Kudeta Turki Konflik Internal dan Perang

Kudeta Turki: Konflik Internal dan
Perang Dunia Ketiga
By Danil Akbar Taqwadin
18/07/2016

Percobaan Kudeta Turki yang terjadi kemarin (15/7/2016) menimbulkan
berbagai reaksi di seluruh penjuru dunia. Upaya kudeta oleh sekelompok
faksi dalam militer Turki menemui kegagalan setelah menghadapi gelombang
people s power yang setia terhadap Pemerintahan Erdogan. 265 jiwa
meninggal dan 1,440 lainnya luka, serta 2,839 personel militer diamankan
karena terlibat dalam peristiwa ini. Kudeta seperti ini adalah kali kelima yang
pernah terjadi di Turki selama bertransformasi menjadi Negara modern. Dan
menariknya, Reccep Tayyip Erdogan, mengklaim dengan segera bahwa
Gerakan Gulenist merupakan dalang dari peristiwa ini (www.aljazeera.com,
16/7/2016).
Gulenist atau Hizmet merupakan gerakan yang berusaha menerima
perkembangan teknologi, ikut serta dinamika ekonomi dunia dan fokus
dalam sektor pendidikan. Dalam hal ini, Gulenist yang beraliran sunni
mendorong kerjasama dan toleransi antar umat beragama; mendorong
integrasi antara Islam, ilmu pengetahuan dan modernitas, dan juga


menganggap bahwa pendidikan non-agama juga sama pentingnya dengan
pendidikan agama. Oleh karena itu, pembangunan madrasah yang sebagian
besar berbasis boarding school didorong untuk menciptakan generasi Islam
yang modern. Dan sekolah-sekolah ini bukan hanya terdapat di Turki saja,
namun hampir di seluruh negara di dunia. Walaupun begitu, berbagai
hujatan sering dialamatkan kepada gerakan ini. Terutama terkait persoalanpersoalan toleransi antar agama dan Islam liberal yang sering dikritik oleh
golongan konservatif di Turki.
Sejarahnya, Gulenist merupakan gerakan Islam moderat yang dipelopori oleh
Fathullah Gulen – seorang muslim moderat yang berafiliasi dengan
pemikiran dan gerakan Said Nursi menentang Pemerintahan sekuler Turki
pada awal abad ke 20. Gulen sendiri pernah dipenjara pada tahun 1980an
pasca Kudeta oleh militer setelah bentrok antara kaum kiri dan kanan karena
dituduh berusaha menggulingkan Pemerintahan sekular dan mengganti
dengan Pemerintahan Islam.
Kemudian dia dibebaskan dalam Pemerintahan Perdana Menteri Turgut Ozal
yang bersimpati kepada gerakannya. Setelah itu, Turgut Ozal pun
mendukung gerakannya menjelang berakhirnya perang dingin. Namun, pada
tahun 2000an, Perdana Menteri Bulent Ecevit dengan ideologi sekuler,
menggugat Gulen karena dinilai menjadi ancaman terhadap asas-asas negara
Turki yang telah dibangun Kemal Attaturk pada tahun 1923 (www.vox.com.,

16/7/2016). Walau begitu, Gullen telah pindah ke Amerika Serikat pada tahun
1999 dengan alasan pengobatan, walaupun dipercaya ia dibuang oleh
Pemerintahan Turki yang sekuler saat itu.
Sedangkan mengenai Reccep Tayyip Erdogan, karir politiknya melesat ketika
terpilih menjadi Mayor (setara walikota) Istanbul. Erdogan berhasil meraih
suara mayoritas 25,19 % dalam pemilu 1994 dengan menggunakan kendaraan
Partai Kesejahteraan (Welfare Party), sebuah partai politik yang dahulunya
berideologi Islam fundamentalis. Namun dengan meningkatnya pengaruh

sekuleris pada akhir 1990an, partai ini dibubarkan karena disinyalir
berlawanan dengan konstitusi Turki yang sekuler. Erdogan pun menjadi
korban dari meningkatnya kembali pengaruh sekuler di negara ini. Alibi yang
diangkat untuk menjatuhkan Erdogan adalah ia turut ambil bagian dalam
demonstrasi pada December 1997, dan menyampaikan puisi karya Ziya
Gokalp yang fenomenal, Masjid adalah barak kami, kubahnya adalah
pelindung kepala kami, tugu masjid adalah bayonet kami, dan keyakinan
adalah tentara kami… Ia dijatuhkan hukuman penjara
bulan namun
berkurang menjadi 4 bulan) pada tanggal 24 Maret – 27 Juli 1999, karena ia
melanggar Turkish Penal Code pasal 312 ayat 2 terkait upaya memprovokasi

