REKONSTRUKSI AKAD BANK SYARIAH UNTUK MENCAPAI KEMASLAHATAN SEBAGAI WUJUD RAHMATAN LIL-ALAMIN

  Pidato Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Bisnis Syariah pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada Hari Sabtu, Tanggal 1 Juni 2013

  Oleh

ABD. SHOMAD REKONSTRUKSI AKAD BANK SYARIAH UNTUK MENCAPAI KEMASLAHATAN SEBAGAI WUJUD RAHMATAN LIL-ALAMIN

  Buku ini khusus dicetak dan diperbanyak untuk acara Pengukuhan Guru Besar di Universitas Airlangga Tanggal 1 Juni 2013

  Dicetak : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP) Isi di luar tanggung jawab Pencetak

  Kupersembahkan Untukku keluargaku, Almamaterku, Kemaslahatan bagi alam

  Assalamu' alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

  Yang terhormat, Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas

  Airlangga, Ketua, Sekretaris, Para Ketua Komisi dan Anggota Senat Akademik

  Universitas Airlangga, Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Airlangga, Para Direktur Direktorat di Lingkungan Universitas Airlangga, Para Guru Besar Universitas Airlangga dan Para Guru Besar Tamu, Para Dekan dan Wakil Dekan di Lingkungan Universitas Airlangga, Para Ketua Lembaga di Lingkungan Universitas Airlangga, Para Teman Sejawat dan Segenap Sivitas Akademika Universitas

  Airlangga, Para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan. Berkat rahmat Allah, kita berkumpul di sini untuk menghadiri

  Rapat Terbuka Senat Akademik Universitas Airlangga dalam acara pengukuhan saya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum dalam bidang Bisnis Syariah pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

  Guru Besar sebagai Jabatan akademik ini merupakan anugerah Allah SWT, merupakan suatu amanah yang harus saya emban. Menjadi Guru besar merupakan takdir Ilahi yang tidak dapat dibendung oleh siapa pun dan oleh kekuatan mana pun. Iktiar dan tawakal merupakan rangkaian menyongsong takdir sebagaimana ketentuan Q.S. Ar-Ra'du ayat 11 bahwa "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang mengubahnya".

  Hari ini 1 Juni, hari lahirnya Pancasila, cikal bakal lahirnya bangsa Indonesia. Bertepatan hari kelahiran Pancasila, Universitas Airlangga telah meresmikan lahirnya 3 guru besar baru yang Pancasilais. Untuk mencapai cita bangsa yang Pancasilais, perkenankan saya menyampaikan orasi saya mengenai:

  

REKONSTRUKSI AKAD BANK SYARIAH

UNTUK MENCAPAI KEMASLAHATAN

SEBAGAI WUJUD RAHMATAN LIL-ALAMIN

  Hadirin yang terhormat,

  Sifat keilmuan hukum Islam tidak bisa dilepaskan dengan agama Islam di mana ilmu hukum Islam itu muncul dan bersumber. Perkembangan pengkajian Hukum Islam sangat berarti dalam era new economy, dunia sedang memasuki budaya global dengan kemajuan teknologi informatika di satu sisi dan kebangkitan nasionalisme dan spiritual di sisi lain. Dinamika perekonomian dunia disemarakkan dengan perkembangan "Ekonomi Islam" yang merupakan hasil serangkaian "reaktualisasi" doktrin Islam tentang masalah ekonomi dalam wajah kekinian.

  

1

Menelaah aspek epistimologi Hukum Islam menurut filsafat

  syariah dapat menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan kefilsafatan dan pendekatan empirik historis ilmu syariah itu sendiri. Secara empirik historik, dijumpai tiga pilar utama ilmu syariah sebagai ilmu "murni", dan satu pilar ilmu syariah sebagai ilmu "terapan". Tiga pilar utama itu ialah: filsafat ilmu syariah, metodologi ilmu syariah, dan ilmu syariah atau ilmu fiqh. Satu pilar lainnya ialah ilmu syariah "terapan", yaitu al-siyasah

  

al-syar'iyyah. Filsafat ilmu syariah meliputi; filsafat teoritis (al-hikmah

al-nazariyyah), dan filsafat praktis (al-hikmah al-'amaliyah).

1 Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme, yakni knowledge dalam bahasa

Inggris yang berarti pengetahuan, dan logos yaitu logy atau theory dalam bahasa Inggris

yang berarti teori. Epistemologi sering diartikan teori pengetahuan, atau filsafat ilmu.

  

Ada beberapa isu utama dalam bidang epistemologi ini, yaitu: Pertama, apa pengetahuan

itu? Kedua, apa sumber pengetahuan itu? Ketiga, dari mana asal-usul pengetahuan itu

dan bagaimana kita mengetahuinya? (alat atau sarana apa yang dapat kita gunakan untuk

memperoleh pengetahuan itu?) Keempat, apakah pengetahuan kita itu benar? Lebih lanjut

periksa Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terjemahan Soejono Soemargono, Tira Wacana

Yogya, Yogyakarta,1989, hal. 135–150

  2 Metodologi ilmu syariah melahirkan Ilmu Ushul al-Fiqh. Ilmu

  syariah melahirkan berbagai cabang yang kemudian disebut fiqh

ibadah, fiqh mu'amalah, fiqh mawaris, fiqh jinayah, dan seterusnya.

