BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI AKTIVITAS ANTIDARE EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM ( Syzygiu m polyanthum [Wight] Walp ) PADA TIKUS PUTIH - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Pemeriksaan Terdahulu Penelitian terdahalu dengan judul uji aktivitas antidiare infusa daun

  salam (Syzygium polyanthum [Wight] Walp.) terhadap mencit jantan galur swiss yang diinduksi minyak jarak (Riska,2015) pada penelitian tersebut dosis infusa daun salam yang memberikan efek antidiare dengan 25% b/v dan 50% b/v.

B. Landasan Teori 1. Sistematika Tanaman

  Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Eugenia Jenis : Syzygium polyanthum [Wight] Walp

Gambar 2.1. Daun salam (Syzygium polyanthum [Wight] Walp) (Anonim, 2000) 2. Nama lain

  Salam mempunyai nama lain selain Syzygium polyanthum (Wight) Walp yaitu Eugenia polyantha Wight. Salam juga mempunyai nama asing: salam leafunar serai (Melayu); salam manting (Jawa); salam gowok (Sunda); dan kastolan (Kangean) (Hariana,2004).

  3. Kandungan Kimia

  Kandungan utama daun salam meliputi saponin, triterpen, flavonoid, tannin, polifenol, dan alkaloid. Minyak atsiri daun salam terdiri dari seskuiterpen, lakton dan fenol (Sudarsono dkk,2002). Tannin dalam fungsi daun salam sebagai zat untuk saluran pencernaan atau kulit. Kandungan kimia daun salam meliputi: a.

  Tanin Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol. Senyawa tanin ini banyak dijumpai pada tumbuhan. Tanin memiliki aktivitas antibakteri, secara garis besar mekanisme yang diperkirakan adalah toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri. Mekanisme kerja tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat dan mati (Ajizah, 2004).

  b.

  Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol (Sjahid, 2008). Mekanisme kerja flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein extraseluler yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri. Mekanisme kerjanya dengan cara mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Juliantina, 2008).

  4. Khasiat dan Kegunaan

  Berdasarkan penelitian yang sudah ada, selain antidiare daun salam juga berkhasiat antihiperlipidemia, aprodisiak, antidiabetes, dan antiradang (Anonim,2007).

C. Diare

1. Pengertian Diare

  Diare merupakan keadaan dimana frekuensi defekasi melebihi frekuensi normal dengan konsistensi feses yang encer (Anonim,1991). Diare dapat bersifat akut atau kronis, serta penyebabnya bermacam- macam (Anonim,1991). Diare akut umumnya disebabkan oleh infeksi virus atau kuman, atau dapat pula akibat efek samping obat dan gejala dari gangguan saluran cerna (Tjay dan Rahardja,2002). Diare kronis biasanya berlangsung lebihb dari dua minggu. Diare ini mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan gastrointestinal (Anonim,1991). Biasanya diare kronis terjadi pada tumor dan penyakit-penyakit radang usus kronis (Crohn, colitis ulcerosa) (Tjay dan Rahardja,2002).

  Penyebab diare terdapat gangguan dari resorpsi, sedangkan sekresi getah lambung-usus dan motalitas usus meningkat. Menurut teori klasik diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus tersebut, sehingga peristaltik chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tjay dan Rahardja,2002). Terapi diare harus disesuaikan dengan penyebabnya (Mutschler, 1986). Apapun bentuk diarenya, usaha pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan penyebabnya dan menghilangkan penyebabnya (Anwar, 2000). Dasar pengobatan diare adalah pemberian cairan, dietetik (pemberian makanan), obat-obatan (Abdoerracham dkk, 2002).

  Resiko paling berbahaya pada diare adalah dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit (Hardaman dan Limbrid, 2007). Sehingga penanganan teraupetikyang terpenting adalah penggantian cairan dan elektrolit secukupnya (Mutschler, 1986). Pada diare yang hebat seringkali disertai muntah-muntah, tubuh kehilangan banyak air dengan garam- garamnya, terutama kalium dan natrium sehingga tubuh kekeringan (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Etiologi Diare

  a. Diare infeksi Biasanya akut dan karena virus. Tak satupun enterovirus yang umum (coxsackie, polio, echovirus) yang bisa dipersalahkan dengan pasti. Diare pada bayi biasanya disebabkan oleh rotavirus. Sebagian kejadian luar biasa diare disebakan oleh serotype tertentu dari Eschericia coli dimana sebagian besar masyarakat tidak memiliki kekebalan terhadap bakteri tersebut. Sebagian besar pasien berhasil diobati dengan pengobatan simtomatik.

