KOMPETENSI LITERASI INFORMASI PUSTAKAWAN UNIVERSITAS SWASTA DI LINGKUNGAN KOPERTIS WILAYAH III

(1)

KOMPETENSI LITERASI INFORMASI PUSTAKAWAN

UNIVERSITAS SWASTA DI LINGKUNGAN

KOPERTIS WILAYAH III

Oleh:

Dhama Gustiar Baskoro dan Esterina Jonatan (Pustakawan Universitas Pelita Harapan) Abstrak

Dengan terjadinya kelimpahruahan informasi yang tidak terbendung dan tersebar luas, kompetensi literasi informasi menjadi unsur penting yang harus dimiliki bagi lulusan perguruan tinggi agar siap bekerja di berbagai bidang profesi dan pekerjaan di abad informasi ini. Kompetensi literasi informasi tersebut terdiri dari aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan memiliki kompetensi literasi informasi seseorang akan mampu mencari, mengevaluasi, mengorganisasikan serta menggunakan informasi secara efektif dan beretika. Mengingat pentingnya hal tersebut, pustakawan universitas seyogianya memiliki kompetensi literasi informasi agar bisa mempersiapkan dan melatih pemustaka menjadi seorang yang berpikir kritis dan pembelajar seumur hidup. Selain itu pustakawan dituntut untuk memiliki kompetensi tersebut karena telah dijadikan standar kompetensi pustakawan baik di Indonesia maupun di mancanegara. Dan dengan memiliki kompetensi literasi informasi pustakawan pun akan siap dalam menghadapi persaingan di era terbuka Masyarakat Ekonomis ASEAN 2015.

Berdasarkan permasalahan tersebut, kajian ini diadakan dengan tujuan untuk mendapatkan diskrepansi kompetensi pengetahuan dan keterampilan literasi informasi pustakawan universitas swasta di lingkungan wilayah Kopertis III yang terjadi di lapangan dengan standar kompetensi American College Research Libraries (2000). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen tes (pengetahuan dan keterampilan) dan diskusi Forum Group Discussion. Uji tes pengetahuan akan difokuskan pada pemahaman responden terhadap konsep literasi informasi. Sedangkan uji keterampilan responden akan difokuskan pada pemecahan masalah dari kasus-kasus yang membutuhkan aplikasi keterampilan literasi informasi. Untuk menghasilkan butir-butir tes yang valid dan reliable, maka diadakan uji butir tes pada 30 non responden. Sementara hasil diskusi FGD melengkapi analisis hasil uji tes. Metode kuantitatif deskriptif digunakan untuk mengelola instrumen-instrumen tersebut.

Dari hasil kajian diperoleh bahwa kompetensi literasi informasi 26 pustakawan responden yang berasal dari 26 universitas swasta dalam aspek pengetahuan menunjukkan tingkat baik dengan nilai mutu 2.71 dari rentang 1-4 pada semua indikator literasi informasi. Sebaliknya kompetensi dalam aspek keterampilan menunjukkan nilai sangat rendah yaitu di rentang 32.48. Dengan demikian kajian ini menunjukkan bahwa terjadi diskrepansi di ranah keterampilan, dan bukan di ranah pemahaman. Padahal 77% responden berlatar belakang pendidikan minimal Sarjana Ilmu Perpustakaan. Untuk itu sesuai hasil FGD, pustakawan mendukung adanya semacam workshop, pelatihan atau pendidikan yang cukup serius berfokus pada semua keterampilan literasi informasi yang konkret dan aplikatif sehingga dapat digunakan di dalam operasional layanan perpustakaan. Selain itu juga diperlukan pelatihan pengembangan program pelatihan literasi informasi bagi pelatih (ToT) sertaadanya perbaikan kurikulum pembelajaran ilmu perpustakaan terutama mata kuliah literasi informasi untuk mempersiapkan lulusan pustakawan yang siap bekerja di abad 21 ini.


(2)

Pendahuluan

Berdasarkan Internet Live Stats pertumbuhan jumlah pengguna internet telah meningkat sepuluh kali lipat dari tahun 1999 sampai 2013. Pada tahun 2014 Indonesia menduduki peringkat ke-13 sebagai negara yang banyak menggunakan internet dengan total 42,258,824 orang atau sekitar 17% dari total penduduk. Sementara itu total situs yang ada telah mencapai 1 milyar pada 2014 dan rata-rata setiap detik Google memproses lebih dari 40,000 pencarian atau 3,5 juta pencarian setiap harinya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa ledakan informasi sudah tidak terbendung dan tersebar luas yang mengakibatkan data menjadi semakin kompleks dan beragam. (www.InternetLiveStats.com)

Dengan jutaan informasi yang tersedia setiap saat, apakah seseorang mampu mencari, mengevaluasi dan menggunakannya secara efektif? Sesungguhnya memiliki banyak informasi bukan berarti semua kebutuhan informasi bisa terpenuhi. Hal ini mungkin disebabkan informasi yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan; atau informasi yang tersedia tidak berguna karena isinya tidak mengandung kebenaran atau tidak dapat dipertanggungjawabkan; atau bahkan orang tersebut tidak tahu cara memperoleh informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kemampuan dalam mencari, mengevaluasi, mengorganisasikan serta menggunakan informasi secara efektif dan beretika menjadi kompetensi yang diperlukan tidak hanya bagi siswa, mahasiswa, guru, dosen, peneliti tetapi juga bagi pustakawan sendiri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, termasuk mengajarkan literasi informasi kepadapara pemustaka.

Sehubungan dengan kelimpahruahan informasi yang dinyatakan di atas, maka sudah seharusnya mahasiswa yang mengikuti perkuliahan juga memiliki kemampuan literasi informasi dalam belajar. Hal ini tidak saja mendukung mahasiswa yang bersangkutan untuk dapat belajar dan menyelesaikan studinya dengan efektif, namun hal itu akan mendukung mahasiswa untuk belajar berbagai keterampilan literasi informasi, mengakses dan membaharui pengetahuannya sebagai bekal untuk bekerja. (Solomon, Wilson, Taylor, 2012, h.5)

Dari beberapa masalah dan urgensi yang sudah dikemukakan di atas, maka kajian ini akan difokuskan untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: Sejauh manakah kompetensi literasi informasi pustakawan universitas swasta di lingkungan Kopertis Wilayah III?

Literasi Informasi

Bermula dari pernyataan Zurkowski, yang saat itu menjabat sebagai Presiden dari IIA (Information Industry Association) yang mengatakan di dalam laporannya kepada National Commission on Libraries and Information Science yang mengatakan bahwa "orang-orang yang terlatih untuk mengaplikasikan berbagai sumber informasi untuk pekerjaan mereka disebut literat informasi (melek informasi)" (Zurkowski, 1974, h.6). Selanjutnya dunia mengenal istilah literasi informasi sebagai sebuah kompetensi dari orang-orang yang secara khusus mampu menggunakan informasi secara tepat guna. Lebih lanjut, Zurkowski mengusulkan bahwa keterampilan literasi informasi harus diimplementasikan secara nasional karena urgensinya yang tidak dapat ditawar-tawar lagi berkaitan dengan prediksinya tentang perkembangan jumlah informasi baik dalam hal jumlah, media dan teknologinya yang akan terus meningkat.

