TUGAS Gender dan Penyakit Tuberkulosis P

TUGAS
Gender dan Penyakit Tuberkulosis Paru: Implikasinya Terhadap
Akses Layanan Kesehatan
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ketidaksetaraan Akses dan
Kesehatan Gender, Etnisitas, Disabilitas dan Advokasinya
Dosen Pengampu : dr. Afiono Agung Prasetyo, Ph. D.

Disusun oleh :
NAMA
NIM
MINAT
SEMESTER

: ANGGITYAS ALFIANRISA
: S021508003
: PROMOSI DAN PERILAKU KESEHATAN
:2

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN
MASYARAKAT

UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016

Gender dan Penyakit Tuberkulosis Paru: Implikasinya Terhadap Akses
Layanan Kesehatan
Anggityas Alfianrisa
Abstrak
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru.
Berdasarkan data dari kabupaten/kota, proporsi kasus baru tuberkulosis paru
terkonfirmasi bakteriologis (BTA positif) diantara seluruh kasus TB paru tercatat
di Jawa Tengah sebesar 61,09% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014).
Tuberkulosis paru banyak menyerang kelompok usia produktif dan berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah. Sejak tahun
2000, strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK) terutama puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan
kesehatan dasar. Penemuan dan penyembuhan pasien merupakan cara terbaik
dalam upaya pencegahan penularan tuberkulosis paru. Namun angka drop out
yang merupakan kegagalan pengobatan tuberkulosis paru di Indonesia masih tetap
tinggi. Hal ini disebabkan oleh belum terpecahkan berbagai faktor penyebab drop

out yang tidak terbatas pada masalah status perekonomian, gizi, keterjangkauan
pelayanan yang berkualitas, tingkat pendidikan, serta masalah sosial budaya yang
rendah termasuk didalamnya ketimpangan gender dalam masyarakat.
Kata kunci : Gender, Tuberkulosis Paru, Akses Pelayanan.

PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru (Depkes,
2014). Berdasarkan WHO pada tahun 2013, terdapat 6,1 juta kasus TB Paru. Dari
jumlah kasus tersebut, 5,7 juta adalah orang-orang yang baru didiagnosis dan
0,4 juta

lainnya sudah

dalam

pengobatan. Meskipun prevalensi TB Paru

menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, namun jumlah
penderita penyakit TB Paru di Indonesia masih terbilang tinggi karena jumlah

penderita TB di Indonesia menempati peringkat empat terbanyak di seluruh dunia
setelah China, India, dan Afrika Selatan (WHO, 2014). Berdasarkan data dari
kabupaten/kota, proporsi kasus baru tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis
(BTA positif) diantara seluruh kasus TB paru tercatat di Jawa Tengah sebesar
61,09% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Tuberkulosis paru banyak
menyerang kelompok usia produktif dan berasal dari kelompok sosial ekonomi
rendah dan tingkat pendidikan yang rendah. Sejak tahun 2000, strategi DOTS
dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK)
terutama puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar
(Depkes, 2014).
Fokus utama directly observed treatment shorcourse chemotherapy
(DOTS) adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien tuberkulosis paru tipe menular. Penemuan dan penyembuhan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan tuberkulosis paru.
Namun angka drop out yang merupakan kegagalan pengobatan tuberkulosis paru
di Indonesia masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh belum terpecahkan
berbagai faktor penyebab drop out yang tidak terbatas pada masalah status
perekonomian, gizi, keterjangkauan pelayanan yang berkualitas, tingkat
pendidikan, serta masalah sosial budaya yang rendah termasuk didalamnya
ketimpangan gender dalam masyarakat. Padahal perbedaan sosial termasuk

identitas gender yang merupakan penyebab utama kesenjangan sehingga pada
akhirnya mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Perbedaan pencapaian
program penanggulangan tuberkulosis paru antara laki-laki dan perempuan dapat
menggambarkan perbedaan biologis jenis kelamin dalam epidemologi penyakit

