Evaluasi dan Pengukuran Pendidikan Karak

AKHLAK MULIA JANGAN SEBATAS TEORI:
PENGUKURAN CHARACTER BUILDING DI TINGKAT SMA
Oleh: Sigit Setyawan

A. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 23/2003 diantaranya adalah
menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang berakhlak mulia dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu mata pelajaran
yang dapat mendukung tercapainya tujuan tersebut di tingkat SMA adalah Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, banyak sekolah swasta yang merasa perlu
untuk mengadakan bidang studi lain yang khusus mengajarkan budi pekerti dan
akhlak mulia yang pada umumnya dinamai sebagai pelajaran Character Building.
Kelas Character Building di jenjang SMA pada dasarnya ingin mendidik siswa
agar memiliki akhlak mulia. Permasalahan penilaian muncul ketika tiba pada saat
laporan hasil belajar. Sebagai contoh, salah satu sekolah swasta mencantumkan skala
angka dalam rapor dengan membagi persentase 30% berasal dari nilai dari Quiz, 30%
nilai dari Project, dan 40% observasi karakter siswa di dalam kelas. Di sekolah negeri
di mana penulis pernah menempuh pendidikan, nilai perilaku ditulis dalam skala sikap
A untuk amat baik, B untuk baik, C untuk cukup, dan D untuk kurang. Baik dalam hal
evaluasi dengan skala angka maupun huruf, keduanya pada umumnya kurang
menggambarkan makna yang akurat. Sebagai contoh, jika dinyatakan bahwa nilai

Character Building adalah 80%, kualitas karakter seperti apakah yang diimplikasikan
oleh angka tersebut, dan apa bedanya dengan yang nilainya 70%? Jika dinyatakan di
laporan hasil belajar bahwa nilai B atau baik, seperti apakah kualitas karakter peserta
didik yang dianggap baik itu? Hal itu kadang-kadang menjadikan pelajaran Character
Building menjadi kurang bermakna bagi siswa, sehingga dalam proses belajar
mengajar banyak siswa yang merasa enggan atau tidak bersemangat untuk ikut dalam
pelajaran tersebut.
Penulis mewawancarai guru Character Building dan mendapati ada persoalan
lain, yaitu banyaknya siswa yang harus diajar dan jumlah jam belajar yang singkat.
Guru tersebut mengajar 180 siswa dan hanya bertatap muka dengan siswa selama 40
1

menit dalam satu minggu. Kesulitan yang dihadapi ini adalah mengenai rasio guru dan
siswa yang kurang ideal. Sebagian besar nilai harus diambil dari hasil pengamatan
langsung di dalam kelas dalam waktu yang terbatas dan jumlah siswa yang terlampau
banyak.
Pelajaran Character Building ada untuk membentuk karakter siswa agar bermoral
dan beretika yang baik. Pada kenyataannya, Character Building bukan solusi tunggal
bagi pembentukan karakter siswa. Meskipun telah mendapat pelajaran Character
Building sejak SMP hingga kelas XI, misalnya, tetap saja banyak kasus yang

ditangani oleh guru BK (Bimbingan Konseling) yang berkaitan dengan permasalahan
pelanggaran peraturan sekolah dan bullying.
Berangkat dari beberapa permasalahan tersebut di atas, makalah ini hendak
membahas permasalahan pengukuran dan penilaian dalam mata pelajaran Character
Building khususnya di jenjang SMA. Tujuan makalah ini akan dibatasi dalam tiga hal
berikut ini.
1. Memaparkan dan menganalisis praktik pengukuran dan penilaian
Character Building di dalam kelas.
2. Menganalisis ketersambungan antara tujuan nasional dan pelajaran
Character Building.
3. Memberikan rekomendasi pengukuran dan penilaian dalam pelajaran
Character Building di tingkat SMA.

