KRITIK SASTRA DALAM JURNAL HUMANIORA 200

Prosiding

471

Dimuat dalam PROSIDING Workshop Forum Peneliti di Lingkungan
Kemendiknas, Balitbang, 2010, hlm. 472--490.

KRITIK SASTRA INDONESIA
DALAM JURNAL HUMANIORA TAHUN 2000--2008
Tirto Suwondo *)

ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji kritik sastra Indonesia. Objek kajiannya adalah
karya-karya kritik sastra Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal
Humaniora tahun 2000--2008. Karena objek yang dikaji adalah karyakarya kritik sementara kritik itu sendiri pada dasarnya merupakan
wujud sambutan pembaca, teori yang digunakan adalah resepsi sastra
(respon pembaca) dan metodenya adalah resepsi lewat kritik sastra
yang dilakukan dengan cara sinkronik. Teori dan metode ini digunakan
sebagai landasan dan cara analisis terhadap masalah orientasi atau
kecenderungan dan sasaran kritik. Dari analisis yang dilakukan
akhirnya diperoleh hasil bahwa secara dominan kritik sastra Indonesia

dalam jurnal Humaniora berorientasi pada karya sastra (novel, cerpen,
puisi) dan hal-hal yang berada di luar karya sastra hanya memperoleh
perhatian sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa dewasa ini telah
terbangun suatu kesadaran tentang hakikat kritik sastra: kritik sastra
pada hakikatnya adalah kritik tentang (terhadap) karya sastra, bukan
kritik terhadap hal-hal di luar karya sastra.
Kata kunci: kritik sastra, teori resepsi, kesadaran hakikat kritik.

1. Pendahuluan
Artikel (penelitian) ini hendak mengkaji karya-karya kritik sastra
Indonesia yang telah dipublikasikan dalam salah satu jurnal yang terbit di
Yogyakarta, yakni Humaniora. Seperti diketahui bahwa Humaniora adalah
*

) Tirto Suwondo, Doktorandus, Magister Humaniora, alumni Pascasarjana
UGM, peneliti madya pada Balai Bahasa Yogyakarta.

Prosiding

472


Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Pada awalnya Humaniora bukanlah jurnal, melainkan bulletin. Bulletin Humaniora terbit pertama
tahun 1989 dengan ISSN No. 0852—0801. Meskipun terbit pada 1989, bulletin
tersebut baru mendapat izin terbit pada tahun 1991 dengan Surat Izan Terbit
(SIT) No. 3/1991, Desember 1991, bersamaan dengan Dies Natalis UGM yang
ke-42. Bulletin ini kemudian berubah menjadi jurnal pada tahun 2000 dan nama
jurnal itu bertahan hingga sekarang. Sejak tahun 2000 jurnal tersebut
memperoleh predikat sebagai jurnal terakreditasi.
Sebagai jurnal fakultas, Humaniora tidak hanya memuat kajian-kajian
kesastraan, tetapi juga sejarah, antropologi, filsafat, seni, dan sebagainya.
Bahkan, jurnal tersebut juga tidak hanya memuat kajian kesastraan Indonesia,
tetapi juga Jawa, Arab, Inggris, Prancis, dll. Oleh karena itu, khusus untuk
penelitian ini, hanya kajian kesastraan Indonesia yang dibahas. Hal itu dilakukan
karena penelitian ini secara khusus membahas kritik sastra Indonesia, bukan
kritik sastra yang lain. Bahkan, karya-karya kritik sastra yang dibahas pun
dibatasi pada kurun waktu tertentu, yaitu tahun 2000 hingga 2008. Tahun 2000
ditentukan sebagai batas awal karena tahun itu adalah tahun awal penggunaan
nama jurnal, juga tahun awal jurnal tersebut terakreditasi, sedangkan tahun 2008
ditentukan sebagai tahun akhir karena penelitian ini dikerjakan pada tahun 2009.
Perlu diketahui bahwa penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari

penelitian sebelumnya. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di antaranya
berjudul (1) Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945—1965 (2004),
(2) Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1966—1980 (2005), (3) Kritik
Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1981—2000 (2006), ketiganya oleh
Tirto Suwondo dkk. Hanya saja, kalau objek kajian penelitian sebelumnya ialah
karya-karya kritik umum, objek kajian penelitian ini ialah karya-karya kritik
akademik. Kritik akademik ialah kritik yang berkembang di lingkungan
akademik oleh para akademisi dan sasaran pembacanya adalah khalayak
terbatas, yaitu para akademisi itu sendiri (Tanaka, 1976:49). Sesungguhnya,
karya-karya kritik akademik sastra Indonesia di Yogyakarta tidak hanya muncul
dalam jurnal Humaniora, tetapi juga dalam jurnal Diksi, Litera, dan Imaji
(Universitas Negeri Yogyakarta), Gatra dan Sintesis (Universitas Sanata
Darma), Bahastra dan Didaktika (Universitas Ahmad Dahlan), Tonil (Institut
Seni Indonesia), dan Widyaparwa (Balai Bahasa Yogyakarta). Namun, khusus
untuk penelitian ini, dengan pertimbangan tertentu (waktu, biaya, tenaga), hanya
kritik dalam Humaniora yang dijadikan objek kajian.
Masalah pokok yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan dengan
pertanyaan bagaimana orientasi kritik akademik sastra Indonesia yang
dipublikasikan dalam jurnal tersebut. Dalam masalah pokok ini dikaji apa saja
yang menjadi sasaran kritiknya, apakah kepada karya sastra itu sendiri (puisi,

cerpen, novel, drama) ataukah kepada hal-hal di luar karya sastra (penerbit,
pengarang, pengayom, pembaca, atau yang lain). Sementara itu, tujuan

Prosiding

473

penelitian ini ialah mendeskripsikan macam-macam orientasi kritik sastra
akademik dalam jurnal tersebut dan menemukan orientasi kritik apa yang paling
dominan. Dengan deskripsi dan temuan tersebut diharapkan penelitian ini dapat
memberikan kontribusi bagi penelitian kritik sastra akademik khususnya dan
penelitian kritik sastra Indonesia di Yogyakarta umumnya.
2. Kerangka Teori
Telah disebutkan bahwa masalah yang dibahas di dalam penelitian ini
adalah orientasi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta dan lingkup kajiannya
dibatasi pada karya-karya kritik akademik dalam jurnal Humaniora. Karena
karya-karya kritik tersebut pada hakikatnya merupakan kristalisasi tanggapan
atau sambutan pembaca, khususnya pembaca canggih (sophisticated reader)
atau kritikus, teori yang paling tepat digunakan sebagai landasan analisis ialah
resepsi sastra seperti yang telah dirumuskan oleh Jauss (1974) dan Iser (1980,

