Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut T1 712008002 BAB II

BAB II
PENDEKATAN KONSEPTUAL
Menurut Walgito, pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar
atau dibaca dalam media massa.1 Namun kalau ditanyakan apa yang dimaksud dengan istilah
tersebut, maka biasanya orang akan berpikir terlebih dahulu untuk mendapatkan jawabannya,
walaupun sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran dengan jelas.
Sebagaimana disebutkan Aristoteles antara lain, bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon
politicon), sehingga membutuhkan hubungan dengan sesamamanusia lain. Dalam lingkup

sosialnya, ia terikat pada aturan hidup (norma) yang ada dalam suatu masyarakat. Maka dari itu
perkawinan merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan hal tersebut.2 Dengan demikian
dapat dikemukakan, bahwa hal tersebut tidak terlepas dari kompleks tata kehidupan serta pranata
(institusi) yang berlaku, sesuai dengan kepercayaan yang dianut komunitas tertentu.
A. Pengertian Perkawinan
Sebagaimana telah disinggung di atas, sebuah perkawinan bukan hanya sekedar
merupakan salah satu norma kesusilaan, melainkan juga sebuah pranata (institusi) yang terkait
dengan nilai-nilai budaya setempat. Menurut Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip oleh
Walgito, “perkawinan”=„nikah;sedangkan ia mengutip Purwadarminta(1976), yang menyatakan
bahwa “kawin” = perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Menurut Hornby
(1957) marrage: the union of two persons as husband and wife. Ini berarti bahwa perkawinan


adalah bersatunya dua orang sebagai suami istri. Hal lain yang perlu dilihat adalah bahwa
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah:
1
2

Prof Dr. Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta: Andi), 11
Ibid, 22

11

“ ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa”.3
Hal ini ditegaskan juga oleh H. Khairuddinantara lain dalam bukunya Sosiologi
Keluarga , bahwa bukan hanya sekedar suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan untuk hidup bersama dalam bentuk rumah tangga atau keluarga konjugal. Tetapi juga
mempengaruhi pola kekerabatan dan hubungan tertentu antara keluarga laki-laki dan keluarga
wanita. 4 Jadi, perkawinan dalam tahapan-tahapan akan mencakup pertalian antar keluarga yang
semakin luas. Hal ini diperkuat dengan argumen seorang ahli antropologi yakni I.M. Lewis, yang

mengungkapkan antara lain, bahwa perkawinan secara langsung membangun hubungan yang tak
berkesudahan antara keluarga laki-laki dan perempuan. 5
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dimana komunitas itu berada. Ia dipengaruhi
oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat yang
bersangkutan.6 Terlepas dari hal-hal sebagaimanadi atas, secara imaniah tersebut kita percaya,
bahwa perkawinan yang sejati adalah sebuah perikatan yang dipersatukan oleh Tuhan. Sebab
secara dogmatis kita percaya, bahwa apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh
diceraikan oleh manusia (Matius 19:6).
B. Perkawinan dari sudut pandang sosiologi
Manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu
proses atau pranata (institusi) yang disebut Perkawinan. Karena melalui hal itu menyebab adanya

3

Ibid, 11
H. Khairuddin, Sosiologi Keluarga, (Yogyakarta: Liberty, 2008), 90
5
Ralp Linton, Antropologi-Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung: Jemmars, 1984), 161
6

Hadikusuma, Hukum, 1.

4

12

keturunan yang baik dan sah. Keturunan yang baik dan sah kemudiandapatterciptanya suatu
keluarga yang baik dan sah pula dan kemudian akhirnya berkembang menjadi kerabat dan
masyarakat yang baik dan sah pula. 7
Perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekedar terkait dengan hubungan seksual
antara dua orang dewasa yang berbeda kelamin, sebagaimana halnya dengan makhluk ciptaan
yang lainnya.Akan tetapi institusi ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan
kekal.Bahkan dalam pandangan komunitas adat setempat, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk
membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan
damai.
Prof. Dr. Soekanto, S.H antara lain menegaskan, bahwa “Perkawinan itu bukan hanya
suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang
menikah) saja, tetapi juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya”.8