Ilmu Syariah "terapan" melahirkan fiqh al-siyasah yang berkembang seiring dengan, perkembangan kemasyarakatan, oleh karena itu, lahirlah cabang-cabang ilmunya, seperti hukum acara ( ilmu

  

al-murafaat), hukum ketatanegaraan (fiqh al-dustury), hukum

  3 internasional ( fiqh al-duwaly), dan sebagainya.

  Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum, pertama sumber hukum yang bersifat "naqliy" dan sumber hukum yang bersifat "aqliy". Sumber hukum naqliy ialah Al Quran dan Assunnah, sedangkan sumber hukum aqliy ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikir dengan beragam metodenya. Kandungan hukum dalam Al-Qur'an dan Hadist kadangkala bersifat prinsipil sehingga perlu interpretasi.

  Sumber hukum yang mengutamakan olah pikir ini terkait erat dengan istilah " fiqh" dan perkembangan penerapan Hukum Islam di berbagai kawasan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sumber hukum ini pulalah yang juga berperan banyak dalam perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam menyangkut beragam aspek kehidupan dan menimbulkan mazhab-mazhab Hukum Islam. Walaupun pada hakikatnya perbedaan mazhab itu disebabkan perbedaan ijtihad

  • – ushul fiqh: perbedaan teknis pemahaman– kepentingan pribadi

  atau kelompok tertentu dalam aspek politik, serta perbedaan kualitas serta kapasitas intelektual pada masing-masing pendiri

  4

  dan pengikutnya. Perbedaan pendapat dalam merumuskan 2 Periksa uraian Imran Ahsan Nasyee, Islamic Jurisprudence(Usul al-Fiqh), The Other

  Press, Petaling Jaya, Malaysia, 2003, 37–41 3 Juhaya S. Praja, Epistemologi Ilmu Syariah dan Aplikasinya Dalam Struktur Kurikulum Nasional IAIN, Makalah, Depag RI, Jakarta, 1995, hal. 4 4 Muchtar Adam, " Perbandingan Madzab Dalam Islam Permasalahannya", Dalam Tjun

  

Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Remaja Posdakarya, Bandung, 1991, hal. 209. hukum disebabkan beberapa alasan yang dapat disimpulkan pada satu alasan utama yang dapat menampung alasan lainnya yaitu

  5 perbedaan dalam memahami dalil syara', Al Qur'an maupun Hadits.

  Di samping itu di antara ulama telah ada yang punya pendapat sebelum menelaah dalil dan pencarian serta penelahan dalil kemudian hanya dalam rangka usaha menguatkan pendapatnya. Situasinya menjadi terbalik: syariah yang pada dasarnya menjadi sumber dan penuntun dalam merumuskan hukum, menjadi

  6

  berfungsi sebagai penguat pendapat yang muncul. Kondisi semacam ini muncul karena pengaruh politis yang dianutnya atau karena adat istiadat yang mereka anggap dapat disesuaikan dengan hukum Islam. Hukum Islam diantaranya memuat beberapa ketentuan yang merombak beberapa ketentuan tradisi pra Islam pada masyarakat Arab Jahiliyah- asathir al awwalin- mitologi pra Islam pada masyarakat Arab Kuno dan tradisi sekitarnya.

  Perdebatan di arena politik muncul seiring dengan perkembangan

7 Hukum Islam. Persoalan yang mula-mula timbul dalam Islam

  memang politik yang berkisar pada masalah suksesi kepemimpinan

  • dan masalah dosa besar- murtakib al- kabair: capital sinners-

  8 yang kemudian melebar ke dalam masalah teologi dan hukum.

  Kelompok-kelompok politik itu diantaranya eksis sampai saat ini dengan membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam seperti Ahlus-sunnah dengan empat mazhab besarnya, Syiah dengan

  5 Muhammad Khudhari Bek, Tarikh Tasyri' Islam, Matbaah Istiqomah, Cairo, 1934, hal.

  134–141. 6 Amir Syaifuddin, Hubungan Dalil Hukum Syara' Dengan Pendapat Mujtahid, Studi Islamika, No. 10 Tahun IV, Oktober-Desember 1979, hal. 10–11. 7 Persolan yang muncul dalam Islam pertam kali menyangkut masah politik, lihat lanjut

dalam Abdul Qahir Al-Bagdadi, Al Farq Bayr Al Firaq, Dar- Al-Ataq Al-Jaddah, Beirut,

1973. 8 Harun Nasution, Theology Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 1–10.

