Bab II III dan IV Hubungan Internasional
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hubungan Internasional dan Ruang Lingkupnya
1. Mengkutip pendapat K.J. Hosti dalam buku karya P. Anthonius Sitepu
yang berjudul Studi Hubungan Internasional (2011:19) yang mengatakan
bahwa penggunaan kata hubungan internasional berkaitan erat pada
seluruh interaksi yang terjadi diantara masyarakat negara-negara, yang
dilakukan pemerintah maupun negara-negara. Maka dari hal itu studi
hubungan internasional berkaitan dengan seluruh hubungan antar
berbagai
negara
di
dunia
serta
terkait
pada
lembaga-lembaga
internasional. Seperti Internasional Red Cross (IRC), kepariwisataan,
transportasi, komunikasi, dan lain-lain.
2. Tidak jauh berbeda dengan pendapat K.J Hosti hal senada juga
dikemukakan oleh Theodore A. Coloumbis dalam buku karya P. Anthonius
Sitepu yang berjudul Studi Hubungan Internasional (2011:19) yang
mengatakan bahwa studi hubungan internasional mencakup pada
permasalahan-permasalahan
perang,
konferensi
internasional,
perdagangan internasional, bantuan luar negeri, integrasi regionalisme,
pariwisata internasional, yang seluruhnya merupakan aspek-aspek yang
ada dalam studi hubungan internasional.
3. Hal serupa juga diungkapkan oleh Budiono Kusumohamidjojo dalam buku
karya P. Anthonius Sitepu yang berjudul Studi Hubungan Internasional
(2011:20) yang
mengatakan bahwa
studi
hubungan internasional
merupakan sesuatu hubungan antarbangsa yang meliputi politik, hukum,
ekonomi, hingga diplomasi tetapi lebih menekankan pada aspek politik
dan hukum yang menjadikan keduanya merupakan aspek yang dominan.
Penekanan
pada
aspek
politik
merupakan
aspek
material
yang
dimaksudkan pada kepentingan militer, ekonomi, dan kebudayaan.
Sedangkan
pada
aspek
hukum
merupakan
aspek
formal
yang
dimaksudkan pada suatu bentuk untuk penyelesaian prosedural dari
berbagai kepentingan (interest).
B. Aktor dalam Sistem Hubungan Internasional
3
1. Negara Sebagai Aktor dalam Sistem Hubungan Internasional
Menurut P. Anthonius Sitepu (2011:125) menjelaskan bahwa secara garis
besar aktor-aktor yang berperan dalam hubungan internasional utamanya adalah
aktor negara. Negara (nation-state) telah menjadi aktor (pelaku) utama dalam politik
dan hubungan internasional yang mempunyai sifat istimewa (par-excellence).
Maksud dari negara mempunyai sifat istimewa (par-excellence) adalah dimana
negara merupakan subjek hukum internasional dan negara merupakan pengertian
pokok dari doktrin maupun dari hukum internasional praktis. Sehingga dengan
demikian negara sebagai entitas politik dan hukum internasional yang memiliki
atribut-atribut seperti penduduk, wilayah, pemerintah dan kedaulatan serta
pengakuan dari negara-negara lain. Selain hal tersebut juga tercemin dalam pasca
perang dunia kedua dimana terjadi peningkatan pertumbuhan negara-negara baru
(New Emerging Forces) sebagai anggota dalam masyarakat internasional.
Masyarakat internasional atau organisasi-organisasi internasional dapat diambil
contoh seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada awal mula didirikannya
sekitar tahun 1945 PBB hanya memiliki anggota sekitar 51 negara dan di tahun 1983
PBB sudah memiliki 157 negara serta tentunya akan terus meningkat dari tahun ke
tahun seiring dengan keinginan suatu negara untuk menjalin kerjasama dengan
negara-negara
lain
dalam
pergaulan
internasional
baik
dengan
tujuan
menyelesaikan permasalahan ekonomi dan pembangunan maupun menyelesaikan
problema-problema (masalah) yang tidak dimungkinkan untuk diselesaikan dalam
tingkat nasional sehingga membutuhkan bantuan dunia internasional dalam
menyelesaikannya.
2. Aktor-Aktor Non-Negara (NGO) sebagai Aktor dalam Sistem Hubungan
Internasional
a. Non-Governmental Organization (NGO’s)
Seperti yang dikutip dalam P. Anthonius Sitepu (2011:131) menjelaskan
bahwa aktor-aktor non-negara di dalam terminologi ilmu politik dan hubungan
internasional dapat dibagi ke dalam dua bagian utama yaitu, Intergovernmental
organization (IGO) dan Non-governmental organization (NGO). Adapun yang
dimaksud dengan IGO’s adalah Organisasi Internasional (OI) yang mempunyai
peran sebagai aktor dalam sistem internasional dan yang merupakan dalam kategori
4
IGO’s misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Liga Bangsa-Bangsa (LBB),
North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan lain-lain, dimana terdiri dari susunan
negara-negara, individu-individu, yang
menempatkan
wakil-wakilnya
sebagai
organisasi agar dapat mewakili kepentingan-kepentingan dan kebijaksanaankebijaksanaan politik luar negerinya masing-masing. Lebih lanjut Henderson, 1998
dalam buku karya P. Anthonius Sitepu (2011:132) menjelaskan bahwa peranan
IGO’s di dunia sistem internasional adalah mengatur koorperasi diantara anggotaanggota asosiasinya, mengubungkan agar tetap dapat menjalin komunikasi secara
berkelanjutan,
dan
bekerjasama
keamanan, perkembangan
dalam
bidang
ekonomi, hingga
perdagangan
internasional,
keberlangsungan kesejahteraan
manusia dan HAM. Sedangkan yang termasuk dalam kategori NGO’s misalnya
seperti Internasional Red Cross (IRC), Amnesty Internasional. NGO’s juga
merupakan organisasi-organisasi yang secara tidak langsung berhubungan dengan
kepentingan pemerintah nasional. Lebih lanjut Anthonius Sitepu juga menjelaskan
bahwa organisasi-organisasi non pemerintah (NGO’s) mempunyai tujuan berupa
sosial, ekonomi, dan politik serta suatu struktur dan kelembagaan formal yang besar
serta organisasi-organisasi tersebut memperoleh dana dengan mengumpulkan dana
kemudian mengalokasikannya dan mendistribusikan ke dalam berbagai jenis dan
bentuk informasi. Agar lebih mudah dipahami arti dan tujuan NGO’s merupakan
sebuah organisasi yang otonom dan berfungsi untuk membantu meringankan
negara-negara dalam penyelesaian masalah ataupun dalam perumusan kebijakan
baru ( Minix & Hawley, 1998). Lebih sederhanya tujuan NGO dapat sangat terlihat
jelas apabila misalnya terjadi suatu bencana alam maka disini peran Internasional
Red Cross (IRC) sebagai NGO melakukan kegiatan sosial kemanusiannya
khususnya kesehatan para pengungsi bencana alam tersebut.
b. Multi-National Corporation (MNC’s)
Pada bagian Multi National Corporation (MNC’s) didefinisikan bahwa sebagai
sekumpulan perusahaan yang berasal dari negara-negara yang berbeda dan
bergabung ke dalam atau melalui ikatan-ikatan strategis manajemen bersama.
MNC’s lebih lanjut juga didefinisikan berupa perusahaan-perusahaan yang para
pemimpinnya bekerja dalam suatu pangkalan tetapi aktivitasnya dilakukan di negara
lain (P. Anthonius Sitepu, 2011:135). Contoh dari MNC’s adalah seperti General
Motors (GM), Nestle, FIAT, Exxon, Royal Dutch Shell Mobil, British Petroleum, dan
lain-lain. Lebih lanjut Theodore A. Coulombis & James H. Wolfe dalam buku karya P.
5
Anthonius
Sitepu
menjelaskan
(2011:136)
bahwa
yang
kekuataan
berjudul
Studi
perekonomian
Hubungan
Internasional
perusahaan-perusahaan
multinasional dibandingkan dengan kekuataan perekonomian negara-negara
mengalami perbandingan, dimana MNC’s mempunyai proporsi yang lebih besar
pada perekonomian baik dari luas lingkup dan volume dari perusahaan-perusahaan
multinasional tersebut. Artinya MNC’s mempunyai peranan penting terhadap sistem
internasional dalam kaitannya pada penggerak roda perekonomian di dunia.
