Review Chapter Emosi dan Sentimen (1)
Review Chapter
Emosi dan Sentimen
Jan E. Stets
Delamater, J. (2006). Hand Book of Social Psychology: USA. Springer
Muh. Fitrah Ramadhan Umar, S.Psi
Magister Sains Psikologi Komunitas
Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya
A. Definisi
Menurut Cooley (1990) mendefinisikan sentiment sebagai menyosialisasikan perasaan
individu yang telah ditonjolkan oleh pikiran dan merupakan hubungan dari keadaan
nalurinya sebagai manusia yang sejati. Hal tersebut menunjukkan bahwa imajinasi dan
perantara dalam kehidupan terutama simpatik dengan individu lain jelas sentiment ini
bersifat sosial. Gordon (1981) mengidentifikasi sentiment sebagai kombinasi respons
otonom yang disusun secara sosial, perilaku ekspresif dan membagi makna yang biasa
diorganisir di sekitar individu lain. Kesimpulan dari pemaparan di atas yaitu sentiment
adalah pendapat atau pandangan individu pada perasaan yang berlebihan terhadap sesuatu.
Menurut Gordon sentiment melibatkan kombinasi sensasi tubuh, gerak tubuh, dan makna
budaya yang dipelajari dalam hubungan sosial. Contohnya cinta adalah sentiment yang
ditandai dengan gejala otonom seperti peningkatan aliran adrenalin dan denyut jantung dan
individu mengungkapkan dengan tatapan dan senyuman. Individu mengingat objek atau
peristiwa yang dialami oleh individu dan individu belajar mengekspresikan sesuai
pertistiwa tersebut.
Terdapat empat komponen dari emosi menurut Thoits yaitu:
Isyarat situasional
Perubahan fisiologis
Gerakan ekspresif
Label emosi yang menyebutkan konfigurasi spesifik dari komponen tersebut.
B. Emosi Primer dan Sekunder
Ekman dan Freisen melakukan penelitian tentang emosi. Mereka berdua
memperlihatkan foto ekspresi wajah terhadap individu dalam budaya yang berbeda dan
mereka diminta untuk memeriksa daftar emosi yang mereka lihat. Lima emosi yang terlihat
oleh pengamat adalah kemarahan, ketakutan, kesedihan, jijik dan kebahagiaan. Kelima
emosi di atas merupakan emosi dasar dari manusia.
Dalam sosiologi, Kemper (1987) mengemukakan empat emosi utama yang dimiliki
manusia adalah kemarahan, ketakutan, depresi, kepuasan yang sejalan dengan teori Ekman
yang mengatur emosi dasar. Kemper berpendapat bahwa emosi ini sangat mendasar karena
masing-masing memiliki nilai keberlangsungan hidup evolusioner, emosi muncul pada
tahapan awal perkembangan individu, emosi dikenali secara universal di wajah, emosi
memiliki respon otonom yang unik dan muncul dalam hubungan sosial.
Kemper mengatakan bahwa terdapat dua buah emosi yaitu emosi primer dan kedua
adalah emosi sekunder. Emosi ini dibangun secara sosial. Individu belajar melalui
hubungan dengan emosi utama. Sebagai contoh yaitu ketika individu melalukan kesalahan
dia takut akan hukuman. Seiring berjalannya waktu individu belajar ketika individu
melakukan perbuatan buruk dan individu tersebut akan takut tehadap hukuman, maka rasa
bersalah merupakan label emosi yang diminta. Beberapa contoh emosi sekunder yaitu rasa
bersalah, malu, empati dan simpati. Berdasrkan dari pemaparan di atas yaitu emosi terbagi
atas dua yaitu emosi primer dan emosi sekunder. Emosi primer adalah emosi emosi dasar
yang timbul langsung dari dalam diri individu sedangkan emosi sekunder adalah emosi
yang dibangun sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan sosial.
C. Emosi dan Akal
Secara historis, emosi dan akal merupakan kekuatan yang berlawanan dimana kognisi
atau akal diarahkan ke tindakan rasional sedangkan emosi mengarahkan kepada tindakan
irasional. Emosi adalah merupakan sumber informasi yang penting dalam memproses suatu
informasi. Keterampilan ini disebut kecerdasan emosional. Terdapat empat kompetensi
dalam kecerdasan emosional yaitu:
Memahami dan mengeskpresikan emosi
Mengintegrasikan emosi ke dalam pikiran
Memahami emosi
Mengelolah emosi
Kecerdasan emosi sangat mirip dengan ide dari kompetensi emosional. Keterampilan
yang termaksud ke dalam kompetensi emosional yaitu:
Kesadaran akan keadaan emosional individu dengan individu lain
Kemampuan individu dalam menggunakan emosi dan ekspresi yang terdapat pada
budaya seseorang.
Kapasitas untuk empati dan simpati
Kemampuan untuk mengatasi emosi yang tidak menyenangkan dan keadaan yang
menyedihkan
Kapasitas untuk melakukan efikasi diri terhadap emosi.
D. Teori Emosi dan Sentimen
a) Teori non sosiologi
1. Teori Evolusioner
Perlakuan pertama terhadap emosi pertama kali ditemukan oleh Darwin. Darwin
menerbitkan treatment klasik tentang ekspresi emosi. Darwin menamakan
treatment tersebut dengan nama ungkapan emosi manusia dan hewan. Darwin
tidak membahas emosi secara langsung akan tetapi Darwin membahas tentang
ekspresi emosi. Darwin berpendapat bahwa ekspresi apapun pernah menjadi
bagian dari tindakan yang memiliki tujuan pada pendahulu kita. Sebagai contoh
ekspresi marah yaitu dengan mulut terbuka dan menunjukkan gigi sama seperti
ketika hewan menunjukkan gigi untuk mengancam lawan lalu mengigit lawan
binatang tersebut.
