hubungan pendidikan ekonomi dan tenaga k
HUBUNGAN ANTARA
PENDIDIKAN, EKONOMI, DAN KETENAGAKERJAAN:
Sebuah Mitos tentang Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya
mengatakan
menyebabkan
bahwa
perluasan
bertambahnya
kesempatan
pengangguran
belajar
tenaga
cenderung
terdidik
telah
daripada
bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan lapangan kerja. Kritik ini
tentu saja bukannya tanpa dasar; data sensus penduduk tahun 1990
memperlihatkan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga
penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar
dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan pendidikan yang lebih
rendah.
Namun demikian, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena
cara berfikir yang digunakan dalam menafsirkan data empiris tersebut
cenderung agak menyesatkan. Cara berfikir tersebut ini cukup berbahaya;
bukan hanya akan berakibat penyudutan yang tidak perlu terhadap sistem
pendidikan, tetapi juga cenderung akan menjadikan pengangguran sebagai
masalah yang selamanya tidak dapat dipecahkan.
Keadaan tersebut diatas memerlukan penjelasan yang lebih konsepsional
terhadap masalah pengangguran tenaga terdidik, yang dewasa ini banyak
disoroti oleh masyarakat. Penjelasan secara lebih konsepsional diharapkan
mampu mendudukkan persoalan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya
tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan
masalah ketenagakerjaan.
1
B. Tujuan
Tulisan ini bermaksud mengamati kaitan antara kesempatan pendidikan
yang lebih luas dengan timbulnya masalah-masalah ketenagakerjaan di
Indonesia. Melalui tulisan ini, akan diberikan tafsiran yang berbeda dengan
tafsiran yang selama ini dilakukan berbagai pihak, terhadap masalah kaitan
antara pendidikan dengan gejala pengangguran di Indonesia. Dengan
demikian, diharapkan bahwa kebijakan dalam menangani masalah ketidak
sesuaian antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja memiliki landasan
konsepsional dan dampak yang berarti terhadap upaya memperkecil
pengangguran tenaga terdidik.
C. Pertanyaan Penelitian
Peranan pendidikan di dalam pengembangan sumber daya manusia
(SDM), memang tidak perlu diragukan. Yang menjadi pertanyaan ialah,
apakah pengembangan sumber daya manusia tersebut selalu harus dilakukan
melalui pendidikan formal?. Pertanyaan yang lebih khusus ialah program
pendidikan formal yang bagaimana yang mampu mengembangkan SDM agar
menjadi modal dasar pembangunan yang berguna bagi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat relevan
dengan isu kebijakan pendidikan yang sedang disoroti saat ini.
D. Kerangka Berfikir
Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi ialah
produktivitas tenaga kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Pengertian ini
diyakini oleh suatu teori yang menamakan dirinya Teori Human Capital. Teori
Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Teori
ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari
produktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang lebih
tinggi karena memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, maka pertumbuhan
2
ekonomi masyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini
menganggap bahwa pendidikan formal merupakan suatu investasi baik bagi
individu maupun bagi masyarakat.
Namun demikian, sering dijumpai kenyataan empiris bahwa asumsiasumsi yang digunakan oleh Teori Human Capital tidak selalu benar dalam
kenyataannya. Misalnya, studi-studi yang dilakukan oleh Blau dan Duncan
(1967) di Amerika Serikat, Mark Chile dan Cummings (1980) di Indonesia
ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju
dengan negara berkembang; pendidikan formal hanya memberikan kontribusi
lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan
formal dibandingkan dengan latar belakang keluarga dan faktor-faktor luar
sekolah lainnya.
Sebagian dari studi-studi pendidikan dan tenaga kerja tersebut di atas
melakukan pengukuran produktivitas tenaga kerja melalui pengukuran tingkat
penghasilan atau “earning power” pekerja. Gaji atau penghasilan memang
bukan merupakan cara pengukuran yang salah sebagai indikator produktivitas
kerja karena penghasilan ialah suatu bentuk balas jasa untuk seseorang yang
telah menghasilkan barang atau jasa yang berguna bagi suatu sistem ekonomi
khusunya dalam suatu mekanisme pasar yang berjalan sempurna. Namun,
penentuan standar gaji pada suatu sistem politik ekonomi tertentu kadangkadang menyesatkan jika digunakan sebagai ukuran produktivitas pekerja
karena faktor-faktor lain selain kemampuan dan keahlian juga memberikan
pengaruh yang tidak kecil terhadap pendapatan seseorang.
Keragu-raguan yang sering terlontar dari kalangan para peneliti terhadap
asumsi Teori Human Capital tersebut memang cukup beralasan. Pertama,
lapangan kerja, khususnya sektor modern yang bersifat remuneratif, sangat
terbatas jumlahnya, sehingga tenaga kerja terdidik yang berjumlah besar dan
muncul dalam waktu yang bersamaan sering tidak ditampung oleh lapangan
kerja yang tersedia disektor tersebut. Kedua, kenyataan umum menunjukkan
3
bahwa lulusan pendidikan belum siap untuk bekerja sesuai harapan lapangan
kerja, sehingga banyak dunia usaha industri yang masih harus melatih tenaga
tersebut dalam waktu yang relatif lama agar mereka dapat bekerja. Ketiga,
asumsi bahwa pendidikan formal mampu menyediakan tenaga kerja terampil
dan mampu bekerja mungkin tidak benar.
Atas dasar keragu-raguan tersebut, muncul teori lain yang memiliki
keyakinan berbeda dengan asumsi teori Human Capital, yaitu “Teori
Kredensialisme” dan “Screening Hypothesis”. Kedua teori tersebut tidak yakin
bahwa fungsi pendidikan formal mampu atau perlu menghasilkan tenaga
terampil bekerja. Akan tetapi, teori-teori tersebut merasa yakin perolehan
kemampuan dan keterampilan bekerja dapat diperoleh diluar pendidikan
formal, misalnya, melalui pelatihan kerja, pengalaman dan belajar sendiri.
Teori Human Capital mengungkapkan bahwa struktur masyarakat lebih
ampuh daripada individu di dalam mendorong suatu pertumbuhan dan
perkembangan. Pendidikan formal sering hanya dianggap sebagai alat untuk
mempertahankan statusquo dari para pemegang status sosial yang lebih tinggi.
