Shalat Lail Berjamaah, Mengatur Saf, Doa... 58KB Jun 13 2011 06:28:07 AM

Shalat Lail Berjamaah, Mengatur Saf, Doa, Shalat Sebelum Jum’at, Tenaga Amal
Usaha Non Muslim dan Gedung Muhammadiyah Disewakan Non Muslim
Pertanyaan 1
Pertanyaan saudara yang panjang itu, dapat diringkas sebagai berikut: Apakah shalat Lail
yang dilakukan secara berjama’ah di rumah atau di masjid secara periodik, dapat di
benarkan dan adakah dasar pegangannya ? Terima kasih.
Rumanto, Nyamplung,
Balecatur, Gamping, Sleman
Jawaban
Sebelum sampai kepada inti jawaban, lebih terdahulu kami jelaskan hal-hal sebagai
berikut:
a. Pada garis besarnya “ibadah” ada dua macam, yaitu ibadah dalam pengertian luas
(umum) dan ibadah dalam pengertian sempit (khusus) yang sekarang ini lazim
disebut dengan istilah ritual. Ibadah dalam pengertian luas adalah menjalani
kehidupan untuk memperoleh keridlaan Allah dengan mentaati syari’atNya.
Dengan demikian semua aktifitas (amalan) yang diizinkan Allah, bila dikerjakan
dengan tujuan untuk memperoleh keridlanNya merupakan ibadah dalam arti
umum(luas) itu, misalnya: mencari ilmu pengetahuan, mencari rizki, mengolah
alam seperti bertani, menjala ikan dan sebagainya. Dalam ibadah yang bersifat
umum al Qur’an menjelaskan secara global, prinsip-prinsipnya saja, sedang
rinciannya sebahagian diterangkan oleh Nabi saw dan sisanya diserahkan kepada

kita ummatnya. Disinilah lapangan berijtihad (mengeluarkan sesuatu hukum
dengan mempergunakan segenap kemampuan dari dalil-dalilnya) oleh para
ahlinya (mujtahid).
b. Ibadah dalam arti sempit, yaitu ibadah yang macam dan cara melaksanakannya
ditentukan dalam Syara’. Ibadah khusus ini bersifat “statis “ dan mutlak. Manusia
tinggal melaksanakannya sesuai dengan peraturan dan tuntunan yang ada dari
Syara’, tidak boleh merubah,menambah atau mengurangi. Misalnya bersuci untuk
mengerjakan shalat dilakukan dengan menggunakan air, bila tidak mungkin
menggunakan air diganti dengan debu.Mengapa dengan debu ? Tidak bolehkah
dengan bedak misalnya ? Jawabnya: Tidak boleh dengan bedak, sebab perintah
Syara’ adalah menggunakan debu. Dalam ibadah macam kedua ini (ibadah
khusus), kita tidak boleh menggunakan ijtihad, tetapi harus ittiba’ kepada
Rasulullah saw.
c. Kalau kita melihat kepada shalat Lail atau shalat Tahajud seperti yang saudara
tanyakan itu, maka ia termasuk ke dalam kelompok ibadah khusus, telah
dijelaskan secara rinci cara-cara pelaksanaannya oleh Syara’. Kita tinggal
melaksanakannya, tanpa merubah, menambah atau mengurangi atau variasivariasi lainnya.
Shalat Lail yang boleh dikerjakan secara berjama’ah, hanya shalat tarawih di
bulan Ramadlan. Shalat Lail di luar bulan Ramadlan (Shalat Tahajjud) tidak
pernah dilakukan Rasulullah saw secara berjama’ah. Begitu pula oleh para

shahabat dan ulama salaf. Bahkan Nabi saw sesudah Shalat Maghrib dan Isya
secara berjama’ah, beliau tidak melakukan shalat sunnatnya di masjid, tetapi

beliau kerjakan di rumah, sepulang dari masjid. Dalam satu hadits, Nabi saw
pernah bersabda:

Artinya: Wahai sekalian manusia, shalatlah kalian di rumahmu, karena
sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya,
kecuali shalat wajib.
d. Muhammadiyah sekalipun melakukan ijtihad, tetapi ijtihad yang dilakukan
merujuk kepada cara yang ditempuh ulama salaf, yaitu tidak berijtihad dalam
bidang aqidah dan ibadah. Sekali lagi dalam bidang ibadah khusus kita memegang
prinsip ittiba’ mengikuti Nabi saw, tidak kepada ijtihad para mujtahid, apalagi
pendapat-pendapat orang. Kita memegang qa’idah yang dipakai para ahli ijtihad
(mujtahid), yaitu:

Artinya: Pada prinsipnya dalam urusan ibadah hukumnya batal (tidak boleh)
sehingga ada dalil yang menunjukkan yang memerintahkannya.
Sebaliknya dalam menghadapi masalah ibadah dalam arti umum, kita
berpegang kepada qa’idah atau prinsip:


Artinya: Pada prinsipnya dalam urusan akad-akad atau mu’amalah, adalah sah
(boleh), sehingga ada dalil yang membatalkan atau mengharamkannya.
Dengan memperhatikan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwamengerjakan Shalat Lail (selain Shalat Tarawih di bulan Ramadlan) tidak
ada dasarnya, tidak dibenarkan oleh Syara’ dan tidak boleh menerapkan ijtihad
dalam hal tersebut, karena ia termasuk dalam kategori ibadah khusus.
Pertanyaan 2:
a. Bagaimanakah tuntunan Nabi saw tentang pengaturan shaf shalat, sebelum
ataukah sesudah iqamah ?
b. Apakah kita dalam berdo’a sebaiknya menghadap kiblat atau boleh
menghadap ke mana saja ?

c. Di kala matahari tegak lurus kita dilarang melakukan shalat ? Bagaimana
halnya dengan shalat-shalat yang dilakukan di masjid pada hari Jum’at
sebelum waktu dhuhur atau sebelum imam (khatib) naik ke mimbar ?
Syahrul Ismail
Jl. Perak No. 2 Pematang Siantar
Jawaban:
Pertanyaan saudara akan kami jawab sesuai dengan urutan pertanyaan, yaitu

sebagai berikut :
a. Mengenai pengaturan shaf sebelum shalat, diterangkan oleh banyak hadits,
antara lain dalam hadits riwayat al Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas
ra, Nabi saw bersabda:

Artinya:

Luruskanlah shaf-shafmu, karena meluruskan (menyamakan) shaf
itu termasuk kesempurnaan shalat.

Pengaturan shaf itu dilakukan oleh Imam, sebelum bertakbir dan tentu saja
sesudah iqamah.
b. Dalam berdoa seyogyanya menghadap ke kiblat, berdasarkan kepada dalil
yang umum, seperti waktu Nabi saw membaca do’a minta hujan, Nabi saw
menghadap ke kiblat, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat al
Bukhari; dan ada juga hadits riwayat ath-Thabrani dengan sanad hasan dari
Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Sesungguhnya setiap sesuatu ada penghulunya . Dan sesungguhnya
penghulu majlis (tempat duduk) itu menghadap kiblat.

Namun harus diingat Nabi saw sesudah selesai salam dalam shalat yang
dilakukan dengan berjama’ah, beliau menghadapkan dirinya ke arah
makmum, padahal beliau masih membaca beberapa dzikir .ini menunjukkan
bahwa berdoa tidak harus menghadap kiblat. Juga pada waktu menutup
khutbah, khatib berdoa tidak menghadap kiblat , bahkan membelakanginya.
c. Pada hari Jum’at, orang boleh melakukan shalat sunnat Tahiyyatul Masjid
walaupun matahari tegak lurus, belum waktu dhuhur. Untuk mengerjakan

shalat Jum’at dan berkhutbah harus sesudah masuk waktu dhuhur. Begitu juga
di hari selain Jum’at , kalau kita masuk masjid disunnatkan mengerjakan
shalat sunnat Tahiyyatul Masjid sebanyak dua raka’at , meskipun belum
masuk waktu dhuhur atau waktu ashar. Hal ini sesuai dengan isi hadits
riwayat al-Jama’ah dari Abu Qatadah, Nabi saw bersabda:

Artinya: Apabila salah seorangdari kalian masuk ke masjid, hendaklah
mengerjakan shalat dua sujud (dua raka’at) sebelum ia duduk.
Pertanyaan 3:
a. Bolehkah untuk amal usaha Muhammadiyah menggunakan tenaga guru atau
tenaga
dokter yang bukan tenaga DPK atau PNS di luar anggota

Muhammadiyah atau dari kalangan non muslim.
b. Bolehkah gedung yang tak terpakai (kosong) milik persyarikatan
Muhammadiyah disewakan kepada yayasan non muslim misalnya Yayasan
Nasrani ?
Ahmad Syam
Jl. KH A Dahlan Binjai
Jawaban:
a. Untuk memaksimalkan terwujudnya tujuan Muhammadiyah , sedapat mungkin
amal usaha Muhammadiyah ditangani langsung oleh para anggotanya yang
memiliki keahlian dan kemampuan yang sesuai dengan bidang atau jenis amal
usaha yang dikerjakan. Dengan para anggota yang menangani amal usaha
Muhammadiyah, karena mereka merasa ikut memiliki amal usaha tersebut,
maka akan lebih dapat diharapkan mereka akan bekerja semaksimal mungkin,
yang pada gilirannya akan dapat diharapkan hasil yang lebih optimal.
Lebih mengarah kepada pertanyaan yang diajukan, khusus untuk guru dalam
mata pelajaran Kemuhammadiyahan dan mata pelajaran Agama Islam, sedapat
mungkin diajarkan oleh guru dari anggota Muhammadiyah sendiri, sebab dalam
dua mata pelajaran tersebut sangat sarat dengan visi Muhammadiyah. Jika betulbetul tidak ada dari kalangan warga Muhammadiyah atau karena satu dan lain
hal, sehingga tidak mungkin diambil guru dari kalangan Muhammadiyah, baru
dapat diambil guru dari kalangan muslim di luar anggota Muhammadiyah,

tetapi harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai sebagai guru dan
mempunyai pandangan yang sejalan dengan visi Muhammadiyah. Untuk dua
mata pelajaran di atas guru non muslim, -sekalipun ia memiliki pengetahuan
yang cukup tentang Kemuhammdiyahan dan Agama Islam- menurut pendapat
kami tidak dibenarkan mengambilnya sebagai guru Kemuhammadiyahan dan