2. Teori Biologi
Jika Darwin lebih berfokus kepada ekspresi emosional, William James (1890)
lebih berfokus kepada pengalaman batin emosi dan perasaan individu. William
James melihat perasaan individu berawal dari persepsi individu terhadap
perubahan keadaan tubuh mereka. Contohnya ketika individu merasakan sesuatu
di lingkungan, maka akan terjadi perubahan virperal secara langsung contohnya
meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik yang mempengaruhi organ dan
bagian tubuh lain. Perubahan fisiologis ini menghubungkan sensasi tubuh dan
emosi individu.
3. Teori Psikoanalisis
Teori psikoanalisis ini terfokus kepada apa yang terjadi dalam individu yang
mempengaruhi emosi tapi penekanannya lebih kepada proses psikologis seperti
represi, proyeksi, dan perpindahan proses fisiologis. Freud (1905) berfokus
kepada kecemasan dan rasa bersalah. Freud melihat emosi berawal pada hasrat
seksual yang tertekan.
4. Teori Kognitif
Pendekatan kognitif menekankan pada peran penilaian dalam menentukan
emosi seseorang. Arnold (1960) berpendapat bahwa emosi adalah hasil dari
proses penilaian, yaitu mengevaluasi suatu objek atau peristiwa dalam hal
apakah peristiwa tersebut membahayakan atau bermanfaat bagi individu
tersebut. Ketika peristiwa tersebut dinilai berpotensi membahayakan diri
individu tersebut maka emosi negatif yang dimunculkan sedangkan ketika
suatu peristiwa dinilai berpotensi bermanfaat dan menguntungkan bagi individu
maka emosi positif yang dimunculkan.
b) Teori Sosiologi
1. Teori Klasik
Teori emosi dan sentiment dapat dilihat pada karya-karya dari Marx, Webber,
Durkheim, dan Cooley. Marx melihat emosi berawal pada struktur ekonomi
masyarakat, Weber dan Durkheim berfokus kepada emosi dalam budaya
masyarakat terutama pada agama, dan Cooley melihat sentiment muncul dari
interaksi tatap muka antara individu.
2. Teori Pertengahan Abad Ke-20
Pada tahun 1900an mulai bermunculan peneliti yang berfokus kepada emosi.
Bales (1950) membawa emosi kedalam kelompok dalam memecahkan masalah
dengan mengidentifikasi perilaku sosioemosional dalam kelompok, yaitu
tindakan yang dirancang untuk mengelolah masalah interpersonal yang muncul.
Homasn (1961) tertarik pada masalah keadilan distibutif: penghargaan dan nilai
antar individu. Ketika individu menerima reward yang kurang dari apa yang
mereka harapkan maka mereka akan menampilkan emosi kemarahan. Ketika
mereka menerima reward yang lebih maka mereka akan memperlihatkan rasa
bersalah.
3. Pandangan Kontemporer
1) Pendekatan struktur sosial
Kemper (1991) mengemukakan sentiment berawal pada dimensi kekuasaan
dan status. Kekuasaan memerlukan apa yang diinginkan oleh individu
meskipun mendapatkan penolakan dari individu lain. Status adalah
pengunduran diri individu secara sukarela kepada individu lain karena
individu tersebut dinilai tidak berharga. Kempers melihat setiap pertukaran
terjadi di sepanjang dimensi kekuasaan dan status. Dalam interaksi
kemungkinan besar terdapat perubahan pada kekuasaan dan status. Emosi
sering muncul ketika terjadi perubahan pada kekuasaan dan status. Sebagai
contoh kegunaan power memicu kebahagiaan sedangkan kehilangan power
menimbulkan rasa takut. Hegtvedt (1990) meneliti tentang struktur statsus
pada suatu hubungan dan bagaimana hal ini mempengaruhi reaksi emosional
terhadap ketidaksetaraan dalam situasi pertukaran yang impersional.
Contohnya ketika individu mendapatkan posisi yang menguntungkan dari
sebuah kekuasaan maka emosi positif yang dimunculkan.
2) Persektif Budaya
Peneliti perspektif budaya melihat normal sosial yang mempengaruhi
sentiment individu. Analisis histori tentang perubahan emosi, mengingat
perubahan konteks lingkungan dan memberikan pemahaman tentang peran
budaya. Sebagai contoh perdebatan antara industri dan pemisahan pekerjaan
di rumah dan kantor yang menimbulkan emosi negatif seperti kemarahan.
3) Kerangka Interaksionis Simbilik
Sementara budaya menyediakan kosakata dan norma untuk emosi dan
sentimen, peran adalah pembawa emosi ini. Bagaimana emosi muncul di
dalam peran (mengingat apa yang penting bagi mereka, apa yang menonjol
bagi mereka, apa yang mereka lakukan sesuai standar) adalah penting bagi
peneliti dalam kerangka interaksi simbolis. Sebagai contoh, pada awal
pengembangan teori identitas, varian struktural dari kerangka interaksionis
simbolis, para peneliti berpendapat bahwa jika identitas seseorang telah
terancam oleh orang lain yang tidak mendukung identitas itu, maka individu
akan mengalami emosi negatif.
Hal yang mempengaruhi pengalaman dan ungkapan emosional individu yaitu sosialisasi.
Terdapat dua pendekatan untuk mempelajari sosialisasi emosional yaitu:
Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan kognitif berfokus pada proses mental internal yang berkembang seiring
usia anak-anak dan yang menengahi antara diri dan pengalaman emosional. Sebagai
contoh Lewis (2000) memberikan model munculnya emosi yang berbeda selama 3
tahun pertama kehidupan. Dia mengasumsikan bahwa saat lahir, anak-anak
menunjukkan pembagian kesenangan, minat, dan tekanan tripartit. Dengan 6 bulan
pertama kehidupan, anak-anak menunjukkan tanda-tanda semua emosi dasar:
kebahagiaan, kesedihan, jijik, amarah, ketakutan, dan kejutan. Selama paruh kedua
tahun kedua kehidupan, kemunculan kesadaran memunculkan emosi kelas kedua,
emosi yang sadar diri seperti rasa malu, iri hati, dan empati. Pada usia 3 tahun,
anak-anak memiliki rasa diri dan mampu mengevaluasi perilaku mereka terhadap
standar. Evaluasi ini memunculkan emosi evaluatif yang sadar diri seperti
kebanggaan, rasa malu, dan rasa bersalah. Jadi, pada usia 3, kehidupan emosional
seorang anak telah menjadi sangat terbedakan dengan baik. Hoffman (2000) lebih
berfokus
kepada
pengembangan
empati
anak.