Dua tahun kemudian yaitu 1976, dalam makalah yang dipresentasikannya dalam simposium di Texas A & M University Library's, Burchinal mengatakan: "Untuk menjadi seorang yang literat informasi dibutuhkan seperangkat keterampilan baru. Hal ini meliputi bagaimana menemukan dan menggunakan informasi yang dibutuhkan dalam pemecahan


(3)

masalah dan pengambilan keputusan secara efisien dan efektif". (Burchinal dalam Eisenberg, Lowe, & Spitzer, 2004, h.4).

Dalam penelitian yang diselenggarakan oleh Delphi Study dan dilaporkan kepada National Forum of Information Literacy, Christina Doyle menjelaskan definisi literasi sebagai "kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi dari berbagai sumber informasi yang variatif" (Doyle, 1992, h.2).

Dalam perkembangan selanjutnya, lahir beberapa definisi literasi informasi yang bertujuan untuk melengkapi berbagai aspek dan atribut keterampilan yang belum tercakup di dalam definisi-definisi sebelumnya. Beberapa definisi tersebut biasanya memiliki model atribut dan memiliki standar yang lebih detail untuk dapat digunakan sebagai acuan pengukuran literasi informasi yang lebih akurat dan dikembangkan oleh asosiasi pustakawan. Beberapa definisi literasi informasi dari beberapa asosiasi tersebut adalah:

• ALA (American Library Association) dalam Presidential Committee on Information Literacy: Final Report menyatakan bahwa "untuk menjadi manusia yang literat, seseorang harus mampu mengenali kapan informasi dibutuhkan dan memeiliki kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkannya dengan efektif." (ALA, 1989, h.1)

• SCONUL (The Society Of College, National and University Libraries):

"Manusia yang literat informasi akan mendemonstrasikan sebuah kesadaran bagaimana mereka mengumpulkan, menggunakan, mengatur, mensintesis, dan menciptakan informasi informasi dan data secara etis dan memiliki keahlian informasi untuk melakukannya dengan efektif." (SCONUL, 2011, h.3)

• CILIP (Chartered Institute of Library and Information Professionals):

"Literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa anda membutuhkan informasi, dimana menemukannya, dan bagaimana mengevaluasi, menggunakan dan mengkomunikasikannya dengan ber-etika" (CILIP, 2013)

Model dan Standar Literasi Informasi

Dengan definisi-definisi yang telah dijabarkan diatas, lebih lanjut akan dijabarkan definisi tersebut dalam bentuk keahlian yang lebih detail lagi berbentuk model dan framework(standar).

Model literasi informasi biasanya dibuat sebagai acuan pelaksanaan literasi informasi di sebuah institusi. Dengan adanya model maka tahapan literasi informasi menjadi lebih jelas. Keterampilan yang diharapkan untuk dikuasai oleh pemustaka juga lebih jelas, sehingga nantinya semua tahapan keterampilan yang dijadikan sebagai sesi pelatihan literasi informasi bisa dikembangkan lebih lanjut sesuai kebutuhan di institusi tersebut.

Sedangkan standar sama seperti model juga memberikan berbagai keterampilan literasi informasi untuk dijelaskan. Hanya saja, sebuah standar biasanya tidak hanya berisi berbagai tahapan atau keterampilan literasi informasi, namun juga mendaftarkan berbagai indikator keterampilan utama serta beberapa outcome(rincian hasil sebagai bukti penguasaan keterampilan tersebut). Karena standar memiliki rincian indikator keterampilan yang detail maka standar biasanya digunakan sebagai alat ukur dan evaluasi literasi informasi1.

Tiga model literasi informasi dapat dilihat seperti dibawah ini: • The Big6

• Model PLUS

1 Standar bisa digunakan sebagai benchmark atau tolak ukur penguasaan keterampilan literasi informasi dengan menggunakan skor dan kategori nilai.


(4)

• Model ISP (Information Search Procces)

Ada banyak standar literasi informasi yang sudah dikembangkan oleh berbagai institusi di dunia. Standar tersebut berbeda-beda disesuaikan dengan jenis institusinya seperti: perguruan tinggi, sekolah, perpustakaan khusus, perpustakaan umum dan sebagainya. Karena bidang institusi yang menjadi fokus penelitian ini adalah universitas maka dalam penelitian ini, survei dan tes yang kami gunakan akan mengacu kepada standar dari ACRL (Association of College and Research Libraries) sebagai berikut:

Standar yang dipublikasikan pada tahun 2000 ini merupakan standar serupa seperti standar yang dikembangkan oleh SCONUL. Standar ini dikembangkan oleh Asosiasi Perpustakaan Riset dan Perguruan Tinggi dibawah naungan American Library Association. Dalam perjalanannya, ACRL banyak merilis standar literasi informasi untuk berbagai subjek bidang ilmu di perguruan tinggi. Standar ini terdiri dari 5 butir standar, 22 indikator dan 87 hasil yang diharapkan (outcome).

Kompetensi

Pengertian kompetensi menurut konferensi tentang kompetensi di Johannesburg tahun 1995 adalah "sebuah gugus dari pengetahuan, keahlian dan sikap yang berhubungan dan mempengaruhi bagian utama pekerjaan seseorang (peran atau tanggungjawab), hal ini berkaitan dengan kinerja dalam pekerjaan yang dapat diukur menggunakan standar dan dapat diperbaiki melalui pelatihan dan pengembangan" (Parry, 1996 dikutip dalam Sanghi, 2007, h.33).

Menurut pengertian diatas, kompetensi memiliki tiga aspek yaitu, aspek pengetahuan, aspek keahlian, dan aspek afektif atau sikap. Hal yang sama juga dinyatakan dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) untuk perpustakaan tahun 2012, juga dinyatakan definisi kompetensi sebagai: "kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dapat terobservasi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan" (SKKNI, 2012, h.2). Definisi yang serupa juga dinyatakan oleh Pendit yang mengatakan bahwa pada dasarnya kompetensi merupakan penerapan (know what to do) dari pengetahuan (how to) seseorang akan bidang tertentu yang bersifat dinamis dan mengalami perubahan setiap saat sesuai kondisi sosialnya (Pendit, 2012, h.2).

Pada tahun 2009, American Library Association (ALA) menerbitkan sebuah pedoman kompetensi pustakawan yang disebut: Core Competences of Librarianship. Kompetensi inti ini diwajibkan bagi setiap pustakawan yang mendapat gelar program magister ilmu perpustakaan dan informasi dari semua universitas yang terakreditasi oleh ALA. Ada delapan kelompok kompetensi inti yang tertera di sana, dan kompetensi literasi informasi berada di dalam kelompok kompetensi referensi dan layanan pengguna (poin 5), menjadi salah satu kompetensi wajib bagi para pustakawan. Dinyatakan di dalam poin 5D, kompetensi yang disyaratkan adalah literasi informasi/teknik dan metode kompetensi informasi, literasi numerik, dan literasi statistik (ALA, 2009, h.3).

Di Indonesia, kompetensi literasi pustakawan dinyatakan juga dalam beberapa standar kerja pustakawan sebagai pengejawantahan UU No.43 tahun 2007 tentang perpustakaan. Beberapa standar tersebut antara lain adalah: Standar Nasional Indonesia (SNI), Standar Nasional Perpustakaan (SNP) dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, Hiburan dan perorangan lainnya Bidang Perpustakaan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).


