Fatwa Tarjih tentang Wanita Haid dan Jihad di Muhammadiyah

1
Fatwa Tarjih tentang Wanita Haid dan Jihad di Muhammadiyah
Pertanyaan:
1. Apakah seorang wanita yang sedang haidh (menstruasi) diperbolehkan hadir
mendengarkan pengajian di masjid ?
2. Apakah bagi seorag wanita yang sedang haidh diperbolehkan memegang dan
membaca al Qur’an ?
3. Apakah bagi seorang wanita yang sedang haidh diperbolehkan memandikan
dan mengkafani janazah ?
Hj. Paisri, Dusun Jatirejo Rt 10/I Glagah Agung
Jawaban:
Untuk menjawab tiga pertanyaan saudari, akan kami sampaikan jawaban dengan
menyatukan pertanyaan nomor 1 dan nomor 2, kemudian disusul dengan jawaban
untuk nomor 3.
1. Jawaban untuk pertanyaan nomor 1 dan nomor 2.
Pertanyaan senada pernah diajukan kepada kami, dan telah dijawab dalam
Suara Muhammadiyah, bahkan telah dimuat dalam Buku Tanya Jawab
Agama Jilid I halaman 155, yang ringkasnya sebagai berikut: Tentang wanita
haidh membaca al Qur’an, para Imam Madzhab berbeda pendapat. Imam Abu
Hanifah membolehkan bila kurang dari satu ayat. Imam Malik membolehkan
membaca al Qur’an, tetapi tidak membolehkan bagi orang yang junub

membaca al Qur’an. Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad tidak membolehkan
orang yang junub dan wanita yang sedang haidh membaca al Qur’an
walaupun kurang dari satu ayat. Pendapat terebut berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu ’Umar
yang artinya sebagai berikut. Nabi saw bersabda: “Janganlah orang-orang
yang sedang berjunub dan berhaidh membaca sesuatu dari al Qur’an.”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh ad Daruquthni dari Jabir Ibn
‘Abdullah yang artinya sebagai berikut. Nabi saw bersabda:”Janganlah
orang yang sedang haidh dan jangan pula orng yang sedang nifas membaca
sesuatu dari al Qur’an.”
Kedua riwayat tersebut termasuk yang tidak dapat dijadikan hujjah karena
keduanya adalah munkar. Karena tidak ada dalil yang maqbul yang melarang
orang yang sedang haidh membaca al Qur’an dan masuk masjid, maka
dikembalikan kepada hukum asal, yaitu boleh.
Kami tambahkan bahwa orang yang sedang dalam keadaan junub, dilarang
masuk masjid kecuali lewat saja sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

2

Artinya:Hai orang-orang yang berimanjanganlah kamu shalat, sedang kamu

dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan,jangan pula menghampiri masjid, sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu, hingga kamu mandi . . .
(an Nisa:43).
2. Pertanyaan nomor 3 pun pernah diajukan kepadakami dan sudah dijawab, dan
sudah dimuatdalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 238,
ringkasnya sebagai berikut:
Tidak ada bagi larangan bagi orang yang sedang haidh dan orang yang malam
harinya mengumpuli isterinya, dan siang harinya memandikan janazah.
Yang dituntunkan oleh Nabi saw ialah, agar orang yang memasukkan janazah
dalam liang kubur itu orang yangpada malam harinya tidak mengumpuli
isterinya. (Lihat HPT halaman 252).

Artinya:Dari Anas, ia berkata: Aku melihat anak perempuan Rasulullah saw
ketika di kubur dan ketika belaiu duduk di sisi kuburan itu, aku
melihat mata Rasulullah saw berlinang-linang. Ia menanyakan:
Adakah di antara kamu sekalian yang tidak mengumpuli isteri tadi
malam ? Shahabat Abu Thalhah menyahut: Saya hai Rasulullah.
Nabi kemudian bersabda: Turunlah ke dalam kubur. Lalu Thalhah
turun ke dalam kubur. (HR Ahmad dan al Bukhari).