Pemilikan ijazah pendidikan sering dianggap merupakan hasil pendidikan
yang lebih penting daripada kemampuan dan keahlian. Dengan demikian,
pendidikan menjadi sesuatu yang apriori, khususnya dalam menduduki suatu
status jabatan atau pekerjaan.
Teori “Screening Hypothesis” berpandangan bahwa pendidikan sering
dianggap semata-mata sebagai suatu alat saring (filtering device) untuk
menyeleksi kelompok orang yang sebenarnya sudah diuntungkan sejak lahir.
Sementara itu menghambat kelompok orang tertentu yang tidak memiliki
akses terhadap pendidikan formal. Menurut teori ini, perolehan pendidikan
formal sering dianggap sebagai lambang status sosial dari suatu kelompok
orang. Menurut teori ini, studi-studi yang mengukur “penghasilan” sebagai
proxy dari produktivitas seseorang tidaklah tepat. Jika dikaji dari teori ini
4
nampak jelas bahwa tingkatan gaji seseorang sering hanya ditentukan oleh
ijazah pendidikan yang dimiliki sebagai suatu modal kultur.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas , penafsiran yang berbeda perlu
dilakukan terhadap masalah pengangguran tenaga kerja terdidik. Masalah ini
merupakan suatu petunjuk dari adanya ketidaksesuaian antara pendidikan dan
lapangan kerja. Masalah ketidaksesuaian ini tidak selamanya merupakan
akibat dari sistem pendidikan, tetapi dapat diterangkan oleh dua tafsiran yang
berbeda. Masalah pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dianggap sebagai
“Gejala Persediaan” (Supply Phenomena); ketidaksesuaian antara pendidikan
dan lapangan kerja merupakan gejala ketidakmampuan sistem pendidikan
dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat
membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan
pasar yang terus berubah dan beranekaragam. Atau mungkin juga merupakan
“Gejala permintaan (Demand Phenomena); yaitu bahwa ketidaksesuaian
tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri
tetapi juga disebabkan oleh lapangan kerja yang belum memfungsikan sistem
pelatihan kerja secara optimal.
Jika ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga dengan kebutuhan dunia
industri dianggap sebagai “demand phenomena”, maka sistem pelatihan kerja
juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan
yang memiliki fungsi menghasilkan tenaga kerja siap pakai (ready trained).
Sementara itu sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu
menghasilkan
tenaga
yang
memiliki
dikembangkan lebih lanjut di dunia kerja.
5
kecakapan
dasar
yang
dapat
BAB II
ANALISIS EKONOMI DAN KETENAGAKERJAAN
Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor akan memberikan
dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan lapangan
kerja. Tanggung jawab ideal dari dunia kerja adalah bagaimana dapat menyerap
sebesar-besarnya tambahan angkatan kerja yang terjadi setiap tahun, dengan tetap
memperhatikan peningkatan produktivitas pekerja secara keseluruhan. Sebab
dengan meningkatnya produktivitas, diharapkan upah juga meningkat sekaligus
kesejahteraan mereka dan skala kegiatan ekonomi nasional masih sangat terbatas
sehingga mereka yang benar-benar terserap dengan tingkat produktivitas yang
memadai (umumnya disektor formal) juga masih terbatas. Akibatnya mereka yang
tidak dapat ditampung, karena desakan kebutuhan kerja akan masuk ke sektor
informal dengan segala permasalahannya.
Ketidakserasian antara perkembangan ekonomi dan penyerapan tenaga
kerja, secara umum akan menimbulkan kelemahan pada sistem penawaran dan
permintaan tenaga kerja. Upaya yang seharusnya ditempuh ialah bagaimana
mempertemukan kebutuhan tenaga kerja pada dunia usaha yang terus mengalami
perkembangan
dan
pergeseran,
dengan
penawaran
tenaga
kerja
yang
sesungguhnya merupakan produk dari sistem pendidikan yang relatif konstan.
Dengan upaya ini diharapkan agar pergeseran struktur kesempatan kerja dapat
mempengaruhi perubahan struktur angkatan kerja menurut pendidikan dan
produktivitas mereka.
Untuk
mengetahui
secara
lebih
mendalam
masalah-masalah
ketenagakerjaan ini, perlu dikaji hubungan dan keterkaitan antara perkembangan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dengan implikasinya pada perubahan
struktur dari keduanya, produktivitas tenaga kerja serta elastisitasnya.
6
1. Pertumbuhan Ekonomi, Lapangan Kerja dan Produktivitas.
Untuk mencapai peningkatan produktivitas yang memadai, laju
pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan
lapangan kerja. Dengan mengambil periode pengamatan 1980-1985, 19851990 dan 1980-1990, dapat dibandingkan laju pertumbuhan keduanya, seperti
ditunjukkan pada tabel 5.4.
Laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1980-1985 hanya
mencapai 3,74 persen per tahun, sementara laju pertumbuhan lapangan kerja
mencapai 1,05; lebih besar dari keadaaan normal yang biasanya kurang dari
satu. Keadaan ini menunjukkan penurunan tingkat produktivitas tenaga kerja,
karena sebagian besar lapangan kerja tercipta di sektor informal. Lambatnya
laju pertumbuhan ekonomi terutama terjadi pada tahun 1982, dimana resesi
ekonomi dialami oleh hampir semua sektor produksi dalam negeri. Disamping
itu harga minyak dunia yang terus menurun, menyebabkan kuota produksi
minyak Indonesia yang ditentukan OPEC juga terus mengalami penurunan.
Pertumbuhan ekonomi pada periode 1985-1990, lebih baik dan
mencapai laju pertumbuhan ekonomi 6,29 persen. Sementara itu laju
penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 2,88 persen, yang berarti
elastisitasnya jauh lebih kecil, yaitu 0,46. Elastisitas tenaga kerja yang cukup
kecil ini, mungkin menunjukkan peningkatan produktivitas, atau mungkin
merupakan petunjuk bahwa sektor-sektor ekonomi kurang mampu menyerap
tenaga kerja terdidik yang lebih banyak. Pertumbuhan yang tinggi ini
sebenarnya merupakan hasil reformasi ekonomi (baca deregulasi dan
debirokratisasi) yang dilaksanakan semakin intensif dalam lima tahun terakhir,
peningkatan ekspor non-migas, pengurangan subsidi dan proteksi serta
perbaikan di bidang moneter.
