Pariwisata adalah fenomena kemiskinan kemasyarakata

Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok organisasi,
kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum
begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal
ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan
utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun
daerah (negara).
Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspek-aspek sosialbudaya atau aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori modernisasi klasik, pembangunan
di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi. Paradigma dan program-program yang
memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali bertentangan dengan program-program dengan penekanan
aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus
ekonomi, salah satu tujuan setiap program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini
manusia (tenaga kerja) dipandang sebagai 'faktor produksi' yang mekanis, maka berbagai aspek sosial-budaya
kurang mendapatkan perhatian.

Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator
(kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu
sebagian besar dari isu sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator
keberhasilan 'pembangunan'. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan
perhatian serius terhadap aspek sosial-budaya ini. Apalagi aspek sosial budaya memang sangat
sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah lagi dengan kesulitan menentukan 'hasil' dari
program-program dalam bidang sosial-budaya sangat sulit diisolisasi, sehingga sulit juga untuk

menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and effect), apalagi dalam waktu
yang singkat.
Penggunaan perencana dari luar,sesuai dengan dalil-dalil teori modernisasi, sering secara
tidak sadar membawa nilai-nilai luar, serta memaksakan penerapan nilai-nilai tersebut di daerah
yang dibangun. Sifat etnosentrisme perencana dari luar ini sering menihilkan budaya lokal.
Etnosentrisme perencana (konsultan) luar ini didukung kemudian oleh sentralisasi pengambilan
keputusan, dimana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan
yang mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka.
Belakangan aspek sosial-budaya mulai diperhatikan, karena berbagai alasan. Di kalangan
ahli pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah
untuk manusia, sebagai suatu proses belajar (social-learning process), dan dalam hal ini manusia
merupakan pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan, sesuai

dengan konsep people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar
'faktor produksi'.
Kritik tajam juga banyak ditujukan kepada teori modernisasi klasik, dan mengingatkan
akan pentingnya unsur non-material dalam pembangunan, seperti human dignity (Julius
Nyerere), social needsspiritual needs (Apthorpe). Menurut faham humanism, pembangunan
harus diusahakan untuk 'memanusiakan manusia', sebagaimana berkembang dalam wacana
pembangunan di Zambia dan Tanzania. Dalam pemanusiaan manusia ini, pembangunan harus

memberikan penghargaan terhadap nilai 'rasa', yang mungkin tidak 'rasional' dalam konsep
masyarakat lokal (the rational of irrationality). (Maslow), atau
Pengalaman empiris juga telah banyak membuktikan bahwa begitu banyak dana dan
waktu dikeluarkan untuk melakukan 'pembangunan', tetapi mengalami kegagalan. Tidak jarang,
pembangunan justru mengundang protes dari masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan
(indigenous people). Kegagalan program yang tidak adaktif secara sosial-budaya ini ini
memberikan pelajaran penting, betapa aspek sosial-budaya harus mendapatkan tempat dalam
perencanaan pembangunan, bukan saja sebagai 'aspek pinggiran'.
Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human ecology) yang sangat
menghargai pengetahuan masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat mendorong perencana dan
pelaksana pembangunan untuk melihat aspek-aspek sosial-budaya secara lebih serius.
2.2 Dampak Sosial Pariwisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat,
sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata
dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat
setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan
wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak
terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara
asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.


Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik,
keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata
yang banyak mendapat ulasan adalah:
1. Dampak terhadap sosial-ekonomi.
2. Dampak terhadap sosial-budaya.
1.2.1 Dampak Sosial Ekonomi
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat
dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:
1. Dampak terhadap penerimaan devisa,
2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,
3. Dampak terhadap kesempatan kerja,
4. Dampak terhadap harga-harga,
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
6. Dampak terhadap kepemilikan dan control
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Hampir semua literature dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan
pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu
dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan
devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah

dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata diharapkan
mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka
pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan
secara pasti terhadap angka pengganda ini, dari beberapa daerah/negara telah dilaporkan
besarnya angka pengganda yang bervarisasi.

