Alam Organisasi Sosial dan Peran Gender

Alam, Organisasi Sosial dan Peran Gender
di Pulau Bonetambung, Makassar
A.

Latar Belakang
Kajian ini berusaha menggabungkan dua pendekatan, yaitu pendekatan
ekologi budaya dengan pendekatan konstruksionisme. Mengapa menggunakan
keduanya? Karena untuk menjelaskan peran gender yang berkaitan dengan
lingkungan alam sulit jika hanya menggunakan satu pendekatan saja. Ekologi
budaya misalnya, tidak secara eksplisit menjelaskan bagaimana lingkungan dapat
mempengaruhi peran perempuan dan laki-laki meskipun dalam penjelasannya
tergambar bahwa kondisi ekologi berpengaruh terhadap sistem sosial. Sebaliknya,
pendekatan konstruksionisme nampaknya menitik beratkan penjelasannya pada
aspek histories yang bersifat unik pada individu. Perempuan dalam kajian
konstrusionisme menekankan bahwa perempuan memiliki peran yang berbedabeda berdadasarkan konteks sosial di mana mereka berada atau memainkan
peranan. Abdullah (2006:248) mengatakan bahwa, realitas kehidupan kaum
perempuan harus dilihat berdasarkan konteks di mana mereka memainkan peran.
Hal ini disebabkan tidak semua perempuan memiliki pengalaman yang sama dan
status sosial yang sama.
Jika kita mengacu pada kajian konstrusionisme tentang variasi peran
perempuan tersebut, maka jelas kita dapat memahami bahwa peran perempuan

sebagai budaya berbeda antara satu masyarakat atau komunitas yang satu dengan
yang lain. Tentu hal ini berbeda halnya jika kita berbicara dalam konteks
lingkungan. Dalam konteks kajian lingkungan, hal yang terutama ditekankan
adalah bagaimana peran perempuan itu bervariasi atau berdinamika berdasarkan
kondisi ekologis yang dihadapi.
Dalam studi literatur, ditemukan hasil penelitian yang nampaknya
menggunakan kerangka penjelasan kedua pendekatan tersebut di atas, entah hal
itu sadar atau tidak sadar dilakukan. Misalnya, hasil penelitian Andayani (2006: 2-

0

3) tentang perubahan peranan perempuan nelayan. Menurutnya, perubahan
peranan perempuan yang telah menjadi nelayan terutama disebabkan oleh dua
faktor. Pertama, mereka menjadi nelayan karena penghasilan suaminya tidak
mencukupi kebutuhan keluarga. Munculnya teknologi destruktif seperti pukat
harimau serta penebangan hutan mangrove di lingkungan mereka menyebabkan
penghasilan yang diperoleh suaminya semakin berkurang. Kedua, untuk menjadi
nelayan tidak dibutuhkan modal yang besar, bahkan mereka dapat melakukannya
tanpa modal sama sekali. Untuk menggunakan sarana dan prasarana penangkapan
seperti perahu, alat tangkap, bahan bakar serta biaya produksi lainnya dapat

diperoleh dengan dua cara, yaitu sewa dan atau bagi hasil. Bagi perempuan yang
yang memiliki modal untuk membeli bahan bakar dan komsumsi selama
menangkap ikan, mereka dapat menyewa perahu (yang disewa hanya perahu)
yang dibayar setelah memperoleh hasil tangkapan. Sementara mereka yang tidak
memiliki modal dapat menempuh model bagi hasil, yaitu seluruh modal (perahu,
alat tangkap, bahan bakar dan konsumsi) ditanggung oleh pemilik perahu. Bila
memperoleh hasil tangkapan, hasilnya akan dibagi dua, satu bagian untuk
diberikan kepada pemilik perahu dan bagian lainnya juga harus dijual ke pemilik
perahu.
Hasil penelitian di atas memberi gambaran bahwa peranan perempuan tidak
terbentuk dengan sendirinya atau terpisah dari sistem sosialnya. Hal ini juga
berarti bahwa peranan perempuan tidak terlepas dari status ekonomi mereka.
Peranan yang dimainkan oleh perempuan yang berstatus ekonomi atas akan
berbeda dengan peranan perempuan yang berstatus ekonomi bawah. Menurut
Fakih (2007:9), gender dipahami sebagai sifat-sifat yang bisa dipertukarkan
antara laki-laki perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda
dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain.
Dengan demikian, perempuan yang ekonominya rendah akan aktif mencari
penghasilan tambahan karena pendapatan suaminya tidak mencukupi. Hal ini
senada dengan pernyataan Nye (1982:33-34) bahwa dalam upaya memenuhi


