Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan
Dinamika Faktor Pembentukan Identitas Sosial Pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh: Yulli Miata Fanny
091301001
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
“Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan”
Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Agustus 2014
Yulli Miata Fanny
(3)
DINAMIKA PEMBENTUKAN IDENTITAS SOSIAL PADA
KELOMPOK
STRAIGHT EDGE
DI KOTA MEDAN
Yulli Miata Fanny dan Ridhoi Meilona Purba, M.Si Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pembentukan identitas sosial pada kelompok straight edge di Kota Medan, dengan menggunakan penelitian kualitatif fenomenologis. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang pria yang merupakan anggota kelompok straight edge, dan sering bergabung dalam scene hardcore. Prosedur pengambilan responden dilakukan secara berantai (snowball
sampling). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara berdasarkan faktor pembentuk identitas sosial menurut Tajfel & Turner (1979) yaitu social identification, social categorization, dan social comparison, serta proses sosialisasi kelompok menurut Levine & Moreland (1994) yaitu evaluation, commitment, role trasition. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa pembentukan identitas sosial pada responden 1 diawali dengan categorization, social comparison, dan identification. Sedangkan pada responden 2 diawali dengan social comparison, identification, dan categorization. Identitas yang utuh berada pada status full member, diikuti oleh identifikasi individu terhadap keanggotaanya. Maka acceptance merupakan proses penting dalam kelompok. Pada kedua responden, identification diikuti perilaku menggunakan simbol X sebagai bentuk commitment identitas sosial. Sebagai identitas utama kelompok straight edge, hendaknya kelompok menggunakan simbol X untuk mempengaruhi outgroup. Selain itu, kelompok diharapkan saling membantu dan peduli terhadap new member untuk membantu proses sosialisasi dalam kelompok.
(4)
THE SOCIAL IDENTITY’S DYNAMIC OF MEDAN’S STRAIGHT EDGE GROUP
Yulli Miata Fanny dan Ridhoi Meilona Purba, M.Si Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
This study aims to determine the formation dynamics of social identity in the straight edge group in Medan, using a phenomenological qualitative research. Respondents in this study were two men who are members of the straight edge, and often joined in the hardcore scene. The procedure of selecting the respondent was snowball method. The method used in this study is based on interviews of the determining factors of social identity by Tajfel and Turner (1979) that social identification, social categorization, and social comparison, and the process of socialization groups according to Levine and Moreland (1994), namely evaluation, commitment, role trasition . The results showed that the formation of social identity that respondents 1 begins with categorization, social comparison, and identification. While the second respondents begins with social comparison, identification, and categorization. The intact identity occur when the status of full members, followed by the identification of individuals on his membership. So acceptance is an important process in the group. At both respondent, identification followed by behavior using the symbol X as a form of social identity commitment. As the main identity of straight edge group, the group should use the X symbol to affect outgroup. In addition, the group is expected to help each other and care for new members to assist the process of socialization within the group
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Dinamika Faktor Pembentukan Identitas Sosial Pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan” ini. Adapun salah satu tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka sangat sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.si, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
2. Kakak Ridhoi Meilona Purba, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah meluangkan waktu, memberikan banyak bantuan, petunjuk, serta semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Makasih banyak kakak buat segala kesabaran dan pengertiannya selama ini. Mohon maaf juga jika ada kesalahan penulis selama berinteraksi.
3. Abang Omar Khalifa Burhan M.Sc dan Bapa
saran dan masukan untuk perbaikan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Emmy Mariatin, M.A.,PhD.,psikolog selaku dosen pembimbing akademik selama empat tahun ini.
5. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai, terutama Bapak Aswan, serta keluarga besar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah berbagi waktu dan pengalaman dengan penulis selama berkuliah. Satukan hati untuk Psikologi 6. Bapak, terima kasih sudah sering membantu dan memberikan pengertian.
Bunda,terima kasih untuk doa nya. Abangku, Fahri yang sering bantu nge-print. Adikku Dipo, yang selalu memberikan tawa, sangat banyak membantu,
(6)
mengantar-jemput, menyusun draft, terima kasih buat segala bantuan dan pengertianya, maaf kalau kakakmu ini merepotkan. Dan Bagoes, si Bungsu lucu yang sering membantu membelikan cemilan. Terima kasih atas segala bantuan dan pengertiannya, dek.
7. Uca, sebagai orang terdekat selama mengalami suka dan duka, yang banyak memberikan bantuan, memberikan doa, dukungan, dan pengertian. Loveya!
8. Para sahabat dan teman, Dila, Rini, Kuceng, Mamak, Kiki, Ubi, Rani, Runa, Jeje, Shoffa, dan teman lainnya yang mungkin tidak tersebut di sini. Terima kasih untuk semua waktu, bantuan, saran, dukungan, doa, kebersamaan, dan apapun itu yang udah sama-sama kita laluin semuanya
9. SJ dan MF yang sudah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan kalian.
10.Keluarga besar stambuk 2009. Penulis bersyukur dan merasa senang bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga besar ini.
11.Seluruh pihak yang terlibat dengan penulisan dan penyelesaian skripsi ini yang namanya mungkin tidak sengaja terlewatkan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu penulis sangat terbuka akan kritik dan saran untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi di kemudian hari. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Medan, Agustus 2013
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 1
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II LANDASAN TEORI ... 17
A. Identitas Sosial ... 17
1. Definisi Identitas Sosial ... 17
2. Faktor Pembentuk Identitas Sosial . ... 17
3. Karakter Identitas Sosial ... 20
B. Sosialisasi Kelompok ... 22
1. Definisi kelompok ... 22
2. Faktor yang Mendorong Seseorang Berkelompok ... 23
3. Definisi Sosialisasi Kelompok ... 25
4. Proses Sosialisasi Kelompok ... 26
(8)
C. Straight Edge ... 32
1. Definisi Straight Edge ... 32
2. Sejarah Straight Edge ... 33
3. Nilai Utama Kelompok Straight Edge ... 37
4. Perilaku Kelompok Straight Edge ... 39
5. Faktor yang menyebabkan anggota exit dari Straight Edge ... 40
6. Dinamika Sosialisasi Kelompok Straight Edge ... 41
7. Kerangka Berfikir ... 44
BAB III METODE PENELITIAN ... 45
A.Pendekatan Kualitatif ... 45
B.Metode Pengumpulan Data ... 46
1. Wawancara ... 46
2. Observasi ... 46
C.Alat Bantu Pengumpul Data ... 47
1. Tape Recorder ... 47
2. Pedoman Wawancara ... 47
3. Lembar Observasi dan Catatan Subjek ... 48
D.Subjek Penelitian ... 48
1. Kriteria Subjek Penelitian ... 48
2. Jumlah Subjek Penelitian ... 49
3. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian ... 49
4. Lokasi Penelitian ... 50
(9)
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 50
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 51
3. Tahap Pencatatan Data ... 52
F. Prosedur Analisa Data ... 53
G. Kredibilitas Data ... 54
H. Metode Analisa Data ... 55
a. Organisasi Data ... 55
b. Analisa dan Coding ... 56
c. Pengujian Terhadap Dugaan ... 56
d. Strategi Analisis ... 57
e. Interpretasi Data ... 57
BAB IV HASIL DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ... 58
A. ANALISA PARTISIPAN ... 58
A.1. Identitas Diri Partisipan ... 58
A.2. Observasi ... 59
A.2.1 Observasi UmumPartisipan 1 ... 59
A.2.2 Observasi Saat Pengambilan Data ... 61
B. ANALISA DATA PARTISIPAN 1 ... 74
B.1. Latar Belakang Kehidupan ... 74
B.2. Latar Belakang Mengenal Musik Hardcore ... 78
B.3. Latar Belakang Mengenal Straight Edge ... 79
B.4. Proses Pembentukan Idemtitas Sosial pada Straight Edge ... 82
(10)
B.6. Rekapitulasi DinamikaFaktor Pembentukan Social Identity pada SJ... 120
C. ANALISA DATA PARTISIPAN 2 ... 126
C.1. Latar Belakang Kehidupan ... 126
C.2. Latar Belakang Mengenal Musik Hardcore ... 129
C.3. Latar Belakang Mengenal Straight Edge ... 132
C.4. Proses Pembentukan Idemtitas Sosial pada Straight Edge ... 134
C.5. Dinamika Proses Pembentukan Identitas Sosial pada Straight Edge pada MF ... 171
C.6. Rekapitulasi DinamikaFaktor Pembentukan Social Identity pada MF... ... 172
D. ANALISA BANDING PARTISIPAN 1 DAN 2 ... 179
E. PEMBAHASAN ... 182
E.1. Dinamika Faktor Pembentukan Identitas Sosial pada SJ ... 193
E.2. Dinamika Faktor Pembentukan Identitas Sosial pada MF ... 194
BAB V ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 195
A. Kesimpulan ... 195
B. Saran ... 198
1. Saran Penelitian Lanjutan ... 198
2. Saran Praktis ... 199
DAFTAR PUSTAKA ... 201
(11)
DINAMIKA PEMBENTUKAN IDENTITAS SOSIAL PADA
KELOMPOK
STRAIGHT EDGE
DI KOTA MEDAN
Yulli Miata Fanny dan Ridhoi Meilona Purba, M.Si Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pembentukan identitas sosial pada kelompok straight edge di Kota Medan, dengan menggunakan penelitian kualitatif fenomenologis. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang pria yang merupakan anggota kelompok straight edge, dan sering bergabung dalam scene hardcore. Prosedur pengambilan responden dilakukan secara berantai (snowball
sampling). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara berdasarkan faktor pembentuk identitas sosial menurut Tajfel & Turner (1979) yaitu social identification, social categorization, dan social comparison, serta proses sosialisasi kelompok menurut Levine & Moreland (1994) yaitu evaluation, commitment, role trasition. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa pembentukan identitas sosial pada responden 1 diawali dengan categorization, social comparison, dan identification. Sedangkan pada responden 2 diawali dengan social comparison, identification, dan categorization. Identitas yang utuh berada pada status full member, diikuti oleh identifikasi individu terhadap keanggotaanya. Maka acceptance merupakan proses penting dalam kelompok. Pada kedua responden, identification diikuti perilaku menggunakan simbol X sebagai bentuk commitment identitas sosial. Sebagai identitas utama kelompok straight edge, hendaknya kelompok menggunakan simbol X untuk mempengaruhi outgroup. Selain itu, kelompok diharapkan saling membantu dan peduli terhadap new member untuk membantu proses sosialisasi dalam kelompok.