9 Fiqhus syiahnya, dan kelompok yang tinggal pengaruhnya saja dalam hukum Islam seperti aliran Iktizal.

  Hadirin yang terhormat,

  Membincang Islam sudah pasti erat kaitannya dengan syariah, karena kedua hal tersebut adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain, Istilah syariah yang berasal dari bahasa arab yang dapat diartikan sebagai " path to a source of water" atau jalan ke sumber mata air, hal ini juga diartikan sebagai jalan yang jelas yang harus diikuti untuk menuju sumber air atau sumber

  10

  kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa syariah sebagai suatu ajaran, jalan atau aturan yang diturunkan Allah swt. tidak hanya kepada umat Nabi Muhammad akan tetapi juga kepada umat dari Nabi-Nabi terdahulu. Setelah masa kenabian Rasulullah dan turunnya Al Quran secara praktis syariah hanya mencakup segala aspek dari ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan hukum, sekalipun demikian syariah bukanlah sebagai hukum secara mutlak, melainkan lebih dari itu juga sebagai suatu representasi kompleks dari perangkat sosial, ekonomi, moral, pendidikan, intelektual dan praktik-praktik kebudayaan, hal ini sebagaimana yang dikemukakan

  11

  oleh Hallaq yang menyatakan bahwa:

  

"The Sharia represented a complex set of social, economic, moral,

educational, intellectual and cultural practices. It was not just

about law. It pervaded social structures so deeply that no ruler could

conceive of the possibility of efficiently ruling the population without

succumbing to a great extent to the dictates of the Sharia order.

9 Involving institutions, groups and processes that resisted, enhanced

  Lihat Mahmood Shehabi, "SHIA", dalam Kenneth W. Morgan, Islam- The Straight Path, the Ronald Press, 1958, hal. 180–223. 10 Juan El Campo, Encyclopedia of Islam, An Imprint of Infobase Publishing, United States of America, 2009, hal. 620. 11 Wael B. Hallaq, An Introduction To Islamic Law, First Published, Cambridge University Press, Edinburgh, UK., 2009, hal. 163.

  

and affected each other, Shari'a as practice manifested itself as

much in the judicial process as in writing, studying, teaching and

documenting. It manifested itself in political representation, and in

strategies of resistance against political and other abuses, as well

as in cultural categories that meshed into ethical codes and a moral

view of the world"

  Mahmout Syaltout dalam bukunya al-Islam Aqidah wa Syariah mendefinisikan syariah sebagai peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, sesamanya, lingkungan dan kehidupannya sehari-hari. Mengenai ilmu yang memperbincangkan syariah dinamakan dengan

  

fiqh, istilah fiqh menurut bahasa atau etimologi berarti pintar,

  cerdas, tahu dan paham menurut asal-mulanya paham terhadap tujuan seorang pembicara dan pembicaraannya yaitu paham sampai mendalam.

  An Naim menjelaskan bahwa " some scholars tend to emphasize

  

a distinction between Shari'a and fiqh. Shari'a Law is the product

of legislation (Shari'ah), of which God is the ultimate subject (sh āri').

  

Fiqh law consists of legal understanding, of which the human being

  12

is the subject (f Syariah adalah hukum yang berasal dari

āqih)".

  Allah dan fiqh adalah hukum yang berasal dari pemikiran manusia sebagai makhluk Allah, oleh karena itu fiqih juga dapat dikatakan

  13 sebagai " a knowledge of the law".

  Hadirin yang saya muliakan,

  Tujuan hukum Islam ialah mencapai kemaslahatan, sebagai dijelaskan oleh al-Syathibi al-Maliki dalam kitab al-Muwafaqat

  fi Ushul al-Ahkam, adalah: 12 Peri Bearman, et al., The Law Applied Contextualizing The Islamic Shari'a. I.B. Tauris & Co Ltd. London, 2008 hal. 329 13 Imran Ahsan Khan Nyaazee, Islamic Jurisprudence, First Published, International Institute of Islamic Thought, Islamabad, 2000, hal. 18.

  .

  ϞΟ˸ϻ΍ϭ ϞΟΎόϟ΍ ϰϓ ΩΎΒόϟ΍ ΢ϟΎμϤϟ Ϯϫ ΎϤϧ΍ ϊ΋΍ήθϟ΍ ϊοϭ ϥ΍

  

"(tujuan) pembentukan syari'at al-syari'at adalah untuk kemaslahatan

  14 hamba di dunia dan akhirat."

  Syariah memiliki tujuan ( maqashid syariah), yakni memelihara agama ( hifzh al-din), memelihara kehidupan (hifzh al-nafs), memelihara akal pikiran ( hifzh al-aql), memelihara kehormatan ( hifzh al-nasl) dan memelihara harta (hifzh al-maal). Kelima tujuan syariah tersebut merupakan sesuatu yang daruriyat atau esensial dalam Islam, karena pengabaian salah satu dari lima maqoshid tersebut akan membawa kehancuran akhlak dan tatanan sosial secara total, hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Laldin

  15

  yang menyatakan:

  

"The essentials (al-daruriyyat) are the matter on which the religion

and wordly affairs of the people depend upon, their neglect will lead

to total disruption and disorder and it could lead to evil ending.