kekerasan dan kebencian dalam agama dan ras (Shambayati, May 2004).
Namun begitu, pada tahun 2000 ia bersama para koleganya – termasuk
simpatisan gulenist – mendirikan partai AKP (Justice and Development
Party), sebuah partai berideologi keislaman. Pada pemilu 2002, AKP menang
dengan hampir menguasai dua per tiga kursi di Dewan Perwakilannya.
Namun, karena terkendala aturan hukum (terkait hukuman yang dikenakan
kepadanya akibat upaya provokasi sebelumnya), Abdullah Gul naik ke posisi
Perdana Menteri. Perlu diketahui bahwa Abdullah Gul merupakan
simpatisan Gulenist dan merupakan mentor Erdogan dalam dunia politik.
Karena pengaruh AKP yang cukup besar di Dewan Perwakilan, aturan
tentang Perdana Menteri dengan segera dirubah dan memberikan peluang
untuk Erdogan naik ke panggung parlemen. Pada Desember 2002, Yuksek
Secim Kurulu (Komite Pemilihan Umum-Turki) membatalkan hasil pemilu
2002 di provinsi Siirt karena alasan kecurangan di distrik Pervari. Kemudian
Erdogan didaftarkan oleh AKP untuk maju menjadi anggota parlemen dan
menang.
Karena kemenangannya di provinsi ini, akhirnya ia naik menjadi anggota
parlemen dan menggantikan posisi Abdullah Gul yang telah duduk di kursi
Perdana Menteri (www.cnn.com, 11/3/2003) – perlu dipahami bahwa Turki


menganut sistem parlementer yang mana Perdana Menteri dipilih dari salah
satu anggota Parlemen, layaknya Malaysia.
Dalam perjalanan untuk merubah Turki yang sekuler menjadi ke arah Islami,
simpatisan Erdogan dan Gulenist bekerja bersama. Hal ini disebabkan karena
popularitas dan kekuatan gulenist yang moderat dan kuat, terutama dari segi
finansial dan Erdogan yang memiliki basis massa besar dari kalangan
konservatif. Hingga tahun 2013, hubungan antara keduanya berlangsung
harmonis. Namun ketika Turki semakin Islami (2010-2011) hubungan kedua
kekuatan besar yang berusaha membentuk Turki baru menunjukkan
keretakan. Awalnya disebabkan oleh konflik antara aparatur kepolisian dan
kejaksaan – yang berafiliasi dengan gulenist – dengan partai AKP. Disinyalir
bahwa mereka menginvestigasi dan membongkar tindakan kriminal –
termasuk kasus pembelian minyak dan gas bumi dari Iran yang dibarter
dengan emas Turki, ketika Iran dijatuhi sanksi internasional akibat program
pengayaan nuklir, serta tindakan pencucian uang/korupsi – yang melibatkan
beberapa pengusaha, birokrat bahkan anak lelaki Erdogan, serta beberapa
bank di Turki dan Uni Emirat Arab (www.foreignpolicy.com., 26/12/2013).
Akibat hal ini, para elit gulenist beranggapan bahwa Pemerintahan Erdogan
adalah orang-orang korup dan bekerjasama dengan Iran yang seharusnya
bermusuhan. Gelombang protes muncul paska skandal korupsi mencuat ke

permukaan. 24 orang, termasuk 2 anak menteri dan direktur bank negara,
ditangkap atas kasus tersebut. 3 orang menteri dalam kabinetnya mundur.
Dan tidak lama berselang, Erdogan me-reshuffle 7 menteri lainnya
(www.aljazeera.com., 28/12/2013).
Menanggapi krisis ini, Pemerintahan Erdogan dan AKP mengklaim bahwa
mencuatnya kasus tersebut merupakan sebuah kerjasama antara gulenist dan
Israel (yang menentang hubungan kerjasama dengan Iran dan di saat
pemutusan hubungan diplomatik dengan Tel Aviv). Salah satu alasannya
adalah sebelumnya Fathullah Gulen mengkritik Pemerintahan Erdogan ketika