C. Konsep Kerjasama dalam Hubungan Internasional
1. Kerjasama Bilateral
Kerjasama bilateral secara singkat dapat diartikan sebagai kerjasama yang
dilakukan oleh dua negara. Contohnya kerjasama antara Indonesia dengan Amerika
Serikat terkait dalam pengelolaan tambang di PT Freeport yang berada di Papua.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Y, Sri, T.D Haryo Tamtomo Dkk (2007:96)
menjelaskan bahwa kerjasama bilateral dapat diartikan sebagai kerjasama yang
dilakukan oleh negara satu dengan negara lain yang terbatas hanya oleh dua
negara saja serta tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja tetapi juga di
dalam bidang lain seperti politik, pertahanan, hingga keamanan. Lebih lanjut
Achmad Roestandi & Zul Afdi Ardian (2007:176) menjelaskan bahwa dalam
kerjasama bilateral terdapat suatu perjanjian yang diantara kedua negara yang
melakukan kerjasama tersebut yang dibuat untuk kepentingan dua negara tersebut
sehingga menutup suatu kemungkinan negara lain untuk turut bergabung dalam
kerjasama yang sudah ditetapkan oleh kedua negara tersebut.
2. Kerjasama Multilateral
Kerjasama Multilateral menurut Y, Sri, T.D Haryo Tamtomo Dkk (2007:100)
menjelaskan bahwa kerjasama yang dilakukan oleh lebih dari dua negara dan
didalamnya terdapat perjanjian yang menyangkut soal kepentingan umum yang
mempunyai arti bahwa tidak terbatas mengatur kepentingan negara-negara yang
mengadakan perjanjian tersebut tetapi juga menyangkut kepentingan negara lain
yang tidak turut serta dalam perjanjian tersebut. Misalnya Indonesia yang melakukan
kerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Asea (MEA), Liga Arab maupun PBB.
6
D. Teori Hubungan Asimetris
Teori
hubungan
asimetris
menjelaskan
bahwa
di
dalam
hubungan
internasional selalu terdapat hubungan bilateral yang asimetris. Hubungan bilateral
yang asimetris ini menggambarkan ada sebuah negara yang lebih kuat dari segi
kekuataan ekonomi, militer, politik, teritori, dan sebagainya. Sementara di pihak lain
ada negara yang tergolong lemah (Womack, 2004:359 dalam Yesaya Anggia,
2016:54). Apabila dianalisis lebih lanjut hubungan bilateral antara keduanya
meskipun asimetris tetapi tidak akan membawa pada dampak instabilitas dalam
sistem internasional. Hal tersebut disebabkan karena salah satunya adalah
hubungan kedua negara tersebut satu sama lain memiliki persepsi yang mampu
membuat kondisi tetap stabil. Pertama, bagi negara yang kuat dengan kekuatan
nasional yang dimilikinya, hubungan bilateral dengan negara kedua yang lebih
lemah dengannya pada dasarnya tidak memiliki keuntungan apapun (Womack,
2004:360 dalam Yesaya Anggia, 2016:54). Tetapi negara yang pertama (kuat) ini
menyadari bahwa hubungan dengan negara kedua (lemah) dipertahankan atas
dasar alasan tertentu (Womack, 2004:360 dalam Yesaya Anggia, 2016:54). Alasan
tertentu tersebut menjaga stabilitas domestik negara tersebut maupun sekitarnya.
Negara kuat lebih mampu mengontrol perilaku negara yang lemah. Kemampuan
seperti itu harus tetap dipertahankan agar negara lemah tidak bertindak diluar batas
norma-norma yang ada. Kedua bagi negara yang lemah hubungan bilateral yang
dibangun dengan negara yang kuat dapat membawa keuntungan karena dapat
memberikan bantuan dan dapat terus bertahan di tengah situasi dan kondisi yang
tidak stabil tersebut (survival) (Womack, 2004:360 dalam Yesaya Anggia, 2016:54).
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Perkembangan Nuklir di Dunia
Sejarah perkembangan senjata nuklir di dunia mulai terlihat pasca Perang
Dingin yang didominasi oleh persaingan dua negara besar yaitu AS dan Uni Soviet.
Pasca terjadinya Perang Dingin kedua negara tersebut senjata nuklir mulai
dikembangkan oleh negara-negara yang ada di dunia dan tidak hanya terbatas pada
negara maju tetapi juga negara-negara berkembang bahkan fakta yang sangat
tampak jelas adalah keterlibatan organisasi-organisasi bukan pemerintah seperti
gerakan terorisme dinilai memiliki andil dalam perkembangan senjata nuklir yang
berujung pada perdagangan gelap senjata nuklir. Para pembuat (produsen) dan
pemilik sekaligus pemakai tidak memperhatikan secara benar akan dampak yang
ditimbulkannya khususnya bahaya radiasi yang ditimbulkan bagi lingkungan dan
keberlangsungan hidup manusia mengenai bahaya suatu nuklir apabila digunakan.
Pengembangan dan kepemilikan senjata nuklir seolah menjadi bias dari bahaya
radiasi yang ditimbulkannya dan bias dari tidak adaya aturan baku yang mengatur
mengenai persenjataan nuklir yang ada di dunia saat ini. Oleh karena hal itu senjata
nuklir menjadi suatu isu yang sangat komplek dengan erat kaitannya dengan
stabilitas kawasan. Beberapa negara dan kaum realis akan menganggap bahwa
proliferasi nuklir akan membawa dampak pada instabilitas dan memicu konflik
antarnegara tetapi pandangan akan menjadi berbeda dengan pandangan negaranegara pengembang senjata nuklir bahwa proliferasi nuklir justru akan membawa
dampak pada meningkatnya stabilitas kawasan (Budi Winarno, 2014:272)
Dalam perkembangannya pasca Perang Dingin banyak negara-negara di
dunia mulai muncul dengan senjata nuklirnya tersebut seperti, Ukraina, Belarus, dan
Kazakstan, India, Pakistan, Iran, bahkan Korea Utara. Bahkan di tahun 1998 negara
India, Pakistan, dan Iran sempat melakukan uji coba nuklirnya yang sangat
mengesampingkan mengenai dampak yang ditimbulkannya pada lingkungan
maupun bagi keberlangsungan hidup di dunia. Bahkan pasca uji coba nuklir yang
dilakukan oleh negara-negara tersebut menimbulkan persoalan baru juga mengenai
sampah nuklir. Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) belum bisa mengikat
secara pasti mengenai pengembangan dan penggunaan senjata nuklir karena masih
8
terbatas pada negara-negara yang menandatangani saja. Begitu juga dengan isu-isu
senjata nuklir yang dinilai berbanding lurus dengan ancaman militer yang
dimanfaatkan oleh kelompok separatis atau teroris. Kelompok separatis atau teroris
memanfaatkan kepemilikan link dengan negara atau kelompok para pembuat
senjata nuklir dengan melakukan perdagangan pasar gelap agar dapat melakukan
penyeledupan lalu menjualnya kepada pihak-pihak lain secara ilegal dan
mendapatkan keuntungan uang dalam jumlah yang besar bagi kelompok separatis
atau teroris yang memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut. Cara berpikir
kelompok separatis tersebut sama halnya dengan konsep deterrence, dimana
negara A menjadi ancaman bagi negara B yang merupakan negara tetangga A
sehingga dinilai penting bagi negara B untuk melakukan pengembangan teknologi
yang sama bahkan cara-cara ilegal juga sering dilakukan. Pergeseran makna
kepemilikan senjata nuklir yang pada awalnya digunakan sebagai senjata untuk
perang beralih menjadi sebuah keuntungan politik dan dan prestise yang dinilai
sebagai suatu bentuk persenjataan maupun perlindungan yang sangat modern
sehingga senantiasa membawa efek pada suatu negara yang memilikinya pada
suatu momentum perundingan dalam permasalahan internasional. Beberapa
pendapat dalam isu senjata nuklir ini adalah dimana keberadaan proliferasi nuklir
tersebut justru akan membawa dampak pada terciptanya stabilitas kawasan, di satu
sisi juga penggunaan proliferasi nuklir yang sempat dilakukan oleh India dan
pakistan telah dipertimbangkan faktor kehati-hatian yang baru dalam pengambilan
keputusan maupun menciptakan stabilitas strategik diantara kedua negara tersebut.