These must be protected and all measures that aim at safe guarding

them must be taken, whether by the individual, or by government

authorities"

  Konsep maslahat ini dekat sekali dengan pemikiran utilitarisme yang berkembang pesat dan dikaji banyak kalangan.

  Hadirin yang saya hormati,

  Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dikenal dengan istilah akad, yang mana dalam kenyataannya ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam kontrak diserahkan kepada kesepakatan 14 Abi Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Lakhmi al-Syathibi al-Maliki, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, j. II, Dar al-Fikr, 1341 H., hal. 2. 15 Mohammad Akram Laldin, Introduction to Sharia and Islamic Jurisprudence, Second Edition, CERT Publication, Kuala Lumpur, 2006, hal. 18.

  para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham persaingan

  16

  bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran paham kebebasan berkontrak yang dianut oleh Jeremy Bentham dalam bidang hukum. Menurut Jeremy Bentham para pihak bebas untuk membuat kontrak. Ultilitarianism dan teori ekonomi klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan

  17

  sama-sama menghidupkan pemikiran persaingan bebas. Keduanya percaya kepada individualisme sebagai nilai dan mekanisme sosial dan kebebasan berkontrak dianggap sebagai suatu prinsip yang umum.

  18 Hart dalam bukunya menyatakan bahwa:

"Laws conferring powers do not appear on their face to be concerned

with the business of issuing commands or prohibitions, so the

conventional formulation of such laws conceals their imperative

character. Frequently they appear to be describing something already

existing, not prescribing something to be done".

  Salah satu bentuk pemikiran Bentham yang penting adalah doktrin bahwa hukum tersebut tidak lain adalah perintah, larangan atau kebolehan yang merupakan artifak dari keinginan manusia, oleh karena hukum sebagai artifak manusia maka tidak ada unsur

  

natural law dalam hukum tersebut, yang ada hanyalah prinsip-

  prinsip rasional yang natural, yang berfungsi sebagai pemandu bagi para legislator dan para kritikus hukum. Prinsip inilah yang dinamakan dengan prinsip utility yang dapat memberitahukan 16 Neli Mac Cormick, Adam Smith On Law, Valparaisto University Law Review, vol. 15, 1981, hal. 258–259. 17 P.S. Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract, Oxford, Clarendon Press, 1979, hal. 703–712 18 H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Studies in Jurisprudence and Political Theory, Oxford University Press, New York, 2001, hal. 23 alasan yang bagus dari adanya suatu hukum, atau sebagai alasan mengapa harus ada hukum, akan tetapi perlu untuk diingat bahwa sekalipun alasan tersebut merupakan cikal bakal suatu hukum, alasan tersebut bukanlah hukum, hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Hart yang menyatakan:

  19

"This, then, is one form of mystification which Bentham thought it

important to dispel by preaching the doctrine that laws are at bottom

nothing but commands, prohibitions or permissions, artefact of the

human will. But though for Bentham laws are but artefacts and there

are no natural laws, there are indeed natural and rational principles

for the guidance of legislator and the criticism of law. There are the

principles of utility which tell us what is a good reason for law, but a

reason for law, even a good reason-so Bentham warn us-is not itself

a law"

  Pada dasarnya ada dua bentuk utilitaraianise yaitu secara sederhana dan umum, pertimbangan utilitarian yang sederhana memperbincangkan efek tertentu yang timbul dari suatu tindakan atau perbuatan tertentu pula, sebaliknya pula pertimbangan utlitarian secara umum juga memperbincangkan efek keseluruhan yang timbul dari tindakan yang sama. Dua bentuk utilitarianisme ini yaitu sederhana dan umum dapat dibedakan menjadi beberapa hal yaitu, pertama, kriteria yang mengandung nilai-nilai kepatutan, yang dijadikan tolok ukur dalam utilitas dalam setiap tindakan dan kedua hal-hal yang berasal dari penilaian umum. Mengenai hal ini Lyons berpendapat bahwa:

  19

"Simple utilitarian consideration are those that concern all the effects

of the particular act in question (or the effects of that act as compared

with those of the alternative acts)...in contrast, general utilitarian

consideration concern the total effects that could be produced if

all acts similar to the one in question, which could be performed,

actually were performed...these two kinds of utilitarianism-simple

19 Ibid., hal. 24

  

and general- are distinguishable in two respects (1) the manner in

which value criteria are applied to acts and (2) the generality of the

judgements derivable".