B. Praktik Pengukuran dan Evaluasi Character Building di dalam kelas
Akhlak mulia atau karakter adalah sesuatu hal yang abstrak sifatnya. Namun
meskipun abstrak, karakter seseorang dapat diketahui oleh orang lain melalui hidup
bersama dalam waktu tertentu atau melalui sebuah pengamatan. Sebagai sebuah
pelajaran, guru harus membuat definisi-definisi operasional dan indikator-indikator
untuk mengukur dan kemudian mengevaluasi karakter siswa. Sebagai sebuah mata
pelajaran, Character Building semestinya melakukan pengukuran dan penilaian.

Pengukuran adalah pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu,
sedangkan penilaian adalah proses mengambil keputusan dengan menggunakan
informasi yang diperoleh melalui pengukuran baik instrumen tes maupun non-tes
(Zainul dan Nasution 2005, 5 – 8). Guru perlu untuk mengukur dan menilai
berdasarkan indikator-indikator tertentu yang jelas.
2

Pembagian Quiz (30%), Project (30%), dan Observasi (40%) di sekolah swasta di
atas dapat dikatakan cukup bagus untuk mengukur setidak-tidaknya tiga ranah, yaitu
Quiz untuk mengukur konsep atau pemahaman siswa mengenai moral atau etiket,
Project untuk mengukur bagaimana siswa belajar dalam kondisi tertentu yang sengaja
dibuat oleh guru atau kelas, dan Observasi yang merupakan pengamatan genuine atau
kondisi sebenarnya.
Permasalahan yang ditemukan adalah bahwa guru mengalami kesulitan karena
pengamatan didasarkan pada prinsip-prinsip yang masih abstrak dan belum diuraikan
dalam definisi-definisi operasional dan indikator-indikator. Guru mengatakan bahwa
yang dinilai adalah keterlibatan di kelas, kepedulian kepada teman, dsb. tetapi belum
sampai pada apa indikatornya. Dalam bahasa sehari-hari, apa yang dilakukan guru
adalah “nilai kira-kira” sesuai dengan apa yang dilihat ketika di dalam kelas. Hal
tersebut merupakan kelemahan karena ada kemungkinan antara guru dan siswa tidak

ada titik temu tentang apa yang akan dinilai. Besar kemungkinan guru salah menilai
atau menilai dengan subjektivitas yang sangat tinggi berdasarkan like and dislike. Hal
itu sangat merugikan siswa, selain membuat proses pembelajaran tidak ada
hubungannya dengan nilai yang keluar di rapor.
Dalam pelajaran Character Building, hal terpenting untuk dilakukan adalah
observasi. Namun, observasi memiliki problem, yaitu subjektivitas yang tinggi.
Permasalahan

utama

dengan

observasi

adalah

ketiadaan

objektivitas


oleh

pengamatnya (Johnson dan Johnson 2001, 117). Oleh karena itu indikator-indikator
yang jelas mutlak ada dan guru dan siswa harus dalam pemahaman yang saya tentang
indikator yang hendak dinilai ini. Johnson dan Johnson memberikan beberapa
panduan agar observasi menjadi lebih objektif. Observasi sebaiknya mengamati tiga
hal berikut ini yang sangat relevan untuk diterapkan (Johnson, Johnson, and Holubec
1998).
a. Kualitas kinerja siswa.
b. Proses dan prosedur dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.
c. Proses dan prosedur guru dalam memberikan pelajaran.
Oleh karena itu, agar pelajaran Character Building menjadi bermakna dan
hasilnya kurang lebih menjadikan nilai yang diberikan berarti sesuatu, guru perlu
untuk mengobservasi ketiga hal berikut ini. Pertama, mengobservasi kinerja siswa di
kelas. Untuk mengobservasi kinerja, guru perlu memberikan rubrik penilaian kepada
siswa. Pengukuran dan penilaian terhadap kinerja siswa membutuhkan waktu yang
3

cukup dan menuntut siswa untuk mengonstruksi pengetahuan yang baru (Marzano,
Pickering, dan McTighe 1993, 26). Marzano, Pickering, dan McTighe menyarankan