1987) dengan prinsip dasarnya yang terkenal, yaitu “horizon harapan” (horizon
of expectation) dan “tempat terbuka” (blank, apenness).
Teori resepsi sastra berpandangan bahwa pembaca (reader) merupakan
variabel penting sebagai pemberi makna karya sastra; dan oleh karenanya,
dalam suatu penelitian sastra, tanggapan pembaca terhadap sastra yang antara
lain terwujud dalam karya-karya kritik dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak
pembahasan. Namun, karena penelitian ini bermaksud mendeskripsikan
tanggapan pembaca lewat karya-karya kritik sastra yang berkembang pada
media tertentu dan dengan ciri tertentu, konsep teori resepsi yang diajukan Jauss
dan Iser akan diterapkan ke dalam beberapa kategori kritik seperti yang
dikemukakan oleh Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981).
Tanaka (1976:49--50) berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan
sistem mikro dan makro sastra, kritik sastra dibedakan menjadi dua kategori
sistem, yaitu sistem kritik akademik (the academic critic system) dan sistem
kritik umum (the general critic system). Kritik akademik adalah kritik yang
berkembang di lingkungan akademik dan kategori kritik ini dikembangkan oleh
para akademisi; dan kritik umum adalah kritik yang berkembang dalam
masyarakat umum dan biasanya media yang digunakan adalah media massa
umum. Sasaran yang dituju oleh kritik akademik adalah khalayak terbatas,
kecuali jika kritik tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sehingga dapat

dikonsumsi oleh masyarakat umum; sedangkan kritik umum sejak awal memang
ditujukan kepada khalayak umum (luas).
Sementara itu, Said (Damono, 1998/1999) membagi kritik sastra menjadi
empat bentuk, yaitu (1) kritik sastra praktis/umum (practical criticism), (2)
sejarah sastra/akademik (academic literary history), (3) apresiasi dan
interpretasi sastra (literary appreciation and interpretation), dan (4) teori sastra
(literary theory). Walaupun diklasifikasikan menjadi empat bentuk, pengertian
atau batasan yang diajukan Said pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian

Prosiding

474

yang diajukan oleh Tanaka. Pengertian bentuk kritik (1) model Said sama
dengan pengertian kritik umum model Tanaka; bentuk kritik (2) dan (4) model
Said sama dengan kritik akademik model Tanaka; dan bentuk kritik (3) model
Said lebih luwes, dalam arti kritik tersebut dapat dikategorikan baik sebagai
kritik akademik maupun kritik umum model Tanaka.
Berkenaan dengan hal di atas, Abrams (1981:36—37) menyatakan
bahwa di dalam praktik penilaiannya kritik sastra dipilah menjadi dua, yaitu

kritik judisial (judicial criticism) dan kritik impresionistik (impressionistic
criticism); sedangkan berdasarkan orientasinya kritik sastra dibedakan menjadi
kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criticism), kritik
ekspresif (expressive criticism), dan kritik objektif (objective criticism). Kritik
judisial adalah kritik yang dalam penilaiannya menggunakan standar (konsep,
teori, aturan) tertentu, sedangkan kritik impresionistik sebaliknya, tidak
menggunakan standar tertentu tetapi hanya berdasarkan kesan (impresi) kritikus
terhadap karya sastra (bdk. Pradopo, 1988:28—30). Sementara itu, kritik
mimetik berorientasi pada tiruan atau gambaran ide (alam, dunia, kehidupan),
kritik pragmatik berorientasi pada pembaca atau penikmat, kritik ekspresif
berorientasi pada pengarang atau pencipta, dan kritik objektif berorientasi pada
karya sastra (bdk. Pradopo, 2002:40—46).
Meskipun Abrams membagi kritik sastra menjadi beberapa kategori
seperti di atas, pada dasarnya beberapa kategori itu tidak bertentangan dengan
pembagian yang dilakukan oleh Tanaka dan Said. Misalnya, kritik judisial
model Abrams sesuai dengan kritik akademik model Tanaka dan kritik teori
sastra model Said; kritik impresionistik model Abrams tidak berbeda dengan
kritik umum baik model Tanaka maupun Said; dan empat kategori kritik
berdasarkan orientasi model Abrams sesuai pula dengan beberapa kategori
sistem (mikro dan makro) sebagaimana dikemukakan Tanaka. Karena beberapa

kategori kritik yang dikemukakan oleh para ahli itu saling melengkapi, dalam
penelitian ini penerapan beberapa kategori kritik tersebut tidak akan dipisahkan
secara tegas, tetapi justru akan dipadukan. Dalam arti bahwa penggolongan oleh
beberapa tokoh tersebut akan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan data yang dianalisis.
3. Metode Penelitian
Sesuai dengan konsep teori seperti yang telah diuraikan di atas,
sebenarnya ada tiga metode pendekatan yang dapat diterapkan. Ketiga metode
itulah ialah (1) metode resepsi secara eksperimental, (2) metode resepsi lewat
kritik sastra, baik diakronik maupun sinkronik, dan (3) metode resepsi
intertekstual (Teeuw, 1984:208--218; Abdullah, 2003:110). Namun, karena
penelitian ini hanya bermaksud meneliti berbagai sambutan pembaca yang telah
dituangkan dalam bentuk karya-karya kritik (sastra), metode yang kemudian
dipilih adalah metode kedua, yaitu metode penelitian resepsi sastra lewat kritik

Prosiding

475

sastra. Karena berbagai sambutan pembaca yang dituangkan dalam karya-karya

kritik itu muncul atau terbit pada dekade tertentu, yakni dekade 2000-an, metode
resepsi lewat kritik sastra yang diterapkan pun dilakukan dengan cara sinkronik.
Dalam kaitannya dengan pengumpulan data, metode yang dipergunakan
adalah studi pustaka yang ditopang oleh teknik baca dan catat. Melalui metode
studi pustaka dibaca dan dicatat berbagai hal yang berhubungan dengan
persoalan kritik sastra dalam jurnal Humaniora. Berbagai persoalan itu dikumpulkan, diinventarisasikan, dan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pokokpokok masalah yang dibahas, baik yang menyangkut sistem makro maupun
mikro sastra. Dengan kerangka berpikir deduktif-induktif-deduktif, hasil
penelitian atas karya-karya kritik sastra itu akhirnya disajikan secara deskriptif.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karya-karya kritik sastra Indonesia
yang muncul dalam Humaniora tahun 2000 hingga 2008 hanya memiliki dua
orientasi sasaran, yaitu kritik yang yang ditujukan kepada atau berbicara (1)
tentang karya sastra dan (2) tentang teori, sejarah, dan kritik sastra. Sementara
itu, kritik yang berbicara tentang pengajaran sastra sama sekali tidak ditemukan.
Selain itu, di dalam karya-karya kritik tentang karya sastra itu pun tidak semua
jenis (genre) karya sastra dibahas, tetapi hanya novel, cerpen, dan puisi,
sedangkan karya drama tidak mendapat perhatian. Hasil deskripsi selengkapnya
sebagai berikut.
4.1 Kritik Terhadap Karya Sastra
Data menunjukkan bahwa orientasi kritik terhadap karya sastra (novel,

cerpen, puisi) tampak lebih dominan daripada kritik terhadap teori, sejarah, dan
kritik sastra. Hal ini membuktikan adanya kecenderungan bahwa kritikus telah
menyadari sepenuhnya apa itu arti kritik sastra: pada hakikatnya kritik sastra
adalah kritik tentang karya sastra, bukan kritik terhadap yang lain (hal-hal lain di
luar karya sastra). Namun, hal demikian dikatakan wajar karena para kritikus
hampir semua adalah para akademisi dari perguruan tinggi.
4.1.1 Kritik Novel
Penelusuran terhadap seluruh data menunjukkan bahwa novel paling
banyak menjadi objek atau sasaran kritik. Beberapa kritik atas novel tampak
dalam artikel Sariyati Nadjamuddin Tome “Permasalahan Wanita dalam Novel
Nh. Dini: Analisis Kritik Sastra Feminis” (Vol. XIV, No. 3, Tahun 2002); Putera
Manuba “Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan
Interpretasi Makna Perjuangan Martabat Manusia” (Vol. XV, No. 3, 2003); Th.
Sri Rahayu Prihatmi “Dadaisme: Novel Psikologis” dan Supriyadi “Novel Gadis
Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis Berdasarkan Konsep
Androgini” (Vol. XVII, No. 2, 2005); Wiyatmi “Fenomena Seks dalam Novel