Di sisi lain juga proliferasi nuklir justru akan memunculkan sebuah situasi security
dilemma di tengah masyarakat dunia. Carl Sagan dalam Budi Winarno (2014:273)
juga
menekankan bahwa
yang
terpenting adalah
mendorong pengaturan-
pengaturan alternatif terkait tuntutan mendapatkan senjata nuklir dan memperkuat
adanya perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT) secara global (Budi Winarno,
2014:273).
B. Hubungan Bilateral Korea Utara dengan Tiongkok
1. Dukungan Diplomatis Tiongkok Terhadap Korea Utara
Hubungan yang dibangun oleh Korea Utara dan Tiongkok yang dinamakan
hubungan bilateral dilatarbelakangi oleh kedekatan geografis maupun kesamaan
ideologi. Kedekatan geografis Korea Utara dan Tiongkok tercipta karena secara
9
geografis keduanya yang berada di kawasan Asia Timur dan kedua negara tersebut
berbatasan langsung. Sedangkan pada aspek kesamaan ideologi yang dimiliki yaitu
ideologi komunis membawa Tiongkok terlibat pada Perang Korea Utara di tahun
1950. Berdasarkan sejarah singkat keterlibatan Tiongkok dalam Perang Korea
tersebut menjadi awal hubungan keduanya atau yang sering disebut dengan “Blood
Alliance” (Beina dan Bajoria, 2006 dalam council on Foreign Relations).
Tidak hanya terbatas pada pada kedekatan geografis dan kesamaan ideologi
komunis diantara keduanya tetapi juga didukung oleh suatu perjanjian di tahun 1961
yang dinamakan Treaty of Friendship, Coorperation and Mutual Assistance. Isi dari
perjanjian tersebut adalah mengatur tentang bantuan yang saling menguntungkan
baik antara Korea Utara dengan Tiongkok dan mewajibkan untuk saling
berkonsultasi terkait isu internasional yang berpengaruh terhadap keduanya.
Perjanjian berlaku jika adanya kesepakatan perubahan ataupun penghentian dari
kedua belah pihak. Perjanjian tersebut tidak menjadi satu-satunya faktor kuat dalam
persekutannya melainkan juga ada faktor lain seperti pasca runtuhnya Uni Soviet di
tahun 1991 yang menyebabkan Korea Utara bergantung kepada Tiongkok dengan
tujuan untuk mengembalikan perekonomiannya. Fokus ketergantungannya terletak
pada sektor penting seperti energi, pangan, dan pembangunan. Persoalan Korea
Utara tersebut bukan sesuatu yang sulit bagi Tiongkok karena pasca kebijakan open
door policy oleh Deng Xiaoping membawa dampak pada peningkatan ekonomi
Tiongkok yang sangat signifikan (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:50).
Bentuk dukungan yang diberikan oleh Tiongkok kepada Korea Utara tidak
hanya dalam bidang ekonomi saja tetapi juga dalam dukungan diplomatis. Tiongkok
dianggap sebagai sebuah negara penting bagi Korea Utara menggingat Tiongkok
adalah salah satu anggota dewan keamanan PBB. Tingkat pentingnya Tiongkok
terhadap Korea Utara terlihat pasca pengunduran diri Korea utara pada
keanggotaan Non-Proliferation Treaty sehingga untuk melancarkan proliferasi
nuklirnya Korea Utara menjalin dan membutuhkan dukungan diplomatis dari
Tiongkok. Korea Utara sendiri sudah pernah tercatat melakukan uji coba nuklirnya di
tahun 2006, 2009, 2013, dan 2017 (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:51).
Setelah peluncuran uji coba nuklirnya, PBB memberikan sanksi kepada Korea
Utara berupa larangan ekspor-impor berupa kendaraan maupun embargo seluruh
10
senjata. Tetapi hal tersebut justru mendapatkan penolakan dari Tiongkok dan tetap
memberikan dukungan kepada Korea utara berupa dukungan diplomatis. Bentuk
dukungan diplomatis yang dilakukan Tiongkok terhadap Korea Utara adalah dengan
tidak menerapkan sanksi sepenuhnya yang diberikan oleh PBB kepada Korea Utara.
Hal tersebut terlihat jelas pada sanksi PBB terhadap Korea Utara mengenai uji coba
nuklirnya yang tertuang dalam Resolusi 1718 tahun 2006, Resolusi 1874 tahun
2009, dan Resolusi 2094 tahun 2013. Berdasarkan laporan dari Global Trade Atlas
tahun 2006, 2007, 2009, 2009, dan 2010 terlihat jelas bahwa Tiongkok memberikan
dukungan diplomatis berupa tetap melakukan ekspor kendaraan ke Korea Utara
pada tahun 2007 sehingga hal tersebut bertentangan dengan Resolusi 1718 tahun
2006 mengenai larangan eskpor-impor kendaraan yang dapat mendorong terjadinya
provokasi seperti pesawat tempur, kapal perang, maupun kendaraan lapis baja.
Dukungan diplomatis Tiongkok ke Korea utara juga terlihat jelas pada kegiatan
ekspor senjata Tiongkok ke Korea Utara yang bertentangan dengan Resolusi 1874
tahun 2009 mengenai embargo semua jenis senjata kecil ke Korea Utara. Seperti
yang telah dilansir oleh Arms Control Association tahun 2013 mengatakan bahwa
Tiongkok melalui perwakilan diplomatiknya menekankan kepada PBB agar
menggunakan cara-cara lain diluar sanksi yang mempunyai sifat memaksa dan
Tiongkok juga menekankan agar Resolusi PBB tidak memberikan dampak negatif
terkait pembangunan ekonomi di Korea utara (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:51).
Dukungan diplomatis Tiongkok terhadap Korea Utara dalam hubungan
internasional merupakan hubungan bilateral yang asimetris. Padahal secara nyata
dalam teorinya Tiongkok tidak mendapatkan keuntungan yang berarti dari
mempertahankan hubungan bilateralnya terhadap Korea Utara. Motif utama
Tiongkok masih mempertahankan hubungan bilateralnya terhadap Korea Utara
adalah mencegah instabilitas di Korea Utara. Apabila Korea Utara mengalami
instabilitas maka secara langsung Tiongkok akan menerima beban dari adanya
gelombang migrasi penduduk padahal penduduk Tiongkok merupakan penduduk
terbanyak di dunia. Kedua adalah menghindari terjadinya penyatuan antara Korea
Utara dengan Korea Selatan karena apabila keduanya bersatu maka Tiongkok akan
mengalami gangguan dalam investasinya yang disebabkan oleh banyaknya
perusahaan Tiongkok yang berdiri dan berinvestasi di Korea Utara serta ancaman
11
akan kehilangan pangkalan militer di kawasan Asia Timur (XU & Bajoria, 2014 dalam
Yesaya Anggia, 2016:50).
2. Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terhadap Korea Utara
Seiring perkembangan waktu hubungan bilateral yang asimetris antara Korea
Utara dengan Tiongkok mulai mengalami kemunduran. Hal tersebut terlihat pada
dukungan diplomatis yang diberikan oleh Tiongkok terhadap Korea Utara yang pada
awal mulanya mendukung penuh Korea utara terhadap Resolusi 1718 tahun 2006
mengenai larangan ekspor-impor kendaraan yang dapat mendorong terjadinya
provokasi dan Resolusi 1874 tahun 2009 mengenai embargo semua jenis senjata
kecil ke Korea Utara yang dijatuhi sanksi oleh PBB menjadi berubah tidak
memberikan dukungan diplomatis kepada Korea Utara di Resolusi 2094 tahun 2013.
Perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok di peluncuran uji coba nuklir ketiga di
tahun 2013 yang dilakukan oleh Korea Utara adalah dengan memberikan dukungan
sepenuhnya terhadap sanksi PBB berupa Resolusi 2094 tahun 2013 kepada Korea
Utara. Bentuk dukungan Tiongkok terhadap sanksi PBB di Resolusi 2094 tahun
2013 adalah dengan memanggil duta besar Korea Utara dan meyerukan
pembicaraan mengenai denuklirisasi, menerapkan sanksi Resolusi 2094 dengan
tidak mengekspor barang mewah seperti emas dan permata, dan Tiongkok hanya
melakukan ekspor berupa perak, perhiasan imitasi dan lukisan dengan nilai tidak
lebih dari US$ 322 ribu dan melakukan embargo minyak mentah terhadap Korea
Utara (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:51).
3. Pengaruh Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terhadap Korea
Utara di Dunia Internasional
Perubahan sikap yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Korea Utara
dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi dunia internasional dan perubahan kondisi
domestik Tiongkok. Situasi dan kondisi dunia internasional yang melakukan desakan
kepada Tiongkok agar melakukan tindakan tegas terhadap Korea Utara yang
merupakan sekutunya. Pada saat itu Amerika dibawah kepemimpinan Barack
Obama menyerukan Tiongkok agar melakukan tindakan tegas terhadap korea Utara
terkait proliferasi nuklirnya dalam sebuah pertemuan nuclear security summit tahun
2012 di Korea Selatan, tahun 2014 di Belanda, dan tahun 2016 di Washington.
Seruan Amerika Serikat kepada Tiongkok tersebut terwujud pada berdirinya
12
Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan. Tujuan dari
berdirinya THAAD tersebut adalah untuk melindungi Korea Selatan dan militer
Amerika Serikat di Korea Selatan dari ancaman rudal Korea Utara. Selain
bekerjasama dengan Korea Selatan, Amerika juga melakukan kerjasama dengan
Jepang berupa perjanjian yang berisi bahwa Amerika akan mengerahkan pesawatpesawat pengintai jarak jauh tanpa awak agar dapat memantau kegiatan maritim di
pasifik, Amerika Serikat akan menempatkan sistem radar X-band di pangkalan udara
Kyogamisaki di pantai barat Jepang, dan Amerika Serikat akan merelokasi 5000
tentara dari Okinawa ke daerah-daerah lain di Pasifik. Adanya seruan-seruan
Amerika Serikat tersebut membuat Security dillemma bagi Tiongkok (Nur Afiyah
Isnaeni, 2017:52).
4. Pengaruh Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terhadap Korea
Utara Pada Sektor Domestik
Perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok terkait erat pada keamanan
nasional dan keberlangsungan hidup sektor domestik. Begitulah keadaan yang
dialami oleh Tiongkok yang mendapat seruan dari negara-negara yang berpengaruh
di dunia yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Faktor keamanan
nasional dan keberlangsungan hidup merupakan sebuah kebutuhan utama suatu
negara maka dari itu Tiongkok melakukan perubahan kebijakan luar negerinya
terhadap
Korea
utara
demi
tetap
terciptanya
keamanan
nasional
dan
keberlangsungan hidup khususnya pada sektor domestik Tiongkok. Perubahan
kebijakan luar negeri Tiongkok terhadap Korea Utara membawa pengaruh pada
keadaan domestik Tiongkok yang didasarkan pada persepsi pemimpin, kekuatan
negara, dan kondisi masyarakat (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:52).
Perubahan keadaan domestik Tiongkok dalam konteks persepsi pemimpin
menjelaskan bahwa ketika saat itu Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping
melakukan perubahan kebijakan luar negerinya terhadap Korea Utara didasarkan
karena seruan Amerika Serikat merupakan sebuah ancamana bagi keamanan
nasional Tiongkok sedangkan apabila keamanan nasional tidak dapat terwujud maka
hal
tersebut
akan
membawa
akibat
pada
pembangunan
ekonomi
yang
membutuhkan kondisi yang stabil dan juga bertentangan dengan semboyannya yaitu
“Peacefull Rise”. Selain hal itu azas Zuo Hao Zhoubian Waijiao Gongzuo yang
13
memiliki makna bahwa menjalin hubungan baik dengan negara tetangga baik
kepada Jepang maupun Korea Selatan (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:52).
Perubahan keadaan domestik Tiongkok dalam konteks kekuataan ekonomi
Tiongkok mengatakan bahwa menurut World Economic Forum tahun 2015 tercatat
Tiongkok menduduki peringkat kedua ekonomi terbesar di dunia. Oleh karena itu
kekuatan utama Tiongkok dalam melakukan diplomasinya adalah pada sektor
ekonominya. Apabila Tiongkok kehilangan partner dagang besar maka kekuatan
ekonomi Tiongkok sebagai basis diplomasinya tersebut juga akan mendapatkan
ancaman bagi keadaan ekonominya. Sementara partner dagang terbesar Tiongkok
terbesar adalah Amerika Serikat, Jepang, dan korea. Dan ketiga partner dagang
terbesar Tiongkok tersebut merupakan yang paling aktif menyerukan pemberhentian
proliferasi nuklir yang dilakukan Korea utara (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:53).
Perubahan keadaan domestik Tiongkok dalam konteks kondisi masyarakat
Tiongkok mengatakan bahwa masyarakat Tiongkok khususnya dalam kelompok
militer dan intelektual berpendapat pasca dilakukannya uji coba nuklir Korea Utara
berimbas pada munculnya berbagai ancaman yang ditujukan ke Tiongkok dan
menganggu jalur penerbangan dengan rute Tokyo – Shenyang karena proses uji
coba nuklir tersebut (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:53).
14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan bilateral yang dibangun oleh Korea utara dan Tiongkok mempunyai
tingkat yang sangat kuat dan bersifat asimetris karena dilatarbelakangi oleh
kedekatan geografis maupun kesamaan ideologi yaitu komunis. Keterlibatan
Tiongkok terhadap Korea Utara dalam perjanjian-perjanjian diantara keduanya
seperti Treaty of Friendship maupun keterlibatan Tiongkok terhadap Perang Korea
Utara 1950 juga menjadi dasar hubungan bilateralnya semakin kuat. Bahkan
ketergantungan Korea Utara di bidang pangan, energi, dan pembangunan pada
Tiongkok
pasca
runtuhnya
Uni
Soviet
dinilai
agar
dapat
memperbaiki
perekonomiannya di kala itu. Sifat asimetris dalam hubungan bilateral antara
keduanya muncul karena pada dasarnya Tiongkok sebenarnya tidak mendapatkan
keuntungan apapun dari Korea Utara. Dapat dianalogikan Tiongkok merupakan
negara yang kuat dan Korea Utara merupakan negara yang lemah sehingga
membutuhkan bantuan dari negara yang kuat seperti Tiongkok. Pertimbangan
hubungan tersebut tetap dilakukan oleh Tiongkok dan mengabaikan sanksi PBB
terhadap Korea Utara agar tidak melakukan ekspor-impor maupun embargo senjata
kecil karena dilatarbelakangi untuk menghindari jatuhnya Korea Utara yang
diramalkan akan menerima gelombang migrasi Korea Utara ke Tiongkok bahkan
kekhawatiran kehilangan investasi dan perusahaan bila Korea Utara dan Selatan
bersatu karena perusahaan-perusahaan besar Tiongkok berada di Korea Utara.
Tetapi keadaan tersebut berubah ketika PBB memberikan sanksi di tahun
2013 dimana Tiongkok memberi dukungan sanksi yang diberikan PBB terhadap
Korea Utara mengenai penghentian uji coba nuklirnya dengan membatasi eksporimpor diantara keduanya salah satunya adalah minyak mentah. Alasan mendasar
Tiongkok melakukan perubahan kebijakan luar negerinya karena basis dasar
Tiongkok dalam diplomatiknya di dunia internasional adalah ekonomi sementara
agar tetap dapat mempertahankan kekuatan ekonominya tersebut membutuhkan
kondisi yang stabil di area kawasan Asia Timur.
15
B. Saran
Penyusunan dan penulisan dalam makalah ini tentu masih membutuhkan
banyak kritik dan saran dari para pembaca maka dari hal tersebut penulis disini
memberikan kesempatan kepada para pembaca agar juga mencari dan membaca
literatur lain agar dapat membandingkan maupun saling melengkapi sehingga
membawa manfaat mengenai studi hubungan internasional khususnya di kawasan
Asia Timur.