Agama Islam di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sebab, sebagai guru dalam
dua mata pelajaran tersebut tidak cukup dengan pengetahuan yang dimiliki,
tetapi juga ia harus meyakini dan mengamalkannya sebagai suri tauladan bagi
anak didiknya. Sedangkan untuk mata pelajaran selain yang dua disebutkan di
depan -yang cenderung bersifat keduniaan,- demikian pula untuk tenaga medis
dan dokter, jika memang ada dari kalangan anggota
atau warga
Muhammadiyah, tentunya diambil dari kalangan sendiri; dan jika memang
betul-betul tidak ada, baru diambil dari kalangan muslim di luar anggota atau
warga Muhammadiyah dan kalau prioritas kedua ini juga tidak ada atau tidak
mungkin dilakukan, baru kepada pilihan terakhir mengambil tenaga dari
kalangan non muslim. Sungguhpun demikian, sepanjang mereka itu tidak akan
merusak aqidah dan keagamaan umat Islam dan tidak pula akan merusak citra
Muhammadiyah. Kebolehan mengambil tenaga non muslim ini sebagaimana

disebutkan di atas, didasarkan kepada amalan Nabi saw pernah melakukan
perjanjian dalam bidang muamalah (urusan keduniaan) dengan orang non
muslim yakni dengan orang Yahudi sebagaimana dituturkan dalam haditshadits sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya Nabi saw membeli makanan dari orang Yahudi secara
berhutang dan beliau menggadaikan baju besinya.

Artinya: Sesungguhnya ia (Anas) pergi kepada Nabi saw membawa roti, gandum
dan keju yang banyak. (Kata Anas): Sungguh Nabi saw telah
menggadaikan baju besinya di Madinahkepada orang Yahudi dan beliau
mengambil gandum daripadanya untuk keluarga beliau. Dan
sesungguhnya saya (Qatadah) mendengar Anas berkata: Sore hari ini
tidak ada pada keluarga Muhammad saw, segantang gandum dan tidak
pula segantang biji-bijian (makanan) padahal tanggungan beliau
sembilan perempuan (isteri).
c. Membiarkan gedung kosong tak terpakai, dapat diartikan sebagai salah satu
bentuk memubadzirkan harta yang dimiliki. Perbuatan mubadzir adalah
perbuatan yang dilarang oleh Islam. Dalam al Qur’an ditegaskan:

Artinya: ... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara

boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan.
Dengan kata lain Islam memerintahkan untuk memanfaatkan harta yang dimiliki,
namun sepanjang dalam memanfaatkan tersebut tidak bertentangan atau tidak
tidak dilarang oleh Syara’, yang antara lain sekalipun dari satu sisi dapat
mendatangkan keuntungan , namun dari sisi lain yang lebih vital bagi umat Islam
jangan sampai menimbulkan kerugian.
Menyewakan gedung milik persyarikatan Muhammadiyah kepada Yayasan
Nasrani, memang dari satu sisi akan dapat mendatangkan keuntungan secara
material yaitu dengan mendapatkan uang sewa. Namun di sisi lain dengan
menyewakan gedung itu kepada Yayasan Nasrani, maka sulit dipungkiri bahwa
gedung milik persyarikatan itu akan digunakan untuk kemajuan agama mereka.,
yang dapat diartikan secara tidak langsung akan merugikan persyarikatan dalam
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan demikian maka akan dapat
diperkirakan bahwa madlaratnya akan lebih besar darpada manfaatnya. Dalam
qa’idah fiqh disebutkan:

Artinya: Menolak kerusakan didahulukan dari menarik kemanfaatan.
Dan di kala pada suatu urusan itu terdapat dua madlarat, yang dalam hal ini kalau
terpaksa harus mengosongkan gedung, sementara di sisi lain terhambatnya

tegaknya amar ma’ruf nahi munkar, maka kiranya kalau terpaksa mengosongkan
gedung merupakan madlarat yang lebih kecil dari pada terhambatnya amar ma’ruf
nahi munkar dalam qa’idah fiqh disebutkan:

Artinya: Dipilih yang paling ringan dari dua buah kejelekan.
Apalagi kalau dengan penyewaan itu akan berakibat kepada kerusakan yang
sampai menjamah dalam bidang aqidah, akan merupakan kerugian yang lebih
besar dalam pandangan Syara’. Para ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa
menjaga kemashlatan agama (aqidah) harus didahulukan daripada menjaga
kemashlatan harta. Demikian pula jika dikaitkan dengan pertimbangan
kepentingan kehidupan duniawi dan ukhrawi, al- Qur’an telah mengingatkan:

.Artinya: Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
Wallahua’lam bish shawab.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002