1

kebutuhan dasar kehidupan, isu substansial yang selalu dihadapi oleh keluarga
atau rumah tangga adalah bagaimana individu-individu yang ada di dalamnya
harus berusaha maksimal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara (dalam Kusnadi; 2000:191).
Sedangkan perempuan yang ekonominya tinggi dapat berperan bersama suami
menjalankan usaha atau justru lebih banyak berperan dalam konteks sosial yang
sifatnya nonproduktif, dimana peran yang dimainkan tersebut berbeda dengan
peran perempuan pada “kelas” yang lain, yaitu perempuan yang berekonomi
rendah.
Dengan mengacu pada studi literatur tersebut di atas, maka penulis akan
memaparkan bagaimana kondisi ekologi yang dimanfaatkan oleh nelayan
berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi mereka dan pada akhirnya
membentuk konsepsi dan peran gender dalam masyarakatnya. Untuk mencakup
hubungan ketiganya, maka judul makalah ini adalah “Alam, Organisasi Sosial dan
Peran Gender di Pulau Bonetambung, Makassar”.
B.


Pembahasan
Nelayan dengan sistem perekonomian mereka yang unik merupakan hal
yang menarik dikaji. Mereka menjalankan model ekonomi yang berbeda dengan
masyarakat lain yang membudidayakan ikan. Misalnya, nelayan tangkap
memanfaatkan laut yang sifatnya open access, sementara nelayan yang
membudidayakan ikan memiliki penguasan atas lahan budidayanya (Ahmadin;
2009:23-24, 47-51). Lingkungan laut yang mereka hadapi memberi karakter
khusus yang berbeda dengan masyarakat lain yang lingkungannya relatif lebih
mudah dikuasai (Lampe; 1989: 2-6).
Lingkungan laut yang unik ini menyimpan kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan secara berbeda-beda antara nelayan yang satu dengan nelayan yang
lain, terutama berbeda antara nelayan yang secara geografis memiliki jarak yang
berjauhan. Keragaman hayati yang berbeda tidak hanya menyebabkan teknologi

2

yang berbeda namun juga pada organisasi sosial mereka. Dalam hal ini ditemukan
di pulau Bonetambung yang akan dijelaskan berikut.
1.


Alam, Jenis Usaha dan Struktur Sosial
Struktur sosial di pulau Bonetambung memiliki hubungan yang signifikan
dengan lingkungan alamnya yang pada akhirnya berpengaruh terhadap jenis usaha
mereka. Hampir dikatakan bahwa struktur sosial mereka terbentuk dari jenis
usahanya dan akan berdinamika seiring dengan dinamika usaha yang ada. Berikut
penjelasan mengenai hal ini akan dimulai dari penjelasan tentang jenis-jenis usaha
yang digeluti oleh masyarakat pulau Bonetambung.
a. Usaha Ikan Hidup
Usaha ikan hidup adalah usaha yang menjual dan membeli ikan hidup jenis
kerapu, atau dalam nama lokal disebut ikan sunu. Ikan yang ditangkap harus
dalam keadaan hidup dan tidak cacat dengan ukuran yang telah ditentukan oleh
pembeli.
Pemilik usaha ikan hidup biasa disebut punggawa, yaitu orang yang
memimpin sebuah usaha. Punggawa yang memiliki modal kemudian memberikan
modalnya kepada pihak lain berupa alat tangkap dan biaya operasional disebut
punggawa bonto atau punggawa darat. Punggawa darat memberikan modal
kepada seorang nahkoda perahu yang disebut punggawa laut atau juragan.
Juragan kemudian memimpin beberapa orang untuk mengoperasikan perahu dan
alat tangkap. Beberapa orang yang dipimpin tersebut disebut sawi atau orang
yang bekerja pada perahu.