(5)

Pustakawan

Mengacu kepada beberapa standar dan UU yang dikutip di bagian sebelumnya, yang dimaksud dengan pustakawan dalam penelitian ini adalah "seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan layanan perpustakaan". (UU No.43, th.2007; BSN, 2009; PNRI, 2011; SKKNI, 2012)

Pustakawan yang bekerja di perpustakaan perguruan tinggi diberikan acuan definisi yang lebih spesifik yaitu: "Pustakawan yang berpendidikan serendah-rendahnya sarjana di bidang ilmu perpustakaan dan informasi2, dan diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan di perpustakaan".

Jabatan ini dibedakan dengan tenaga teknis perpustakaan (serendah-rendahnya lulusan diploma dua (BSN, 2009), atau diploma tiga (PNRI, 2011) ilmu perpustakaan) dan tenaga administrasi perpustakaan yang merupakan staf yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kepustakawanan (BSN, 2009; PNRI, 2011)

Kajian Sejenis

Setidaknya ada tiga kajian sejenis yang ditemukan oleh peneliti mengenai pengukuran literasi informasi pustakawan dari berbagai sumber, yaitu sebagai berikut:

Skripsi yang berjudul "Literasi Informasi Pustakawan dan Kaitannya Dengan Faktor Internal Pustakawan: Studi Deskriptif Pada Pustakawan Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya" (Wulandari, 2011). Kajian dengan metode kuantitatif deskriptif ini dilakukan untuk mengukur tingkat kompetensi literasi informasi pustakawan dengan menggunakan standar ACRL yang disesuaikan (dimodifikasi) sesuai kebutuhan dan kondisi. Penelitian ini masih berfokus pada tataran pengetahuan literasi informasi. Hasilnya menjelaskan bahwa kompetensi literasi informasi pustakawan di Surabaya tergolong tinggi dan dipengaruhi oleh motivasi dan sikap.

Kajian deskriptif serupa juga dilakukan oleh Sesiyo Rita Megasari dengan kajiannya yang berjudul "Information literacy” Pustakawan (Studi Deskriptif Tentang “Information Literacy “Pustakawan Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri Di Surabaya Menurut Model SCONUL The Seven Pillars of Information Literacy). Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif deskriptif dan pengambilan metode sampel dengan menggunakan metode sensus terhadap 61 pustakawan di tiga Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya yaitu UNAIR, ITS dan UNESA. Hasilnya menyatakan bahwa untuk beberapa keterampilan literasi informasi seperti melakukan penelusuran elektronik, menampilkan hasil dan pembuatan pengetahuan baru masih rendah (Megasari, 2011).

Kajian lain di luar negeri dilakukan di Nigeria dengan judul "Information Literacy Competence of Librarians in South West Nigerian University Libraries". Kajian ini dilakukan untuk mengkaji kompetensi literasi informasi pustakawan di 34 perguruan tinggi di Nigeria dan 65 pustakawan responden. Metode percontoh menggunakan metode non probabilitas untuk menentukan sampel universitas dan metode survei untuk pustakawan respondennya. Metode pengambilan data menggunakan kuesioner. Standar literasi informasi yang digunakan adalah menggunakan standar dari ACRL yang telah direvisi dan diuji-coba dalam penelitian lain mengenai literasi informasi mahasiswa baru di Quebec (Mittermeyer & Quirion, 2003). asil kajian ini menjelaskan bahwa kompetensi pustakawan perguruan tinggi di Nigeria dalam hal literasi informasi masih rendah di berbagai aspek. (Ojedokun, 2014)


(6)

Metode Kajian

Kompetensi literasi informasi selama ini lebih banyak dikaji dalam ranah pengetahuan dan sikap namun sangat kurang dalam ranah keterampilan/keahlian. Padahal pengukuran kompetensi seharusnya mencakup ketiga aspek tersebut sehingga akan memberikan keluaran (outcome) yang lebih valid dalam memperoleh profil kompetensi literasi informasi pustakawan. Aspek keterampilan jarang dikaji mungkin disebabkan perlunya alat pengukuran yaitu tes yang memuat butir-butir pertanyaan yang bersikap aplikatif sehingga bisa mewakili setiap keluaran yangdiharapkan.

Penelitian ini akan mengkaji masalah kompetensi literasi infomasi yang dihadapi oleh pustakawan universitas swasta dengan mengacu pada beberapa hasil kajian sebelumnya, lalu membandingkan dengan standar ACRL yang terdiri dari 5 butir standar, 22 indikator dan 87 keluaran yang diharapkan.

Diskrepansi yang terjadi antara fakta kompetensi literasi informasi pustakawan di lapangan dengan standar kompetensi literasi informasiACRL inilah yang akan dikaji lebih dalam dengan fokus pada aspek pengetahuan serta keterampilan. Untuk aspek sikap tidak menjadi fokus penelitian karena diperlukan instrumen penelitian yang lebih kompleks dan membutuhkan rentang waktu penelitian yang lebih lama.

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Penghitungan kuantitatif dilakukan untuk mengelola instrumen survei, tes dan hasil Forum Group Discussion (FGD). Hasil angka kuantitatif tersebut akan diterjemahkan secara deskriptif untuk mendapatkan kesimpulan hasil kajian.

Sampel dan Responden

Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kompetensi literasi informasi pustakawan, sampel kajian ini diambil dari universitas swasta di lingkungan Kopertis Wilayah III. Namun karena keterbatasan waktu dan sumber daya, kajian akan difokuskan pada universitas yang aktif sesuai dengan data yang diakses dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (http://forlap.dikti.go.id/) pada 27 Juli 2015. Berdasarkan datatersebut terdapat 51 universitas swasta yang aktif.

Dari 51 universitas swasta tersebut, kajian ini akan mengambil sampel dengan menggunakan metode purposive dengan jumlah satu orang pustakawan untuk satu universitas. Kriteria pustakawan responden disesuaikan dengan definisi pustakawan perguruan tinggi yang telah dituangkan dalam SNI 2009 dengan tugas dan tanggungjawab pustakawan responden pada layanan literasi informasi.

Dalam FGD yang dilaksanakan 5 November 2015, responden yang hadir hanya sejumlah 26 orang yang mewakili 26 Universitas di lingkungan Kopertis wilayah III. Ke-26 orang ini seluruhnya diambil sebagai responden dalam kajian ini.

Instrumen Kajian

Kajian ini dilakukan dengan menggunakan tiga instrumen utama ditambah dengan satu instrumen pelengkap. Ketiga instrumen tersebut adalah survei untuk mengkaji pengetahuan, tes untuk menguji keterampilan, FGD untuk menyepakati beberapa hal yang tidak terjawab dalam instrumen sebelumnya. Istrumen pelengkap adalah profil peserta yang dikirimkan saat mengirimkan undangan FGD.

Survei dan tes dikembangkan dengan menggunakan standar literasi informasi dari ACRL (Association of College and Research Libraries) yang diterbitkan pada tahun 2000.


(7)

Analisa Hasil Kajian

Untuk tujuan analisa dan pengukuran data pengetahuan literasi informasi yang diperoleh melalui instrumen survei, dibuatkan kategori untuk menentukan tingkat kompetensi pengetahuan literasi informasi responden. Nilai rata-rata survei yang sudah diperoleh kemudian di hitung tingkat diskrepansinya dengan menggunakan kategori tersebut.