(12)
THE SOCIAL IDENTITY’S DYNAMIC OF MEDAN’S STRAIGHT EDGE GROUP
Yulli Miata Fanny dan Ridhoi Meilona Purba, M.Si Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
This study aims to determine the formation dynamics of social identity in the straight edge group in Medan, using a phenomenological qualitative research. Respondents in this study were two men who are members of the straight edge, and often joined in the hardcore scene. The procedure of selecting the respondent was snowball method. The method used in this study is based on interviews of the determining factors of social identity by Tajfel and Turner (1979) that social identification, social categorization, and social comparison, and the process of socialization groups according to Levine and Moreland (1994), namely evaluation, commitment, role trasition . The results showed that the formation of social identity that respondents 1 begins with categorization, social comparison, and identification. While the second respondents begins with social comparison, identification, and categorization. The intact identity occur when the status of full members, followed by the identification of individuals on his membership. So acceptance is an important process in the group. At both respondent, identification followed by behavior using the symbol X as a form of social identity commitment. As the main identity of straight edge group, the group should use the X symbol to affect outgroup. In addition, the group is expected to help each other and care for new members to assist the process of socialization within the group
(13)
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Musik merupakan hal yang universal, sehingga tidak pernah terlepaskan
dari kehidupan manusia. Musik terdiri dari berbagai genre (aliran). Namun ada
pula musik yang mengembangkan subkulturnya sendiri, meskipun tanpa
permintaan pasar atau khalayak ramai, kurang dikenal, bukan musik yang
komersil, dan berada di luar budaya umum masyarakat. Musik jenis ini disebut
dengan musik underground hardcore
adalah salah satu jenis musik underground yang ada saat ini (Satyaperkasa, 2011).
Haenfler (2006) menyatakan bahwahardcore merupakan musik keras dan
kasar. Berbeda dari musik lainnya, hardcore, atau biasanya disebut juga dengan
punk hardcore, erat kaitannya dengan pergerakan politik dan sosial (Blush, 2010). Satyaperkasa (2011) juga menyatakan, bahwa hardcore adalah keturunan dari
salah satu jenis musik Underground yaitu Punk tetapi dengan tempo musik yang
lebih cepat dan agresif. Lirik-lirik pada lagunya kebanyakan berbicara tentang
kebersamaan, solidaritas, perdamaian, kesetaraan, HAM, lingkungan hidup dan
bahkan kampanye sosial-politik, dari isu personal hingga ke global.
Musik hardcore memiliki ikatan emosi yang erat dengan penikmatnya.
(14)
ketinggian atau kedalaman emosi. Berikut kutipan wawancara dari JG, seorang
vokalis band hardcore Medan.
“Aku rasa gak cukup hanya dengan main band hardcore, kau sudah sangat hardcore. Kau harus down to the scene. Kau harus relakan waktu, tenaga, dan uang yang kau punya untuk scene hardcore.”
(JG, komunikasi personal 21 Februari 2013)
Blush (2010) menyatakan bahwa hardcore identik dengan perilaku yang
buruk. Haenfler (2006) juga menambahkan bahwa dalam pengamatan masyarakat,
scene (lingkungan) hardcore identik dengan gaya hidup yang negatif, self
destructive, perilaku-perilaku destructive, anarkis, agresivitas, kecenderungan nihilistik terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol, seks bebas, kekerasan, serta
sikap-sikap seperti "live fast, die young” (hidup cepat, mati muda),
mempertanyakan segala hal, gaya agresif, dan sikap “lakukan sendiri”
(“do-it-yourself”). Hal ini dikuatkan dengan kutipan wawancara berikut.
“Sepanjang yang saya lihat, orang yang suka musik hardcore itu lebih agresif ketimbang orang-orang yang lebih suka aliran musik lain.”
(RR, komunikasi personal 11 Mei 2013)
Pada umumnya, penikmat musik hardcore adalah kalangan anak muda,
berjenis kelamin pria. Hardcore menampilkan komunikasi dan perilaku maskulin
(merokok, alkohol, sex), musik yang terdengar agresif dan sikap tangguh dari
banyak pemuda (Juliana, 2010). Mereka melakukan hal demikian agar dianggap
jantan, menjadi penanda kedewasaan, solidaritas dengan pria lain, ketahanan
terhadap pengaruh perempuan, “penerimaan” budaya yang dominan pada anak
(15)
itu, laki-laki juga menggunakan penaklukan seksual, untuk membuktikan
kejantanan mereka (Messer, Dunbar, & Hunt, dalam Juliana, 2010).
Pada kenyataannya, anak muda penikmat musik hardcore yang
mengadaptasi perilaku maskulin di atas, akhirnya menemukan ketidakpuasan
dalam perilaku mereka. Hal ini seperti dinyatakan salah seorang penikmat musik
hardcore, AB. Ia merasa perilaku tersebut merupakan usaha “bodoh” demi
mendapatkan penerimaan dari teman sebaya, bersifat destructive, bukan sesuatu
yang membanggakan, bukan merupakan solusi dari masalah, bahkan merugikan
diri sendiri.
“Pas SMP, aku disodorin rokok sama temen-temen. Katanya “ngerokok dong, ah banci lo”. Terus aku isep, aku tarik tapi tetep aja rasanya ga enak. Aku juga udah pernah coba minum sampe bener-bener mabok, besok pagi nya aku pusing. Dan akhirnya aku sebel sama orang yang nganggep kalo mau diterima itu harus ngelakuin hal-hal bodoh. Yang sebenernya kalo dilakuin bukan dia banget. Rokok dan alkohol itu bukan satu-satunya jalan keluar dari masalah. Atau dengan gak ngerokok itu, kita ga bakal dapat temen, atau di cap freak Aku sebel sama orang yang bermasalah, pelariannya selalu begitu (alkohol dan rokok).”
(AB, komunikasi personal 30 Mei 2013)
AB beserta individu lain dari kelompok hardcore memiliki kesadaran
bahwa hardcore memiliki pola perilaku destructive, dan identik dengan hal-hal
negatif. Namun, hardcore berkembang dan menciptakan scene hardcore yang
lebih positif, dengan menganut perilaku menolak rokok, alkohol, dan seks
berganti-ganti pasangan, yang dinamakan straight edge. Eksistensi straight edge
(16)
positif, dan meyakinkan ribuan anak muda untuk berhenti atau tidak pernah
memulai untuk menggunakan obat-obatan terlarang, alkohol, dan tembakau.
Gerakan straight edge membantu individu melalui waktu yang penting dan
sulit ketika pertama kali ter-ekspos minuman keras, obat-obatan, dan seks bebas.
Dengan kata lain, kelompok straight edge tidak hanya menciptakan rasa memiliki,
tetapi juga tempat berlindung yang aman dari tekanan umum teman sebaya pada
remaja (Juliana, 2010). AB menjelaskan opini nya mengenai kesulitan di
lingkungan social smoker dalam kutipan wawancara berikut:
“Selama ini buat mereka yang non-alcohol, non-smoker selalu ngerasa gak punya tempat di tengah masyarakat. Ketika mau bergaul, terbentur dengan kebiasaan social smoker”
(AB, komunikasi personal 30 Mei 2013)
Straight edge menyediakan pengikutnya pilihan gaya hidup sehat dan tempat untuk bertemu orang lain dengan ketertarikan sama (Haenfler, 2004). Dari
survey singkat terhadap 42 member straight edge pada sebuah page staight edge
di facebook, diperoleh informasi bahwa pada saat awal mengenal straight edge,
kebanyakan straight edger dipengaruhi oleh band-band straight edge, serta
teman-teman yang juga menganut ideologi straight edge.
Straight edge memiliki karakteristik yang mencolok, Juliana (2010) menyatakan, pemuda Straight Edge mengambil simbol “X” atau "XXX" sebagai
tanda atas tiga pantangan mereka: tidak minum, tidak merokok, dan tidak
melakukan seks berganti-ganti pasangan untuk mengkomunikasikan komitmen
(17)
nama di dunia maya. Simbol X ini pula lah yang akhirnya membuat setiap orang
saling mempengaruhi dan dipengaruhi dalam hal pengenaan identitas kelompok.
Hal ini didukung oleh Shaw (dalam Johnson & Johnson, 2000) bahwa kelompok
saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Hal ini terlihat pada kutipan wawancara
AB, sebagai berikut.
“Dulu ada temen skate pernah ada yang make tanda X di tangan. Dan karena terlihat keren, jadinya aku pas main skate ikut-ikutan juga. Eh sama dia ditegor. Dia bilang, lo tau ga ini lambang apa? Jangan sembarangan pake tanda X lah. Nah dari situ dia mulai ngasi informasi, dan aku mulai tau tentang straight edge. Dia juga ngajarin aku banyak hal”
(AB, komunikasi personal 29 Mei 2013)
Selanjutnya Hare (dalam Johnson & Johnson, 2000) menyatakan bahwa
kelompok memiliki sebuah hubungan interpersonal yang baik bagi individu
terhadap kelompok dan sebaliknya. Kualitas komunikasi dengan kelompok juga
turut mempengaruhi pemrosesan dan pengumpulan informasi mengenai kelompok
straight edge. Hal ini dijelaskan AB dalam potongan wawancara berikut:
“Soal informasi straight edge, kalo dulu aku selalu nanya orang. Makanya lebih penting kalo interaksi langsung, kalau cari lewat media kan pasif, lebih baik kalo langsung kan ada dialog, jadi informasinya juga sinkron. “
(AB, komunikasi personal 6 Juni 2013)
Berdasarkan wawancara di atas, terlihat bahwa AB lebih menyukai
melakukan interaksi langsung dengan teman-teman untuk memperoleh informasi
mengenai straight edge. Pertemuan serta interaksi dengan teman yang telah
menjadi straight edge, akhirnya menciptakan hubungan interpersonal yang baik
(18)
Selanjutnya, Traber (dalam Juliana, 2010) berpendapat bahwa subculturists
minoritas, seperti sXers, memisahkan diri mereka dengan tujuan untuk
menciptakan ikatan yang kuat dengan orang lain yang sama seperti mereka.
