Pemikiran Friedrich Wilhel Nietzsche tentang Filsafat dan Mumi.

(1)

PEMIKIRAN FRIEDRICH WILHELM NIETSCHE TENTANG

FILSAFAT DAN MUMI

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

MOHAMMAD ISHAK MAULANA NIM: E51212052

PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Mohammad Ishak Maulana. Pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche tentang Filsafat dan Mumi.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche tentang filsafat dan mumi. adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research). Berdasarkan rumusan masalahnya bagaimana posisi Nietzsche dalam dunia kefilsafatan serta mengenai pemikirannya tentang filsafat dan mumi, hasil penelitian ini menyimpulkan: pertama, Nietzsche adalah pribadi yang berbeda di kalangan filosof. Ia tampil sebagai sosok yang menawarkan filsafat dengan menjadikannya palu. Bertolak belakang dari epistemologi tradisional dengan menempatkan ‘kehendak’ (power) sebagai basis epistemologinya. Bagi Nietzsche, dengan menjadikan kehendak sebagai basis epistemologi, kita akan tahu apa sebenarnya yang diinginkan oleh kehendak. Kedua, adapun yang dimaksud dengan mumi yaitu ‘mumi filosofis’. Sebuah bangunan konseptual yang lepas dari konteks zamannya dan akhirnya menjadi beku: menjadi sebatas kajian semata.

Kata kunci: Filsafat. Mumi. Kebenaran. Manifestasi kebutuhan akan pegangan. Menilai Kembali Semua Nilai.


(7)

DAFTAR ISI

Sampul Depan ... i

Sampul Dalam ... ii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iii

Lembar Pengesahan Panitia Penguji ... iv

Pernyataan Keaslian ... v

Motto ... vi

Persembahan ... vii

Abstrak ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Penegasan Istilah Kunci ... 8

F. Alasan Memilih Judul ... G. Kajian Kepustakaan ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

1. Objek Material dan Objek Formal ... 15

a. Objek Material ... 16

b. Objek Formal ... 18

2. Jenis dan Sumber Data ... 19

a. Data Primer ... 20

b. Data Sekunder ... 21

3. Teknik pengumpulan data dan Analisis Data ... 22

a. Teknik Pengumpulan Data ... 22

b. Teknik Analisis Data ... 23

I. Sistematika Pembahasan ... 25

BAB II BIOGRAFI FRIEDRICH WILHEL NIETZSCHE A. Riwayat Hidup Friedrich Wilhelm Nietzsche ... 28

B. Latarbelakang Pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche ... 36

C. Karya-Karya Friedrich Wilhelm Nietzsche ... 41

BAB III PROBLEM FILSAFAT MENURUT NIETZSCHE A. Gaya Filsafat Nietzsche ... 48

B. Kunci Filsafat Nietzsche ... 48

1. The Will to Power ... 49

2. Nihilisme ... 49


(8)

4. Kembalinya yang Abadi ... 51 C. Filsafat dan Mumi ... BAB IV FILSAFAT DAN MUMI

A. Manifestasi Kehendak ‘Mati-matian’ akan Kebenaran ... 58 B. Filsafat dan Mumi: Menilai Kembali Semua Nilai ... 60 C. Telaah Kritis ... 86 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA ... 84


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah filsafat yang merentang selama lebih dua ribu tahun merepresentasikan pergeseran makna, teori, konsepsi, metode, dan orientasi. Diawali dari kosmosentrisme, teosentrisme, antroposentrime dan sampai pada zaman ini yaitu logosentrisme1. Perubahan ini tentu tidak terlepas dari produk eksistensial seorang filsuf atas zamannya. Franz-Magnis Suseno mengatakan bahwa filosof tidak mencari kesamaan. Kerukunan adalah racun bagi filsafat dan keselarasan merupakan lonceng kematian bagi pemikiran yang kreatif. Agar manusia dapat rukun, ia harus menikmati keadilan, dan agar ia bisa adil, ia harus berpikir kritis, artinya menolak kepuasan intelektual yang asal mencari kesamaan aja.2 Inilah yang disebut oleh Nietzsche tentang pendapatnya mengenai filsafat sebagai seni transfigurasi, Kunst der Transfiguration, seni mengubah bentuk. Artinya, setiap filsuf menggunakan bahan mentah tentang apa saja yang mengenai dirinya sendiri.3

Berkenaan dengan dunia kefilsafatan, sejauh ini kita telah banyak mengantongi beragam corak bangunan filosofis yang sudah dibangun oleh para filosof. Akan tetapi, suatu kekhawatiran akan filsafat harus juga menjadi sebuah

1

Logosentrisme adalah paham yang menekankan kepastian, keberadaan dan kehadiran dari konsep, simbol, dan bahasa yang kita gunakan tampil mewakili kenyataan yang terdapat pada realitas.

2

Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, kata pengantar Franz-Magnis Suseno (LP3ES, 1990), h. vi.

3


(10)

2

tanggung jawab terlebih seputar kemegahan dan kemewahan di mana selama ini masih belum menjadi bentuk aktual baik dari tangan sang filsuf semasa hidup atau pun dari para penerusnya. Di sisi lain, kemegahan bangunan filosofis hanya akan menjadi bahan diskusi semata dan hiasan gaya bicara seseorang, dan karya monumentalnya hanya akan tersimpan rapi di musium dan menjadi sebuah pajangan belaka tanpa suatu transformasi dan bentuk dialog dengan realitas. Sebuah konsep, metode, teori lahir dari pengalaman suatu kondisi sosial dan seyogyanya dimanfaatkan untuk kepentingan perubahan.

Pada abad ke 19 M, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900 M) filsuf asal Jerman yang seringkali mendapat julukan tokoh kontroversial lebih-lebih dalam hal pemikirannya tentang teologi (God is dead). Mengawali sikap kontroversialnya dalam kajian kefilsafatan memandang bahwa Socrates (sosok bijaksana selama ini yang kita kenal dari Athena) dilihat sebagai orang yang mengawali dekadensi dalam sejarah filsafat. Nietzsche mengatakan,4

Socrates dan Plato adalah gejala-gejala kemerosotan, sebagai agen-agen keruntuhan Yunani, sebagai Yunani-palsu, sebagai anti Yunani.

Dengan Socrates maka selera Yunani mengalami perubahan dengan menyukai dialektika: apa yang sebenarnya terjadi ketika hal itu terjadi? Yang terutama terjadi adalah kalahnya selera yang lebih mulia; dengan dialektika, maka yang rendah menjadi raja. Sebelum Socrates, sifat dialektis itu dicela dalam kalangan baik-baik: hal itu dianggap sebagai suatu bentuk perilaku yang tidak baik, orang jadi tahu asal-usul seseorang dengan melihat dialektikanya. Para pemuda diingatkan agar menjauhinya. Dan semua cara dialektis dalam mengemukakan pikiran dipandang dengan curiga.

Jika dilihat dari konteks historis, dialektika yang dikembangkan oleh Socrates merupakan kritik terhadap kaum sofis yang telah mengajarkan

4

Friedrich Nietzsche. Senjakala Berhala-Berhala dan Anti-Krist, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 32-25.


(11)

3

keunggulan retorika dan kebenaran subyektif kepada pemuda-pemuda Athena. Konsep dialektika (dialog antara dua pendirian yang bertentangan) Socrates ini ingin menyampaikan bahwa ada kebenaran obyektif. Di sinilah kritik Nietzsche yang memandang bahwa di balik usaha tersebut terdapat kehendak mati-matian akan pegangan.

Dari Socrates inilah benih dekadensi dalam filsafat terus tumbuh. Sebagaimana kritik Nietzsche terhadap para filsuf pencerahan, seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer yang selalu merindukan sesuatu di balik dunia ini dengan menyatakan adanya dualisme dalam hidup.

Dengan gaya aforisme5 (pernyataan yang padat, singkat dan ringkas) yang menjadi pilihannya dalam menuangkan isi pokok filosofisnya. Tidak berlebihan jika Nietzsche dikatakan sebagai filsuf dari rentetan filosof dengan mimiliki banyak wajah.6 Gaya itu ia pilih sebagai bentuk penolakan atas cara berfilsafat filosof terdahulunya. Kalau perlu, baginya seorang filsuf harus menyangkal pendapatnya yang terdahulu.7 Nietzsche mengatakan,

Kamu menanyai aku mengenai keganjilan-keganjilan para filsuf?.... Semua yang digarap oleh para filsuf itu selama ribuan tahun adalah mumi-mumi konseptual; tidak ada aktualitas yang terlepas dari tangan-tangan mereka dalam keadaan hidup. Mereka membunuh, mereka mengisinya dengan kapuk, ketika mereka memuja, para pemberhala konseptual ini—mereka menjadi bahaya maut terhadap semuanya ketika mereka memuja.8

5

Satu aforisme terdiri dari beberapa kalimat atau hanya satu paragraf. Satu aforisme tidak pernah bergantung pada aforisme sebelum dan sesudahnya. St. Sunardi, Nietzsche

(Yogyakarta: LKiS, 2011) h. 17.

6

A.Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 39.

7

St. Sunardi, Nietzsche, h. 18.

8


(12)

4

Nietzsche melihat ada sesuatu yang hilang dalam diri filsafat di tengah ribuan macam teori yang dikemukakannya. Usaha filsafat untuk mencari hikmah di tengah semua pengetahuan kini menjadi sesuatu yang kurang bermakna, karena setelah sekian lamanya sejarah filsafat belum menemukan tempat pijaknya sebagai hasil dari pemikiran yang begitu dalam. Walaupun, cara untuk melihat dunia tanpa batasan, dan kajiannya yang universal dan aktual.

Hal lain yang masih menjadi sesuatu yang janggal, ketika filsafat dilihat dari segi etimologis dan terminologisnya. Dengan menyebut filsafat sebagai “cinta akan kebijaksanaan”, makna tersebut masih menyiratkan pertanyaan, kebijaksanaan macam apakah yang dicari, dimimpikan, dan diharapkan hadir oleh setiap para pencari (filosof)? Di sinilah posisi kritik Nietzsche untuk para pencari kedalaman dan obat sakit (kebenaran) seorang pengembara (filosof).

Kalaupun filsafat masih tampak berharga, itu hanyalah sebagai paraphernalia (perlengkapan) untuk dekorasi rumah atau gaya bicara. Adalah bergengsi memajang buku-buku tua Plato atau Aristoteles di rak buku. Adalah terpelajar bila kita menyelipkan satu dua kutipan dari omongan para filosof dalam pidato-pidato kita.9

Oleh karena itu, menjadi kekhawatiran akan filsafat jika hanya menjadi warisan tradisi yang taken for granted dan final serta terlepas dari konteks zamannya. Sehingga, mempelajari filsafat hanya terperangkap dalam penjara pemikiran para filosof, tanpa mengalami transformasi dari ide-ide tajam dan besar

9


(13)

5

tersebut. Di samping itu, filsafat akan hanya menjadi pisau analisis para intelektual atas kondisi sosial tanpa tanggung jawab.