Ikan hasil tangkapan yang diperoleh punggawa laut atau juragan bersama
para sawinya harus dijual kepada punggawa darat. Puggawa darat kemudian
menjual ikan tersebut ke pembeli yang ada di Makassar.
Adapun punggawa darat dibantu oleh beberapa anak buah yang disebut sawi
darat. Tugas sawi darat ini adalah mensortir ikan dan melakukan perawatan serta
menjaga penampungan ikan. Sawi darat direkrut berdasarkan keterampilannya
dalam merawat ikan. Hal ini dikarenakan ikan harus dijual dalam keadaan hidup

3

dan tidak cacat dan harus menggunakan teknik-teknik tertentu untuk
melakukannya, terutama dalam penggunaan obat-obatan dan pengukuran
timbangan dan takaran air.
b. Usaha Ikan Lelong
Usaha ikan lelong adalah usaha yang menjual dan membeli ikan untuk
kebutuhan pasar lokal. Ikan dibeli dari nelayan pemancing dan juga nelayan yang
menggunakan alat tangkap bu. Hingga saat laporan ini ditulis, hanya satu pembeli
ikan lelong yang ada di lokasi penelitian. Pembeli ikan lelong ini tidak
memberikan biaya operasional kepada nelayan. Ikan yang dibelinya sebagaian
besar merupakan ikan mati yang ditangkap oleh nelayan pencari ikan hidup.

c. Usaha Ikan Timbangan
Usaha ikan timbangan adalah usaha yang menjual dan membeli ikan untuk
kebutuhan ekspor. Ikan yang dibeli diukur menggunakan timbangan. Jenis yang
masuk kategori ikan timbangan adalah ikan tinumbu. Pembeli ikan timbangan
yang tinggal di pulau Bonetambung berjumlah empat orang. Pembeli ikan
timbangan ini berstatus sebagai punggawa darat karena dia memberikan modal
kepada nelayan pemancing kemudian menunggu hasil tangkapan di darat.
d. Usaha Gurita
Usaha gurita adalah usaha yang khusus menjual dan membeli biota gurita.
Pembeli gurita juga merupakan punggawa. Punggawa yang membeli gurita adalah
orang yang sama dengan pembeli ikan timbangan.
Dari keempat jenis usaha tersebut, usaha yang paling banyak dilakukan
adalah usaha ikan hidup. Punggawa pemilik usaha ikan hidup tidak membeli biota
jenis lain sementara punggawa jenis usaha lain juga membeli biota lain yaitu ikan
timbangan dan gurita. Jadi, punggawa ikan timbangan juga merupakan punggawa
nelayan gurita.

4

Di Bonetambung, punggawa dapat dibedakan berdasarkan hal berikut:

- Kepemilikan
Berdasarkan kepemilikannya, kita dapat menemukan tiga status punggawa
dari keempat jenis usaha tersebut, yaitu punggawa bonto atau punggawa darat,
punggawa berdikari dan punggawa laut atau juragan. Punggawa bonto atau
punggawa darat adalah punggawa yang memberikan modal kepada paboya atau
pencari ikan. Punggawa darat hanya menunggu hasil tangkapan di darat, tidak
terjun langsung melakukan penangkapan.
Sedangkan punggawa laut atau juragan adalah pemimpin perahu yang
melakukan penangkapan. Punggawa laut memperoleh perahu dan alat tangkap
serta biasa operasional dari punggawa darat. Dengan demikian, hasil
tangkapannya harus dijual kepada punggawa darat yang memberikan modal.
Sementara punggawa berdikari, adalah status punggawa yang relatif masih
baru, yang ditujukan untuk menyebut punggawa laut yang memiliki perahu, alat
tangkap dan biaya operasinal sendiri, tidak dimodali oleh punggawa darat. Jenis
usaha yang dijalankan adalah usaha ikan hidup. Punggawa berdikari ini bebas
menjual hasil tangkapannya kepada punggawa darat dengan penawaran harga
yang lebih tinggi. Namun pada perkembangannya, sudah banyak punggawa
berdikari yang diberikan modal langsung oleh pengusaha yang ada di Makassar
tanpa melewati perantara punggawa darat yang ada di pulau Bonetambung.
Meskipun statusnya mirip dengan punggawa laut, namun punggawa berdikari ini