Dimana Haenfler (2004) juga menyatakan, hal ini dibangun melalui komunikasi
bermasyarakat, "kekeluargaan," dan "persaudaraan," yang diciptakan oleh scene
hardcore sebagai "supportive space to be different together". Berikut pernyataan AB mengenai gambaran komunikasi dan interaksi pada saat awal mengenal
straight edge:
“Disini (scene straight edge) itu gak ada yang namanya senioritas, kita kayak saling mendukung satu sama lain, saling mengingatkan untuk gak “break the edge” (exit). Karena walaupun gak ada hukuman fisik, tapi hukuman moral yang ada.”
(AB, komunikasi personal 6 Juni 2013)
Melalui kutipan wawancara di atas, dapat dilihat bahwa AB memiliki
informasi serta hubungan interpersonal yang cukup baik dengan kelompok
straight edge. Dimana kelompok saling mendukung dan mengajarkan berbagai informasi kepada AB.
Komunikasi yang telah terbangun dengan baik, dan dibarengi dengan
interaksi yang cukup rutin, akhirnya menjadikan individu untuk turut terlibat pada
kegiatan straight edge. Dimana menurut Juliana (2010), keterlibatan straight
edger terlihat dalam perilaku membeli musik straight edge, dan menghadiri
pertunjukan-pertunjukan straight edge (konser dengan panggung kecil).
Pada umumnya, aktivitas kelompok straight edge tidaklah berbeda dari
(19)
Perbedaannya adalah bahwa kelompok straight edge memilih untuk pantang dari
rokok, alkohol, serta seks berganti-ganti pasangan. Menurut JG, hal ini pun
berpengaruh positif terhadap performa mereka pada saat berada di scene
hardcore. Berikut pernyataannya.
“Jadi lebih punya napas panjang aja sih kalo lagi di mosh pit (salah satu jenis tarian hardcore). Lebih kuat stage dive-nya atau ngelakuin hal lain daripada yang non-straight edge”
(JG, komunikasi personal 29 Mei 2013)
Keterlibatan dalam kegiatan straight edge, kemudian menciptakan sebuah
persepsi pada individu, bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok. Bales &
Smith (dalam Johnson & Johnson, 2000), menyatakan bahwa di dalam kelompok,
individu mempersepsikan dirinya sebagai bagian dari kelompok. Deskripsi ini
dijelaskan oleh AB dalam pernyataan berikut:
“Ya aku mulai berani pake tanda X di tangan. Kalo ngebedain yang straight
edge atau enggak, kan keliatan yang ngerokok dan gak ngerokok. Oh ya,
biasanya sXe itu lebih suka pake baju-baju band sXe juga. Mungkin buat sebagian orang yang non sXe akan risih kalo dia make baju band sXe, tapi dia ngerokok. Agak berlebihan sih, tapi ya gitu.. selain itu juga straight edger suka pake baju yang berslogan sXe, kayak “drug free youth” atau “its ok not to drink....”
(AB, komunikasi personal 30 Mei 2013)
Berdasarkan uraian di atas juga terlihat bahwa persepsi sebagai bagian
kelompok, secara langsung menghasilkan perilaku sebagai bagian dari kelompok,
dan turut mengikuti identitas kelompok. Dimana hal ini pula lah yang kemudian
akan membedakan member dan non member. Sebab menurut menurut Johnson &
(20)
Kesimpulannya, bahwa perilaku individu maupun kelompok tidak terlepas dari
pengaruh kelompok.
Pengetahuan tentang diri berasal dari banyak sumber, dan banyak dari
pengetahuan diri kita berasal dari sosialisasi (Taylor, Peplau, Sears, 2009).
Dengan kata lain, sosialisasi membantu kita menemukan identitas diri kita. Wood
(dalam Juliana, 2010) menyebutkan straight edge sebagai subkultur. Hebdige
(dalam Williams, 2003) berpendapat bahwa melalui musik, subcultural identity di
munculkan dan di ekspresikan. Pemuda masuk ke dalam subkultur dalam dua
keadaan dasar: ideologi fundamental mereka sudah selaras dengan cita-cita
straight edge, atau mereka sedang mencari perubahan dalam identitas mereka.
Juliana (2010) menyatakan bahwa pemuda (sadar atau tidak sadar) mencari
identitas di lingkungan straight edge. Dengan kata lain, partisipasi subkultur
menyebabkan pemuda secara umum mengubah identitas mereka, misalnya dari
seorang perokok, menjadi bukan perokok. Seperti dijelaskan JG dalam kutipan
berikut:
“Iya, dulu aku SMP ngerokok, tapi sekarang setelah jadi straight edge, aku berhenti ngerokok”.
(JG, komunikasi personal 16 Juli 2013)
Straight Edge menciptakan tempat untuk eksperimen identitas, bagi pemuda untuk mengeksplorasi pertanyaan, "Siapakah aku?" (Haenfler, 2004).
Identitas menurut Poletta & Jasper (dalam Juliana, 2010) terbagi dua, yaitu
personal identity dan collective identity (social identity). Personal identity adalah persepsi individu pada karakteristik yang membuatnya unik. Sedangkan collective
(21)
identity adalah identitas yang terbentuk melalui hubungan dengan kelompok atau
komunitas (social identity). Selanjutnya, Williams & Copes (dalam JuIiana, 2010)
menambahkan, identitas dapat didefinisikan sebagai ketegangan konstan atau
keseimbangan antara identitas personal dan identitas sosial.
Interaksi antara kedua jenis identitas membentuk identitas seseorang secara
keseluruhan, meskipun satu identitas mungkin mengalami perubahan secara terus
menerus (Williams & Copes, dalam Juliana, 2010). Tajfel (dalam Taylor, Peplau
& Sears, 2009) menambahkan, bahwa dengan berpartisipasi dalam aktifitas
kelompok, terbentuklah social identity, dimana ini merupakan bagian dari konsep
diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau
kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang dilekatkan
dalam keanggotaan itu.
Selanjutnya ,Wood (dalam Juliana, 2010) menyatakan bahwa straight edge
secara sosial dibangun oleh kerangka acuan, dimana individu mengacu dan
direkonstruksi sebagai sarana untuk merumuskan identitas straight edge mereka,
sehingga membantu pembentukan identitas sosial. Perubahan identitas untuk
menjadi seorang straight edge pun mengalami proses yang cukup panjang. AB,
salah seorang straight edger menceritakan pengalamannya saat pertama sekali
mempelajari perilaku kelompok straight edge dalam kutipan wawancara berikut:
“Waktu aku udah dapat informasi awal, aku terus cari informasi lebih banyak di internet, majalah, terus banyak tanya juga sama temen atau senior yang lebih tau. Awalnya aku ngerasa pengen jadi straight edger karena aku gak cocok sama rokok. Dan aku pengen hidup sehat, tapi juga keren. Jadi aku mengontrol dan ngebentengin diri sendiri. Karena gak semua orang kan bisa jadi straight edge, terlebih dari scene hardcore, jadi
(22)
anti-mainstream lah. Awalnya aku jalani sendiri aja dulu, baru aku berani ngomong ke orang-orang tentang gaya hidup straight edge ini. Yah.. tahap pikir-pikirnya itu yang lama, istilahnya kayak ‘bener gak sih aku butuh ini?”
(AB, komunikasi personal 6 Juni 2013)
Dari kutipan wawancara di atas, AB menceritakan tahap pengenalan
informasi serta motivasi nya untuk menjadi straight edge. Dia merasa perilaku
kelompok straight edge sangat positif. AB juga merasa pengambilan keputusan
untuk menjadi seorang straight edger cukup panjang. Hal ini juga dipengaruhi
oleh komunikasi dalam kelompok, dimana Scott (dalam Juliana, 2010),
menyatakan bahwa komunikasi adalah mediator dimana individu memahami
identitas mereka sebagai anggota kelompok dan bagaimana keanggotaan tersebut
mempengaruhi identitas mereka.
Snow (dalam Juliana, 2010) menyatakan bahwa identitas sosial tidaklah
stabil. Menurut Wood (dalam Juliana, 2010), dalam menguraikan tentang identitas
subkultur, hal ini dapat menjadi proses berulang yang muncul, memudar, dan
dikembalikan. Sehingga, dengan menghabiskan waktu yang signifikan dengan
subkultur, akan mempengaruhi identitas secara mendalam.
Berdasarkan keterangan diatas, menimbulkan pertanyaan bagi peneliti
bagaimana dinamika proses terbentuknya identitas sosial sebagai kelompok
straight edge. Identitas sosial terbentuk dari kelompok, namun terlepas dari itu,
proses adaptasi dalam kelompok juga dipengaruhi oleh sosialisasi kelompok.
Sosialisi kelompok tediri dari evaluation, commitment, dan role transition,
(23)
individu. Pada akhirnya kedua hal ini tidak bisa dipisahkan dalam proses
terbentuknya identitas sosial dalam kelompok. Mengingat identitas serta
sosialisasi kelompok merupakan hal yang dinamis yang dapat berubah-ubah
sepanjang hidup dan mempengaruhi keterlibatan seseorang di dalam kelompok.
Prosedur pengambilan sampel yaitu dengan teknik sampling Snowball.
Selanjutnya, sesuai dengan deskripsi di atas, maka subjek penelitian yaitu orang
berperilaku sesuai dengan kelompok straight edge. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif terhadap kelompok straight edge. Jenis penelitian kualitatif yang akan
dilakukan adalah fenomenologi.
B.PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, maka perumusan masalah penelitian
ini adalah : “Bagaimana dinamika komponen pembentukan identitas sosial pada
kelompok straight edge?”
C.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Sesuai dengan perumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai dinamika komponen identitas
sosial pada kelompok straight edge.