Melalui kritik Nietzsche terhadap filsafat, penelitian ini bermaksud untuk menelusuri sejauh mana konsep, metode, dan teori dalam filsafat itu memiliki nilai transformasi dalam kehidupan. Sehingga nantinya kita dapat memahami bahwa filsafat bukanlah pengetahuan yang tidak menemukan tempat pijaknya.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gaya khas filsafat Friedrich W. Nietzsche? 2. Bagaimana konsep Nietzsche tentang filsafat dan mumi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Mengetahui gaya khas filsafat Friedrich W. Nietzsche. 2. Mengetahui pemikiran Friedrich tentang filsafat dan mumi. D. Manfaat Penelitian

1. Menambah khazanah keintelektualan dalam Pemikiran Nietzsche Tentang Filsafat Dan Mumi.

2. Penelitian ini diharapkan bisa mewarnai dinamika keintelektualan baik di kalangan akademisi maupun non-akademisi.

3. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi dasar dari penelitian selanjutnya.


(14)

6

E. Penegasan Istilah Kunci

1. Friedrich Nietzsche: Filsuf asal Jerman, lahir di Rocken (Saxony) pada 15 Oktober 1844. Anak dari Karl Ludwig dan Franziska. Ayah dan kakek-neneknya adalah biarawan Protestan.

2. Filsafat: dalam pandangan Nietzsche, filsafat adalah Kuns der Transfiguration. Artinya, seni yang memberi bentuk-bentuk terhadap apa pun yang mengenai kebertubuhan kita.

3. Mumi: mumi dalam kajian pemikiran Nietzsche ini merupakan kata yang digunakan sebagai samaran atau topeng dari kerangka konseptual para filosof sebelumnya yang terlalu tinggi dan bahkan bertolak belakang dari realitas yang dialami.

F. Alasan Memilih Judul

Penulis memilih judul „Pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche Tentang Filsafat dan Mumi‟ untuk menjadi topik pembahasan dalam skripsi ini. Alasannya; pertama, untuk mengetahui pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche tentang filsafat yang dianggapnya menjadi mumi. Dalam hal ini mengenai sikap pengembara (para filosof) yang terus dihantui oleh kehendak mati-matian akan kebenaran khususnya dimulai sejak Socrates. Kedua, rasa ingin tahu penulis tentang cara berfilsafat Nietzsche, khususnya anti-sistem atau menilai kembali semua nilai (tidak ada nilai akhir, hanyalah permukaan), dan mendapatkan “nilai

baru”. Ketiga, judul ini belum pernah dibahas, namun sempalan-sempalan

pemikiran Nietzsche (anti-sistem dan tidak adanya kebenaran final) tidak menutup kemungkinan seringkali menjadi titik tolak oleh para penulis. Keempat,


(15)

7

terinspirasi oleh pribadi penulis dari pertanyaan “antara pikiran dan realitas” yang tidak pernah akur. Kelima, ikut serta membantu mewarnai kajian atau topik tentang filsafat Nietzsche.

G. Kajian Pustaka

Sejauh ini penulis masih belum menemukan kajian pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche tentang filsafat dan mumi. Adapun terkait dengan sempalan-sempalan pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche seperti manusia super, kehendak bebas, the will to power ada sedikit kesan kesamaan. Seperti dalam skripsi Zainul Arifin (2004) “Konsep Kehendak Manusia dalam Pemikiran Nietzsche dan Mu’tazilah (Studi Komparatif)”.10 Dalam skripsi tersebut Zainul Arifin memaparkan seputar kehendak bebas manusia dari sisi filosofis dan teologis.

Terkait dengan manusia unggul (Ubermansch), Puji Utomo dalam

skripsinya yang berjudul “Manusia Unggul Menurut Friedrich Nietzsche

(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)”.11 Puji utomo menjelaskan komparasi antara konsep Ubermansch yang dibangun oleh Nietzsche dengan filsafat pendidikan Islam. Dari sisi teologis yang berfokus pada aspek metafisika, Anik

10

Jainul Arifin, Konsep Kehendak Manusia Dalam Pemikiran Nietzsche Dan Mu’tazilah

(Studi Komparatif) (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2014).

11

Puji Utomo, Manusia Unggul Menurut Friedrich Nietzsche (Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam) (Skripsi Fakultas Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2010)


(16)

8

Karimuloh (2003) “Kritik Nietzsche Terhadap Metafisika Dalam Pemikiran Filsafat Barat”.12

Adapun buku yang membahas Nietzsche sudah banyak. Hanya saja buku-buku tersebut seolah ingin merangkum pikiran-pikiran Nietzsche dalam satu buku-buku sehingga tidak ada konsentrasi terhadap salah satu konsepnya. Dalam bukunya St. Sunardi (2011) dengan judul “Nietzsche” menjelaskan konsep kehendak untuk berkuasa sebagai basis dalam filsafat Nietzsche.

Dalam bukunya A. Setyo Wibowo (2004) “Gaya Filsafat Nietzsche

(2004)”, Nietzsche hanya dikaji dalam kerangka genealogi kehendak akan kebutuhan untuk percaya. Kebanyakan para peneliti Nietzsche mengkaji tentang persoalan teologinya Tuhan telah mati. Seperti Ahmad Santoso (2013), dengan

judul buku terbalik “Nietzsche Sudah Mati” merupakan tafsir ulang atas pikiran

-pikiran Nietzsche terkait dengan teologinya.13

H. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari dokumen atau buku-buku yang membahas tentang fokus tersebut. Sehingga penelitian ini juga dapat disebut dengan penelitian pustaka (library reseach).

12

Anik Karimuloh, Kritik Nietzsche Terhadap Metafisika Dalam Pemikiran Filsafat Barat

(Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2003)

13


(17)

9

Peneliti mengikuti cara dan arah pikiran seorang tokoh, yaitu Friedrich W. Nietzsche. Dengan demikian sudah sendirinya terjamin, bahwa objek (formal) penelitiannya bersifat filosofis. Tokoh itu sendiri, dengan berpikir secara filosofis, sudah mempergunakan segala unsur metodis umum yang berlaku bagi pemikiran filsafat, dengan gayanya pribadi. Dan peneliti hanya ikut serta dalam pemikiran tokoh tersebut.14

1. Objek Material dan Objek Formal

a. Objek Material

Objek materi dalam penelitian ini ialah menuangkan pikiran Nietzsche tentang filsafat dan mumi melalui data perpustakaan baik dalam karya asli Nietzsche sendiri atau pun melalui buku-buku yang masih ada kaitannya. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan data yang berkaitan dengan tokoh seperti biografi, aspek pemikirannya dalam dunia kefilsafatan, dan yeng lebih penting yaitu mengenai Pemikiran Nietzsche Tentang Filsafat dan Mumi.

b. Objek Formal

Adapun objek formalnya dari kajian ini adalah pikiran Nietzsche itu sendiri. Dalam artian, konsep Nietzsche tentang filsafat dan mumi. Jadi tidak dipandang menurut arti sosiologis, budaya atau politis, akan tetapi sejauh memberikan visi

14

Anton Bakker dan A. Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius, 2005), h. 63.


(18)

10

mengenai manusia menurut hakikatnya.15 Dengan kata lain, mempelajari filsafatnya mengenai filsafat itu sendiri dan mengapa Nietzsche mengatakan bahwa filsafat itu sendiri bisa menjadi mumi.

2. Data dan Sumber Data

a. Data Primer

Adapun sumber data primer yaitu dari literatur-literatur utama dalam penelitian ini yang membahas Pemikiran Nietzsche Tentang Relasi Filsafat dan Mumi dalam karya aslinya. Di antaranya:

i. Friedrich Nietzsche. Senjakala Berhala-Berhala dan Anti-Krist. Terj, Hartono Hadikusumo. Yogyakarta. Bentang Budaya. 1999.

ii. Friedrich Nietzsche. Ecce Homo. Terj, Omi Intan Naomi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004.

iii. Friedrich Nietzsche. Genealogi Moral. Terj, Pipit Maizier. Yogyakarta. Jalasutra. 2001.

iv. Friedrich Nietzsche. Sabda Zarathustra. Ter, Sudarmaji dan Ahmad Santoso. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2014.

v. Friedrich Nietzsche. The Will to Power, ed. Walter Kaufman. New York: Vintage Books, 1968.

15


(19)

11

vi. St. Sunardi. Nietzsche. Yogyakarta. LKiS. 2011.

vii. Roy Jackson. Friedrich Nietzsche. Terj, Abdul Mukhid. Jogjakarta. Bentang Budaya. 2003.

viii. Chairil Arifin. Kehendak Untuk Berkuasa. Jakarta. Penerbit Erlangga. 1987.

ix. Paul Starthern. 90 Menit Bersama Nietzsche. Ter, Frans Kowa. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2001.

b. Data Sekunder

Adapun sumber data sekunder penulis merujuk pada; buku-buku, majalah, surat kabar atau situs internet yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian dalam skripsi ini. Antara lain:

i. Ahmad Santoso. Nietzsche Sudah Mati. Yogyakarta. Kanisius. 2013.

ii. A.Setyo Wibowo. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta. Kanisius. 2013.

iii. Betrand Russell. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang. Terj, Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.

iv. Dr. Singkop Boas Boangmanalau. Marx, Dostoevsky dan Nietzsche: Menggugat Teodisi & Rekonstruksi Antropodisi. Jogjakarta. Ar-Ruzz Media. 2008.


(20)

12

v. Fuad Hasan. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Depok. Komunitas Bambu. 2014.

3. Teknis Pengumpulan Data dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penetilian ini, penulis akan menghimpun data-data yang meliputi, munculnya persoalan dalam filsafat menurut Nietzsche. Dalam hal ini dibutuhkan untuk menjelaskan metode filsafat Nietzsche. Untuk penggalian lebih dalam mengenai sikap kontroversial Nietzsche terhadap filsafat baik pemikiran tokoh terdahulu dan pada zamannya serta pengaruhnya di abad 20 dan setelahnya. Di samping itu, latar belakang hidup, pendidikan, dan kerangka konseptual yang dibangunnya untuk melakukan kritik atas filsafat.

