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan sehingga harus meringis, menjerit atau berteriak (MacCeffery & Beebe, 1999).
Sama seperti VAS, NRS juga sangat mudah digunakan dan merupakan skala ukur yang sudah valid (Brunelli, et.al., 2010).
Penggunaan NRS direkomendasikan untuk penilaian skala nyeri post operasi pada pasien berusia di atas 9 tahun (McCaffrey & Bebbe, 1999). NRS dikembangkan dari VAS dapat digunakan dan sangat efektif untuk pasien-pasien pembedahan, post anastesi awal dan sekarang digunakan secara rutin untuk pasien-pasien yang mengalami nyeri di unit post operasi (Rospond, 2008; Black & Hawsk, 2009; Brunelli, et.al., 2010).
Pada penelitian ini menggunakan NRS sebagai skala pengukuran untuk menilai nyeri. Reliabilitas NRS telah dilakukan ujinya oleh Brunelli, et.al. (2010), dengan membandingkan instrumen NRS, VAS, dan VRS untuk mengkaji nyeri pada 60 pasien. Hasil uji
Cohen’s Kappa untuk instrument NRS adalah 0,86 (sangat baik).
Instrumen pengukuran NRS adalah seperti gambar 2.4 berikut ini:
Gambar 2.3 Numeric Rating Scale (NRS)(Sumbe 3) Wong-Baker Faces Rating Scale / Skala Wajah Wong-Baker
Skala wajah biasanya digunakan oleh anak-anak yang berusia kurang dari 7 tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar wajah yang sesuai dengan nyerinya. Pilihan ini kemudian diberi skor angka. Skala wajah Wong-Baker menggunakan 6 kartun wajah yang menggambarkan wajah tersenyum, wajah sedih, sampai menangis.
Dan pada tiap wajah ditandai dengan skor 0 sampai dengan 5. Skala wajah Wong-Baker bisa dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini :
Gambar 2.4 Wong-Baker Faces Rating Scale(Sumber :
g. Manajemen nyeri 1) Farmakologi
Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau obat penghilang rasa sakit (Blacks & Hawks, 2009). Penatalaksanaan farmakalogi adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam:
a) Analgesik opioid (narkotik) Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein. Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan (Kozier, et al., 2010). Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).
b) Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid (non steroid
antiinflamation drugs /NSAID)
Non opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik, sementara asetaminofen hanya memiliki efek analgesik dan antipiretik. Obat-obatan ini meredakan nyeri dengan bekerja pada ujung saraf tepi di tempat cedera dan menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010). Non opioid dan NSAID memiliki peran yang berguna dalam manajemen nyeri, khususnya pada kondisi-kondisi gangguan muskuloskletetal. Obat- obatan yang biasanya digunakan diantaranya adalah ibuprofen, naproxen dan diclofenac (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).
c) Analgesik penyerta Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk penggunaan analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala nyeri akut, selain kerja utamanya. Misalnya, sedatif ringan atau penenang dapat membantu mengurangi ansietas, stres dan ketegangan sehingga pasien dapat tidur dengan baik di malam hari. Anti depresan digunakan untuk mengatasi gangguan depresi atau gangguan alam perasaan yang mendasari tetapi dapat juga meningkatkan strategi nyeri yang lain. Antikonvulsan, biasanya diresepkan untuk mengatasi kejang, dapat berguna dalam mengendalikan neuropati yang menyakitkan (Kozier, et al., 2010). 2) Non farmakologi
Blacks dan Hawks (2009) penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat dilakukan dengan cara terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin, TENS, akupunktur dan akupresur) serta kognitif dan biobehavioral terapi (meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis, humor dan magnet). Menurut Kozier, et
al., (2010) menyatakan bahwa nyeri dapat juga diatasi dengan
beberapa cara diantaranya adalah:
a) Intervensi fisik Intervensi fisik bertujuan menyediakan kenyamanan, mengubah respon fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang berhubungan dengan imobilitas akibat rasa nyeri atau keterbatasan aktivitas (Kozier, et al., 2010). Intervensi fisik mencakup stimulasi kutaneus, imobilisasi, stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) dan akupunktur.
(1) Stimulasi kutaneus Stimulasi kutaneus atau counterstimulation merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi tekhnik yang dipercaya dapat mengaktivasi opioid endogeneous dan sistem
analgesia monoamnie. Stimulasi kutaneus efektif dengan cara
menurunkan pembengkakan, menurunkan kekakuan dan meningkatkan serabut saraf berdiameter besar untuk menghambat serabut saraf berdiameter kecil sebagai penyampai atau reseptor nyeri dengan menggunakan terapi dingin, terapi panas, tekanan, getaran atau pijatan (DeLaune & Ladner, 2011).