Penelitian ini juga diharapkan memiliki manfaat teoritis serta manfaat
praktis.
(24)
1. Memberikan informasi tentang dinamika komponen identitas sosial pada
kelompok
2. Menjadi referensi bagi peneliti dengan kajian serupa.
3. Menambah daftar pustaka teori terhadap kelompok straight edge.
Adapun manfaat praktisnya, yaitu:
1. Memberikan informasi mengenai masalah-masalah dalam pembentukan identitas
sosial pada kelompok straight edge.
2. Sebagai sumber informasi serta referensi bagi masyarakat umum serta berbagai
kalangan mengenai eksistensi kelompok straight edge pada lingkungan musik
hardcore di kota Medan
3. Sebagai bahan referensi bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian
selanjutnya mengenai kelompok khususnya kelompok straight edge.
D.SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini terdiri dari lima bab, dan masing-masing dibagi atas beberapa
sub bab.
Adapun sistematika penulisan dalam seminar ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
(25)
Bab ini berisi teori-teori yang digunakan untuk mendukung
penelitian ini, yaitu teori faktor pembentuk identitas sosial,
karakter identitas sosial, teori sosialisasi kelompok, proses dan
fase sosialisasi kelompok, teori identitas sosial, , dan sejarah,
nilai, dan perilaku kelompok straight edge.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan
data, alat bantu pengumpul data, subjek penelitian, serta
prosedur analisa data.
BAB IV : Analisa dan Pembahasan
Pada bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan
pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang
dilakukan dan pembahasan data data penelitian sesuai dengan
teori yang relevan
BAB V : Kesimpulan, Saran, dan Diskusi
Pada bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai
dinamika proses pembentukan identitas sosial pada straight edge
(26)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. IDENTITAS SOSIAL 1. Definisi Identitas Sosial
Taylor, Peplau, Sears (2009) menyatakan bahwa pengetahuan tentang diri
berasal dari banyak sumber, dan banyak dari pengetahuan diri kita berasal dari
sosialisasi. Sosialisasi adalah bagaimana seseorang mendapat aturan, standar, dan
nilai kelompoknya, dan kulturnya.
Selanjutnya Ellemers (1993) menyatakan bahwa teori identitas sosial
merupakan identifikasi ingroup, yang merupakan sumber penjelasan terjadinya
konflik antar kelompok. Konsep identitas sosial digunakan untuk merujuk ke
bagian dari konsep-diri yang berasal dari kategori sosial orang yang terkait.
Ellemers, Kortekaas & Ouwerkerk (1999) juga menyatakan bahwa ada 3
komponen yang berkontribusi dalam pembentukan identitas sosial, yaitu cognitive
(kesadaran kognitif seseorang mengenai keanggotaan nya dalam sebuah kelompok
– self categorization). Kedua, evaluative component (nilai konotasi positif atau
negatif yang melekat pada keanggotaan kelompok – group self esteem). Yang
ketiga, emotional component (rasa keterlibatan emosional dengan kelompok –
affective commitment).
Menurut Burke & Stets (1998), identitas sosial merupakan kategorisasi-diri
(27)
anggota kategori sosial. Dengan penekanan yang lebih besar pada identifikasi
kelompok, berfokus pada hasil kognitif seperti ethnosentrisme, atau kohesivitas
kelompok.
Kemudian Tajfel (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan bahwa
social Identity adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial)
dan nilai serta signifikasi emosional yang ada dilekatkan dalam keanggotaan itu.
2. Komponen Pembentuk Identitas Sosial
Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh
Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar
terbentuknya identitas sosial, yaitu social identification, social categorization, dan
social comparison.
a. Identification
Ellemers (1993) menyatakan bahwa identifikasi sosial, mengacu pada
sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain)
sebagai anggota kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan,
dapat didefinisikan sesuai dengan “categorization” yang ditawarkan. Sebagai
hasilnya, kelompok sosial memberikan sebuah identification pada anggota
kelompok mereka, dalam sebuah lingkungan sosial. Ketika seseorang
teridentifikasi kuat dengan kelompok sosial mereka, mereka mungkin merasa
terdorong untuk bertindak sebagai anggota kelompok, misalnya, dengan
(28)
dalam proses identification ialah, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai
anggota kelompok tertentu. Selanjutnya Ellemers, , Kortekaas & Ouwerkerk
(1999) menambahkan bahwa identification terutama digunakan untuk merujuk
kepada perasaan komitmen afektif kepada kelompok (yaitu komponen
emosional), daripada kemungkinan untuk membedakan antara anggota pada
kategori sosial yang berbeda (komponen kognitif).
Menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), identifikasi merupakan identitas
sosial yang melekat pada individu, mengandung adanya rasa memiliki pada suatu
kelompok, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap
kelompok tersebut. Dalam melakukan identifikasi, individu dipacu untuk meraih
identitas positif (positive identity) terhadap kelompoknya. Dengan demikian akan
meningkatkan harga diri (self esteem) individu sebagai anggota kelompok.
Sementara demi identitas kelompok (identitas sosial) nya, seseorang atau
sekelompok orang rela melakukan apa saja agar dapat meningkatkan gengsi
kelompok, yang dikenal dengan istilah in-group favoritsm effect. Tajfel (dalam
Hogg, 2003) juga menyatakan bahwa dalam melakukan identifikasi, individu
cenderung memiliki karakteristik ethnocentrism pada kelompoknya.
Hogg & Abrams (1990) juga menyatakan bahwa dalam identifikasi, ada
pengetahuan dan nilai yang melekat dalam anggota kelompok tertentu yang
mewakili identitas sosial individu. Selain untuk meraih identitas sosial yang
positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang berusaha untuk
(29)
b. Categorization
Ellemers (1993) menyatakan bahwa categorization menunjukkan
kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan
membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu.
Sebagai konsekuensi dari categorization ini, perbedaan persepsi antara
unsur-unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori
(out group) lah yang lebih ditekankan. Dengan demikian, categorization berfungsi
untuk menafsirkan lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses
categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan kelompok, dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga.
Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai
persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok (Tajfel & Turner,
dalam Hogg & Vaughan, 2002). Adanya social categorization menyebabkan
adanya self categorization. Self categorization merupakan asosiasi kognitif diri
dengan kategori sosial (Burke & Stets, 1998) yang merupakan keikutsertaan diri
individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok. Oleh karena itu
dalam melakukan kategorisasi, terciptalah conformity, karena memungkinkan
individu untuk mempertahankan identitas sosialnya dan mempertahankan
keanggotaannya (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).
Tajfel dan Turner (dalam Hogg, 2003) menyatakan, kategorisasi membentuk
(30)
1. Kategorisasi menekankan pada hal-hal yang terasa sama di antara anggota
kelompok.
2. Kategorisasi dapat meningkatkan persepsi dalam homogenitas dalam kelompok.
Ini lah yang memunculkan streotype dalam kelompok.
3. Dalam melakukan kategorisasi, anggota kelompok cenderung melakukan
polarisasi dua kutub secara ekstrim, kami (ingroup) atau mereka (outgroup).
Sehingga setiap anggota kelompok berusaha mempertahankan keanggotaannya
dengan melakukan conformity.
c. Social Comparison
Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok
lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Ellemers (1993).
Identitas sosial dibentuk melalui perbandingan sosial. Perbandingan sosial
merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk identitas sosial dengan
memakai orang lain sebagai sumber perbandingan, untuk menilai sikap dan
kemampuan kita. Melalui perbandingan sosial identitas sosial terbentuk melalui
penekanan perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan
outgroup (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).
Menurut Hogg & Abrams (1990), dalam perbandingan sosial, individu
berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam ingroup.
Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini
(31)
perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan
status kelompoknya.
Perbandingan sosial dalam tingkah laku antar kelompok, menurut Tajfel
(dalam Hogg, 2003), menekankan pada hal-hal berikut:
1. Penilaian yang ekstrim pada outgroup, dan kelompok minoritas ataupun
subdominant lebih menunjukkan diferensiasi daripada kelompok mayoritas atau
dominant.
2. Adanya perbandingan sosial memberikan penekanan tingkah laku yang berbeda
antar kelompok (integroup differentiation).
3. Individu yang berada pada kelompok sub-dominant selalu menaikkan harga diri
kelompoknya (identitas sosial), dengan cara menurunkan derajat kelompok lain.
3. Karakter Identitas Sosial
Hogg & Vaughan (2002) menyatakan bahwa identitas sosial diasosiasikan
dengan tingkah laku kelompok, yang mempunyai karakteristik umum;
ethnocentrism, group favoritsm, intergroup differentiation, conformity to in-group norms, dan in-group stereotype
a. Ethnocentrism
Ethnocentrism adalah sifat khas daripada individu yang menganggap
kelompoknya lebih superior. Sehingga menumbuhkan kecenderungan penilaian
memandang in-group secara moral lebih baik dan lebih berharga daripada
(32)
b. In-group favoritsm
In-group favoritsm adalah perilaku yang menyukai dan menilai apa yang ada pada kelompoknya (in-group) melebihi kelompok lain (outgroup). Individu umumnya
kan menilai anggota in-group lebih positif. Dengan adanya in-group favoritsm,
individu akan mempunyai solidaritas yang kuat dalam kelompoknya.
c. Intergroup differentiation
Tingkah laku yang menekankan perbedaan antar kelompok yang dimilikinya
(in-group) dan kelompok lain (outgroup). Perbedaan antar kelompok akan
mempengaruhi persepsi sesorang tentang kelompoknya sendiri dan tentang
kelompok lainnya. Menurut Tajfel (dalam Hogg & Vaugha, 2002), kelompok
dengan kekuasaan yang lebih kecil lebih menyadari perbedaan kekuatannya dan
statusnya.
d. Conformity to in-group norms
Konformitas merupakan kecenderungan untuk memperbolehkan suatu perilaku
untuk dilakukan individu sesuai dengan norma yang ada di dalam kelompok
(in-group) nya. Konformitas merupakan kecenderungan seseorang untuk mengikuti
aturan dan tekanan in-group walaupun tidak ada permintaan langsung dari
kelompok tersebut agar individu merasa diterima oleh kelompoknya.
e. Group stereotype
Stereotype kelompok merupakan kepercayaan tentang karakteristik kelompok tertentu. Stereotype kelompok bisa positif, bisa negatif. Stereotype merupakan
persepsi terhadap suatu kelompok yang kaku (tidak dapat diubah), dan uniform
(33)
Karena individu mendapatkan identitas sosial mereka melalui kelompok dimana
mereka bergabung, mereka menciptakan ketertarikan dalam mempertahankan atau
memperoleh profil in-group yang lebih positif daripada kelompok outgroup yang
relevan (mirip).