Seringkali dalam masyarakat kita mendengar, bahwa yang kawin sesungguhnya adalah keluarga

dengan keluarga.Hal yang disebut terakhir (dilihat dari prespektif betapa banyaknya aturanaturan yang harus dijalankan dan yang berhubungan dengan adat istiadat setempat).
1. Aturan Mengenai Perkawinan
Setiap kelompoklingkup sosial mengenal seperangkat aturan mengenai perkawinan. Ada
ketentuan, misalnya, mengenai apakah jodoh harus berasal dari anggota kelompok sendiri,
ataukah harus dari kelompok lain.Dan siapa di antara anggota kelompok sendiri yang boleh atau
tidak boleh dinikah.Mengenai jumlah orang yang boleh dinikah pada waktu yang sama,mengenai
tempat menetap setelah perkawinan, tidak terkecuali mengenai penentuan garis keturunan.
7
8

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2009), 221
Prof. Dr. Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 1983) 219

13

2. Bentuk Perkawinan
Pada dasarnya kita mengenal dua macam bentuk perkawinan: Monogami (perkawinan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan pada saat yang sama) dan Poligami
(perkaiwnan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempauan pada waktu yang sama, atau
antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki orang laki-laki pada waktu yang sama).9

Aturan lain yang berlaku dalam hubungan perkawinan ialah eksogami (exogamy) dan endogami
(endogamy). Eksogami merupakan sistem yang melarang perkawinan dengan anggota kelompok,
sedangkan endogami merupakan sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota
sekelompok. Kewajiban atau anjuran untuk menikah dengan seroang dari kelompok ras, agama,
suku, kasta atau kelas sosial sendiri merupakan suatu bentuk aturan endogami, sedangkan
larangan untuk menikah dengan seseorang dari klen yang sama merupakan suatu bentuk aturan
eksogami. 10
3. Aturan mengenai Keturunan
Dalam hal penarikan garis keturunan kita mengenal aturan patrilineal, bilateral,
matrilineal, dan keturunan rangkap (parental). Pada system patrilineal, yang menurut Murdock
merupakan system yang paling banyak dijumpai, garis keturunan ditarik melalui laki-laki. Pada
system bilateral, yang banyak dijumpai pada berbagai masyarakat meskipun tidak sebanyak
system patrilineal, garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki dan perempuan. Pada system
matrilineal garis keturunan ditarik melalui perempuan. Pada system keturunan rangkap garis

9

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi. (Jakarta: Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, 2004) 62
Ibid, 62-63


10

14

keturunan ditarik,baik melalui garis laki-laki secara patrilineal,maupun melalui garis perempuan
secara matrilineal. 11
4. Pola Menetap
Di mana pasangan menetap setelah menikah? Mengenai hal ini dikenal pola yang
berbeda-beda, yaitu pola patrilokal, pola matri-matrilokal, pola patri-matrilokal, pola bilokal,
pola neolokal. Pada pola patrilokal pasangan yang baru menikah menetap bersama keluarga
pihak laki-laki. Pada pola matri-patrilokal pasangan yang baru menikah menetap bersama
keluarga pihak perempuan, tetapi kemudian pasangan menetap bersama keluarga pihak laki-laki.
Pada pola matrilokal pasangan menetap bersama keluarga pihak perempuan. Pada pola patrimatrilokal pasangan yang baru menikah semula menetap di keluarga pihak laki-laki, dan
kemudian pindah ke keluarga pihak perempuan. Pola bilokal ialah pola yang di dalamnya
pasangan yang baru menikah dapat memilih untuk menetap di keluarga laki-laki ataupun
perempuan. 12
5. Fungsi Keluarga
Sebagaimana kita tahu bahwa, keluarga juga mempunyai fungsi dan menjalankannya.
Pertama, keluarga berfungsi untuk mengatur penyaluran dorongan seks. Tidak ada masyarakat


yang memperbolehkan hubungan seks sebebas-bebasnya antara siapa saja dalam masyarakat.
Kedua, reproduksi berupa pengembangan keturunan pun selalu dibatasi dengan aturan yang

menempatkan kegiatan ini dalam keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi untuk menyosialisasikan
anggota masyarakat baru, sehingga dapat memerankan apa yang diharpkan darinya. Karena
peran keluarga dalam pembentukan diri seseorang sangat besar. Keempat, keluarga mempunyai
11
12

