BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH - Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan

  dari kehidupan manusia. Musik terdiri dari berbagai genre (aliran). Namun ada pula musik yang mengembangkan subkulturnya sendiri, meskipun tanpa permintaan pasar atau khalayak ramai, kurang dikenal, bukan musik yang komersil, dan berada di luar budaya umum masyarakat. Musik jenis ini disebut dengan musik underground ). Dan hardcore adalah salah satu jenis musik underground yang ada saat ini (Satyaperkasa, 2011).

  Haenfler (2006) menyatakan bahwa hardcore merupakan musik keras dan kasar. Berbeda dari musik lainnya, hardcore, atau biasanya disebut juga dengan

  

punk hardcore, erat kaitannya dengan pergerakan politik dan sosial (Blush, 2010).

  Satyaperkasa (2011) juga menyatakan, bahwa hardcore adalah keturunan dari salah satu jenis musik Underground yaitu Punk tetapi dengan tempo musik yang lebih cepat dan agresif. Lirik-lirik pada lagunya kebanyakan berbicara tentang kebersamaan, solidaritas, perdamaian, kesetaraan, HAM, lingkungan hidup dan bahkan kampanye sosial-politik, dari isu personal hingga ke global.

  Musik hardcore memiliki ikatan emosi yang erat dengan penikmatnya. Sesuai pernyataan Sacks (2013), bahwa musik mampu menggerakkan kita ke ketinggian atau kedalaman emosi. Berikut kutipan wawancara dari JG, seorang vokalis band hardcore Medan.

  “Aku rasa gak cukup hanya dengan main band hardcore, kau sudah sangat

  hardcore. Kau harus down to the scene. Kau harus relakan waktu, tenaga,

  dan uang yang kau punya untuk scene hardcore.” (JG, komunikasi personal 21 Februari 2013)

  Blush (2010) menyatakan bahwa hardcore identik dengan perilaku yang buruk. Haenfler (2006) juga menambahkan bahwa dalam pengamatan masyarakat, scene (lingkungan) hardcore identik dengan gaya hidup yang negatif, self

  destructive, perilaku-perilaku destructive, anarkis, agresivitas, kecenderungan

  nihilistik terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol, seks bebas, kekerasan, serta sikap-sikap seperti "live fast, die young” (hidup cepat, mati muda), mempertanyakan segala hal, gaya agresif, dan sikap “lakukan sendiri” (“do-it- yourself”). Hal ini dikuatkan dengan kutipan wawancara berikut.

  “Sepanjang yang saya lihat, orang yang suka musik hardcore itu lebih agresif ketimbang orang-orang yang lebih suka aliran musik lain.” (RR, komunikasi personal 11 Mei 2013)

  Pada umumnya, penikmat musik hardcore adalah kalangan anak muda, berjenis kelamin pria. Hardcore menampilkan komunikasi dan perilaku maskulin (merokok, alkohol, sex), musik yang terdengar agresif dan sikap tangguh dari banyak pemuda (Juliana, 2010). Mereka melakukan hal demikian agar dianggap jantan, menjadi penanda kedewasaan, solidaritas dengan pria lain, ketahanan terhadap pengaruh perempuan, “penerimaan” budaya yang dominan pada anak muda (Haenfler, 2004); Treise, Wolburg, & Otnes, dalam Juliana, 2010). Selain itu, laki-laki juga menggunakan penaklukan seksual, untuk membuktikan kejantanan mereka (Messer, Dunbar, & Hunt, dalam Juliana, 2010).

  Pada kenyataannya, anak muda penikmat musik hardcore yang mengadaptasi perilaku maskulin di atas, akhirnya menemukan ketidakpuasan dalam perilaku mereka. Hal ini seperti dinyatakan salah seorang penikmat musik

  

hardcore, AB. Ia merasa perilaku tersebut merupakan usaha “bodoh” demi

  mendapatkan penerimaan dari teman sebaya, bersifat destructive, bukan sesuatu yang membanggakan, bukan merupakan solusi dari masalah, bahkan merugikan diri sendiri.

