Konsep Baiat dan Ikrar guru

Mengartikan Bai’at, Sumpah Dan Janji
Dalam Praktek Islam

Momon Sudarma
2016

1

Wacana kali ini,1 akan melakukan tinjauan pustaka terkait konsep
dasar ai at, janji dan ikrar, dan implikasi dari aktivitas tersebut.
Untuk menggenapkan kajian ini, selanjutnya diungkap pula
mengenai perspektif sosiologi dalam membangun nilai-nilai
kehidupan. Pandangan yang dijadikan kerangka teori dalam
penelitian ini, yaitu pandangan structural fungsional dari Talcott
Parson, kemudian dipadukan dengan pandangan Peter L. Berger dan
Koentowidjoyo.

Konsep Dasar yang Sejenis
Sebagaimana diketahui, terdapat sejumlah konsep yang digunakan
oleh masyarakat Indonesia dalam menandai pengucapan seseorang
sebelum melakukan sebuah tugas. Setidak-tidaknya ada tiga istilah

yang popular di masyarakat Islam Indonesia, yaitu konsep ai at,
sumpah-janji, dan ikrar.
Ketiga istilah tersebut, kadangkala
dicampuradukkan, dan kadang pula disalahartikan. Oleh karena itu,
untuk kepentingan penelitian ini, penulis akan mencoba
memberikan penjelasan singkat mengenai konsep-konsep yang
digunakan tersebut, sehingga tidak terjadi adanya kesalahpahaman
atau bias dalam proses analisis penelitian nanti.
Pengertian Konsep Baiat
Dalam Ensiklopedia Islam (1999:219) ditemukan bahwa konsep
a iat e asal da i kata a a-ya i u artinya menjual. Dari akar kata
tersebut, diketahui bahwa kata ai at pada mulanya dimaksudkan
sebagai pertanda kesepakatan atau suatu transaksi jual beli antara
1

Tulisan ini, direvisi ini 1 November 2016.

2

dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Konsep ini, merupakan

sebuah bentuk transaksi material atau jual-beli dalam pengertian
ekonomi, seperti yang digunakan dalam surat al-Baqoroh : 275
ya g e u yi wa ahalallahu ai a wa harrom riba da Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan praktek riba) atau dalam
ayat idza udiyatisholat i yau il ju ati, fas au ila dzik illah wa
dzarul ai a jika e de ga se ua sholat, diha i ju at, aka
bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah perniagaan,
Qs. 62:9).
Berdasarkan analisis ini, maka dapat dikemukakan bahwa konsep
dasar ai at itu adalah sebuah transaksi antara dua pihak, yaitu
penjual dan pembeli. Pada konteks ajaran agama, al-Qu a pu
memberikan isyarat bahwa transaksi atau jual beli ini, bukan hanya
dalam konteks ekonomi, tetapi dalam konteks keagamaan. Allah
Swt (Qs. 61:10-12) berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan
kamu dari azab yang pedih ? (yaitu) kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu, jika kamu
mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu

dan memasukkan kamu ke dalam syurga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke
tempat tinggal yang baik didala syu ga Adn. Itulah
keberuntungan yang besar.
Merujuk pada ayat tersebut, dapat diketahui bahwa transaksi
dengan Allah Swt, dapat berwujud sikap keagamaan. Bila makna
a a (Qs. 62:9, 2:275) dibandingkan dengan konsep tijaroh

3

(Qs.61:10-12) memiliki maksud ya g sa a, yaitu se uah t a saksi
keaga aa . “eo a g ha a
e jual kehidupa
de ga
bersumpah setia) dengan cara mengabdikan diri kepada Allah, dan
Allah Swt membayar (membeli) dengan kehidupan syurga yang
merupakan keberuntungan yang sangat besar.
Model transaksi sosial tersebut, sejalan dengan pemikiran teori
interaksi-simbolik (Veeger, 1986:221-230), yang menyatakan bahwa
perilaku sosial itu dibentuk karena adanya aksi dan reaksi. Setiap

individu akan bertindak sesuai dengan stimulus yang
didapatka ya. Pola jual- eli adalah odel i te aksi sosial ya g
umum terjadi dalam kehidupan manusia. Pada konteks inilah, maka
makna ai at, da
tijaroh-keaga aa ” (Qs. 61:10-12), dengan
model kontrak sosial memiliki kemiripan prinsip, yakni sebagai
sebuah transaksi sosial antara pihak pertama dengan pihak kedua.
Dalam pandangan ahli tasawwuf -thoriqoh Shiddiqiyah- baiat
dimaknai sebagai bentuk proses ijab kobul pelajaran. Untuk
memperoleh pelajaran shiddiqiyyah harus melalui proses
pengajaran dan pengesahan ijab-kobul antara seorang guru
(mursyid atau wakil yang ditunjuk) dengan murid, yang disebut
baiat. Dengan kata lain, bagi kalangan thoriqoh Shiddiqiyah, baiat
bukan sumpah setia kepada guru atau lembaga thoriqoh/organisasi,
melainkan ijab qobul dalam bidang pelajaran untuk mencapai
barokah. Pelajaran Thoriqoh tanpa di baiat itu tidak mengalir
barokah Ilmu khusus dari Rasulullah Saw melalui guru-guru secara
berantai (http://www.shiddiqiyyah.org/). Pandangan ini sejalan
dengan Quraish Shihab yang mengatakan (1996:316) ai at adalah
janji setia kepada nabi dan ajarannya. Titik tekan dalam pemikiran

ini, yaitu berbaiat bukan pada orang yang dihadapi saat itu, tetapi

4

ber ai at kepada Rasulullah Muhammad SAW dan ajarannya
(Islam).
Ahmad Hidayat Abdussalam, dari Pesantren Sumpil–Blimbing
Malang Jawa Timur (8/03/04, http://www.sufinews.com/index)
mengatakan bahwa baiat billah, dalam tradisi dan istilah thariqat,
tidak ada. Maksudnya, baiat itu pasti dengan seorang mursyid.
Seorang mursyid ketika membaiat muridnya haruslah billah, artinya,
bersama Allah, bukan binafsihi (bersama dirinya)
Pendapat yang lain mengatakan bahwa ai at merupakan sebuah
janji yang diucapkan oleh seorang muslim untuk mengerjakan
sesuatu. Rachmat Taufiq Hidayat (1993:35) memaknai ai at
sebagai bentuk kesetiaan, sumpah janji setia, kepatuhan atau
pe gakua . Pada Ka us Besa Bahasa I do esia KBBI , dite aka
bahwa ai at adalah pelantikan secara resmi, pengangkatan atau
pengukuhan. Pada penjelasan berikutnya, KBBI ini menyebutkan
bahwa ai at merupakan pengucapan sumpah setia kepada imam

(pemimpin).
Dalam diktum khilafah menurut mazhab Sunni (Ensiklopedia Islam,
1999:221) ai at merupakan syarat syahnya jabatan khilafah
seseorang. Pendapat ini, senada dengan Ummu Solehah
(http://members.lycos.co.uk/) yang mengatakan bahwa dalam
sistem Islam, sahnya pengangkatan seorang ketua negara adalah
dengan adanya baiat. Baiat merupakan pernyataan kerelaan
mengangkat dan taat dari kaum muslimin kepada seseorang untuk
memimpin dan memberlakukan hukum-hukum Islam atas mereka.
Jika mencermati shirah nabawiyyah, maka praktek ai at ini,
dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Hal demikian
dibuktikan dengan dua peristiwa ai at. Pertama, pada tahun kedua