Hoffman
menghubungkan
perkembangan empati dengan perkembangan anak tentang rasa diri, orang lain, dan
hubungan antara diri sendiri dan orang lain.
Perspektif interaksi
Perspektif interaksi berfokus kepada bagaimana emosi dan sentiment berkembang
dari interaksi. Gordon (1989) mengemukakan pemahaman tentang emosi dalam
pengalaman subjektif, perilaku ekspresif, penilaian situasional, dan sebagainya
dipelajari dalam transaksi interpersonal selama sosialisasi. Anak-anak diajarkan
makna budaya dari emosi, dan bertindak terhadap memperbesar, menekan, dan
menstimulasi dirinya sendiri dan membangkitkan atau menghindari pada individu
lain.
E. Emosi Sosial: Referensi tentang Diri, Interaksi dan Masyarakat
Perkembangan litelatur emosi saat ini adalah kesadaran diri. Emosi yang telah diteliti
adalah rasa bersalah, malu, keadaan memalukan, empati dan simpati. Kelima emosi
tersebut sebagian besar diturunkan secara negatif, yang menunjukkan bahwa manusia lebih
melihat isyarat negatif dibandingkan isyarat positif di lingkungan mereka. Emosi kesadaran
diri termaksud ke dalam emosi sosial dikarenakan:
1. Individu mengacu bahwa diri adalah perasaan diri ( melihat diri sebagai objek tindakan
sendiri) adalah prasyaratan yang diperlukan. Lewis (2000) menjelaskan peran diri
dalam emosi kesadaran diri dengan mengidentifikasi emosi sebagai evaluatif, yaitu
ketika individu mengevaluasi pikiran, perasaan, atau tindakan mereka melawan standar
atau tujuan yang membimbing mereka. Dalam proses evaluasi, individu bertanggung
jawab atas hasil yang dievaluasi (atribusi internal), atau tidak bertanggung jawab
(sebuah atribusi eksternal). Sifat referensi diri dari emosi kesadaran diri juga terungkap
dalam kenyataan bahwa mereka membantu dalam pengembangan diri sejauh orang
belajar tentang diri mereka melalui emosi ini, termasuk mempertahankan atau
memodifikasi tindakan di masa depan.
2. Emosi merupakan dasar dari interaksi sosial. Emosi muncul dari interaksi dengan
individu lain. Hal ini terbukti selama sosialisasi yang terpenting adalah interaksi dengan
individu lain.
3. Emosi sosial menjadi referensi masyarakat dikarenakan individu sering berangkat dari
pertimbangan masyarakat yang berhadapan dengan tindakannya sendiri.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang emosi rasa bersalah, malu, keadaan memalukan,
empati dan simpati:
1. Rasa Bersalah
Rasa bersalah melibatkan rasa ketegangan, penyesalan, dan rasa sesal karena telah
melakukan hal buruk (Tangney,1995). Rasa bersalah merupakan emosi moral karena
perasaan itu memotivasi orang tersebut untuk melakukan tindakan korektif. Hoffman
(1998) menunjukkan bahwa metode disiplin orang tua yang paling efektif untuk
menghasilkan rasa bersalah pada anak dengan cara induksi. Induksi melibatkan
ketidaksetujuan orang tua terhadap tindakan berbahaya anak, dan kemudian meminta
perhatian pada kesusahan korban dan tanggung jawab anak untuk menyebabkan
kesusahan tersebut. Membuat korban penting harus membangkitkan perasaan empatik
pada anak. Setelah seorang anak melihat bahwa dia telah menyebabkan penderitaan
korban, menyalahkan diri sendiri harus mengubah perasaan empati menjadi rasa
bersalah. Ketidaksetujuan orang tua memperkuat rasa bersalah ini. Pelanggaran diikuti
oleh induksi, tekanan empatik, dan rasa bersalah, anak membentuk Transisi-InduksiRasa Bersalah.
2. Perasaan Malu
Rasa malu adalah perasaan yang jauh lebih intens daripada rasa bersalah terutama
karena seluruh diri terlibat evaluasi beberapa kesalahan. Ada perasaan rasa malu,
merasa kecil, tidak berharga, dan tak berdaya (Tangney, 1995). Fokus pada perasan
malu ini adalah pada diri sendiri yang buruk. Hasil revaluasi pola ini pada orang yang
ingin menyembunyikan, menghilang, atau melarikan diri dari situasi. Terkadang, orang
yang malu merasa marah dan menyalahkan orang lain karena pengalaman memalukan
rasa malu mereka sendiri.
3. Keadaan Memalukan
Keadaan memalukan dipandang sebagai bentuk rasa malu yang ringan (Miller,1996).