16
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hubungan Internasional dan Ruang Lingkupnya
1. Mengkutip pendapat K.J. Hosti dalam buku karya P. Anthonius Sitepu
yang berjudul Studi Hubungan Internasional (2011:19) yang mengatakan
bahwa penggunaan kata hubungan internasional berkaitan erat pada
seluruh interaksi yang terjadi diantara masyarakat negara-negara, yang
dilakukan pemerintah maupun negara-negara. Maka dari hal itu studi
hubungan internasional berkaitan dengan seluruh hubungan antar
berbagai
negara
di
dunia
serta
terkait
pada
lembaga-lembaga
internasional. Seperti Internasional Red Cross (IRC), kepariwisataan,
transportasi, komunikasi, dan lain-lain.
2. Tidak jauh berbeda dengan pendapat K.J Hosti hal senada juga
dikemukakan oleh Theodore A. Coloumbis dalam buku karya P. Anthonius
Sitepu yang berjudul Studi Hubungan Internasional (2011:19) yang
mengatakan bahwa studi hubungan internasional mencakup pada
permasalahan-permasalahan
perang,
konferensi
internasional,
perdagangan internasional, bantuan luar negeri, integrasi regionalisme,
pariwisata internasional, yang seluruhnya merupakan aspek-aspek yang
ada dalam studi hubungan internasional.
3. Hal serupa juga diungkapkan oleh Budiono Kusumohamidjojo dalam buku
karya P. Anthonius Sitepu yang berjudul Studi Hubungan Internasional
(2011:20) yang
mengatakan bahwa
studi
hubungan internasional
merupakan sesuatu hubungan antarbangsa yang meliputi politik, hukum,
ekonomi, hingga diplomasi tetapi lebih menekankan pada aspek politik
dan hukum yang menjadikan keduanya merupakan aspek yang dominan.
Penekanan
pada
aspek
politik
merupakan
aspek
material
yang
dimaksudkan pada kepentingan militer, ekonomi, dan kebudayaan.
Sedangkan
pada
aspek
hukum
merupakan
aspek
formal
yang
dimaksudkan pada suatu bentuk untuk penyelesaian prosedural dari
berbagai kepentingan (interest).
B. Aktor dalam Sistem Hubungan Internasional
3
1. Negara Sebagai Aktor dalam Sistem Hubungan Internasional
Menurut P. Anthonius Sitepu (2011:125) menjelaskan bahwa secara garis
besar aktor-aktor yang berperan dalam hubungan internasional utamanya adalah
aktor negara. Negara (nation-state) telah menjadi aktor (pelaku) utama dalam politik
dan hubungan internasional yang mempunyai sifat istimewa (par-excellence).
Maksud dari negara mempunyai sifat istimewa (par-excellence) adalah dimana
negara merupakan subjek hukum internasional dan negara merupakan pengertian
pokok dari doktrin maupun dari hukum internasional praktis. Sehingga dengan
demikian negara sebagai entitas politik dan hukum internasional yang memiliki
atribut-atribut seperti penduduk, wilayah, pemerintah dan kedaulatan serta
pengakuan dari negara-negara lain. Selain hal tersebut juga tercemin dalam pasca
perang dunia kedua dimana terjadi peningkatan pertumbuhan negara-negara baru
(New Emerging Forces) sebagai anggota dalam masyarakat internasional.
Masyarakat internasional atau organisasi-organisasi internasional dapat diambil
contoh seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada awal mula didirikannya
sekitar tahun 1945 PBB hanya memiliki anggota sekitar 51 negara dan di tahun 1983
PBB sudah memiliki 157 negara serta tentunya akan terus meningkat dari tahun ke
tahun seiring dengan keinginan suatu negara untuk menjalin kerjasama dengan
negara-negara
lain
dalam
pergaulan
internasional
baik
dengan
tujuan
menyelesaikan permasalahan ekonomi dan pembangunan maupun menyelesaikan
problema-problema (masalah) yang tidak dimungkinkan untuk diselesaikan dalam
tingkat nasional sehingga membutuhkan bantuan dunia internasional dalam
menyelesaikannya.
2. Aktor-Aktor Non-Negara (NGO) sebagai Aktor dalam Sistem Hubungan
Internasional
a. Non-Governmental Organization (NGO’s)
Seperti yang dikutip dalam P. Anthonius Sitepu (2011:131) menjelaskan
bahwa aktor-aktor non-negara di dalam terminologi ilmu politik dan hubungan
internasional dapat dibagi ke dalam dua bagian utama yaitu, Intergovernmental
organization (IGO) dan Non-governmental organization (NGO). Adapun yang
dimaksud dengan IGO’s adalah Organisasi Internasional (OI) yang mempunyai
peran sebagai aktor dalam sistem internasional dan yang merupakan dalam kategori
4
IGO’s misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Liga Bangsa-Bangsa (LBB),
North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan lain-lain, dimana terdiri dari susunan
negara-negara, individu-individu, yang
menempatkan
wakil-wakilnya
sebagai
organisasi agar dapat mewakili kepentingan-kepentingan dan kebijaksanaankebijaksanaan politik luar negerinya masing-masing. Lebih lanjut Henderson, 1998
dalam buku karya P. Anthonius Sitepu (2011:132) menjelaskan bahwa peranan
IGO’s di dunia sistem internasional adalah mengatur koorperasi diantara anggotaanggota asosiasinya, mengubungkan agar tetap dapat menjalin komunikasi secara
berkelanjutan,
dan
bekerjasama
keamanan, perkembangan
dalam
bidang
ekonomi, hingga
perdagangan
internasional,
keberlangsungan kesejahteraan
manusia dan HAM. Sedangkan yang termasuk dalam kategori NGO’s misalnya
seperti Internasional Red Cross (IRC), Amnesty Internasional. NGO’s juga
merupakan organisasi-organisasi yang secara tidak langsung berhubungan dengan
kepentingan pemerintah nasional. Lebih lanjut Anthonius Sitepu juga menjelaskan
bahwa organisasi-organisasi non pemerintah (NGO’s) mempunyai tujuan berupa
sosial, ekonomi, dan politik serta suatu struktur dan kelembagaan formal yang besar
serta organisasi-organisasi tersebut memperoleh dana dengan mengumpulkan dana
kemudian mengalokasikannya dan mendistribusikan ke dalam berbagai jenis dan
bentuk informasi. Agar lebih mudah dipahami arti dan tujuan NGO’s merupakan
sebuah organisasi yang otonom dan berfungsi untuk membantu meringankan
negara-negara dalam penyelesaian masalah ataupun dalam perumusan kebijakan
baru ( Minix & Hawley, 1998). Lebih sederhanya tujuan NGO dapat sangat terlihat
jelas apabila misalnya terjadi suatu bencana alam maka disini peran Internasional
Red Cross (IRC) sebagai NGO melakukan kegiatan sosial kemanusiannya
khususnya kesehatan para pengungsi bencana alam tersebut.
b. Multi-National Corporation (MNC’s)
Pada bagian Multi National Corporation (MNC’s) didefinisikan bahwa sebagai
sekumpulan perusahaan yang berasal dari negara-negara yang berbeda dan
bergabung ke dalam atau melalui ikatan-ikatan strategis manajemen bersama.
MNC’s lebih lanjut juga didefinisikan berupa perusahaan-perusahaan yang para
pemimpinnya bekerja dalam suatu pangkalan tetapi aktivitasnya dilakukan di negara
lain (P. Anthonius Sitepu, 2011:135). Contoh dari MNC’s adalah seperti General
Motors (GM), Nestle, FIAT, Exxon, Royal Dutch Shell Mobil, British Petroleum, dan
lain-lain. Lebih lanjut Theodore A. Coulombis & James H. Wolfe dalam buku karya P.
5
Anthonius
Sitepu
menjelaskan
(2011:136)
bahwa
yang
kekuataan
berjudul
Studi
perekonomian
Hubungan
Internasional
perusahaan-perusahaan
multinasional dibandingkan dengan kekuataan perekonomian negara-negara
mengalami perbandingan, dimana MNC’s mempunyai proporsi yang lebih besar
pada perekonomian baik dari luas lingkup dan volume dari perusahaan-perusahaan
multinasional tersebut. Artinya MNC’s mempunyai peranan penting terhadap sistem
internasional dalam kaitannya pada penggerak roda perekonomian di dunia.