5

belas sesudah kenabian, datanglah ke Mekkah di musim haji, 12
orang laki-laki dan 1 orang wanita penduduk Yatsrib. Mereka
e e ui ‘asulullah se a a ahasia di aqobah, kemudian
melakukan ai at. Peritiswa ini, disebut dengan ai atu l a o atil
ula (perjanjian aqobah yang pertama) atau ai atu isa (perjanjian

wa ita ka e a ada seo a g wa ita ya g e a a Af a i ti A id
i Tsa ala ah ya g e jadi salah satu a ggota ai atula o atil
ula.
Isi ai atu l a o atil ula adalah untuk tidak menyekutukan Allah,
tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak
mengumpat dan memfitnah, baik didepannya atau dibelakang.
Tidak menolak untuk berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi
semua itu ia mendapat pahala syurga, dan kalau ada yang
mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa
menyiksa juga bekuasa untuk mengampuni segala dosa (Haikal,
1999:168). Karen Armstrong menyebut ai atu l a o atil ula ini
sebagai ai at tentang keagamaan dibandingkan dengan aspek
politik (Armstrong, 2002:200).
Kedua, yaitu pada tahun ketiga belas kenabian, sebanyak 73 orang
laki-laki dan 2 orang wanita. Rasulullah hadir, didampingi
Pamannya, Abbas (pada saat itu belum masuk Islam), untuk
melakukan ai at. Peristiwa ini disebut ai atul tsa iyyah atau
perjanjian aqobah kedua (Depag, 1983:69). Peristiwa ini, secara
tidak langsung menegaskan bahwa yang melakukan ai at, bukan
hanya laki-laki, tetapi juga wanita. Perbedaan prinsipilnya, jika ai at

seorang pemimpin laki-laki dilakukan dengan berjabatan tangan
dengan peserta laki-laki, sedangkan ai at dengan wanita,
Rasulullah pada saat itu tidak berjabatan tangan (al-Mubarakfury,
2000:208).

6

Bunyi ikrar ai atul aqobah tsaniyyah (al-Mubarakfury,
2000:207) yaitu:
a. Untuk mendengar dan taat tatkala bersemangat dan
malas
b. Untuk menafkahkan harta tatkala sulit dan mudah
c. U tuk e yu uh kepada ya g a uf da
e egah
dari yang munkar
d. Untuk tegak berdiri karena Allah dan tidak merisaukan
celaan orang yang suka mencela karena Allah
e. Hendaklah kalian menolongku, jika aku datang kepada
kalian, melindungiku sebagaimana kalian melindungi
diri, istri dan anak-anak kalian, dan bagi kalian adalah

syurga.
Sejalan dengan pemikiran Karen Armastrong (2002:205), maka isi
ai atul a o ah tsa iyyah ini, lebih bersifat politik dibandingkan
masalah agama, dan menjadi prasyarat untuk membangun tatanan
masyarakat Islam pada tahap berikutnya. Bai atul aqobah tsaniyyah,
memiliki fungsi sebagai persiapan soliditas masyarakat Islam dalam
menghadapi berbagai tantangan eksternal umat Islam, baik yang
bersifat ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Dalam konteks
sejarag Nabi, pada waktu itu, umat Islam menghadapi tantang dan
gangguan dari kaum Kafir Qureisy.
Berdasarkan ulasan tersebut, dapat dikemukakan bahwa ai at itu
memiliki dua fungsi, yaitu (1) taat dan patuh pada isi aturan, dan (2)
pra syarat untuk membangun tatanan kehidupan sosial yang sesuai
dengan aturan.
Artinya, tidak mungkin dapat membangun
masyarakat dengan baik, jika anggota masyarakatnya tidak
mengetahui aturan yang berlaku, dan tidak mau di atur oleh aturan
itu sendiri.

7


Jika dilihat dari periodisasinya, Rachmat Taufik Hidayat (1993:35),
membagi ai at ke dalam 3 bagian, yaitu ai at zaman Rasulullah,
ai at zaman Shahabat, dan ai at zaman modern Islam.
Pada masa Rasulullah SAW itu, ai at dilakukan manakala memang
ada peristiwa yang penting, yang beresiko besar. Misalnya ai at
para sahabat dari Madinah yang datang ke Mekkah (tepatnya
lembah Aqabah). Bai at itu dilakukan karena Rasulullah SAW sedang
menyiapkan mereka untuk menjadi soko guru masyarakat baru di
kota Madinah. Bahkan Rasululah akan memindahkan pusat
dakwahnya dari Mekkah ke Madinah. Beliau membutuhkan
dukungan yang kuat dari para tokoh di Madinah yang sudah masuk
Islam. Lalu di ai atlah mereka sebagai janji untuk membela agama
Allah dengan nyawa, harta dan seluruh potensi yang mereka miliki.
Sebagaimana diketahui, selain ada ai atul ula, ai atul tsaniyyah,
juga ada ai at hudaibiyyah. Persitiwa ini, terjadi pada tahun
keenam Hijriah. Pada waktu itu, Nabi saw. bersama sahabatsahabat berangkat meninggalkan Madinah menuju Mekah guna
melaksanakan umrah dan tawaf di Baitullah. Sesampainya berita ini
kepada kaum Quraisy mereka berusaha keras menghalanginya.
Untuk itu Rasulullah saw. mengutus Usman bin Affan untuk

memberitahukan kepada mereka bahwa rombongan Rasulullah
datang hanya dengan tujuan melaksanakan umrah, bukan niat
perang. Usman bin Affan tertahan di Mekah agak lama, melebihi
dari waktu yang diperhitungkan, kemudian muncul pula isu bahwa
Usman bin Affan telah terbunuh. Pada waktu, kaum muslimin tidak
bersenjata. Peristiwa ini demikian mencekam sehingga sangat
terasa kegentingannya dan resiko terbunuh menjadi sangat besar.
Na i saw. duduk di awah se uah poho da
e i ta ai at da i
sahabat-sahabat. Mereka membaiat Rasulullah Saw. akan

8

berperang sampai akhir hayat Akhirnya Rasulullah pun mengambil
ai at kesediaan untuk membela Islam dan kaum Muslim dari para
shahabatnya di bawah sebuah pohon tersebut. Peristiwa ini lalu
diabadikan al-Quran dalam ayatnya :
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
u' i ketika e eka e ja ji setia e ai at kepada u di
bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam
hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan
memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang
dekat." (QS. Al-Fath: 18)
Merujuk pada peristiswa ai atul Hudaibiyyah dan firman Allah
dalam Qs. 48:8-28, Esposito (2001:243) mengartikan ai at sebagai
sebuah permohonan para wakil rakyat agar Allah melimpahkan
berkah dan ridho (ridhwan)-Nya kepada penguasa mereka.
Rasulullah Muhammad SAW, kemudian menerima perjanjian
tersebut tahun 628 di Hudaibiyyah (Qs. Fath:27), maka disebut pula
ai atu -ridhwan. Di lihat dari tempat dilaksanakannya perjanjian
tersebut, peristiwa ini dikenal pula dengan sebutan Bai atul Taht
Syajarah -perjanjian di bawah pohon- (Hidayat, 1993: 36).
Pada masa berikutnya, ai at sering dilakukan oleh rakyat kepada
sultan yang akan memerintah. Misalnya mengangkatan Abu Bakar
sepeninggal Rasululah SAW dengan cara para shahabat ber ai at
kepada beliau. Demikian juga yang terjadi pada Umar, Ustman, Ali
semua kalifah berikutnya. Jadi ai at itu menjadi semacam ritual
mengangkatan seorang imam atau penguasa yang dilakukan oleh
rakyatnya.
Pada masa ketiga, atau masa modern Islam, (Hidayat, 1993:35)
mengatakan bahwa ai at merupakan janji setia untuk tunduk dan