Selanjutnya, data-data yang diperoleh diedit ulang, untuk melihat kelengkapannya dengan melakukan pengurangan dan penambahan data yang diselingi dengan klasifikasi untuk memperoleh sistematika pembahasan dan terdiskripsikan dengan rapi. Terkait dengan penggalian data, penulis menggunakan tekni library. Adapun teknik library di sini adalah pengumpulan atau pencarian data yang terdapat pada buku-buku yang berkaitan dengan Pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche tentang Filsafat dan Mumi.


(21)

13

b. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan satu kerangka analisis pemikiran sebagai bentuk dari praktek sosial. Maksudnya diperlukan kajian kritis terhadap Pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche Tentang Filsafat Dan Mumi. Metode ini didukung dengan penggunaan metode deskriptif-historis. Dengan proses pencarian fakta yang menggunakan ketepatan interpretasi. Deskripsi ini menjelaskan suatu fakta sebagaimana adanya, dalam hal ini berupa pemikiran Nietzsche, sedangkan kajian historis digunkan untuk mendapat keterangan yang mendalam tentang pengertian dan pengetahuan mengenai substansi dari peristiwa yang telah ada. Kajian historis yang dimaksud di sini yaitu konsen pada kehidupan Friedrich Wilhelm Nietzsche, konteks sosial yang menjadi latar belakang pemikirannya serta aneka ragam corak pemikiran di mana turut serta mengkonstruk pemikiran Friedrich Wilhelm Nietzsche.

I. Sistematika Pembahasan

Adapun isi pokok pembahasan dalam penelitian ini disusun menjadi lima bab, yaitu:

BAB I. Pendahuluan; meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematikan Pembahasan.


(22)

14

BAB II. Menjelaskan biografi Friedrich Wilhelm Nietzsche; meliputi riwayat hidup, latar belakang pemikiran, dan karya-karyanya.

BAB III. Menjelaskan Problem Filsafat Menurut Nietzsche terkait dengan; Gaya Berfilsafat Friedrich Wilhelm Nietzsche, kunci filsafat Nietzsche, Filsafat dan mumi.

BAB IV. Filsafat dan Mumi; Manifestasi mumi dalam kehendak „mati

-matian‟ akan kebenaran, Filsafat dan Mumi: menilai kembali semua nilai, Telaah

kritis.


(23)

BAB II

BIOGRAFI FRIEDRICH WILHELM NIETZSCHE

A. Riwayat Hidup Friedrich WilhelmNietzsche

“Haruskah seorang filsuf menulis biografi?” Pertanyaan ini mengalir dari mulut Jacques Derrida ketika diwawancarai oleh majalah LA Weekly pada pertengahan November 2002 lalu. Dengan pertanyaan yang diajukannya tersebut, Derrida beralasan bahwa seorang filsuf harus lebih mementingkan karya dan pemikirannya ketimbang kisah hidupnya.1 Namun tidak bagi Nietzsche, melalui karyanya, Ecce Homo2 (Lihatlah Dia), filsuf asal Jerman ini adalah satu-satunya filsuf yang menuliskan autobiografinya sendiri. Sama halnya dengan Jacques Derrida, Nietzsche juga memiliki alasan tersendiri sebagaimana ia tulis dalam

pendahuluan autobiografinya “Dengarkan aku! Aku adalah begini dan begitu.

Janganlah, di atas segalanya, mengaburkan aku dengan apa yang bukan diriku!”.3

Nietzsche lahir di Rocken, Prusia, Jerman pada tahun 15 Oktober 1844. Nietzsche dibesarkan dalam keluarga yang taat pada agama. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862) adalah seorang kepala pendeta (setara dengan uskup)

1

Kristine McKenna, The three of Jacques Derrida: An Interview with the Father of Deconstructionism (LA Weekly: 8-14 November 2002).

2

Hampir dapat dipastikan bahwa buku inilah contoh paling ganjil yang pernah ada dalam genre penulisan riwayat hidup oleh orangnya sendiri. Menurut R. J. Hollingdale (1977), Nietzsche menulis buku ini antara tanggal 15 Oktober hingga 4 November 1888, atau kurang dari tiga minggu lamanya.

3

Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h. 3.


(24)

16

di Gereja Lutheran. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849) merupakan pastor di desanya. Sedangkan ibunya, Fransziska Oehler (1826-1897) adalah putri pastor aliran Lutheran di desa tetangga. Kelahiran anak pertamanya yaitu Nietzsche, Fransziska masih berumur 18 tahun. Setelah itu keluarga Karl Ludwig kehadiran sosok wanita yang nantinya banyak membantu karya-karya Nietzsche yaitu Elizabeth adiknya, lahir pada tahun 1846. Sedangkan anak laki-laki kedua yakni Joseph lahir pada tahun 1848. 4

Hari kelahiran Nietzsche bertepatan dengan tanggal lahir atau ulang tahun ke-49 raja Prusia yaitu Friedrich Wilhelm IV. Karl Ludwig (ayah Nietzsche) sangat mengagumi raja tersebut, untuk itulah nama sang raja disandingkan pada Nietzsche sebagai nama depan. Bagi Nietzsche, hari kelahirannya menjadi kebanggan tersendiri sebagaimana ia ungkapkan dalam Ecce Homo (H-15) bahwa betapa beruntungnya ia dilahirkan pada tanggal itu karena hari ulang tahunnya selalu menjadi hari yang dirayakan oleh umum.5

Kebahagiaan itu segera padam ketika umur Nietzsche menginjak empat tahun, ayahnya Karl Ludwig meninggal pada 30 Juli 1849 akibat penyakit “melemahnya otak” dan hasil otopsi menjelaskan bahwa seperempat bagian

otaknya telah rusak akibat “pelemahan” itu.6

Tentang ayahnya Nietzsche menuangkan dalam karyanya Ecce Homo sebagai berikut:

4

Roy Jackson, Fredrich Nietzsche, (Jogjakarta, Bentang Budaya, 2003), h. 3-4.

5

Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Depok, Komunitas Bambu, 2014), h. 163.

6


(25)

17

“Ayahku meninggal pada umur tiga puluh enam: ia dahulu lembut, layak dikasihi

sekaligus mengerikan, bagai ditakdirkan untuk hanya berkunjung sejenak ke dunia ini—sebuah pengingat yang sangat ramah akan kehidupan dibanding

dengan hidup itu sendiri”.7

Lebih menyedihkan lagi, adiknya Ludwig Joseph menyusul sang ayah pada tahun berikutnya (4 Januari 1850). Keluarga yang terdiri atas Nietzsche, ibunya, adik perempuannya, nenek dari pihak ibu dan dua orang bibi harus meninggalkan wisma pendeta pada bulan April 1850 ke Naumburg, Thuringia. Sejak itulah Nietzsche diasuh dalam sebuah rumah yang dipenuhi oleh “perempuan suci”.8

Di Naumburg 1849 sampai dengan 1858, Nietzsche hidup dalam lingkungan wanita. Pada usia enam tahun ia masuk ke sekolah dasar setempat. Setahun kemudian dia meninggalkannya, dan berpindah ke sekolah swasta. Menginjak usianya yang ke empat belas, Nietzsche (1858) Nietzsche mendapatkan beasiswa untuk belajar di Gymnasium (sekolah setingkat SMA) di Pforta (Thuringen), beberapa kilometer dari kota Naumburg. Dia belajar di sekolah yang terkenal dengan tradisi humanis dan Lutheran tersebut sampai tahun 1864. Di sekolah yang didirikan sejak abad XVI ini, Nietzsche menerima pendidikan klasik yang ketat.9 Sekolah tersebut mengonsentrasikan diri pada pendidikan klasik, terutama bahasa Latin dan Yunani dibanding matematika dan

7

Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, h. 9-10.

8

Setelah ayah dan adiknya meninggal, Nietzsche hidup dalam lingkungan perempuan. Para perempuan tersebut adalah mereka yang taat pada ajaran Kristen. Lihat, Paul Strathern, 90 Menit Bersama Nietzsche, h. 6.

9


(26)

18

sains. Jadi, setiap siswa diwajibkan bangun jam 4 pagi, palajaran dimulai jam 6 sampai 4 sore. Selain itu, ada kelas lagi di malam hari.10

Masa-masa di Gymnasium, Nietzsche tidak dikenal sebagai anak yang nakal. Bahkan di kalangan teman-teman sekolahnya ia mendapat julukan “sang pendeta”. Salah satu kegemarannya adalah membaca buku dan membaca kitab injil. Kegemarannya membaca, membuat matanya sakit. Adapun buku-buku yang ia sukai adalah karya penyair bernama Schiller, Holderlin, dan Byron. Dari tiga penyair tersebut, Nietzsche lebih tertarik dan sangat menyukai karya-karyanya Holderlin.11

Bersama dua teman dari Naumburg, yakni Wilhelm Pinder dan Gustav Krug, Nietzsche membentuk sebuah perkumpulan sastra pada tanggal 25 Juli 1860. Dan pada tahun-tahun berikutnya mencoba-coba menulis esai, sajak dan komposisi.12

Pada usianya yang ke 18, Nietzsche mulai kehilangan akan pegangannya dalam agama Kristen yaitu Tuhan. Kenyataan inilah yang cukup janggal, sebab ia adalah keturunan pendeta atau keturunan keluarga yang saleh. Orang-orang sekelilingyna mengira bahwa kejanggalan ini hanyalah gejala anak remaja yang

10

Roy Jackson, Fredrich Nietzsche, h. 6.

11

Chairul Arifin, Khendak untuk Berkuasa Friedrich Nietzsche (Jakarta, Penerbit Erlangga,1986), h. 2.

12

Lihat: R. J. Hollingdale, Kronologi Kehidupan Friedrich Nietzsche, dalam Friedrich Nietzsche. Ecce Homo (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) h. xxxix.


(27)

19

bersifat sementara. Namun, kepercayaan akan Tuhan dalam agama Kristen itu benar-benar hilang.13

Pada tahun 4 September 1864 Nietzsche meninggalkan Pforta, dan melanjutkan studinya ke Universitas Bonn sebagai mahasiswa filologi dan teologi (16 Oktober). Akan tetapi pada tahun 1865, Nietzsche menghapus pelajaran teologi dan hanya belajar filologi saja. Kenyataan ini sejalan dengan keputusan pada umurnya yang ke 18 bahwa sudah tidak lagi percaya pada Tuhan. Sejak di Pforta, sikap janggal Nietzsche sudah mulai tampak ketika pada tahun-tahun terakhir. Hal itu tampak dalam tulisannya Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman). Kondisi Nietzsche yang telah berubah mendapat reaksi perlawanan keras dari ibunya. Perseteruan ini membawa Nietzsche dan keluarganya berdiskusi dalam sebuah surat dimana Nietzsche pernah menuliskan kalimat

demikian, “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka:

percayalah! Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka: carilah...!”.14

Nietzsche dalam riwayatnya diselingi dalam pengalaman menjadi seorang tentara. Meskipun menderita miopia15, ia tidak dibebaskan dari wajib militer. Ketika ia berumur 23 tahun, suatu cedera berat akibat jatuh dari kereta mengharuskan Nietzsche dibebaskan dari dinas ketentaraan. Pengalaman semasa menjadi seorang tentara inilah yang sebagian besar menjadi semangat keberanian

13

Ibid., h. 3.