  “Pas SMP, aku disodorin rokok sama temen-temen. Katanya “ngerokok dong, ah banci lo”. Terus aku isep, aku tarik tapi tetep aja rasanya ga enak. Aku juga udah pernah coba minum sampe bener-bener mabok, besok pagi nya aku pusing. Dan akhirnya aku sebel sama orang yang nganggep kalo mau diterima itu harus ngelakuin hal-hal bodoh. Yang sebenernya kalo dilakuin bukan dia banget. Rokok dan alkohol itu bukan satu-satunya jalan keluar dari masalah. Atau dengan gak ngerokok itu, kita ga bakal dapat temen, atau di cap freak Aku sebel sama orang yang bermasalah, pelariannya selalu begitu (alkohol dan rokok).”

  (AB, komunikasi personal 30 Mei 2013) AB beserta individu lain dari kelompok hardcore memiliki kesadaran bahwa hardcore memiliki pola perilaku destructive, dan identik dengan hal-hal negatif. Namun, hardcore berkembang dan menciptakan scene hardcore yang lebih positif, dengan menganut perilaku menolak rokok, alkohol, dan seks berganti-ganti pasangan, yang dinamakan straight edge. Eksistensi straight edge ini, menurut Haenfler (2006), ternyata mempengaruhi pemikiran pemuda secara positif, dan meyakinkan ribuan anak muda untuk berhenti atau tidak pernah memulai untuk menggunakan obat-obatan terlarang, alkohol, dan tembakau.

  Gerakan straight edge membantu individu melalui waktu yang penting dan sulit ketika pertama kali ter-ekspos minuman keras, obat-obatan, dan seks bebas.

  Dengan kata lain, kelompok straight edge tidak hanya menciptakan rasa memiliki, tetapi juga tempat berlindung yang aman dari tekanan umum teman sebaya pada remaja (Juliana, 2010). AB menjelaskan opini nya mengenai kesulitan di lingkungan social smoker dalam kutipan wawancara berikut:

  “Selama ini buat mereka yang non-alcohol, non-smoker selalu ngerasa gak punya tempat di tengah masyarakat. Ketika mau bergaul, terbentur dengan kebiasaan social smoker”

  (AB, komunikasi personal 30 Mei 2013)

  Straight edge menyediakan pengikutnya pilihan gaya hidup sehat dan

  tempat untuk bertemu orang lain dengan ketertarikan sama (Haenfler, 2004). Dari

  survey singkat terhadap 42 member straight edge pada sebuah page staight edge

  di facebook, diperoleh informasi bahwa pada saat awal mengenal straight edge, kebanyakan straight edger dipengaruhi oleh band-band straight edge, serta teman- teman yang juga menganut ideologi straight edge.

  Straight edge memiliki karakteristik yang mencolok, Juliana (2010)

  menyatakan, pemuda Straight Edge mengambil simbol “X” atau "XXX" sebagai tanda atas tiga pantangan mereka: tidak minum, tidak merokok, dan tidak melakukan seks berganti-ganti pasangan untuk mengkomunikasikan komitmen mereka. Simbol ini juga dapat ditemukan pada pakaian, tato tubuh, dan tampilan nama di dunia maya. Simbol X ini pula lah yang akhirnya membuat setiap orang saling mempengaruhi dan dipengaruhi dalam hal pengenaan identitas kelompok.

  Hal ini didukung oleh Shaw (dalam Johnson & Johnson, 2000) bahwa kelompok saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Hal ini terlihat pada kutipan wawancara AB, sebagai berikut.

  “Dulu ada temen skate pernah ada yang make tanda X di tangan. Dan karena terlihat keren, jadinya aku pas main skate ikut-ikutan juga. Eh sama dia ditegor. Dia bilang, lo tau ga ini lambang apa? Jangan sembarangan pake tanda X lah. Nah dari situ dia mulai ngasi informasi, dan aku mulai tau tentang straight edge. Dia juga ngajarin aku banyak hal”

  (AB, komunikasi personal 29 Mei 2013) Selanjutnya Hare (dalam Johnson & Johnson, 2000) menyatakan bahwa kelompok memiliki sebuah hubungan interpersonal yang baik bagi individu terhadap kelompok dan sebaliknya. Kualitas komunikasi dengan kelompok juga turut mempengaruhi pemrosesan dan pengumpulan informasi mengenai kelompok

  straight edge. Hal ini dijelaskan AB dalam potongan wawancara berikut:

  “Soal informasi straight edge, kalo dulu aku selalu nanya orang. Makanya lebih penting kalo interaksi langsung, kalau cari lewat media kan pasif, lebih baik kalo langsung kan ada dialog, jadi informasinya juga sinkron. “

  (AB, komunikasi personal 6 Juni 2013) Berdasarkan wawancara di atas, terlihat bahwa AB lebih menyukai melakukan interaksi langsung dengan teman-teman untuk memperoleh informasi mengenai straight edge. Pertemuan serta interaksi dengan teman yang telah menjadi straight edge, akhirnya menciptakan hubungan interpersonal yang baik dengan kelompok (straight edger). Selanjutnya, Traber (dalam Juliana, 2010) berpendapat bahwa subculturists minoritas, seperti sXers, memisahkan diri mereka dengan tujuan untuk menciptakan ikatan yang kuat dengan orang lain yang sama seperti mereka. Dimana Haenfler (2004) juga menyatakan, hal ini dibangun melalui komunikasi bermasyarakat, "kekeluargaan," dan "persaudaraan," yang diciptakan oleh scene

  

hardcore sebagai "supportive space to be different together". Berikut pernyataan

  AB mengenai gambaran komunikasi dan interaksi pada saat awal mengenal

  straight edge:

  “Disini (scene straight edge) itu gak ada yang namanya senioritas, kita kayak saling mendukung satu sama lain, saling mengingatkan untuk gak

  “break the edge” (exit). Karena walaupun gak ada hukuman fisik, tapi

  hukuman moral yang ada.” (AB, komunikasi personal 6 Juni 2013)

  Melalui kutipan wawancara di atas, dapat dilihat bahwa AB memiliki informasi serta hubungan interpersonal yang cukup baik dengan kelompok

  

straight edge. Dimana kelompok saling mendukung dan mengajarkan berbagai

informasi kepada AB.

  Komunikasi yang telah terbangun dengan baik, dan dibarengi dengan interaksi yang cukup rutin, akhirnya menjadikan individu untuk turut terlibat pada kegiatan straight edge. Dimana menurut Juliana (2010), keterlibatan straight

  

edger terlihat dalam perilaku membeli musik straight edge, dan menghadiri

pertunjukan-pertunjukan straight edge (konser dengan panggung kecil).

  Pada umumnya, aktivitas kelompok straight edge tidaklah berbeda dari kelompok hardcore lain. Mereka tetap bernyanyi, dan menari ala hardcore. Perbedaannya adalah bahwa kelompok straight edge memilih untuk pantang dari rokok, alkohol, serta seks berganti-ganti pasangan. Menurut JG, hal ini pun berpengaruh positif terhadap performa mereka pada saat berada di scene hardcore. Berikut pernyataannya.

  “Jadi lebih punya napas panjang aja sih kalo lagi di mosh pit (salah satu jenis tarian hardcore). Lebih kuat stage dive-nya atau ngelakuin hal lain daripada yang non-straight edge”

  (JG, komunikasi personal 29 Mei 2013) Keterlibatan dalam kegiatan straight edge, kemudian menciptakan sebuah persepsi pada individu, bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok. Bales &

  Smith (dalam Johnson & Johnson, 2000), menyatakan bahwa di dalam kelompok, individu mempersepsikan dirinya sebagai bagian dari kelompok. Deskripsi ini dijelaskan oleh AB dalam pernyataan berikut:

  “Ya aku mulai berani pake tanda X di tangan. Kalo ngebedain yang straight

  edge atau enggak, kan keliatan yang ngerokok dan gak ngerokok. Oh ya,

  biasanya sXe itu lebih suka pake baju-baju band sXe juga. Mungkin buat sebagian orang yang non sXe akan risih kalo dia make baju band sXe, tapi dia ngerokok. Agak berlebihan sih, tapi ya gitu.. selain itu juga straight

  edger suka pake baju yang berslogan sXe, kayak “drug free youth” atau “its ok not to drink....”