Analisa hasil tes dilakukan pertama-tama dengan melakukan skoring hasil uji tes responden. Hasil skoring ini kemudian dibuatkan kategori rentang mutunya untuk menentukan tingkat diskrepansi responden peserta berdasarkan nilai rata-rata skor, serta persentase jawaban tes yang benar.

Analisa hasil FGD dilakukan dengan membuat rekap hasil diskusi yang menggabungkan 3 metode sumber data FGD, yaitu (1) Jawaban pertanyaan FGD yang diperoleh dari lembar isian pertanyaan FGD yang dibagikan kepada responden, (2) Catatan notulis selama FGD berlangsung, dan (3) Dokumentasi observasi FGD melalui rekaman video.

Profil yang telah dibagikan terlebih dahulu kepada para peserta direkap dan di buatkan tabelnya sehingga informasi profil peserta dan institusinya yang berkaitan dengan program literasi informasi dapat terekam dengan baik.

Pengolahan kuantitatif data survei dan data tes dilakukan dengan menggunakan metode bantuan komputatif menggunakan perangkat lunak pengolah data IBM SPSS Statistic Versi 2.0

Hasil Kajian

Tabel 1: Data Jabatan Responden FGD

Dari data di atas nampak bahwa kelompok jabatan terbanyak sebagai responden adalah kelompok staf perpustakaan, dimana staf terbanyak adalah staf bidang pelayanan referensi dan jurnal. Sedangkan kelompok kedua terbesar adalah kepala bagian/bidang.

Pendidikan Kepala Perpustakaan Kepala

Bagian/Bidang

Staf Perpustakaan

Ilmu Perpustakaan 11.53% 19.23% 46.15%

Non ilmu perpustakaan 7.69% 7.69% 7.69%

Total 19.23% 26.92% 53.84%

Jabatan Jumlah Persentase

Kepala Perpustakaan 5 19.23

Kepala Bagian layanan 7 26.92

Staf sirkulasi dan layanan 3 11.53

Staf referensi dan jurnal 5 19.23

Staf pengolahankoleksi 2 7.69

Staf perpustakaan 4 15.38


(8)

Tabel 2: Data Pendidikan Responden FGD

Dari data Tabel 2 di atas tampak bahwa sebagian besar responden yang mengikuti FGD ini semuanya memiliki latar belakang ilmu perpustakaan, baik untuk tingkatan jabatan kepala perpustakaan, kepala bagian, maupun staf perpustakaan.

Tabel 3: Data Program Literasi Informasi

Sementara itu berdasarkan data profil responden terlihat bahwa mayoritas perpustakaan sudah melaksanakan bantuan penelusuran informasi dan orientasi perpustakaan, baik yang rutin maupun tidak rutin. Namun untuk kelas literasi, mayoritas responden belum melaksanakannya. Dari kelas literasi tersebut hanya 23.08% saja yang melaksanakannya sebagai bagian dari mata kuliah lain dan 30.77% sebagai kelas khusus literasi informasi, sedangkan hanya 15.38% saja yang melaksanakan kedua-duanya.

Standar N Mean Mutu

Standar 01: Identifikasi informasi 26 2.79 Baik

Standar 02: Akses informasi 26 2.85 Baik

Standar 03: Evaluasi informasi dan sumbernya 26 2.57 Baik Standar 04: Penggunaan informasi (sintesis) 26 2.50 Baik Standar 05: Aspek hukum, sosial, dan etika 26 2.87 Baik

TOTAL 2.71 Baik

Tabel 4: Ringkasan Hasil Survei

Dari ringkasan masing-masing standar di atas, terlihat secara keseluruhan semua standar literasi informasi dipahami dengan baik oleh pustakawan. Nilai standar yang paling baik dipahami oleh pustakawan adalah aspek hukum, sosial dan etika (2.87) dan yang paling rendah dipahami oleh pustakawan adalah standarpenggunaan informasi dan sintesa informasi (2.50).

Standar Jawaban

benar

(%) Mean Mutu

Standar 01: Identifikasi informasi 9.7 37.31 Sangat rendah

Standar 02: Akses informasi 8.8 33.84 Sangat rendah

Standar 03: Evaluasi informasi dan sumbernya 9.8 37.91 Sangat rendah Standar 04: Menggunakan informasi 6.7 25.64 Sangat rendah Standar 05: Etika menggunakan informasi 7.2 27.69 Sangat rendah

Rata-rata 8.4 32.48 Sangat rendah

Tabel 5: Ringkasan Hasil Uji Tes

Jenis Program Persentase Hasil (%)

Ya Tidak Ya, tidak rutin Abstain Total%

Bantuan penelusuran informasi 84.62 3.85 0.00 11.54 100

Orientasi Perpustakaan 69.23 15.38 7.69 7.69 100

Kelas Literasi perpustakaan 42.31 46.15 0.00 11.54 100

LI bagian mata kuliah 23.08 50.00 0.00 26.92 100

LI sebagai kelas khusus 30.77 42.31 0.00 26.92 100 Kedua-duanya (bagian mata kuliah dan

kelas khusus)


(9)

Sebaliknya dari tabel di atas yang memuat ringkasan persentase nilai rata-rata jawaban benar pustakawan terhadap lima standar keterampilan literasi informasi menghasilkan angka rata-rata sebesar 32.48% atau setara dengan rentang mutu sangat rendah.

Pertanyaan FGD Jawaban (%) Mean

1. Apakah literasi informasi dibutuhkan? Ya 92.31

2. Apakah literasi informasi sama dengan orientasi Perpustakaan?

Berbeda 76.92

3. Apakah literasi informasi sebaiknya terpisah atau tergabung dengan mata kuliah

Bagian mata kuliah 37.91

4. Kompetensi apa yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pelatihan literasi informasi?

Komunikasi/public speaking Information speaking skills IT skills Pedagogi 38.46 26.92 26.92 23.07 5. Untuk implementasi program literasi

informasi, kendala apakah yang dihadapi institusi anda?

Kurang SDM dan skills

Kebijakan & dukungan pimpinan Prasarana

50.00 26.92 23.07 6. Pelatihan apakah yang anda usulkan untuk

mengembangkan program literasi informasi?

Pembuatan modul LI Konsep LI

Pedagogi

19.23 7.69 7.69 Tabel 6: Ringkasan Jawaban Pertanyaan FGD

Untuk melengkapi jawaban survei pemahaman dan tes keterampilan literasi informasi, data dalam Tabel 6 di atas menjawab masalah diskrepansi yang terjadi dalam aspek keterampilan literasi informasi serta kebutuhan pustakawan dalam ranah keterampilan literasi informasi.

Tingkat Literasi Pustakawan

Aspek pengetahuan pustakawan yang meliputi semua indikator literasi informasi menunjukkan tingkat baik dengan nilai mutu 2.71 dari rentang 1-4. Artinya, pustakawan sudah mengetahui semua keterampilan literasi informasi. Dari semua keterampilan literasi informasi, yang paling dipahami oleh pustakawan responden adalah aspek hukum, sosial, etika dan legal dengan hasil 2.87 (baik), sedangkan aspek yang mendapatkan nilai terendah adalah keterampilan sintesis dan pengorganisasian informasi dengan nilai 2.50 (baik).