Ibid, 64
Ibid, 67

15

fungsi afeksi, dimana keluarga memberikan cinta kasih kepada seorang anak. Berbagai studi
telah memperlihatkan bahwa seorang anak yang tidak menerima cinta kasih dapat berkembang
menajadi penyimpangan, menderita gangguan kesehatan dan dapat meninggal. Kelima, keluarga
memberikan perlindungan kepada anggotanya, baik perlindungan fisik maupun yang bersifat
kejiwaan. 13
6. Perkawinan Campuran

Istilah perkawinan campuran terdapat beberapa perbedaan pengertian, di antara yang
dinyatakan dalam perundangan dan yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari. 14
Yang dinamakan perkawinan campur, ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia
tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan, Ini hanya pengertian umum dari perkawinan
campuran. Yang mau dilihat disini adalah istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan
anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa
yang bhineka, atau karena perbedaan agama antar kedua insan yang akan melakukan
perkawinan, perbedaan adat, misalnya perkawinan antara seorang pria/wanita Ambon dengan
seorang pria/wanita Batak.
6.1 Perkawinan Campuran Menurut Adat
Perkawinan campuran menurut pengertian hukum adat, yang sering menjadi
pembicaraan masyarakat ialah “perkawinan antar adat”, yaitu perkawinan yang terjadi
antara suami istri yang adat istiadatnya berlainan, baik dari dalam kesatuan masyarakat

13
14

Ibid, 6
Hilman,Perkawinan, 13.


16

hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah
asal/suku bangsanya berlainan. 15
Perkawinan campuran dalam satu kesatuan suku bangsa dengan adat yang
berlainan, misalnya antara seorang laki-laki Ambon yang tidak mempunyai adat dengan
perempuan pesisir Ambon yang menganut tradisi adat kental. Penyelesaian perkawinan
campiran antara adat ini, sering menimbulkan perselisihan, yang berakibat mengganggu
kerukunan hidup antara keluarga/kerabat besar, walaupun kedua suami istri yang terikat
perkawinan mungkin dapat rukun karena saling cinta mencintai.Namun di antara para
pihak orang tua tidak terjalin hubungan yang akrab. Adakalanya perkawinan itu terjadi
karena terpaksa, bukan karena dua sejoli sudah sulit untuk dipisahkan.Tetapi dikarenakan
orangtua/keluarga pihak perempuan terpaksa mengalah dikarenakan anaknya sudah
hamil.
C. Perkawinan dari sudut pandang antropologi
Dalam ilmu Antropologi, yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis antara
lain, adat istiadat, budaya, dan manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Ketika manusia ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan.
Terlepas dari suatu budaya dan peradatan yang mereka pegang dan taati. Kehidupan sekelompok
orang yang melakukan perkawinan harus beralaskan dengan pranata (institusi). Perkawinan

bukan saja menyangkut kesiapan materi dari kedua pasangan, atau kesiapan iman untuk masuk
biduk rumah tangga, tetapi perkawinan juga menyangkut hubungan antara kedua pihak mempelai
seperti saudara-saudara mereka atau keluarga mereka lainnya.

15

Ibid, 16

17

1. Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk
mempertahankan dan meneruskan keturunan, menurut garis kebapakan atau keibuan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian,
dan untuk memperoleh kewarisan. Yang menjadi dasar terjadinya perkawinan pada kampung
Titawai-Nusalaut adalah faktor ekonomi, pendidikan, maka banyak orang melakukan hal tersebut
untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.
2. Adat Pelamaran dalam Hukum Perkawinan Adat
Merupakan suatu tata cara melakukan pelamaran sebelum berlangsung acara
perkawianan secara hukum adat. Dalam hukum adat ditentukan bahwa sebelum melangsungkan

