Islam dan Pluralitas Bangsa melayu

Islam dan Pluralitas Bangsa1
Oleh Salamun2
STIT Pringsewu Lampung
www.stitpringsewu.ac.id
E-mail : salamun.ms15@gmail.com
Indonesia dengan 17.000 pulau dan tidak kurang dari 300 suku Bangsa, merupakan
karunia tersendiri dari Allah SWT. Karunia yang sejatinya menjadi potensi yang dapat
ditumbuhkembangkan untuk membangun peradaban Bangsa disatu sisi, namun juga
menjadi masalah tersendiri ketika Penyelenggara Negara tidak arif dalam memenej
keberagaman itu.
Hari ini hampir semua anak Bangsa fasih mengeja Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Yang jadi persoalan adalah ketika seolah-olah ummat Islam yang
notabene bereaksi atas tindakan seorang Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang
menistakan al Quran (al Maidah 51), ummat Islam justru dianggap intoleran terhadap
ummat lain. Padahal apa yang dilakukan ummat saat ini adalah merupakan reaksi dan
bukan aksi yang semata-mata dilatari oleh kebencian dan sikap intoleran.
Dalam sebuah negara kebangsaan seperti Indonesia yang kita cintai ini, tidak
sepatutnya seseorang atau kelompok dengan latar belakang apapun mengungkapkan dan
lebih-lebih melakukan tindakan-tindakan yang patut diduga merendahkan kelompok atau
golongan lainnya. Ketika hal itu terjadi, maka lazimnya dalam sebuah tatanan
berdemokrasi harus sangat dimaklumi ketika kelompok yang merasa direndahkan

kemudian bereaksi.
Yang kemudian menjadi sulit dipahami ialah ketika hari ini seolah-olah ummat
Islam—bahkan dalam pandangan yang lebih ekstrim menyebut Islam—sebagai ancaman
atas Pluralitas (keberagaman) bangsa. Islam justru diturunkan oleh Allah SWT bagi ummat
manusia untuk menjadi rahmat (rahmatan li al-‘alamiin). Keberagaman bagi Ummat Islam
adalah sebuah keniscayaan yang dikaruniakan oleh Allah SWT.

1

Tulisan Opini ini pernah dimuat di Harian Umum Lampung Post Pada 19 Mei 2017, dapat diakses
di http://www.lampost.co/berita-islam-dan-pluralitas-bangsa.
2
Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Mengajar di STIT Pringsewu dan UML.

“Wahai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Teliti” (QS.49. al Hujurat:13). Bagi ummat Islam memelihara
hubungan baik dengan ummat dan suku bangsa lain adalah pesan suci yang merupakan

bentuk ibadah sebagai sikap tunduk dan patuhnya kepada Sang Pencipta.
Ketika ada ummat Islam sebut saja oknum yang melakukan tindakan proaktif
offensif menyerang orang atau komunitas lain termasuk tempat ibadah, maka dapat
dipastikan seseorang itu telah gagal faham terhadap ajaran Islam.
Pengelolaan negara kebangsaan pertama yang paling indah dimuka bumi adalah
apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mengelola negara madinah
dengan regulasi sangat fenomenal Piagam Madinahnya, yang hingga saat ini tidak ada
referensi sahih yang menyebut negara kebangsaan yang dibangun oleh Beliau sebagai
Negara Islam.
Diantara hal penting yang tertuang dalam Piagam Madinah adalah yang tertuang
dalam Pasal 25 “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini
berlaku bagi sekutu sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal
demikian akan merusak diri dan keluarga”. Dari sini dapat kita pahami betapa Nabi
Muhammad SAW sangat menghargai pilihan hidup termasuk dalam hal aqidah sekalipun,
mereka tidak dipaksa harus mengikuti atau memeluk Islam, justru mereka mendapat
kebebasan dan perlindungan dari Beliau. Belum lagi kepribadian luhur yang Nabi
Muhammad SAW ajarkan kepada kita, dalam suatu riwayat Beliau suapi seorang wanita
Yahudi buta yang selalu mencaci maki Beliau, Beliau juga berbisnis dengan seorang
Yahudi dimana pada suatu kesempatan Beliau menggadaikan baju Perangnya.

Aisyah rha. mengisahkan, pada akhir hayatnya, Nabi Muhammad SAW membeli
beberapa takar gandum dari seorang pedagang Yahudi. Namun karena beliau belum
mampu membayarnya, Beliau menggadaikan perisai perangnya kepada pedagang Yahudi
tersebut. Dan hingga ajal menjemputnya, Beliau belum juga mampu menebus perisai
perangnya itu dari pedagang Yahudi tersebut. Demikian kisah ini diabadikan oleh Imam
Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya dalam kitab-kitab haditsnya.