Namun saat pustakawan responden diberikan tes keterampilan literasi informasi, hasilnya sungguh sangat berbeda dengan pemahaman mereka terhadap literasi informasi. Keterampilan pustakawan hanya ada di rentang nilai 32.48 dengan nilai mutu sangat rendah. Dari kesemua standar literasi informasi, didapatkan bahwa keterampilan literasi informasi pustakawan yang paling rendah adalah dalam aspek penggunaan informasi dengan nilai 25.64 (sangat rendah) sedangkan nilai standar literasi informasi yang tertinggi dalam uji keterampilan adalah dalam aspek evaluasi website yaitu dengan nilai 37.91 (sangat rendah). Hal kedua yang menarik untuk dibahas adalah aspek etika penggunaan informasi yang menjadi keterampilan terendah ke dua, dengan nilai 27.69.

Ironisnya, dari kajian ini nampak ketidaksesuaian antara pemahaman dengan keterampilan literasi informasi. Terutama untuk aspek etika penggunaan informasi, menunjukkan data yang sangat berbeda. Artinya, pemahaman pustakawan mengenai etika penggunaan informasi tidak disertai dengan penguasaan secara detil berbagai keterampilan penggunaan informasi, termasuk di dalamnya keterampilan anti plagiarisme, kemampuan parafrase, membuat sitasi, daftar pustaka, dan sebagainya. Hal ini tampak dari hasil FGD (Tabel 6) yang mengungkapkan bahwa 92.31% responden setuju bahwa literasi informasi


(10)

penting untuk dilakukan. Namun ketika masuk dalam ranah kompetensi yang dibutuhkan, jawaban kelima terbesar dengan nilai 19.23% menyebutkan keterampilan membuat referensi. Sedangkan dari seluruh peserta hanya 7.69% responden yang menyebutkan bahwa perlunya keterampilan menulis. Padahal dalam kenyataannya, keterampilan terendah pustakawan adalah pada aspek sintesis dan penggunaan informasi, dimana termasuk di dalamnya adalah keterampilan menulis.

Analisis Diskrepansi

Dari hasil kajian terlihat bahwa diseluruh aspek keterampilan literasi informasi menunjukkan tingkat penguasaan yang sangat rendah. Hampir seluruh pertanyaan tidak bisa dijawab dengan baik oleh para responden. Oleh karena itu juga nampaknya kegiatan pelatihan literasi informasi di universitas cenderung tidak berkembang. Hal ini tampak dari jawaban FGD nomor 5, yang menanyakan kendala jika program literasi informasi di implementasikan, menjelaskan bahwa 50% dari responden menjawab terkendala kurangnya tenaga ahli dibidang literasi informasi dan untuk mengajar. Bahkan berdasarkan data profil institusi responden diperoleh data bahwa 46.15% institusi responden tidak melaksanakan pelatihan literasi informasi dan 11.54% abstain. Jadi institusi yang tidak melakukanprogram literasi informasi sama sekali masih lebih banyak dari yang melakukan (hanya 42.31%).

Kajian ini menunjukkan bahwa diskrepansi terjadi pada ranah keterampilan, dan bukan ranah pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memperbaikinya pelatihan pengembangan diri dan profesi yang harus dilakukan tidak lagi berfokus di ranah awareness atau kesadaran tentang pentingnya literasi informasi bagi dunia kepustakawanan, namun dibutuhkan semacam pelatihan dan pendidikan yang cukup serius berfokus pada semua keterampilan literasi informasi yang dapat di gunakan oleh pustakawan untuk membantu para

pemustakanya di abad 21 ini.

Dari data hasil kajian juga bisa disimpulkan bahwa tindak lanjut yang dibutuhkan

untuk memperkecil diskrepansi disarankan adalah dalam bentuk workshopdan pelatihan saja.

Seminar tidak akan banyak berfungsi untuk memperkecil diskrepansi ini. Workshop dan pelatihan yang disarankan bisa dalam bentuk pelatihan yang mencakup keterampilan inti literasi informasi, atau pelatihan pengembangan program pelatihan literasi informasi bagi pelatih (ToT).

Peran Asosiasi dan Jurusan Ilmu Perpustakaan

Sebagian besar dari responden memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Namun tes uji keterampilan menjelaskan bahwa para lulusan jurusan ilmu perpustakaan inipun tidak memiliki keterampilan literasi informasi yang memadai. Hal ini membuat perkiraan bahwa mata kuliah literasi informasi yang diajarkan di jurusan ilmu perpustakaan mungkin cenderung tidak menyentuh keterampilan literasi informasi. Perkiraan ini cukup beralasan mengingat banyaknya responden yang berusia muda dan baru saja lulus dari kuliah ilmu perpustakaan, sehingga menandakan kecenderungan mata kuliah literasi informasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan para lulusannya untuk mempraktekkan literasi informasi. Untuk itu kajian ini memperkuat proposal untuk adanya perbaikan kurikulum pembelajaran ilmu perpustakaan terutama mata kuliah literasi informasi untuk mempersiapkan lulusan pustakawan yang siap bekerja di abad 21 ini.

Mata kuliah literasi informasi perlu mempelajari berbagai bentuk keterampilanliterasi informasi yang konkret dan digunakan di dalam operasional layanan perpustakaan, seperti misalnya keterampilan peta pikiran, KWL, menulis, mengevaluasi website, penggunaan reference manager, membuat parafrase dan sebagainya.


(11)

Peran asosiasi dan institusi kepustakawanan sangat besar untuk mendukung cepatnya keterampilan literasi informasi ini tersosialisasikan. Dari hasil FGD di tabel 6, 19.23% peserta sepakat bahwa pelatihan utama terbesar yang dibutuhkan dan digagas oleh asosiasi profesi pustakawan adalah keterampilan pembuatan modul literasi informasi untuk pemustaka. Hal ini membuktikan besarnya keinginan responden untuk mampu mengidentifikasi berbagai keterampilan yang merupakan bagian dari tiap indikator literasi informasi untuk diajarkan. Hal ini memang benar karena setiap pustakawan seharusnya mampu mengidentifikasi keterampilan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing institusi.

Kesimpulan

1. Pemahaman literasi informasi pustakawan di Kopertis Wilayah III, ada di dalam kondisi baik. Kondisi baik tersebut meliputi seluruh indikator literasi informasi.

2. Keterampilan literasi informasi pustakawan di Kopertis Wilayah III, ada di dalam kondisi sangat rendah. Semua indikator keterampilan literasi informasi juga berada di nilai mutu sangat rendah. Dari seluruh butir pertanyaan, keterampilan yang berada di dalam mutu baik hanya penggunaan mesin pencari.

3. Sebagian besar institusi universitas belum memiliki kelas-kelas literasi informasi dan masih berupa orientasi perpustakaan bagi mahasiswa baru yang dilakukan di awal perkuliahan saja.

4. Hampir semua pustakawan setuju bahwa pelatihan literasi informasi sangat penting untuk dilaksanakan di dalam institusi mereka masing-masing. Namun sebagian besar setuju bahwa kendala mereka untuk melaksanakan kegiatan ini adalah terbatasnya sumber daya manusia dan keterbatasan keterampilan literasi informasi. Keterampilan utama yang mereka rasakan menjadi kebutuhan terbesar adalah kemampuan membuat modul literasi informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi universitas mereka.