Stimulasi kutaneus dapat memberikan peredaan nyeri sementara yang efektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian pada stimulus taktil, mengalihkan dari sensasi menyakitkan sehingga mengurangi persepsi nyeri.
Selain itu, stimulasi kutaneus juga dipercaya dapat menghasilkan pelepasan endorfin yang menghambat transmisi stimulus nyeri serta menstimulasi serabut saraf sensorik A-beta berdiameter besar, sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang lebih kecil (Kozier,
et al., 2010). Tekhnik stimulasi kutaneus terdiri dari:
(a) Pijat Secara naluri, manusia merespon sakit dan nyeri dengan menggosok-gosok area tersebut. Terapi pijat mengembangkan reaksi ini menjadi cara untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
Pijat dapat dilakukan secara sistematis dengan tekhnik manipulasi manual, seperti menggosok, meremas, atau memutar jaringan lunak (misalnya, otot, ligamen tendon, dan fascia). Pijat meningkatkan jangkauan gerak pasien, mengurangi ambang nyeri, melemaskan otot-otot, dan meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik. Pijat juga memiliki efek biokimia, yaitu meningkatkan kadar dopamin dan limfosit serta memproduksi sel pembunuh secara alami (Corbin, 2005; Calenda, 2006 dalam Gatlin & Schulmeister, 2007).
Pijat adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot dan dapat meringankan ansietas karena kontak kontak fisik yang menyampaikan perhatian. Pijat juga dapat menurunkan intensitas nyeri dengan meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri (Kozier, et.al., 2010).
(b) Aplikasi panas atau dingin Aplikasi panas dan dingin dapat dilakukan dengan mandi air hangat, bantalan panas, kantung es, pijat es, kompres panas atau dingin dan mandi rendam hangat atau dingin. Aplikasi ini secara umum meredakan nyeri dan meningkatkan penyembuhan jaringan yang luka (Kozier, et al., 2010).
Aplikasi panas atau dingin ke daerah yang menyakitkan bisa membantu mengurangi rasa sakit.
Aplikasi ini bekerja mengatasi nyeri dengan cara mengurangi kepekaan atau sensitivitas terhadap rasa sakit (University of Missouri, 2001).
Aplikasi panas atau dingin disebut juga dengan terapi panas atau terapi dingin, adalah alat manajemen nyeri yang efektif, keduanya mudah didapat dan mudah untuk dilakukan. Panas dan dingin, keduanya dapat menghasilkan analgesia bagi nyeri. Terapi panas meningkatkan aliran darah, meningkatkan metabolisme jaringan, nenurunkan vasomotor tone, dan meningkatkan viskoelastisitas koneksi jaringan, menjadikannya efektif untuk mengatasi kekakuan sendi dan nyeri. Penggunaan panas sebagai terapi membutuhkan monitoring khusus, karena dapat menyebabkan terjadinya peningkatan inflamasi dan pembengkakan atau edema (DeLaune & Ladner, 2011).
Gatlin dan Schulmeister (2007) menjelaskan bahwa terapi panas bekerja dengan cara meningkatkan aliran darah ke kulit, melebarkan pembuluh darah, meningkatkan oksigen dan pengiriman nutrisi ke jaringan lokal, dan mengurangi kekakuan sendi dengan cara meningkatkan elastisitas otot. Terapi dingin memiliki banyak keuntungan diantaranya menghilangkan edema dengan cara mengurangi aliran darah, meniadakan inflamasi, mengurangi demam, mengurangi spasme otot, menaikkan ambang batas nyeri sebagai mekanisme penurunan kecepatan konduksi saraf (DeLaune & Ladner, 2011).
(c) Akupresur dan akupunktur Akupresur adalah tekhnik penyembuhan bangsa Cina kuno yang didasarkan pada prinsip pengobatan tradisonal
Asia. Cara kerjanya mirip akupunktur dan sering disebut akupunktur tanpa jarum (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
Terapis menekankan jari pada titik-titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan dalam akupunktur (Kozier, et al., 2010). Rangsangan pada titik akupoin dipercaya akan membuka sumbatan di meridian dan memperbaiki aliran energi, menghilangkan nyeri, dan penyakit (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
Sementara itu, Akupunktur adalah suatu tindakan penusukan jarum-jarum kecil ke titik akupoin (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Akupunktur merupakan intervensi kompleks yang mungkin berbeda untuk tiap-tiap pasien yang berbeda dengan keluhan utama yang sama, lama perawatan dan titik-titik akupunktur yang digunakan dapat bervariasi antara individu-individu selama pengobatan (NIHM, 1997).