Suatu Keteladanan terindah dari Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana
berinteraksi dan membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dalam bingkai keberagaman.

Pancasila Yang (Hampir) Terlupakan
Pada masa awal reformasi hampir mayoritas anak Bangsa ini seperti alergi terhadap
Pancasila yang disebut sebagai bagian Orde baru, padahal Pancasila adalah dasar dari
kemerdekaan Bangsa ini, dan tidak ada yang salah dengan Orde baru dan Pancasila, justru
Orde baru yang berupaya membumikan Pancasila dengan merumuskan 36 butir Pancasila
yang dimasyarakatkan secara masif melalui Pedoman Penghayatan dan pengamalan
Pancasila (P4).
Alhamdulillah better late than never ahirnya setelah melalui proses kontemplasi
yang cukup lama ahirnya ada semacam kesadaran kolektif kembali atas arti penting

Pancasila bagi Bangsa Indonesia.
Setidaknya pada kurun waktu lima tahun terahir banyak Penyelenggara Negara
terutama Anggota DPR/MPR yang memasyarakatkan 4 (empat) Pilar Kebangsaan yakni
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sementara itu Negara melalui Undang Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi secara eksplisit memerintahkan bahwa terkait dengan
kurikulum nasional setiap perguruan tinggi wajib menyelenggarakan mata kuliah
Pancasila, Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa Indonesia.
Suatu kesadaran kolektif yang hendaknya harus terus dipupuk dengan proses
dialektika sosial yang terbuka. Meskipun saat ini tidak ada “tafsir tunggal” atas Pancasila
dan/atau Empat pilar kebangsaan tersebut hendaknya harus didekati dan dipahami dengan
nurani yang jernih atas bimbingan Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa sehingga melahirkan
pemahaman dan kebenaran yang universal, bukan justru diperkosa dan dieksploitasi sesuai
dengan kepentingan nafsu pribadi atau golongan tertentu.

Menanti Kehadiran Negara
Ketika keberagaman yang memang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
mulai terkoyak, maka sudah pada tempatnya jika Negara dan Penyelenggara negara hadir
untuk menyelesaikan persoalan ini, bukan justru menjadi bagian dari persoalan yang
menambah runcing ancaman disintegrasi Bangsa. Aparatur penegak hukum hendaknya

mengesampingkan “kepentingan subyektifnya” demi terwujudnya kepentingan Bangsa dan
Negara yang lebih besar sebagaimana ketika mereka bersumpah ketika diangkat menjadi
Pejabat Penyelenggara Pemerintahan.
Kehadiran Kepala Negara untuk mengelola konflik yang terjadi sangat dibutuhkan.
Konflik dan gesekan serta pertarungan berbagai kepentingan yang terjadi saat ini
membutuhkan suatu penyelesaian dari Sang Kepala Negara dan seluruh aparatur
Pemerintahan termasuk Aparat Penegak hukum untuk hadir, berdiri dan menyelesaikan
ancaman persoalan disintegrasi Bangsa dengan sikap Negarawan bukan lagi hadir sebagai
perwakilan Partai politik atau kelompok Kepentingan tertentu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran mereka dalam sebuah sistem kenegaraan
tentulah tidak lepas dari latar belakang politik, namun ketika dihadapkan pada suatu
pilihan antara kepentingan politik dan kelompoknya di satu sisi dengan kepentingan negara
disisi lain, maka tidak ada pilihan kecuali menempatkan kepentingan Bangsa dan Negara
diatas kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kecurigaan yang berlebihan dan sikap permusuhan terhadap Islam sebagaimana
yang dilakukan oleh Barat--sebut saja misalnya sikap Presiden Amerika Serikat Donald
Trump-- harus disudahi. Sebagai Negara kebangsaan yang dikaruniai Allah SWT dengan
potensi keberagaman dan latar sejarah tersendiri hendaknya kita tidak turut latah untuk
memupuk kecurigaan yang berlebihan terhadap Islam dan Ummat Islam. Karena sejatinya
tidak ada dasar satupun bagi Islam dan ummatnya untuk berlaku zalim apalagi menyerang

ummat dan golongan lain kecuali terhadap kaum musyrikin yang jelas secara terangterangan memerangi kaum Muslimin (QS. 9. At-Taubah: 14). Wallahu a’lam bi al-shawab.