  Terhadap utilitarianisme sederhana, kriteria nilai diaplikasikan ke dalam tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan secara terpisah dan pertimbangan terhadap penilaian dilakukan hanya terhadap masing-masing tindakan tertentu tersebut secara terpisah, salah atau benarnya tindakan tersebut tergantung pada nilai- nilai yang mempengaruhinya. Sementara itu dalam utilitarianisme umum, di satu sisi kriteria nilainya diaplikasikan kepada sesuatu yang dinamakan dengan kecenderungan untuk berbuat (

  tendency

of an act) yang memberi efek kepada semua perbuatan secara

  keseluruhan dan penilaiannya secara langsung ditujukan kepada pertimbangan terhadap beberapa tindakan yang sama dalam beberapa hal, yang masing-masing ditetapkan benar atau salah, atau sebagai kewajiban ataupun pilihan utama tergantung dari masing- masing tindakan tersebut, hal ini sebagaimana yang disebutkan Lyons yang menyatakan:

  20

"In the case of simple utilitarianism, (1) value-criteria are applied

to the effects of particular acts taken separately and (2) judgements

concern only particular acts. The rightness or wrongness of a

particular act depends upon the value of its effects as compared with

the values of the effect of the alternative acts...in the case of utilitarian

generalization, on the other hand (1) value-criteria are applied only to

what I shall call the tendency of an act, i.e. to the effects of everyone's

doing the same sort of thing; and (2) the judgements directly derivable

concern a class of acts that are similar in the specified way, each one

determined as right or wrong or obligatory, or prima facie so, as the

case may be". 20 David Lyons, Forms and Limits of Utilitarianism, Oxford University Press, New York, Reprinted 2002, hal. 3.

  Formulasi prinsip utiliti yang dikemukakan oleh Bentham pertama kali dituangkannya dalam karyanya yang berjudul " A

  

Fragment of Government", prinsip utility tersebut mengarah kepada

  suatu pemahaman bahwa " it is the greatest happiness of the greatest

  

number that is the measure of right and wrong". Menurut teori

  hukum Bentham ada suatu kepingan tajam di antara hukum tersebut sebagai 'ini' dan 'itu', yang mana hal tersebut ada dalam fondasi-fondasi sistem hukum yang sering diterjemahkan sebagai tema-tema alami yang netral yaitu sebagai kebiasaan umum dari kepatuhan secara terbuka terhadap hukum sebagai bagian dari tradisi lama positivis hukum Inggris. Hal ini sebagaimana yang

  21

  dikemukakan oleh Hart yang menyatakan bahwa:

  

"in legal theory Bentham's sharp severance in the fragment between

law as it is and law as it ought to be and his insistence that the

foundations of a legal system are properly described in the morally

neutral terms of a general habit of obedience opened the long

positivist tradition in English jurisprudence"

  Prinsip utiliti tersebut pada intinya mengandung makna adalah prinsip yang menyetujui atau tidak menyetujui seluruh tinda ka n ya ng menga ra h kepada kecender unga n untuk membawa kebahagiaan bagi seluruh orang terlepas dari apa pun kepentingannya, atau dengan kata lain prinsip utility tersebut berusaha untuk mempromosikan atau mengedepankan kebahagiaan, utility ini juga dapat diartikan terhadap segala objek yang memiliki kecenderungan untuk menghasilkan keuntungan, kelebihan, kenikmatan, kebaikan dan kebahagiaan. Untuk mencegah terjadinya penyelewengan, kejahatan atau ketidakbahagiaan maka kepentingan kelompoklah yang diutamakan, karena kelompok tersebut dapat dikategorikan sebagai komunitas secara umum, oleh sebab itu kebahagiaan komunitas merupakan kebahagiaan individu dalam 21 Ibid., hal. 3 komunitas tersebut secara khusus. Mengenai hal ini Bentham menyebutkan:

  22

"The principle of utility is meant that principle which approves or

disapproves of every action whatsoever. According to tendency it

appears to have to augment or diminish the happiness of the party

whose interest is in question: or, what is the same thing in other

word to promote or to oppose that happiness....by utility is meant that

property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage,

pleasure, good or happiness....to prevent the happening of mischief,

pain, evil or unhappiness to the party whose interest is considered:

if the party be the community in general, then the happiness of the

community"

  Idealnya kebebasan sipil haruslah dinikmati sebagai hak yang dijamin dengan pembatasan oleh kekuatan legislasi dan konstitusi yang demokratis, ide ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk " A Fragment on Government", yang menampakkan ketidakmustahilan dalam segala bidang yang mengarah kepada kedigdayaan kebebasan berlegislasi di suatu negara. Perbedaan antara pemerintahan yang bebas dan lalim, tidak dipandang dari setiap pembatasan yang dilakukan oleh pemerintahan tersebut, akan tetapi secara halus dapat dilihat dari pendistribusian kekuasaan dalam pemerintahan tersebut dan kesepakatan-kesepakatan politik yang dilakukan demi menjamin praktik kekuasaan pemerintah tersebut dalam mencapai tujuan " the greatest happiness of the greatest