menjual ikannya dengan harga yang sama dengan harga ikan di Makassar.
Dari ketiga status punggawa tersebut, peneliti memusatkan perhatian pada
punggawa usaha ikan hidup. Perhatian dipusatkan pada peran istri mereka dalam
usaha perikanan yang dimiliki. Pertimbangan untuk memusatkan perhatian pada
usaha ikan hidup adalah karena sebagian besar nelayan di pulau Bonetambung
menangkap ikan hidup. Hal ini memudahkan peneliti untuk menggali informasi
dan dapat dengan mudah dilakukan pengamatan secara langsung. Pembahasan
berikut ini akan menjelaskan peran istri punggawa usaha ikan hidup.

5

- Volume Usaha
1) Punggawa Lompo
Punggawa lompo, yaitu punggawa yang usahanya sudah besar. Besarnya usah
dinilai dari modal yang dimiliki, sarana produksi, jumlah sawi, dan jaringan di
kota. Punggawa lompo tidak ikut dalam proses produksi
2) Punggawa Berdikari
Punggawa berdikari, yaitu punggawa yang memiliki satu atau dua perahu
penangkapan beserta sawi yang mengoperasikannya. Jika punggawa berdikari
ini memiliki dua perahu, maka salah satu perahu dipimpin olehnya untuk

beroperasi. Punggawa ini tidak memiliki ikatan dengan bos atau pembeli yang
ada di Makassar. Modal untuk membuka usaha diperoleh dari bantuan
keluarga (biasanya keluarga yang pegawai negeri) dan sistem hutang yang
tidak dibayar menggunakan ikan. Melainkan berupa uang tunai pada jangka
waktu tertentu.
Jika kita mencermati pengklasifikasian punggawa di atas, maka kita akan
melihat bahwa seorang punggawa dapat memiliki beberapa status sekaligus.
Punggawa darat jika memiliki modal yang besar, tenaga kerja yang banyak dan
jaringan yang luas, maka dia juga adalah seorang punggawa lompo. Beberapa
punggawa darat juga, ada yang membeli dan menjual ikan hidup sekaligus
membeli dan menjual ikan timbangan pada musim tertentu. Namun tidak pernah
membeli ikan mati untuk pasar lokal.
Namun, tidak semua punggawa darat adalah punggawa lompo, meskipun
tidak ikut dalam aktivitas produksi, atau hanya tinggal di darat menunggu
kedatangan nelayan. Jika seorang punggawa darat hanya membeli ikan mati dan
modal yang diberikan kepada nelayan juga tidak besar, maka dia tidak disebut
punggawa lompo, biasanya disebut sebagai punggawa balolang atau punggawa
yang mengantar ikan. Dia hanya memiliki beberapa sawi dan khusus untuk ikan
mati. Sementara jika sawinya memperoleh ikan hidup, maka ikan hidup tersebut
diserahkan kepada orang lain yang membeli ikan hidup. Begitu juga sebaliknya


6

punggawa lompo yang usahanya fokus pada ikan hidup, jika sawinya memperoleh
ikan mati, maka ikan mati tersebut akan diserahkan kepada pembeli ikan mati.
Sementara punggawa berdikari, biasanya usahanya fokus pada ikan hidup
namun berbeda dengan punggawa lompo. Punggawa lompo, hanya terlibat pada
pasca produksi, yaitu setelah nelayan datang membawa ikan hasil tangkapannya.
Keterlibatan punggawa lompo hanya sebatas mengawasi karena yang mensortir
ikan dikerjakan oleh sawi darat yang ahli. Sementara punggawa berdikari tidak
memiliki tukang size atau sawi untuk mensortir ikan. Ikan yang ditangkap
biasanya dibawa langsung ke Makassar untuk dijual, atau dalam kondisi tertentu,
misalnya tangkapan yang sedikit, maka biasanya dijual ke punggawa lompo
setempat (yang berada di pulau yang sama) dengan harga yang relatif sama
dengan harga di Makasar). Ini dilakukan untuk menekan pengeluaran biaya
perjalanan.
Jadi, klasifikasi punggawa di atas dapat disederhanakan menjadi tiga, yaitu
punggawa lompo, punggawa ikan mati dan punggawa berdikari. Perbedaan status
punggawa ini berimplikasi terhadap perbedaan peran istri mereka. Istri punggawa
lompo memiliki peran yang berbeda dengan istri punggawa berdikari atau istri
punggawa ikan mati. Perbedaan tersebut secara rinci akan dibahas pada sub
bahasan yang khusus.
2.