Miller dan Tangney (1994) meminta subjek untuk mengingat tiga situasi yang
menyebabkan rasa malu, dan tiga situasi berbeda lainnya, di mana perasaan terkuat
mereka disayangkan, mereka mendapati bahwa situasi memalukan digambarkan lebih
cenderung muncul dalam keadaan sulit yang ringan dan lucu, sedangkan episode
memalukan dipandang sebagai peristiwa yang lebih serius, tawa jarang terjadi, dan
orang sering merasa marah pada diri mereka sendiri. Dengan malu, evaluasi sosial
menjadi penting. Ada kekhawatiran tentang apa yang dipikirkan orang lain karena
paparan publik mereka tampak tidak kompeten (canggung atau pelupa). Dalam insiden
yang memalukan, evaluasi diri lebih penting. Rasa malu bisa melibatkan tersipu malu,
tapi lebih andal dicirikan dengan melihat jauh dari yang lain, kontrol senyum,
penurunan kepala, dan sentuhan wajah (mungkin untuk menyembunyikan senyuman
atau menyembunyikan mata untuk menghindari kontak mata) (Miller, 1 996)
4. Empati
Sementara beberapa psikolog sosial mengkonseptualisasikan empati sebagai proses
kognitif (Clark, 1 997; Ickes, 1 997) dalam satu "membaca" yang lain, yang lain melihat
empati sebagai proses afektif dalam perasaan yang dirasakan seperti yang dirasakan
orang lain (Hoffman, 2000). Empati memiliki komponen kognitif dan afektif Clark (1
997) yang membuat perbedaan antara empati kognitif (mengenali yang lain sedang
dalam kesulitan), empati fisik (melihat ekspresi emosional orang lain dan yang
mendorong ungkapan serupa pada diri sendiri), dan empati emosional (merasakan
emosi yang mengacu pada keadaan orang lain). Clark mempertahankan empati itu
biasanya dimulai secara kognitif dan mungkin tidak pernah menjadi emosional atau
fisik. Empati jelas menguntungkan masyarakat. Ini mempromosikan perilaku membantu
dan cenderung menghambat perilaku agresif.
5. Simpati
Clark (1997) melihat empati sebagai prasyarat yang diperlukan untuk simpati.
Baginya, sentimen simpati adalah "emosi bertarget lain yang sesuai secara khusus
dengan yang lain yang terluka atau sedih atau kesedihan. Clark berpendapat bahwa
ketika seseorang berempati adalah emosional atau fisik daripada kognitif, simpati lebih
cenderung muncul. Clark berpendapat bahwa ketika empati seseorang emosional atau
fisik daripada kognitif, simpati lebih mungkin muncul.
F. EMOSI DAN SENTIMEN DALAM MENGEMBANGKAN TEORI
DAN PENELITIAN
Perhatian lebih diberikan pada peran emosi dan sentimen dalam teori dan penelitian
psikologis sosial. Berikut secara singkat membahas perkembangan ini karena mereka
memberi wawasan lebih jauh tentang peran emosi dan sentimen bagi diri dan interaksi:
1. Teori Identitas
Dalam model identitas, perbedaan antara makna situasi diri yang dirasakan dan
makna standar identitas mencerminkan masalah dalam memverifikasi gairah emosional
diri dan emosional seperti hasil tertekan (Burke, 1991). Selanjutnya, gangguan berulang
dalam proses identifikasi diri menyebabkan lebih banyak emosi negatif daripada
gangguan sesekali atau jarang terjadi. Dua asumsi di atas dengan mempelajari proses
keadilan distributif dan tanggapan emosional individu terhadap ketidakadilan di
lingkungan yang mensimulasikan situasi kerja. Jika seseorang menerjemahkan gagasan
tentang ketidaksesuaian menjadi terlalu dibesar-besarkan atau kurang mendapat
penghargaan dalam situasi keadilan, emosi negatif harus terjadi, dan lebih banyak lagi
Emosi negatif yang intens harus terjadi karena proses pendistribusian yang tidak merata
terus berlanjut. Kekuatan respons emosional terhadap diskonfirmasi identitas telah ada
juga telah diperiksa dalam karya terbaru lainnya. Dengan menggunakan sampel
probabilitas nasional, Tsushima dan saya menemukan bahwa kemarahan yang lebih
kuat dikaitkan dengan kurangnya verifikasi identitas berbasis kelompok yang intim
seperti identitas keluarga yang memenuhi kebutuhan kita untuk merasa berharga, layak,
dan diterima (Stets & Tsushima, 2001)
2. Teori Pertukaran
Perkembangan teori identitas belakangan ini berpendapat bahwa verifikasi identitas
mengarah pada emosi positif, perkembangan terakhir dalam teori pertukaran
berpendapat bahwa persetujuan pertukaran berulang menghasilkan sentimen positif
antara individu. Lawer dan Yoon berpendapat bahwa individu lebih cenderung
berinteraksi dengan orang-orang di mana ketergantungan relatif sama. Namun, apa yang
menentukan kekompakan unit tidak begitu banyak dampak langsung dari saling
ketergantungan sama seperti frekuensi kesepakatan pertukaran dan emosi positif yang
terjadi. Perjanjian pertukaran berulang dan sukses menghasilkan "buzz" emosional
antara individu dalam bentuk kepuasan atau kegembiraan. Emosi positif ini mengarah
pada kohesi relasional atau persepsi bahwa seseorang adalah bagian dari kelompok.
Sebagai gantinya, sebagai bagian dari kelompok, individu akan lebih bersedia
mengambil risiko atau berkorban atas nama kelompok tersebut. Pada akhirnya, ini
menyebabkan aktor menjadi berkomitmen terhadap hubungan pertukaran yang terdiri
dari kelompok tersebut.
3. Teori Harapan
Seperti teori pertukaran, ekspektasi menyatakan para teoretikus telah memeriksa posisi
individu dalam suatu kelompok dan sentimen yang terjadi. Ridgeway dan Johnson
(1990) berpendapat bahwa karena orang dengan status tinggi dalam kelompok menerima
umpan balik positif yang sering, mereka akan cenderung mengekspresikan emosi positif.
Namun, jika orang dengan status rendah merespons secara negatif terhadap orang
dengan status tinggi, orang dengan status tinggi akan mengarahkan emosi negatif kepada
mereka untuk "menjaga mereka tetap pada tempatnya.