  

number", hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Hart dalam

  bukunya yang menyatakan bahwa:

  

23

"Civil liberty must be enjoyed as a right secured by the limitations of

the legislature's powers and by a fully democratic constitution...ideas

which appear in an expanded form in the fragment in government

22 Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Kitchener, 2000, hal. 14. 23 H.L.A. Hart, Op.Cit., hal. 63

  

and urges that there is no absubdity at all in saying that the

legislature of a free country is omnipotent. The distinction between

free and despotic government is not to be sought in any limitation

of governmental power, but in the manner in which the whole

power is distributed amongst those who must combine to exercise

it, and in other political arrangements to secure that the exercise of

governmental power will aim at the greatest happiness of the greatest

number".

  Ide utama kaum utilitarianisme ini adalah untuk mengklaim bahwa ada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan tak terbantahkan lagi, bahwa setiap manusia memiliki hak-hak yang tak dapat dihilangkan atau digantikan yaitu hak untuk menikmati hidup dan kebebasan untuk mengejar kebahagiaan dan juga kebutuhan akan adanya pemerintahan, karena dalam praktiknya harus dilakukan pembatasan terhadap hak-hak tersebut supaya setiap orang tidak menyalahgunakan haknya kepada orang lain yang juga ingin sama- sama mengejar kebahagiaan. Mengenai hal ini bandingkan dengan

  24

  pendapat Hart yang menyatakan bahwa:

  

"Bentham's main attack consist of a claim that there is an

unexplained and indefensible inconsistency in both asserting that

men have inalienable rights to enjoy life and liberty and to pursue

happiness and also accepting the necessity of government, since the

exercise of the powers which every government must have and use

will at times involve the taking of life, the limitation of liberty, and

the interference with the ways in which men choose to pursue their

happiness"

  Upaya pencapaian kebahagiaan tersebut menurut para utilitarian harus juga dilakukan dengan mengedepankan prinsip egalitarian, karena utilitarianisme tidak akan tercapai tanpa adanya egalitarianisme, maka segala perbedaan yang muncul baik secara personal maupun partial, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh 24 Ibid., hal. 64. Marshall yang menyatakan " it has been said also that utilitarianism

  

ignores the difference among persons, taking impersonality for

  25

impartiality". Upaya untuk memaksimalisasikan utilitarianisme

  ini pada intinya bertujuan untuk mempromosikan kebahagiaan dan kesejahteraan sebanyak dan sebisa mungkin, sehingga disatu sisi prinsip utility ini selalu mengedepankan kebahagiaan sebagai segala-galanya, mengenai hal ini Lyons berpendapat bahwa " a theory

  

known lately as act utilitarianism, this doctrine says that we must

always maximize utlity, that is, promote human happiness or welfare

as much as it is possible...on the one hand, principle of utility says that

  26 happiness is the ultimate good".

  Oleh karena itu menurut Bentham upaya mempromosikan kebahag iaan di dalam suatu masyarakat adalah ur usan pemerintah melalui mekanisme pemberian hukuman dan hadiah atau penghargaan, karena pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap hal tersebut, terhadap penekanan pada pemberian hukuman dalam hal ini hukuman hanya diberikan kepada setiap tindakan yang memiliki kecenderungan untuk membahayakan kebahagiaan, sementara itu hadiah atau penghargaan diberikan kepada setiap tindakan yang memiliki kecenderungan untuk membawa kebahagiaan. Mengenai hal ini bandingkan dengan

  27

  pendapat Bentham yang dalam bukunya yang menyatakan bahwa:

  

"The business of government is to promote the happiness of the

society, by punishing and rewarding. That part of its business which

consist in punishing is more particulary the subject of penal law. In

proportion as an acts tends to disturb that happiness....the general

tendency of an act is more or less pernicious, according to the sum

total of its consequences: that is, according to the difference between

25 the sum of such as are good, and the sum of such as are evil".

  Harlan B. Miller and William H. Williams, The Limits of Utilitarianism, First Published, University of Minesota Press, Minneapolis, 1982, hal. 38. 26 27 Ibid., hal. 44–45.

  Jeremy Bentham, Op.Cit., hal. 62. Di antara banyak pemikiran Bentham ada satu pandangannya yang ditujukan kepada kebingungan konseptual yang melekat pada doktrin hak-hak alami yang dicakup oleh semua bentuk kepercayaan tentang hak, yang sering dikatakan tidak berasal dari hukum positif. Menurut Bentham hak adalah hasil dari hukum dan hanya hukum sendirilah yang dapat menghasilkan hak, dengan kata lain tidak ada hak tanpa hukum dan tidak ada hak yang bertentangan dengan hukum, yang mana dalam hal ini Bentham mendeskripsikan bahwa hak sama dengan hak hukum, hal ini sebagaimana yang dijelaskan

  28

  oleh Hart yang menyatakan:

  