Kami tambahkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa mandi atau
wudlu bagi orang yang memandikan janazah adalah sunnah, sebagaimana
ditegaskan dalam suatu hadits:

3

Artinya:Dari Abu Hurirah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa memandikan mayit hendaklah mandi dan barangsiapa
membawanya hendaklah berwudlu. (ditakhrijkan oleh Ahmad, an
Nasai dan at Tirmidzi dalam ash Shan’ani Juz I halaman 70).
Maka tidaklah berdosa apabila memandikan atau mengkafani mayit tanpa
mandi dan tanpa wudlu, sebab hadits tersebut tidak bermaksud mewajibkan.
Maka wanita haidh pun boleh memandikan mayit.
Pertanyaan:
1. Bolehkah Tuan jelaskan sedikit tentang sejarah kelahiran
Muhammadiyah khasnya yang berkaitan dengan jihad.
2. Apakah jihad termasuk salah satu matlamat Muhammadiyah ditubuhkan?
Jika ya, bolehkah Tuan menerangkan sejauhmana keterlibatan
Muhammadiyah dalam berjihad pada waktu itu sama ada dalam konteks
kehidupan beragama dan bernegara.

3. Saya melihat dalam perlembagaan (Anggaran Dasar) Muhammadiyah
tidak ada disebutkan sama sekali tentang perkataan jihad dalam erti
mengangkat senjata. Bolehkah Tuan jelaskan secara terperinci kedudukan
jihad dalam perlembagaan Muhammadiyah sama ada dalam erti jihad
secara umum ataupun secara khas (perang suci atau mengangkat senjata).
4. Berkaitan dengan soalan nomor 3, dimohon dengan segala hormatnya
agar Tuan boleh menjelaskan bentuk jihad pertubuhan Muhammadiyah,
dan juga aktiviti-aktiviti Muhammadiyah yang berkaitan dengan jihad.
5. Pertubuhan Muhammadiyah selalu dikaitkan dengan gerakan Islam
Modernis dimana reality oraganisasi ini sememangnya diterajui oleh
mayoriti cendekiawan muslim. Bolehkah Tuan menerangkan tentang
peranan kaum cendekiawan terhadap efektifiti Muhammadiyah khasnya
dalam bidang jihad di alaf baru.
6. Dengan tidak menafikan beberapa kelebihan yang ada dalam
Muhammadiyah, seperti kemajuan dalam bidang pendidikan dari
peringkat rendah sampai pengajian tinggi, pengurusan dan pentadbiran
organisasi yang baik dan cekap, khidmat sosial dan kebajikan masyarakat
yang cukup baik, seperti hospital dan panti asuhan, dan lain-lain, namun

4

pada masa yang sama terdapat setengah pandangan yang mengatakan
bahwa Muhammadiyah adalah sangat miskin kader untuk dipersiapkan
menjadi Ulama yang mampu menguasai berbagai ilmu agama yang
mantab. Apakah komen Tuan dalam hal ini ? Dan jika benar pandangan
tersebut, apakah usaha-usaha Muhammdiyah untuk mengatasi kelemahan
tersebut dalam rangka merealisasikan jihad dengan lebih berkesan.
7. Bagaimana sikap dan pendirian Muhammadiyah terhadap wacana dan isu
Negara Islam dan Piagam Jakarta ? Adakah pendirian yang seperti mana
Tun sampaikan itu sekaligus merupakan tanggung jawab Muhammadiyah
terhadap Pelaksanaan Jihad. Dimohon Tuan memberikan huraian dan
komen yang agak panjang.
8. Bolehkah Tuan memberi penjelasan tentang persamaan dan perbedaan
NU dan Muhammadiyah dalam melaksanakan tanggung jawab berjihad?
Dan adakah titik temu di antara keduanya? Jika ada, dimanakah letaknya.
9. Tidak ada seorangpun pemikir atau tokoh yang menafikan betapa
pentingnya ukhuwah dan perpaduan sesama orang Islam tidak mengira
kaum, bangsa dan organisasi dalam menjunjung tinggi usaha jihad demi
tegaknya kebenaran dan keadilan serta undang-undang Allah swt berjaya
direalisasikan di permukaan bumi. Apa nasihat dan saranan Tuan
terhadap segelintir ahli Muhammdiyah yang sering mengabaikan perkara

tersebut, khasnya mereka yang berada di daerah-daerah.
Masruhan B.K. Choteb, No. 15 Jalan Melati, Gombak Setia, 53100,
Selangor, Darul Ehsan Malaysia.