B. SOSIALISASI KELOMPOK 1. Definisi Kelompok
Definisi kelompok menurut Burn (2004), adalah dua orang atau lebih individu
yang melakukan interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut
Hogg & Vaughan (2002), kelompok adalah kumpulan beberapa orang yang
memiliki pemahaman yang sama tentang diri mereka, tujuan yang sama, dan
mereka yang bertingkah laku sesuai dengan pemahaman mereka.
Johson & Johnson (dalam Hogg & Vaughan, 2002) mengidentifikasi tujuh
penekanan utama dari kelompok, yaitu :
1. Sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain
2. Unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu , yang menganggap dirinya
adalah bagian dari kelompok.
3. Sekumpulan individu yang saling ketergantungan.
4. Sekumpulan individu yang berkumpul untuk meraih tujuan.
5. Sekumpulan individu yang mecoba memuaskan kebutuhan mereka, melalui
asosiasi bersama.
(34)
7. Sekumpulan individu yang mempengaruhi satu sama lain.
Kesimpulan dari berbagai definisi di atas ialah, kelompok merupakan dua
atau lebih individu, yang saling berinteraksi, memiliki tujuan, menganggap
dirinya adalah bagian dari kelompok, dan berperilaku sesuai dengan norma
kelompok.
2. Faktor yang Mendorong Seseorang Berkelompok
Menurut Burn (2004), faktor yang mendorong seseorang berkelompok
adalah sebagai berikut :
1. Kelompok sebagai sumber untuk merasa berarti dan belonging. Maslow
mengatakan bahwa kebutuhan untuk belonging, rekognisi, dan penghargaan dari
orang lain (esteem), harus terpenuhi sebelum kita meraih tujuan pokok, yaitu self
actualization. Tentu saja kebutuhan ini terpenuhi oleh keterlibatan kita dengan
orang lain.
2. Kelompok sebagai sumber identitas.
Kelompok dimana kita bergabung merupakan bagian penting mengenai siapa kita
dan bagaimana kita mendefinisikan diri kita.
3. Kelompok merupakan sumber informasi.
Kelompok juga menyediakan informasi untuk kita mengenai dunia, dan tentang
diri kita. Dan untuk bertahan serta memenuhi kebutuhan kita, kita memerlukan
informasi dari kelompok.
(35)
Individu bergabung dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan, belonging,
serta informasi mereka. Individu juga membutuhkan kelompok untuk
menyelesaikan permasalahan, serta kelompok juga merupakan agen dalam
meningkatkan produktivitas.
5. Kelompok merupakan agen perubahan.
Yalom (dalam Burn, 2004) mengatakan bahwa kelompok mampu menolong
individu untuk berubah melalui instiling hope (jika orang lain dapat berubah,
maka saya pun demikian).
6. Kelompok membantu kita untuk bertahan.
Manusia terbentuk dan hidup dalam kelompok. Beberapa teori mengatakan bahwa
hidup dalam kelompok meningkatkan kesempatan manusia untuk bertahan.
Dengan melihat banyaknya manfaat yang diperoleh dari berkelompok, tidak
heran bahwa kelompok tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari.
3. Definisi Sosialisasi Kelompok
Definisi sosialisasi kelompok menurut Levine dan Moreland (dalam Hogg &
Vaughan, 2002) adalah hubungan yang dinamis antara kelompok dan anggotanya
yang menggambarkan perjalanan anggota melalui sebuah kelompok melalui
komitmen dan perubahan peran di sepanjang rentang kehidupan kelompok.
Sosialisasi kelompok merupakan perubahan pada hubungan antara kelompok serta
anggotanya (Burn, 2004).
Sheldon Stryker dan Ann Statham (dalam Myers, 2008) menyatakan bahwa
(36)
pada kelompok. Menurut Dion (dalam Myers, 2008), sosialisasi terjadi saat
individu cukup belajar untuk berkontribusi secara keahlian dan secara kompeten
dalam kelompok. Setiap budaya kelompok berubah ketika seorang anggota
bergabung ke dalam kelompok karena mungkin dipengaruhi oleh anggota lain
untuk mengadopsi cara baru dalam berkomunikasi dan berfungsi sebagai sebuah
kelompok. Sosialisasi adalah proses yang mempengaruhi individu dan kelompok
secara keseluruhan.
4. Proses sosialisasi kelompok
Tiga proses yang terjadi dalam menguraikan group socialization menurut
Johnson & Johnson (dalam Burn, 2004) adalah evaluation, commitment, dan role
transition. a. Evaluation
Evaluasi mengacu pada perbandingan atau pertimbangan manfaat yang terus
menerus dipertimbangksn oleh individu pada masa lalu, masa sekarang, serta
masa depan, dengan manfaat hubungan alternatif yang potensial (Thibaut &
Kelley (dalam Hogg & Vaughan, 2002). Secara simultan, kelompok mengevaluasi
individu mengenai kontribusi mereka pada kehidupan kelompok. Dalam proses
ini, terdapat asumsi bahwa individu memiliki goal dan need, yang menciptakan
harapan. Dan harapan akhirnya menghasilkan penerimaan sosial (social
approval). Mengantisipasi harapan aktual atau kegagalan dari penolakan sosial dan tindakan memodifikasi perilaku atau menolak individu atau kelompok.
(37)
Evaluasi menghasilkan komitmen individu pada kelompok dan kelompok pada
individu dengan cara yang relatif mudah. Bagaimanapun, pada waktu tertentu,
ketidakseimbangan komitmen mungkin terjadi. Misalnya individu lebih komit
terhadap kelompok atau kelompok lebih komit pada individu. Hasilnya, anggota
lebih berkomitmen dengan kekuatan yang lebih besar. Namun ini juga tidak stabil,
karena terdapat tekanan pada keseimbangan komitmen. Komitmen menghasilkan
persetujuan pada nilai dan tujuan kelompok, ikatan yang positif antara individu
dan kelompok, kemauan untuk mengerahkan usaha pada individu atau pada
kelompok, dan hasrat untuk melanjutkan keanggotaan.
c. Role transition
Role transition mengacu pada ketidaklanjutan dalam hubungan peran antara individu dan kelompok. Ketidakberlanjutan ini, menjadi sebuah penutup dari
sebuah kontinum dari variasi sementara dalam komitmen dan didahului oleh
kriteria keputusan kelompok dan individu untuk terjadinya sebuah transisi.
Ada tiga jenis peran yang umum :
1. Non-member, yaitu calon anggota yang tidak bergabung atau ex-member yang
telah meninggalkan kelompok.
2. Quasi member, yaitu new member yang belum mencapai status full member dan
marginal member yang telah kehilangan statusnya.
3. Full member, yaitu anggota yang paling lekat diidentifikasikan dengan kelompok
dan anggota yang memiliki hak istimewa serta tanggung jawab yang berhubungan
(38)
Role transition dapat terjadi sangat halus dan mudah, dimana individu dan kelompok sama-sama berkomitmen dan berbagi kriteria keputusan yang sama.
Bagaimanapun, ketidakseimbangan komitmen dan kriteria keputusan yang tidak
dibagi dapat menyebabkan konflik mengenai apakah role transition tidak harus,
atau harus terjadi.
5. Fase Group Socialization
Untuk melengkapi proses ini, Moreland & Levine (dalam Hogg & Vaughan,
2002) memberikan penjelasan detil mengenai perjalanan individu dalam
kelompok. Terdapat lima fase berbeda dari sosialisasi kelompok, melibatkan
evaluasi kembali dan pengaruh kelompok serta individu, semua digambarkan dan
disimpulkan oleh transisi peran (role transition) yang jelas.
1. Investigation
Kelompok merekrut calon anggota kelompok. Proses ini juga bisa melibatkan
proses formal yang melibatkan wawancara dan angket. Juga bisa berlangsung
secara informal. Investigation yang sukses mengarah pada role transition yang
menandai masuknya individu ke dalam kelompok (Moreland & Levine, dalam
Hogg & Vaughan, 2002). Kemudian individu juga meninjau dan mencari
kelompok yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Burn, 2004).
2. Socialisation
Membaurnya anggota baru dengan kelompok, membuat kelompok mengajarkan
anggota baru mengenai cara-cara dalam kelompok. Sebagai gantinya, anggota
(39)
Sosialisasi mungkin tidak terstruktur dan informal, namun juga bisa cukup formal.
Proses sosialisasi yang berhasil, ditandai oleh penerimaan (acceptance) (Moreland
& Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Dengan kata lain, kelompok dan
individu saling memeriksa satu sama lain sebelum menjadi anggota penuh (Burn,
2004).
3. Maintaince
Ketidakpuasan peran dapat mengarahkan transisi peran yang yang tidak
diharapkan, dan tidak direncanakan, yang disebut divergence. Hal ini merupakan
ciri khas yang cukup umum pada kelompok (Moreland & Levine, dalam Hogg &
Vaughan, 2002). Kelompok dan individu bernegosiasi sebagai usaha untuk
menemukan peran khusus yang memaksimalkan kepuasan individu dan dapat
meraih tujuan kelompok. Jika hal ini tidak terpenuhi, akan menurunkan komitmen
kelompok terhadap individu, dan individu terhadap kelompok (Burn, 2004).
4. Resocialisation
Pada beberapa kasus “unexpected divergence”, ada sedikit usaha pada saat
resosialisasi (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Individu
kembali ingin berubah dalam kelompok (accomodation), sementara kelompok
berusaha membuat anggota untuk bergaul dengan cara mereka (assimilation).