  b. Diare noninfeksi Keadaan berikut harus dipikirkan: 1)

  Obat-obatan, diantaranya pencahar (sering) 2)

  Divertikulitis (sering) 3)

  Kanker kolon, kadang-kadang disertai diare palsu sekunder akibat obstruksi parsial (biasanya bergantian dengan serangan konstipasi)

  4) Sindroma iritasi usus (irritable bowel syndrome)

  5) Sindroma malabsorpsi

  Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah : 1)

  Kemoterapika untuk terapi kausal, yakni membrantas bakteri penyebab diare seperti antibiotika, sulfonambida, kinolon, dan furazolidon

  2) Obstipansia untuk terapi simptomatis, yang dapat menghentikan diare

  3) Spasmolitik yakni zat-zat yang dapat mengurangi kejang-kejang otot yang seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan oksifenonium D.

   Suspensi

  Suspensi adalah bagian sediaan yang mengandung bahan obat dalam bentuk halus yang tidak larut tetapi terdispersi dalam cairan. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap, jika dikocok perlahan-lahan endapan harus segera terdispersi kembali. Suspensi umumnya mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitasnya, sebagai stabilisator dapat dipergunakan bahan-bahan disebut sebagai emulgator (Joenoes, 1990).

  Suspensi juga dapat didefinisikan sebagai preparat yang mengandung partikel obat yang terbagi sevara halus (dikenal sebagai suspensoid) disebarkan secara merata dalam pembawa dimana obat menunjukkan kelarutan yang sangat minimum. Beberapa suspensi resmi diperdagangkan tersedia dalam bentuk siap pakai, telah disebarkan dalam cairan pembawa dengan atau tanpa penstabil dan bahan tambahan farmasetik lainnya (Ansel, 1989).

  Bahan obat yang diberikan dalam bentuk suspensi yaitu obat minum, mempunyai keuntungan bahwa (oleh karena partikel yang sangat halus) penyerapan zat berkhasiatnya lebih cepat daripada obat diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet, biovaibilitasnya pun baik. Suspensi dapat dibagi menjadi dalam dua jenis yaitu: suspensi yang siap digunakan atau suspensi yang dikonstitusikan dengan jumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan. Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena. Pada bentuk sediaan suspensi harus diperhatikan bahwa obatnya betul diminum dengan sendok yang sesuai, sehingga obat dimnium dengan dosis yang tepat (Loenoes, 1990).

  Menurut Joenoes (1990), beberapa faktor penting dalam formulasi sediaan obat bentuk suspensi adalah:

  1. Derajat kehalusan partikel yang terdispersi 2.

  Tidak terbentuk garam kompleks yang tidak dapat diabsorbsi dari saluran pencernaan

  3. Tidak terbentuk kristal/hablur 4.

  Dearajat viskositas cairan Menurut Ansel (1989), sifat-sifat yang diinginkan dalam semua sediaan farmasi dan sifat-sifat lain yang lebih spesifik untuk suspensi farmasi adalah: 1.

  Suatu suspensi farmasi yang dibuat dengan tepat mengendap secara lambat dan harus rata bila dikocok

  2. Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga partikel dari suspensoid tetap agak konstan untuk yang lama pada penyiapan

  3. Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogeny 1.

   Cara Pembuatan Suspensi

  Suspensi dapat dibuat dengan dua cara, yaitu: a.

  Metode dispersi Serbuk yang terbagi halus didispersi dalam cairan pembawa.

  Umumnya yang digunakan sebagai pembawa adalah air. Dalam formula suspensi yang paling penting adalah partikel-partikel harus terdispersi dalam fase air. Mendispersi serbuk yang tidak larut dalam air kadang-kadang sulit. Hal ini disebabkan karena adanya udara, lemak, kontaminan pada permukaan serbuk, dan lain-lain (Lachman et al , 1994).

  b.

  Metode presipitasi (presipitasi dengan pelarut organik, perubahan pH media, dan penguraian rangkap).

  Obat-obatan yang tidak larut dalam air dapat diendapkan dengan menggunakan pelarut-pelarut organik yang bercampur dengan air, dan kemudian menambahkan fase orgsnik ke air murni dibawah kondisi standar disebut juga dengan metode presipitasi dengan pelarut organik. Metode presipitasi dengan perubahan pH media, metode ini hanya dapat diterapkan pada obat-obat yang kelarutannya tergantung pada harga pH. Metode penguraian rangkap hanya melibatkan proses kimia yang sederhana (Lachman et al., 1994).