Cara kerja akupunktur mencakup dua teori, yang pertama adalah teori gerbang yaitu adanya mekanisme refleks pada jalur saraf yang dapat menutup rasa sakit, hal ini mengurangi rasa sakit yang dialami seseorang. Yang kedua yaitu teori endorfin, endorfin mempunyai efek pembunuh nyeri yang mirip obat, akupunktur menyebabkan endorfin dilepaskan tubuh, berjalan ke otak dan di otak endorfin memblokir nyeri, jadi akupunktur mampu menimbulkan relaksasi dan perasaan sehat (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
Berman, Lao, Langenberg, Lee, Gilpin dan Hochberg (2004) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi keefektifan akupunktur sebagai terapi tambahan yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pada sendi lutut (n = 570). Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri yang signifikan pada responden sesudah menjalani terapi akupunktur selama 26 minggu dengan perbedaan mean
- – 2,5 (p = 0.001). (d) Stimulasi kolateral
Stimulasi kolateral dapat dicapai dengan
menstimulasi kulit diarea yang berlawanan dengan area yang sakit (misal; menstimulasi lutut kiri jika nyeri berada di lutut kanan). Area kolateral dapat digaruk karena gatal, dimasase karena kram, atau diberi kompres dingin atau salep analgesik. Metode ini terutama berguna jika area yang menyakitkan tidak dapat disentuh karena hipersensitif, tidak dapat diakses karena terpasang gips atau perban, atau jika nyeri dirasakan di bagian tubuh yang telah tidak ada atau nyeri bayangan (Kozier, et al., 2010).
(2) Imobilisasi Mengimobiliasi atau membatasi pergerakan bagian tubuh yang menyakitkan misal pada artritis sendi, trauma ekstremitas dapat membantu mengatasi episode nyeri akut. Bebat atau alat penyangga harus menahan sendi pada posisi fungsi yang optimum dan harus digerakkan secara teratur sesuai dengan protokol (Kozier, et al., 2010).
Malanga & Nadler (1999) menjelaskan bahwa bed rest atau istirahat dalam pengobatan LBP masih kontroversial.
Walaupun mungkin ada beberapa efek yang menguntungkan melalui modulasi nyeri dan penurunan tekanan intradiskal ketika pasien istirahat di tempat tidur, bed rest ternyata juga memiliki banyak efek merugikan pada tulang, jaringan ikat, otot dan kebugaran kardiovaskular.
Pendekatan proaktif menekankan lebih baik memodifikasi aktivitas daripada istirahat di tempat tidur dan imobilisasi. untuk gejala penyakit LBP istirahat di tempat tidur yang terbatas dalam hubungannya dengan berdiri dan berjalan.
Selain itu pasien harus dididik untuk menghindari posisi yang meningkatkan tekanan pada intradiskal, seperti duduk, membungkuk dan mengangkat. dalam sebuah penelitian, 2 hari istirahat di tempat tidur dapat disarankan untuk pasien dengan LBP.
(3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) TENS adalah sebuah metode pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah secara langsung ke area nyeri yang telah teridentifikasi, ke titik akupresur, di sepanjang kolumna spinalis. Stimulasi kutaneus dari unit TENS diperkirakan mengkativasi serabut saraf berdiameter besar yang mengatur impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat sehingga menghasilkan penurunan nyeri (Kozier, et al., 2010).
Menurut Queensland Spinal Cord Injuries Service atau QSCIS (2013) TENS tidak mengobati penyebab rasa sakit tetapi bekerja pada persepsi atau sensasi rasa sakit. TENS bekerja melalui dua cara yaitu memblokir sinyal nyeri impuls listrik sebelum mereka melakukan perjalanan ke otak dan memicu pelepasan penghilang rasa sakit dari dalam tubuh sendiri yaitu zat kimia yang disebut endorfin.
(4) Intervensi pikiran-perilaku (kognitif-perilaku) Intervensi pikiran-perilaku atau CBI (cognitive
) adalah suatu pendekatan yang efektif
bebehavioral therapy