Jawaban:
1. Sebelum menjelaskan Sejarah Muhammadiyah, khususnya yang berkaitan
dengan jihad, maka perlu dikaetahui lebih dahulu pengertian jihad secara
ringkas.
Jihad, dipandang dari sudut etimologi berarti bersungguhsungguh.Menurut terminologi Islam, jihad ialah perjuangan secara
sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi yang ada, baik
harta, pikiran maupun tenaga, sesuai dengan perintah Allah, yaitu
menegakkan dan membela agama Allah.
Dalam 33 ayat dalam al Qur’an, jihad diartikan dengan perjuangan di jalan
Allah dengan berbagai macam tingkatan, dari yang terkecil hingga yang
terbesar. Maka jihad mempunyai arti yang sangat luas, tidak selalu
berkonotasi angkat senjata atau perang fisik.
Kata jihad yang disebutkan dalam ayat-ayat Makkiyah, seperti dalam
Surah al ‘Ankabut ayat 6 dan 69 dan Surah al Furqan ayat 52; tidak dapat
diartikan angkat senjata atau perang, sebab Nabi saw ketika masih tinggal
di Makkah, dalam melaksanakan misi risalahnya, tidak pernah melakukan

dengan angkat senjata dengan kaum musyrikin Makkah, padahal

5
Rasulullah saw diperintahkan dengan tegas untuk berjihad. Maka jelaslah
bahwa yang dimaksudkan dengan jihad bukanlah perang saja, melainkan
dapat juga diartikan dengan bersabar, sebab sabar termasuk
perjuanganyang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Rasulullah saw pernah bersabda:

Artinya: Bersabarlah kamu sekalian, sebab aku belum diperintahkan
berperang. (Al Mausu’ah al Qur’aniyah, 1997:179).
Berangkat dari pengertian tersebut, maka Muhammadiyah sejak berdirinya
pada tangal 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 Nopember 1912 M, telah
melaksanakan jihad fi sabiilillah dalam arti berjuang dengan sungguhsungguh membela agama Islam sekalipun tidak dengan angkat senjata.
2. Sebagaimana dijelaskan pada nomor 1, bahwa jihad tidaklah selalu
berkonotasi perang, maka jelaslah bahwa jihad merupakan perjuangan
yang diprogramkan. Namun jihad berkonotasi perang, seperti yang pernah
dilakukan perang melawan penjajah Belanda untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan di sekitar tahun 1945 sampai dengan
tahun 1949 banyak dilakukan oleh warga Muhammadiyah, sekalipun tidak

atas nama Muhammadiyah.
3. Memang Muhammadiyah tidak mencantumkan kata jihad dalam Anggaran
Dasarnya,
karena
Muhammadiyah
idak
memandang
perlu
mencantumkannya secara eksplisit, sebab yang penting adalah operasional
Persyarikatan. Muhammadiyah memandang bahwa jihad tidak selalu
berkonotasi perang atau angkat senjata. Maka mengembangkan
pendidikan pun pada hakekatnya termasuk jihad fi sabiilillah, bahkan
merupakan perjuangan yang sangat mendasar. Dengan pendidikan
dapatmemperbaiki akhlaq, mengembangkan ilmupengetahuan dan
teknologi yang pada masa kini sangat diperlukan, sebagaimana ditegaskan
dalam firman Allahpada Surah al Anfal ayat 60, Srah at Taubah ayat 122,
Surah al Mujadilah ayat11, Surah ar Rahman ayat 33 dan banyak ayatayat lainnya yang menganjurkan mencari ilmu pengetahuan, sebab
kekuatan umat Islam berada pada ilmu pengetahuan.
4. Adapun aktivis Muhammadiyah yang sangat gigih dalam berjihad atau
memperjuangkan pertumbuhan dan perkembangan Islam serta aktif dalam

beramar ma’ruf dan nahi munkar dalam rangka membela agama Allah
antara lain: K.H. Ahmad Dahlan –sebagai pendiri Muhammadiyah- yang
kemudian
dilanjutkan
oleh
para
penerusnya.
Tokoh-tokoh

6
Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusuma, Hamka, Abdul Kahar
Muzakir dan Kasman Singodimedjo dalam sidang-sidang BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 atau
dalam Majlis Konstituante (1956 – 1959) mendukung gagasan sebuah
negara berdasarkan Islam, sebagaimana juga menjadi tujuan perjuangan
semua Partai Islam. Antara tahun 1945 smpai dengan tahun 1960, dalam
politik praktis, Muhammadiyah merupakan bagian dari Partai Masyumi.
(Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2000, Hubungan Muhammadiyah dan Negara,
halaman 8). Perjuangan Muhammadiyah terus dilanjutkan sekalipun
mengalami perubahan para ketuanya, seperti K.H. Mas Mansur, K.H.

