Kisruh Penentuan UMK Kegagalan Mekanisme

Kisruh Penentuan UMK: Kegagalan Mekanisme Pasar dan Kegagalan Fungsi Pemerintah
Oleh: Kodrat Wibowo1
Saya sebenarnya bukanlah pemerhati ekonomi ketenagakerjaan, beberapa tulisan saya di media
massa populer memang terkait dengan ulasan penentuan upah minimum (UMP/UMK) dan
produktifitas di Indonesia. Bidang konsentrasi murni saya adalah kebijakan dan keuangan publik dan
itulah karenanya saya mau tidak mau ikut mengulas bidang ketenagakerjaan karena peran publik baik
anggaran dan kebijakannya mau tidak mau terlibat dan harus menjadi faktor determinan dalam
penentuan kebijakan penentuan UMK yang di Indonesia memang melibatkan pemerintah daerah
dalam ini propinsi dan Kabupaten/kota dengan mekanisme tripartite. Akhir-akhir ini issue tentang
penentuan UMK kembali marak dan sepertinya menjadi cerita tiada akhir dalam khazanah politik dan
pembangunan di Indonesia. Penentuan UMK yang tidak sesuai dengan tuntutan pekerja sebesar 50%
dari besaran UKM tahun sebelumnya di jakarta contohnya menuai banyak kritik dan ketidakpuasan
dari kaum pekerja dan buruh di Jakarta. Gubernur Jokowi sebagai figur kepala daerah ternama saat
ini sepertinya tetap tidak dapat mengelak dari kekisruhan dan pertentangan antara kaum pekerja dan
pengusaha dalam masalah penentuan UMK di daerah yang dia pimpin, ancaman mogok dan
demonstrasi buruh sepertinya tetap menghantui kestabilan politik dan ekonomi di setiap penjuru
daerah di Indonesia.
Seperti pernah saya tulis pada www.eastasiaforum.org, sebenarnya kekisruhan mengenai penetapan
UMK ini masih tetap berkutat pada penentuan jumlah yang dipertentangkan. Pekerja menuntut
kenaikan upah yang bagi mereka layak terkait dengan angka KHL yang telah dihitung di daerah
mereka masing-masing, terlebih harus diakui bahwa memang tuntutan biaya hidup dari tahun ke

tahun secara nyata kasat mata memang selalu meningkat. Sementara itu pengusaha tidak
berkebaratan menaikkan besaran upah asalkan wajar dan sesuai dengan peningkatan produktifitas
pekerja. Dua persepsi yang secara teori ekonomi memang sulit dicapai kesepakatannya menjadi
suatu keseimbangan UMK yang disetujui kedua belah pihak dalam satu mekanisme pasar tenaga
kerja karena faktor-faktor irasionalitas yang kental dalam perilaku para pelaku pasar tenaga kerja
yaitu pekerja dan pengusaha itu sendiri. Apalagi dalam situasi rawan politik seperti tahun 2013 ini,
kekisruhan penentuan UMK seakan-akan ditiup dan dipanas-panasi demi kepentingan PEMILU 2014
karena jumlah pekerja yang cukup signifikan dalam kategori pemilih kelas menengah; kelas calon
konstituen yang menjanjikan seluruh parpol dalam upaya menarik suara pemilih dimanapun.
Kenaikan UMK yang dituntut oleh kaum pekerja sebesar 50% sendiri masih dipertanyakan dasar
keabsahannya. Sesuai dengan peraturan, besaran UMK sebuah daerah memang harus didasarkan
pada besaran nominal angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) daerah tersebut. Secara standar konsep
yang berlaku, perhitungan KHL ini sendiri masih dipertentangkan karena jumlah 64 komoditas yang
dihitung besaran kebutuhannya masih dianggap belum mewakili kebutuhan minimum yang
sebenarnya terjadi. Tuntutan yang terdengar dari kaum pekerja adalah keinginan memasukkan biayabiaya leisure dan kebutuhan sekunder bahkan tersier seperti pulsa telepon seluler menjadi total 84
komoditas memang patut dipertanyakan rasionalitasnya. Beberapa LSM mendukung keinginan kaum
pekerja tersebut melalui survey dan kajian yang mereka lakukan yang intinya memang menginginkan
adanya penambahan jumlah komoditas dalam penghitungan KHL dalam upaya mendongkrak besaran
1 Pengamat Keuangan dan Kebijakan Publik, Ketua ISEI Bandung Koordinator Jabar, Kepala Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, Bandung.