"In most of the many different formulations of his criticism Bentham's

account of the conceptual confusion which he took to be inherent in

the conceptual confusion which he took to be inherent in the doctrine

of natural rights embraced all forms of the belief in rights which were

not the creatures of positive law. Rights are the fruits of the law and

of the law alone; there are no rights without law-norights contrary to

law-no rights anterior to the law....at times Bentham simply asserts

that right and legal right are the same"

  Pandangan Bentham tersebut ditujukan tidak hanya untuk menentang teori-teori politis tentang keuniversalitasan hak manusia atau hak asasi manusia, yang mana ke semua hal tersebut mengarah kepada perlindungan hak yang dimiliki oleh setiap manusia dalam melakukan kepentingan-kepentingan dasar mereka, seperti kebebasan, keamanan, dan mengejar atau mencari kebahagiaan ( pursuit of happiness), yang mana fungsi dari pemerintahlah untuk melindungi serta menjamin ke semua hal tersebut. Pemikiran Utilitarianisme Bentham telah lama menjadi sumber kebijakan sosial yang progresif dan merupakan sumber intelektual utama dari kritikan terhadap hukum kita yang belum seutuhnya membangun teori hak-hak individual, secara jernih teori utiliti tersebut dapat dibandingkan dengan dalam artikulasi yang detail yang dipraktikan 28 H.L.A. Hart, Op.Cit., hal. 82. oleh manusia. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Hart

  29

  yang menyebutkan:

  

"Bentham's utilitarianism has so long been a source of progressive

social policy and the main intellectual support of the critism of our

law that we have not yet developed a theory of individual rights,

comparable with utilitarian theory in clarity, in detailed articulation

and in appeal to practical men"

  Hadirin yang Saya Hormati,

  Di sisi lain dalam bidang bisnis dan ekonomi syariah persoalan riba, maisyir, gharar dan segala bentuk turunannya menjadi satu yang selalu menarik untuk dikaji. Riba menurut bahasa berasal dari kata Rabaa' – yarbuu, riba – an yang berarti Az Ziadah, tambahan,

  30

  bertambah atau tumbuh. Menurut istilah syara' ialah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau

  31 tidaknya menurut aturan syara', atau terlambat menerimanya.

  Praktik bunga dalam pinjam meminjam uang menurut sebagian ahli Hukum Islam telah memenuhi kriteria riba yaitu riba nasi'ah,

  32

yang haram hukumnya. Mekanisme bunga adalah penerapan

  harga sewa atas uang yang dipinjam oleh debitur dengan menentukan perbandingan tertentu keuntungan untuk bank dari

  33

  jumlah pokok dana yang dipinjam. Riba tidak hanya penarikan bunga sebagaimana kita pahami secara faktual dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga meliputi kontrak yang tidak memenuhi asas proporsional, janji positif dan pendzaliman ekonomi. 29 30 H.L.A. Hart, Ibid., hal. 39.

  Muhammad Mahmud Bably, Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam, terjemahan Abdul Fatah Idris, Kalam Mulia, Jakarta, 1989, hal. 150, 167 31 32 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, 1992, hal. 292 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Inonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa'idah). 33 Edy Wibowo, Untung Hendy Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah, Ghalia Indonesia, Bogor, September, 2005, hal. 99. Model ekonomi Islam yang pertama dirumuskan sebagai bentuk penolakan terhadap bunga bank ialah perbankan syariah. Perbankan syariah merupakan salah satu doktrin ekonomi Islam sebagai hasil ijtihad atas sumber-sumber naqliy. Guna memahami perbankan syariah, maka pengkajian tentang riba merupakan hal yang penting. Riba berarti bertambah, yakni tambahan atas modal. Ketentuan nash yang mengharamkan riba itu bersifat umum yang meliputi riba untuK konsumtif dan produktif.

  Pada tanggal 16 Desember 2003 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang dikukuhkan pada 6 Januari 2004. Fatwa tentang bunga bank adalah riba bukanlah wacana baru bagi umat Islam. Di kalangan ulama, masalah bunga bank ini masih kontroversial Pada tahun 2008 telah terdapat perkembangan yang fenomenal dengan diundangkan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang lebih banyak mengatur tentang sisi administratif pendirian dan pengurusan bank, Sedangkan substansi kontraktual dalam bidang perbankan lebih banyak merupakan inovasi dinamis yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Perbankan Syariah.

  Hadirin yang Saya Hormati,

  Berdasarkan Pasal 2 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah ditentukan bahwa Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 3 ditentukan bahwa Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 ditentukan bahwa, Bank Syariah dan Undang-Undang Syariah (UUS) wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Bank Syariah dan Undang-Undang Syariah (UUS) dapat

  baitul mal, yaitu

  menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf ( nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

  Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai usaha pokok berupa menghimpun dana dari masyarakat untuk kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah berdasarkan pasal 1 angka 13 Undang-undang Perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil ( mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal ( musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan ( murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain ( ijarah wa iqtina).