ikatan perkawinan guna membentuk sebuah rumah tangga bahagia, seseorang harus terlebih
dahulu melakukan pelamaran dari pihak yang satu ke pihak yang lain menurut tata cara adat
masing-masing masyarakat adat. Cara melamarnya, biasanya dilakuakan terlebih dahulu oleh
pihak yang akan melamar dengan mengirim utusan atau perantara perempuan atau laki-laki. 16
Dalam acara adat pelamaran juga digunakan seperangkat simbol tanda lamaran,yang
biasanya terdiri dari “sirih pinang” (tapak sirih), sejumlah uang (mas kawin, uang adat), bahan
makanan, bahan pakian dan perhiasan. Peralatan tanda lamaran ini disampaikan oleh juru bicara
pihak pelamar kepada pihak yang dilamar, dengan bahasa dan peribahasa adat yang santun dan
sopan serta penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang serta
hubungan kekerabatannya satu persatu dengan mempelai laki-laki. Begitu pun sebaliknya dengan

16

C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar, (Bandung: Rafika Aditama,2010), 67

18

pihak yang dilamar. Setelah selesai kata-kata sambutan dari kedua belah pihak, maka barangbarang tanda lamaran itu diteruskan kepada tua-tua adat keluarga.
3. Perkawinan menurut hukum adat
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti
“perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan
kekerabatan dan ketetanggaan”. Oleh karenanya Dewi Wulansari mengutip kata-kanya Ter
Haarantara lain menyatakan, bahwa “perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga,
urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi. 17 Dan begitu pula ia menyangkut urusan
keagamaan. Jadi bagi orang Indonesia perkawinan ini bukan soal mudah, perkawinan
menyangkut banyak aspek, menyangkut nilai hidup, harga diri, kehormatan. Perkawinan bukan
soal seni atau keindahan, apalagi jika dianggap seperti permainan, sehingga orang boleh kawin
tanpa nikah atau beranak tanpa ayah yang sah. Oleh karena itu masyarakat bangsa Indoensia
sejak zaman leluhur, perkawinan sudah merupakan hal yang suci, soal yang bernilai tinggi, yang
akan menentukan kebahagiaan hidup selanjutnya. 18 Sebagaimana dikatakan oleh van
vollenhoven antara lain bahwa “dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hokum dan kaidahkaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan
manusia”.19
Dalam hal ini perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum
ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan
pelamaran yang merupakan “rasa sanak” (hubungan anak-anak, bujang gadis) dan rasa tuha
17

Ibid,. hal 8
Hadikusuma, Pokok-pokok pengertian hukum adat, (Bandung: penerbit Alumni, 1980),141
19
Ibid, 9

18

19

(hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri).20 Setelah terjadi ikatan
perkawinan, maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota
keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam hal pelaksanaan upacara adat dan

selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan kelanggengan
dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawianan
Dalam masyarakat hukum yang merupakan suatu kesatuan susunan rakyat, dalam hal ini
masyarakat dusun dan wilayah, perkawinan anggota-anggotanya itu adalah suatu peristiwa
penting dalam proses masuknya seseorang menjadi inti social dari masyarakat itu. 21 Surojo
Wignjodipoeri juga menjelaskan antara lain, bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan dilihat
bukan hanya merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya mendapat perhatian
serta disaksikan oleh suatu yang berhubungan dengan harapan kepada arwah-arwah leluhur dari
kedua bela pihak.22
Perkawinan menurut beberapa antropolog khususnya Gough (1959) adalah: suatu
transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seseorang (pria atau wanita, korporatif atau
individu, secara pribadi atau melalui wakil) memiliki hak secara terus-menerus untuk

menikah23. Perkawinan itu bisa mengikat berbagai macam hak dan hubungan menjadi satu.
Perkawinan mengatur hubungan seksual, menentukan kedudukan sosial individu-individu dan
keanggotaan mereka dalam kolompok, menentukan hak-hak dan kepentingan yang sah dan
menghubungankan individu dengan kelompok kekerabatan di luar kelompoknya sendiri.