Turki memutuskan hubungan diplomatic dengan Israel pada tahun 2010
akibat peristiwa Mavi Marmara (www.theeconomist.com., 14/12/2013).
Paska pecah kongsi, Erdogan menciptakan stigma bahwa gulenist adalah
gerakan yang berupaya membentuk Pemerintahan tandingan parallel
state) dan berusaha menggulingkannya. Sejak saat itu, mereka yang berafiliasi
dengan gulenist termasuk aparat kepolisian dan kejaksaan yang didominasi
oleh gulenist, serta jurnalis dan wartawan di-bangku panjang-kan (bagi
aparatur negara), diberhentikan, bahkan dipenjara. Zaman dan Zaman daily,
salah satu surat kabar ternama di Turki yang memiliki sirkulasi paling
banyak dan berafiliasi dengan gulenist juga turut diserbu dan diduduki oleh

Pemerintah (www.amnesty.org., 4/3/2016).
Pada 31 Mai 2016, Pemerintahan Erdogan secara formal menetapkan bahwa
gulenist merupakan organisasis teroris yang berupaya menumbangkan
Pemerintahan yang sah (www.reuters.com., 31/5/2016).
Pada tanggal 16 Juli 2016 yang lalu, percobaan kudeta dilakukan oleh
sekelompok faksi militer yang mengacaukan beberapa kota di Turki. Erdogan
yang tengah berlibur di Marmaris, langsung terbang ke Istanbul dan
mengklaim bahwa gulenist berada dibalik peristiwa ini. Sedangkan, Fathullah
Gulen membantah terlibat dalam hal tersebut (www.fgulen.com., 16/7/2016).
Pernyataan ini pula didukung oleh statement organisasi yang berafiliasi
dengan Hizmet, Alliance for Shared Values – sebuah organisasi nirlaba yang
berbasis di New York – mengutuk keras percobaan kudeta yang dilakukan
oleh sekelompok faksi militer tersebut (www.afsv.org., 17/6/2016).
Namun, tak sampai 24 jam upaya kudeta berakhir gagal. Paska percobaan
kudeta, Erdogan menutup jalan dan mematikan akses ke pangkalan udara
Amerika Serikat di Incirlik. Dengan harapan US bersedia mengekstradisi
Fathullah Gulen kembali ke Turki. Dalam pernyataannya, I call on the
United States and President ‛arrack Obama … to either arrest Fethullah

Gulen or return him to Turkey. If we are strategic partners or model partners,

do what is necessary www.cnn.com., / /
.
Sebuah pernyataan yang tegas dari pemimpin kharismatik Turki, Reccep
Tayyip Erdogan. Namun, keterlibatannya dalam percobaan kudeta langsung
dibantah oleh Fathullah Gulen di laman pribadinya (www.fgulen.com.,
16/7/2016). Bahkan, ia berpendapat bahwa mungkin saja Erdogan sendiri
yang mengatur peristiwa itu untuk melegitimasi pembersihan gulenist
selanjutnya (www.theguardian.uk, 16/7/2017) yang diperkirakan memiliki
simpatisan antara 1 hingga 8 juta jiwa di Turki (Cetin, 2010).
Namun begitu, sulit pula dipercaya apabila Erdogan men-setting percobaan
kudeta di tengah upaya mendongkrak kestabilan politik, ekonomi, sosial
Turki akibat berbagai permasalahan yang terjadi (www.vox.com, 15/7/2016),
seperti maraknya terror bom akhir-akhir ini, konflik dengan etnik minoritas
Kurdi, friksi dengan Pemerintah Russia paska penembakan jet yang diklaim
memasuki flyzone Turki, memanasnya hubungan dengan Pemerintah Syria,
iklim permusuhan dengan Iran, influx migran yang berlebihan akibat konflik
di Timur Tengah, upaya Turki untuk masuk ke dalam Uni Eropa, konflik
etnik di Siprus antara etnik Cypriot dan Turks, dsb. Paska upaya percobaan
kudeta saja, Lira (mata uang Turki) turun sebesar 5,5 persen terhadap US
Dollar (www.aljazeera.com., 16/7/2016).