  Fungsi bank sesuai dengan Pasal 3 Undang-undang Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Fungsi utama dari perbankan ini dimaksud adalah fungsi Intermediasi yakni penghimpunan dana masyarakat dalam dunia perbankan memegang peranan penting di samping melakukan penyaluran dana

  Dual Banking System yang dianut di Indonesia menyebabkan adanya dua jenis bank Bank Konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, dan Bank Syariah yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan usaha bank selaku intermediary institution, yaitu menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling utama karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan kegiatan usaha kredit,

  34

  yaitu berupa bunga. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan bank konvensional akan jauh berbeda dengan usaha yang dilakukan oleh bank berdasarkan prinsip syariah.

  Setiap pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah diwujudkan dalam bentuk tertulis (perjanjian pembiayaan), perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah debitur. Di bank syariah secara khusus pula terdapat model perjanjian telah dirumuskan pihak bank. Hal yang terkandung di dalam perjanjian itu harus sesuai dengan syariah, bukan karena kepentingan bank sebagai pihak yang lebih kuat walaupun hal itu tidak bisa dinisbikan. Bank syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional tunduk pada aturan umum tentang perbankan dalam hukum perbankan nasional. Dalam praktiknya terkadang perbankan syariah memakai aturan- aturan yang sudah lazim dipakai dalam dunia perbankan baik produk hukum nasional maupun lembaga hukum barat yang terus dipakai dalam praktik.

  Akad dalam bank syariah berasal dari kontrak sederhana dalam tradisi perdagangan saat Islam berkembang dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat penggunaannya, dan saat ini telah menjadi tulang punggung dalam sistem perbankan tanpa bunga. Dalam kontrak standar di bank syariah diantaranya mengalami pembaharuan atau tajdid.

  Bank Syariah termasuk dalam rumpun hukum muamalah. Aplikasi dan modif ikasi dalam bidang muamalah sangat 34 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 5, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 ., hal. 471. dimungkinkan karena pada dasarnya pada muamalah segala sesuatu boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Dalam hukum Islam terdapat maqasid asy-syariah yang berisi maksud atau tujuan dari disyariatkan hal tersebut. Guna mencapai tujuan itu, syariat Islam ada yang bersifat dinamis dalam artian dapat berubah sesuai kebutuhan. Ketentuan tentang muamalah khususnya yang menyangkut masalah perbankan kemungkinan untuk diijtihadkan sesuai kebutuhan zaman. Dalam konteks yang demikian, kontrak yang sebagian berdasarkan tradisi pada awal Islam bisa diaplikasikan prinsip-prinsipnya dalam produk perbankan dewasa ini. Namun terbuka luas untuk diaplikasi sepanjang masih dalam koridor diperkenankan. Harus diakui praktek Nabi itu merupakan kontrak yang sederhana yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi saat itu yang masih belum komplek. Jika berpedoman secara kaku terhadap praktek saat ini, maka transaksi bisnis hanya akan berjalan dengan sederhana saat itu. Suatu ketentuan syariat (hukum Islam) harus dilihat dalam dhuruf atau kondisi saat itu dan jangan sampai bentuk formalitas yang dirumuskan karena melihat kondisi saat itu menjadi kendala guna mencapai tujuan. Praktek kontrak yang banyak diaplikasi dalam bank Islam berasal dari model-model kontrak pada abad pertengahan yang dikembangkan oleh para ahli hukum saat itu dengan melihat kondisi perekonomian pada abad ini yang begitu komplek dan canggih, maka prinsip-prinsip itu harus direformulasikan sesuai dengan kondisi saat ini dengan tetap berpedoman pada rambu-rambu yang telah digariskan. Dalam bidang perbankan rambu-rambu yang harus dipenuhi ialah adanya unsur riba, maisir (judi), gharar (ketidakpastian). Transaksi dalam bank syariah tidak boleh mengandung unsur gharar, maysir, riba,

  

zalim, risywah, barang haram, dan maksiat. Karakteristik operasi

  bank syariah melarang bunga ( riba), yang bersifat tidak transparan ( gharar) dan spekulatif (maysir), dan segala turunannya.

  Jasa dan layanan perbankan telah menyatakan cukup kuat dan dengan kemajuan teknologi dimanfaatkan untuk mencipta beragam fasilitas pelayanan nasabah diantaranya ATM, Debit Card dan Credit Card. Peluang ini tentunya tidak bisa diabaikan bank syariah, yang bersifat fleksibel tentunya bisa dilakukan pakar Hukum Ekonomi

  35 Islam agar Bank Syariah tidak ketinggalan kereta. Peluang untuk

  mencapai kemaslahatan sebagai tujuan syariah akan tercapai apabila kita berinovasi terus menerus untuk membuat sesuatu yang berpedoman pada syariah dan tidak hanya mensyariahkan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan syariah.