tuberkulosis paru. Namun, perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan
dapat juga berpengaruh pada faktor risiko akses pelayanan kesehatan (WHO,
2012).
PEMBAHASAN
Penemuan pasien tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, yaitu
penjaringan tersangka penderita dilakukan pada mereka yang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan rumah sakit. Penemuan secara pasif tersebut didukung
dengan promosi aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan kasus (Depkes, 2014). Penderita yang
mendapat pemeriksaan dan pengobatan adalah mereka yang berkunjung ke
fasilitas pelayanan kesehatan, sementara penularan terus terjadi melalui kontak
antara anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan penderita (Kodim, 2012).
Penemuan kasus tuberkulosis paru dapat dilihat dari jumlah pasien yang sudah
mendapatkan pelayanan di rumah sakit atau puskesmas (Depkes, 2014). Umur
penyakit tuberkulosis paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia

produktif, yaitu 15-50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi, menyebabkan
usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk penyakit tuberkulosis paru (Manalau, 2012).
WHO menyebutkan bahwa insiden dan prevalensi tuberkulosis paru lebih
banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dewasa daripada perempuan
dewasa. Angka insiden tuberkulosis paru lebih tinggi ditemukan pada laki-laki
pada semua kategori umur kecuali pada usia anak-anak dimana jenis kelamin
perempuan mendominasi. Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan yaitu hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada
perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Depkes RI, 2014). Hal ini
seperti pada hasil penelitian di Kabupaten Rejang Lebong yang menyatakan
bahwa menurut jenis kelamin, kejadian tuberkulosis paru sebagian besar (66%)
terjadi pada laki-laki (Simbolon, 2007). Sedangkan, angka prevalensi tuberkulosis
paru dari beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa perbedaan jenis

kelamin mulai terlihat pada usia 10-16 tahun, penderita laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan (Rokhmah, 2013). Pada laki-laki penyakit tuberkulosis paru
lebih tinggi dibandingkan pada perempun karena kebiasaan laki-laki yang sering

merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol yang dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh. Sehingga wajar bila perokok dan peminum alkohol sering
disebut sebagai agen dari penyakit tuberkulosis paru. Perbedaan insiden penyakit
menurut jenis dapat timbul karena bentuk anatomis, bentuk fisiologis dan sistem
hormonal yang berbeda (Korua, 2015). Hasil yang hampir sama ditemukan di
Tamil Nadu India, yang menyebutkan bahwa angka prevalensi penyakit
tuberkulosis paru BTA positif lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan
dengan rasio sebesar 6,5:1 (Rokhmah, 2013). Kondisi tersebut sesuai dengan hasil
penelitian WHO yang menyebutkan bahwa penemuan kasus tuberkulosis paru
BTA positif pada perempuan lebih sedikit daripada laki-laki berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum.
Pada rentang usia 0-34 tahun, pasien tuberkulosis paru lebih banyak
ditemukan pada perempuan. Hal ini disebabkan oleh kultur budaya patriaki yang
banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia. Laki-laki memiliki akses kesehatan
yang lebih baik daripada perempuan. Selain itu, pada keluarga miskin, pemenuhan
kebutuhan pangan jauh lebih mendesak daripada kebutuhan akan kesehatan
karena mereka memiliki keterbatasan sumber daya (Ganapathy dkk, 2008). Hal ini
disebabkan oleh rendahnya posisi perempuan dalam pengambilan keputusan
dalam keluarga sehingga akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber
daya untuk kesehatan sangat terbatas (Rokhmah, 2011).

Pasien tuberkulosis paru perempuan memiliki tingkat sosial ekonomi yang
lebih rendah daripada laki-laki dalam hal tingkat pendidikan, kondisi lingkungan
kerja, dan lingkungan tempat tinggal, Tungdim dan Kapoor ( 2010). Karena peran
domestik yang dominan di rumah tangga, perempuan banyak berdiam di rumah
dengan pencahayaan dan ventilasi yang buruk. Kondisi ini menambah risiko
terinfeksi tuberkulosis paru. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa pada usia
bayi, anak-anak, hingga usia dewasa awal, kaum perempuan masih memiliki akses
yang baik dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Namun, ketika
memasuki usia dewasa kaum perempuan tidak mendapatkan akses pelayanan