14

St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 6-7.

15

Miopia adalah penyakit mata; rabun jauh. Keadaan mata yang dapat melihat dari jarak dekat lebih baik daripada jarak jauh.


(28)

20

dalam karya-karyanya. Akhirnya, ia menempuh jalan akademik sebagai ahli filologi.16 Bersama dengan Ritschl, Nietzsche semakin mahir dalam filologi.

Masa-masa Nietzsche di Bonn tidak bertahan lama. Ia hanya menikmati Universitas tersebut selama dua semester. Hingga pada pertengahan 1865 Nietzsche pindah ke Leizpig untuk belajar filologi selama empat semester. Ritschl sebagai dosen menilai Nietzsche sangat berbakat dalam bidang filologi. Penilaian Ritschl ini berdasarkan tulisan Nietzsche yang pertama dalam bidang filologi, yaitu De Theognide Megarensis (Silsilah Para Dewa Megara). Tulisan ini sebenarnya sudah ia kerjakan saat masih di Pforta.17

Roy Jackson dalam bukunya Friedrich Nietzsche, memetakan masa-masa Nietzsche ketika tinggal di Leizpig, yaitu:18

1. Nietzsche menderita penyakit sifilis karena masuk ke rumah-rumah bordil, sekalipun hal itu tidak dapat dipastikan secara konklusif.

2. Ketika berjalan-jalan di sebuah toko loakan, Nietzsche menemukan buku The Word as Will and Idea (1819) karya filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860). Setelah membaca buku tersebut, Nietzsche menjadi seorang “Schopenhaueran”. Pandangan pesimis Schopenhauer bahwa dunia ini ditopang oleh sebuah keinginan umum yang tidak menaruh perhatian pada kamanusiaan sangat mengena pada perasaan Nietzsche kala itu. Di samping karya Arthur Schopenhauer, Nietzsche juga membaca karya F. A.

16

Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, h. 164.

17

St. Sunardi, Nietzsche, h. 7.

18


(29)

21

Lange (1828-1875) “History of Materialism” seorang ilmuan sosial yang memperkenalkan Nietzsche pada Darwinisme.

3. Pada tanggal 28 Oktober 1868, Nietzsche mengumumkan perubahan pandangannya terhadap komposer dan teoretikus musik yang sangat berpengaruh, yakni Ricard Wagner (1813-1883), setelah mendengarkan sebuah pertunjukan prelude Tristan dan Meistersinger. 11 hari kemudian, Nietzsche baru bertemu dengan Wagner secara pribadi. Dalam pertemuan tersebut, Wagner menyambut kehadiran Nietzsche dengan memainkan piano. Sejak pertemuan itu, Nietzsche beranggapan bahwa Ricard Wager adalah Schopenhaueran juga.

Ada sesuatu yang heran bagi Nietzsche ketika ia mendapat panggilan dari universitas Basel untuk menjadi dosen. Keheranan tersebut karena dirinya masih belum bergelar doktor, dan umurnya yang masih belum genap 25 tahun. Berkat Ritscl dosennya dulu di Leizpig Nietzsche mendapatkan rekomendasi untuk mengajar di Basel. Sebulan kemudian, Nietzsche mendapatkan gelar doktor dari Leizpig tanpa ujian dan formalitas apa pun. Sebuah karya yang meyakinkan diri Ritscl atas Nietzsche adalah De Theognide Megarensis (Silsilah Para Dewa Megara). Nietzsche adalah mahasiswa paling maju untuk ukuran anak-anak muda seumurnya yang perah ia ajar.19 Di Basel, Nietzsche ditunjuk sebagai pengajar filologi klasik di Basel, dan menjadi pengajar kajian Yunani di sekolah menengah milik universitas yang sama sejak 13 Februari 1869.

19


(30)

22

Ia datang di Basel pada tanggal 19 April 1969. Mengunjungi Wagner di Tribschen dekat Lucerne pada tanggal 15 Mei, namun tidak bertemu dengan tuan rumah, dan kembali lagi pada tanggal 17 Mei, di undang untuk hadir dalam perayaan ulang tahun Wagner tanggal 22 Mei, namun karena tugas mengajarnya di Basel membuat Nietzsche tidak bisa hadir pada acara tersebut. Di akhir pekan, antara tanggal 5 sampai 7 Juni, Nietzsche kembali lagi mengunjungi sang komposer. Setelah itu, ia menjadi tamu tetap keluarga Wagner. Selama tiga tahun, sejak saat itu sampai bulan April 1872, Nietzsche mengunjungi Wagner 23 kali, ketika Wagner meninggalkan Tribschen dan pindah ke Bayreuth.20

Pada masa-masa karirnya yang cukup gemilang dirasakan oleh Nietzsche, ada saat dimana ia harus sering cuti dan beristirahat demi kesembuhan penyakitnya. Misalnya saja, pada 1870 ia jatuh sakit karena serangan desentri dan difteri. Pada tahun 1870 ini ia hanya mengajar selama satu bulan, dan waktu yang lainnya ia gunakan untuk berobat ke berbagai daerah. Sakit mata dan kepala mulai ia rasakan yakni sejak tahun 1875 dan kambuhnya yang paling parah ia alami pada 1879 dan mengharuskannya beristirahat mengajar.21

Pada tanggal 2 Mei 1879, Nietzsche mengajukan petisi untuk dibebaskan dari tugas mengajar di universitasnya: tanggal 14 Juni ia memperoleh pensiun. Bersama Elizabeth saat kesehatannya membaik ia pergi ke Schloss Bremgarten, dekat kota Bren, kemudian ke Zurich, lalu sendirian ke St. Moritz. Di kota itu Nietzsche menyelesaikan Sang Pengelana dan Bayang-Bayangnya („suplemen‟

20

Lihat: R. J. Hollingdale, Kronologi Kehidupan Friedrich Nietzsche, dalam Friedrich Nietzsche. Ecce Homo (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) h. xliv.

21


(31)

23

kedua untuk manusia terlalu manusiawi) di bulan September. Pada bulan Oktober ia ke Naumburg sepanjang tahun itu ia mengalami serangan penyakitnya yang berat selama 118 hari. Di susul 2 tahun selanjutnya, tahun 1881 sampai dengan 1882, Nitzsche menyelesaikan Gay Science. 22

Ada saat dimana ketika Nietzsche berhenti menajar di Basel, ia sering ditemani olehh tiga orang yakni Elizabeth (adiknya), Paul Reed an Lou Salome (temannya). Jalinan pertemanan antara Nietzsche dengan Lou Salome membuatnya jatuh cinta dan ingin melamarnya. Akan tetapi, ketik Nietzsche mencoba melamar Loe, ada hal yang janggal dari jawaban Loe yaitu, ia bersedia menerima Nietzsche dengan syarat Paul Ree juga menjadi suaminya. Loe Salome tahu, jalinan pertemanan diantara ketiganya ada cinta segitiga. Mendengar kenyataan ini, Elizabet segera mengabarkan kepada ibu Nietzsche bahwa ada rencana immoral. Alhasil, Nietzsche membatalkan diri untuk melanjutkan kesepakatan yang dibuat oleh Loe, dan ditambah dengan sakitnya yang terus memburuk mendorong Nietzsche untuk hidup sendiri tanpa pasangan sampai akhir hayatnya.23

Setelah izin pensiun diberikan oleh universitas kepada Nietzsche, pada periode inilah ia memulai pengembaraannya dalam kesepian. Nietzsche adalah filsuf yang sangat menyukai kesunyian, bahkan Goenawan Mohamad dalam

sebuah kata pengatar karya St. Sunardi “Nietzshe” menyelipkan kalimat

“kesunyian adalah rumahku”. Sebuah kalimat dari Nietzsche tersebut telah

22

Lihat: R. J. Hollingdale, Kronologi Kehidupan Friedrich Nietzsche, dalam Friedrich Nietzsche. Ecce Homo (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) h. xlix-l.

23


(32)

24

mengantarkan Goenawan Mohamad pada representasi tentang Nietzsche tak ubahnya seperti rahib (rahib tanpa Tuhan). Karena hidupnya hampir selalu dalam suasana khalwat tanpa batas.24

Pada tahun 1889, Overbeck membawa Nietzsche ke klinik universitas Basel (10 Januari), karena tahu bahwa Nietzsche tengah mengalami sakit jiwa. Dan pada tanggal 17 Januari, ia dipindahkan ke klinik di Jena. Karena pengobatan yang terasa sia-sia, akhirnya pada 1890, sanga ibu membawanya ke Naumburg dan merawatnya sendiri. Ditengah suasana yang dialmi oleh Nietzsche tersebut, ibunya meninggal pada tahun 1897, dan ditambah dengan kedatangan Elizabeth dari Paraguay karena suaminya yakni Forster bunuh diri akibat ketakutan diadili karena terlibat kasus penipuan sehibungan dengan perusahaan kolonialnya. Kini hanya tinggal Elizabeth seorang yang merawat adiknya. Kematian sang ibu, Nietzsche tidak mengetahuinya karena sakit jiwa yang dideritanya. Akhirnya, Elizabeth memindahkan kakaknya ke Weimar dan menetap di Villa Silberblick beserta arsip-arsipnya. Dan tahun 25 Juli 1900, sang rahib tanpa Tuhan menghembuskan nafas terakhirnya di Weimar. 25 Jika dikalkulasi, masa efektif hidup Nietzsche hanyalah 46 tahun. Sedangkan 10 tahunnya, ia berada dalam kegelapan.

24

St. Sunardi. Nietzsche, kata pengantar Goenawan Mohamad (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. vii.

25

Lihat: R. J. Hollingdale, Kronologi Kehidupan Friedrich Nietzsche, dalam Friedrich Nietzsche. Ecce Homo (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) h. liv-lvi.


(33)

25

B. Latar Belakag Pemikiran Friedrich WilhelmNietzsche

Hampir tidak ada filsuf yang riwayat hidupnya dikaitkan begitu erat dengan pemikirannya seperti Nietzsche. Seorang filsuf yang mendapat banyak cemooh karena penyakit jiwa yang dideritanya serta deklarasi kematian Tuhan ini ditandai dengan berbagai pengembaraan dalam kesepian dimana pengalaman itu memberikan representasi atas pemikirannya. Menelusuri jejak pemikirannya, bukanlah perkara yang mudah. Ia tampak berada dalam suasana yang ambruk ketika menuangkan pikiran-pikiran filosofisnya yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan hidupnya.