Peran Gender pada Masyarakat Pulau Bonetambung
a.

Peran Gender Secara Umum
Pembagian peran antara istri dengan suami masyarakat pulau Bonetambung

secara umum dapat kita bedakan dalam dua peran yang mencolok, yaitu peran
‘darat’ dan peran ‘laut’. Peran laut yaitu peran yang menyangkut penangkapan
yang meliputi persiapan produksi, produksi dan distribusi. Sementara peran darat
adalah peran yang dilakukan diluar peran laut seperti mengurus rumah tangga,
mengatur konsumsi dan peran-peran kemasyarakatan.
1). Peran Laut

7

Peran laut dimulai ketika suami hendak melakukan operasi. Suami
mempersiapkan peralatan penangkapan serta mengecek kondisi perahu dan mesin.
Pada waktu yang bersamaan, istri mempersiapkan konsumsi untuk suami sebelum
berangkat dan untuk bekal selama beroperasi. Pembagian peran seperti ini
terutama dijumpai pada keluarga nelayan yang menggunakan perahu fiber, yaitu
perahu kecil yang hanya dioperasikan oleh satu orang untuk memancing gurita
dan ikan tinumbu. Perahu yang digunakan adalah milik sendiri yang diperoleh
secara kredit, sementara biaya lainnya, termasuk biaya konsumsi ditanggung
sendiri.
Berbeda dengan nelayan yang menangkap ikan hidup, mereka menggunakan
perahu jolloro dan alat tangkap yang disebut ‘bu’. Bu dioperasikan oleh 3-4 orang
yang terdiri dari satu punggawa laut, dua penyelam dan satunya lagi untuk
menjaga kompresor. Pada tahap persiapan, yang mempersiapkan peralatan adalah
sawi, sementara konsumsi untuk bekal konsumsi selama beroperasi dilakukan
oleh istri punggawa laut. Sementara istri sawi hanya mempersiapkan konsumsi
untuk suaminya sebelum berangkat. Istri sawi tidak mengurus bekal konsumsi
karena aturan penangkapan yang mereka terapkan yaitu selama beroperasi, semua
kebutuhan ditanggung oleh punggawa laut, termasuk kebutuhan konsumsi.
Tahap selanjutnya adalah operasi. Selama beroperasi, semua urusan di laut
diperankan oleh laki-laki (suami) karena tidak ada perempuan yang ikut
melakukan penangkapan. Istri hanya tinggal di rumah, mengurus anak, mencuci
pakaian dan mengerjakan beberapa pekerjaan lainnya sambil menunggu suami
datang dari laut. Selama suami berada di laut, hampir semua pekerjaan didarat
dilakukan oleh istri, kecuali bagi mereka yang anaknya sudah bisa ikut
membantu.
Setelah suami datang dari melaut, kita dapat melihat adanya perbedaan
pembagian peran secara gender antara keluarga nelayan pemancing dengan
keluarga nelayan yang menggunakan ‘bu’. Bagi nelayan ‘bu’, kedatangan mereka
disambut oleh banyak perempuan tetapi bukan istri mereka. Yang menyambut