9

patuh kepada pemimpin (imam) organisasi atau pemimpin uma,
yang diperlukan untuk memperkukuh tekad atau keyakinan akan
kebenaran perjuangan Islam, menegakkan Islam dan kaum Muslim
(izz al-Islam wa al-muslimin), mengukuhkan persatuan (ukhuwwah
Islamiyyah), serta memperkecil resiko terjadinya pengkhianatan.
Sebab, ai at itu pada hakikatnya merupakan janji setia seorang
hamba kepada Allah Swt.
Perkembangan sejarah dan peradaban Islam kemudian,
memberikan pengaruh terhadap posisi dan penggunaan ai at.
Praktek ai at, ternyata dilakukan pula untuk menjadikan seseorang
sebagai anggota dari sebuah kelompok, jamaah, tarikat dan
sejenisnya. Yang terkenal melakukan ai at ini adalah para aktifis di
dunia tarikat, di mana anggota tarikat itu ber ai at kepada
pemimpin tarikat untuk melakukan sekian jenis zikir, bacaan atau
wazhifah (kewajiban) yang dibebankan pemimpinnya kepadanya.
Be eda de ga pa da ga ‘a h at Taufik Hidayat, A Complete
Islamic Encyclopedia Web Site Copyrigth@1998-2004) mencatat
ada dua tipe ai at, yaitu ai atul barokah dan ai atul i adah. Jika
Rachmat Taufik Hidayah melihat pengelompokkan ai at dari sisi
sejarah, sedangkan A Complete Islamic Encyclopedia Web Site,
melihat dari sisi substansi atau sisi ai at itu sendiri. Merujuk pada
penjelasan di A Complete Islamic Encyclopedia Web Site , dapat
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan ai atul a okah yaitu
e oho
e dapatka e kah . Sedangkan ai tul i adah, adalah
penyerahan diri kepada seorang guru untuk membimbing atau
menuntun ke jalan kebenaran, seperti yang terjadi di lingkungan
pendidikan atau tarikat.
Ahmad Sarwat (http://www.eramoslem.com/, 2004) mengatakan
bahwa kewajiban ber ai at adalah memang mutlak bagi setiap

10

muslim. Namun kepada pihak siapakah kewajiban ai at harus
diberikan, di sinilah banyak terjadi penafsiran. Namun demikian ---di lua ada ya pe edaa defi isi ja a ah usli i -- secara umum
dapat disepakati bahwa ai at dilakukan kepada jamaah muslimin.
Dalam pandangan Ahmad Sarwat (http://www.eramoslem.com/,
2004) selanjutnya, ribuan atau jutaan jamaah-jamaah yang ada saat
ini adalah sebuah jamaah dari jamaah-jamaah milik umat Islam,
tetapi bukan jamaah muslimin yang dimaksud dalam banyak hadits
tentang kewajiban ber ai at. Hal ini senada dengan Ummu Solehah
(http://members.lycos. co.uk/ ya g e gataka ahwa ya g ada
hanyalah sebuah jamaah dari sekian banyak jamaah. Namun yang
pasti jamaah itu tidak bisa mengklaim dirinya sebagai ja a atul
muslimin. Maka tidak punya hak untuk membunuh anggota yang
kelua .
Ummu Solehah Abdullah (http://pilihanraya11.s5.com/News/)
mengatakan bahwa dalam rangka menegakkan syariat Islam,
Rasulullah saw telah menetapkan wajibnya mengangkat ketua
negara (khalifah) sebagai pemimpin. Di antara nash yang
menegaskan hal ini adalah:
Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada
Allah, nescaya ia akan berjumpa dengan Allah pada Hari
Kiamat tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati,
sedangkan dipundaknya tidak ada baiat (kepada khalifah),
maka matinya adalah mati jahiliah. (HR Muslim).
Melalui hadis tersebut, Nabi Muhammad saw telah mewajibkan
kepada seluruh kaum Muslim agar di pundaknya ada baiat.
Penyifatan beliau terhadap orang yang meninggal tanpa baiat di
pundaknya sebagai mati jahiliah merupakan penegasan tentang

11

wajibnya baiat tersebut. Hanya saja, baiat itu hanya diberikan
kepada khalifah/imam sebagai ketua negara dan pemerintahan,
sebagaimana juga sa da agi da ya g e e ti siapa saja ya g telah
membaiat seorang imam sekaligus memberikan kedua tangannya
da
uah hati ya, aka taatilah i a itu se a pu ya . H‘
Muslim).
Dalam hadis di atas, yang dimaksud dengan imam adalah Khalifah
(ketua pemerintahan Islam atau Khilafah Islamiah). Allah SWT juga
telah mewajibkan kepada kaum Muslim untuk menaati ulil amri,
yang tidak lain adalah Imam/Khalifah/Amirul Mukminin. Merekalah
penguasa Muslim sesungguhnya, yang harus diwujudkan di tengahtengah kaum Muslim dan ditaati oleh semua. Allah SWT berfirman
ya g e a ti: Hai o a g-orang yang beriman, taatilah Allah dan
‘asulNya se ta ulil a i di a ta a kalia . Q“ a -Nisa
: 9.
Berdasarkan kajian ini, dapat disimpulkan bahwa ai at adalah
sebuah ikatan antara rakyat dengan pemimpinnnya. Atau antara
orang yang diangkat menjadi pemimpin dengan ahlul halli wal aqdi.
Dalam pandangan sejarah, khususnya yang terjadi jaman Rasulullah
ai at ditemukan ada tiga peristiwa, yaitu ai atul ula, ai atul
tsaniyyah, dan bai at hudai iyyah. Jika dilihat dari substansinya,
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu ai atul a okah, dan ai atul
irodah. Kemudian, bila dilihat dari sisi tujuannya, ai at dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu ai at untuk taat dan patuh pada ajaran Islam,
ai at untuk menjaga dan membela Islam dari ancaman sosialpolitik-budaya asing, serta ai at untuk taat pada pemimpin Islam
(baik dalam kontek organisasi politik maupun organisasi sosial
lainnya). Sementara, jika dilihat dari praktek atau prosesnya, ai at
dapat dibagi menjadi dua, yaitu ai at haqiqiyah yakni kepada Allah