Secara keseluruhan, periode 1980-1990 dapat dikatakan masih cukup
baik. Laju pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen, sementara laju
penyerapan tenaga kerja 3,39 persen, dengan elastisitas tenaga kerja 0,68 yang
7
berarti kemampuan sektoral dalam penyerapan angkatan kerja semakin baik.
Sektor industri menunjukkan perkembangan yang sangat berarti selama
sepuluh tahun terakhir. Laju pertumbuhannya mencapai rata-rata 9,73 persen
per tahun sementara laju penyerapan tenaga kerja mencapai 5,9. Laju
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja ini akan membawa implikasi
pada perkembangan produktivitas tenaga kerja makro.
Dengan mengambil periode-periode pengamatan yang sama seperti
ditunjukkan oleh Tabel 5.2 perkembangan produktivitas tenaga kerja
memperlihatkan hal yang cukup menarik. Secara keseluruhan periode 19801990 dari sisi perkembangan produktivitas dapat dikatakan baik. Selama
periode ini produktivitas tenaga kerja menunjukkan peningkatan 1,56 persen
per tahun. Hal ini ditunjukkan oleh semua sektor kecuali sektor pertambangan.
Sektor-sektor yang cukup mantap peningkatan produktivitasnya adalah sektor
industri, listrik, gas, dan air, serta sektor jasa. Sedangkan sektor-sektor yang
lambat peningkatan produktivitasnya adalah sektor pertanian, bangunan, dan
sektor pengangkutan.
Pengaruh dari faktor pendidikan dan latihan dalam peningkatan
produktivitas tenaga kerja memang ada, namun cukup lemah untuk
ditunjukkan karena terlalu banyak faktor-faktor lain. Dari sisi ekonomi saja,
faktor peningkatan modal, teknologi dan efisiensi, cukup besar pengaruhnya
pada produktivitas. Dapat disimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia,
peningkatan produktivitas lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi dari
pada disebabkan secara langsung oleh faktor tenaga kerjanya itu sendiri. Oleh
karena itu untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, peranan pendidikan
dan latihan sangat diperlukan agar mengarah pada peningkatan kualitas dan
keahlian mereka.
Pengamatan terhadap besarnya produktivitas masing-masing sektor,
sektor pertambangan memiliki produktivitas tertinggi, walaupun terus
menerus 10 tahun terakhir. Produktivitas sektor ini pada tahun 1990 masih
8
mencapai 23,9 juta rupiah per orang. Sektor lembaga keuangan juga memiliki
produktivitas yang tinggi sebesar 14,5 juta rupiah per orang tahun 1990. Pada
sektor pertambangan, faktor modal dan teknologi sangat berperan, sedangkan
pada sektor lembaga keuangan faktor efisiensi kerja akan lebih berperan.
Sudah dapat di duga bahwa produktivitas di sektor pertanian adalah yang
paling rendah, yaitu 0,64 juta rupiah per orang tahun 1990.
2. Perubahan Struktur Ekonomi dan Lapangan Kerja
Laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang bervariasi antar
sektor telah menyebabkan pergeseran struktur keduanya. Demikian juga
perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja dibeberapa sektor
tertentu telah menyebabkan peranannya dalam struktur ekonomi dan lapangan
kerja bergeser secara tidak searah. Seperti ditunjukkan oleh tabel 5.3, sektor
pertanian masih memberikan kontribusi terbesar pada ekonomi dan lapangan
kerja, walaupun cenderung menurun selama 10 tahun terakhir. Kontribusi
pada ekonomi (PDB) menurun dari 23,11 persen menjadi 19,58 persen,
sementara pada lapangan kerja menurun dari 56,30 persen menjadi 50,01
persen. Persoalan disektor pertanian adalah masih besarnya beban dalam
menampung tenaga kerja, sementara kapasitas ekonomi terutama lahan
pertanian semakin terbatas. Dalam keadaan ini, harus diakui bahwa masalah
produktivitas yang rendah, kemiskinan, efisiensi dan kualitas tenaga kerja
yang rendah masih menjadi masalah yang cukup rumit pada sektor ini. Untuk
menarik mereka keluar dari sektor ini atau setidak-tidaknya memperlambat
laju penyerapan tenaga kerja, maka laju investasi pada sektor-sektor lain
terutama industri, listrik, dan jasa harus terus ditingkatkan, terutama
membawa implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja.
Sektor industri memberikan kontribusi yang lebih baik pada ekonomi
dan lapangan kerja, namun kurang proporsional. Kontribusi pada ekonomi
menigkat 6,87 persen dari 12,43 persen menjadi 19,30 persen, sedangkan pada
lapangan kerja hanya menigkat 2,46 persen. Dengan laju pertumbuhan
ekonomi di sektor industri cukup tinggi dan dengan harapan dapat
9
memperbaiki struktur lapangan kerja yang lebih seimbang, maka sektor
industri masih mampu untuk meningkatkan laju penyerapan tenaga kerjanya.
Dibandingkan
dengan
sektor
industri,
sektor
perdagangan
memiliki
peningkatan kontribusi pada ekonomi dan lapangan kerja yang lebih
seimbang. Kontribusi pada ekonomi meningkat dengan 2,44 persen dan pada
lapangan kerja meningkat dengan 1,95 persen dan pada lapangan kerja
meningkat dengan 1,95 persen. Namun demikian , sektor ini masih sarat
dengan sektor informal yang ditandai dengan rendahnya efisiensi dan
produktivitas, serta keterampilan tenaga kerja yang kurang memadai.
Dari sejumlah sektor yang diamati, sektor jasa mempunyai pergeseran
peranan yang berlawanan antara ekonomi dan lapangan kerja. Peranan pada
ekonomi meningkat dari 9,72 persen menjadi 11,05 persen atau meningkat
1,33 persen. Sebaliknya peranan pada lapangan kerja justru menurun dari
13,95 persen menjadi 13,68 persen atau penurunan sebesar 0,27 persen.