kesehatan yang memadai. Padahal, perempuan yang memasuki usia dewasa dan
sudah menikah, memiliki beban ganda tidak hanya menyangkut diri pribadinya,
tetapi juga menyangkut keluarganya, yaitu melayani suami dan sebagai pengasuh
anak-anaknya. Perempuan memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi yang
dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental. Hak tersebut penting untuk
kehidupan dan kebaikan mereka serta kemampuan mereka untuk berpartisipasi
dalam seluruh kegiatan masyarakat dan kehidupan pribadi, Wend dan Shireen
(2010). Penyakit tuberkulosis paru berhubungan sangat erat dengan kemiskinan
yang menyebabkan kurangnya asupan gizi, permukiman yang tidak sehat, dan
akses pelayanan kesehatan yang rendah.

Penyakit tuberkulosis paru yang umumnya menyerang kelompok usia
produktif, dapat berdampak langsung dan tidak langsung terhadap ekonomi
keluarga. Dampak langsung berupa biaya pengobatan, sedangkan dampak tidak
langsung berupa hilangnya produktivitas kerja sehingga berdampak pada masalah
sosial, keluarga, dan masyarakat. Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO,
sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal
aikibat tuberkulosis paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih
banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh tuberkulosis paru dibandingkan
dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki
penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga
dapat menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar
dengan agent penyebab tuberkulosis paru (Manalau, 2010). Angka yang lebih
rendah pada pasien tuberkulosis paru perempuan dari pada pasien laki-laki
merupakan konsekuensi dari rendahnya proporsi perempuan dibandingkan lakilaki pada penderita tuberkulosis paru yang mengunjungi fasilitas pelayanan
kesehatan dan menyerahkan sampel dahak atau sputum untuk dilakukan tes
laboratorium, dengan alasan kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan,
mengutamakan jasa dukun tradisional, serta adanya kekhawatiran akan munculnya
stigma pada pasien tuberkulosis paru perempuan. Stigma pasien tuberkulosis paru
lebih mudah diterima kaum perempuan daripada laki-laki ketika sudah menikah
(Ganapathy dkk, 2008).


Masalah sosial seperti perceraian dan kesempatan kerja lebih banyak
diderita perempuaan. Sekali perempuan didiagnosa positif tuberkulosis paru,
maka ia akan mendapat stigma lebih berat daripada laki-laki (Makarao, 2009).
Analisis perbedaan gender mengindikasikan bahwa perempuan yang telah
didiagnosis tuberkulosis paru kemudian melakukan pengobatan tuberkulosis paru
lebih patuh untuk menuntaskan pengobatan daripada laki-laki (Rokhmah, 2013).
Hal ini dibuktikan dengan data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
jumlah pasien tuberkulosis paru yang kambuh lebih banyak terdapat pada pasien
laki-laki daripada pasien perempuan. Dalam proses pengobatan pasien
tuberkulosis paru, secara keseluruhan jumlah pasien laki-laki lebih banyak
daripada pasien perempuan. Karena pasien perempuan mendapatkan kesempatan
yang lebih sedikit dibandingkan dengan pasien laki-laki dalam mendapatkan
pengobatan. Kondisi perempuan yang lebih sedikit mendapat kesempatan untuk
sembuh dari penyakit tuberkulosis paru terjadi akibat dari kemiskinan sehingga
pada pasien laki-laki lebih cepat terdiagnosis dan memperoleh pengobatan secara
dini, karena mereka lebih banyak di luar rumah dan mempunyai penghasilan
sendiri. Perempuan seringkali menunda berobat karena mereka terlalu sibuk di
rumah; perempuan menunda berobat karena mereka tidak dapat pergi jauh dari
rumah; perempuan enggan menggunakan keuangan keluarga untuk kesehatannya;