5. Semua peserta setuju bahwa berbagai institusi induk dan asosiasi profesi pustakawan akademis seperti PNRI, FPPTI, ISPII, APISI, dan sebagainya memiliki peran untuk mengembangkan keterampilan literasi informasi pustakawan dengan melaksanakan berbagai workshop dan pelatihan literasi informasi yang terarah dan terstruktur dengan baik.

6. Dari kajian nampak bahwa kebutuhan pelatihan literasi informasi seharusnya tidak lagi berada di ranah pemahaman, namun sudah harus berfokus pada keterampilan-keterampilan praktis literasi informasi yang bisa langsung diaplikasikan. Karena itu kegiatan-kegiatan pengembangan profesi literasi informasi pustakawan harus diselenggarakan di dalam bentuk yang lebih aplikatif juga seperti lokakarya, pelatihan atau kursus. seminar, talk-showdan berbagai hal yang teoritis, masih bisa diselenggarakan untuk memperdalam dan mempertajam konsep literasi informasi itu sendiri ditengah berbagai macam bentuk literasi lain yang bekembang, atau sinergi literasi informasi dengan berbagai bentuk literasi dan teknologi informasi lainnya.


(12)

Daftar Pustaka

American Library Association. (1989). Presidential Committee on Information Literacy: Final Report. Washington, DC, US: ALA.

American Library Association (ALA). (2009). Core competences of librarianship. USA: ALA.

American Library Association. (2000). Information literacy competency standars for higher education. Chicago, Illinois: ACRL.

Badan Standarisasi Nasional. (2009). SNI 7330:2009 Perpustakaan perguruan tinggi. Jakarta: BSN.

Chartered Institute of Library and Information Professionals. (2013). Information literacy -Definition. (Diakses pada 21 Juli 2015 dari http://www.cilip.org.uk/cilip/advocacy

-campaigns-awards/advocacy-campaigns/information-literacy/information-literacy)

Doyle, C. S. (1992). Outcome Measures for Information Literacy within the National

Education Goals of 1990. Final Report to National Forum on Information Literacy.

Summary of Findings.US: National Forum on Information Literacy (Diakses pada 21 Juli 2015 dari ERIC database online dari http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED351033.pdf) Eisenberg, M.B., Lowe, C.A., Spitzer, K.L. (2004). Information Literacy: Essential Skills for

the Information Age. 2nd Edition. Westport, CT: Library Unlimited.

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor 83 tahun 2012, mengenai penetapan rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, Hiburan dan perorangan lainnya Bidang Perpustakaan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Jakarta: PNRI.

Megasari, S.R. (2011). “Information Literacy” pustakawan (Studi deskriptif tentang “Information Literacy” pustakawan perpustakaan perguruan tinggi negeri di Surabaya menurut model SCONUL The Seven Pillars of Information Literacy). Undergraduate These UNAIR.

Mittermeyer, D. & Quirion, D. (2003). Information literacy: Study of incoming first-year undergraduates in Quebec. Canada: National Library of Canada. Diakses pada 17 Juni 2015 dari http://library.concordia.ca/services/users/faculty/infolit/infolit-crepuq.pdf

Ojedokun, A.A. (2014). Information literacy competence of librarians in South West Nigerian university libraries. African Journal of Library, Archives & Information Science, Vol. 24, No. 1 (2014) 67-90.

Pendit, P.L. (2012). Kompetensi informasi dan kompetensi pustakawan. (Makalah Kursus Pelatihan Instruktur Literasi Informasi). Karawaci: The Johannes Oentoro Library, UPH.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2011). Standar Nasional Perpustakaan (SNP) Perguruan Tinggi. Jakarta: PNRI.

Presiden Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.

Sanghi, S. (2007). The handbook of competency mapping: understanding, designing and implementing competency models in organizations. New Delhi: Response Books.

The Society of College, National and University Libraries. (2011). The SCONUL Seven

Pillars of Information Literacy: Core Model For Higher Education. UK: SCONUL

Working Group on Information Literacy.

Solomon, A., Wilson, G., & Taylor, T. (2012). One hundred information literacy success, second edition. Boston, MA: Wadsworth.

Wulandari, D. (2011). Literasi informasi pustakawan dan kaitannya dengan faktor internal pustakawan: Studi deskriptif pada pustakawan perguruan tinggi swasta di Surabaya.


(13)

Unpublished Undergraduate Theses UNAIR.

Zurkowski, P.G. (1974). The Information Service Environment Relationships and Priorities. Related Paper No. 5. Washington, DC, US: National Commission on Libraries and Information Science, National Program for Library and Information Services.


(1)

Tabel 2: Data Pendidikan Responden FGD

Dari data Tabel 2 di atas tampak bahwa sebagian besar responden yang mengikuti FGD ini semuanya memiliki latar belakang ilmu perpustakaan, baik untuk tingkatan jabatan kepala perpustakaan, kepala bagian, maupun staf perpustakaan.

Tabel 3: Data Program Literasi Informasi

Sementara itu berdasarkan data profil responden terlihat bahwa mayoritas perpustakaan sudah melaksanakan bantuan penelusuran informasi dan orientasi perpustakaan, baik yang rutin maupun tidak rutin. Namun untuk kelas literasi, mayoritas responden belum melaksanakannya. Dari kelas literasi tersebut hanya 23.08% saja yang melaksanakannya sebagai bagian dari mata kuliah lain dan 30.77% sebagai kelas khusus literasi informasi, sedangkan hanya 15.38% saja yang melaksanakan kedua-duanya.

Standar N Mean Mutu

Standar 01: Identifikasi informasi 26 2.79 Baik

Standar 02: Akses informasi 26 2.85 Baik

Standar 03: Evaluasi informasi dan sumbernya 26 2.57 Baik Standar 04: Penggunaan informasi (sintesis) 26 2.50 Baik Standar 05: Aspek hukum, sosial, dan etika 26 2.87 Baik

TOTAL 2.71 Baik

Tabel 4: Ringkasan Hasil Survei

Dari ringkasan masing-masing standar di atas, terlihat secara keseluruhan semua standar literasi informasi dipahami dengan baik oleh pustakawan. Nilai standar yang paling baik dipahami oleh pustakawan adalah aspek hukum, sosial dan etika (2.87) dan yang paling rendah dipahami oleh pustakawan adalah standarpenggunaan informasi dan sintesa informasi (2.50).