Hidup sebagai latarbelakang pemikirannya. Nietzsche, yang semula waktu kecil adalah sosok paling taat akan perintah agama. Tatkala umurnya yang ke 18, ia mulai membuang apa yang sebelumnya ia yakini. Padahal garis kependetaan membentang pada keluarga ayahnya. Jika diperhatikan dari latarbelakang keluarganya yang taat, Nietzsche merupakan anti-tesis dari pernyataan bahwa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Pada tahun-tahun terakhir di Pforta, sikap jalang sudah tanpak pada Nietzsche yaitu dalam tulisannya Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman). Dari tulisan tersebut ia ingin bebas dan minta dipahami. Bersamaan dengan itu, ia melepaskan keyakinannya. Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidup. Berkali-kali ia menyatakan akan mengadakan semacam pencarian (Versuch) dengan hidupnya. Ia memilih menjadi seorang freethingker yang tidak hanya membebaskannya dari beban, akan tetapi memilih beban yang lebih berat.


(34)

26

Berangkat dari sini, corak latarbelakang pemikirannya mulai muncul bahwa ia ingin merombak atau sebuah sikap untuk mengevaluasi seluruh nilai dan

mendapatkan “nilai baru”.26

Sebelumnya, Nietzsche telah mendapatkan inspirasi dari pemikiran Arthur Schopenhauer melalui karyanya Die Welt als Wille und Vor-stellung. Dalam pandangan Schopenhauer dunia menampakkan diri pada kita sebagai suatu representasi namun sifat dasarnya adalah kehendak (will). Kehendak itu adalah keinginan yang sederhana serta mengarahkan segala sesuatu tanpa pernah selesai.27 Maka dari itu, Schopenhauer memandang kehendak pada hakikatnya bersifat jahat dan satu-satunya cara mengatasi penderitaan dan kejahatan adalah mengingkari kehendak. Di sini Nietzsche menolak ajakan Schopenhauer untuk mengingkari kehendak. Asketisme, penyangkalan, dan penolakan menurut Nietzsche hanyalah merupakan ekspresi dari kehendak untuk berkuasa.28

Penolakan Nietzsche terhadap Schopenhauer bukan berarti jejak pemikirannya terlepas total. Sebagaimana direpresentasikan oleh Roy Jackson, bahwa pengaruh Schopenhauer pada Nietzsche ada dalam tiga hal:29

1. Seperti halnya Schopenhauer, Nietzsche menampilkan gambaran filsuf yang akan berhenti pada kesia-siaan atas pencarian kebenaran, betapapun menyakitkan.

26

St. Sunardi, Nietzsche, h. 8-20.

27

James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, (Yogyakarta, Kanisius, 2014), h. 192-198.

28

Roy Jackson, Fredrich Nietzsche, h. 43.

29


(35)

27

2. Gaya penulisan Schopenhauer, mungkin lebih dari isinya, memiliki pengaruh pada penulisan Nietzsche sendiri dan menunjukkan bahwa seseorang bisa menulis filsafat sekaligus bagus dalam penulisannya.

3. Nietzsche mengadopsi keunggulan kehendak sebagai gaya dorong dan kemudian menjadi kehendak untuk berkuasa (will to power).

Dalam bukunya Syahwat Keabadian (kumpulan puisi-puisi Nietzsche), Nietzsche menuliskan kritiknya kepada Schopenhauer;30

Arthur Schopenhauer

Was er lehrte abgetan,

Was er lebte, wird bleiben stahn: Seht ihn nur an!

Niemande war er untertan!

Yang ia ajarkan sudah kadaluarsa, Yang ia hidupi bakal kokoh berjaya: Simaklah ia!

Tak pada siapapun ia sudi menghamba.

Ketertarikan Nietzsche dalam bidang filologi telah mengantarkannya bertemu dengan Wagner dan bahkan dapat dikatakan menjadi bagian dari keluarga Wagner. Di samping Schopenhaueren, Nietzsche juga Wagnerian. Pertemuan pertamanya dengan Wagner, satu hal yang ditemukan dalam diri Wagner yaitu bahwa dia juga Schopenhaueren. Hal ini tentu saja berdampak

30


(36)

28

begitu dalam pada diri Nietzsche. Bagi Nietzsche, hanya Wagnerlah yang sanggup menggabungkan unsur-unsur Apollonian dengan Dionysian dengan cara yang serupa dengan tragedi Yunani. Penekanan Nietzsche atas kekuatan unsur Dionysian ini terbukti menjadi bagian yang esensial dari filsafatnya dikemudian hari. Dengan cara ini pula, ia menolak gagasan Schopenhauer tentang

“Penyangkalan atas Kehendak”. Lebih ekstrim lagi, ia menggunakan unsur

Dionysian ini untuk menentang paham Kristiani yang dianggapnya telah melemahkan peradaban.31

Penghayatan hidup melalui jalur seni merupakan jawaban Nietzsche untuk membebaskan orang dari kungkungan moral. Pendektan moral dikritik Nietzsche sejauh dilandasi keyakinan akan adanya hokum moral universal dan nilai-nilai moral yang absolut. Sebagaimana dikutip oleh Albert Camus dalam bukunya The Myth of Sisyphus “kita memiliki seni agar tidakmati mengenal kebenaran”.32

Awalnya, Nietzsche tidak memperdulikan status Wagner, ia hanya terkesima dengan opera-opera yang dimainkannya. Akan tetapi, pagelaran Wagner di Bayreuth pada tahun 1876, menunjukkan peristiwa penting persahabatan mereka. Nietzshe sadar akan satu hal dari Wagner, bahwa dia bukanlah juru selamat yang pernah diagung-agungkannya. Padahal pada tahun 1871, Nietzsche telah menuliskan The Brith of Tragedy atas persahabatannya.

31

Paul Strathern, 90 Menit Bersama Nietzsche, h. 21.

32

Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas, ter. Apsanti D, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 122.


(37)

29

Namun, melihat pertunjukan Wagner waktu di Bayreuth, terdapat indikasi sikap nasionalisme Jerman dan anti-Semit.33 Dalam Ecce Homo, Nietzsche mengatakan:

Siapakah yang benar-benar meragukan bahwa aku, prajurit artileri tua aku ini, memiliki kemampuan untuk mengangkat senjataku yang berat melawan Wagner?34

Untuk itulah, Nietzsche memutuskan hubungan dengan Wagner, ia mencelanya dengan kemarahan yang neurotik, sebagaimana ia tuangkan dalam karyanya The Case of Wagner:

“Wagner menyanjung setiap sikap naluri Budhisme yang nihilistik, dan kemudian menyamarkannya di dalam musiknya; ia memuja setiap bentuk Kristianitas dan setiap bentuk serta ekspresi religius dari dekadensi.... Ricard Wagner, ... seorang romantik pikun dan putus asa, tiba-tiba hancur sebelum Tahta Suci. Apakah sudah tidak ada manusia Jerman yang punya mata untuk melihat, dan hati untuk meratapi pemandangan yang mengerikan ini? ... Apakah cuma aku yang menyebabkan ia begitu menderita? ... Mungkin akulah satu-satunya pengikut Wagner yang begitu merusak .... Ya, aku adalah anak dari zaman ini yang, seperti halnya Wagner, merupakan seorang yang dekaden; tetapi aku betul-betul menyadarinya; dan aku berusaha melawannya.” 35

Mengenai pengaruh dan kekagumanya pada Spencer dan Darwin, dalam

pemikiran Nietzsche itu tidak dapat ditegaskan. Akan tetapi, rumusan “survival of

the fittest” ternyata sangat mempengaruhi pemikiran Nietzsche mengenai manusia

dan kemanusiaan. Baginya, “dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang dan

kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan”. Oleh karena itu, apa yang dinyatakan sebagai kebajikan, atau apa yang dianggap baik, haruslah kuat. Sebaliknya, segala yang lemah adalah buruk dan salah.36 Dalam hal ini, pemikiran

33

Roy Jackson, Fredrich Nietzsche, h. 21.

34

Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, h. 15/1.

35

Lihat: Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2003), h. 93.

36


(38)

30

Nietzsche membedah persoalan moral yang dibaginya menjadi moralitas tuan dan budak.

C. Karya-Karya Pokok Nietzsche

1. The Birth of Tragedy (Die Geburt der Tragödie,1872).

2. Untimely Meditations (Unzeitgemässe Betrachtungen, 1873-1876).

3. Human, All Too Human (Menschliches, Allzumenschliches (vol. 1), 1878 dan (vol. 2), 1879-1880).

4. Daybreak (Morgenröte, 1881).

5. The Gay Science (Die fröliche Wissenschaft, 1882).

6. Thus Spoke Zarathustra (Also Sprach Zarathustra, bks I-II, 1883; bk III, 1884; bk IV (printed and distributed privately, 1885).

7. Beyond Good and Evil (Jenseits von Gut und Böse, 1886). 8. On the Genealogy of Morality (Zur Genealogie der Moral, 1887). 9. The Case of Wagner (Der Fall Wagner, 1888).

10.Ecce Homo (Ecce Homo, 1888, first published 1908).

11.Nietzsche contra Wagner (Nietzsche contra Wagner, 1888, first published 1895).

12.Twilight of the Idols (Götzen-Dämmerung, 1889). 13.The Anti-Christ (Der Antichrist, 1888).


(39)

BAB III

PROBLEM FILSAFAT MENURUT NIETZSCHE

A. Gaya Filsafat Nietzsche

Jika kita perhatikan, secara fundamental filsafat dalam sejarahnya (sejak kelahirannya sampai sekarang) tidak menyajikan sebuah jawaban atau pernyataan yang final. Filsafat selalu terbuka untuk dipertanyakan kembali. Jadi, filsafat adalah sebuah sistem pemikiran, atau lebih tepat cara berpikir yang terbuka; terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoalkan kembali. Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan pernyataan.1

Dengan memperhatikan sikap kontroversial Nietzsche yang paling tampak yaitu dalam cara menuangkan gagasannya melalui aforisme. Bukan tanpa alasan gaya aforisme menjadi pilihannya, karena jika diperhatikan dari dasar gaya penulisannya, ia mulai memainkan peranan yang bertolak belakang dari para filsuf sebelumnya. Tulisannya keluar dari kebiasaan para penulis universitas. Jika kita perhatikan tulisan-tulisan para filsuf sebelumnya, sebutlah Kant, dalam kerangka menuangkan isi pokok pikirannya tertata dan sistematis.

