Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial (1)
Tinjauan Pustaka
Diagnosis dan Tatalaksana
Asma Bronkial
Iris Rengganis
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara
umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan
lingkungan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis.
Tatalaksana asma yang efektif merupakan hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien,
dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan
pasien.
Kata kunci: asma, inflamasi kronik, faktor risiko, kontrol asma, edukasi
Diagnosis and Management of Bronchial Asthma
Iris Rengganis
Department of Internal Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia,
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways associated with airway
hyperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. These episodes are usually associated with widespread, but variable, airflow
obtruction. Factors that influence the risk of asthma can be divided into those that trigger asthma
symptoms, the former include host factors which are primarily genetic and the later are environmental factors. The goal of asthma treatment is to achieve and maintain clinical control. The
effective management of asthma requires the development of a partnership between doctor and
patient. Education should be an integral part of all interactions between doctors and patients.
Keywords: asthma, chronic inflammation, risk factor, asthma control, education
444
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran
napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak
di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun
terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara
maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik
seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini
menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat
dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian
gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan
manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for
Asthma (GINA).1,2
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara
pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun
dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995
melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada
anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang
dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD
(6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada
anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.3
Definisi Asma
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan
patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode
obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan
arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang
dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.1,2,4
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan
lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma
didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik
saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik
berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di
dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1
Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obatobat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi
pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat
antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam
penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral,
inhalasi maupun sistemik.1,2,4
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi
melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan
fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu
akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus
kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen
dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan
sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan
vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi.1,3-6
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur
secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif
445
Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial
beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,
inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2
Faktor Risiko Asma1,2,7-10
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor
genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum
usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah
1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan
pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI),
merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti
leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki
gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur,
kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing,
dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet,
dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan
lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
446
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma
yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya
belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi
paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur
seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma
pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita
asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas
tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga
(serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi
Klasifikasi Asma1,2
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum,
yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat
berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau
serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari
derajat sebelumnya.
Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma
menurut etiologi, terutama dengan bahan lingkungan yang
mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh
karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk
menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan
asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai
intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara.
Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial
tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu
tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan
pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan
mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan
dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal
yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit,
pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi
itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan
asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta
obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma
dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi
serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga
dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi
paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut
adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan
asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan
antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak
harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus
diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang
datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.
Diagnosis Asma1,2
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga
penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing)
berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak
ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa
sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan
gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran
respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan
menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol.
Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian
kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma
antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis
alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau
pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang Dewasa1
Derajat Asma
Gejala
Intermiten
Bulanan
Gejala 1x/minggu tetapi80% nilai prediksi APE
>80% nilai terbaik
- Variabiliti APE 80%
>2 kali sebulan
-
Persisten sedang
.
Harian
Gejala setiap hari.Serangan mengganggu aktivitas
dan tidur. Bronkodilator setiap hari.
Persisten berat
.
Kontinyu
Gejala terus menerus.
Sering kambuh.
Aktivitas fisik terbatas
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
>2 kali sebulan
Sering
VEP1 >80% nilai prediksi APE
>80% nilai terbaik.
Variabiliti APE 20-30%.
APE 60-80%
- VEP1 60-80% nilai prediksi APE
60-80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE >30%.
APE
Diagnosis dan Tatalaksana
Asma Bronkial
Iris Rengganis
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara
umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan
lingkungan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis.
Tatalaksana asma yang efektif merupakan hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien,
dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan
pasien.
Kata kunci: asma, inflamasi kronik, faktor risiko, kontrol asma, edukasi
Diagnosis and Management of Bronchial Asthma
Iris Rengganis
Department of Internal Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia,
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways associated with airway
hyperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. These episodes are usually associated with widespread, but variable, airflow
obtruction. Factors that influence the risk of asthma can be divided into those that trigger asthma
symptoms, the former include host factors which are primarily genetic and the later are environmental factors. The goal of asthma treatment is to achieve and maintain clinical control. The
effective management of asthma requires the development of a partnership between doctor and
patient. Education should be an integral part of all interactions between doctors and patients.
Keywords: asthma, chronic inflammation, risk factor, asthma control, education
444
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran
napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak
di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun
terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara
maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik
seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini
menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat
dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian
gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan
manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for
Asthma (GINA).1,2
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara
pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun
dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995
melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada
anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang
dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD
(6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada
anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.3
Definisi Asma
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan
patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode
obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan
arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang
dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.1,2,4
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan
lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma
didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik
saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik
berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di
dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1
Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obatobat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi
pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat
antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam
penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral,
inhalasi maupun sistemik.1,2,4
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi
melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan
fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu
akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus
kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen
dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan
sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan
vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi.1,3-6
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur
secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif
445
Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial
beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,
inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2
Faktor Risiko Asma1,2,7-10
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor
genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum
usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah
1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan
pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI),
merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti
leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki
gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur,
kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing,
dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet,
dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan
lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
446
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma
yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya
belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi
paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur
seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma
pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita
asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas
tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga
(serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi
Klasifikasi Asma1,2
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum,
yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat
berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau
serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari
derajat sebelumnya.
Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma
menurut etiologi, terutama dengan bahan lingkungan yang
mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh
karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk
menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan
asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai
intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara.
Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial
tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu
tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan
pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan
mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan
dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal
yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit,
pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi
itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan
asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta
obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma
dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi
serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga
dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi
paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut
adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan
asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan
antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak
harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus
diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang
datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.
Diagnosis Asma1,2
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga
penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing)
berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak
ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa
sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan
gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran
respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan
menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol.
Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian
kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma
antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis
alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau
pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang Dewasa1
Derajat Asma
Gejala
Intermiten
Bulanan
Gejala 1x/minggu tetapi80% nilai prediksi APE
>80% nilai terbaik
- Variabiliti APE 80%
>2 kali sebulan
-
Persisten sedang
.
Harian
Gejala setiap hari.Serangan mengganggu aktivitas
dan tidur. Bronkodilator setiap hari.
Persisten berat
.
Kontinyu
Gejala terus menerus.
Sering kambuh.
Aktivitas fisik terbatas
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008
>2 kali sebulan
Sering
VEP1 >80% nilai prediksi APE
>80% nilai terbaik.
Variabiliti APE 20-30%.
APE 60-80%
- VEP1 60-80% nilai prediksi APE
60-80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE >30%.
APE