  (AB, komunikasi personal 30 Mei 2013) Berdasarkan uraian di atas juga terlihat bahwa persepsi sebagai bagian kelompok, secara langsung menghasilkan perilaku sebagai bagian dari kelompok, dan turut mengikuti identitas kelompok. Dimana hal ini pula lah yang kemudian akan membedakan member dan non member. Sebab menurut menurut Johnson & Johnson (2000), kelompok mampu membedakan antara member dan non-member. Kesimpulannya, bahwa perilaku individu maupun kelompok tidak terlepas dari pengaruh kelompok.

  Pengetahuan tentang diri berasal dari banyak sumber, dan banyak dari pengetahuan diri kita berasal dari sosialisasi (Taylor, Peplau, Sears, 2009).

  Dengan kata lain, sosialisasi membantu kita menemukan identitas diri kita. Wood (dalam Juliana, 2010) menyebutkan straight edge sebagai subkultur. Hebdige (dalam Williams, 2003) berpendapat bahwa melalui musik, subcultural identity di munculkan dan di ekspresikan. Pemuda masuk ke dalam subkultur dalam dua keadaan dasar: ideologi fundamental mereka sudah selaras dengan cita-cita straight edge, atau mereka sedang mencari perubahan dalam identitas mereka.

  Juliana (2010) menyatakan bahwa pemuda (sadar atau tidak sadar) mencari identitas di lingkungan straight edge. Dengan kata lain, partisipasi subkultur menyebabkan pemuda secara umum mengubah identitas mereka, misalnya dari seorang perokok, menjadi bukan perokok. Seperti dijelaskan JG dalam kutipan berikut:

  “Iya, dulu aku SMP ngerokok, tapi sekarang setelah jadi straight edge, aku berhenti ngerokok”.

  (JG, komunikasi personal 16 Juli 2013)

  Straight Edge menciptakan tempat untuk eksperimen identitas, bagi pemuda untuk mengeksplorasi pertanyaan, "Siapakah aku?" (Haenfler, 2004).

  Identitas menurut Poletta & Jasper (dalam Juliana, 2010) terbagi dua, yaitu

  personal identity dan collective identity (social identity). Personal identity adalah

  persepsi individu pada karakteristik yang membuatnya unik. Sedangkan collective

  

identity adalah identitas yang terbentuk melalui hubungan dengan kelompok atau

  komunitas (social identity). Selanjutnya, Williams & Copes (dalam JuIiana, 2010) menambahkan, identitas dapat didefinisikan sebagai ketegangan konstan atau keseimbangan antara identitas personal dan identitas sosial.

  Interaksi antara kedua jenis identitas membentuk identitas seseorang secara keseluruhan, meskipun satu identitas mungkin mengalami perubahan secara terus menerus (Williams & Copes, dalam Juliana, 2010). Tajfel (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menambahkan, bahwa dengan berpartisipasi dalam aktifitas kelompok, terbentuklah social identity, dimana ini merupakan bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang dilekatkan dalam keanggotaan itu.

  Selanjutnya ,Wood (dalam Juliana, 2010) menyatakan bahwa straight edge secara sosial dibangun oleh kerangka acuan, dimana individu mengacu dan direkonstruksi sebagai sarana untuk merumuskan identitas straight edge mereka, sehingga membantu pembentukan identitas sosial. Perubahan identitas untuk menjadi seorang straight edge pun mengalami proses yang cukup panjang. AB, salah seorang straight edger menceritakan pengalamannya saat pertama sekali mempelajari perilaku kelompok straight edge dalam kutipan wawancara berikut:

  “Waktu aku udah dapat informasi awal, aku terus cari informasi lebih banyak di internet, majalah, terus banyak tanya juga sama temen atau senior yang lebih tau. Awalnya aku ngerasa pengen jadi straight edger karena aku gak cocok sama rokok. Dan aku pengen hidup sehat, tapi juga keren. Jadi aku mengontrol dan ngebentengin diri sendiri. Karena gak semua orang kan bisa jadi straight edge, terlebih dari scene hardcore, jadi anti-mainstream lah. Awalnya aku jalani sendiri aja dulu, baru aku berani ngomong ke orang-orang tentang gaya hidup straight edge ini. Yah.. tahap pikir-pikirnya itu yang lama, istilahnya kayak ‘bener gak sih aku butuh ini?”