Prosiding

476


Indonesia Mutakhir Karya Pengarang Perempuan: Kajian Kritik Sastra Feminis”
(Vol. XVIII, No. 3, 2006); Heru Marwoto “Mahligai Gadis Tangsi dari
Kerajaan Raminem: Trilogi Suparto Brata yang Memukau” (Vol. XIX, No. 1,
2007); Siti Fatimah “Mencermati Perubahan Sosial Masyarakat Minangkabau
Melalui Novel Tamu Karya Wisran Hadi” dan Dara Windiyati “Pemberontakan
Perempuan Bali Terhadap Diskriminasi Kelas dan Gender: Kajian Feminis
Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini” (Vol. XX, No. 3, 2008).
Dalam artikelnya Sariyati Nadjamuddin Tome meneliti novel La Barka
karya Nh. Dini dengan menggunakan teori kritik sastra feminis. Hasil
penelitiannya mengungkapkan bahwa timbulnya berbagai isu wanita atau
permasalahan wanita merupakan akibat dari beberapa sebab yang bersumber
dari (1) paham patriarki yang dianut oleh pria yang menekankan adanya
pembagian kerja secara seksual dan yang harus dipatuhi oleh kaum wanita, (2)
perilaku agresivitas pria dalam bentuk cinta segitiga dengan wanita lain, dan (3)
perbedaan sosiokultural, termasuk norma sosial dalam suatu perkawinan campur
yang menimbulkan berbagai perbenturan dan pergeseran norma sosial dan
perilaku deviasi. Menurutnya, novel La Barka melegitimasi bahwa kekeliruan,
kelemahan, dan tindak deviasi, baik pria maupun wanita, tidaklah selalu
bersumber pada diri kaum wanita, seperti pandangan tradisional selama ini.
Putera Manuba dalam artikelnya mengupas beberapa novel Pramoedya.
Dalam kupasannya ia menyatakan bahwa satu gejala sosial yang merebak dalam
masyarakat Indonesia adalah terjadinya pendegradasian martabat manusia.
Gejala ini sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Akan tetapi, selama ini
belum dilakukan penanganan yang serius sehingga pendegradasian martabat
manusia hampir berlangsung terus-menerus. Di dalam era "reformasi" yang
konon mulai memperhatikan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, menurutnya,
ternyata kita masih menyaksikan berbagai tindakan pendegradasian martabat
manusia dalam pelbagai segmen kehidupan. Dengan perkataan lain, sampai saat
ini, kita menyaksikan masyarakat yang belum dapat menunjukkan sikap hidup
dan kepribadian yang mencerminkan penghormatan kepada martabat manusia.
Buktinya, berbagai daerah di Tanah Air masih sarat dengan tindakan kekerasan
(violence) atas kemanusiaan. Fenomena ini secara kental terefleksikan dalam
novel-novel karya Pramoedya, seorang sastrawan besar Indonesia. Padahal,
menurutnya, lewat representasi realitas sosial dalam karya-karya sastranya,
Pramoedya justru melontarkan berbagai pemikiran yang sarat dengan pesanpesan (messages) perjuangan dan penghargaan kemanusiaan. Hal itu terbukti,
jika disimak karya-karyanya, hampir seluruh karya Pramoedya bertemakan
kemanusiaan (humanity).
Sementara itu, dalam artikelnya Th. Sri Rahayu Prihatmi mengulas novel
Dadaisme karya Dewi Sartika. Novel ini semula adalah naskah pemenang
pertama sayembara novel tahun 2003 oleh Dewan Kesenian Jakarta yang
kemudian diterbitkan oleh Mahatari Yogyakarta (2004). Terhadap novel ini

Prosiding

477

Prihatmi mencoba menganalisis dari sudut pandang teori psikologi. Dalam
analisisnya ia menyatakan bahwa novel ini termasuk novel psikologis, syarat
dengan tindakan dan sikap bawah sadar. Sedangkan Supriyadi dalam artikelnya
menganalisis novel Gadis Pantai karya Pramoedya dengan menggunakan pisau
analisis konsep androgini. Dalam artikelnya ia menyatakan bahwa wanita
(tokoh) yang berasal dari Rembang itu, di tengah kehidupan keningratan, oleh
penulisnya dijadikan sebagai simbol; jadi ia bermain dalam dua simbol.
Wiyatmi dalam artikelnya mengupas enam novel karya perempuan
pengarang Indonesia. Ia melihat fenomena seks dan atau homoseks dalam novel
Larung, Supernova, Mahadewi Mahadewi, Garis Tepi Seorang Lesbian,
Tabularasa, dan Dadaisme. Dalam hasil ulasannya ia menyatakan bahwa
ternyata homoseksual menjadi fenomena yang menarik yang diangkat oleh
pengarang perempuan Indonesia menjadi tema dan pembangunan karakter
tokoh. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa fenomena homoseksual itu berkait
erat dengan feminisme, khususnya femenisme radikal.
Sementara itu, agak berbeda dengan Wiyatmi, dalam artikelnya Heru
Marwoto, meskipun sama-sama mengupas masalah wanita, lebih melihat
perempuan dari sisi hidup bahagianya di bawah lelaki bangsawan di Solo.
Dalam artikelnya Heru Marwoto mengupas karya trilogi novel Suparto Brata,
seorang novelis dua bahasa, Jawa dan Indonesia. Dalam artikel itu Heru
akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa “Akhirnya, Teyi, gadis tangsi dari
Tangsi Lorong Belawan, Medan, atau Den Rara Teyi dari Kerajaan Raminem di
Ngombol, atau Putri Teyi (dalam bayang-bayang Putri Parasi) menikah dengan
Gusti Bandara Raden Mas Kus Bandarkum dari Istana Jayaningratan, Solo.
Mereka menjalani hidup bersama dan berbahagia untuk selama-lamanya.”
Kritik terhadap novel juga tampak dalam artikel Siti Fatimah. Dalam
artikelnya Siti Fatimah mengupas fenomena perubahan sosial masyarakat
Minangkabau melalui novel Tamu karangan Wisran Hadi. Dalam artikel ini Siti
Fatimah menggambarkan perubahan sistem nilai yang berlaku di Sumatra Barat,
khususnya hubungan antara konsep mamak di dalam kehidupan sistem
matrilineal dalam masyarakat Minangkabau. Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa
ternyata novel Tamu karya Wisran Hadi paralel dengan kondisi masyarakat
Minangkabau yang berusaha mengubah sistem nilai, khususnya peran mamak
dalam masyarakat Sumatra Barat. Menurutnya, hal itu terutama dipengaruhi
oleh faktor politis; dalam arti bahwa hal itu akan berubah jika tetap ada
pengembangan kebijakan baru.
Hampir sama dengan artikel Wiyatmi, artikel Dara Windiyarti juga
berbicara tentang perempuan. Dalam artikelnya Dara menyoroti pemberontakan
perempuan dalam masyarakat Bali yang masih kental dengan warna diskrimisasi
kelas dan gender. Dalam analisisnya Dara membedakan antara aksi, status, dan
posisi. Meneurutnya, kelas sudra memang tidak mungkin dapat disejajarkan