Dan hal ini bukanlah suatu hal yang menguntungkan bagi Pemerintahan
Erdogan di tengah terpaan krisis yang terjadi. Selain itu, terlepas dari konflik
antara dua faksi besar ini (simpatisan Erdogan dan Gulenist), terdapat satu
faksi lainnya yaitu Kemalist (para pendukung Kemal Attaturk, yang
memperkenalkan sekularisme di Turki) luput dari politik Turki saat ini.
Walaupun berbagai sumber mengklaim bahwa Kemalism telah tenggelam,
namun tidak tertutup kemungkinan adanya faksi kecil yang masih bertahan
dalam Pemerintahan Islam ala Erdogan, terutama militer.

Lagipula, pihak militer menjadi bagian yang paling diuntungkan dan loyal
(dahulunya) dalam Pemerintahan Sekuler Turki, serta masyarakat Turki juga
telah lama didoktrin dalam frame sekulerisme (www.huffingtonpost.com.,
17/6/2016). Maka tidak tertutup kemungkinan masih ada generasi sekuler
yang masih bertahan. Sama halnya dengan kroni-kroni peninggalan Soeharto
di Indonesia yang masih eksis hingga sekarang. Salah satu buktinya, kudeta
tahun 1997 yang dilakukan oleh militer dalam menggulingkan Perdana
Menteri Necmettin Erbakkan yang berorientasi Islam, kemudian
digantikan oleh Bulent Ecevit yang berideologi sekuler. Militer Turki
dahulunya didoktrin sebagai pelindung Kemalisme di Turki (www.cia.gov.).
Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk membuktikan asumsi

ini.
Hematnya, apakah kudeta ini adalah settingan Gulenist, Erdogan, ataupun
Kemalist perlu dilihat secara komprehensif (tidak secara subjektif!), terlepas
dari apakah terdapat campur tangan pihak asing di dalamnya atau tidak.
Tidak cukup dengan common sense belaka. Turki adalah negara besar
dengan sejarah panjang dan masyarakat yang beragam. Lagipula, krisis demi
krisis dan dinamika politik global yang bergerak semakin dinamis
menempatkan Turki pada dilemma antara mengamankan ketahanan nasional
atau ketahanan manusianya.
Daerah modal perang dunia ketiga?
Berbagai spekulasi muncul paska percobaan kudeta tempo lalu. Namun yang
mendekati realita adalah upaya pembersihan gerakan gulenist di Turki yang
telah diklaim sebagai organisasi teroris oleh Pemerintahan Erdogan. Hingga
saat ini, lebih dari 6.000 jiwa yang diyakini berafiliasi dengan gulenist telah
ditangkap (www.cnn.com., 18/7/2016).
Terlepas dari persepsi HAM, harapannya, upaya reintegrasi dilakukan tanpa
darah dan dengan cara yang lunak. Kalau tidak, akan menambah konflik

intra-state baru di Turki setelah terjadinya clash dengan minoritas Kurdi sejak
Republik Turki berdiri pada tahun 1923. Konflik ini akan menjadi ladang baru

bagi Military Industrial Complex yang dikuasai oleh negara-negara besar,
pialang black market, dsb.
Lagipula, intra-state conflict rentan menimbulkan spill-over effects terhadap
negara tetangga. Bukan hanya meninggalkan kesan keluar, namun efek
tersebut dapat pula memantul ke dalam. Belum lagi, Turki saat ini tengah
menjadi pusaran konflik sisa peninggalan perang dingin antara Russia dan
Amerika Serikat bersama NATO dalam skala global, serta Iran versus Israel
dalam skala regional. Ditambah lagi permusuhannya dengan Pemerintah
Assad (Suriah) dan gerakan ISIS yang tepat berbatasan di selatan Turki.
Oleh karena itu, Erdogan dan rakyat Turki perlu menjaga stabilitas negara
dari berbagai kemungkinan-kemungkinan tersebut. Kalau tidak, bisa saja
domino theory in reverse (modifikasi dari domino theory karya Dwight D.
Eisenhower) yang terjadi di Timur Tengah dan terhenti di Suriah akan
berlanjut ke Turki. Hal ini mungkin saja akan menyediakan battleground
baru bagi ISIS untuk merebut wilayah-wilayah strategis di Turki. Atau lebih
ekstrimnya, Turki bisa jadi bertransformasi menjadi daerah modal menuju
Perang Dunia Ketiga. Semoga saja tidak!