Ahmad Badawi, H. A.R. Fakhruddin, K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA,
Prof. DR. H. Amin Rais dan yang sekarangPof. DR. H. Ahmad Syafi’i
Ma’arif.
5. Jawaban Nomor 5 telah tercakup dalam jawaban Nomor 4.
6. Jika yangdimaksudkan ulama adalah oaring yang menguasai kitab-kitab
yng berbahasa Arab, -yang terkenal dengan istilah “kitab kuning,”
memang Muhammadiyah miskin, tetapi tidak sangat muskin. Untuk
mengatasinya akhir-akhir ini di beberapa daerah telah dibangun pondokpondok pesantren dan di Yogyakarta telah didirikan Pendidikan Ulama
Tarjih Muhammadiyah. Tetapi jika dimaksudkan ulama adalah orang yang
mengamalkan ilmunya (al Jurjani, 1321, halaman 107) insya Allah di
Muhammadiyah tidaklah kurang.
7. Sikap dan pendirian Muhammadiyah terhadap wacana dan isu Negara
Islam dan Piagam Jakarta, telah berkali-kali dijelaskan, terutama oleh
pimpinan Pusat
Muhammdiyah, yang ringkasnya sebagai berikut:
Muhammadiyah dalam Anggaran Dasarnya tidak pernah mencantumkan
kata Negara Islam, tetapi Masyarakat Islam. Namun tokoh-tokohnya
seperti Ki Bagus Hadikusuma, Hamka, Abdul Kahar Muzakirdan Kasman
Singodimedjo dalam siding-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 atau dalam Majlis Konstituante

(1956 – 1959) memang mendukung gagasan sebuah negara berdasarkan
Islam, sebagaimana juga menjadi tujuan perjuangan semua Partai Islam.
Dalam perkembangan visi Muhammadiyah tentang Negara, telah
mengalami perubahan drastis, tidak lagi menuntut Islam –sebagai dasar
Negara- seperti sebelumnya. Menurut Syafi’i Ma’arif, Muhammadiyah
perlu memperjelas dan mempertegas posisinya dalam hubungannya
dengan Negara. Harusnya dinyatakan bahwa Negara tidak lain dari pada
salah satu alat penting untuk mencapai tujuan untuk mencapai da’wah
Islam berupa terciptanya suatu masyarakat utama atau masyarakat Islam
dalam koridor keridlaan Ilahi. Masyarakat itu harus adil, terbuka dan
menghargai pluralisme pandangan hidup dan aspirasi politik, tetapi semua
pihak wajib tunduk kepada ketentuan konstitusi yang telah disepakati
bersama. Dalam menggagas sebuah system politik Muhammadiyah lebih

7
baik mengutamakan substansi tinimbang bentuk dan merek. Syafi’i
Ma’arif , 2000, Hubungan Muhammadiyah dan Negara, halaman 9).
Adapun mengenai sikap Muhammadiyah terhadap Piagam Jakarta, adalah
telah tertuang dalam Surat Edaran No. 10/EDR/1.0/1/2002 Tanggal 07
Jumadil Tsani 1423 H/16 Agustus 2002 M Penjelasan Sikap
Muhammadiyah tentang Penegakkan Syari’at Islam dan Perubahan Pasal
29 UUD 1945. (Baca dalam Suara Muhammadiyah No. 17/TH. KE 87// 1
– 15 September 2002).
8. Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah
dalam melaksanakan tanggung jawab berjihad, yaitu membela agama
Allah swt, agar Islam tetap jaya, sesuai dengan tuntunan al Qur’an dan as
Sunnah.
9. Nasihat dan saran yang sering disampaikan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah antara lain:
a. Hendaklah selalu berpegang teguh kepada al Qur’an dan as
Sunnah.
b. Hendaklah selalu berkomunikasi dan berkonsultasi dengan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
c. Hendaklah selalu memperhatikan dan mengamalkan keputusan
Muktatamar Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21 2002