Daftar Pustaka
Delamater, J. (2006). Hand Book of Social Psychology: USA. Springer
Emosi dan Sentimen
Jan E. Stets
Delamater, J. (2006). Hand Book of Social Psychology: USA. Springer
Muh. Fitrah Ramadhan Umar, S.Psi
Magister Sains Psikologi Komunitas
Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya
A. Definisi
Menurut Cooley (1990) mendefinisikan sentiment sebagai menyosialisasikan perasaan
individu yang telah ditonjolkan oleh pikiran dan merupakan hubungan dari keadaan
nalurinya sebagai manusia yang sejati. Hal tersebut menunjukkan bahwa imajinasi dan
perantara dalam kehidupan terutama simpatik dengan individu lain jelas sentiment ini
bersifat sosial. Gordon (1981) mengidentifikasi sentiment sebagai kombinasi respons
otonom yang disusun secara sosial, perilaku ekspresif dan membagi makna yang biasa
diorganisir di sekitar individu lain. Kesimpulan dari pemaparan di atas yaitu sentiment
adalah pendapat atau pandangan individu pada perasaan yang berlebihan terhadap sesuatu.
Menurut Gordon sentiment melibatkan kombinasi sensasi tubuh, gerak tubuh, dan makna
budaya yang dipelajari dalam hubungan sosial. Contohnya cinta adalah sentiment yang
ditandai dengan gejala otonom seperti peningkatan aliran adrenalin dan denyut jantung dan
individu mengungkapkan dengan tatapan dan senyuman. Individu mengingat objek atau
peristiwa yang dialami oleh individu dan individu belajar mengekspresikan sesuai
pertistiwa tersebut.
Terdapat empat komponen dari emosi menurut Thoits yaitu:
Isyarat situasional
Perubahan fisiologis
Gerakan ekspresif
Label emosi yang menyebutkan konfigurasi spesifik dari komponen tersebut.
B. Emosi Primer dan Sekunder
Ekman dan Freisen melakukan penelitian tentang emosi. Mereka berdua
memperlihatkan foto ekspresi wajah terhadap individu dalam budaya yang berbeda dan
mereka diminta untuk memeriksa daftar emosi yang mereka lihat. Lima emosi yang terlihat
oleh pengamat adalah kemarahan, ketakutan, kesedihan, jijik dan kebahagiaan. Kelima
emosi di atas merupakan emosi dasar dari manusia.
Dalam sosiologi, Kemper (1987) mengemukakan empat emosi utama yang dimiliki
manusia adalah kemarahan, ketakutan, depresi, kepuasan yang sejalan dengan teori Ekman
yang mengatur emosi dasar. Kemper berpendapat bahwa emosi ini sangat mendasar karena
masing-masing memiliki nilai keberlangsungan hidup evolusioner, emosi muncul pada
tahapan awal perkembangan individu, emosi dikenali secara universal di wajah, emosi
memiliki respon otonom yang unik dan muncul dalam hubungan sosial.
Kemper mengatakan bahwa terdapat dua buah emosi yaitu emosi primer dan kedua
adalah emosi sekunder. Emosi ini dibangun secara sosial. Individu belajar melalui
hubungan dengan emosi utama. Sebagai contoh yaitu ketika individu melalukan kesalahan
dia takut akan hukuman. Seiring berjalannya waktu individu belajar ketika individu
melakukan perbuatan buruk dan individu tersebut akan takut tehadap hukuman, maka rasa
bersalah merupakan label emosi yang diminta. Beberapa contoh emosi sekunder yaitu rasa
bersalah, malu, empati dan simpati. Berdasrkan dari pemaparan di atas yaitu emosi terbagi
atas dua yaitu emosi primer dan emosi sekunder. Emosi primer adalah emosi emosi dasar
yang timbul langsung dari dalam diri individu sedangkan emosi sekunder adalah emosi
yang dibangun sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan sosial.
C. Emosi dan Akal
Secara historis, emosi dan akal merupakan kekuatan yang berlawanan dimana kognisi
atau akal diarahkan ke tindakan rasional sedangkan emosi mengarahkan kepada tindakan
irasional. Emosi adalah merupakan sumber informasi yang penting dalam memproses suatu
informasi. Keterampilan ini disebut kecerdasan emosional. Terdapat empat kompetensi
dalam kecerdasan emosional yaitu:
Memahami dan mengeskpresikan emosi
Mengintegrasikan emosi ke dalam pikiran
Memahami emosi
Mengelolah emosi
Kecerdasan emosi sangat mirip dengan ide dari kompetensi emosional. Keterampilan
yang termaksud ke dalam kompetensi emosional yaitu:
Kesadaran akan keadaan emosional individu dengan individu lain
Kemampuan individu dalam menggunakan emosi dan ekspresi yang terdapat pada
budaya seseorang.
Kapasitas untuk empati dan simpati
Kemampuan untuk mengatasi emosi yang tidak menyenangkan dan keadaan yang
menyedihkan
Kapasitas untuk melakukan efikasi diri terhadap emosi.
D. Teori Emosi dan Sentimen
a) Teori non sosiologi
1. Teori Evolusioner
Perlakuan pertama terhadap emosi pertama kali ditemukan oleh Darwin. Darwin
menerbitkan treatment klasik tentang ekspresi emosi. Darwin menamakan
treatment tersebut dengan nama ungkapan emosi manusia dan hewan. Darwin
tidak membahas emosi secara langsung akan tetapi Darwin membahas tentang
ekspresi emosi. Darwin berpendapat bahwa ekspresi apapun pernah menjadi
bagian dari tindakan yang memiliki tujuan pada pendahulu kita. Sebagai contoh
ekspresi marah yaitu dengan mulut terbuka dan menunjukkan gigi sama seperti
ketika hewan menunjukkan gigi untuk mengancam lawan lalu mengigit lawan
binatang tersebut.