Prosiding

478

dengan kelas brahmana. Aksi, status, dan posisi itulah yang menjadikan
perempuan selalu berada dalam posisi atau tempat yang terpinggirkan.
4.1.2 Kritik Cerpen
Di samping kritik terhadap novel, kritik terhadap cerpen juga dilakukan
oleh para kritikus akademik sastra Indonesia yang menulis dalam jurnal
Humaniora. Di dalam jurnal Humaniora Vol. XIII, No. 3, 2001, misalnya,
muncul artikel kritik karya Rudi Ekasiswanto “Metafor Ricoeurian: Penerobosan
Dunia Simbolik Cerpen “Rumah yang Terbakar karya Kuntowijoyo”. Dalam
artikel tersebut Rudi membahas simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen
“Rumah yang Terbakar”, sebuah cerpen karya Kuntowijoyo yang dimuat di
dalam buku Hampir Sebuah Subversi (1999).
Dalam artikel tersebut Rudi menyatakan bahwa cerpen Kuntowijoyo
selama tiga tahun berturut-turut memperoleh predikat “Cerpen Terbaik
Kompas”: tahun 1995 dengan cerpen “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri”,
tahun 1996 dengan cerpen “Pistol Perdamaian”, dan tahun 1997 dengan cerpen
“Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”. Ketiga cerpen itu kemudian dihimpun
dalam kumpulan cerpen yang diberi judul Hampir Sebuah Subversi. Kriteria
pemilihan terbaik itu bukan tanpa alasan. Ketiganya memakai gaya bahasa yang
bersahaja. Unsur permainan dan bermain-mainnya dengan kata tidak terlalu
kentara. Hal ini sangat membantu kemungkinan terbangunnya seni wantah oleh
Kuntowijoyo. Dalam pengantarnya, Kuntowijoyo menulis, “Secara jujur harus
dikatakan bahwa saya menulis begitu saja, yang saya rasa baik, tanpa resepresep”.
Selain itu, dikatakan bahwa Kuntowijoyo hampir selalu menggunakan
ciri simbolis dalam karya-karyanya, dan berusaha mengangkat realitas
kehidupan ke dalam cerita yang tampaknya biasa. Judul-judul cerpennya telah
menyiratkan tema yang diangkat ke dalam karya-karyanya. Namun, judul-judul
itu pun simbolis sehingga mengandung pemaknaan yang sangat dalam, begitu
juga cerpen “Rumah Yang Terbakar” yang terdapat dalam kumpulan cerpen itu.
Cerpen “Rumah Yang terbakar” sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas yang
dibukukan bersama 24 cerpen lainnya selama 1994--1998 sangat sarat dengan
unsur simbolisasi. Namun, semua itu merupakan representasi dari potret
masyarakat Indonesia masa Orde Baru yang berhasil digambarkan oleh
Kuntowijoyo. Secara simbolis pula makna yang dikandungnya dikemas dalam
gaya bahasa yang sederhana, menarik, pas, dan enak dibaca.
Harjito, dalam artikelnya yang dimuat Humaniora Vol. XIV, No. 2, 2002
berjudul “Antara Kekerasan dan Maskulinitas “Enam Jahanam” karya Indra
Tranggono”, membahas salah satu cerpen karya Indra Tranggono berjudul
“Enam Jahanam”. Dalam artikel itu Harjito menyatakan bahwa “Enam
Jahanam” menceritakan enam orang yang berhasil merampok uang jutaan rupiah
dari bank. Yang menjadi permasalahan ialah bagaimana pembagian uang tadi.

Prosiding

479

Pada akhirnya, disepakati bahwa yang berhak mendapatkan hasil rampokan
adalah mereka yang lolos dari permainan “jalan pistol”. Apa yang dinamakan
“jalan pistol” adalah sebuah permainan ketika pistol diisi sebutir peluru dengan
putaran acak. Sambil bermain kartu domino, barang siapa mendapat balak paling
besar dialah yang wajib menembak kepalanya dengan pistol yang telah diisi
peluru. Keberuntungan sajalah yang akan menentukan nasib enam orang
jahanam tersebut.
Sementara itu, dalam Humaniora Vol. XV, No. 1, 2003, Burhan Nurgiantoro menulis artikel “Wayang dalam Fiksi Indonesia”. Dalam artikel ini
Burhan tidak hanya membahas unsur wayang dalam cerpen, tetapi juga dalam
novel (fiksi) Indonesia. Dalam bahasannya ia menyatakan bahwa dunia
penulisan fiksi atau secara lebih luas sastra Indonesia dewasa ini menunjukkan
adanya kecenderungan untuk mengangkat budaya tradisional. Keadaan itu
sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan tahun 50-an walaupun belum
seintensif sekarang. Ayip Rosidi yang mengusulkan adanya angkatan 50-an
dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia memberikan karakteristik sastra
angkatan itu yang antara lain adalah berorientasi pada budaya daerah. Ayip
Rosidi sendiri menuliskan kembali dalam bentuk saduran sejumlah cerita lama
dan atau cerita-cerita daerah ke dalam bentuk sastra Indonesia, misalnya Lutung
Kasarung, Candra Kirana, dan Rara Mendut. Rara Mendut belakangan juga
ditulis ulang oleh Mangunwijaya dalam bentuk trilogi, yaitu dengan ditambah
Genduk Duku dan Lusi Lindri.
Selain itu, menurutnya, budaya daerah (Jawa) yang berupa kesenian
wayang juga telah disinggung, misalnya dalam cerpen Nh. Dini ("Jatayu") pada
tahun 50-an. Namun, pemasukan unsur cerita wayang tersebut kurang bersifat
fungsional dalam rangkaiannya dengan keseluruhan cerita. Cerita wayang belum
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber penulisan fiksi pada waktu itu,
walaupun dalam bentuk puisi, misalnya, Gunawan Mohamad (1963) telah
menuliskannya secara lebih intensif dalam "Parikesit". Munculnya unsur cerita
wayang dan bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi Indonesia secara
intensif baru terlihat pada pertengahan tahun 70-an, yaitu oleh Umar Kayam,
dan beberapa tahun sebelumnya Danarto menulis cerpen “Nostalgia” yang
bersumber pada cerita Abimanyu gugur. Setelah itu, karya-karya berikutnya
menyusul seperti Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Burung-burung Manyar
dan Durga Umayi (Mangunwijaya), Canting (Arswendo Atmowiloto), Para
Priyayi (Umar Kayam), Perang (Putu Wijaya), atau bahkan karya yang
berangkat dari cerita wayang itu sendiri seperti Anak Bajang Menggiring Angin
(Sindhunata), Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari dan Balada Narasoma
(Agusta T. Wibisono), Asmaraloka (Danarto), cerpen "Karna" dan "Gatotkaca"
(Bakdi Sumanto), dan cerpen-cerpen dalam Baratayuda di Negeri Antah
Berantah (Pipit RK). Kecuali Putu Wijaya yang berasal dari Bali, para
pengarang tersebut beretnis Jawa sehingga boleh dikatakan bahwa para