12

Swt, sedangkan ai at formal, yaitu dilaksanakan dihadapan sesama
manusia.
Berdasarkan simpulan tersebut, dapat disederhanakan bahwa yang
dimaksud ai at adalah sebuah kontrak sosial antara anggota
dengan pemimpin, atau antara siswa dengan sekolah (guru), atau
antara rakyat dan wakil rakyat, atau antara murid dengan mursyid,
atau antara santri dengan kyai, atau antara makhluq dengan alkhaliq.
Literature Islam memberikan penjelasan, bahwa ai at ini harus
dilaksanakan oleh si pelakunya. Bila terdapat pelanggaran terhadap
isi ai at, maka selain sanksi yang bisa diberikan kepada pihak
pelanggar, ai at itu sendiri dapat dibatalkan.
Pengertian Konsep Sumpah
Sherif Abdel Azeem (http://www.geocities.com/hwpienesha/)
mengatakan bahwa di dalam Islam sumpah setiap Muslim, lelaki
atau perempuan, mengikat masing-masing. Tidak ada seorangpun
memiliki kekuasaan untuk menolak ikrar seorang lainnya. Kegagalan
untuk menjaga sumpah yang sungguh-sungguh yang dibuat oleh
lelaki atau perempuan, harus ditebus sebagaimana ditunjukkan
dala Al Qu a :
"Dia akan menghukum kamu karena sumpahsumpahmu ( a od) yang kamu lakukan dengan sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan

13

yang demikian itu, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpahsumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
Dan jagalah sumpahmu." (5: 89)
Saefuddin (Bulletin 03, 1997). mengatakan bahwa kesengajaan
melanggar sumpah, merupakan pelanggaran yang sangat berat
tanggung jawabnya di akhirat. Janji yang disertai sumpah
merupakan tekad yang bukan hanya harus dilakukan tapi juga
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Allah berfirman:

       
        
    
"Dan tepatilah perjanjian ( ahada)dengan Allah apabila
kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpahmu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui atas apa yang kamu perbuat." (QS. AnNahl 91)

Selanjutnya, Saefudin (Buletin 03, 1997) menegaskan lagi, bahwa
dengan demikian jika seseorang berjanji disertai sumpah, untuk
mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, berarti telah siap

14

menerima akibat bila melanggarnya. Jika sumpah itu dilakukan di
hadapan manusia, maka bukan hanya Allah sebagai saksinya, tetapi
juga manusia yang menyaksikannya. Oleh karena tanggung
jawabnya pun dua jalur; tanggung jawab kepada manusia dan
tanggung jawab di hadapan Allah SWT. Dengan mengucapkan
'Demi Allah', berarti langsung ingin disaksikan oleh Allah SWT dan
siap dituntut oleh-Nya. Apakah betul dengan dalil tidak sengaja
(pura-pura) menjadi bebas dari tuntutan? Bukankah atasan yang
menyumpahnya itu sungguh-sungguh meyakini kebenaran
sumpahnya? Ketentuan penting tentang sumpah yang harus dijaga
antara lain sabda Rasulallah SAW sebagai berikut "Sumpah itu atas
dasar orang yang menuntutnya." (HR. Muslim dari Abi Hurairah).
Maksudnya apabila seseorang diminta untuk bersumpah dalam
menjanjikan sesuatu, kemudian ia mengucapkannya, maka
sumpahnya adalah dianggap sah. Dengan demikian tidak ada alasan
bagi calon pejabat yang mengucapkan sumpah jabatan untuk
melanggarnya, walau tatkala mengucapkan sumpah itu tidak
sungguh-sungguh. Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Rasulallah
SAW bersabda "Sumpahmu menurut apa yang diminta temanmu."
(HR. Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Berdasarkan hadits ini, apabila seseorang bersumpah atas
permintaan orang lain, dan yang memintanya itu menganggap sah,
maka sumpahnya jadi sah secara hukum, dan harus dipertanggung
jawabkan. Jika melanggar harus membayar kifarat. Dengan kata lain
jika pejabat tersebut melanggar, sumpah maka setiap melanggar
harus membayar kifarat sumpah.
Dalam penjelasan selanjutnya, Saefuddin mengatakan yang
memberatkan, sumpah jabatan berlaku selama ia menjabat, dan
selama itu pula ia terikat dengan sumpah tersebut. Ada 4 (empat)

15

hal yang perlu diperhatikan. Pertama, sumpah jabatan merupakan
janji kepada Allah, pada diri sendiri, dan pada masyarakat yang
mengangkatnya. Oleh karena itu harus dipelihara dan dijaga jangan
sampai dilanggar. Kedua, setiap melanggar sumpah, maka wajib
membayar kifarat. Ketiga, sumpah yang diucapkan tetap dianggap
sah, walau diucapkan secara pura-pura, sepanjang orang lain
membenarkannya. Keempat, para pejabat yang telah melakukan
sumpah jabatan hendaklah berhati-hati jangan melanggar, sebab
walau bebas di dunia, di akhirat tidak akan bisa berlepas diri.
Pengertian Konsep Ikrar
Dalam kamus al-Munawir (1997:1105) dapat ditemukan bahwa kata
i a e iliki aka kata da i qorro . “eju lah pe ge tia da i kata
ini, yaitu (a) menuangkan, (b) bersuara atau mendesis, (c)
mengambil keputusan, (d) menetapkan atau (e) menempatkan.
Salah satu contoh penggunaan kata tersebut, misalnya adalah
aqorro fulanan fil makan
e e patka si fulan dalam
tempatnya).
Al-Qu a , se i g
e ggu aka kata o o
dala
ko teks
menancapkan atau menetapkan. Misalnya saja, surat ke14 ayat 26,
atau surat ke- 23 ayat 13, menyebutkan bahwa Allah Swt
menancapkan akar-akar tanaman secara kuat. Dengan merujuk
pada hasil kumpulan Ali Audah (1997:836) ditemukan informasi
bahwa al-Qu a tidak pe ah e ggu aka ko sep o o ik a
sebagai konsep dalam konteks janji. .
Hasan Hanafi (jilid 5:58) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
iqrar adalah
attalafadzu bikalimati syahadat
e yataka
kesaksian melalui kalimat). Pelaksanaan iqrar, dalam konteks
syahadat,
e u ut Hasa Ha afi
e upaka tahapa sya i at

16

ketiga, setelah a ifat (mengetahui) dan tashidiq (membenarkan),
dan dilakukan sebelum a al (tindakan). Hal ini sejalan dengan
pernyataan para ulama salaf dan ucapan para shahabat bahwa
o a g ya g e syahadat itu adalah ashdiqu bi jinan, wa iqraru bil
lisa , wa a alu il a ka
Hasa Ha afi, jilid : 1 . Pelaksa aa
iqrar, dalam konteks hokum agama, dapat membedakan antara
orang yang beriman secara kaffah (utuh, menyeluruh), kufur
(mengingkari), dan munafik (adanya ketidakkonsistenan antara apa
yang diucapkan dengan apa yang dilakukan).
Berdasarkan pemikiran seperti ini, atau merujuk pada makna dasar
leksikon dan gramatikal, dapat dikemukakan bahwa konsep ikrar
adalah :
a. Ikrar dimaknai secara prosedural, yaitu bentuk
pengungkapan, pembacaan atau pernyataan lisan
setelah mengakui dan memahami sesuatu hal. Dalam
pengertian ini, orang yang membacakan janji dapat
disebut sebagai orang yang sedang ikrar.
b. Ikrar dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk
mengakui, meneguhkan keyakinan. Bersyahadat,
merupakan sebuah ikrar seorang muslim yang meyakini
bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah Rasulullah.
c. Kaitannya dengan hokum, maka seseorang yang sudah
berikar, adalah orang
yang sudah mengambil
keputusan ( o ayahu ala kadza) tentang sesuatu. Ikrar
sebagai siswa, ikrar sebagai anggota organisasi, ikrar
sebagai suami-istri. Pernyataan ikrar ini, bermakna
bahwa orang tersebut sudah mengambil keputusan
untuk menetapkan sebuah pilihan sikap.