2. Teori Biologi
Jika Darwin lebih berfokus kepada ekspresi emosional, William James (1890)
lebih berfokus kepada pengalaman batin emosi dan perasaan individu. William
James melihat perasaan individu berawal dari persepsi individu terhadap
perubahan keadaan tubuh mereka. Contohnya ketika individu merasakan sesuatu
di lingkungan, maka akan terjadi perubahan virperal secara langsung contohnya
meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik yang mempengaruhi organ dan
bagian tubuh lain. Perubahan fisiologis ini menghubungkan sensasi tubuh dan
emosi individu.
3. Teori Psikoanalisis
Teori psikoanalisis ini terfokus kepada apa yang terjadi dalam individu yang
mempengaruhi emosi tapi penekanannya lebih kepada proses psikologis seperti
represi, proyeksi, dan perpindahan proses fisiologis. Freud (1905) berfokus
kepada kecemasan dan rasa bersalah. Freud melihat emosi berawal pada hasrat
seksual yang tertekan.
4. Teori Kognitif
Pendekatan kognitif menekankan pada peran penilaian dalam menentukan
emosi seseorang. Arnold (1960) berpendapat bahwa emosi adalah hasil dari
proses penilaian, yaitu mengevaluasi suatu objek atau peristiwa dalam hal
apakah peristiwa tersebut membahayakan atau bermanfaat bagi individu
tersebut. Ketika peristiwa tersebut dinilai berpotensi membahayakan diri
individu tersebut maka emosi negatif yang dimunculkan sedangkan ketika
suatu peristiwa dinilai berpotensi bermanfaat dan menguntungkan bagi individu
maka emosi positif yang dimunculkan.
b) Teori Sosiologi
1. Teori Klasik
Teori emosi dan sentiment dapat dilihat pada karya-karya dari Marx, Webber,
Durkheim, dan Cooley. Marx melihat emosi berawal pada struktur ekonomi
masyarakat, Weber dan Durkheim berfokus kepada emosi dalam budaya
masyarakat terutama pada agama, dan Cooley melihat sentiment muncul dari
interaksi tatap muka antara individu.
2. Teori Pertengahan Abad Ke-20
Pada tahun 1900an mulai bermunculan peneliti yang berfokus kepada emosi.
Bales (1950) membawa emosi kedalam kelompok dalam memecahkan masalah
dengan mengidentifikasi perilaku sosioemosional dalam kelompok, yaitu
tindakan yang dirancang untuk mengelolah masalah interpersonal yang muncul.
Homasn (1961) tertarik pada masalah keadilan distibutif: penghargaan dan nilai
antar individu. Ketika individu menerima reward yang kurang dari apa yang
mereka harapkan maka mereka akan menampilkan emosi kemarahan. Ketika
mereka menerima reward yang lebih maka mereka akan memperlihatkan rasa
bersalah.
3. Pandangan Kontemporer
1) Pendekatan struktur sosial
Kemper (1991) mengemukakan sentiment berawal pada dimensi kekuasaan
dan status. Kekuasaan memerlukan apa yang diinginkan oleh individu
meskipun mendapatkan penolakan dari individu lain. Status adalah
pengunduran diri individu secara sukarela kepada individu lain karena
individu tersebut dinilai tidak berharga. Kempers melihat setiap pertukaran
terjadi di sepanjang dimensi kekuasaan dan status. Dalam interaksi
kemungkinan besar terdapat perubahan pada kekuasaan dan status. Emosi
sering muncul ketika terjadi perubahan pada kekuasaan dan status. Sebagai
contoh kegunaan power memicu kebahagiaan sedangkan kehilangan power
menimbulkan rasa takut. Hegtvedt (1990) meneliti tentang struktur statsus
pada suatu hubungan dan bagaimana hal ini mempengaruhi reaksi emosional
terhadap ketidaksetaraan dalam situasi pertukaran yang impersional.
Contohnya ketika individu mendapatkan posisi yang menguntungkan dari
sebuah kekuasaan maka emosi positif yang dimunculkan.
2) Persektif Budaya
Peneliti perspektif budaya melihat normal sosial yang mempengaruhi
sentiment individu. Analisis histori tentang perubahan emosi, mengingat
perubahan konteks lingkungan dan memberikan pemahaman tentang peran
budaya. Sebagai contoh perdebatan antara industri dan pemisahan pekerjaan
di rumah dan kantor yang menimbulkan emosi negatif seperti kemarahan.
3) Kerangka Interaksionis Simbilik
Sementara budaya menyediakan kosakata dan norma untuk emosi dan
sentimen, peran adalah pembawa emosi ini. Bagaimana emosi muncul di
dalam peran (mengingat apa yang penting bagi mereka, apa yang menonjol
bagi mereka, apa yang mereka lakukan sesuai standar) adalah penting bagi
peneliti dalam kerangka interaksi simbolis. Sebagai contoh, pada awal
pengembangan teori identitas, varian struktural dari kerangka interaksionis
simbolis, para peneliti berpendapat bahwa jika identitas seseorang telah
terancam oleh orang lain yang tidak mendukung identitas itu, maka individu
akan mengalami emosi negatif.
Hal yang mempengaruhi pengalaman dan ungkapan emosional individu yaitu sosialisasi.
Terdapat dua pendekatan untuk mempelajari sosialisasi emosional yaitu:
Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan kognitif berfokus pada proses mental internal yang berkembang seiring
usia anak-anak dan yang menengahi antara diri dan pengalaman emosional. Sebagai
contoh Lewis (2000) memberikan model munculnya emosi yang berbeda selama 3
tahun pertama kehidupan. Dia mengasumsikan bahwa saat lahir, anak-anak
menunjukkan pembagian kesenangan, minat, dan tekanan tripartit. Dengan 6 bulan
pertama kehidupan, anak-anak menunjukkan tanda-tanda semua emosi dasar:
kebahagiaan, kesedihan, jijik, amarah, ketakutan, dan kejutan. Selama paruh kedua
tahun kedua kehidupan, kemunculan kesadaran memunculkan emosi kelas kedua,
emosi yang sadar diri seperti rasa malu, iri hati, dan empati. Pada usia 3 tahun,
anak-anak memiliki rasa diri dan mampu mengevaluasi perilaku mereka terhadap
standar. Evaluasi ini memunculkan emosi evaluatif yang sadar diri seperti
kebanggaan, rasa malu, dan rasa bersalah. Jadi, pada usia 3, kehidupan emosional
seorang anak telah menjadi sangat terbedakan dengan baik. Hoffman (2000) lebih
berfokus
kepada
pengembangan
empati
anak.