Prosiding

480

pengarang dari Jawa-lah yang banyak mentransformasikan cerita wayang ke
dalam sastra Indonesia.
Sementara itu, Peni Aji dalam artikelnya yang dimuat Humaniora Vol.
XV, No. 1, 2003, juga membahas cerpen salah seorang pengarang Indonesia,
yakni Danarto. Dalam artikel berjudul “Karya Religius Danarto: Kajian Kritik
Sastra Feminis” ini Peni membicarakan cerpen Danarto yang ditulis setelah
tahun 1980-an. Dalam artikel itu Peni menyatakan bahwa ketika membaca
tulisan Danarto "Refleksi Perempuan" dalam Republika (1993) ia berpikir ulang
tentang makna karya-karya Danarto yang selama ini hanya dinilai mengungkapkan permasalahan religiusitas. Dalam tulisan itu terlihat bahwa Danarto
memiliki perhatian dan juga keprihatinan yang sangat besar terhadap kaum
perempuan. Menurutnya, masalah perempuan itu bervariasi dan dipengaruhi
oleh kelas mereka. Perempuan kelas atas lebih berwenang untuk menentukan
dan mengatur diri sendiri. Sementara, perempuan kelas menengah dan bawah
lebih banyak tertekan dalam kehidupan mereka. Perhatian dan keprihatinan
Danarto ini merupakan bagian dari pandangan dunianya sebagai pengarang yang
tentu saja sangat mewarnai karya-karya yang diciptakannya, juga pada cerpencerpennya yang dicipta setelah tahun 1980-an.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa kritik-kritik yang menilai bahwa
karya Danarto mengungkapkan perenungan religiusitas yang meliputi
pantheisme dan mistik telah dilakukan oleh Teeuw (1989), Tjitrosubono dkk.
(1985), Sriwidodo (Eneste, 1983), Pujiharto (1996), dan Zamzanah (1998).
Selain itu, karya Danarto oleh Toda (1984) dinilai menggunakan bentuk
kreativitas baru yang bersifat nonkonvensional. Sementara itu, oleh Prihatmi
(1989) karya Danarto dinilai banyak mengungkapkan fantasi. Dari penilaianpenilaian tersebut terlihat bahwa kritik yang mengungkapkan perempuan dalam
karya-karya Danarto belum pernah dilakukan. Padahal, cerpen-cerpen Danarto
yang dicipta setelah tahun 1980-an banyak mengungkapkan permasalahan
tersebut, khususnya sikap dan posisi perempuan dalam masyarakat (patriarki).
Selain itu, penggambaran perempuan tersebut juga mencerminkan adanya sikap
implied author dalam menanggapai masalah patriarki dan masalah isu gender.
Di samping artikel-artikel di atas, dalam Humaniora Vol. XVI, No. 3,
2004 juga muncul karya kritik atas cerpen oleh Rachmat Sholeh. Dalam artikel
ini Rachmat Sholeh mengupas beberapa cerpen Umar Kayam yang berlatar dan
bertokoh orang-orang Amerika. Namun, yang dilihat oleh penulis bukanlah
orang-orang kelas atas, melainkan orang-orang pinggiran. Itulah sebabnya,
Rachmat Sholeh memberi judul artikelnya “Potret Orang-Orang Pinggiran”
dalam cerpen-cerpen Umar Kayam.
4.1.3 Kritik Puisi
Kritik terhadap karya puisi juga menjadi perhatian dalam kehidupan
kritik akademik sastra Indonesia yang dimuat dalam jurnal Humaniora. Hanya

Prosiding

481

saja, jika dibandingkan dengan kritik novel, jumlah karya kritik puisi lebih
sedikit. Dalam jurnal Humaniora yang terbit tahun 2000 hingga 2008 ditemukan
dua artikel yang membahas karya puisi. Artikel pertama karya Rachmat Djoko
Pradopo “Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi, dan Strukturnya”
(Vol. XIII, No. 1, 2001) dan dan artikel kedua karya Teguh Santoso “Kajian
Sosiobudaya Kumpulan Sajak Madura Akulah Darahmu Karya D. Zawawi
Imron” (Vol. XVI, No. 3, 2004).
Di dalam artikelnya Pradopo menyatakan bahwa puisi Pujangga Baru
adalah awal puisi Indonesia modern. Untuk memahami puisi Indonesia modern
sesudahnya dan puisi Indonesia secara keseluruhan, penelitian puisi Pujangga
Baru penting dilakukan. Hal ini disebabkan karya sastra, termasuk puisi, tidak
lahir dalam kekosongan budaya, termasuk karya sastra. Di samping itu, karya
sastra itu merupakan response (jawaban) terhadap karya sastra sebelumnya.
Karya sastra, termasuk puisi, dicipta sastrawan. Sastrawan sebagai anggota
masyarakat tidak terlepas dari latar sosial–budaya dan kesejarahan masyarakatnya. Begitu juga, penyair Pujangga Baru tidak lepas dari latar sosial-budaya
dan kesejarahan bangsa Indonesia. Puisi Pujangga Baru (1920-1942) itu lahir
dan berkembang pada saat bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan dari
penjajahan Belanda. Oleh karena itu, perlu diteliti wujud perjuangannya, di
samping wujud latar sosial-budayanya. Untuk memahami puisi secara
mendalam, juga puisi Pujangga Baru, perlu diteliti secara ilmiah keseluruhan
puisi itu, baik secara struktur estetik maupun muatan yang terkandung di
dalamnya. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada penelitian puisi Pujangga
Baru yang tuntas, sistematik, dan mendalam. Sifatnya penelitian yang sudah ada
itu impresionistik, yaitu penelaahan hanya mengenai pokok-pokoknya, tanpa
analisis yang terperinci, serta diuraikan secara ringkas.
Menurut Pradopo, puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena
itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural
semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan
kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur
karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam
struktur itu dan keseluruhannya. Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya
terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan
relevansi kesejarahan dan sosial budayanya. Oleh karena itu, untuk dapat
memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh,
dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik, yaitu analisis
struktural dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada
konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan
sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah
terurai di atas. Di samping itu, untuk memahami struktur puisi Pujangga Baru,
perlu juga diketahui struktur puisi sebelumnya, yaitu puisi Melayu lama yang
direspons oleh puisi Pujangga Baru.