Standar Jawaban

benar

(%) Mean Mutu

Standar 01: Identifikasi informasi 9.7 37.31 Sangat rendah

Standar 02: Akses informasi 8.8 33.84 Sangat rendah

Standar 03: Evaluasi informasi dan sumbernya 9.8 37.91 Sangat rendah Standar 04: Menggunakan informasi 6.7 25.64 Sangat rendah Standar 05: Etika menggunakan informasi 7.2 27.69 Sangat rendah

Rata-rata 8.4 32.48 Sangat rendah

Tabel 5: Ringkasan Hasil Uji Tes

Jenis Program Persentase Hasil (%)

Ya Tidak Ya, tidak rutin Abstain Total%

Bantuan penelusuran informasi 84.62 3.85 0.00 11.54 100

Orientasi Perpustakaan 69.23 15.38 7.69 7.69 100 Kelas Literasi perpustakaan 42.31 46.15 0.00 11.54 100

LI bagian mata kuliah 23.08 50.00 0.00 26.92 100

LI sebagai kelas khusus 30.77 42.31 0.00 26.92 100

Kedua-duanya (bagian mata kuliah dan kelas khusus)


(2)

Sebaliknya dari tabel di atas yang memuat ringkasan persentase nilai rata-rata jawaban benar pustakawan terhadap lima standar keterampilan literasi informasi menghasilkan angka rata-rata sebesar 32.48% atau setara dengan rentang mutu sangat rendah.

Pertanyaan FGD Jawaban (%) Mean

1. Apakah literasi informasi dibutuhkan? Ya 92.31

2. Apakah literasi informasi sama dengan orientasi Perpustakaan?

Berbeda 76.92

3. Apakah literasi informasi sebaiknya terpisah atau tergabung dengan mata kuliah

Bagian mata kuliah 37.91

4. Kompetensi apa yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pelatihan literasi informasi?

Komunikasi/public speaking Information speaking skills IT skills Pedagogi 38.46 26.92 26.92 23.07 5. Untuk implementasi program literasi

informasi, kendala apakah yang dihadapi institusi anda?

Kurang SDM dan skills

Kebijakan & dukungan pimpinan Prasarana

50.00 26.92 23.07 6. Pelatihan apakah yang anda usulkan untuk

mengembangkan program literasi informasi?

Pembuatan modul LI Konsep LI

Pedagogi

19.23 7.69 7.69 Tabel 6: Ringkasan Jawaban Pertanyaan FGD

Untuk melengkapi jawaban survei pemahaman dan tes keterampilan literasi informasi, data dalam Tabel 6 di atas menjawab masalah diskrepansi yang terjadi dalam aspek keterampilan literasi informasi serta kebutuhan pustakawan dalam ranah keterampilan literasi informasi.

Tingkat Literasi Pustakawan

Aspek pengetahuan pustakawan yang meliputi semua indikator literasi informasi menunjukkan tingkat baik dengan nilai mutu 2.71 dari rentang 1-4. Artinya, pustakawan sudah mengetahui semua keterampilan literasi informasi. Dari semua keterampilan literasi informasi, yang paling dipahami oleh pustakawan responden adalah aspek hukum, sosial, etika dan legal dengan hasil 2.87 (baik), sedangkan aspek yang mendapatkan nilai terendah adalah keterampilan sintesis dan pengorganisasian informasi dengan nilai 2.50 (baik).

Namun saat pustakawan responden diberikan tes keterampilan literasi informasi, hasilnya sungguh sangat berbeda dengan pemahaman mereka terhadap literasi informasi. Keterampilan pustakawan hanya ada di rentang nilai 32.48 dengan nilai mutu sangat rendah. Dari kesemua standar literasi informasi, didapatkan bahwa keterampilan literasi informasi pustakawan yang paling rendah adalah dalam aspek penggunaan informasi dengan nilai 25.64 (sangat rendah) sedangkan nilai standar literasi informasi yang tertinggi dalam uji keterampilan adalah dalam aspek evaluasi website yaitu dengan nilai 37.91 (sangat rendah). Hal kedua yang menarik untuk dibahas adalah aspek etika penggunaan informasi yang menjadi keterampilan terendah ke dua, dengan nilai 27.69.

Ironisnya, dari kajian ini nampak ketidaksesuaian antara pemahaman dengan keterampilan literasi informasi. Terutama untuk aspek etika penggunaan informasi, menunjukkan data yang sangat berbeda. Artinya, pemahaman pustakawan mengenai etika penggunaan informasi tidak disertai dengan penguasaan secara detil berbagai keterampilan penggunaan informasi, termasuk di dalamnya keterampilan anti plagiarisme, kemampuan parafrase, membuat sitasi, daftar pustaka, dan sebagainya. Hal ini tampak dari hasil FGD (Tabel 6) yang mengungkapkan bahwa 92.31% responden setuju bahwa literasi informasi


(3)

penting untuk dilakukan. Namun ketika masuk dalam ranah kompetensi yang dibutuhkan, jawaban kelima terbesar dengan nilai 19.23% menyebutkan keterampilan membuat referensi.

Sedangkan dari seluruh peserta hanya 7.69% responden yang menyebutkan bahwa perlunya keterampilan menulis. Padahal dalam kenyataannya, keterampilan terendah pustakawan adalah pada aspek sintesis dan penggunaan informasi, dimana termasuk di dalamnya adalah keterampilan menulis.

Analisis Diskrepansi

Dari hasil kajian terlihat bahwa diseluruh aspek keterampilan literasi informasi menunjukkan tingkat penguasaan yang sangat rendah. Hampir seluruh pertanyaan tidak bisa dijawab dengan baik oleh para responden. Oleh karena itu juga nampaknya kegiatan pelatihan literasi informasi di universitas cenderung tidak berkembang. Hal ini tampak dari jawaban FGD nomor 5, yang menanyakan kendala jika program literasi informasi di implementasikan, menjelaskan bahwa 50% dari responden menjawab terkendala kurangnya tenaga ahli dibidang literasi informasi dan untuk mengajar. Bahkan berdasarkan data profil institusi responden diperoleh data bahwa 46.15% institusi responden tidak melaksanakan pelatihan literasi informasi dan 11.54% abstain. Jadi institusi yang tidak melakukanprogram literasi informasi sama sekali masih lebih banyak dari yang melakukan (hanya 42.31%).

Kajian ini menunjukkan bahwa diskrepansi terjadi pada ranah keterampilan, dan

bukan ranah pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memperbaikinya pelatihan

pengembangan diri dan profesi yang harus dilakukan tidak lagi berfokus di ranah awareness atau kesadaran tentang pentingnya literasi informasi bagi dunia kepustakawanan, namun dibutuhkan semacam pelatihan dan pendidikan yang cukup serius berfokus pada semua keterampilan literasi informasi yang dapat di gunakan oleh pustakawan untuk membantu para pemustakanya di abad 21 ini.

Dari data hasil kajian juga bisa disimpulkan bahwa tindak lanjut yang dibutuhkan untuk memperkecil diskrepansi disarankan adalah dalam bentuk workshopdan pelatihan saja. Seminar tidak akan banyak berfungsi untuk memperkecil diskrepansi ini. Workshop dan pelatihan yang disarankan bisa dalam bentuk pelatihan yang mencakup keterampilan inti literasi informasi, atau pelatihan pengembangan program pelatihan literasi informasi bagi pelatih (ToT).

Peran Asosiasi dan Jurusan Ilmu Perpustakaan

Sebagian besar dari responden memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Namun tes uji keterampilan menjelaskan bahwa para lulusan jurusan ilmu perpustakaan inipun tidak memiliki keterampilan literasi informasi yang memadai. Hal ini membuat perkiraan bahwa mata kuliah literasi informasi yang diajarkan di jurusan ilmu perpustakaan mungkin cenderung tidak menyentuh keterampilan literasi informasi. Perkiraan ini cukup beralasan mengingat banyaknya responden yang berusia muda dan baru saja lulus dari kuliah ilmu perpustakaan, sehingga menandakan kecenderungan mata kuliah literasi informasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan para lulusannya untuk mempraktekkan literasi informasi. Untuk itu kajian ini memperkuat proposal untuk adanya perbaikan kurikulum pembelajaran ilmu perpustakaan terutama mata kuliah literasi informasi untuk mempersiapkan lulusan pustakawan yang siap bekerja di abad 21 ini.