17

Unsur-Unsur Pembangun Bai’at
Merujuk pada analisa yang dikembangkan sebelumnya, khususnya
mengenai konsep ai at, dapat dirumuskan ada tiga makna dasar
yang tercakup dalam ai at.
a. Bai at secara hakikiah, yaitu perjanjian antara hamba
dengan al-Khaliq, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Qs. 61:10-12).
b. Bai at politik, yaitu antara ummat dengan imam, atau
rakyat dengan pemimpin. Misalnya, seperti yang dialami
oleh Abu Bakar setelah ia disetujui di Saqifah Bani
“a idah u tuk e jadi khalifah se agai ga ti Na i
Muhammad dalam mengepalai negara Islam yang masih
muda (Nasution, 1995:249). Bai at ini dilaksanakan di
Masjid Madinah sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
c. Bai at kelembagaan/organisasi, yaitu antara murid
dengan mursyid, antara anggota dengan pemimpin
organisasi. Dalam konteks penelitian ini, maka ai at
yang dimaksud adalah antara siswa dengan
guru/sekolah.
Dalam melaksanakan baiat, janji atau sumpah dibutuhkan ada
sejumlah syarat tertentu. Terdapatnya kelengkapan unsur-unsur
pembangun
ai at tersebut, menjadi sangat penting untuk
wujudkan sehingga baiat itu syah. Berdasarkan telaahan terhadap
yang dikemukakan sebelumnya, dapat dikemukakan sejumlah
persyaratan formal dalam ai at itu.
a. Harus dilakukan dalam kondisi kesadaran yang penuh
tanpa ada tekanan. Imam Bathal berkata bahwa Imam

18

Malik dan Jumhur ulama berpendapat bahwa orang
yang dipaksa untuk bersumpah, karena diancam akan
dibunuh, maka sumpah yang dinyatakan tidak dianggap
atau tidak mempunyai dampak hukum (al-Mubarak.
Nailul Authar. 1993:3128).
b. Ada pilihan. Sejalan dengan syarat pertama, berbaiat itu
sendiri merupakan sebuah pilihan. Pilihan-pilihan yang
paling minimal itu adalah menerima atau menolak
terhadap isi janji/sumpah atau ai at itu sendiri.
Qu aish “hiha 199 : 1
e gataka , pa a pakar
agama menjadikan baiat para perempuan sebagau bukti
kebebasan
untuk
menentukan
pandangannya
berkaiatan dengan kehidupan serta hak untuk
mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah
e eka se di i .
c. Minimalnya ada dua pihak yang melakukan baiat,
misalnya yaitu penjual dan pembeli, guru-murid, rakyat
dan pemimpin, makhluk dengan Khaliq, dan lain
sebagainya. Secara hakikiah, seorang muslim yang
ber ai at, disaksikan oleh pihak ketiga, yaitu Allah Swt.
d. Ada tujuan, niat atau masalah yang dijadikan sebagai isi
dari janji/sumpah atau ikrar tersebut. Misalnya akan
melakasanakan
tugas
sesuai
dengan
isi
janji/sumpah/ikrar.
Ada satu prinsip yang penting untuk dikemukakan dalam konteks
analisis ini. Esposito (2001:243) mengatakan bahwa baiat
merupakan sebuah perjanjian, kontrak sosial tak tertulis, dan
diwujudka dala
e tuk pe gakua . Pe yataa tak te tulis i i,

19

memiliki dua makna. Pertama, teks ai at tidak disusun secara
resmi. Kedua, hasil ai at tidak terdokumentasikan. Artinya, di masa
Rasulullah dan para shahabat perjanjian ( ai at) tidak dituangkan
dalam bentuk akta perjanjian. Pelaksanaan langsung diucapkan
(iqrar) dihadapan Rasullullah Saw atau Imam. Peristiwa tersebut,
mirip bentuk kebulatan tekad untuk mendukung seseorang dalam
posisi politik tertentu. Dengan demikian, masuk akal jika, Esposito
mengatakan bahwa ai at merupakan sebuah perjanjian tidak
tertulis. Tetapi, dalam konteks perkembangan jaman, penulis
memandang bahwa kebutuhan untuk mendokumentasikan teks
ai at dan akta ai at merupakan satu kebutuhan strategis bagi
umat Islam.
Dalam konteks penelitian penulis, teks ai at sudah disusun secara
resmi dan terdokumentasikan sebagai bagian dari dokumen
pendidikan. Sebagai contoh ai at antara siswa dengan guru
(sekolah). Pada lembaga sekolah ini, teks ai at sudah dibuat,
kemudian siswa mengikrarkannya (mengucapkan) dihadapan
guru/pihak sekolah.
Sehubungan dengan ini, yaitu terdapatnya dokumen ai at, baik
teks maupun akta perjanjian ( ai at) itu sendiri, merupakan unsur
administrasi ai at yang harus ada dalam sebuah kegiatan ai at.
Unsur administrasi dari
ai at tersebut, memiliki fungsi untuk
menjadi pedoman, bukti, patokan dan landasan hokum dalam
mengontrol keberlanjutannya nilai-nilai yang terkandung dalam
ai at itu sendiri.

Konsekuensi dari Baiat, Sumpah atau Ikrar
20

Kewajiban ber ai at, jika dilihat kembali pendapat Quraish Shihab
dapat dikatakan bukan sebuah perintah top-down dari pemimpin
yang harus dilaksanakan oleh rakyat. Sebab, dalam melaksanakan
ai at, masih terbuka ruang untuk memilih atau menentukan sikap
sendiri. Dengan kata lain, kebebasan untuk memilih atau
menentukan sikap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
ai at.
Pendapat yang senada dikemukakan Harun Nasution (1995:170).
Dalam konteks perbandingan antara sistem politik Islam dengan
sistem poilitik, Harun Nasution menegaskan bahwa bai at
mengandung arti kedaulatan rakyat yang terdapat dalam demokrasi
Barat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, seorang siswa yang ber ai at pada
dasarnya memiliki kedaulatan penuh untuk menolak atau menerima
terhadap substansi dari isi ai at itu sendiri. Jika menolak, siswa
tersebut tidak akan menjadi siswa di sekolah yang tersebut di atas.
Sedangkan jika rela mem ai atnya sebagai tempat belajar, maka
siswa tersebut akan terkena kewajiban untuk menjalankan isi ai at.
Karena sebuah ai at, mengandung makna pengakuan, atau
sumpah setia. Rasulullah Muhammad Saw bersabda bahwa
ya i uka ala a yushodi uka ihi shohi uka
su pah u itu,
ialah apa yang membuat temanmu percaya kepadamu atas apa
ya g ka u sa paika . H . Ah ad, Musli , I u Majah da
Tirmidzi, dalam Nailul Authar, 1993:3127).
Islam mengajarkan, bahwa kepada siapa pun janji itu diberikanselama tidak janji bermaksiat maka harus ditepati. Bahkan siapa
yang tidak menepati janji dikhawatirkan akan masuk golongan orang
munafik.