  2. Formula Suspensi

  Hampir semua sistem suspensi memisah pada penyimpanan, karena itu perhatian utama dalam pembuatan sediaan suspensi bukan untuk mengeliminasi pemisahan, tetapi untuk mrnahan laju pengendapan dan memberikan kemampuan tersuspensi kembali dengan mudah dan partikel yang mengendap. Suspensi yang baik harus tetap homogen, untuk menjamin keseragaman dosis obat setelah digojog sebelum dituang.

  Tiga hal utama yang sangat penting dalam pembuatan bentuk sediaan suspensi, yaitu: a.

  Memastikan bahwa partikel benar-benar terdispersi dengan baik dalam cairan.

  b.

  Meminimalkan pengendapan dari partikel kecil yang terdispersi.

  c.

  Mencegah terjadinya caking dari partikel-partikel ini ketika terjadinya pengendapan (Priyambodo, 2007).

3. Stabilitas Suspensi

  Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi, antara lain adalah: ukuran partikel, sedikit banyaknya pergerakan partikel, tidak menolak antar partikel karena adanya muatan listrik pada partikel, dan konsentrasi suspenoid. Jika muatan partikel diabaikan maka faktor yang memperngaruhi stabilitas suspensi, dapat dilihat dari hukum Stokes berikut ini:

  d2 (  s  o) g -

  V =

  18 

  Keterangan: V = kecepatan sedimentasi (cm/detik) d = diameter partikel (cm) ρs = kerapatan dari faseterdispers (g/ml) ρo = kerapatan dari medium pendispers (g/ml)

  

2

  g = gaya gravitasi (980,7 cm/det ) η = viskositas medium dispers (poise)

  Dari persamaan hukum Stokes tersebut, terlihat bahwa laju sedimentasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, sangat dipengaruhi oleh diameter partikel serta kandungan zat padat dalam sistem suspensoidnya. Semakin besar ukuran partikel serta semakin meningkat besar kandungan zat padat, maka kecepatan (laju) sedimentasi juga akan tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi viskositas suatu sistem suspenoid, maka kecepatan (laju) sedimentasinya semakin kecil. Namun viskositas suspenoid yang terlalu besar juga bukan kondisi yang bagus, karena akan menyebabkan terjadinya caking dan suspensi sukar terdispersi kembali (Priyambodo, 2007).

4. Penilaian Stabilitas Suspensi

  Kontrol stabilitas suspensi antara lain meliputi : volume sedimentasi,viskositas,redispersibilitas, mudah tidaknya dituang, dan ukuran partikel.

  a.

  Volume Sedimentasi (F) Volume sedimentasi yaitu mempertimbangkan rasio tinggi akhir endapan (Hu) terhadap tinggi awal (Ho) pada waktu suspensi mengendap dalam suatu kondisi standar.

  F = Hu/Ho Makin besar fraksi ini, makin baik kemampuan suspensinya. Pembuat formulasi harus memperoleh rasio Hu/Ho, dan memplotkannya sebagai ordinat dengan waktu sebagai abisnya (Lachman et al., 1994).

  b.

  Viskositas Kenaikan viskositas menyebabkan penurunan kecepatan sedimentasi dan peningkatan stabilitas fisik. Metode yang biasa digunakan untuk meningkatkan viskositas adalah dengan penambahan suspending agent. Penambahan suspending agent akan menurunkan viskositas tetapi tidak dapat mencegah sedimentasi (Lieberman et al., 1996).

  c.

  Redispersibilitas Redispersibilitas merupakan syarat dari suspensi, jadi sedimen yang terjadi harus mudah terdispersi kembali dengan penggojokan agar diperoleh keseragaman dosis (Priyambodo, 2007). Untuk membantu tolak ukur ini sampai batas tertentu secara kuantitatif dapat menggunakan suatu alat mekanik. Alat tersebut menstimulasi gerakan lengan manusia selama proses pengocokan, dan dapat memberikan hasil yang dapat diproduksi bila digunakan dibawah kondisi terkontrol (Lachman et al., 1994).

  d.

  Mudah tidaknya dituang Suspensi merupakan cairan yang kental, tetapi kekentalan suspensi tidak bolehterlalu tinggi, sediaan harus mudah digojog dan juga mudah dituang (Joenoes, 2001). Besar kecilnya kadar suspending agent berpengaruh terhadap kemudahan suspensi untuk dituang. Kadar zat pensuspensi yang besar dapat menyebabkan suspensi terlalu kental dan sukar dituang (Ansel et al., 1995).

  e.