Keadaan ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas tenaga kerja karena
sector-sektor jasa yang semakin efisien, sekaligus merupakan petunjuk dari
berkurangnya proporsi sektor informal.
10
TABEL 5.1
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN LAPANGAN KERJA
(DALAM PERSENTASE)
SEKTOR
1. Pertanian
2. Pertambangan
1980-1985
1985-1990
1980-1990
Lap.
Lap.
Lap.
Ekonomi
Ekonomi
Ekonomi
Kerja
Kerja
Kerja
3,36
3,32
3,21
1,04
3,28
2,18
-3,54
1,31
2,53
12,35
-1,11
6,69
3. Industri Pengolahan
8,81
4,26
10,65
7,55
9,73
5,90
4. Listrik, gas dan air
14,07
0,96
14,99
16,19
14,53
8,31
5. Bangunan
3,21
4,69
8,30
6,59
5,72
5,63
6. Perdagangan
5,01
6,83
8,50
2,83
6,74
4,81
7. Pengangkutan
8,44
5,81
7,33
6,65
7,89
6,23
8. Lembaga Keuangan
9,51
-3,80
7,27
16,77
8,38
5,98
9. Jasa-jasa
Jumlah
6,95
3,74
2,97
3,91
5,79
6,29
3,41
2,88
6,37
5,01
3,19
3,39
TABEL 5.2
PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA
11
MENURUT HARGA KONSTAN
SEKTOR
1980-1990
80-85
85-90
0,03
2,46
1980
1985
1990
0,5637
0,5646
0,6376
47,5682
37,2161
23,9190
(4,79)
(8,46)
(6,64)
3. Industri Pengolahan
1,8688
2,3147
2,7096
4,37
3,20
3,78
4. Listrik, gas dan air
2,8096
5,1712
4,9876
12,98
(0,72)
5,91
5. Bangunan
2,3079
2,1489
2,3632
(1,42)
1,92
0,42
6. Perdagangan
1,4444
1,3253
1,7600
(1,71)
5,84
2,00
7. Pengangkutan
2,0240
2,2887
2,3994
2,49
0,95
1,72
11,4390
21,8590
14,5305
13,83
(7,84)
2,42
0,9575
1,3735
1,1572
1,3622
1,3164
1,6034
3,86
(0,17)
2,61
3,31
3,23
1,56
1. Pertanian
2. Pertambangan
8. Lembaga Keuangan
9. Jasa-jasa
Jumlah
TABEL 5.3
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN LAPANGAN KERJA
(DALAM PERSENTASE)
12
80-90
1,24
SEKTOR
1. Pertanian
1980-1985
1985-1990
1980-1990
Lap.
Lap.
Lap.
Ekonomi
Ekonomi
Ekonomi
Kerja
Kerja
Kerja
23,10
56,30
22,68
54,72
19,58
50,01
2. Pertambangan
26,18
0,76
18,19
0,67
15,19
1,03
3. Industri Pengolahan
12,43
9,14
15,79
9,29
19,30
11,60
4. Listrik, gas dan air
0,26
0,13
0,42
0,11
0,63
0,21
5. Bangunan
5,44
3,24
5,30
3,36
5,82
4,01
6. Perdagangan
13,71
13,04
14,57
14,98
16,15
14,95
7. Pengangkutan
4,42
2,87
5,27
3,14
5,54
3,76
8. Lembaga Keuangan
4,92
0,59
6,44
0,40
6,75
0,76
9,72
100,00
13,95
100,00
11,33
100,00
13,33
100,00
11,05
100,00
13,68
100,00
9. Jasa-jasa
Jumlah
BAB III
ANALISIS PENDIDIKAN DAN KETENAGAKERJAAN
13
Sudah terbukti dalam beberapa penelitian ekonomi pendidikan bahwa
pendidikan dan pelatihan memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui upaya pengembangan sumber daya manusia.
Pertumbuhan ekonomi itu sendiri memiliki kaitan langsung dengan penciptaan
kesempatan kerja baru (employment opportunity) yang dapat menyerap tenaga
kerja terdidik dan terlatih. Pendidikan dan pelatihan memiliki peranan dalam
pengembangan kualitas tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan kesempatan
kerja baru yang tercipta tadi.
Tulisan ini beranggapan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan yang
relevan akan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap produktivitas
sektoral dan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut disebabkan karena
sistem
pendidikan
dan
pelatihan
merupakan
sarana
terpenting
dalam
pengembangan sumber daya manusia. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat
relevansi program pendidikan dan pelatihan, semakin besar kemungkinannya
bahwa sistem tersebut akan dapat mempersiapkan tenaga kerja terdidik dan
terlatih yang produktif. Tenaga kerja produktif adalah mereka yang memiliki
keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja baik
dipandang dari jenis lapangan usaha maupun jenis jabatan.
Namun demikian, relevansi pendidikan masih merupakan konsep yang
belum jelas bahkan masih terus diperdebatkan di kalangan para pemikir,
perencana, pelaksana, dan bahkan para pengamat pendidikan. Beberapa pihak
memiliki pandangan bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan jenis-jenis
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, pihak-pihak lainnya
berpendapat bahwa sistem pendidikan tidak akan pernah memiliki kemampuan
tersebut. Pandangan yang terakhir selalu beranggapan bahwa informasi tentang
jenis-jenis keahlian dan keterampilan tenaga kerja terdidik yang dibutuhkan oleh
lapangan kerja sangat langka sehingga sulit untuk diketahui dengan pasti oleh para
perencana pendidikan. Dengan demikian masalah kurangnya kesesuaian sistem
pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja masih akan terus terjadi sepanjang
perdebatan seperti ini belum dapat mencapai titik temu.
14
Salah satu contoh empiris dari ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan
kebutuhan lapangan kerja dapat dilihat dalam struktur enrolmen pendidikan antara
pendidikan umum atau akademik dan pendidikan kejuruan atau profesional. Tabel
5.4 mengungkapkan suatu keadaan bahwa program-program pendidikan di
Indonesia cenderung lebih mengarah kepada perluasan program pendidikan umum
atau akademik (devocationalized), daripada pendidikan kejuruan atau keahlian
profesional (vocationalized atau profesionalized), baik pada tingkat SLTA maupun
pendidikan tinggi.