agar pencatatan kinerja siswa dilakukan terus menerus. Pencatatan terus menerus atau
berkelanjutan dilakukan oleh guru dalam rangka observasi siswa di kelas. Guru
mengamati dan siswa tahu apa yang diamati.
Di sekolah swasta yang diamati oleh penulis, observasi di dalam kelas terlalu
pendek waktunya. Dalam waktu hanya 40 menit guru mengamati 30 siswa di dalam
kelas, hal itu tentu saja merupakan pekerjaan yang terlampau berat. Terjadi dilema di
sini, yaitu jika indikator untuk diamati terlalu banyak, maka kualitas penilaian
menjadi lebih rendah. Namun jika indikatornya dikurangi, maka ada kemungkinan
indikator yang sedikit itu tidak mencerminkan kinerja siswa.
Solusi yang dapat dilakukan adalah agar guru mengukur kinerja siswa bukan
hanya dibatasi pada aktivitas kinerja di dalam kelas, melainkan melibatkan pula
kegiatan di luar kelas. Sebagai contoh, apabila ada siswa melanggar peraturan sekolah
di luar jam pelajaran, maka hal itu akan dicatat sebagai bagian dari kinerja siswa.
Dapat pula guru mendengarkan pendapat dari guru lain, misalnya seorang siswa
menolong temannya di pelajaran Matematika, hal semacam itu juga masuk ke dalam
catatan kinerja dalam pelajaran Character Building. Di sisi lain, apabila siswa
mendapat pujian di luar sekolah, misalnya menjadi relawan kemanusiaan di
masyarakat, maka itu dapat menjadi catatan pula bagi kinerja siswa. Jadi, observasi
terhadap kinerja siswa tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan di dalam kelas,
melainkan juga di luar kelas.

Kedua, proses dan prosedur dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Perlu
dilihat bahwa pelajaran Character Building berbeda dengan pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) atau Matematika. Di dalam IPA, misalnya, rumus-rumus
dan hitungan begitu pasti dan baku. Demikian pula di dalam matematika, rumus atau
fungsi memiliki hasil akhir yang sama dan dapat dipastikan. Dalam kedua mata
pelajaran tersebut, siswa dinilai terutama berdasarkan hasilnya. Namun, di dalam
Character Building yang dipentingkan adalah proses. Untuk menilai proses
penyelesaian sebuah proyek bersama, guru dengan seksama memerhatikan proses dan
interaksi antar siswa. Siswa membutuhkan umpan balik dari apa yang telah dilakukan
ketika mereka mengerjakan tugas atau proyek yang diberikan. Apakah dalam
mengerjakan, siswa telah menerapkan konsep-konsep moral dan etiket yang telah
diajarkan? Umpan balik kepada siswa tersebut dapat berupa lisan maupun tertulis,
4

baik sebagai kelas, kelompok, maupun secara individu, tergantung dari kondisi yang
terjadi.
Ketiga, proses dan prosedur guru dalam memberikan pelajaran. Evaluasi atas
proses dan prosedur pengajaran sangat penting dilakukan agar pelajaran mengalami
kemajuan dan menjadi lebih bermakna. Guru membutuhkan masukan untuk kemajuan
pengajarannya dengan mendengarkan pendapat para siswa menanggapi aktivitas kelas

atau penilaian dirinya. Masukan dari siswa dapat dilakukan dengan berbagai teknik,
misalnya kuesioner atau wawancara dengan beberapa siswa.

C. Ketersambungannya dengan Tujuan Pendidikan Nasional
Ada beberapa kejadian beberapa waktu lalu yang dapat dijadikan sebagai ilustrasi
mengenai pentingnya pelajaran karakter ini. Di Watampone, Kabupaten Bone,
sejumlah siswa yang tidak lulus Ujian Nasional (UN) melempari sekolahnya dan
mengakibatkan sejumlah kaca sekolah pecah (Tribun Timur 27 April 2010). Kejadian
di tempat lain pada hari yang sama, di Tanete, Bulukumba, seorang siswa melempari
guru dengan batu karena tidak lulus UN (Metrotvnews 27 April 2010). Kedua
peristiwa tersebut di atas adalah dua contoh ekstrim yang dapat diacu sebagai bahan
pemikiran bahwa pendidikan karakter memang dibutuhkan. Mendiknas, Mohammad
Nuh, menegaskan pentingnya pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia. Hal itu
disampaikan dalam Hari Pendidikan Nasional 2010 yang mengangkat tema
“Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa” (Harian Analisa 3 Mei
2010). Terlihat sekali bahwa kini, pendidikan karakter menjadi agenda utama
pemerintah dan memang hal itu sungguh diperlukan oleh bangsa Indonesia.
Namun, pertanyaannya adalah, perlukah pendidikan karakter itu diformalkan
dalam satu mata pelajaran Character Building, bukankah sudah ada pelajaran Agama
dan Pendidikan Kewarganegaraan yang mengajarkan kepada mereka tentang akhlak