C. Konsep Kerjasama dalam Hubungan Internasional
1. Kerjasama Bilateral
Kerjasama bilateral secara singkat dapat diartikan sebagai kerjasama yang
dilakukan oleh dua negara. Contohnya kerjasama antara Indonesia dengan Amerika
Serikat terkait dalam pengelolaan tambang di PT Freeport yang berada di Papua.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Y, Sri, T.D Haryo Tamtomo Dkk (2007:96)
menjelaskan bahwa kerjasama bilateral dapat diartikan sebagai kerjasama yang
dilakukan oleh negara satu dengan negara lain yang terbatas hanya oleh dua
negara saja serta tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja tetapi juga di
dalam bidang lain seperti politik, pertahanan, hingga keamanan. Lebih lanjut
Achmad Roestandi & Zul Afdi Ardian (2007:176) menjelaskan bahwa dalam
kerjasama bilateral terdapat suatu perjanjian yang diantara kedua negara yang
melakukan kerjasama tersebut yang dibuat untuk kepentingan dua negara tersebut
sehingga menutup suatu kemungkinan negara lain untuk turut bergabung dalam
kerjasama yang sudah ditetapkan oleh kedua negara tersebut.
2. Kerjasama Multilateral
Kerjasama Multilateral menurut Y, Sri, T.D Haryo Tamtomo Dkk (2007:100)
menjelaskan bahwa kerjasama yang dilakukan oleh lebih dari dua negara dan
didalamnya terdapat perjanjian yang menyangkut soal kepentingan umum yang
mempunyai arti bahwa tidak terbatas mengatur kepentingan negara-negara yang
mengadakan perjanjian tersebut tetapi juga menyangkut kepentingan negara lain
yang tidak turut serta dalam perjanjian tersebut. Misalnya Indonesia yang melakukan
kerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Asea (MEA), Liga Arab maupun PBB.
6
D. Teori Hubungan Asimetris
Teori
hubungan
asimetris
menjelaskan
bahwa
di
dalam
hubungan
internasional selalu terdapat hubungan bilateral yang asimetris. Hubungan bilateral
yang asimetris ini menggambarkan ada sebuah negara yang lebih kuat dari segi
kekuataan ekonomi, militer, politik, teritori, dan sebagainya. Sementara di pihak lain
ada negara yang tergolong lemah (Womack, 2004:359 dalam Yesaya Anggia,
2016:54). Apabila dianalisis lebih lanjut hubungan bilateral antara keduanya
meskipun asimetris tetapi tidak akan membawa pada dampak instabilitas dalam
sistem internasional. Hal tersebut disebabkan karena salah satunya adalah
hubungan kedua negara tersebut satu sama lain memiliki persepsi yang mampu
membuat kondisi tetap stabil. Pertama, bagi negara yang kuat dengan kekuatan
nasional yang dimilikinya, hubungan bilateral dengan negara kedua yang lebih
lemah dengannya pada dasarnya tidak memiliki keuntungan apapun (Womack,
2004:360 dalam Yesaya Anggia, 2016:54). Tetapi negara yang pertama (kuat) ini
menyadari bahwa hubungan dengan negara kedua (lemah) dipertahankan atas
dasar alasan tertentu (Womack, 2004:360 dalam Yesaya Anggia, 2016:54). Alasan
tertentu tersebut menjaga stabilitas domestik negara tersebut maupun sekitarnya.
Negara kuat lebih mampu mengontrol perilaku negara yang lemah. Kemampuan
seperti itu harus tetap dipertahankan agar negara lemah tidak bertindak diluar batas
norma-norma yang ada. Kedua bagi negara yang lemah hubungan bilateral yang
dibangun dengan negara yang kuat dapat membawa keuntungan karena dapat
memberikan bantuan dan dapat terus bertahan di tengah situasi dan kondisi yang
tidak stabil tersebut (survival) (Womack, 2004:360 dalam Yesaya Anggia, 2016:54).
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Perkembangan Nuklir di Dunia
Sejarah perkembangan senjata nuklir di dunia mulai terlihat pasca Perang
Dingin yang didominasi oleh persaingan dua negara besar yaitu AS dan Uni Soviet.
Pasca terjadinya Perang Dingin kedua negara tersebut senjata nuklir mulai
dikembangkan oleh negara-negara yang ada di dunia dan tidak hanya terbatas pada
negara maju tetapi juga negara-negara berkembang bahkan fakta yang sangat
tampak jelas adalah keterlibatan organisasi-organisasi bukan pemerintah seperti
gerakan terorisme dinilai memiliki andil dalam perkembangan senjata nuklir yang
berujung pada perdagangan gelap senjata nuklir. Para pembuat (produsen) dan
pemilik sekaligus pemakai tidak memperhatikan secara benar akan dampak yang
ditimbulkannya khususnya bahaya radiasi yang ditimbulkan bagi lingkungan dan
keberlangsungan hidup manusia mengenai bahaya suatu nuklir apabila digunakan.
Pengembangan dan kepemilikan senjata nuklir seolah menjadi bias dari bahaya
radiasi yang ditimbulkannya dan bias dari tidak adaya aturan baku yang mengatur
mengenai persenjataan nuklir yang ada di dunia saat ini. Oleh karena hal itu senjata
nuklir menjadi suatu isu yang sangat komplek dengan erat kaitannya dengan
stabilitas kawasan. Beberapa negara dan kaum realis akan menganggap bahwa
proliferasi nuklir akan membawa dampak pada instabilitas dan memicu konflik
antarnegara tetapi pandangan akan menjadi berbeda dengan pandangan negaranegara pengembang senjata nuklir bahwa proliferasi nuklir justru akan membawa
dampak pada meningkatnya stabilitas kawasan (Budi Winarno, 2014:272)
Dalam perkembangannya pasca Perang Dingin banyak negara-negara di
dunia mulai muncul dengan senjata nuklirnya tersebut seperti, Ukraina, Belarus, dan
Kazakstan, India, Pakistan, Iran, bahkan Korea Utara. Bahkan di tahun 1998 negara
India, Pakistan, dan Iran sempat melakukan uji coba nuklirnya yang sangat
mengesampingkan mengenai dampak yang ditimbulkannya pada lingkungan
maupun bagi keberlangsungan hidup di dunia. Bahkan pasca uji coba nuklir yang
dilakukan oleh negara-negara tersebut menimbulkan persoalan baru juga mengenai
sampah nuklir. Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) belum bisa mengikat
secara pasti mengenai pengembangan dan penggunaan senjata nuklir karena masih
8
terbatas pada negara-negara yang menandatangani saja. Begitu juga dengan isu-isu
senjata nuklir yang dinilai berbanding lurus dengan ancaman militer yang
dimanfaatkan oleh kelompok separatis atau teroris. Kelompok separatis atau teroris
memanfaatkan kepemilikan link dengan negara atau kelompok para pembuat
senjata nuklir dengan melakukan perdagangan pasar gelap agar dapat melakukan
penyeledupan lalu menjualnya kepada pihak-pihak lain secara ilegal dan
mendapatkan keuntungan uang dalam jumlah yang besar bagi kelompok separatis
atau teroris yang memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut. Cara berpikir
kelompok separatis tersebut sama halnya dengan konsep deterrence, dimana
negara A menjadi ancaman bagi negara B yang merupakan negara tetangga A
sehingga dinilai penting bagi negara B untuk melakukan pengembangan teknologi
yang sama bahkan cara-cara ilegal juga sering dilakukan. Pergeseran makna
kepemilikan senjata nuklir yang pada awalnya digunakan sebagai senjata untuk
perang beralih menjadi sebuah keuntungan politik dan dan prestise yang dinilai
sebagai suatu bentuk persenjataan maupun perlindungan yang sangat modern
sehingga senantiasa membawa efek pada suatu negara yang memilikinya pada
suatu momentum perundingan dalam permasalahan internasional. Beberapa
pendapat dalam isu senjata nuklir ini adalah dimana keberadaan proliferasi nuklir
tersebut justru akan membawa dampak pada terciptanya stabilitas kawasan, di satu
sisi juga penggunaan proliferasi nuklir yang sempat dilakukan oleh India dan
pakistan telah dipertimbangkan faktor kehati-hatian yang baru dalam pengambilan
keputusan maupun menciptakan stabilitas strategik diantara kedua negara tersebut.