Pada tahun 1980, yaitu sejak perluasan sekolah kejuruan belum dilakukan,
proporsi enrolmen SLTA Kejuruan lebih besar (53,6%) dibanding dengan proporsi
SLTA Umum (46,45%). Walaupun, selama Repelita IV pemerintah telah
menerapkan kebijaksanaan perluasan SLTA Kejuruan dua kali lipat, tampaknya
pertumbuhan enrolmen SLTA Umum terus melaju dengan pesat sehingga
mencapai proporsi yang semakin tinggi, yaitu menjadi 67,6% pada tahun 1989/90.
Perkembangan ini berjalan secara konsisten, sehingga diperkirakan di kemudian
hari, bahwa proporsi enrolmen SLTA Umum akan semakin tinggi lagi.
TABEL 5.4
PERKEMBANGAN MURID SLTA DAN MAHASISWA
PERGURUAN TINGGI (dalam 000)
Tahun
Jumlah Murid SLTA
Umum
%
Kejuruan
15
%
Jumlah Mahasiswa PT
S1
%
S0
%
1979/80
843,4
53,6
730,2
46,4
15,4
30,1
35,8
69,9
1980/81 1.036,0
59,0
718,5
41,0
19,5
26,6
52,8
73,4
1981/82 1.268,5
63,6
737,1
36,4
24,1
27,0
65,1
73,4
1982/83 1.504,3
66,6
757,2
33,4
28,7
35,6
51,9
64,4
1983/84 1.770,9
68,4
818,6
31,6
25,8
40,1
37,0
58,9
1984/85 1.940,3
67,4
915,2
32,6
45,7
62,3
27,6
37,7
1985/86 2.105,6
67,3
1.025,2
32,7
63,5
66,1
32,6
33,9
1986/87 2.281,0
65,0
1.218,0
35,0
72,9
59,9
48,9
40,1
1987/88 2.460,2
64,9
1.332,9
35,1
95,8
67,2
46,8
32,8
1988/89 2.600,1
66,3
1.318,9
33,7
84,6
62,6
50,6
37,4
1989/90 2.723,9
67,6
1.307,0
32,4
-
-
-
-
TABEL 5.5
Persentase Pencari Kerja terhadap Angkatan Kerja
Menurut Tingkat Pendidikan
(1)
Tingkat Pendidikan
1980
16
Tahun
(2)
1985
(3)
1990
1.
Tidak Sekolah atau Tidak tamat
SD
1,3
0,6
1,3
1,8
1,5
2,5
2.
Tamat SD
2,8
4,5
5,4
3.
Tamat SLTP
4,4
15,0
11,9
4.
Tamat SLTA Umum
3,9
8,7
7,2
5.
Tamat SLTA Kejuruan
3,3
5,6
5,9
6.
Tamat PT Prog. S0
2,2
4,9
8,6
7.
Tamat PT Prog S1
% Pencari Kerja
1,7
2,1
3,2
868.123
1.368.477
2.411.397
Jumlah Pencari Kerja
Jumlah Angkatan Kerja
1) Hasil Sensus Penduduk, 1980
2) Hasil Sensus Antar Penduduk, 1985
3) Hasil Sensus Penduduk, 1990
52.421.245 63.825.515 74.395.556
Perluasan program pendidikan tinggi juga tampaknya tidak berbeda
dengan program pendidikan SLTA. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa proporsi
jumlah mahasiswa program diploma terus menurun dari 69% pada tahun 1980
menjadi hanya 37% pada tahun 1988/1989. Sebaliknya proporsi program
pendidikan akademis (strata 1) terus berkembang secara meyakinkan dari sebesar
31% pada tahun 1980 menjadi sekitar 63% pada 10 tahun berikutnya. Masalah
yang terungkap dari komposisi program pendidikan tinggi ini ialah bahwa
17
program pendidikan tinggi di Indonesia juga cenderung mengarah pada dominasi
pendidikan tinggi akademis yang sekaligus memperkecil proporsi jumlah program
pendidikan profesional.
Komposisi antara pendidikan umum atau akademis dengan pendidikan
kejuruan atau profesional ini juga terlihat dari besarnya proporsi penganggur pada
masing-masing jenis pendidikan. Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa proporsi
penganggur SLTA Umum dan PT akademis (prog. S1) lebih besar dibanding
dengan proporsi penganggur lulusan SLTA Kejuruan dan lulusan pendidikan
tinggi profesional. Mengingat sistem pendidikan cenderung mengarah pada
dominasi pendidikan umum/akademis (devocationalized), beberapa pihak
mungkin dapat memperkirakan bahwa pengangguran tenaga kerja terdidik akan
terus berkembang di kemudian hari.
Ketidaksesuaian jenis-jenis program pendidikan dengan jenis-jenis
keahlian dan keterampilan ini dapat juga dilihat dari perkembangan proporsi
pencari kerja pada masing-masing kategori pendidikan. Secara umum dapat
dilihat dalam tabel bahwa cenderung semakin besar setiap tahunnya. Dalam 10
tahun terakhir, jumlah penganggur terdidik bertambah tiga kali lipatnya, yaitu dari
868 ribu pada tahun 1980, menjadi 2,5 juta orang pada tahun 1990. Jika tidak
diciptakan perubahan dalam strategi penciptaan lapangan kerja baru, maka jurang
pemisah antara program-program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja
diduga akan terus berlanjut dan bahkan semakin melebar di kemudian hari.
TABEL 5.6
Lama Mencari Kerja menurut Tingkat Pendidikan
(Sakernas, 1988)
Lama Mencari
Kerja (#Bulan)
1 bulan
SD
Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja
SLTP/U SLTP/K SLTA/U SLTA/K
S0
S1
57,5
48,2
50,0
37,9
35,6
41,5
51,4
2 bulan
23,6
21,9
13,3
21,2
19,8
22,0
18,1
3 bulan
13,4
19,0
30,0
18,5
22,6
9,8
18,1
18
4 bulan
3,9
4,0
3,3
6,9
5,9
7,3
5,6
5 bulan
0,8
3,6
3,3
3,5
4,4
2,4
4,2
1,4
6 bulan
2,6
7,4
7,9
12,2
7 bulan
-
1,3
0,8
2,4
8 bulan
0,4
0,8
0,7
-
9 bulan
0,4
1,7
1,8
2,4
10 bulan
0,3
0,5
11 bulan
0,1
12 bulan
Persentase
100,0
100,0
100,0
0,3
100,0
Jumlah Kasus
127
274
30
946
Sumber: Boediono, MackMahon, Abas Gozali, 1991.