Penolakan Nietzsche terhadap sistem adalah upaya untuk menghindari dekadensi dalam filsafat itu sendiri. Nietzsche melihat bahwa para filsuf tidak pernah mempertanyakan asumsi yang dipakainya. Dalam hal ini adalah cara

1

A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis


(40)

32

menuangkan isi pokok pikirannya. Sebuah sistem berpikir harus didasarkan pada premis-premis, namun dalam rangka sistem itu, premis-premis tersebut tak bisa dipersoalkan lagi. Asumsi-asumsi filosofis sang filsuf diandaikan begitu saja, seolah-oleh benar pada dirinya. Kehendak untuk sistem Will to System tidak lain adalah cara para filsuf untuk menghendaki kebenaran (Will to Truth) yang taken for granted.2 Dalam Senjakala Berhala, Nietzsche menuliskan penolakannya terhadap sistem, Saya mencurigai semua pembuat sistem dan menjauhi mereka.

Kemauan pada sistem sama saja dengan kurang integritas. 3

Henry D. Aiken mencoba membandingkan Nietzsche dengan Hegel. Dua filsuf ini sama-sama memiliki gaya yang khas dalam menuangkan pikirannya. Jika ada satu kata untuk merepresentasikan gaya khas Hegel, kata itu adalah gelap . Gaya penulisan Hegel yang berat, kaku, penuh jargon dan frasa-frasa

bersarat yang seringkali pelik, dan dengan begitu sulit memperjelas gagasannya. Sedangkan Nietzsche, gaya penulisannya benar-benar tidak mirip filsuf

sekolahan . Layaknya seoarang pakar, Nietzsche mengungkapkan apapun yang

ingin dikatakannya. Berwatak informal, penuh gairah, aforistis, fragmentaris, serta bahasanya yang penuh dengan kiasan membuat pembacanya terpikat, dan menjadi lebih bermakna apabila direnungkan. Kesamaannya dengan Hegel, Nietzsche adalah seorang pakar ironi dan antitesis. Yang jelas, meskipun makna dasar yang dimaksudkan oleh Nietzsche sulit diperkirakan, penampilan prosanya begitu

2

Muhamad Sulhanudin. Wajah Ganda Transformasi Manusia Unggul Dalam Novela ”The Transformation” Karya Franz Kafka. Skripsi Fakultas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang 2010. h. 33-34.

3

Friedrich Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist (Yogyakarta: Bentang, 1999), h. 27.


(41)

33

berbeda dengan Hegel. Jika Hegel kadang bersifat impersonal dan objektif

sehingga nyaris menggelikan, menyembunyikan dirinya di balik lagak kemahatahuan sejarah. Nietzsche selalu berbicara bagi dirinya dan mengagungkan subjektifitasnya sendiri. Hal lain yang begitu mencolok antara Hegel dan Nietzsche, Nietzsche bukan saja seorang filsuf, melalui karyanya Thus Spoke Zarathustra yang merupakan salah satu sajak filosofis, ia juga seniman terbesar dalam kesusasteraan Barat.4

Secara fisik, tulisan Nietzsche cenderung fragmentaris. Tidak dibayangkan bagaimana pengalaman bertubuh sakit ini akhirnya membentuk sudut pandang pemikiran Nietzsche secara khas. Menjadi seorang pengembara, gaya aforistis layak dan cocok digunakan oleh Nietzsche. Karena sejak 1879 ia sudah bergulat dengan penyakitnya dan hidup dengan nomaden. Di sisi lain, gaya aforistis ini bermaksud menghindari dekadensi. Dalam konteks inilah, gaya filsafat Nietzsche disebut dengan ciri eksperimen yang ditandai dengan kualitas eksistensial.5 Gaya filsafat Nietzsche tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya. Filsafatnya sekaligus adalah pandangan hidupnya.

Gaya filsafat sebagaimana oleh Nietzsche lakukan menuai warna-warni yang cukup dalam. Filsafatnya seperti samudra yang menampung air dari berbagai aliran sungai. Ada warna realisme, radikalisme, positivisme, vitalisme, dan pragmatisme. Dari berbagai aliran tersebut di tangan Nietzsche melebur menjadi

4

Henry D. Aiken, Abad-Abad Ideologi (Yogyakarta: Bentang, 2002), h. 257-258`

5


(42)

34

filsafat nihilisme, di mana warna berbagai aliran tersebut sulit untuk dilihat wujudnya secara terpisah.6

Pada akhirnya lewat aforisma Nietzsche hendak mengajak pembacanya untuk menyelami kedalaman di balik penampakan kata. Oleh karena itu, dengan memperlakukannya sebagai sebuah strategi literer yang digunakan Nietzsche untuk mengajak pembaca memahami sesuatu yang ingin disampaikan.7

Gaya filsafat Nietzsche yang lain adalah ia tidak membahas epistemologi layaknya para filsuf. Melihat tulisannya yang pecah-pecah sulit kiranya akan ditemukan epistemologinya. Namun, bukan berarti sebagai seorang filsuf, epistemologinya terpinggirkan. Melalui Walter Kaufmann, salah satu komentator Nietzschce, menyatakan bahwa sebagian kecil epistemologi Nietzsche berasal dari gagasannya tentang The Will to Power .8

Konsepsi kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aphorisme-nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan menegaskan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup (dalam karyanya kemudian ia menganggapnya telah menembus sampai pada benda-benda tidak hidup).

Menghubungkan kehendak untuk berkuasa dengan pengetahuan merupakan hal aneh apabila dibahas dalam kerangka pengetahuan (epistemologi) manusia secara sempit. Nietzsche melihat pengetahuan dalam kerangka yang lebih luas dan menyeluruh dalam rangka memahami manusia secara utuh. Ia

6

Listiono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2009)h. 55.

7

Muhamad Sulhanudin, Wajah Ganda Transformasi Manusia Unggul Dalam Novela ”The Transformation” Karya Franz Kafka, h. 34.

8


(43)

35

memasukkan unsur yang tidak dibahas dengan pemikiran epistemologi sebelumnya, yaitu motif kegiatan mengetahui. Epistemologinya jelas sekali merupakan kritik terhadap epistemologi tradisional, epistemologi sempit.9

Kritik dan penolakan terhadap epistemologi tradisional yang berusaha memperoleh kebenaran bukan semata-mata karena skeptismenya terhadap kemampuan akal, tetapi juga karena semangat nihilisme. Nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berkreasi, sehingga kreasi itu benar-benar bermakna. Seseorang harus memiliki keberanian untuk menolak teori, hukum-hukum dan pengetahuan sebelumnya. Aktivitas pemikiran harus diletakkan pada landasan keberanian, yang berasal dari keinginan untuk terus bergerak maju dan menantang penghalang.10

B. Kunci Filsafat Nietzsche

1. The Will to Power

Gagasan The Will to Power banyak menyita perhatian dari berbagai kalangan. Secara tekstual, kalimat The Will to Power seolah bermakna politis dan bahkan bercorak kasar. Sehingga tidak salah jika kalimat tersebut cukup mengandung banyak penafsiran. Seperti Baumler seorang profesor yang ditugaskan oleh pemerintah Nazi untuk menafsirkan pemikiran Nietzsche yang tertuang dalam bukunya Nietzsche der Philosoph und Politiker (1931), meyakini bahwa selain seorang metafisikus, Nietzsche juga politikus. Sebagai

9

Ibid., h. 58.

10


(44)

36

seorang anggota Nazi, bagi Baumler merupakan kesempatan untuk memadukan ideologi Nazi dengan gagasan The Will to Power. Sehingga, gagasan tersebut dilegitimasi secara ilmiah untuk menyuarakan slogan Deutschland-Deutschland uber Alles. Dan pada tahun 1935, Ricard Ohler melalui bukunya Friedrich Nietzsche Und die Deutzsche Zukunft membuktikan bahwa Nietzsche merupakan sang pelopor Nazisme Jerman.11

Secara lebih dekat, tafsiran gagasan The Will to Power secara politis sebenarnya sudah dilakukan oleh adiknya, yaitu Elizabeth Froster Nietzsche. Dorongan untuk menjadikan The Will to Power sebagai metode dalam politik yang dilakukan oleh saudarinya, yaitu untuk meneruskan profesi sang suami yang anti Yahudi. Maka sejalan dengan Baumler, gagasan The Will to Power telah berhasil meyakinkan banyak orang bahwa gagasan tersebut merupakan provokasi politik.12

Gagasan The Will to Power memang mewarnai tulisan-tulisan Nietzsche. Gagasan ini merupakan pengaruh dari Schopenhauer dan kebudayaan Yunani: Apollonian dan Dionysian. Nietzsche yang pada mulanya juga terseret ke lembah pesimisme ala Schopenhauer13, akhirnya

11

St. Sunardi, Nietzsche, h. 56.

12

Ibid., h. 56-57.

13

Sebagaimana Nietzsche tuliskan dalam Lahirnya Tragedi penggalan kalimat Schopenhauer yang menolah kehendak, “Apa yang membuat kecendrungan khas segala yang tragis pada yang agung, apa pun bentuk penampakannya, ialah menyingsingnya pengetahuan bahwa dunia dan kehidupan tidak dapat memberi kepuasan yang sejati, dan oleh karena itu tidak berharga untuk kita lekati. Di dalam pengetahuan inilah terkandung roh tragis itu; karena itu, ia menghasilkan pengunduran diri (World as Will Representation).” Lihat, Nietzsche, Lahirnya Tragedi (Yogyakarta: Narasi, 2015), terj, Saut Pasaribuh, h. 15. Pernyataan Schopenhauer akhirnya tolak dengan mengatakan,


(45)

37

keluar dengan cara menerima kehendak untuk berkuasa, bukan menolaknya sebagaimana dilakukan oleh Schopenhauer. Sedangkan dari kebudayaan Yunani: Apollonian dan Dionysian, Nietzsche menemukan faktor terpenting yaitu satu-satunya faktor yang menentukan ialah daya pendorong hidup.14

Semangat kebudayaan Apollonian dan Dionysian merupakan tragedi yang telah membuktikan bahwa orang-orang Yunani dapat mengatasi rasa pesimismenya akan hidup. Mereka memiliki sikap afirmatif atas hidup mereka.15 Sebagaimana dikatakan Walter Kaufman, mengenai kehendak untuk berkuasa terdapat pada bab “seribu satu tujuan”.

Sebuah lemping berisi kebaikan-kebaikan tergantung diatas semua bangsa. Lihat! Lemping itu adalah lemping yang berisi kemenangan-kemenangan mereka; lihat! Itulah suara dari kehendak untuk berkuasa mereka.16

Akan tetapi, kehendak untuk berkuasa lebih tampak jelas dalam

aforisme yang berjudul “melampaui diri”17

Di mana aku mendapati yang hidup, di situ pula kudapati Kehendak untuk Berkuasa; bahkan, dalam kehendak untuk melayani, kudapati sebuah kehendak, kehendak untuk menjadi majikan.