Di sisi lain juga proliferasi nuklir justru akan memunculkan sebuah situasi security
dilemma di tengah masyarakat dunia. Carl Sagan dalam Budi Winarno (2014:273)
juga
menekankan bahwa
yang
terpenting adalah
mendorong pengaturan-
pengaturan alternatif terkait tuntutan mendapatkan senjata nuklir dan memperkuat
adanya perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT) secara global (Budi Winarno,
2014:273).
B. Hubungan Bilateral Korea Utara dengan Tiongkok
1. Dukungan Diplomatis Tiongkok Terhadap Korea Utara
Hubungan yang dibangun oleh Korea Utara dan Tiongkok yang dinamakan
hubungan bilateral dilatarbelakangi oleh kedekatan geografis maupun kesamaan
ideologi. Kedekatan geografis Korea Utara dan Tiongkok tercipta karena secara
9
geografis keduanya yang berada di kawasan Asia Timur dan kedua negara tersebut
berbatasan langsung. Sedangkan pada aspek kesamaan ideologi yang dimiliki yaitu
ideologi komunis membawa Tiongkok terlibat pada Perang Korea Utara di tahun
1950. Berdasarkan sejarah singkat keterlibatan Tiongkok dalam Perang Korea
tersebut menjadi awal hubungan keduanya atau yang sering disebut dengan “Blood
Alliance” (Beina dan Bajoria, 2006 dalam council on Foreign Relations).
Tidak hanya terbatas pada pada kedekatan geografis dan kesamaan ideologi
komunis diantara keduanya tetapi juga didukung oleh suatu perjanjian di tahun 1961
yang dinamakan Treaty of Friendship, Coorperation and Mutual Assistance. Isi dari
perjanjian tersebut adalah mengatur tentang bantuan yang saling menguntungkan
baik antara Korea Utara dengan Tiongkok dan mewajibkan untuk saling
berkonsultasi terkait isu internasional yang berpengaruh terhadap keduanya.
Perjanjian berlaku jika adanya kesepakatan perubahan ataupun penghentian dari
kedua belah pihak. Perjanjian tersebut tidak menjadi satu-satunya faktor kuat dalam
persekutannya melainkan juga ada faktor lain seperti pasca runtuhnya Uni Soviet di
tahun 1991 yang menyebabkan Korea Utara bergantung kepada Tiongkok dengan
tujuan untuk mengembalikan perekonomiannya. Fokus ketergantungannya terletak
pada sektor penting seperti energi, pangan, dan pembangunan. Persoalan Korea
Utara tersebut bukan sesuatu yang sulit bagi Tiongkok karena pasca kebijakan open
door policy oleh Deng Xiaoping membawa dampak pada peningkatan ekonomi
Tiongkok yang sangat signifikan (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:50).
Bentuk dukungan yang diberikan oleh Tiongkok kepada Korea Utara tidak
hanya dalam bidang ekonomi saja tetapi juga dalam dukungan diplomatis. Tiongkok
dianggap sebagai sebuah negara penting bagi Korea Utara menggingat Tiongkok
adalah salah satu anggota dewan keamanan PBB. Tingkat pentingnya Tiongkok
terhadap Korea Utara terlihat pasca pengunduran diri Korea utara pada
keanggotaan Non-Proliferation Treaty sehingga untuk melancarkan proliferasi
nuklirnya Korea Utara menjalin dan membutuhkan dukungan diplomatis dari
Tiongkok. Korea Utara sendiri sudah pernah tercatat melakukan uji coba nuklirnya di
tahun 2006, 2009, 2013, dan 2017 (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:51).
Setelah peluncuran uji coba nuklirnya, PBB memberikan sanksi kepada Korea
Utara berupa larangan ekspor-impor berupa kendaraan maupun embargo seluruh
10
senjata. Tetapi hal tersebut justru mendapatkan penolakan dari Tiongkok dan tetap
memberikan dukungan kepada Korea utara berupa dukungan diplomatis. Bentuk
dukungan diplomatis yang dilakukan Tiongkok terhadap Korea Utara adalah dengan
tidak menerapkan sanksi sepenuhnya yang diberikan oleh PBB kepada Korea Utara.
Hal tersebut terlihat jelas pada sanksi PBB terhadap Korea Utara mengenai uji coba
nuklirnya yang tertuang dalam Resolusi 1718 tahun 2006, Resolusi 1874 tahun
2009, dan Resolusi 2094 tahun 2013. Berdasarkan laporan dari Global Trade Atlas
tahun 2006, 2007, 2009, 2009, dan 2010 terlihat jelas bahwa Tiongkok memberikan
dukungan diplomatis berupa tetap melakukan ekspor kendaraan ke Korea Utara
pada tahun 2007 sehingga hal tersebut bertentangan dengan Resolusi 1718 tahun
2006 mengenai larangan eskpor-impor kendaraan yang dapat mendorong terjadinya
provokasi seperti pesawat tempur, kapal perang, maupun kendaraan lapis baja.
Dukungan diplomatis Tiongkok ke Korea utara juga terlihat jelas pada kegiatan
ekspor senjata Tiongkok ke Korea Utara yang bertentangan dengan Resolusi 1874
tahun 2009 mengenai embargo semua jenis senjata kecil ke Korea Utara. Seperti
yang telah dilansir oleh Arms Control Association tahun 2013 mengatakan bahwa
Tiongkok melalui perwakilan diplomatiknya menekankan kepada PBB agar
menggunakan cara-cara lain diluar sanksi yang mempunyai sifat memaksa dan
Tiongkok juga menekankan agar Resolusi PBB tidak memberikan dampak negatif
terkait pembangunan ekonomi di Korea utara (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:51).
Dukungan diplomatis Tiongkok terhadap Korea Utara dalam hubungan
internasional merupakan hubungan bilateral yang asimetris. Padahal secara nyata
dalam teorinya Tiongkok tidak mendapatkan keuntungan yang berarti dari
mempertahankan hubungan bilateralnya terhadap Korea Utara. Motif utama
Tiongkok masih mempertahankan hubungan bilateralnya terhadap Korea Utara
adalah mencegah instabilitas di Korea Utara. Apabila Korea Utara mengalami
instabilitas maka secara langsung Tiongkok akan menerima beban dari adanya
gelombang migrasi penduduk padahal penduduk Tiongkok merupakan penduduk
terbanyak di dunia. Kedua adalah menghindari terjadinya penyatuan antara Korea
Utara dengan Korea Selatan karena apabila keduanya bersatu maka Tiongkok akan
mengalami gangguan dalam investasinya yang disebabkan oleh banyaknya
perusahaan Tiongkok yang berdiri dan berinvestasi di Korea Utara serta ancaman
11
akan kehilangan pangkalan militer di kawasan Asia Timur (XU & Bajoria, 2014 dalam
Yesaya Anggia, 2016:50).
2. Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terhadap Korea Utara
Seiring perkembangan waktu hubungan bilateral yang asimetris antara Korea
Utara dengan Tiongkok mulai mengalami kemunduran. Hal tersebut terlihat pada
dukungan diplomatis yang diberikan oleh Tiongkok terhadap Korea Utara yang pada
awal mulanya mendukung penuh Korea utara terhadap Resolusi 1718 tahun 2006
mengenai larangan ekspor-impor kendaraan yang dapat mendorong terjadinya
provokasi dan Resolusi 1874 tahun 2009 mengenai embargo semua jenis senjata
kecil ke Korea Utara yang dijatuhi sanksi oleh PBB menjadi berubah tidak
memberikan dukungan diplomatis kepada Korea Utara di Resolusi 2094 tahun 2013.
Perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok di peluncuran uji coba nuklir ketiga di
tahun 2013 yang dilakukan oleh Korea Utara adalah dengan memberikan dukungan
sepenuhnya terhadap sanksi PBB berupa Resolusi 2094 tahun 2013 kepada Korea
Utara. Bentuk dukungan Tiongkok terhadap sanksi PBB di Resolusi 2094 tahun
2013 adalah dengan memanggil duta besar Korea Utara dan meyerukan
pembicaraan mengenai denuklirisasi, menerapkan sanksi Resolusi 2094 dengan
tidak mengekspor barang mewah seperti emas dan permata, dan Tiongkok hanya
melakukan ekspor berupa perak, perhiasan imitasi dan lukisan dengan nilai tidak
lebih dari US$ 322 ribu dan melakukan embargo minyak mentah terhadap Korea
Utara (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:51).