mulia? Mengenai perlu tidaknya pendidikan karakter diformalkan, mengacu kepada
apa yang telah dirancang dalam Pelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan,
pelajaran tersebut dinilai perlu ada. Namun, ada catatan fundamental di sini, yaitu
bahwa pengukuran dan penilaiannya harus sesuai dengan proses belajar mengajar dan
yang dinilai bukan hanya kognitifnya saja, melainkan kinerja siswa. Penilaian dalam
kedua mata pelajaran tersebut perlu mengacu pada salah satu hal dalam reformasi di

5

bidang pengukuran dan penilaian, yaitu bahwa pembelajaran seharusnya berhubungan
dengan pengukuran dan penilaian (Marzano 1993).
Mengenai apakah perlu mata pelajaran Character Building yang berdiri sendiri,
maka pelajaran ini perlu ada jika pelajaran ini merupakan pelajaran yang
mengintegrasikan sikap atau kinerja siswa secara utuh, artinya tidak hanya di kelas
saja, melainkan kinerja di luar kelas juga dinilai. Agar tidak tumpang tindih dengan
pelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, maka perlu dibuat pemisahan
jelas area belajarnya, misalnya:
1.

Pelajaran Agama mengajarkan akhlak mulia dengan didasarkan kepada

prinsip-prinsip agama masing-masing, sebagai bagian tak terpisahkan dari
pengetahuan dan penghayatan agamanya;

2.

Pelajaran Kewarganegaraan mengajarkan akhlak mulia dengan menjadi
warga negara yang demokratis, dengan demikian mempelajari hukumhukum tertulis dan tidak tertulis dan etiket dalam bernegara;

3.

Pelajaran Character Building mengajarkan akhlak mulia dengan didasarkan
pada pemahaman norma-norma sosial, mulai dari teman dekat, menjadi
bagian dari komunitas sekolah, masyarakat nasional, etiket dan budaya
lokal, identitas budaya nasional, dan pergaulan dengan masyarakat dunia.

Ketiga mata pelajaran penting tersebut harus mengukur kinerja siswa lebih banyak
daripada mengukur tingkat pemahaman kognitif siswa. Pelajaran Character Building
sangat penting untuk ikut mewujudkan tujuan nasional kita, yaitu membentuk
manusia Indonesia seutuhnya. Mata pelajaran ini dapat dijadikan sebagai pelajaran
yang mampu memberikan “laporan” atau deksripsi siswa dalam hal perilaku dan

moral dalam komunitas sekolah. Dengan demikian, sekolah dalam mengambil
keputusan bukan hanya pada pertimbangan kepintaran atau raihan akademik,
melainkan juga terhadap sikap, perilaku, atau moralnya juga dengan berlandaskan
pada observasi yang relatif lebih objektif sifatnya.