100,0
100,0
100,0
607
41
72
TABEL 5.7
Persentase Pekerja yang Bekerja
Menurut Status dan Lapangan Usaha
Tingkat Pendidikan
1.
Tidak
Pernah
Status Pekerjaan
Informal*)
77,5
Sekolah
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Jasa
11,85
1,16
0,73
72,7
18,95
2,38
1,42
2.
Tidak tamat SD
66,5
20,86
3,87
2,94
3.
Tamat SD
53,4
2,87
1,06
1,20
19
4.
Tamat SLTP Umum
49,0
0,40
0,18
0,31
5.
Tamat
31,4
0,76
0,71
1,67
21,9
0,52
0,54
2,62
11,6
0,04
0,06
0,71
9,3
0,02
0,04
0,49
-
56,27
SLTP
Kejuruan
6.
Tamat SLTA Umum
7.
Tamat
SLTA
Kejuruan
8.
Tamat PT Prog. S0
9.
Tamat PT Prog S1
Jumlah
Sumber: Sensus Penduduk, 1990.
10,00 12,09
*) Yang dimaksud ialah sektor ekonomi informal yang dapat diperkirakan dari
jumlah orang yang bekerja menurut Status Pekerjaan Utama, kategori (1);
kategori (2); dan kategori (5).
Ketidaksesuaian antara jenis-jenis program pendidikan dengan keahlian
dan keterampilan yang dibutuhkan lapangan kerja ini bervariasi menurut jenjang
pendidikan. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
angkatan kerja, semakin tinggi pula proporsi mereka yang menganggur. Tabel 5.5
menunjukkan bahwa proporsi penganggur lulusan pendidikan strata 1 lebih besar
dibandingkan dengan proporsi penganggur lulusan diploma, dan begitu seterusnya
pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih rendah (kecuali lulusan SLTA
Umum). Namun demikian, Tabel 5.6 mengungkapkan bahwa terjadinya
20
penganggur tenaga kerja terdidik hanya terjadi selama lulusan sedang menjalani
masa tunggu (Job Search Period). Lamanya masa tunggu ini bervariasi menurut
jenjang pendidikan, dan ada kecenderungan bahwa semakin tinggi latar belakang
pendidikan angkatan kerja semakin lama masa tunggunya.
Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa angka pengangguran lulusan SLTA
Umum terus meningkat dengan tajam dari 4,4% pada tahun 1980, terus meningkat
secara mengejutkan menjadi 15% pada tahun 1985, dan masih tetap sangat tinggi
pada tahun 1990, yaitu sebesar 11,9%. Dilihat dari rata-rata masa tunggu (Job
Search Period), lulusan SLTA Umum ini juga termasuk yang paling lama sehingga
terdapat proporsi yang cukup besar dari mereka yang harus menunggu pekerjaan
selama lebih dari satu tahun. Keadaan ini perlu ditafsirkan secara lebih mendasar,
khususnya yang menyangkut status kredensialisme dari lulusan SLTA Umum.
Pesatnya pertumbuhan angka pengangguran lulusan SLTA ini lebih disebabkan
oleh tumbuhnya persepsi yang keliru bahwa tamatan SLTA Umum memiliki hak
kredensial untuk bekerja, pada saat-saat terjadinya gejala devokasionalisasi
pendidikan tingkat SLTA.
Jika dikaji lebih jauh, gejala pengangguran tenaga kerja terdidik ini
diakibatkan oleh ketimpangan struktur antara persediaan dan kebutuhan tenaga
kerja menurut pendidikan. Hal ini terungkap dari data yang terdapat pada Tabel
5.7. Lapangan kerja pada sektor informal dan/atau tradisional tampaknya masih
sangat dominan. Dominasi sektor ini menunjukkan bahwa sebagian besar
angkatan kerja lulusan pendidikan rendah (Tidak pernah sekolah, 77,5%; tidak
tamat SD, 72,7%; Lulusan SD, 66,5%; Lulusan SLTP Umum, 53,4%; dan lulusan
SLTP Kejuruan, 49,0%) hanya dapat diserap oleh sektor ini. Disamping itu juga,
tampak suatu kejanggalan yang cukup mengkhawatirkan bahwa masih cukup
besar (sekitar 25%) proporsi lulusan pendidikan SLTA, dan sekitar rata-rata 10%
lulusan pendidikan tinggi bekerja pada sektor informal.
Kesempatan kerja sektor informal yang masih cukup dominan ini juga
terlihat dari jumlah pekerja berpendidikan rendah (SD ke bawah) pada lapangan
usaha pertanian dan industri. Berdasarkan hasil SP-1990 ini, sekitar 52% angkatan
21
kerja di Indonesia berpendidikan SD atau lebih rendah (diantaranya ada sekitar
31% yang tidak tamat atau tidak pernah sekolah) bekerja pada sektor pertanian.
Gejala yang sama terjadi juga dari jumlah pekerja berpendidikan SD ke bawah
yang bekerja pada sektor industri. Dari jumlah pekerja sektor industri pengolahan
sebesar 10%, tiga perempat dari jumlah tersebut (7,41%) berpendidikan SD ke
bawah. Sudah dapat diduga bahwa sebagian besar lapangan usaha industri
pengolahan di Indonesia masih merupakan industri pedesaan atau pengrajin yang
sifatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan lingkup pemasaran
yang masih sangat terbatas. Kegiatan industri seperti ini belum tersentuh modal
yang kuat dan sumber daya manusia yang ahli dan terampil sehingga
produktivitasnya sangat rendah.