Sekali lagi, jika individu memiliki “bottom line” dalam kasus ini, hal yang terjadi
adalah exit criteria (Burn, 2004).
5. Remembrance
Setelah individu meninggalkan kelompok, kedua belah pihak (individu dan
(40)
2002). Pada fase ini, individu dan kelompok, dan sebaliknya mengevaluasi
pengalaman mereka. Kenangan tentang ex-member mungkin menjadi
pengetahuan bagi kelompok. Dalam beberapa kasus, ex-member memelihara
hubungan dengan kelompok, dan beberapa komitmen bersama yang rendah terus
berlanjut (Burn, 2005).
Gambar 1
Proses Psikologis dalam Group Socialization
Sumber: Levine dan Moreland, 1994; Hal 307
Gambar 2
Model Proses Group Socialization
(41)
Setiap budaya kelompok berubah ketika seorang anggota bergabung ke dalam
kelompok karena mungkin dipengaruhi oleh anggota lain untuk mengadopsi cara
baru dalam berkomunikasi dan berfungsi sebagai sebuah kelompok. Sosialisasi
adalah proses yang mempengaruhi individu dan kelompok secara keseluruhan.
C. STRAIGHT EDGE 1. Definisi Straight Edge
Menurut Haenfler (2006), straight edge adalah ideologi, serta perilaku
abstain dari alkohol, obat-obatan, tembakau, dan perilaku seks berganti-ganti
pasangan, atau disebut "(promiscuous)" yang sangat identik dengan punk rocker.
Straight edge adalah subkultur pemuda yang menolak tekanan umum untuk meminum alkohol, menggunakan narkoba, dan seks berganti-ganti pasangan.
Mengkomunikasikan identitas mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dan
hidup bersih melalui komitmen mereka terhadap perilaku abstain (Juliana, 2010).
Foucault (dalam Nilan, 2006) menyatakan bahwa straight edge bukan hanya
sebuah istilah untuk sebuah subkultur anak muda tapi untuk genre musik
hardcore. Straight edger menikmati reputasi mereka untuk menghadiri
pertunjukan musik hardcore yang agresif dan moshing (menari hardcore) hingga
lelah. Titik perbedaan adalah walaupun melakukan aktifitas hardcore, tetapi 'kami
tidak bangun dengan mabuk keesokan harinya’. Menerapkan aturan straight edge
(42)
Jadi berdasarkan beberapa pendapat di atas, kesimpulannya, straight edge
adalah perilaku abstinance terhadap rokok, alkohol, dan promiskuitas yang
diciptakan oleh genre hardcore. Dimana dalam eksekusinya, kembali kepada self
control masing-masing individu.
2. Sejarah Straight Edge
I’m a person just like you / But I’ve got better things to do / Than sit around and fuck my head / Hang out with the living dead / Snort white shit up my nose / Pass out at the shows / I don’t even think about speed / That’s something I just don’t need / I’ve got the straight edge
I’m a person just like you / But I’ve got better things to do / Than sit around and smoke dope / ’Cause I know that I can cope / I laugh at the thought of eating ’ludes / Laugh at the thought of sniffing glue / Always gonna keep in touch / Never want to use a crutch / I’ve got the straight edge.
“Straight Edge” by Minor Threat, 1981
Lirik di atas berasal dari band hardcore Minor Threat. Lirik tersebut
menghasilkan gerakan yang telah meyakinkan ribuan orang muda untuk berhenti
(atau tidak pernah memulai) menggunakan obat-obatan, alkohol, dan produk
tembakau. Media populer, budaya mainstream, dan ilmuwan sosial bahkan sudah
sering men-stereotipkan bahwa pemuda adalah makhluk yang hedonis, identik
dengan seks bebas, dan terperosok dalam penyalahgunaan zat.
Penggunaan zat pada remaja telah membangun masalah sosial yang serius,
yang memperkuat citra pemuda sebagai "in crisis" (Goode, dalam Haenfler,
2006). Namun, sXe mempromosikan gaya hidup bebas obat-dan alkohol,
bertanggung jawab secara seksual yang dianggap menarik bagi ribuan pemuda di
(43)
cita-cita progresif punk dan musik keras yang secara tajam, kontras dengan image
umum pemuda yang liar.
Straight edge pada awalnya muncul di Pantai Timur Amerika Serikat dari subkultur punk di awal tahun 1980-an. Pemilik Club di Washington, DC, tidak
mengizinkan anak-anak di bawah umur untuk masuk ke dalam club karena takut
anak dibawah umur akan memesan minuman keras (karena hukum usia minum
saat itu 18 tahun). Sebagian besar keuntungan dari sebuah club/pub adalah dari
penjualan alkohol, dan karena itu lebih cenderung untuk melayani orang dewasa.
Pemilik juga takut tertangkap, di denda, dan mungkin dicabut lisensi kepemilikan
minuman keras mereka, karena membiarkan peminum di bawah umur. Namun hal
ini tidak bisa ditoleransi oleh anak-anak yang ingin menonton pertunjukan di club.
Untuk mengakomodasi penggemar bawah umur yang ingin masuk ke club,
club menandai tangan anak punk hardcore DC yang masih di bawah umur, dengan
tanda X besar sebagai sinyal untuk pekerja club agar tidak melayani mereka untuk
memesan alkohol. Simbol X dengan cepat menjadi simbol penentangan. Pemuda
mengubah X dari stigma (yaitu, tidak memiliki "kebebasan" minum alkohol)
menjadi sebuah simbol kebanggaan, seolah-olah mengatakan, "bukan hanya
karena kami tidak boleh minum, tapi kami tidak ingin minum. "
Saat pemuda secara hukum diperbolehkan untuk minum, mereka mulai
menandai tangan mereka sendiri. Praktek ini dipopulerkan pada sampul album
sebuah band di DC, yaitu The Teen Idles’ 1980 Minor Disturbance 7. Dengan
menampilkan gambar seorang anak punk yang menyilangkan tangan membentuk
(44)
Meskipun sXe berakar pada keinginan praktis anak-anak untuk melihat band
yang mereka cintai, gerakan ini muncul terutama sebagai respon terhadap
kecenderungan nihilistik scene punk, termasuk penyalahgunaan obat dan alkohol,
seks bebas, kekerasan, dan merusak diri sendiri sikap "hidup cepat, mati muda ".
Para pemuda yang melahirkan lingkungan sXe, menghargai sikap punk hardcore
yang "mempertanyakan segala sesuatu", mentalitas, energi, gaya agresif, dan
sikap do-it-yourself, tapi sXe tidak tertarik pada lingkungan hedonisme dan
mantra "tidak ada masa depan". Anggota straight edge mengadopsi ideologi
"hidup bersih", menghindari alkohol, tembakau, obat-obatan terlarang, dan seks
berganti-ganti pasangan.
Bagi kebanyakan anak sXe, menjadi bersih dan bijaksana adalah pernyataan
terbesar dari etos punk hardcore, tindakan perlawanan yang menantang, baik
budaya dewasa dan pemuda yang mainstream. Menjadi “straight” (lurus),
memberikan pemuda sebuah “edge” (batasan) (Azerrad, dalam Haenfler:9, 2009)
Straight edge berhutang budi pada Minor Threat, band DC yang membuat
landasan gerakan ini. Lagu mereka pada tahun 1981 "Straight Edge" memberikan
gerakan sesuai dengan namanya, dan bagian reff lagu "Out of Step" 1983, untuk
melengkapi kepercayaan mereka: “i dont smoke, i dont drink, i dont fuck, at least
i can fucking think" (Saya tidak merokok, tidak minum, tidak melakukan sex, paling tidak saya mampu berfikir). MacKaye, dianggap oleh banyak orang sebagai
pendiri sXe, yang sebenarnya tidak memiliki niat untuk memulai sebuah gerakan
(45)
Ideologi kemudian berkembang untuk ditambahkan dalam perluasan
straight edge. Seperti dikutip dalam Juliana (2010), misalnya, coll-Edge diciptakan untuk berpura-pura menjadi straight edge, dengan berkomitmen hanya
sampai masuk perguruan tinggi saja, melanggar slogan subkultur "true till death"
(Haenfler, 2004). Militancy, sekelompok straight edger yang melakukan
kekerasan terhadap orang lain yang minum atau merokok, yang akhirnya menjadi
identitas umum mereka (Williams & Copes, dalam Juliana 2010). Terakhir,
posi-straight edge untuk mengidentifikasi posi-straight edger yang memodifikasi posi-straight
edge sebagai gaya hidup pada pikiran positif (Good Clean Fun, dalam Juliana,
2010). Ideologi baru yang tercipta menciptakan identitas sering tumpang tindih
dengan satu sama lain (Williams & Copes, dalam Juliana 2010), namun tidak
semua anggota mengadaptasi identitas Straight Edge mereka dengan modifikasi
ini dibuat oleh "generasi kedua" tadi (Tsitos, dalam Juliana, 2010).
Menjadi punk berarti menjadi seorang individu, yang mengadopsi label
apapun atau mengikuti kepercayaan apa pun yang bertentangan dengan ekspresi
individual. Anak punk hardcore yang sebelumnya diejek karena tidak
menggunakan alkohol dan obat-obatan, kini memiliki komunitas yang tidak hanya
menerima tetapi juga memperjuangkan hidup bersih. Straight edge tetap hampir
tak terpisahkan dari musik hardcore. Hardcore adalah genre yang luas namun
mulai umum sebagai versi yang lebih cepat dari punk.
Selama tahun 90-an, punk dan hardcore menjadi semakin berbeda, dengan
gaya dan model mereka sendiri. Dimana punk memakai pakaian flamboyan dan
(46)
Band straight edge berfungsi sebagai pembentuk utama ideologi kelompok dan
identitas kolektif. Hardcore masih menunjukkan tempat yang paling penting bagi
sXers untuk berkumpul, berbagi ide, dan membangun solidaritas.