D. Rekomendasi dan Penutup
Pelajaran Character Building adalah pelajaran yang berorientasi kepada proses
dan bermaksud membentuk karakter baik siswa. Hendaknya pelajaran ini jangan
hanya sebatas teori saja, melainkan merupakan pelajaran yang berdampak nyata bagi
pembangunan karakter siswa. Instrumen yang digunakan tidak selayaknya jika tes
6

kognitif atau hanya tes uraian yang berorientasi pada hasil. Perangkat non-tes dapat
digunakan sebagai bagian untuk merekam kinerja siswa secara berkesinambungan.
Berikut ini adalah rekomendasi atas beberapa permasalahan yang dikemukakan di
atas.
1. Guru hendaknya menentukan definisi operasional dan indikatorindikator yang diketahui baik oleh guru maupun siswa.
2. Rasio antara guru dan siswa hendaknya disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran yang ingin diraih. Jika jumlah siswa terlalu banyak dan
guru terlalu sedikit, maka pelajaran ini hanya menjadi pelajaran tanpa
makna. Sebagai contoh, satu guru mengobservasi satu angkatan dan
“ikut naik kelas” agar guru mengenal pribadi siswa dengan baik,
sehingga mempermudah observasinya.
3. Jumlah jam pelajaran perlu lebih panjang. Jika hal tersebut tidak
memungkinkan, maka di luar jam pelajaran guru melakukan observasi
dan menggali informasi (misalnya saat istirahat atau rapat guru) dan
hal tersebut dihitung sebagai beban mengajar guru.
4. Laporan hasil belajar harus merupakan cerminan dari proses belajar. Di
dalam laporan hasil belajar, guru perlu memberikan deskripsi atau
performance description sehingga angka atau huruf yang diberikan
memiliki makna dan dapat dipahami baik oleh siswa, orangtua,
maupun sekolah . Misalnya nilai 90 – 100 dideskripsikan sebagai
“Siswa sangat berdisiplin, menjadi inspirator dan motivator dalam
proyek kelas, mampu bekerja sama dengan baik dengan siapapun di
dalam kelas, dan dalam kehidupan sekolah menjadi pribadi yang
dinilai bertanggung jawab dan berperan aktif dalam kehidupan sosial di
sekolah,” maka nilai 90% misalnya, memiliki makna dan bukan hanya
sekedar nilai.
Pelajaran Character Building bersama-sama dengan mata pelajaran lain di tingkat
SMA dapat menjadi mata pelajaran berharga bagi kemajuan bangsa Indonesia dalam
membentuk karakter bangsa. Reformasi di bidang pengukuran dan penilaian perlu
untuk dibawa ke dalam pelajaran Character Building. Kita perlu lebih optimis bahwa
ke depan, pelajaran Character Building dapat menjadi salah satu pelajaran penting
yang bermakna baik bagi sekolah, siswa, maupun bangsa Indonesia.

7

Daftar Pustaka
Harian Analisa. “Mendiknas: Pendidikan karakter untuk Bangun Peradaban Bangsa”,
Harian Analisa online 3 Mei 2010. http://www.analisadaily.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=53448:mendiknas-pendidikan-karakteruntuk-bangun-peradaban-bangsa&catid=31:umum&Itemid=143. Internet. Diakses
3 Mei 2010.
Johnson, David. W dan Roger T. Johnson. Meaningful Assessment: A Manageable
and Cooperative Process. Boston: Allyn and Bacon, 2002.
Johnson, David. W, Roger T. Johnson, dan E. Holubec. Cooperation in the
Classroom. 6th Edition. Edina, MN: Interaction Book Company, 1998.
Marzano, Robert, Debra Pickering, dan Jay McTighe. Assessing Student Outcomes:
Performance Assessment Using the Dimensions of Learning. Alexandria: ASCD,
1993.
Metrotvnews. “Tak Lulus Ujian, Siswa Lempari Guru dengan Batu”, Metrotvnews
online 27 April 2010. Home page on-line.
http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/04/27/104230/Tak
-Lulus-Ujian-Siswa-Lempari-Guru-dengan-Batu. Internet. Diakses 3 Mei 2010.
Tribun Timur. “Siswa di Bone Lempari Sekolah”, Tribun-Timur online 27 April 2010.
Home page on-line. http://www.tribun-timur.com/read/artikel/99017/sitemap.
html. Internet. Diakses 3 Mei 2010.
Zainul, Asmawi dan Noehi Nasution. Penilaian Hasil Belajar. Cetakan ke-5. Jakarta:
PPAU-PPAI Universitas Terbuka, 2005.

8