21

Da i Ba a i Azi , ia berkata : Kami diperintahkan
Rasulullah (untuk menunaikan) tujuh perkara; yaitu Beliau
memerintahkan Kami (1) untuk menjenguk orang sakit, (2)
e ga ta je azah,
e do aka o a g e si ,
menunaikan sumpah atau apa yang disumpahkan itu, (5)
membela orang teraniaya, (6) mendatangi undangan, dan
(7) menyebarluaskan salam (Hr. Ahmad, Bukhari dan
Muslim, Nailul Authar, 1993:3144).

Kemampuan untuk menjalankan sumpah atau nadzar merupakan
salah satu sifat manusia yang dianjurkan dan mendapat pahala yang
besar dari Allah Swt. Dalam al-Qu a , Allah “wt e fi a , "mereka
menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya
merata di mana-mana." (Al Insan:7) Dalam riwayat yang lain,
diungkapkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
Ada empat sifat yang jika melekat pada seseorang maka
orang itu benar-benar munafik, jika ada satu sifat yang
melekat (dari empat itu) maka dalam dirinya ada karakter
munafik sampai ia meninggalkan sifat itu semua, (empat
sifat itu adalah); jika dipercaya berkhianat, jika berbicara
dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika berdebat berkata
keji. (HR.Bukhari Muslim ).
Dalam hadits yang lain Rasulullah Saw bersabda, "Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji tidak
menepati, dan jika dipercaya berkhianat." (HR. Bukhari Muslim).
Dengan demikian sangat jelas, bahwa seorang pelaku ai at atau
sumpah, wajib menjalankan isi dari ai at itu sendiri. jika hal

22

demikian tidak dilakukan, maka termasuk kedalam satu amalan
dosa yang akan mendapat balasan.
Sehubungan
dengan
ai at,
Ahmad
Sarwat
(http://www.eramoslem.com/, 2004) mengatakan bahwa ai at itu
memang melahirkan konsekuensi keta'atan. Sebab hakikat ai at itu
adalah pengakuan atau pengangkatan seorang pemimpin. Posisi
seorang pemimpin, memang harus ditaati. Pemimpin yang tidak
ditaati, maka secara tidak langsung sudah tidak menjadi pemimpin
lagi bagi masyarakatnya. Sebuah peraturan organisasi atau tata
tertib sekolah yang tidak ditaati oleh siswa, maka secara tidak
langsung dapat dikatakan bahwa sekolah tersebut sudah tidak
layaknya sebagai sebuah tempat pembelajaran atau tempat
pendidikan bagi anak seorang Muslim. Hanya karena adanya sebuah
tata tertib atau aturan, maka mekanisme pendidikan dapat berjalan
dengan baik. Hanya dengan adanya aturan yang ditaati oleh anggota
masyarakatlah maka tujuan bersama akan dapat dicapai.
Saefuddin (Bulletin 03, 1997) janji yang mengandung tanggung
jawab materi, seperti janji membeli suatu produk atau menjualnya,
atau janji memberi sejumlah uang yang akan digunakan untuk
kebutuhan tertentu, bila diingkari selain dosa, oleh pendapat
mazhab Maliki, juga boleh dituntut di pengadilan untuk dimintai
ganti rugi. Ini terutama bila ingkar janji tersebut menimbulkan
kerugian yang sifatnya materi.
Adapun janji seorang muslim kepada Allah SWT dalam bahasa
fikihnya lazim disebut "nadzar". Maka janji kepada Allah Swt
(nadzar) harus ditepati. Karena di dalam al-Quran, Allah telah
memerintahkan untuk menepati nadzar. Firman Allah, "Dan
hendaklah mereka menepati nadzar-nadzar mereka." (al-Hajj : 29).

23

"Apa saja yang kamu nafkahkan dan apa saja yang kamu nadzarkan
sesungguhnya Allah mengetahuinya." (al-Baqarah : 270).
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang bernadzar (berjanji) akan
melakukan amal taat kepada Allah maka taatilah dan siapa yang
bernadzar akan berbuat maksiat kepada Allah maka jangan
bermaksiat kepadaNya." Hadits iwayat Ja a ah, ke uali Musli .
Nailul Authar. 1993:3154).
Jelaslah bahwa semua janji manusia kepada Allah selama janji itu
baik dan mampu ditunaikan wajib ditunaikan. Jika janji itu bernilai
maksiat, maka tidak wajib ditunaikan karena tidak sah. Begitu juga
jika tidak mampu untuk menunaikannya maka tidak harus
ditunaikan. Dan jika tidak bisa menunaikan janji kepada Allah itu
maka harus ditebus dengan kafarat. Dan kafaratnya sama dengan
kafarat sumpah (yamin). Dalilnya adalah hadits riwayat Abu Daud,
Baginda Nabi bersabda, "Barang siapa bernadzar untuk berbuat
durhaka, maka kafaratnya adalah seperti kafarat sumpah." (Nailul
Authar, 1993 : 3158).
Kafarat sumpah adalah sebagaimana dijelaskan dalam surat Al
Maidah ayat 89 : "Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian
kepada mereka atau memerdekakan budak. Barangsiapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa tiga
hari."
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumpah,
janji, ikrar atau nadzar memiliki konsekuensi terhadap si pelakunya.
Setiap sumpah harus dilaksanakan.

24

a. Isi ai at harus dijalankan, sepanjang pemimpin itu
berkuasa. Setiap anggota harus taat, dan patuh kepada
pemimpin, sepanjang mereka berkuasa dan ada di jalan
Allah Swt (Esposito, 2001:243).
b. Kafarat sumpah, menurut Al-Qu a yaitu e e i
makan kepada 10 orang miskin, memberi makan biasa
kepada anggota keluarga, memberi pakaian budak,
memerdekakan budah atau berpuasa tiga hari.
c. Merujuk pada Qs. Al-Maidah : 89, diketahui bahwa
kafarat Sumpah itu disesuaikan dengan kemampuan si
pelanggar. Dengan kata lain, untuk konteks kafarat di
tingkat pendidikan sekolah, maka kafarat pelanggaran
terhadap ai at dapat dilaksanakan sesuai tujuan
pendidikan, tujuan pembinaan moral dan sesuai dengan
kondisi anak itu sendiri.
d. Dengan adanya sumpah, janji atau ikrar, dapat
dikemukakan ada 4 kelompok manusia, yaitu orang
yang beriman (yaitu adanya keselarasan antara apa
yang diyakini, dipikirkan, diucapkan dan dilakukan), kafir
(orang yang menolak perneyataan), orang munafik
(orang yang tidak konsisten antara apa yang diyakini
dengan apa yang diucapkan), serta khianat (yaitu tidak
menjalankan apa yang diucapkan, dijanjikan).