  (AB, komunikasi personal 6 Juni 2013) Dari kutipan wawancara di atas, AB menceritakan tahap pengenalan informasi serta motivasi nya untuk menjadi straight edge. Dia merasa perilaku kelompok straight edge sangat positif. AB juga merasa pengambilan keputusan untuk menjadi seorang straight edger cukup panjang. Hal ini juga dipengaruhi oleh komunikasi dalam kelompok, dimana Scott (dalam Juliana, 2010), menyatakan bahwa komunikasi adalah mediator dimana individu memahami identitas mereka sebagai anggota kelompok dan bagaimana keanggotaan tersebut mempengaruhi identitas mereka.

  Snow (dalam Juliana, 2010) menyatakan bahwa identitas sosial tidaklah stabil. Menurut Wood (dalam Juliana, 2010), dalam menguraikan tentang identitas subkultur, hal ini dapat menjadi proses berulang yang muncul, memudar, dan dikembalikan. Sehingga, dengan menghabiskan waktu yang signifikan dengan subkultur, akan mempengaruhi identitas secara mendalam.

  Berdasarkan keterangan diatas, menimbulkan pertanyaan bagi peneliti bagaimana dinamika proses terbentuknya identitas sosial sebagai kelompok straight edge. Identitas sosial terbentuk dari kelompok, namun terlepas dari itu, proses adaptasi dalam kelompok juga dipengaruhi oleh sosialisasi kelompok.

  Sosialisi kelompok tediri dari evaluation, commitment, dan role transition, menyebabkan perubahan peran, sehingga mampu mengubah identitas pada individu. Pada akhirnya kedua hal ini tidak bisa dipisahkan dalam proses terbentuknya identitas sosial dalam kelompok. Mengingat identitas serta sosialisasi kelompok merupakan hal yang dinamis yang dapat berubah-ubah sepanjang hidup dan mempengaruhi keterlibatan seseorang di dalam kelompok.

  Prosedur pengambilan sampel yaitu dengan teknik sampling Snowball. Selanjutnya, sesuai dengan deskripsi di atas, maka subjek penelitian yaitu orang berperilaku sesuai dengan kelompok straight edge. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif terhadap kelompok straight edge. Jenis penelitian kualitatif yang akan dilakukan adalah fenomenologi.

  B. PERUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimana dinamika komponen pembentukan identitas sosial pada kelompok straight edge?”

  C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

  Sesuai dengan perumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai dinamika komponen identitas sosial pada kelompok straight edge.

  Penelitian ini juga diharapkan memiliki manfaat teoritis serta manfaat praktis.

  Manfaat teoritisnya adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan informasi tentang dinamika komponen identitas sosial pada kelompok

  2. Menjadi referensi bagi peneliti dengan kajian serupa.

  3. Menambah daftar pustaka teori terhadap kelompok straight edge.

  Adapun manfaat praktisnya, yaitu: 1. Memberikan informasi mengenai masalah-masalah dalam pembentukan identitas sosial pada kelompok straight edge.

  2. Sebagai sumber informasi serta referensi bagi masyarakat umum serta berbagai kalangan mengenai eksistensi kelompok straight edge pada lingkungan musik

  hardcore di kota Medan 3.

  Sebagai bahan referensi bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian selanjutnya mengenai kelompok khususnya kelompok straight edge.

  Penelitian ini terdiri dari lima bab, dan masing-masing dibagi atas beberapa sub bab.

  Adapun sistematika penulisan dalam seminar ini adalah sebagai berikut:

  BAB I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori

  Bab ini berisi teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini, yaitu teori faktor pembentuk identitas sosial, karakter identitas sosial, teori sosialisasi kelompok, proses dan fase sosialisasi kelompok, teori identitas sosial, , dan sejarah, nilai, dan perilaku kelompok straight edge.

  BAB III : Metode Penelitian Bab ini mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, subjek penelitian, serta prosedur analisa data.

  BAB IV : Analisa dan Pembahasan Pada bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data data penelitian sesuai dengan teori yang relevan

  BAB V : Kesimpulan, Saran, dan Diskusi Pada bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai dinamika proses pembentukan identitas sosial pada straight edge di kota Medan.