BAB IV
ANALISIS
Dua kecenderungan terlihat dalam Tabel 5.5 dan Tabel 5.6 bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja semakin besar proporsi penganggur
terdidik, dan semakin lama mengalami masa tunggu. Berdasarkan kecenderungan
tersebut, beberapa pihak mungkin akan menafsirkan bahwa perluasan sistem
22
pendidikan cenderung memberikan andil yang menentukan terhadap timbulnya
masalah pengangguran tenaga kerja terdidik. Penafsiran ini tampak benar secara
empiris, tetapi cukup berbahaya jika digunakan sebagai landasan untuk
pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan oleh karena pengangguran bukan
semata-mata merupakan gejala persediaan (supply phenomena) tetapi lebih tepat
dikatakan sebagai gejala permintaan (demand phenomena). Pengangguran terjadi
karena laju investasi pada lapangan kerja produktif dan remuneratif relatif lebih
lamban dibandingkan dengan perkembangan jumlah tenaga kerja terdidik yang
sangat progresif.
Dari informasi yang dianalisis dalam studi ini, kaitan antara perluasan
pendidikan dengan gejala pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dikaji secara
konsepsional dan empiris paling tidak dari tiga sudut pandang. Terjadinya
pengangguran tenaga kerja terdidik diakibatkan paling tidak oleh tiga alasan
penting, yaitu: (1) Ketimpangan struktural antara persediaan dan kesempatan
kerja. (2) Program pendidikan profesional/kejuruan yang terlalu bersifat
“regulated”; dan (3) Penguatan persepsi kredensialisme pendidikan.
1. Gejala Ketimpangan Struktural
Pengangguran tenaga terdidik yang terjadi seperti tersebut di atas
disebut gejala pengangguran struktural gejala ini yang terjadi sebagai akibat
dari ketimpangan antara struktur kesempatan kerja dan struktur angkatan kerja
menurut pendidikan. Sementara sistem pendidikan sudah menghasilkan
sejumlah besar lulusan yang berpendidikan lebih tinggi, struktur ekonomi
masih didominasi oleh kegiatan ekonomi tradisional dan/atau subsistensi yang
masih membutuhkan lebih banyak tenaga kerja berpendidikan rendah atau
bahkan tidak berpendidikan sama sekali. Dengan demikian, maka lapangan
kerja yang tersedia masih lebih banyak didominasi oleh lapangan kerja sektor
informal ini.
Tentu saja, banyaknya tenaga kerja berpendidikan tinggi yang bekerja
pada “Sektor Informal” bukanlah merupakan hal yang sepenuhnya negatif.
23
Masalahnya ialah bahwa kegiatan ekonomi informal ini umumnya memiliki
tingkat produktivitas yang sangat rendah, sehingga tidak menghasilkan
“return” yang memadai karena keuntungan yang diperoleh, tidak sebanding
dengan biaya yang harus ditanggung selama menempuh pendidikan tinggi.
Tantangannya ialah bukan memindahkan para pekerja ke sektor formal, tetapi
melakukan pembinaan terhadap sektor informal ini agar menjadi sektor yang
lebih produktif, efisien, dan remuneratif dengan dukungan kapital yang
memadai.
Dominasi kegiatan ekonomi informal baik pada sektor pertanian
maupun sektor industri pengolahan tersebut di atas, merupakan tantangan bagi
kebijaksanaan nasional pengembangan sumber daya manusia, melalui
pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan kerja yang relevan. Tentu saja,
penyiapan tenaga kerja terdidik yang menguasai ilmu dan teknologi tinggi
masih merupakan orientasi yang utama dalam pembangunan sistem
pendidikan dan pelatihan di Indonesia. Namun demikian, pengembangan
sumber daya manusia yang berorientasi pada pengembangan kegiatan
ekonomi informalpun masih merupakan tantangan yang cukup penting,
khususnya dalam rangka merubah struktur ekonomi kearah dominasi sektorsektor remuneratif.
Orientasi program pendidikan dan pelatihan tersebut sangat diperlukan
mengingat sebagian besar pekerja Indonesia masih berada pada sektor
informal dengan produktivitas yang masih sangat rendah. Contoh, lapangan
usaha pertanian (sektor tradisional) dan industri pedesaan (pengrajin) yang
diperankan oleh angkatan kerja berpendidikan rendah ini, memiliki sifat tidak
berbeda dengan sektor-sektor informal lainnya baik dipandang dari
penggunaan teknologinya, efisiensinya, maupun tingkat produktivitasnya.
Sektor tersebut lebih tepat dipandang sebagai sektor pertanian pedesaan yang
bersifat “subsistent” dan yang belum tersentuh oleh intervensi kapital.
2. Gejala Pendidikan Profesional yang “Regulated”
24
Gejala ini dapat ditunjukkan dengan masih besarnya peranan
pemerintah dalam penyelenggaraan jenjang pendidikan kejuruan tingkat
menengah dan pendidikan profesional jenjang pendidikan tinggi, sementara
peranan lembaga pendidikan swasta dan dunia usaha masih terlalu kecil.
Program-program pendidikan tinggi profesional (program S0) lebih banyak
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi swasta. Tabel 5.5 menunjukkan
bahwa jumlah mahasiswa program Diploma pada perguruan tinggi negeri
lebih besar dibandingkan dengan jumlahnya pada perguruan tinggi swasta.
Dengan demikian maka sebagian besar lulusan pendidikan tinggi (sekitar
68%) juga berasal dari program diploma pendidikan tinggi negeri.
Dominasi pemerintah dalam menyelenggarakan dan mengontrol
pendidikan profesional ini dapat dilihat pada Tabel 5.8. Dominasi peranan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan dan pendidikan
profesional ini merupakan petunjuk bahwa pendidikan profesional dan
keahlian di Indonesia masih bersifat “regulated”. Sistem pendidikan
profesional yang “regulated” ini juga sekaligus menunjukkan bahwa lembagalembaga pendidikan swasta dan dunia usaha belum menunjukkan………….
TABEL 5.8
Perkembangan dan Jumlah Lembaga, Mahasiswa dan
Lulusan Program Pendidikan Tinggi
1.
Lembaga
1980
Negeri
Swasta
41
362
2.
Jumlah
337.487
171.487
434.585
388.759
Mahasiswa
277.988
171.487
304.783
305.326
25
1990
Negeri
Swasta
48
852
* Program S0
59.499
-
129.802
83.433
31.601
6.125
76.676
58.475
19.132
6.125
42.330
42.267
12.469
-
34.346
16.208
* Program S1
3.