  Ukuran partikel Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang partikel tersebut serta daya tekan kertas cairan suspensi. Ukuran partikel berbanding terbalik dengan luas penampangnya, sedangkan antara luas penampang dengan daya tekan ke atas merupakan hubungan linear, artinya semakin besar ukuran partikel maka semakin kecil luas penampangnya. Daya tekan keatas cairan akan mempercepat gerakan untuk mengendap, sehingga untuk memperlambat gerakan tersebut dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel (Lieberman et al., 1996).

5. Ekstraksi

  a. Tujuan ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat didalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengatasinya (Dirjen POM, 1986).

  Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian masuk ke dalam pelarut (Dirjen POM, 1986).

  b. Jenis-jenis ekstraksi (Dirjen POM, 1986) Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara panas dengan cara refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin dengan cara maserasi, perkolasi dan sokhlet.

  c. Cara-cara ekstraksi (Harbone, 1987; Dirjen POM, 1986) 1)

  Ekstaksi secara soxhletasi Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih.

  Uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon. 2)

  Ekstraksi secara perkolasi Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simpilisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian krain dibuka dengan keceoatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan 2 hari pada tempat terlindung cahaya.

  3) Ekstrasksi secara maserasi

  Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simpilisia dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama

  5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cara penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan. Keuntungan cara penyari dengan maserasi adalahcara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara maserasi ini adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). 4)

  Ekstraksi secara refluks Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penanyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih.

  Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam. 5)

  Ekstraksi secara penyulingan Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat lainnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka penyari dilakukan dengan penyulingan.

6. Tikus

  Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratories (Malole dan Pramono, 1989). Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan yaitu memiliki kesamaan fisiologi dengan manusia, siklus hidup relative pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan (Moriwaki et al., 1994). Tikus putih (Rattus

  norvegicus ) banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-obatan maupun mekanisme penyakit infeksius.

  Tikus putih baik digunakan dalam penelitian karena mudah dipelihara, mudah dikembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba yang seragam dan mudah dikelola dilaboratorium. Penelitian tentang obat- obatan dan keracunan banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organ-organ utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007). Adapun taksonomi tikus menurut Besselen (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub-Filum : Theria Kelas : Mammalia Sub-Kelas : Theria Ordo : Rodensia Sub-Ordo : Scuirognathi Famili : Muridae Sub-Famili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus 7.

   Spektrofotometri Uv-Vis

  Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak (380 - 780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995:26). Spektrofotometri UV- Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995: 26).Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990: 216). Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain: 1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna. 2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis. 3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.(Mulja dan Suharman, 1995: 28). Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibe tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel dari senyawasenyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatantingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah gambar antara panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi). Sering juga data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar, Emax atau log Emax (Sastrohamidjojo, 2001: 11). Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke

tingkat yang lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik. Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis. Alat dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 1990). Pengukuran pada daerah UV harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan ketebalan 10 mm. Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk meletakkan cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat dicuci dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki (Sastrohamidjojo, 2001: 39-41). Skema susunan UV/Vis spektrometer sumber yang berasal dari radiasi yang memiliki panjang gelombang melewati filter monokromator kemudian mengenai sampel. Pada sampel terjadi absorbansi panjang gelombang. Setelah melewati sampel kemudian panjang gelombang tersebut mengenai detektor dan direkam. hasil dari rekaman data tersebut merupakan grafik hubungan antara panjang gelombang dengan absorbansi. Berikut ini dijelaskan komponen komponen dari spektrometer UV vis.

  a.

  Sumber Radiasi Sumber radiasi terdiri dari bahan yang dapat tereksitasi ke tingkat energi yang inggi melalui a. proses pemanasan dengan bantuan arus listrik b proses pelepasan elektron pada beda tegangan yang tinggi ketika kembali ke tingkat energi yang lebih rendah, bahan akan melepaskan foton Panjang gelombang yang dihasilkan beragam pada daerah pita energi yang luas Intensitas radiasi yang dihasilkan harus sama dan tetap sehingga tidak ada beda Po pada saat standarisasi dengan Po pada saat pengukuranhal ini sangat penting untuk model single-beam. Pada double-beam, setiap saat Po dan P selalu diukur dan dibandingkan secara simultan sehingga kestabilan sumber radiasi tidak selalu diperhitungkan. Sumber radiasi UV, Lampu hidrogen,

  Lampu deutorium,adiasi yang dihasilkan mempunyai panjang gelombang 180-350 nm. Monokromator Fungsi dari monokromator untuk memecah radiasi polikromatis dengan pita energi yang lebar yang dihasilkan sumber radiasi menjadi radiasi dengan pita energi yang lebih sempit atau menjadi radiasi monokromatis. Monokromator mampu menghasilkan radiasi dengan lebar pitaefektif sebesar 35 - 0,1 nm.Lebar pita efektif yaitu kisaran panjang gelombang dimana

  • – nilaitransmitansi minimal ½ dari nilai maksimalnya .Komponen komponen monokromator: Celah untuk masuknya radiasi polikromatis dari , lensa/cermin untuk menyerap cahaya, pendispersi cahaya yang berupa prisma atau grating yang dapat memecah radiasi menjadi komponenkomponen panjang gelombang, lensa/cermin pemfokus cahaya, celah keluar.

  b.