Mata kuliah literasi informasi perlu mempelajari berbagai bentuk keterampilanliterasi informasi yang konkret dan digunakan di dalam operasional layanan perpustakaan, seperti misalnya keterampilan peta pikiran, KWL, menulis, mengevaluasi website, penggunaan reference manager, membuat parafrase dan sebagainya.


(4)

Peran asosiasi dan institusi kepustakawanan sangat besar untuk mendukung cepatnya keterampilan literasi informasi ini tersosialisasikan. Dari hasil FGD di tabel 6, 19.23% peserta sepakat bahwa pelatihan utama terbesar yang dibutuhkan dan digagas oleh asosiasi profesi pustakawan adalah keterampilan pembuatan modul literasi informasi untuk pemustaka. Hal ini membuktikan besarnya keinginan responden untuk mampu mengidentifikasi berbagai keterampilan yang merupakan bagian dari tiap indikator literasi informasi untuk diajarkan. Hal ini memang benar karena setiap pustakawan seharusnya mampu mengidentifikasi keterampilan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing institusi.

Kesimpulan

1. Pemahaman literasi informasi pustakawan di Kopertis Wilayah III, ada di dalam kondisi baik. Kondisi baik tersebut meliputi seluruh indikator literasi informasi.

2. Keterampilan literasi informasi pustakawan di Kopertis Wilayah III, ada di dalam kondisi sangat rendah. Semua indikator keterampilan literasi informasi juga berada di nilai mutu sangat rendah. Dari seluruh butir pertanyaan, keterampilan yang berada di dalam mutu baik hanya penggunaan mesin pencari.

3. Sebagian besar institusi universitas belum memiliki kelas-kelas literasi informasi dan masih berupa orientasi perpustakaan bagi mahasiswa baru yang dilakukan di awal perkuliahan saja.

4. Hampir semua pustakawan setuju bahwa pelatihan literasi informasi sangat penting untuk dilaksanakan di dalam institusi mereka masing-masing. Namun sebagian besar setuju bahwa kendala mereka untuk melaksanakan kegiatan ini adalah terbatasnya sumber daya manusia dan keterbatasan keterampilan literasi informasi. Keterampilan utama yang mereka rasakan menjadi kebutuhan terbesar adalah kemampuan membuat modul literasi informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi universitas mereka.

5. Semua peserta setuju bahwa berbagai institusi induk dan asosiasi profesi pustakawan akademis seperti PNRI, FPPTI, ISPII, APISI, dan sebagainya memiliki peran untuk mengembangkan keterampilan literasi informasi pustakawan dengan melaksanakan berbagai workshop dan pelatihan literasi informasi yang terarah dan terstruktur dengan baik.

6. Dari kajian nampak bahwa kebutuhan pelatihan literasi informasi seharusnya tidak lagi berada di ranah pemahaman, namun sudah harus berfokus pada keterampilan-keterampilan praktis literasi informasi yang bisa langsung diaplikasikan. Karena itu kegiatan-kegiatan pengembangan profesi literasi informasi pustakawan harus diselenggarakan di dalam bentuk yang lebih aplikatif juga seperti lokakarya, pelatihan atau kursus. seminar, talk-showdan berbagai hal yang teoritis, masih bisa diselenggarakan untuk memperdalam dan mempertajam konsep literasi informasi itu sendiri ditengah berbagai macam bentuk literasi lain yang bekembang, atau sinergi literasi informasi dengan berbagai bentuk literasi dan teknologi informasi lainnya.


(5)

Daftar Pustaka

American Library Association. (1989). Presidential Committee on Information Literacy: Final Report. Washington, DC, US: ALA.

American Library Association (ALA). (2009). Core competences of librarianship. USA: ALA.

American Library Association. (2000). Information literacy competency standars for higher education. Chicago, Illinois: ACRL.

Badan Standarisasi Nasional. (2009). SNI 7330:2009 Perpustakaan perguruan tinggi. Jakarta: BSN.

Chartered Institute of Library and Information Professionals. (2013). Information literacy-Definition. (Diakses pada 21 Juli 2015 dari http://www.cilip.org.uk/cilip/advocacy -campaigns-awards/advocacy-campaigns/information-literacy/information-literacy) Doyle, C. S. (1992). Outcome Measures for Information Literacy within the National

Education Goals of 1990. Final Report to National Forum on Information Literacy. Summary of Findings.US: National Forum on Information Literacy (Diakses pada 21 Juli 2015 dari ERIC database online dari http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED351033.pdf) Eisenberg, M.B., Lowe, C.A., Spitzer, K.L. (2004). Information Literacy: Essential Skills for

the Information Age. 2nd Edition. Westport, CT: Library Unlimited.

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor 83 tahun 2012, mengenai penetapan rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, Hiburan dan perorangan lainnya Bidang Perpustakaan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Jakarta: PNRI.

Megasari, S.R. (2011). “Information Literacy” pustakawan (Studi deskriptif tentang “Information Literacy” pustakawan perpustakaan perguruan tinggi negeri di Surabaya menurut model SCONUL The Seven Pillars of Information Literacy). Undergraduate These UNAIR.

Mittermeyer, D. & Quirion, D. (2003). Information literacy: Study of incoming first-year undergraduates in Quebec. Canada: National Library of Canada. Diakses pada 17 Juni 2015 dari http://library.concordia.ca/services/users/faculty/infolit/infolit-crepuq.pdf

Ojedokun, A.A. (2014). Information literacy competence of librarians in South West Nigerian university libraries. African Journal of Library, Archives & Information Science, Vol. 24, No. 1 (2014) 67-90.

Pendit, P.L. (2012). Kompetensi informasi dan kompetensi pustakawan. (Makalah Kursus Pelatihan Instruktur Literasi Informasi). Karawaci: The Johannes Oentoro Library, UPH.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2011). Standar Nasional Perpustakaan (SNP) Perguruan Tinggi. Jakarta: PNRI.

Presiden Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.

Sanghi, S. (2007). The handbook of competency mapping: understanding, designing and implementing competency models in organizations. New Delhi: Response Books.

The Society of College, National and University Libraries. (2011). The SCONUL Seven Pillars of Information Literacy: Core Model For Higher Education. UK: SCONUL Working Group on Information Literacy.

Solomon, A., Wilson, G., & Taylor, T. (2012). One hundred information literacy success, second edition. Boston, MA: Wadsworth.

Wulandari, D. (2011). Literasi informasi pustakawan dan kaitannya dengan faktor internal pustakawan: Studi deskriptif pada pustakawan perguruan tinggi swasta di Surabaya.


(6)

Unpublished Undergraduate Theses UNAIR.

Zurkowski, P.G. (1974). The Information Service Environment Relationships and Priorities. Related Paper No. 5. Washington, DC, US: National Commission on Libraries and Information Science, National Program for Library and Information Services.