Peranan pariwisata juga sangat besar di Indonesia. Devisa yang diterima secara berturutturut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09;
4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS (Santosa, 2001). Pada tahun 2002 dan 2003, meskipun
mengalami tragedi Kuta (Bom Bali), nilai devisa juga masih tetap tinggi, yaitu US$ 4.496
Milyard tahun 2002 dan US$ 4.307 Milyard tahun 2003 (Nirwandar, 2004).
Perananan pariwisata dalam pembangunan ekonomi DTW seperti Bali, yang memang
sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi.
Dengan tidak tersedianya sumber daya alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri
manufaktur yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam
pembangunan. Kontribusi pariwisata menunjukkan trend yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1985 penukaran valuta asing senilai 95,105 juta dollar AS. Angka ini
mengalami kenaikan, menjadi 456,105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada tahun1997
(sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS. Selanjutnya, karena nilai tukar dollar
yang melonjak, penukaran valuta asing hanya mencapai nilai 865,078 juta dollar AS pada tahun
2000.

Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun1998, dampak pengeluaran wisatawan
terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak dari investasi di sektor
pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, industri pariwisata menyumbang
sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun
1998 sebesar 38,0% dari seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan untuk
pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan
sebesar 36,1% dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah
mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka tahun1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan
nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan
bahwa dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian di Bali terdistribusikan ke
berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran. Distribusi juga terserap ke sektor pertanian
(17,93%), sektor industri dan kerajinan (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi
(12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan data mengenai
distribusi pengeluaran wisatawan. Data menunjukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran
wisatawan yang terserap ke dalam 'perekonomian rakyat' cukup tinggi.

Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga
menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif), seperti semakin
memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan
antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neokolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa

pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju (negara asal wisatawan)
terhadap negara-negara berkembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas wisata yang di
DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan
secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil,
karena segala kebutuhan wisatawan maupaun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai
negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain:
"Mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong,
lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis,
tas dari Itali, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia…"
(Fennel, 1999: 164).
1.2.2 Dampak Sosial Budaya
Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat
dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no
clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli
menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul 'dampak
sosial budaya' (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung
mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan,
dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosialbudaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;

2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;

3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik
lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat,
birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age
lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata
terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang
menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan
oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata
dapat dianalogikan dengan 'bola-bilyard', di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara
langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara
(broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang
diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen.
Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan
tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap
masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang
secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang
kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah 'pengaruh luar yang

kemudian terintegrasi dengan masyarakat', dimana masyarakat mengalami proses menjadikan
pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses 'turistifikasi'
(touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh
pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi
langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai
bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke
dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
1) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan
masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;

2) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
6) dampak terhadap pola pembagian kerja;
7) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana
(1999) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Jumlah wisatawan, baik absolute maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;
2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan
terkait dengan sajian tersebut;
3) Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, situs arkeologi, budaya
kemasyarakatan, dan seterusnya;
4) Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;
5) Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan
masyarakat lokal;
6) Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;

7) Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;
Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;
9) Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);
10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW;
11) Struktur sosial masyarakat lokal;
12) Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)
13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.

Lebih jauh Douglass mengetengahkan bahwa ada hubungan paralel antara tinggi dan makna
dampak sosial-budaya pariwisata dengan variabel-variabel di bawah:
1) Besarnya perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya antara wisatawan dengan masyarakat
lokal.
2) Perbandingan antara jumlah wisatawan dengan masyarakat lokal.
3) Distribusi dan kenampakan dari pembangunan pariwisata.
4) Laju dan intensitas perkembangan pariwisata.
5) Tingkat kepemilikan investasi asing dan tenaga kerja asing di DTW.
2.2.3 Kesenian, Adat Istiadat, dan Agama
Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin
paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan
pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara
langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi
secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand
dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena

masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan
mengalami dekonstruksi.
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam
kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam

mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas
otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya.
Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang
memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and
Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang
sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya
dampak negatif akibat adanya komoditisasi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau 'menghancurkan'
kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung 'memaksa' ekspresi kebudayaan lokal untuk
dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar
dapat 'dijual' kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):
'Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore
saleable to mass tourism' (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi
pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan
terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial
yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.
Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:
"Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi
semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan
keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah
pengaruh pariwisata".

Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan
cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94)
menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan
tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah
memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean
menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses
yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas
mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi
untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali
adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan
transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.
Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui
adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang
mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah "mendorong
kreativitas dalam berbagai bidang" (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan
kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada
beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa
pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang
yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.