Kerangka Teori Analisis Terhadap Praktek Bai’at

Dala
e ga alisis
Pe ga uh Ik a te hadap Akhlak “iswa
membutuhkan sebuah metode analisis yang cocok dengan pokok
masalah penelitian tersebut. Untuk konteks penelitian penulis,

25

perspektif yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah
tersebut adalah menggunakan pandangan sosiologi.
Teori makro (the grand theory) yang digunakannya yaitu teori
structural fungsional, sebagaimana dikembangkan Talcott Parsons.
Teori strukturak fungsional adalah kaidah atau teori yang
menjelaskan tentang gejala-gejala sosial dan institusi sosial
(lembaga sosial) dengan memfokuskan fungsi yang dibentuk dan
disusun oleh gejala dan institusi sosial tersebut (Garna, 1996:54).
Dalam mencari kaidah-kaidah dalam masyarakat terdapat tiga
masalah sebagai asas penting menurut pendekatan structural
fungsional (Garna, 1996:55),yaitu (1) adakah sesuatu itu berfungsi,
(2) bagaimana sesuatu hal itu berfungsi, dan (3) mengapakah
sesuatu hal itu berfungsi ?. Kaidah-kaidah atau aturan dalam
masyarakat adalah berkaitan tentang hubungan antar individu,
individu dengan insitusi sosial maupun antar institusi sosial itu
sendiri.
Berdasarkan pemikiran seperti itu, maka relevan untuk
mempertanyakan, apakah ikrar di TPA/TKA itu berfungsi ?
bagaimana ikrar itu berfungsi, dan jika tidak berfungsi, mengapa
tidak berfungsi ? inilah yang kemudian akan menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini, dan akan digali informasi-informasi
yang relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pengembangan teori structural fungsional ini, kemudian dipadukan
dengan pandangan Talcott Parson, terntang sistem sosial itu
sendiri. Dalam pandangan Parsons, terdapat 4 (empat) subsistem
yang membentuk sebuah sistem sosial (Veegerr, 1986:208, lihat
pula (http://ssr1.uchicago.edu/PRELIMS/Theory/ parsons.html).
Keempat subsistem tersebut, popular disingkat dengan konsep AGIL

26

(adaptation, gola attainment, integration dan laten maintenance).
Keempat prasyarat itu adalah :
a. Adaptasi (adaptation, A), yaitu terdapatnya saranasarana yang dibutuhkan individu dalam mencapai
sebuah tujuan. Adaptasi merupakan sebuah
konsekuensi dari tujuan kemajukan. Sebuah siste, tidak
hanya memiliki satu set kenyataan, melainkan adanya
keanekaragaman sumber daya yang bisa digunakan
untuk mencapai sebuah tujuan. Berdasarkan subsistem
ini, maka dalam penelitian ini akan dikemukakan
mengenai cara-cara siswa dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungan pendidikannya, yang memiliki nilai
dan norma sesuai dengan ikrar yang dikemukakannya.
b. Tujuan dan kemungkinan mencapainya (goal
attainment, G). Sebuah sistem sosial harus memiliki
tujuan, dan kemungkinan untuk mencapainya. Dalam
menjelaskan goal attainment ini, Veeger (1986:207)
mengatakan ada tiga hal yang perlu diingat, yaitu (1)
harus ada tujuan yang jelas, (2) ada orang atau tenaga
yang akan mencapainya, dan (3) kewaspadaan,
kepekaan terhadap kebutuhan sistem itu sendiri.
Berdasarkan teori ini, maka penelitian ini, berupaya
untuk menggali informasi mengenai tujuan, dan
kemungkinan ketercepaiannya tujuan yang dirumuskan
dalam ikrar.
c. Integrasi (integration, I), yaitu adanya relasi-relasi intern
sistem sosial, antara satu dengan yang lainnya. Satuansatuan itu harus berintegrasi, dalam arti bahwa mereka
itu dilibatkan dan dikoordinir dalam keseluruhan sistem
sesuai dengan posisi dan peranannya. Dalam

27

mekanisme kontrol, integrasi adalah sebuah kontrol
hierarki (bertingkat). Integrasi berdiri diantara fungsi
pemeliharaan dengan tujuan. Berdasarkan subsistem I,
maka penelitian ini berupaya untuk menggali informasi
mengenai tata tertib atau aturan yang konkrit di
sekolah, yang mengatur perilaku siswa sebagaimana
dituntut oleh ikrar.
d. Mempertahankan identitas (laten maintenance, L), yaitu
nilai-nilai budaya yang sifat mendasar.
Fungsi
pemeliharaan, merujuk pada tujuan sarana supaya
terjadinya stablitas pola budaya yang terlembagakan
dalam sebuah sistem (the function of pattern
maintenance refers to the imperative of maintaining the
stability of patterns of institutionalized culture defining
the structure of the system). Ada dua hal yang penting
untuk diperhatikan dalam masalah ini, yaitu (1)
karakter pola normative, dan (2) lembaga yang memiliki
komitmen untuk mengembangkan sistem nilai.
Berdasarkan subsistem L, maka penelitian ini berupaya
untuk menggali informasi mengenai upaya sekolah atau
guru dalam memelihara, membina dan melestarikan
nilai-nilai yang sesuai dengan ikrar.
Ian Craib (1986:69) mengatakan bahwa teori Parsons mengenai
tindakan tersebut, merupakan suatu pengantar mengenai maknamakan, norma-norma, nilai-nilai, symbol-simbol dan komunikasi.
Bagi Parsons, sistem-sistem yang beraneka ragam itu berkomunikasi
melalui pertukaran informasi.

28

Selain menggunakan pendekatan teoritik dari Parson, juga
dipadukan dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Peter L.
Berger serta Koentowidjojo.
Peter L. Berger (1991:4) mengatakan ada tiga unsure sistematik
yang berkembang dalam masyarakat, yaitu internalisasi,
eksternalisasi dan objektifikasi.
Internalisasi dalam pandangan Berger (1991:5) yaitu peresapan
kembali realitas dan mentransformasikannya sekali lagi dari
struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur
kesadaran subjektif. Berger selanjutnya mengatakan (1991:21)
sosialisasi tidak pernah berakhir. Sosialisasi merupakan sebuah
proses berkelanjutan yang panjang dan tidak berujung.
Sejalan dengan pemikiran Berger, Anthony Giddens (2002)
mengatakan bahwa hubungan manusia dengan realitas itu adalah
produks-produk dan reproduksi. Pada mula pertama, manusia
menginternalisasi nilai-nilai agama mengenai pentingnya pakaian
yang menutup aurat. Tahap awal pemahaman ini, pakaian Islami
adalah mirip dengan pakaian Arab (internalisasi pertama). Setelah
memahami pentingnya memakai pakaian yang Islami, seorang
muslim tersebut membuat pakaian dan mengenakan pakaian
muslim atau gamis gaya Timur Tengah (eksternalisasi). Ketika
realitas sosial di Indonesia, menunjukkan adanya perbedaan mode
dan style tentang pakaian muslim, kemudian dia mengembangkan
makna pakaian aurat itu menjadi lebih berkembang lagi, bukan
hanya gaya Timur Tengah. Kesadaran yang terakhir inilah yang
disebut dengan faktisitas objektif menjadi faktisitas subjektif
(Berger, 1991:21). Dalam konteks inilah, manusia menjadi produk
masyarakat.