Prinsip dasar sXe cukup sederhana: anggota benar-benar abstain, dari
narkoba, alkohol, dan penggunaan tembakau dan biasanya menunda aktivitas
seksual untuk memelihara hubungan, menolak seks bebas. Aturan sXe ini mutlak,
tidak ada pengecualian dan kesalahan kecil yang terjadi berati penganut
kehilangan klaim atas identitas sXe nya. Pantangan berarti banyak hal untuk
sXers, termasuk resistance, self actualization, dan social transformation. Anggota
berkomitmen seumur hidup untuk hidup bersih dan, meskipun kelompok kurang
memiliki kepemimpinan formal dan struktur, sXers dengan tekun bertahan
menjadi "true" untuk identitas mereka.
3. Nilai Utama Kelompok Straight Edge
Resistance in a time of mass self-destruction / Makes the few who walk the straight edge / A growing force of change / Committed, though gripped by the plague of a nation / Consumed by its intoxication and confined by crippling greed / In my rage / I walk the path of true change / Commitment sworn in the name /Of those who will walk the straight edge / Convictions held to my grave.
“Force of Change” by Strife, 1997 Sepanjang sejarah sXe, tren dalam gerakan telah datang dan pergi sama
cepatnya dengan keluar masuknya anggota sXer. Kesulitan identifikasi
serangkaian prinsip-prinsip inti yang mencakup waktu dan geografi, dikarenakan
perubahan nilai-nilai, setiap scene memiliki rasa sendiri, dan bahkan individu
(47)
Straight edger menyadari bahwa sXe berarti sesuatu yang berbeda untuk
setiap orang, dengan asumsi identitas, dan seperti kelompok lain, tingkat dedikasi
anggota individunya bervariasi. Sementara individu bebas untuk mengikuti
filosofi dalam berbagai cara, seringkali mereka menambahkan interpretasi mereka
sendiri, ada seperangkat nilai-nilai yang banyak mendasari gerakan ini:
positifisme / hidup bersih, komitmen seumur hidup pada gerakan straight edge
dan nilai-nilainya, menunda seks sebagai pemeliharaan hubungan, aktualisasi diri,
menyebarkan pesan subkultur, dan keterlibatan karena terus maju (progresif).
Slogan T-shirt, lirik lagu, tato, dan simbol-simbol lainnya terus
mengingatkan sXers pada misi dan dedikasi mereka: " It’s OK Not to Drink,"
"True Till Death," dan "One Life Drug Free" adalah beberapa di antara pesan
yang terkenal secara umum. Simbol "X," yang merupakan simbol universal sXe,
muncul pada awal tahun 1980, ketika pemilik klub musik menandai tangan
penonton konser yang masih di bawah umur dengan simbol X untuk memastikan
bahwa bartender tidak akan melayani mereka alkohol (Lahickey dalam Haenfler,
2006). Pemuda memakai simbol X pada ransel mereka, kemeja, dan kalung, juga
tato pada tubuh mereka, dan benda lainnya. Simbol X menyatukan pemuda di
seluruh dunia, mengkomunikasikan seperangkat nilai-nilai dan pengalaman.
Straight edge menemukan kekuatan, persahabatan, kesetiaan, dan dorongan dari
teman-teman sXe mereka, dan menghargai mereka di atas segalanya.
Banyak pemuda sXe hidup bersama. Dengan munculnya email dan internet,
anak-anak sXe berkomunikasi melalui 'komunitas virtual' di berbagai negara
(48)
musik hardcore, dan dilambangkan dengan avatar atau tampilan visual X,
merupakan perekat yang telah mengikat gerakan sXe dan nilai-nilainya selama
dua puluh tahun.
4. Perilaku Kelompok Straight Edge
Straight edge mempertahankan adat istiadat dan budaya nya melalui
keterlibatan dalam musik hardcore dengan cara membeli musik straight edge, dan
menghadiri pertunjukan straight edge (konser dengan panggung kecil) (Juliana,
2010).
Dalam mengkomunikasikan komitmen mereka, dan untuk mengidentifikasi
diri mereka kepada sesama straight edger, pemuda Straight Edge mengambil
simbol “X” atau "XXX" sebagai tiga pantangan mereka: tidak minum, tidak
merokok, dan tidak melakukan seks berganti-ganti pasangan. Simbol ini juga
dapat ditemukan pada pakaian, tato tubuh, dan tampilan nama di dunia maya
(Juliana, 2010).
5. Faktor yang Menyebabkan Anggota Exit dari Straight Edge
Sama seperti kelompok atau pergerakan, identitas kolektif Straight Edge
tidaklah stabil stabil. Justru berubah-ubah, tidak pasti, dan dapat bersifat
sementara (Snow, dalam Juliana 2010). Meskipun awalnya sXers memiliki
gagasan bahwa mereka akan "true til’ death” (“benar hingga mati") partisipasi
mereka tidak berlangsung seumur hidup, seperti komitmen yang mereka janjikan.
(49)
Dalam merefleksikan identitas kolektifnya, straight edger dapat mengalami
pengalaman yang disebut Giddens (dalam Juliana, 2010), sebagai “fateful
moment”, di mana mereka mencapai titik kesadaran diri dan mengevaluasi kembali " inner wishes (keinginan batin)" mereka. Momen ini bisa menjadi titik
transisi di mana sXer mungkin menyadari “ketidakpuasan” pada scene straight
edge (Haenfler, 2004).
Haenfler (2004) juga berargumen bahwa pada masa muda, gerakan straight
edge membantu individu melalui waktu yang penting dan sulit ketika pertama kali ter-ekspos minuman keras, obat-obatan, dan perilaku seksual. Straight edger yang
sudah dewasa menghabiskan bertahun-tahun di dalam subkultur, dan mungkin
mulai merasa dibatasi dalam pilihannya, sehingga sebagian besar sXers mencela
identitas kolektif mereka dalam tahun-tahun terakhir masa muda mereka.
Menurut Polletta & Jasper (dalam Juliana, 2010), penyebab signifikan dalam
berhentinya partisipasi sXe adalah, bahwa makna dari identitas kolektif tidak lagi
terkait dengan identitas pribadi sXer. Dengan kata lain, "[mereka]” berhenti
percaya bahwa gerakan 'mewakili’ [mereka] (Lahickey, dalam Juliana 2010).
Straight edge merupakan desired self, pergeseran ideologi kemudian dicari karena melemahnya sense of belonging, sehingga menambah tekanan teman
sebaya, dan konotasi konstriktif dari Straight Edge, sehingga pada akhirnya
berakhir pada keluarnya individu dari kelompok straight edge (Juliana, 2010).
D.Dinamika Kompenen Identitas Sosial pada Kelompok Straight Edge
Kelompok tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari.
(50)
adaptasi terhadap perilaku, norma, dan budaya kelompok itu sendiri. Termasuk
pula dalam kelompok straight edge.
Moreland & Levin (dalam Burn, 2004) mengasumsikan, seiring berjalannya
waktu, perubahan juga terjadi pada hubungan antara kelompok dan tiap-tiap
anggotanya, ini disebut group socialization. Tiga proses yang terjadi dalam
menguraikan group socialization menurut Burn (2004) adalah evaluation,
commitment, dan role transition.
Adapun tahapan sosialisasi kelompok menurut Levine dan Moreland (dalam
Burn, 2004) terdiri dari 5 tahap, yaitu investigation, socialization, maintance,
presocialization, dan remembrance. Proses dimulai saat individu mencari
kelompok yang mampu memenuhi kebutuhannya, bersosialisasi dengan nilai
kelompok, dan mempertahankan kepuasan dirinya akan kelompok. Penyesuaian
terus terjadi, dan ketidakpuasan baik individu terhadap kelompok, ataupun
kelompok pada individu, menyebabkan anggota kelompok untuk keluar dari
kelompok.
Jika kelompok menawarkan manfaat bagi individu, misalkan saja tempat
berlindung dari peer pressure, akan menumbuhkan “commitment” pada individu
untuk bergabung dan tetap bertahan pada kelompok. Namun menurut Burn
(2004), jika kelompok pada akhirnya menawarkan sesuatu yang tidak
menguntungkan, pada akhirnya akan menurunkan komitmen anggota untuk
bertahan pada kelompok. Perubahan yang terjadi peran pada individu, disebut
dengan role transition yang terjadi sejalan dengan menurunnya komitmen pada
(51)
menjadi anggota penuh (full member), menjadi anggota yang belum sepernuhnya
diterima (quasi-members) atau sebaliknya dari full member menjadi non member.
Pergeseran peran dalam kelompok straight edge jika ditinjau dari pernyataan,
Levine dan Moreland (dalam Hogg 2002) melalui model proses sosialisasi
kelompok dapat mendeskripsikan dan memahami individu dalam kelompok. Teori
model proses sosialisasi kelompok ini berfokus pada dinamika hubungan antara
individu dan anggota kelompok. Model sosialisasi kelompok dapat digunakan
untuk kelompok formal ataupun informal, kelompok besar atau kecil, serta untuk
kelompok yang bersifat jangka panjang atau sementara.
Perubahan peran pula yang mendiskripsikan ketidakstabilan peran dan
identitas pada member straight edge. Sesuai dengan pernyataan Snow (dalam
Juliana, 2010), identitas straight edge tidak stabil. Justru berubah-ubah, tidak
pasti, dan dapat bersifat sementara. Terlepas dari itu, walaupun beberapa straight
edger mengalami perubahan ideologi ataupun pergeseran ideologi terkait dengan identitas straight edge yang terkesan “membatasi”, namun ada pula member
straight edge yang merasa semakin terikat dengan kuat pada identitasnya.
Dengan kata lain, sosialisasi membantu kita menemukan identitas diri kita.
Juliana (2010) menyatakan bahwa pemuda (sadar atau tidak sadar) mencari
identitas di lingkungan straight edge. Dengan kata lain, partisipasi subkultur
menyebabkan pemuda secara umum mengubah identitas mereka.
Straight Edge menciptakan tempat untuk eksperimen identitas, bagi pemuda untuk mengeksplorasi pertanyaan, "Siapakah aku?" (Haenfler, 2004).
(52)
berpartisipasi dalam aktifitas kelompok, terbentuklah social identity, dimana ini
merupakan bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya
dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta
signifikasi emosional yang dilekatkan dalam keanggotaan itu.