UMK yang akan ditetapkan per tahun. Pantas dicatat bahwa keinginan UMK naik sama besarnya
dengan peningkatan harga BBM tahun ini sebesar 44,4% saja sangatlah tidak masuk diakal karena
BBM dalam kenyataannya tidaklah menjadi komponen utama pada proses produksi setiap barang
dan jasa yang dikonsumsi; bahkan dalam harga komoditas makanan minuman, BBM hanya berperan
sekitar 13% saja dalam total penentuan harga sehingga bila memang UMK harus naik maka
kenaikannya harus disesuaikan dengan rata-rata peningkatan harga seluruh barang akibat kenaikan
harga BBM sebagai komponen, niscaya bila dhitung secara benar, maka kenaikan UMK tidaklah harus
sebesar peningkatan harga BBM.
Disisi lain pengusaha juga terlihat tidak peka dalam memandang inti permasalahan dari
penghitungan UMK itu sendiri. Menganggap bahwa peningkatan besaran UMK hanya berdasarkan
tingkat produktifitas tenaga kerja seakan-akan hanya menganggap bahwa tenaga kerja hanyalah
semata-mata input produksi belaka. Secara teori ekonomi memang demikian namun dalam kaidah
pembangunan dan falsafah hidup bangsa Indonesia, tenaga kerja haruslah ditempatkan sejajar
dengan posisi yang selama ini dianggap berbeda yaitu staf manajemen dan pengelola produksi,
bahkan idealnya sejajar dengan para pemilik modal. Pengusaha harus sadar bahwa pada akhirnya
pekerja dan pengusaha haruslah sadar bahwa mereka sebenarnya sama-sama konsumen akhir untuk
produk akhir dari seluruh barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar. Tidaklah mendasar bagi
pengusaha untuk menyatakan bahwa kesejahteraan pekerja bukanlah tanggung jawab pengusaha
melalui pembayaran upah, karena mereka harus menyadari bahwa kesejahteraan mereka sendiri

sebenarnya sangat ditentukan oleh keringat yang dikucurkan oleh pekerja mereka setiap harinya.
Dengan demikian sebaiknya mekanisma tripartite lah yang harus diperkuat komunikasi dan arah
tujuan bersama yang diinginkan pada akhirnya. Dibutuhkan suatu upaya bersama untuk menghitung
secara benar bagaimana aspek KHL, situasi ekonomi makro dan mikro sebenarnya mempengaruhi
besaran UMK. Sebuah formulasi umum untuk penghitungan unit labor cost, produktifitas skala mikro
dan sektoral ada baiknya dibangun oleh pemerintah, pengusaha dan pekerja secara bersama-sama
baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai karakteristik daerah itu sendiri agar kekisruhan
penentuan UMK tidak selalu menjadi hal yang seakan-akan menjadi pekerjaan rutin tahunan yang
dengan mudah selalu dijadikan isue politik yang secara jelas tidaklah mendukung pada peningkatan
produktifitas dan daya saing nasional bahkan secara nyata mempengaruhi minat investasi khususnya
investasi PMA/PMDN, padahal tidak dipungkiri pembangunan sebuah daerah dan negara tidak dapat
mengeyampingkan sisi deman via besaran investasi yang ada.
Terakhir tentunya harus disadari bahwa peran pemerintah sudah jelas secara ekonomi adalah pihak
yang dapat memperbaiki kegagalan mekanisme pasar, dalam hal ini gagalnya mekanisme pasar dalam
menentukan keseimbangan besaran UMK harus menjadi tanggung jawab pemerintah secara mutlak,
tentu tidak dengan menggunakan besaran anggaran pemerintah yang jelas-jelas terbatas namun
dengan cara memilah-milah mana komponen KHL yang sebenarnya merupakan tugas publik untuk
disediakan dan bukan tugas pengusaha untuk memenuhinya melalui upah. Biaya transportasi,
pendidikan, dan kesehatan misalnya, haruslah diintervensi dengan peran penyediaan publik untuk
layanan transportasi masal yang murah, layanan kesehatan dan pendidikan dasar yang terjangkau

oleh pemerintah baik usat maupun daerah. Intervensi melalui kebijakan dan law enforcement
terhadap praktek korupsi dan rent seeking oleh banyak pihak seperti anggota legislatif, birokrat, dan
bahkan yudikatif sudah sangat mencapai tingkat yang meresahkan karena menjadi faktor ekonomi
biaya tinggi yang jelas akan dibebankan pada penentuan harga dari produksi seluruh barang dan jasa.

Di tahun 2013 saja terbukti bahwa kenaikan harga barang kebutuhan pokok makanan seperti daging
sapi sebenarnya bukanlah akibatnya tingginya biaya produksi, tapi didorong oleh begitu panjangnya
rantai distribusi logistik dari daging sapi itu sendiri; setiap pihak berusaha mencari komisi dan margin
berlebihan sehingga tidak heran harga-harga naik secara drastik sementara angka inflasi yang
dihasilkan BPS terkesan hanya angka formal belaka dan tidak mencerminkan kenaikan harga umum
yang sebenarnya.
Sekian.