Bahwa yang lemah melayani yang kuat, demikian mereka yang ingin menjadi majikan dari mereka yang lebih lemah membujuk kehendaknya sendiri. Kesenangan ini semata yang tidak mau dilepaskannya.

Itulah penyerahan diri yang terbesar, yang merupakan resiko dan bahaya serta permainan dadu yang mempertaruhkan nyawa.

Schopenhauer sebagai pengingkaran atas kehendak untuk hidup--adalah insting dekadensi itu sendiri, yang memberi perintah kepada dirinya sendiri: dengan berkata: “Matilah!”—

itulah vonis dari yang di adili...”. Lihat, Friedrich Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 59

14

Chairul Arifin, Kehendak untuk Berkuasa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), h. 10.

15

St. Sunardi, Nietzsche, h. 23.

16

Friedrich Nietzsche, Sabda Zarathustra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), terj, Sudarmaji dan Ahmad Santoso, h. 116.

17


(46)

38

Jelas, bahwa barangsiapa menembakkan kata Kehendak untuk ada belumlah membidik kebenaran dengan tepat, sebab kehendak semacam itu tidak ada! Sebab apa yang tidak ada, tidak mampu berkehendak; dan untuk apa sesuatu yang sudah ada masih menghendaki keberadaan?

Sekarang dengarlah, di mana ada hidup, di situ pula ada kehendak, tapi bukan Kehendak akan Hidup, melainkan—inilah yang aku ajarkan kepadamu—Kehendak untuk Berkuasa.

Banyak hal dianggap lebih tinggi daripada hidup oleh mereka yang hidup. Maka, yang bersabda di dalam penilaian itu sebenarnya adalah—Kehendak untuk Berkuasa!

Sebagaimana di ulas oleh St. Sunardi, kehendak untuk berkuasa merupakan saripati dari seluruh petualangan pemikiran Nietzsche.18 Dalam The Genealogi of Morals dikatakan:

Saya telah menekankan masalah dari metode historis ini, semua yang lebih secara kuat karena ia mengitari sudut dari naluri naluri dan gaya gaya kita saat ini, yang mana akan lebih dibandingkan dengan mendatangi istilah istilah dengan sifat acak yang absolut atau ketiadaan makna yang mekanistik dari peristiwa dibandingkan dengan teori dari sebuah kehendak untuk berkuasa yang dipantulkan dalam setiap proses.19

Dalam Beyond God and Evil aforisme ke 259, Nietzsche mengatakan bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa.20 Lagi, dalam The Will to Power, dikatakan bahwa hakikat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari dunia hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segala-galanya.21

18

St. Sunardi, Nietzsche, h. 53.

19

Friedrich Nietzsche, Genealogi Moral (Yogyakarta: Jalasutra, 2001), terj, Pipit Maizier, II, 12.

20

Friedrich Nietzsche, Beyond God and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan

(Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), terj. Basuki Heri Winarno, h. 201-202.

21


(47)

39

Tulisannya yang berbentuk aforistis memang menyulitkan kita untuk memahami arah gerakan gagasan ini. Akan tetapi, dengan cara memperhatikan sikap Nietzsche terhadap kehidupan, bahwa kehidupan itu tidak bersifat dualisme sebagaimana dikatakan Kant dan Schopenhauer. Kehidupan bagi Nietzsche adalah apa yang kita alami selama ini, bukan terdapat diseberang.

Berbeda dengan Schopenhauer, bagi Nietzsche, apapun bentuknya hidup harus diterima. Dengan kata lain, berkata “Iya” pada hidup itu sendiri (Amorfati: cintailah nasibmu). Dengan semangat amorfati, Nietzsche menyingkap masa depan. Dalam agenda pemikirannya, ia memposisikan

manusia dalam cahaya “kehendak untuk berkuasa”. Penampilan sosok

manusia agung dengan ketegaran dan tekad untuk mengamini kehidupan, yang takzim pada watak “Dionysius” bangsa Yunani, membuat Nietzsche mengutuk filsafat Socrates yang telah menebar dekadensi moral dan degradasi pemikiran. Kristianitas, ahli waris Socrates, terpuruk dalam kebancian; sujud kepada nasib, submisif, dan apologetik terhadap kelemahan dan kepengecutan.22

Tentang hidup, Nietzsche mendefinisikannya sebagai sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemilhan. Hidup merupakan suatu bentuk yang mengakhiri suatu proses-proses kekuatan sebelumnya, yang berusaha saling berkuasa, menonjolkan diri dan saling melawan. Ciri yang

22

Singkop Boas Boangmanalau, Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi (Ar-Ruzz Media), h. 83.


(48)

40

menonjol dalam hidup adalah kecenderungan mencari hambatan untuk diatasi. Ciri ini berkaitan langsung dengan kehendak untuk berkuasa. Sehingga, dalam mengatasi hidup yang campur aduk, bagi Nietzsche adalah

dengan berkata “Ya” pada hidup itu sendiri. Maka kebahagian dapat diraih

melalui perasaan akan bertambahnya kekuasaan—hambatan diatasi. Dalam hal ini Nietzsche tidak menempatkan kekuasaan sebagai langkah menuju kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melainkan perang.23 Nietzsche menuliskan dalam aforismenya:

“Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya! Dirikanlah kota-kotamu dilereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan

sesamamu dan dirimu sendiri.”

Kalau dikatakan bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa, ini tidak berarti bahwa kehendak untuk berkuasa muncul dari suatu ego, yaitu prinsip identitas dan kesatuan. “Kita adalah kehendak untuk berkuasa dan tidak ada lagi lainnya”. Kehendak untuk berkuasa adalah hidup itu sendiri, dan bukan merupakan sesuatu yang dimiliki (possession). Kehendak untuk berkuasa tidak keluar dari ego, melainkan ego keluar dari kehendak untuk berkuasa. Namun ego ini merupakan suatu menjadi, dan merupakan suatu yang tetap. Konsep ego merupakan konsep fiktif untuk memahami kehendak untuk berkuasa. Konsep ini merupakan bagian dari ciptaan rasio, yang

23


(49)

41

merupakan kategori-kategori logika. Konsep ini sama sesatnya dengan subyek, substansi, esensi, das Ding an sich, dsb.24

Dalam realitas kehidupan manusia, kehendak untuk berkuasa ini merupakan daya pendorong hidup yang universal yang terdapat dalam diri setiap manusia. Karena manusia sendiri memiliki kehendak. Sehingga, kehendak untuk berkuasa bagi Nietzsche merupakan suatu kecondongan umum yang ditemukan dalam setiap manusia. Maka dari itu, kehendak untuk berkuasa bukan kehendak dalam arti psikolgis atau pun sosiologis, akan tetapi istilah tersebut mengacu pada peng-iya-an diri sepenuhnya akan hidup. Peng-iya-an diri itu mencakup negasi diri, tidak demi negasi itu sendiri melainkan demi peng-iya-an yang sebesar mungkin yaitu kekuasaan. Menurut Frederick Copleston, Nietzsche menyamakan kehendak untuk berkuasa dengan kehidupan.25 Mengenai konsep kehendak untuk berkuasa, ada hal yang tidak boleh dilupakan bahwa Nietzsche sendiri mengatakan prinsip ini sebagai hipotesa saja.

Dengan cara membebaskan diri dari belenggu-belenggu psikis seperti ketakutan, kasih sayang, perhatian terhadap orang lemah, dan segalam macam aturan yang mengeram nafsu dan insting, inilah yang disebutnya dengan kehendak untuk berkuasa. Berkuasa berarti berani bersemangat dan hidup menurut semangat itu. Dengan kritiknya yang tajam Nietzsche tidak bermaksud memadamkan semangat atau menyebarkan pesismisme budaya.

24

Ibid., h. 74.

25


(50)

42

Tidak tanpa alasan ia menyebut filsafat hidupnya yang kritis terhadap kebudayaan sebagai pembukaan sebuah filsafat masa depan.26

2. Nihilisme

Pemikiran Nietzsche tentang nihilisme merupakan renungannya terhadap krisis kebudayaan Eropa. Sebagaimana ia saksikan sendiri bahwa

Eropa “tidak lagi sanggup merenungkan dirinya sendiri, yang terus

merenung”. Dengan gagasan nihilismenya, Nietzsche ingin menunjukkan bahwa jaminan absolut yang selama ini diperjuangkan oleh manusia telah kehabisan darah.

Nietzsche sudah dari jauh-jauh hari ia melihat apa yang disebutnya kedatangan nihilisme yang tidak terelakkan itu, dan kini menjadi horizon kita. Dalam bukunya The Will to Power, Nietzsche menuliskan apa itu nihilisme:

“Apa yang kukisahkan adalah sejarah tentang dua abad yang akan datang. Aku melukiskan apa yang akan terjadi, apa yang tidak terelakkan akan terjadi: kedatangan nihilisme. Sejarah nihilisme ini bahkan dapat dituturkan sekarang; kenapa kepastiannya sudah terlihat sekarang. Masa depan ini bahkan sudah berbicara sekarang dalam ratusan tanda, tanda-tanda yang sudah menyatakan diri di mana-mana; karena semua gendang telinga sekarang bahkan sudah dipekakkan oleh musik masa depan ini. Sekarang, untuk beberapa saat, seluruh kebudayaan Eropa kita telah bergerak seakan menuju bencana, dengan tegangan-tegangan menyakitkan yang tumbuh dari satu dekade ke dekade berikutnya, dengan kekerasan, seperti aliran sungai yang ingin mencapai akhir, yang tidak lagi bermenung, yang takut

bermenung.”27

26

Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19

(Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 199.