3. Pengaruh Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terhadap Korea
Utara di Dunia Internasional
Perubahan sikap yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap Korea Utara
dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi dunia internasional dan perubahan kondisi
domestik Tiongkok. Situasi dan kondisi dunia internasional yang melakukan desakan
kepada Tiongkok agar melakukan tindakan tegas terhadap Korea Utara yang
merupakan sekutunya. Pada saat itu Amerika dibawah kepemimpinan Barack
Obama menyerukan Tiongkok agar melakukan tindakan tegas terhadap korea Utara
terkait proliferasi nuklirnya dalam sebuah pertemuan nuclear security summit tahun
2012 di Korea Selatan, tahun 2014 di Belanda, dan tahun 2016 di Washington.
Seruan Amerika Serikat kepada Tiongkok tersebut terwujud pada berdirinya
12
Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan. Tujuan dari
berdirinya THAAD tersebut adalah untuk melindungi Korea Selatan dan militer
Amerika Serikat di Korea Selatan dari ancaman rudal Korea Utara. Selain
bekerjasama dengan Korea Selatan, Amerika juga melakukan kerjasama dengan
Jepang berupa perjanjian yang berisi bahwa Amerika akan mengerahkan pesawatpesawat pengintai jarak jauh tanpa awak agar dapat memantau kegiatan maritim di
pasifik, Amerika Serikat akan menempatkan sistem radar X-band di pangkalan udara
Kyogamisaki di pantai barat Jepang, dan Amerika Serikat akan merelokasi 5000
tentara dari Okinawa ke daerah-daerah lain di Pasifik. Adanya seruan-seruan
Amerika Serikat tersebut membuat Security dillemma bagi Tiongkok (Nur Afiyah
Isnaeni, 2017:52).
4. Pengaruh Perubahan Kebijakan Luar Negeri Tiongkok Terhadap Korea
Utara Pada Sektor Domestik
Perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok terkait erat pada keamanan
nasional dan keberlangsungan hidup sektor domestik. Begitulah keadaan yang
dialami oleh Tiongkok yang mendapat seruan dari negara-negara yang berpengaruh
di dunia yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Faktor keamanan
nasional dan keberlangsungan hidup merupakan sebuah kebutuhan utama suatu
negara maka dari itu Tiongkok melakukan perubahan kebijakan luar negerinya
terhadap
Korea
utara
demi
tetap
terciptanya
keamanan
nasional
dan
keberlangsungan hidup khususnya pada sektor domestik Tiongkok. Perubahan
kebijakan luar negeri Tiongkok terhadap Korea Utara membawa pengaruh pada
keadaan domestik Tiongkok yang didasarkan pada persepsi pemimpin, kekuatan
negara, dan kondisi masyarakat (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:52).
Perubahan keadaan domestik Tiongkok dalam konteks persepsi pemimpin
menjelaskan bahwa ketika saat itu Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping
melakukan perubahan kebijakan luar negerinya terhadap Korea Utara didasarkan
karena seruan Amerika Serikat merupakan sebuah ancamana bagi keamanan
nasional Tiongkok sedangkan apabila keamanan nasional tidak dapat terwujud maka
hal
tersebut
akan
membawa
akibat
pada
pembangunan
ekonomi
yang
membutuhkan kondisi yang stabil dan juga bertentangan dengan semboyannya yaitu
“Peacefull Rise”. Selain hal itu azas Zuo Hao Zhoubian Waijiao Gongzuo yang
13
memiliki makna bahwa menjalin hubungan baik dengan negara tetangga baik
kepada Jepang maupun Korea Selatan (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:52).
Perubahan keadaan domestik Tiongkok dalam konteks kekuataan ekonomi
Tiongkok mengatakan bahwa menurut World Economic Forum tahun 2015 tercatat
Tiongkok menduduki peringkat kedua ekonomi terbesar di dunia. Oleh karena itu
kekuatan utama Tiongkok dalam melakukan diplomasinya adalah pada sektor
ekonominya. Apabila Tiongkok kehilangan partner dagang besar maka kekuatan
ekonomi Tiongkok sebagai basis diplomasinya tersebut juga akan mendapatkan
ancaman bagi keadaan ekonominya. Sementara partner dagang terbesar Tiongkok
terbesar adalah Amerika Serikat, Jepang, dan korea. Dan ketiga partner dagang
terbesar Tiongkok tersebut merupakan yang paling aktif menyerukan pemberhentian
proliferasi nuklir yang dilakukan Korea utara (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:53).
Perubahan keadaan domestik Tiongkok dalam konteks kondisi masyarakat
Tiongkok mengatakan bahwa masyarakat Tiongkok khususnya dalam kelompok
militer dan intelektual berpendapat pasca dilakukannya uji coba nuklir Korea Utara
berimbas pada munculnya berbagai ancaman yang ditujukan ke Tiongkok dan
menganggu jalur penerbangan dengan rute Tokyo – Shenyang karena proses uji
coba nuklir tersebut (Nur Afiyah Isnaeni, 2017:53).
14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan bilateral yang dibangun oleh Korea utara dan Tiongkok mempunyai
tingkat yang sangat kuat dan bersifat asimetris karena dilatarbelakangi oleh
kedekatan geografis maupun kesamaan ideologi yaitu komunis. Keterlibatan
Tiongkok terhadap Korea Utara dalam perjanjian-perjanjian diantara keduanya
seperti Treaty of Friendship maupun keterlibatan Tiongkok terhadap Perang Korea
Utara 1950 juga menjadi dasar hubungan bilateralnya semakin kuat. Bahkan
ketergantungan Korea Utara di bidang pangan, energi, dan pembangunan pada
Tiongkok
pasca
runtuhnya
Uni
Soviet
dinilai
agar
dapat
memperbaiki
perekonomiannya di kala itu. Sifat asimetris dalam hubungan bilateral antara
keduanya muncul karena pada dasarnya Tiongkok sebenarnya tidak mendapatkan
keuntungan apapun dari Korea Utara. Dapat dianalogikan Tiongkok merupakan
negara yang kuat dan Korea Utara merupakan negara yang lemah sehingga
membutuhkan bantuan dari negara yang kuat seperti Tiongkok. Pertimbangan
hubungan tersebut tetap dilakukan oleh Tiongkok dan mengabaikan sanksi PBB
terhadap Korea Utara agar tidak melakukan ekspor-impor maupun embargo senjata
kecil karena dilatarbelakangi untuk menghindari jatuhnya Korea Utara yang
diramalkan akan menerima gelombang migrasi Korea Utara ke Tiongkok bahkan
kekhawatiran kehilangan investasi dan perusahaan bila Korea Utara dan Selatan
bersatu karena perusahaan-perusahaan besar Tiongkok berada di Korea Utara.
Tetapi keadaan tersebut berubah ketika PBB memberikan sanksi di tahun
2013 dimana Tiongkok memberi dukungan sanksi yang diberikan PBB terhadap
Korea Utara mengenai penghentian uji coba nuklirnya dengan membatasi eksporimpor diantara keduanya salah satunya adalah minyak mentah. Alasan mendasar
Tiongkok melakukan perubahan kebijakan luar negerinya karena basis dasar
Tiongkok dalam diplomatiknya di dunia internasional adalah ekonomi sementara
agar tetap dapat mempertahankan kekuatan ekonominya tersebut membutuhkan
kondisi yang stabil di area kawasan Asia Timur.
15
B. Saran
Penyusunan dan penulisan dalam makalah ini tentu masih membutuhkan
banyak kritik dan saran dari para pembaca maka dari hal tersebut penulis disini
memberikan kesempatan kepada para pembaca agar juga mencari dan membaca
literatur lain agar dapat membandingkan maupun saling melengkapi sehingga
membawa manfaat mengenai studi hubungan internasional khususnya di kawasan
Asia Timur.
16