Snow (dalam Juliana, 2010) menyatakan bahwa identitas sosial tidaklah
stabil. Sosialisasi kelompok dapat merubah peran (role) individu pada kelompok,
dan keberhasilan dalam memperoleh identitas sosial dalam kelompok. Maka
proses sosialisasi dan proses pencarian identitas tidak bisa dipisahkan dalam
pencarian identitas sosial. Pengetahuan tentang diri berasal dari banyak sumber,
dan banyak dari pengetahuan diri kita berasal dari sosialisasi (Taylor, Peplau,
(53)
E. Kerangka Berfikir MUSIK Musik Underground Musik Hardcore Straight Edge Kelompok Hardcore PERSAMAAN KARAKTERISTIK Menghadiri konser hardcore Menari ala hardcore gaya hidup yang negatif,
self destructive, penyalahgunaan obat dan
alkohol, seks bebas,
"live fast, die young”
Pantangan terhadap rokok, alkohol, dan
seks bebas
Memakai identitas sXe (lambang X,
serta baju sXe)
Menganut gaya Proses Sosialisasi Kelompok Levine & Moreland (2004) (evaluation, commitment, role Komponen Identitas Sosial Tajfel (1990) (identification, categorization, social comparison) Ethnocentrism In group favoritsm Intergroup differentiation
Terbentuknya Identitas Sosial Pada Kelompok
Straight Edge
(54)
BAB III
METODE PENELITIAN
A.PENDEKATAN KUALITATIF
Penelitian terhadap kelompok straight edge ini akan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Sebab menurut Sarantakos (dalam Poerwandari,
2007) penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami kehidupan sosial. Manusia
tidak sadar mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan
rangkaian makna dalam menjalani hidupnya. Selanjutnya (Poerwandari, 2007:64)
menyatakan bahwa bila anda tertarik untuk memahami manusia dalam segala
kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, pendekatan kualitatif adalah yang
sesuai untuk digunakan.
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti
adalah pendekatan kualitatif fenomenologis yang merupakan suatu pendekatan
penelitian kualitatif yang berfokus pada pengalaman-pengalaman subjektif manusia
dan interpretasi dari segala sesuatu hal yang ada di sekelilingnya. Penelitian
kualitatif fenomenologis menekankan pada aspek subjektif dari perilaku seorang
individu. Peneliti dengan pendekatan fenomenologis akan berupaya untuk masuk ke
dunia konseptual responden sedemikian rupa sehingga mendapat pemahaman
mengenai apa dan bagaimana arti dari fenomena yang diteliti bagi responden
tersebut. Fenomenologis tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti dari
fenomena yang ditelitinya bagi responden. Peneliti fenomenologis meyakini bahwa
(55)
pengalaman-pengalamannya dan penilaian akan pengalaman tersebut merupakan
gambaran diri seorang individu (Moleong, 2004).
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
terfokus. Penggunaan metode wawancara ini bertujuan untuk mengarahkan
pembicaraan pada hal-hal/aspek-aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman
partisipan serta observasi selama wawancara berlangsung.
1. Wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek
yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah
aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan. Pedoman wawancara juga
bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
Pedoman wawancara ini pun merupakan alat bantu untuk mengkategorisasikan
jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data nantinya. Dalam penelitian
ini, walaupun peneliti menggunakan pedoman wawancara, tetapi pedoman tersebut
tidak sepenuhnya utuh digunakan saat wawancara berlangsung. Dalam wawancara
tersebut pedoman diimprovisasi oleh peneliti, sehingga wawancara lebih hidup dan
lebih menarik bagi responden. Adapun pedoman menggunakan wawancara
terstandar yang terbuka, yang berisikan latar belakang kehidupan, serta proses
terbentuknya identitas sosial.
2. Observasi selama Wawancara berlangsung
Observasi berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan
(56)
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari,
2007).Observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian,
apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Tujuan observasi adalah
mendiskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung,
orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif
mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Patton, dalam
Poerwandari, 2007).
Menurut Poerwandari (2007), observasi harus dilaporkan secara deskriptif, tidak
interpretatif. Deskripsi harus memadai dalam detail. Deskripsi interpretatif dengan
menggunakan kesimpulan dari peneliti. Observasi dalam penelitian ini dilakukan
secara tertutup dan bersifat participant.
B.ALAT BANTU PENGUMPUL DATA 1. Tape Recorder
Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan
dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana bila
peneliti hanya mengandalkan ingatan. Karena tujuan tersebut, perlu digunakan tape
recorder agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat
menghubungi subjek kembali apabila masih ada hal yang belum lengkap ataupun
belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini, wawancara juga merupakan data yang
utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan subjek dalam wawancara.
Penggunaan tape recorder juga dilakukan dengan seizin subjek penelitian.
(57)
Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah
wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Pedoman
wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek
yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah
aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian,
peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit
dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat
wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat untuk
mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data.
Pedoman wawancara ini disusun tidak hanya berdasarkan pada tujuan penelitian,
tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin
dijawab (Poerwandari, 2007). Dalam hal ini, pedoman wawancara berisikan latar
belakang kehidupan, serta komponen identitas sosial, dan proses sosialisasi.
3. Lembar Observasi dan Catatan Subjek
Lembar observasi dan pencacatan subjek digunakan untuk mempermudah proses
observasi yang dilakukan. Observasi dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar
observasi dan catatan subjek antara lain meuat tentang pennampilan fisik subjek,
setting wawancara, suasana lingkungan, sikap dan reaksi subjek, serta hal-hal yang menarik maupun yang mengganggu dalam pelaksanaan wawancara.
(1)
pengalaman W1-MF/b. 640-642/hal.
30
Evaluasi positif terhadap straight edge karena bisa bertemu dengan straight edger lain di berbagai kota
Proses Sosialisasi
W1-MF/b.643-644/hal. 30
Evaluasi positif terhadap straight edge karena bisa punya band straight edge
Proses Sosialisasi
W2-MF/b.407-409/hal.19
Disenangi oleh orang tua wanita yang sedang didekatinya karena tidak merokok. Proses Sosialisasi 2x Keyakinan menjadi straight edge (commitment) W2-MF/b.163-164/hal.8
Straight edge adalah bagian hidupnya Proses Sosialisasi W1-MF/b.282-284/hal. 13-14 Mampu mengontrol dirinya, meskipun dihasut orang lain
Proses Sosialisasi
(2)
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Samaran Data Demografis
Usia Suku
Anak ke..dari.. Pendidikan/Pekerjaan
Lama menjadi straight edger
A. Latar belakang subjek menjadi straight edger
- Darimana responden mengetahui mengenai straight edge?
- Siapa tokoh penting yang membantu responden mengenal straight edge?
- Mengapa responden tertarik menjadi straight edger? - Kapan responden menjadi straight edge?
B. Komponen pembentukan identitas sosial: 1. Categorization
- Apa yang membedakan antara straight edge dan non straight edge? - Apa pendapat responden mengenai penikmat hardcore yang non
straight edge?
- Mengapa responden merasa ingin menjadi straight edge?
- Bagaimana responden mengenali bahwa seseorang adalah straight edge?
(3)
- Seberapa sering intensitas responden bertemu dengan teman-teman straight edge nya?
- Apakah responden dan teman-teman straight edge anda saling membantu dan mengingatkan satu sama lain akan ‘true til death? 2. Social comparison
- Dapatkah responden membedakan antara in group dan out group? - Apakah responden merasa bahwa straight edge lebih baik dari yang
non straight edge?
- Apakah responden memisahkan diri dengan non straight edge? Atau anda turut berbaur dengan yang lainnya?
- Apakah responden merasa dengan menjadi straight edger, responden dan kelompok hardcore anda dipandang lebih baik oleh masyarakat/orang sekitar?
3. Identification
- Usaha apa yang responden lakukan untuk menemukan jati diri anda sebagai straight edger?
- Kapan responden merasa bahwa anda telah menjadi straight edger? - Mengapa responden merasa telah menjadi straight edge?
- Bagaimana cara responden menunjukkan bahwa anda adalah straight edge?
C. Proses Dasar Sosialisasi Kelompok Yang Dialami Subjek 1. Evaluation
- Apa pendapat responden mengenai straight edge? - Apa manfaat straight edge bagi responden?
(4)
- Keuntungan dan kerugian apa yang telah responden alami selama menjadi straight edge?
- Apakah responden merasa dirinya lebih baik setelah menjadi straight edge?
- Perubahan/hal-hal unik apakah yang terjadi setelah responden menjadi straight edger?
2. Commitment
- Kapan responden merasa bahwa dirinya adalah straight edge?
- Apakah responden sudah memahami dan paham akan konsekuensi mengenai keputusannya?
- Bagaimana cara responden berkomunikasi dan membentuk ikatan dengan teman-teman straight edge (anggota) lainnya?
- Bagaimana perasaan responden setelah bergabung dengan kelompok straight edge?
- Setelah memiliki identitas sebagai straight edger, mengapa responden ingin terus melanjutkan ideologi straight edge?
3. Role Transition
- Peristiwa apa yang menandakan masuknya responden ke dalam kelompok?
- Apakah pernah terjadi konflik dalam scene straight edge pada responden?
(5)
LEMBAR OBSERVASI
Partisipan
Hari/ Tanggal wawancara :
Waktu wawancara :
Tempat Wawancara :
Wawancara ke :
No Hal yang diobservasi Keterangan
1. Penampilan fisik 2. Setting wawancara 3. Sikap selama wawancara 4. Hal yang mengganggu
jalannya wawancara 5. Hal yang sering dilakukan
(6)
INFORMED CONSENT
Pernyataan Pemberian Izin oleh Partisipan
Judul Penelitian : Proses Pembentukan Identitas Sosial pada Straight Edge Peneliti : Yulli Miata Fanny
NIM : 091301001
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tanpa unsur paksaan dari siapapun, bersedia untuk berperan serta dalam penelitian ini. Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Dinamika Faktor Pembentukan Identitas Sosial pada Straight Edge
Peneliti telah menjelaskan tentang tujuan dan manfaat dari penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.
Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.
Medan, Januari 2014