  Wadah sampel (cuvet) Cuvet terbuat dari kuarsa atau silika untuk radiasi UV dan gelas biasa atau kuarsa untuk radiasi sinar tampak.Tebal cuvet bervariasi dari 1- 10 cm.Cuvet ditempatkan setelah monokromator supaya kemungkinan terjadinya dekomposisi/fluorescence oleh panjang gelombang berenergi tinggi yang masih ada didalam radiasi polikromatis dapat diminimalkan.Posisi permukaan cuvet tegak lurus datangnya radiasisehingga kehilangan radiasi akibat pantulan/ refraksi dapat dikurangi.

  c.

  Operasi single-beam dan double-beam Single-beam. Radiasi dari monokromator yang masuk didispersikan oleh prisma/ grating. Ketika alat pendispersi dirotasikan, berbagai pita radiasi yang telah terpecah difokuskan pada celah keluar. Radiasi dilewatkan sampel dan diterima detektor. Operasi single Sinar dari monokromator diarahkan ke sel blangko dan sel sampel dengan bantuan beam splitter (chopper). Kedua sinar dibandingkan terus menerus/ bergantian secara berulangulang.Fluktuasi pada intensitas sumber cahaya respon detektor dan hasil penguat sinyal dikompensasi dengan mengamati perbandingan sinyal antara blangko dengan sampel .

  d.

  Menentukan koefisien absorbansi Penentuan sifat optik penting dalam pembuatan lapisan tipis untuk menentukan struktur dari semi konduktor. selain itu konstanta dalam optik dapat memberikan informasi mengenai strukur dari lapisan tipi. spektrum transmisi dan absorbansi dengan panjang gelombang antara 300-1100 nm. dari data tersebut dapat digunakan untuk menghitung nilai koefisien absorbansi band gap energi dan konstanta optik yang lainya. hubungan antara intensitas dari sinar datang (I0) dengan sinar yang ditransmisikan(IT sebagai berikut :

  IT  I0 expt (1) Diaman

   merupakan koefisien absorbansi dan t ebal dari sampel dari persmaan 1 maka dapat dikeahui nilai koefisien absorbansi sebagai berikut :   ln (1/ ) /  T  t (2)

C. KERANGKA KONSEP

  Konsentrasi ekstrak etanol daun salam ( 5%, 10% dan 15%) Meningkatnya konsumsi daun salam sebagai obat tradisional

  Kandungan tanin daun salam berpotensi salah satunya sebagai antidiare

  Pembuatan ekstrak etanol daun salam menjadi suspensi Uji aktivitas antidare pada tikus Uji penetapan kadar tanin dan fenol

  Pemeriksaan efek antidiare pada tikus Absorbansi

  Analisis data dengan ANOVA satu arah ( One Way Anova)

  Rata- rata kadar tanin dan fenol

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum (Wight) Walp. ) SEBAGAI PENGAWET ALAMI ANTIMIKROBA

0 3 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI AKTIVITAS ANT I AGING TETRAHIDROKURKUMIN , EKSTRAK PEGAGAN ( Centella asiatica ), DAN KOMBINASI TETRAHIDROKURKUMIN - EKSTRAK PEGAGAN - repository perpustakaan

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L) TERHADAP Streptococcus mutans - repository perpustakaan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN TEMBELEKAN (Lantana camara) SEBAGAI AGEN KO-KEMOTERAPI 5-FLUOROURACIL PADA SEL KANKER PAYUDARA T47D - repository perpustakaan

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK ETANOL BIJI KOLA (Cola acuminata) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS YANG DIINDUKSI ALOKSAN - repository perpustakaan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk) TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI ALOKSAN - repository perpustakaan

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) SEBAGAI ANTIDIARE PADA TIKUS PUTIH - repository perpustakaan

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP AKTIVITAS FAGOSITOSIS MAKROFAG DAN UJI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS - repository perpustakaan

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI, STABILITAS, DAN AKTIVITAS PENANGKAPAN RADIKAL BEBAS SEDIAAN MASKER GEL EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) - repository perpustakaan

0 0 12

UJI AKTIVITAS ANTIDARE EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum [Wight] Walp) PADA TIKUS PUTIH

0 0 16