29

Eksternalisasi yaitu suatu pencurahan kedirian manusia secara terus
menerus ke dalam dunia, baik dalam aktiitas fisis maupun mental.
Eksternalisasi adalah suatu keharusan antropologis. Manusia,
menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah
dari pencurahan dirinya terus menerus ke dalam dunia yang
ditempatinya. Kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa
dibayangkan tetap tinggal diam di dalamd irintya, dalam suatu
lingkup
tertutup,
dan
kemudian
bergerak
keluar
untukmengekspresoikan diri dalam dudnia sekelilingnya. Kedirian
manusia itu esensinya melakukan eksternalisasi dan inis udah sejak
permulaann. Fakta antropologis yang mendsar ini sangat mungkin
berakar dalam lembaga biologis manusia (Berger, 1991:5). Dengan
kata lain, melalui proses eksternalisasi ini, manusia senantiasa
berproses untuk terus menerus memperbaiki diri. Whitehide
e ye ut a usia se agai e p oses . Dala ko teks ekste alisasi
ini, maka masyarakat merupakan produk manusia.
Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik
fisi maupun mental), suatu realitas yang berhadapand engan
produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas)
yang eksternal terhadap, dan klain dari, para produsernya itu
sendiri. melalui objektivasi ini, maka masyarakat manusia menjadi
sui generis, unik.
Koentowidjojo (2002:213) mengatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan objektifikasi bukan bersikap objektif. Bersikap objektif, yaitu
memandang sesuatu hal sebagai objektif. Sedangkan objektifikasi
dalam pandangan Koentiwidjojo adalah memandang sesuatu secara
objektif. Ada dua hal yang relevan untuk diangkat dalam konteks
penelitian ini. Pertama, objektifikasi dimaknai sebagai sesuatu hal
yang menuntut bahwa artikulasi sesuatu hal hendaknya

30

diartikulasikan dalam ukuran-ukuran yang objektif. Kedua, adanya
pengakuan penuh terhadap keberadaan sesuatu hal yang ada secara
objektif.
Objektifikasi ini, dalam pandangan Koentowidjojo dapat dikatakan
sebagai sebuah metode (2002:214). Substansinya bisa Pancasila,
Dasa Dharma Pramuka, Trisatya Pramuka dan Ikrar Santri.
Berdasarkan pandangan ini, maka pengakuan penuh, pengakuan
secara sadar terhadap keberlakuannya variasi janji, variasi sumpah
atau variasi teks ikrar organisasi itu merupakan sebuah proses
objektifikasi. Oleh karena itu, berbagai pengetahuan, berbagai hasil
budaya, berbagai metode pembelajaran yang berkembang saat ini,
secara objektif harus diakui sebagai sebuah karya manusia.
Pengakuan terhadap karya-karya nyata manusia itulah, yang disebut
dengan objektifikasi.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat dirumuskan bahwa kajian teori
dalam penelitian ini, akan mencakup pada lima hal yang terkait
dengan rumusan penelitian, pengaruh ikrar terhadap perilaku siswa.
Kelima hal tersebut itu adalah :
a. Tujuan atau target dari sebuah ikrar. Dalam teori
Parsons disebutnya dengan goal attainment.
Sehubungan dengan penelitian ini, maka sekolah perlu
merumuskan nilai dan norma yang diajarkan, dilatihkan
da di i i gka kepada a ak didik. Melalui u usa
Ik a “iswa , sekolah pe lu e uat u usa -rumusan
yang jelas, tegas dan rinci dari ikrar siswa tersebut,
sehingga dapat dijadikan patokan bagi siswa atau
pengelola sekolah.
b. Usaha yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan atau tujuan tersebut. Parson

31

menyebutnya dengan istilah adaptation, sedangkan
Berger menggunakan istilah internalisasi. Pada tahap
ini, penelitian akan memfokuskan pada upaya atau
usaha siswa dalam memahami makna atau isi yang
terkandung dalam ikrar siswa.
c. Tata tertib atau aturan formal yang disusun oleh
sekolah. Istilah lain yaitu integrasi. Tata tertib ini, sudah
barang tentu merupakan sebuah kontrol sekaligus alat
perekat untuk mewujudkan tujuan pembinaan anak
didik. Sebagai bagian dari sistem pendidikan, maka tata
tertib yang berlaku di sekolah pun, seharusnya memuat
aturan-aturan
yang
menjadi
kontrol
bagi
keterlaksanaannya ikrar siswa. Dengan kata lain, ikrar
siswa, perlu dijadikan landasan bagi perumusan tata
tertib siswa.
d. Model-model upaya pembinaan, baik yang dilakukan
oleh guru maupun sekolah dalam
rangka
menumbuhkembangkann sikap anak didik yang sesuai
dengan ikrar.
e. Model perilaku yang ditampilkan anak didik. Berger
menyebutnya dengan istilah eksternalisasi. Dalam
bagian ini, yang paling penting adalah mengobservasi,
mendata, mengelompokkan dan menganalisis tindakantindakan nyata (the real action) yang merupakan bagian
dari proses usaha siswa dalam menjalankan ikrar.
f. Reaksi dan sikap anak terhadap keanekaragaman sikap
atau perilaku orang lain, baik yang merupakan
ekternalisasi nilai maupun penyimpangan nilai.
Penggalian informasi ini, berkaitan erat dengan
mengetahui sikap objektivikasi siswa terhadap
lingkungan nyata.

32

DAFTAR PUSTAKA
A dullah,
U
u
“olehah.
Pe i pi
Ideal .
http://pilihanraya11.s5.com/ News/7-6/Pemimpin%20Ideal.htm.
A dussala , Ah ad Hidayat. “oal Wali “o go di Ja a I i .
Dipublikasi 8 Maret 2004. http://www.sufinews.com/index.php?
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Armstrong, Karen. 2001. Muhammad Sang Nabi. Penerjemah Sirikit
Syah. Surabaya : Risalah Gusti.
Audah, Ali. 1997. Ko ko da si Qu a : Pa dua Kata Dala
Me a i Ayat Qu a . Jakarta - Bogor : Mizan – Litera AntarNusa
Azeem, Sherif A del. Wa ita Dala Isla Di a di gka De ga
Wanita Dalam Tradisi Yahudi Kristen”. Alih Bahasa. W.
Pienandoro
http://
www.geocities.com/hwpienesha/wanita/wanisl9.html
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial : Sketsa, Penilaian,
Perbandingan. Yogyakarta : Kanisius. Penerjemah F. Budi
Hardiman.
Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern : Dari Parsons sampai
Habermas. Jakarta : Rajawali Press. Penerjemah Paul S. Baut dan
T Effendi.
Dasuha, A. Hafidz, dkk.. Ensiklopedia Islam. Jilid 1. Jakarta : Pt.
Ichtiar Baru van Hoeve.1999.

33

Esposito, John L (ed. Kepala). 2001. Ensiklopedia Oxford : Dunia
Islam Modern. Jilid 1 dan 4. Bandung : Mizan. Penerjemah Eva
Y.N., dkk.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial : Dasar-Konsep-Posisi.
Bandung : PPs UNPAD.
Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Society : Teori
Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Penerjemah Adi Loka Sujono.
Yogyakarta : Pedati.
Haekal, Muhammad Husain. 1999. Sejarah Hidup Muhammad.
Penerjemah Ali Audah. Bogor : Litera AntarNusa. Cetakan
keduapuluhtiga.
Hanafi, Hasan. Mi al A idah ila Tau ah. Jilid , te ta g Al-Iman, wa
A al – I a ah . Makta ah al-Madbula.
Hidayat, Rachmat Taufik. 1993. Khazanah Istilah Al-Qu a . Bandung
: Mizan.
Koentowidjojo.
2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang
Realitas. Bandung : Mizan
Koentowidjojo.
Mizan.

1997. Identitas Politik Umat Islam.

Bandung :

Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Al-.1993. Nailul Authar. Jilid
. Te je aha Mu a al Ha idy, I a , U a Fa a i. “u a aya :
Bina Ilmu.
Mubarakfury, Syaikh Shafiyyu