Prosiding

482

Sementara itu, kalau Pradopo menganalisis sajak-sajak Pujangga Baru
dengan pendekatan strukturalisme semiotik, dalam artikelnya Santoso
menganalisis sajak-sajak Zawawi Imron yang terkumpul dalam buku Madura
Akulah Darahmu dengan menggunakan pendekatan sosiobudaya. Kalau Pradopo
melihat sajak sebagai struktur tanda yang bermakna, Santoso lebih melihat sajak
sebagai bagian dari aspek sosial dan budaya yang melatarbelakangi lahirnya
sajak tersebut. Setelah melakukan analisis terhadap sajak-sajak Zawawi Imron
akhirnya Santoso memberikan pernyataan bahwa sajak-sajak tersebut erat
berkaitan dengan latar sosial budaya Madura, suatu daerah yang memiliki ciri
peradaban yang khas.
4.2 Kritik Terhadap Teori/Sejarah/Kritik
Kritik terhadap teori, sejarah, dan atau kritik yang muncul dalam jurnal
Humaniora sebagian berupa paparan mengenai berbagai teori atau sejarah dalam
bentuk rangkuman dan sebagian lain berupa resensi buku. Di dalam Humaniora
Vol. XIII, No. 2, 2001 muncul karya Sugihastuti “Proses Kreatif dan Teori
Interpretasi” dan dalam Humaniora Vol. XIV, No. 1, 2002 muncul artikelnya
yang lain “Kritik Sastra Indonesia Modern”.
Dalam artikel “Kritik Sastra Indonesia Modern” (resensi atas buku Kritik
Sastra Indonesia Modern karya Rachmat Djoko Pradopo) Sugihastuti
menyatakan bahwa kritik sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang
penting dalam kaitannya dengan ilmu sastra dan penciptaan sastra. Tidak seperti
halnya kuantitas penciptaan sastra, penerbitan buku kritik sastra selama ini
terbatas. Keterbatasan itu, antara lain, dipengaruhi oleh terbatasnya kritikus
sastra Indonesia modern. Dari sedikitnya kritikus sastra Indonesia modern itu,
salah seorang di antaranya adalah Rachmat Djoko Pradopo. Buku karyanya ini
merupakan disertasi yang dipertahankan pada tanggal 15 September 1989 dalam
Rapat Senat Terbatas UGM. Sekalipun harga buku relatif mahal untuk ukuran
kantong mahasiswa Indonesia, ada keunggulan yang pantas darinya jika buku ini
dibeli dan dibaca.
Dalam Humaniora Vol. XIV, No. 2, 2002 muncul artikel Aprinus Salam
“Posisi Fiksi Populer di Indonesia”. Dalam artikel ini Aprinus menyatakan
bahwa dalam sejarah sastra Indonesia, fenomena fiksi populer mulai dikenal
pada tahun 1890-an, yaitu bacaan yang ditulis oleh orang Cina-Melayu dengan
menggunakan bahasa Melayu-pasaran (rendahan) yang berjudul Sobat AnakAnak karya Lie Kim Hok. Bacaan ini dianggap hanya menampilkan cerita-cerita
yang ringan dengan maksud sekedar menghibur. Konsumen bacaan itu juga
terbatas di kalangan tertentu saja.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa pada tahun 1930-an, gejala fiksi
populer menghangat kembali dengan banyaknya terbitan "roman Medan" yang
di kemudian hari oleh R. Roolvink (1959) disebut sebagai "roman picisan".
Dalam hal ini, gejala itu dimaksudkan sebagai bacaan murahan walaupun

Prosiding

483

harganya tidak harus lebih murah daripada buku-buku yang dianggap lebih
sastra. Yang dimaksud murahan di sini adalah bacaan yang mudah dicerna, tidak
mengandung kontemplasi yang serius, stereotip, dan dalam beberapa hal relatif
mengeksploitasi seks, suatu bacaan yang sekedar menghibur pembaca dengan
cara sederhana. Pada paruh kedua tahun 1980-an, masyarakat dihebohkan oleh
hadirnya seri Lupus karya Hilman (seperti Tangkaplah Daku Kau Kujitak).
Berangkat dari kenyataan tersebut, ia mengambil dua persoalan yang dibahas.
Pertama, implikasi-implikasi apa yang terkait dengan fiksi populer dan proses
ideologis bagaimana yang mendasari kriteria tersebut. Kedua, dalam konteks
sejarah sosial (politik dan ekonomi) Indonesia, bagaimana posisi fiksi populer.
Untuk masalah ini, rentang waktu yang dibicarakan terutama pada tahun 1970an dan setelahnya.
Dalam Humaniora Vol. XVI, No. 1, 2004 muncul karya Kuntowijoyo
dengan judul “Sejarah/Sastra”. Dalam artikel tersebut Kuntowijoyo menyatakan
bahwa di Indonesia sejarah dan sastra menjadi satu dalam mitos sampai awal
abad ke-20. Ketika kesadaran mitis itu berakhir, keduanya berjalan senndirisendiri. Sekalipun keduanya merekam realitas, tetapi sejarah adalah ilmu, sastra
adalah imajinasi. Sejarah dan sastra berbeda dalam struktur dan substansi.
Dalam struktur sejarah ada evidensi, informasi, fakta, dan berguna untuk
menjelaskan realitas. Dalam struktur sastra ada strukturalisasi kemungkinan,
ekspresi, imajinasi, dan berguna untuk mengadili realitas. Sementara itu,
substansi sejarah adalah objektifikasi kehidupan karena ia harus sadar akan
perubahan. Sastra adalah subjektifikasi kehidupan dan acuannya adalah
keabadian.
Sementara itu, Burhan Nurgiantoro, dalam artikelnya “Sastra Anak:
Persoalan Genre” (Humaniora, Vol. XVI, No. 2/2004), berbicara tentang genre
atau jenis sastra anak. Menurutnya, sastra anak adalah sastra yang berbicara
tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan ini sehingga mampu
memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu
sendiri kepada anak. Buku anak, sastra anak, adalah buku yang menempatkan
sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan dan sekaligus menawarkan
sebuah kebenaran yang signifikan yang diekspresikan ke dalam unsur-unsur
yang layak dan bahasa yang mengesankan.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa genre dapat dipahami sebagai tipe
kesastraan yang memiliki seperangkat karakteristik umum, atau kategori
pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan style, bentuk, dan isi.
Hal itu membawa konsekuensi pemahaman bahwa dalam sebuah genre sastra
terdapat sejumlah elemen yang memiliki kesamaan sifat, dan elemen-elemen itu
menunjukkan perbedaan dengan elemen pada genre yang lain. Walau mengaku
sering terjadi ketumpangtindihan, ada pengelompokan genre sastra anak ke
dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional,
puisi, dan nonfiksi dengan masing-masing mempunyai beberapa jenis lagi.