8

adalah para istri yang hendak membeli ikan (ikan yang dibeli adalah ikan yang
mati dan harganya murah) untuk keperluan lauk bagi keluarganya. Selain
bertujuan untuk membeli ikan, mereka juga ingin mendengar kabar suaminya
yang masih beroperasi, apakah memperoleh tangkapan yang banyak atau tidak,
apakah suaminya dalam keadaan yang baik. Setelah interaksi antara nelayan dan
para istri tersebut selesai, ikan hidup pun dibawa ke tempat penampungan
punggawa darat untuk disortir. Jadi, istri nelayan di sini tidak berperan dalam
tahap pendistribusian hasil tangkapan.
Sementara nelayan pemancing, pembagian peran antara suami dengan istri
berbeda dengan nelayan bu. Setelah suami datang dari laut, dia disambut oleh
istrinya. Mereka melakukan penyortiran hasil tangkapan. Setelah selesai, hasil
tangkapan tersebut dibawa ke pembeli (punggawa yang memberi kredit perahu)
yang juga tinggal di pulau Bonetambung. Bukan suami yang membawa hasil
tangkapan, tetapi dilakukan oleh istrinya. Sementara istri membawa hasil
tangkapan kepunggawa, suami membersihkan perahu kemudian kembali ke
rumah dan menyantap hidangan yang sebelumnya telah disiapakan istri.
Kesibukan istri nelayan setiap hari yang dapat kita amati adalah mengurus
anak, menyiapkan makanan untuk suami sebelum pulang dari laut, mencuci
pakain, sisa waktu yang ada biasanya digunakan untuk berkumpul dengan istri
nelayan yang lain yang juga memiliki waktu luang. Sebagian kecil di antara
mereka ada yang memiliki usaha dagang yang modalnya tidak besar. Mereka
menjual sembako yang dibeli di kota. Selain itu, ada pula istri nelayan yang tidak
memiliki warung tetapi memiliki kerajinan membuat makanan ringan untuk dijual
dari rumah ke rumah.
2). Peran Darat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peran darat adalah peran yang
dilakukan di luar peran laut seperti mengurus rumah tangga, mengatur konsumsi
dan peran-peran kemasyarakatan. Selama suami berada di laut, hampir semua

9

urusan di darat menjadi tanggung jawab istri, kecuali mereka yang tinggal
bersama di rumah orang tuanya.
Pembagian peran antara suami dengan istri pada masyarakat yang diteliti
mirip dengan pembagian peran gender yang ada pada masyarakat yang lain. Hal
yang sama terjadi bahwa suami berperan di luar rumah dan istri berperan di dalam
dan sekitar rumah. Fenomena ini oleh sebagian ahli dipandang sebagai bentuk
ketimpangan, di mana istri hanya memiliki sedikit hak untuk mengatur rumah
tangganya. Hal ini terjadi karena suami relatif lebih banyak memberikan
sumbangsih kepada keluarganya, yang mengacu pada pandangan bahwa peran
suami di luar rumah, yaitu mencari nafkah, dianggap lebih penting dibanding
peran istri yang hanya tinggal di rumah untuk memasak, membersihkan dan
merawat anak.
Pada masyarakat yang diteliti (yaitu masyarakat di pulau Bonetambung),
pembagian peran antara suami dan istri seperti dijelaskan sebelumnya adalah hal
yang umum. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah bentuk
ketimpangan karena pembagian peran tersebut ditempuh sebagai langkah untuk
menangani keterbatasan masing-masing person (yaitu suami dan istri). Hal ini
berimplikasi pada kepemilikan hak yang sama terhadap pengambilan keputusan
terhadap sesuatu yang sedang atau akan dilakukan. Istri, meskipun tidak secara
langsung mencari nafkah, tetapi dia memiliki hak untuk mengatur pengeluaran
suaminya. Bukan hanya itu, hampir setiap sesuatu yang akan dilakukan oleh
suami, termasuk masalah kenelayanan, harus diketahui oleh istrinya, meskipun
secara publik istri tidak boleh secara terang-terangan mengatur suami. Sebaliknya,
sang istri jika hendak melakukan sesuatu, misalnya membuka warung, berangkat
ke Makassar dan hal lainnya, hendaknya terlebih dahulu diberitahukan kepada
suami.
Bagi nelayan, hanya satu hal tabu yang tidak boleh dilanggar, yaitu naik
perahu penangkapan pada saat haid atau datang bulan. Diluar masa tersebut,
perempuan boleh saja naik perahu nelayan, bahkan juga boleh ikut menangkap