Hoffman
menghubungkan
perkembangan empati dengan perkembangan anak tentang rasa diri, orang lain, dan
hubungan antara diri sendiri dan orang lain.
Perspektif interaksi
Perspektif interaksi berfokus kepada bagaimana emosi dan sentiment berkembang
dari interaksi. Gordon (1989) mengemukakan pemahaman tentang emosi dalam
pengalaman subjektif, perilaku ekspresif, penilaian situasional, dan sebagainya
dipelajari dalam transaksi interpersonal selama sosialisasi. Anak-anak diajarkan
makna budaya dari emosi, dan bertindak terhadap memperbesar, menekan, dan
menstimulasi dirinya sendiri dan membangkitkan atau menghindari pada individu
lain.
E. Emosi Sosial: Referensi tentang Diri, Interaksi dan Masyarakat
Perkembangan litelatur emosi saat ini adalah kesadaran diri. Emosi yang telah diteliti
adalah rasa bersalah, malu, keadaan memalukan, empati dan simpati. Kelima emosi
tersebut sebagian besar diturunkan secara negatif, yang menunjukkan bahwa manusia lebih
melihat isyarat negatif dibandingkan isyarat positif di lingkungan mereka. Emosi kesadaran
diri termaksud ke dalam emosi sosial dikarenakan:
1. Individu mengacu bahwa diri adalah perasaan diri ( melihat diri sebagai objek tindakan
sendiri) adalah prasyaratan yang diperlukan. Lewis (2000) menjelaskan peran diri
dalam emosi kesadaran diri dengan mengidentifikasi emosi sebagai evaluatif, yaitu
ketika individu mengevaluasi pikiran, perasaan, atau tindakan mereka melawan standar
atau tujuan yang membimbing mereka. Dalam proses evaluasi, individu bertanggung
jawab atas hasil yang dievaluasi (atribusi internal), atau tidak bertanggung jawab
(sebuah atribusi eksternal). Sifat referensi diri dari emosi kesadaran diri juga terungkap
dalam kenyataan bahwa mereka membantu dalam pengembangan diri sejauh orang
belajar tentang diri mereka melalui emosi ini, termasuk mempertahankan atau
memodifikasi tindakan di masa depan.
2. Emosi merupakan dasar dari interaksi sosial. Emosi muncul dari interaksi dengan
individu lain. Hal ini terbukti selama sosialisasi yang terpenting adalah interaksi dengan
individu lain.
3. Emosi sosial menjadi referensi masyarakat dikarenakan individu sering berangkat dari
pertimbangan masyarakat yang berhadapan dengan tindakannya sendiri.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang emosi rasa bersalah, malu, keadaan memalukan,
empati dan simpati:
1. Rasa Bersalah
Rasa bersalah melibatkan rasa ketegangan, penyesalan, dan rasa sesal karena telah
melakukan hal buruk (Tangney,1995). Rasa bersalah merupakan emosi moral karena
perasaan itu memotivasi orang tersebut untuk melakukan tindakan korektif. Hoffman
(1998) menunjukkan bahwa metode disiplin orang tua yang paling efektif untuk
menghasilkan rasa bersalah pada anak dengan cara induksi. Induksi melibatkan
ketidaksetujuan orang tua terhadap tindakan berbahaya anak, dan kemudian meminta
perhatian pada kesusahan korban dan tanggung jawab anak untuk menyebabkan
kesusahan tersebut. Membuat korban penting harus membangkitkan perasaan empatik
pada anak. Setelah seorang anak melihat bahwa dia telah menyebabkan penderitaan
korban, menyalahkan diri sendiri harus mengubah perasaan empati menjadi rasa
bersalah. Ketidaksetujuan orang tua memperkuat rasa bersalah ini. Pelanggaran diikuti
oleh induksi, tekanan empatik, dan rasa bersalah, anak membentuk Transisi-InduksiRasa Bersalah.
2. Perasaan Malu
Rasa malu adalah perasaan yang jauh lebih intens daripada rasa bersalah terutama
karena seluruh diri terlibat evaluasi beberapa kesalahan. Ada perasaan rasa malu,
merasa kecil, tidak berharga, dan tak berdaya (Tangney, 1995). Fokus pada perasan
malu ini adalah pada diri sendiri yang buruk. Hasil revaluasi pola ini pada orang yang
ingin menyembunyikan, menghilang, atau melarikan diri dari situasi. Terkadang, orang
yang malu merasa marah dan menyalahkan orang lain karena pengalaman memalukan
rasa malu mereka sendiri.
3. Keadaan Memalukan
Keadaan memalukan dipandang sebagai bentuk rasa malu yang ringan (Miller,1996).