Prosiding

484

Genre drama sengaja tidak dimasukkan karena menurutnya, drama baru lengkap
setelah dipertunjukkan dan ditonton, dan bukan semata-mata urusan bahasa
sastra. Genre sastra anak yang diusulkan cukup dibedakan ke dalam fiksi,
nonfiksi, puisi, serta buku bergambar dan komik dengan masing-masing
memiliki subgenre. Dasar pembagiannya adalah bentuk pengungkapan dan isi
yang diungkapkan. Sebagaimana tampak dalam argumentasi yang sama, genre
drama sementara tidak dimasukkan dalam pembagian genre ini. Dilihat dari
waktu kemunculannya, genre fiksi dan puisi dapat dibedakan ke dalam fiksi dan
puisi tradisional serta fiksi dan puisi modern.
Dalam Humaniora Vol. XVIII, No. 1, 2006 muncul tulisan Heru
Marwoto “Teori Sastra Menurut Wolfgang Iser”. Dalam artikel ini Heru
menyatakan bahwa pada awal tahun 2006 terbit sebuah buku yang cukup
penting dalam teori sastra. Buku itu berjudul How To Do Theory karya
Wolfgang Iser, seorang teoretikus sastra yang cukup terkenal. Iser adalah
seorang Guru Besar sastra Inggris dan sastra bandingan pada Universitas
California. Iser adalah pencetus Teori Respons Estetik yang menekankan
pentingnya komunikasi antara karya dan pembaca dalam studi sastra. Dua buku
lama Iser yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori sastra adalah The
Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1978) dan The Implied Reader
(1980). Sebagaimana ia mengutarakan Teori Respons Estetik (dalam The Act of
Reading: A Theory of Aesthetic Response) yang sering disebut eklektik karena
dikembangkan dengan meramu konsep dan terminologi yang sebenarnya sudah
dikenal atau diperkenalkan tokoh-tokoh sebelumnya, dalam buku How To Do
Theory ini Iser juga mengedepankan pemikiran beberapa teoretikus sastra
dengan memberikan catatan yang sangat berharga.
Menurut Heru, buku yang terdiri atas 14 bab itu didahului dengan
pengantar yang cukup penting untuk memahami pemikiran-pemikiran yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh teori sastra dalam bab-bab bukunya. Bab I yang
bertajuk Introduction memberikan pengantar yang sangat komprehensif
mengenai teori sastra. Paparan di bab ini diawali dengan pertanyaan yang sangat
menggelitik “Why Theory?” Menurut Iser, teori sastra telah menciptakan sebuah
kesadaran mengenai variasi dalam perubahan validitas interpretasi, dan dengan
demikian perubahan praktik penafsiran dalam ilmu sastra. Teori menjadi
semacam kebutuhan dalam sebuah titik kritis bagi studi sastra. Karena tidak ada
penjelasan sederhana mengenai perkembangan itu, menurut Iser, kita harus
melihat sejarahnya dengan alasan yang masuk akal. Teori, menurut Iser,
membebaskan seni (sastra) dari payung konsep yang dilapiskan padanya oleh
filosofi estetik. Dengan demikian, teori membuka susunan yang sangat luas
mengenai segi-segi yang inheren dalam karya sastra. Selain itu, alasan historis
penting perlunya teori dipicu oleh kenyataan bahwa kritik sastra mulai
menemukan dirinya pada tahun 1940 dan 1950-an. Teori, lanjut Iser, telah

Prosiding

485

menetralkan pendekatan impresionistik umum terhadap seni dan sastra,
pendekatan yang sangat personal sifatnya.
Sementara itu, dalam Humaniora Vol. XIX, No. 1, 2007 dimuat tulisan
“Menggugat Cara Sastra Indonesia Berjuang Melepaskan Diri dari
Kolonialisme” oleh Wulan Astuti. Dalam tulisan ini Wulan menyatakan bahwa
kesadaran atas false consiousness bangsa-bangsa bekas jajahan negara-negara
Barat akan kecenderungan mereka dalam hilangnya kepekaan atas masih
berlangsungnya penjajahan kultural dari bangsa-bangsa penjajah dalam hidup
mereka dewasa ini semakin menyeruak. Pada masa penjajahan, perlawanan yang
sangat kentara adalah dalam bentuk fisik, sedangkan salah satu perlawanan
dalam bentuk ideologis diwujudkan melalui karya sastra bentuk tulisan.
Pengertian sastra sebagai tulisan tidak dapat dielakkan karena secara etimologis,
sastra itu sendiri sebagai kata berarti tulisan. Hal ini tidak hanya berlaku di
Indonesia karena kata sastra sebenarnya merupakan terjemahan bahasa
Indonesia dari nama yang digunakan dalam masyarakat bahasa asing, khususnya
Eropa. Dalam bahasa Inggris, sastra dinamakan literature, dalam bahasa Jerman
dinamakan literatur, dalam bahasa Perancis litterature. Nama susastra yang
kurang lebih berarti ‘tulisan yang indah’ juga digunakan dalam masyarakat
bahasa Eropa tersebut: letterkunde dalam bahasa Belanda dan belleslettres
dalam bahasa Prancis.
Fadlil Munawwar Manshur, dalam Humaniora Vol. XV, No. 1, 2003
menulis artikel “Sisi Lain Semiotika”. Tulisan ini merupakan resensi atas buku
karya Roland Barthes. Menurut Fadlil, buku Barthes itu secara garis besar
berbicara tentang wilayah kajian semiotika. Ada banyak nama yang diberikan
oleh Barthes untuk melukiskan wilayah yang ingin didekati setelah ia
mengembara dalam dunia semiotika. Salah satunya adalah after-thefact yang
ditulis dalam karyanya yang berjudul Camera Lucida.
Barthes mengatakan bahwa fact adalah wilayah yang selama ini
dipelajari oleh "ilmu positif tentang tanda". After-the-fact adalah realitas filmis
tanpa film, novelistik tanpa novel, fantasmatik tanpa kontemplasi, narativitas
tanpa kisah, fotografis tanpa foto. After-the-fact adalah sebuah wilayah yang di
dalamnya dimulai bahasa "baru" dan bahasa yang bisa diucapkan atau ditulis
tidak lebih daripada "mendekati"-approximative. After-the-fact bukanlah factum
melainkan fictio, bukan wilayah faktual melainkan fiktif (hlm. 311). Hubungan
antara fact dan After-the-fact bukanlah hubungan sekuensial, baik secara logis
maupun kronologis, melainkan hubungan yang muncul dari pengalaman
kebuntuan dan pengalaman setelah menguras segala kemungkinan dari apa yang
dianggap faktual. After-the-fact adalah bukan-tempat, nonplace, a-topos; ia
adalah "wilayah" negatif, heuristik, yang ditemui oleh seorang petualang
semiotik setelah kehabisan semua kemungkinan berbicara tentang fact secara
semiotik.