27

What I relate is the historu of the next two centuries. I describe what is coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism. This history can be related even now; for necessity itself is at work here. This future speak even now ini a hundred sign, this destiny announces itself everywhere, for this music of the future all ears are cooked


(51)

43

Sebagaimana dijelasakan oleh Albert Camus dalam bukunya Pemberontak, Nietzsche bercerita tentang dirinya bahwa ia adalah seorang nihilis-sempurna yang pertama di Eropa. Bukan karena pilihan, tetapi karena kondisi dan karena ia terlalu besar untuk menolak warisan zamannya. Nietzsche melakukan diagnosis dalam dirinya dan dalam diri orang lain tentang ketidakmampuan untuk percaya dan lenyapnya fondasi primitif semua kebajikan—umpamanya, kepercayaan terhadap hidup. Ucapan, “dapatkah seorang itu hidup dengan pemberontak?” diubahnya menjadi

“dapatkah orang hidup sambil percaya pada sesuatu yang tidak ada

(nothing)?” Jawabannya bersifat penegasan. Ya, jika seseorang menciptakan suatu sistem yang meniadakan kehadiran kebajikan, jika kita mau manerima konsekuensi-konsekuensi akhir dari nihilisme itu, dan jika seorang muncul di padang pasir tersebut dan menaruh keyakinan pada dirinya tentang apa yang akan datang, bila kita merasakan dengan naluriah primitif yang sama—baik rasa pahit maupun rasa senang.28

Jika melihat konteks sosial tentang apa yang disebutnya “kebudayaan Eropa kita” justru aforisme di atas bertentangan. Karena, pada saat itu, Eropa tengah mengalami kejayaan: kepercayaan pada gagasan kemajuan tidak terbatas yang dipimpin oleh penemuan sains dan teknologi yang mencengangkan. Akan tetapi, dengan Aforisme tersebut Nietzsche melihat even now. For some time now, our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, white a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end, that is afraid to reflect. Nietzsche, The Will to Power (New York: Vintage Books, 1968), terj, Walter Kaufmann, h. 3.

28


(52)

44

Eropa dengan kacamata berbeda dengan menubuatkan kedatangan nihilisme, sebuah krisis kebudayaan yang tidak terelakkan, di mana nilai-nilai tertinggi kehilangan maknanya, tujuan tidak lagi ada, dan pertanyaan “mengapa?” tidak menemukan jawabannya.29

Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi dua: yaitu agama (termasuk moral) dan ilmu pengetahuan. Dengan runtuhnya dua bidang ini, manusia kehilangan pegangan dan jaminan untuk memahami dunia dan hidupnya, termasuk aku-nya. Dengan kata lain, nihilisme

merupakan “malam terus-menerus”.30

Dalam aforisme yang lain tentang sikap Nietzsche mengenai runtuhnya seluruh nilai dan makna, ia memaklumkan seruannya yang terkenal yatiu Gott is tot! Sebagaimana ia tuliskan dalam bukunya The Gay Science dengan perumpamaan si orang gila. Begini ia menulis:31

Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah? Dia berlari menuju alun-alun kota dan tidak berhenti-hentinya berteriak:

“Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” ketika banyak orang banyak

yang tidak percaya pada Tuhan, mereka datang mengerumuninya, dan orang

gila itu mengundang gelak tawa.” Apakah dia ini orang yang hilang? Tanya seseorang. Apakah ia tersesat seperti anak kecil? Apakah ia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah ia seorang perantau? Demikianlah, mereka saling bertanya sinis dan tertawa.

Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan

dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. “ Mana Tuhan? Serunya. “Aku hendak berkata pada kalian. Kita telah membunuh Tuhan:

kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita

29

A. Setyo Wibowo, dkk., Para Pembunuh Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 123.

30

St. Sunardi, Nietzsche, h. 35.

31


(53)

45

meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jika kita melepaskan bumi dan mataharinya? Lalu kamana bumi ini akan bergerak? Kemana kita bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam semakin terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentera pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan, ia para Tuhan pun membusuk! Tuhan telah mati, Tuhan tetap mati!

Dan kita telah membunuhnya!”

Bagaimana kita—para pembunuh—merasa terhibur? Dia yang maha kudus dan maha kuasa yang memiliki dunia ini kini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita—siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Pernyataan taubat apa dan pertunjukan kudus apa yang harus kita andalkan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu berat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan? Supaya tindakan ini kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa yang lahir setelah kita, demi tindakan ini, akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih

besar dari seluruh sejarah samapai sekarang ini!”

Sampai di sini, orang gila itu lalu diam dan kembali memandang para pendengarnya; dan mereka pun diam dan dengan keheran-heranan memelototinya. Akhirnya, orang gila itu membuang pelitanya ke tanah, dan

pelita itu hancur, kemudian padam. “Aku datang terlalu awal,” katanya kemudian. “Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus

berjalan, masih terus berkeliaran dan belum sampai pada telinga orang-orang. Kita dan guntur memerlukan waktu, cahaya bintang-bintang memerlukan waktu, tindakan, meskipun sudah dilakukan, masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka, daripada bintang-bintang yang paling jauh—namun mereka telah melakukannya untuk diri mereka sendiri.

Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama, orang gila itu nekat masih ke dalam berbagai gereja, dan di sana ia menyanyikan lagi requitem aeternam deo (istirahat kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta

pertanggungjawabannya, dia selalu menangkis dan berkata: “Apalagi gereja -gereja ini kalau bukan makam bagi nisan-nisan Tuhan?!”

Maklumat kematian Tuhan bergaung dalam bentuk yang bervariasi: masa akut anomali pemikiran, disorientasi nilai, sekularitas, dan krisis iman.


(1)

94

mendalam dan akhirnya melahirkan sebuah konsep, kebenaran, metode, dan teori. Namun hal itu hanya sebatas dalam tataran pikiran belaka. Konsep itu terlalu megah dan mewah untuk ditawarkan terhadap realitas. Filsafat yang berubah menjadi mumi akhirnya tampil dengan wajah menakutkan. Filsafat baginya bukanlah alat untuk mempercantik realitas dan mempromosikan sifat subjektif serta objektifnya. Usaha para filsuf selama ini dalam kacamata Nietzsche hanyalah permainan, dan bukan lagi menjadi aktivitas filosofis. Sehingga, apa yang ditemukannya (filosof) hanyalah topeng, permukaan dan penampakan semata.

B. Saran

Jika memang kenyataannya filsafat adalah topeng dan penghias realitas, tidak ada salahnya jika keniscayaan itu diterima selagi mengarah pada kebijaksaan. Filsafat bukanlah berhala yang hadir ditengah tengah hiruk-pikuknya kehidupan. Filsafat adalah senjata revolusi yang nyata hadir dari bentuk ketidakselesaian manusia.

Semoga yang esensial tidak terlupakan di tengah campur aduknya pemahaman, definisi, konsep dan metode yang digunakan oleh kebanyakan para filsuf. Jadi, filsafat bukan lagi mengkonstruk realitas yang keluar dari jalurnya: dunia utopis. Guna menghindari dekadensi dalam filsafat itu sendiri.

Akhirnya, dengan segala kemampuan dan keterbatasan, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan untuk mencapai


(2)

95

kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran untuk membangun kesempuranaan sangat diharapkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.

Adisusilo, Sutardjo. Sejarah Pemikiran Barat: Dari yang Klasik Sampai yang Modern. Yogyakarta: Rajawali Pers, 2007.

Afadlal, dkk. Radikalisme Agama di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005. Aiken, Henry D. Abad-Abad Ideologi. Yogyakarta: Bentang, 2002.`

Arifin, Chairul. Khendak untuk Berkuasa Friedrich Nietzsche. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.

Arifin, Jainul. “Konsep Kehendak Manusia Dalam Pemikiran Nietzsche Dan Mu’tazilah: Studi Komparatif, (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2014).

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2005.

Bakker, Anton dan Zubair, A. Charis. Metodologi Penelitian Filsafat. Jogjakarta: Kanisius, 2005.

Boangmanalau, Singkop Boas. Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan Merekonstruksi Antropodisi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2008.

Camus Albert. Pemberontak. Yogyakarta: Narasi, 2015.

Camus, Albert. Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. ter. Apsanti D. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Dahana, Radhar Panca. Menjadi Manusia Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta:, Kanisius, 2014. Habermas, Jurgen. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES,

1990.

Hadi, Hardono. Epistemologi Filsafat Pengetahuan Kenneth F.

Gallangher. Yogyakarta: Kanisius: 1994.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2014.


(4)

Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Kanisius: Yogyakarta, 2014.

Hartono, Agustinus. Skizoanalisis Gilles Deluze dan Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.

Hasan, Fuad. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu, 2014.

Hollingdale, R. J. Nietzsche. London: Routletge and Kegan Paul, 1973. Jackson, Roy. Fredrich Nietzsche. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003. Jacobs, S. J. Tom. Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan

Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Jay, Martin. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.

Karimuloh, Anik. “Kritik Nietzsche Terhadap Metafisika Dalam Pemikiran Filsafat Barat”, (Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN

Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2003).

Keraf, A. Sonny dan Dua, Mikhael. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan, 2003. Madjid, Nurcholish, dkk. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007.

Magee, Bryan. The Story of Philosophy: Kisah tentang Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2008), terj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi.

Magnus, Bernd dan Higgins, Kathleen M. The Cambridge Companion to Nietzsche (Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

Marcuse, Herbert. Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.

McKenna, Kristine. The three of Jacques Derrida: An Interview with the Father of Deconstructionism (LA Weekly: 8-14 November 2002). Mohamad, Goenawan. Setelah Revolusi tak Ada Lagi. Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2005.

Nietzsche, Friedrich . Genealogi Moral, terj. Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra, 2001.

Nietzsche, Friedrich. Beyond Good and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan, terj. Basuki Heri Winarno. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.


(5)

Nietzsche, Friedrich. Ecce Homo, terj. Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Nietzsche, Friedrich. Sabda Zarathustra, terj. Sudarmaji dan Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Nietzsche, Friedrich. Senjakala Berhala-Berhala dan Anti-Krist, terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.

Nietzsche, Friedrich. Syahwat Keabadian. Depok: Komodo Books, 2010. Nietzsche, Friedrich. The Portable Nietzsche, ed. Walter Kufman. New

York: Viking Perss, 1954.

Nietzsche, Friedrich. The Will to Power, ed. Walter Kaufman. New York: Vintage Books, 1968.

Nietzsche, Friedrich. Manusia, Semua Terlalu Manusiawi. trans. RJ Hollingdale. Cambridge: Cambridge University Press, 1996. Roberts, Tyler T. Spiritualitas Posreligius: Eksplorasi Hermenuetis

Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Qalam, 2002.

Santoso, Ahmad. Nietzsche Sudah Mati. Yogyakarta: Kanisius. 2013. Santoso, Listiono, dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruz Media,

2009.

Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2010.

Snook, Ivan. “(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”, dalam Bahasa, Kebenaran, dan Kekuasaan: Ministerium Bourdieu, ed. Ricard Harker dkk. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Nietzsche. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.

Sulhanudin, Muhamad. Wajah Ganda Transformasi Manusia Unggul

Dalam Novela ”The Transformation” Karya Franz Kafka. Skripsi

Fakultas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang 2010.

Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS, 2011.

Supriyadi, Eko. Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 2003.


(6)

Utomo, Puji. “Manusia Unggul Menurut Friedrich Nietzsche: Tinjauan

Filsafat Pendidikan Islam. (Skripsi Fakultas Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2010.

Wibowo, Setyo. dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2014. Wibowo, Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press, 2004.