Miller dan Tangney (1994) meminta subjek untuk mengingat tiga situasi yang
menyebabkan rasa malu, dan tiga situasi berbeda lainnya, di mana perasaan terkuat
mereka disayangkan, mereka mendapati bahwa situasi memalukan digambarkan lebih
cenderung muncul dalam keadaan sulit yang ringan dan lucu, sedangkan episode
memalukan dipandang sebagai peristiwa yang lebih serius, tawa jarang terjadi, dan
orang sering merasa marah pada diri mereka sendiri. Dengan malu, evaluasi sosial
menjadi penting. Ada kekhawatiran tentang apa yang dipikirkan orang lain karena
paparan publik mereka tampak tidak kompeten (canggung atau pelupa). Dalam insiden
yang memalukan, evaluasi diri lebih penting. Rasa malu bisa melibatkan tersipu malu,
tapi lebih andal dicirikan dengan melihat jauh dari yang lain, kontrol senyum,
penurunan kepala, dan sentuhan wajah (mungkin untuk menyembunyikan senyuman
atau menyembunyikan mata untuk menghindari kontak mata) (Miller, 1 996)
4. Empati
Sementara beberapa psikolog sosial mengkonseptualisasikan empati sebagai proses
kognitif (Clark, 1 997; Ickes, 1 997) dalam satu "membaca" yang lain, yang lain melihat
empati sebagai proses afektif dalam perasaan yang dirasakan seperti yang dirasakan
orang lain (Hoffman, 2000). Empati memiliki komponen kognitif dan afektif Clark (1
997) yang membuat perbedaan antara empati kognitif (mengenali yang lain sedang
dalam kesulitan), empati fisik (melihat ekspresi emosional orang lain dan yang
mendorong ungkapan serupa pada diri sendiri), dan empati emosional (merasakan
emosi yang mengacu pada keadaan orang lain). Clark mempertahankan empati itu
biasanya dimulai secara kognitif dan mungkin tidak pernah menjadi emosional atau
fisik. Empati jelas menguntungkan masyarakat. Ini mempromosikan perilaku membantu
dan cenderung menghambat perilaku agresif.
5. Simpati
Clark (1997) melihat empati sebagai prasyarat yang diperlukan untuk simpati.
Baginya, sentimen simpati adalah "emosi bertarget lain yang sesuai secara khusus
dengan yang lain yang terluka atau sedih atau kesedihan. Clark berpendapat bahwa
ketika seseorang berempati adalah emosional atau fisik daripada kognitif, simpati lebih
cenderung muncul. Clark berpendapat bahwa ketika empati seseorang emosional atau
fisik daripada kognitif, simpati lebih mungkin muncul.
F. EMOSI DAN SENTIMEN DALAM MENGEMBANGKAN TEORI
DAN PENELITIAN
Perhatian lebih diberikan pada peran emosi dan sentimen dalam teori dan penelitian
psikologis sosial. Berikut secara singkat membahas perkembangan ini karena mereka
memberi wawasan lebih jauh tentang peran emosi dan sentimen bagi diri dan interaksi:
1. Teori Identitas
Dalam model identitas, perbedaan antara makna situasi diri yang dirasakan dan
makna standar identitas mencerminkan masalah dalam memverifikasi gairah emosional
diri dan emosional seperti hasil tertekan (Burke, 1991). Selanjutnya, gangguan berulang
dalam proses identifikasi diri menyebabkan lebih banyak emosi negatif daripada
gangguan sesekali atau jarang terjadi. Dua asumsi di atas dengan mempelajari proses
keadilan distributif dan tanggapan emosional individu terhadap ketidakadilan di
lingkungan yang mensimulasikan situasi kerja. Jika seseorang menerjemahkan gagasan
tentang ketidaksesuaian menjadi terlalu dibesar-besarkan atau kurang mendapat
penghargaan dalam situasi keadilan, emosi negatif harus terjadi, dan lebih banyak lagi
Emosi negatif yang intens harus terjadi karena proses pendistribusian yang tidak merata
terus berlanjut. Kekuatan respons emosional terhadap diskonfirmasi identitas telah ada
juga telah diperiksa dalam karya terbaru lainnya. Dengan menggunakan sampel
probabilitas nasional, Tsushima dan saya menemukan bahwa kemarahan yang lebih
kuat dikaitkan dengan kurangnya verifikasi identitas berbasis kelompok yang intim
seperti identitas keluarga yang memenuhi kebutuhan kita untuk merasa berharga, layak,
dan diterima (Stets & Tsushima, 2001)
2. Teori Pertukaran
Perkembangan teori identitas belakangan ini berpendapat bahwa verifikasi identitas
mengarah pada emosi positif, perkembangan terakhir dalam teori pertukaran
berpendapat bahwa persetujuan pertukaran berulang menghasilkan sentimen positif
antara individu. Lawer dan Yoon berpendapat bahwa individu lebih cenderung
berinteraksi dengan orang-orang di mana ketergantungan relatif sama. Namun, apa yang
menentukan kekompakan unit tidak begitu banyak dampak langsung dari saling
ketergantungan sama seperti frekuensi kesepakatan pertukaran dan emosi positif yang
terjadi. Perjanjian pertukaran berulang dan sukses menghasilkan "buzz" emosional
antara individu dalam bentuk kepuasan atau kegembiraan. Emosi positif ini mengarah
pada kohesi relasional atau persepsi bahwa seseorang adalah bagian dari kelompok.
Sebagai gantinya, sebagai bagian dari kelompok, individu akan lebih bersedia
mengambil risiko atau berkorban atas nama kelompok tersebut. Pada akhirnya, ini
menyebabkan aktor menjadi berkomitmen terhadap hubungan pertukaran yang terdiri
dari kelompok tersebut.
3. Teori Harapan
Seperti teori pertukaran, ekspektasi menyatakan para teoretikus telah memeriksa posisi
individu dalam suatu kelompok dan sentimen yang terjadi. Ridgeway dan Johnson
(1990) berpendapat bahwa karena orang dengan status tinggi dalam kelompok menerima
umpan balik positif yang sering, mereka akan cenderung mengekspresikan emosi positif.
Namun, jika orang dengan status rendah merespons secara negatif terhadap orang
dengan status tinggi, orang dengan status tinggi akan mengarahkan emosi negatif kepada
mereka untuk "menjaga mereka tetap pada tempatnya.
Daftar Pustaka
Delamater, J. (2006). Hand Book of Social Psychology: USA. Springer