Menyoal Kritik Dalam Sastra Sunda.

Pikiran Rakyat
1
17
OJan

o Sen;n --o Selasa o Rabu

2--,;J\
18 ~

OPeb

Literasi

4

6

5
20


o Mar

21

7
22

.

8
23

OApr o Me;

0

Kam;s
9

OJun


10
24

25
OJul

Jumat

o

11

12
26

Sabtu o Mlnggu
13
14
15

27
28
29
30

0 Ags' OSep

OOkt

ONov

16
31

.Des

Menyoal Kritik
Dalam SastraSunda

M


ESKl belum sebanyak karya
sastra yang membahana, kritik
sastra Sunda pun, saya pikir
masih hidup dan berjalan. Dengan kata
lain, tidak minus, genting, atau seseram
yang dibayangkan.
Selain dimuat di majalah Mangle,Galura, Cupumanik,SeniBudaya,BaIebat,atau
di media online,patut diingat, kritik sastra
Sunda pun bisa ditulis dalam bahasa Indonesia. Bukankah skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa Unpad dan UPI umumnya membedah carpon,sajak, dan novel
Sunda, baik yang kiwari atau yang bihari?
Mereka pun tak jarang menulis kritik
sastra Sunda dalam laporan penelitian,
buletin, atau jumal bulanan. Tak dapat dimungkiri, keengganan para kritikus
menulis dalam media Sunda salah satunya
karena ihwal honorarium yang didapatkan. Tentang hak hidup kritik sastra
Sunda, kritikus sastra dan film Duduh Durahman (aim.) pemah mengatakan bahwa
kritik bukan hal yang mesti ada. Jika karya

sastra merupakan ekspresi pengarangnya

secara spontan, merdeka, dan tiada yang
menghalang-halangi, kritik pun begitu.
Suatu reaksi yang wajar, yang kelahirannya tidak bisa dipaksakan. Meski ada yang
tertarik dengan kritik, jika tiada yang mau

menulis kritik, siapa yang bisa memaksa?
Sebaliknya, meski lantang menyebut
tidak perlu, tetapi masih ada yang mau
menulis, masih ada redaksi majalah atau
surat kabar yang mau memuat dan masih
ada penerbit yang mau menerbitkan, siapa
orangnya yang bisa menghadang? (Sastra
Sunda SausapSaulas, 1991 dan 1997.
Malah W.S. Rendra berkata, "Kritikus
merupakan jembatan antara para penonton (pembaca) dan seniman? Omong
kosong!" Rendra lantas berkesimpulan
bahwa kritikus yang paling baik adalah
para penonton (pembaca).
Peran pembaca memang terbilang penting untuk menentukan baik atau buruknya karya. Sebab, karya yang sangat
baik dalam amatan kritikus sastra, tak ada

artinya bila tidak disvkai atau dibaca.
Dalam tataran ini, sastra bukan semata
untuk sastra. Sastra yang baik, kata Horatius adalah yang nikmat dan bermanfaat. Nikmat ketika kita membaca,
bermanfaat untuk kemaslahatan umat
dalam kegiatan bermasyarakat.
Memang, pembaca media Sunda kurang
minatnya dalam membaca kritik sastra
Sunda. Kritik teh malahdijarauhan.Dianggap tiada gunanya. Kritikus Sunda tak
ubahnya nasib oposisi dalam dunia politik

kita. Ada tetapi tidak bermakna. Kehadirannya tidak diterima dengan lapang dada.
Disebutnya juga kritikus itu seperti benalu, menumpang nama pada suatu karya.
Ketimbang penulis carponatau sajak,
penghargaan kepada para penulis kritik
pun masih sangat minim. Sebagai contoh,
majalah Mangle setiap bulan memilih
karya carpondan sajak terbaik untuk mendapat penghargaan berupa uang satu juta
dan lima ratus ribu rupiah. Memang,
Mangle pun memilih kolom/bahasan terbaik, tetapi sifatnya umum, yakni kolom
yang membahas kehidupan kemasyarakatan. Bagitu pun hadiah LBSS,

kriteria untuk kategori esai terbaik belum
ada pegangan yang kuat dan berkesinambungan. K