10

ikan (pada beberapa puluh tahun yang lalu, sekita tahun 70-an, seorang anak gadis
boleh ikut dengan orang tua atau paman mereka ke laut untuk menangkap ikan
asalkan tidak haid. Perempuan juga pintar mendayung perahu dan tidak ada
masalah. Yang dianggap masalah ialah ketika pergi ke laut bersama laki-laki lain
yang bukan muhrimnya).
Namun, sekarang tidak ada perempuan yang ikut mencari ikan bukan karena
aturan adat, tetapi karena tidak ada lagi perempuan yang mau ikut ke laut.
Menurut salah satu ibu (istri nelayan), sekarang cewe’cewe’ sudah takut hitam,
mereka sekarang sibuk dengan alat makeupnya, jika dibanding dengan dulu, kita
waktu cewe sering ke laut ikut sama bapa untuk mencari ikan. Kalau ada pemuda
(nelayan) yang tertarik sama kita, dia akan bilang kepada orang tua kita, biasanya
orang jodoh karena ketemu di laut.
Adapun istri nelayan sekarang, tidak ikut ke laut juga bukan persoalan adat
tapi karena pandangan bahwa lebih baik tinggal di rumah merawat anak di
banding ikut melaut. Seorang suami juga merasa malu jika istrinya ikut melaut,
“nanti nabilang orang suaminya tidak bisa memberi makan”. Kecuali jika suami
tidak mampu, maka istri boleh saja bekerja keras untuk mencari nafkah karena itu
adalah jalan terakhir untuk menghidupi keluarga. Salah seorang warga pulau
Bonetambung, yaitu seorang perempuan dengan umur kurang lebih 45 tahun,
berprofesi sebagai pedang ikan hidup. Dia yang langsung membawa ikan hasil
tangkapan beberapa anak laki-lakinya ke Makassar. Hal ini bukan sesuatu yang
‘aneh’ bagi masyarakat Bonetambung, bahkan mereka mengatakan bahwa itu
adalah sesuatu yang bagus karena memang suami beliau sudah tua.
C.

Penutup
Dalam kerangka ekologi budaya digambarkan tentang cara manusia (berkat
budaya sebagai sarananya) memanipulasi dan membentuk ekosistem itu sendiri.
Para ekolog-budaya menekankan bahwa berbagai corak manipulasi lingkungan
(adaptasi nonpasif) telah menghasilkan berbagai ragam konfigurasi dan sistem
budaya (Kaplan dan Robert, 2002:104). Dengan mengacu pada kerangka ini maka

11

dapat disimpulkan bahwa praktek nelayan pulau Bonetambung dalam
memanfaatkan lingkungan alamnya merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap
lingkungan yang pada gilirannya membentuk organisasi sosial-ekonomi mereka
yang pada akhirnya memberi corak pada peran gender. Tentu dengan kerangka ini
kita dapat memahami bahwa organisasi sosial dan peran gender pada masyarakat
nelayan di pulau Bonetambung akan berbeda dengan nelayan lain apalagi yang
bukan nelayan (yang berdomili di lingkungan perkotaan misalnya).
Selain itu, dapat pula disimpulkan bahwa peran gender yang secara khusus
dikerucutkan pada peran perempuan oleh konstruksionisme tidak hanya dapat
ditinjau dengan kacamata histories tetapi juga dengan pendekatan ekologi, yaitu
bagaimana mereka memanfaatkan dan atau beradaptasi dengan lingkungan
alamnya.

12

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ahmadin. 2009. Ketika Lautku Tak Berikan Lagi. Makassar: Rayhan Intermedia
Andayani, Trisna.2006 Perubahan Peranan Wanita Dalam Ekonomi Keluarga
Nelayan Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli.
http://www.geocities.com/konferensinasionalsejarah/trisna_andayani.pdf
Diakses 7 sept 2009
Fakih Mansour. 2007 (cetakan ke-11). Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002 (cetakan III). Teori Budaya.
Pengantar Dr. P.M. Laksono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kusnadi. 2000. Nelayan. Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung:
Humaniora Utama Press.
Lampe, Munsi. 1989. Strategi-strategi Adaptif Nelayan. Suatu Studi Tentang
Antropologi Perikanan. Disajikan dalam Forum Informasi Ilmiah
Kontemporer Fisipol-Unhas tanggal 14 Juni 1989.

13