20

Hilman, Pokok-pokok pengertian hokum adat, (Bandung: penerbit Alumni, 1980),9 bandingkan dengan thn
1997:28/41
21
Ter Haar, Asas-asas da Susu a Huku adat,…., 1
22
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), 122.
23
Roger M Keesing, Antropologi budaya, suatu prespektif Kontemporer Vol II (Jakarta: Gramedia, 1981), hl 6

20

Budaya perkawinanan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta
pergaulan masyarakatnya. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja
dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama yang dianut
oleh masing-masing masyarakat.Maka dari itu, hukum adat tentang perkawinan harus dipatuhi
dan dijalankan oleh semua masyarakat adat, karena kepatuhan kepada adat perkawinan
merupakan juga suatu kepatuhan kepada leluhur. Oleh sebab itu, dengan adanya pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh masyarkat adat terhadap adat perkawinan dikenakan sanksisanksi adat yang berlaku pada masyarakat dimana mereka berada.
4. Mas Kawin
Salah satu persyaratan perkawinan dalam banyak masyarakat ialah harus adanya mas
kawin atau bride price. Tiap masyarakat juga mempunyai aturan-aturan tersendiri mengenai mas
kawin. Di Indonesia, istilah bride price disebut mas kawin, mungkin oleh karena di banyak adat
istiadat suku-suku bangsa terutama di daerah sumatra, untuk pelaksanaan perkawinan pihak lakilaki harus membayar atau memberikan sejumlah benda berharga berupa emas kepada pihak
keluarga atau kerabat dari permpuan. 24
Mas kawin pada tiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Tetapi prinsip mas kawin
atau imbalan harus diberikan laki-laki kepada pihak permpuan. Imbalan tersebut dianggap
sebagai pembayaran jasa-jasa dari pihak Ibu si wanita dan kerabatnya dalam membesarkan anak
perempuannya. Jadi mas kawin dianggap sebagai suatu pengganti untuk adanya keseimbangan.

24

Samuel Patty, Pengantar Antropologi Agama, mata kuliah antropologi agama, (Fakultas Teologi, UKSW, 2000),
Hal 28

21

Besar kecilnya mas kawin tentu tidak sama untuk semua kelompok suku karena ada yang
mahal sekali hingga mencapai juataan rupiah. Mas kawin itu juga biasanya tidak dibayar oleh
keluarga pihak laki-laki, tetapi dikumpulkan oleh semua anggota kerabat laki-laki. Itu sebabnya
perkawinan itu bukanlah hanya merupakan urusan daripada mereka yang akan kawin saja, tetapi
adalah merupakan urusan kerabat dari kedua belah pihak.Biasanya selain pihak laki-laki
memberikan mas kawin, pihak perempuan juga kemudian membalasnya dengan memberikan
sejumlah benda atau makanan sebagai imbalan.
5. Perbedaan dan Persamaan dari Sosiologi dan Antropologi mengenai Pernikahan
Perbedaan dari kedua sudut pandang diatas adalah, bahwa sosiologi berbicara mengenai
manusia secara kemasyarakatan atau kelompok manusia yang bermasyarakat sebagai mahluk sosial yang
berinteraksi dengan sesama masyarakat lainnya. Karena sosiologi mengandung sifat-sifat manusia

yaitu perilaku dan perkembangan suatu komunitas. Baik itu sistem, interaksi, kekuasaan, mata
pencaharian, karakter kelompok. Sedangkan antropologi mau melihat manusia baik dari bentuk
fisik dan keanekaragaman etnik budayanya secara keseluruhan sebagai mahluk sosial.Persamaan dari

kedua ilmu ini, mereka sama-sama berbicara mengenai suatu kelompok masyarakat dengan
kebudayaannya.

22

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut T1 712008002 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut T1 712008002 BAB IV

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut T1 712008002 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi tentang Adat Kain Berkat di Nalahia

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi tentang Adat Kain Berkat di Nalahia T1 712007010 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi tentang Adat Kain Berkat di Nalahia T1 712007010 BAB II

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi tentang Adat Kain Berkat di Nalahia T1 712007010 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi tentang Adat Kain Berkat di Nalahia T1 712007010 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi tentang Adat Kain Berkat di Nalahia

0 0 3