Prosiding

486

Jurnal Humaniora Vol. XVI, No. 1, 2004 memuat tulisan “ModelModel Metodologi Penelitian Sastra” karya Tri Mastoyo. Dalam artikel (resensi
atas buku Suwardi Endraswara) ini ia menyatakan bahwa karya sastra
merupakan fenomena kemanusiaan yang kompleks dan dalam. Di dalamnya
penuh makna yang harus digali melalui penelitian yang mendalam.
Bagaimanakah penelitian sastra yang mendalam itu dapat dilakukan? Isi buku
karya Suwardi Endraswara bertajuk Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi ini dimaksudkan menjawab pertanyaan itu.
Metode berarti cara atau jalan kerja. Penelitian sastra memerlukan metode.
Metode yang digunakan untuk meneliti karya sastra disebut metode penelitian
sastra. Dalam buku ini, metode penelitian sastra itu digunakan dalam pengertian
pendekatan (sisi pandang) keilmuan dan teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian karya sastra. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian
sastra, yaitu pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan instrinsik sejajar
dengan pendekatan objektif dan pendekatan ekstrinsik sejajar dengan pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatic.
Sementara itu, tulisan resensi berjudul “Politik Sastra Banding: Adakah
Itu?” karya Heru Marwoto dimuat dalam Humaniora, Vol. XIX, No. 3, 2007.
Dalam tulisan ini Heru menyatakan bahwa buku yang terbit Oktober 2007 itu
memuat sembilan tulisan dari tujuh orang penulis. Tiga di antara sembilan
tulisan itu adalah hasil olah pikir Muh. Arif Rokhman, editor buku ini dan
sekaligus penggagas utama Sastra Interdisipliner Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada (FIB UGM). Sembilan tulisan dalam buku itu
memusatkan perhatian pada masalah praktis dan teoretis yang berkaitan dengan
Politik Sastra Banding. Politik Sastra Banding yang dikedepankan dalam buku
yang judulnya cukup memprovokasi pembaca itu mencakup pengertian Sastra
Banding seperti yang dikemukakan oleh Remak. Wilayah jelajah Sastra Banding
Remak meliputi implementasi usaha atau proses membandingkan karya sastra
yang satu dengan yang lain, mencari kaitan antara studi sastra dengan disiplin
ilmu yang lain, dan upaya-upaya sastra untuk mempengaruhi politik atau
berperan dalam politik.
Dalam konteks tersebut, politik diartikan sebagai segala hal yang
berkorelasi dengan kekuasaan atau kelompok yang berkuasa, baik dalam skala
lokal, nasional, maupun global, baik dalam pengertian praktis maupun tekstual.
Politik praktis menunjuk pada tindakan-tindakan dalam dunia politik yang
tampak secara fisik, sementara politik tekstual lebih mengarah pada upayaupaya kelompok yang berkuasa atau memegang dominasi untuk mengendalikan
makna teks. Target upaya itu sangat jelas, yakni menepis atau menghalangi
kemungkinan munculnya makna-makna lain di luar yang telah disediakan oleh
“rezim penguasa” sekaligus “rezim pengendali makna”.
Dalam pengertian tersebut, teks telah diposisikan sebagai sebuah aparat.
Pengertian lain Politik Sastra Banding adalah pelaksanaan politik atau kebijakan

Prosiding

487

pendidikan tentang penanganan/ pengajaran Sastra Banding. Dalam konstelasi
politik yang demikian itu buku itu mencoba menghadirkan makna-makna lain.
Makna-makna lain yang diutarakan berasal dari proses pengaitan sastra dan
politik dan cara-cara membongkar politik dalam teks. Dengan kata lain,
pemunculan makna-makna yang berbeda itu merupakan manifestasi usaha
pemanfaatan teori dalam disiplin ilmu lain terhadap sastra dan masuk dalam
cakupan Sastra Banding.
Demikian beberapa artikel kritik terhadap teori, sejarah, dan atau kritik
(resensi). Pada umumnya, kritik jenis ini lebih memfokuskan perhatian pada
penjelasan konsep teori, perjalanan sejarah perkembangan sastra, dan pemaparan
mengenai metode tertentu dan bagaimana penerapannya dalam studi sastra. Jadi,
artikel-artikel demikian sifatnya lebih umum dan tidak mengarah kepada karya
sastra.
4. Simpulan dan Saran
Dari seluruh uraian di depan akhirnya dapat digeneralisasikan beberapa
hal berikut. Selain berkembang kritik sastra umum, di Yogyakarta pada kurun
waktu tahun 2000 hingga 2008 berkembang pula kritik akademik. Kritik
akademik terutama berkembang dalam jurnal-jurnal ilmiah, di antaranya dalam
Humaniora terbitan FIB UGM. Seperti terjadi pada kehidupan kritik umum,
kehidupan kritik akademik juga memiliki ketergantungan yang kuat pada media
cetak. Dikatakan demikian karena tradisi untuk menerbitkan artikel-artikel
ilmiah itu ke dalam bentuk buku masih belum terbangun.
Sementara itu, dari hasil penelitian tentang orientasi karya-karya kritik
akademik itu dapat disimpulkan sebagai berikut. Ditemukan bahwa ternyata
orientasi kritik akademik sastra Indonesia dalam jurnal Humaniora mengarah
pada dua sasaran besar, yaitu kritik terhadap karya sastra dan kritik terhadap halhal di luar karya sastra. Orientasi kritik terhadap karya sastra secara dominan
tertuju kepada novel, kemudian disusul kepada cerpen dan puisi, sedangkan
kritik terhadap karya (naskah) drama tidak ada. Sementara itu, kritik terhadap
hal-hal di luar sastra tertuju kepada teori, sejarah, dan kritik itu sendiri,
sedangkan khusus kritik terhadap pengarang, penerbit, pengayom, dan pembaca
tidak ada. Apabila dibandingkan, orientasi kritik terhadap karya sastra lebih
dominan daripada kritik terhadap hal-hal di luar sastra. Kenyataan demikian
membuktikan bahwa dewasa ini telah terbangun suatu kesadaran yang tinggi
bahwa sesungguhnya yang disebut kritik sastra adalah kritik terhadap karya
sastra, bukan kritik terhadap hal-hal lain yang ada di luar karya sastra. Hal ini
sekaligus membuktikan bahwa kritik akademik memiliki ciri yang berbeda
dengan kritik umum.
Sebagaimana diketahui bahwa penelitian ini hanyalah semacam studi
kasus, dalam arti objek dan masalah yang dibahas terbatas pada karya kritik
yang terbit dalam salah satu di antara sejumlah jurnal yang terbit di Yogyakarta.

Prosiding

488

Oleh sebab itu, simpulan dan hasilnya sangat tentatif dan belum dapat mewakili
kecenderungan kritik akademik sastra Indonesia di Yogyakarta. Berkenaan
dengan hal itu, diharapkan (disarankan kepada para peneliti lain) agar penelitian
sejenis dilakukan pula terhadap karya-karya kritik yang terbit dalam jurnaljurnal lain sehingga diperoleh gambaran lengkap mengenai ciri, jenis, dan
orientasi umum mengenai kritik sastra Indonesia di Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran T. 2003. ”Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya.” Dalam
Jabrohim (Ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita.
Abrams, M.H. 1981. (Fourth Printing). A Glossary of Literary Terms. New
York: Holt, Rinehart, and Winston.
Damono, Sapardi Djoko. 1998/1999. “Kritik Sastra Jawa”. Bahan diskusi untuk
Penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa di Wisma Arga-mulya, Tugu,
Bogor, 3--5 Maret 1999.
Iser, Wolfgang. 1980. “Interaction between Text and Reader”. In Susan R.
Suleiman and Inge Crosman (ed.). The Reader in the Text.
Princetown: Princetown University Press.
----------. 1987 (Fourth Printing). The Act of Reading: A Theory of Aesthetic
Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Jauss, Hans Robert. 1974. “Litera