perempuan tidak mempunyai akses untuk menggunakan uang, meskipun untuk
kepentingan pengobatan penyakit (Makarao, 2009).
Penting untuk dipahami bahwa kemiskinan bukan hanya terjadi akibat
struktur yang tidak memihak, tetapi juga karena rendahnya perlindungan
komunitas atas kepemilikan dan pengelolaan aset oleh perempuan. Rendahnya
kontrol perempuan terhadap aset keluarga dan sumber daya adalah pendorong
terjebaknya perempuan dalam lingkaran kemiskinan (Rokhmah, 2013). Sudah
saatnya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki dalam pengelolaan
sumber daya dalam keluarga, termasuk penggunaannya dalam bidang kesehatan
yang tercermin di tingkat rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai
alokasi yang sama untuk mengakses pelayanan kesehatan, dan di tingkat ekonomi,
perempuan

dan

laki-laki

mempunyai

kemampuan


yang

sama

membelanjakan pendapatannya untuk keperluan kesehatan (Makarao, 2009).

untuk

KESIMPULAN
Penemuan pasien tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, yaitu penemun
pasien dilakukan pada mereka yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan
rumah saki, sehingga penemuan kasus tuberkulosis paru dapat dilihat dari jumlah
pasien yang sudah mendapatkan pelayanan di rumah sakit atau puskesmas.
Insiden dan prevalensi tuberkulosis paru lebih banyak ditemukan pada jenis
kelamin laki-laki dewasa daripada perempuan dewasa, karena kebiasaan laki-laki
yang buruk seperti minum alkohol dan rokok. Perempuan memiliki kesetaraan
pengolahan sumber daya keluarga dalam bidang kesehatan khususnya
tuberkulosis, meskipun analisis perbedaan gender mengindikasikan bahwa lakilaki lebih cepat kambuh dibandingkan perempuan. Dalam proses pengobatan
pasien tuberkulosis paru secara keseluruhan jumlah laki-laki lebih banyak
dibandingkan pasien perempuan yang mendapatkan kesempatan lebih sedikit
dikarenakan kemiskinan dan tidak terdiagnosis secara dini. Perempuan lebih suka
menunda berobat dengan alasan tidak ingin meninggalkan rumah serta enggan
menggunakan keuangan keluarga untuk kesehatannya. Kasus BTA(+) pada lakilaki hampir 1,5 kali dibandingkan perempuan pada usia 10-16 tahun. Kejadian ini
terjadi karena kebiasan laki-laki yang sering merokok dan mengkonsumsi alkohol
sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkolusis. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2014). Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Ganapathy S, Thomas BE, Jawahar MS, Selvi KJA, Sivasubramanian, Weiss M.
(2008). Perceptions Of Gender And Tuberculosis In A South Indian Urban
Community. Indian J Tuberc. 55: 9-14.
Korua ES. (2015). Hubungan Antara Umur, Jenis Kelamin, dan Kepadatan Hunia
dengan Kejadian TB Paru Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit
Umum Daerah Noongan. Universitas Sam Ratulangi.
Kodim N. (2012). Seberkas Harapan Deteksi Kasus Tuberculosis Dini Di Tingkat
Rumah Tangga. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 6(5): 1934.
Makarao NR. (2009). Gender Dalam Bidang Kesehatan. Bandung: Alfabeta.
Manalu H. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru Dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 9 (4): 1340 – 1346.
Rokhmah D. (2011). Kesehatan Ibu: Sebuah Perspektif Gender. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Rokhmah D. (2013). Gender And Tuberculosis: The Implication To Low Health
Care Access For The Poor. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(10).
Simbolon D. (2007). Faktor Risiko Tuberculosis Paru Di Kabupaten Rejang
Lebong. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2 (3):112-9.
Tungdim MG, Kapoor S. (2011). Gender Differentials In Tuberculosis: Impact Of
Socio-Economic And Cultural Factors Among The Tribals Of Northeast
India. Open Soc Sci J. 3: 68-74.
WHO. (2012). Gender And Tuberculosis. Geneva: Departement of Gender and
Women’s Health of WHO.
WHO. (2014). Global Tuberculosis Report 2014.
Wendt S, Shireen L. (2010). Daftar Periksa Gender. Jakarta: Asian Development
Bank (ADB).