Lulusan
* Program S0
* Program S1
Sumber: Statistik Pendidikan Tinggi, Pusat Informatika
Balitbang-Dikpus, 1980; 1989.
Sistem
pendidikan
yang
“regulated”
ini
cenderung
menutup
kemungkinan tumbuhnya pendidikan profesional yang diselenggarakan
masyarakat. Hal ini juga akan cenderung mempengaruhi tumbuhnya
penguatan birokrasi dalam mengontrol atau mengakredit keahlian profesional
yang tumbuh dengan pesat di luar kemampuan pemerintah untuk
mengendalikanya. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah, apakah perlu
pemerintah mengatur pertumbuhan pendidikan profesi dan keahlian, sehingga
menutup kemungkinan tumbuhnya dunia profesi dan keahlian. Contoh,
perkembangan pendidikan profesional (misalnya MBA, atau MM) pada
26
lembaga pendidikan swasta tetap tumbuh semakin menjamur, walaupun tidak
diakui akreditasi. Berdasarkan hal tersebut mungkin perlu difikirkan suatu
cara agar memungkinkan tumbuhnya dunia profesi dan kealian dengan
memperkecil pengaruh regulasi yang berlebihan. Dengan pengurangan
kekangan ini (reregulated) maka diharapkan dunia profesi dan keahlian akan
tumbuh subur di dunia kerja.
3. Penguatan Persepsi Kredensialisme Pendidikan
Terlalu kuatnya pengaruh teori “Human Capital” terhadap cara berfikir
masyarakat,
menyebabkan
tumbuhnya
sikap
yang
seolah-olah
“mengkulturkan” pendidikan sekolah sebagai lembaga yang mampu
mempersiapkan tenaga yang secara langsung dapat dipekerjakan. Cara berfikir
ini muncul dari aliran yang menamakan dirinya “credentialisme” yang
menganggap berbahaya jika kepada pendidikan sekolah diberikan status
kredensialisme untuk bekerja. Bahaya tersebut akan menjadi semakin besar
pada saat-saat terjadinya gejala peng-umum-an (Devokasionalization)
program-program pendidikan.
Sementara pihak lain mungkin berpandapat bahwa gejala sistem
pendidikan yang mengarah pada dominasi gejala ketidaksesuaian antara
pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja. Lapangan kerja yang dimaksud
ialah sektor modern atau lebih dikenal dengan sektor produktif dan
remuneratif, karena sektor seperti ini lebih banyak membutuhkan tenaga
terampil dan tenaga yang memiliki keahlian profesional.
Gejala
“Devocationalized”
pendidikan
tingkat
SLTA
pada
kenyataannya berjalan di luar kontrol pemerintah, walaupun selama kurun
waktu Repelita IV, pemerintah sudah melakukan perluasan SLTA Kejuruan
dengan menambah jumlah murid sebanyak dua kali lipat (Repelita IV, 1984
Bab 20). Gejala tersebut telah terjadi karena pertambahan jumlah SLTA umum
berjalan lebih cepat lagi sehingga proporsi jumlah murid SLTA Umum tetap
lebih tinggi dan bahkan cenderung terus meningkat sampai dengan akhir
27
dasawarsa 1980an. Dengan demikian, maka jumlah SLTA Umum akan
cenderung dominan dan akan semakin dominan di kemudian hari. Gejala ini
tampaknya akan terus terjadi karena dalam kurun waktu Repelita V, SLTA
Kejuruan cenderung tidak akan diperluas lagi (lihat Repelita V, Bab 20). Jika
hal ini benar, maka di kemudian hari, fungsi pendidikan kejuruan dan
keahlian, sebagai pendidikan persiapan kerja secara berangsur-angsur akan
dimainkan oleh sistem pelatihan kerja dan pendidikan tinggi profesional.
Sementara itu pendidikan tingkat SLTA akan beralih fungsi yang secara
menyeluruh menjadi pendidikan semesta (universal education).
Gejala “De-vocational-ization” pendidikan tingkat SLTA boleh
dikatakan wajar-wajar saja jika dibandingkan dengan negar-negara maju
seperti Jepang dan Korea Selatan, yang lebih banyak memfungsikan sistem
pelatihan kerja (baik on the job training maupun kursus-kursus keahlian)
sebagai pendidikan kejuruan. Masalahnya ialah bahwa program pendidikan
tinggi juga cenderung “devocationalized” sehingga cenderung lebih banyak
mempersiapkan
tenaga
akademis
daripada
tenaga
yang
berkeahlian
profesional.
BAB V
BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN
1.
Dari uraian pertama dapat disimpulkan bahwa selama 10 tahun terakhir
telah terjadi pergeseran struktur yang lebih baik (lebih seimbang) baik pada
ekonomi maupun lapangan kerja. Namun demikian struktur lapangan kerja
masih terlalu berat pada sektor pertanian (lebih 50 persen), sehingga belum
terjadi keseimbangan antar sektor yang lebih dinamis baik dilihat dari segi
produktivitas, efisiensi, maupun kesejahteraan (pendapatan) tenaga kerjanya.
28
Untuk melanjutkan usaha menggeser struktur lapangan kerja yang lebih
seimbang, perlu terus diperkecil kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat
tradisional dan informal, seraya memperluas lapangan kerja formal yang lebih
produktif. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a.
Memperlambat laju penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
tradisional, dan meningkatkan produktivitas dan efisiensinya.
b.
Meningkatkan dan memperluas penyerapan tenaga kerja, di sektorsektor lainnya terutama di sektor industri dan jasa dengan tetap
memperhatikan produktivitas dan efisiensinya.
c.
Untuk dapat ditampung di sektor industri, terutama bagi angkatan
kerja baru harus dibekali dengan keahlian dan kemampuan bekerja yang
memadai. Upaya ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan dan
latihan.
2.
Dalam perbandingan antar negara di kawasan Asia-Pasifik diperoleh
kesimpulan bahwa, Indonesia termasuk negara yang memiliki laju investasi
fisik yang cukup bersaing di negara-negara tersebut (sebesar 30% yang hampir
mendekati Jepang dengan laju inflasinya sekitar 32%). Jika investasi ini
diarahkan secara tepat, yaitu diarahkan pada pengembangan lapangan kerja
produktif yang mampu menyerap jumlah angkatan kerja terdidik yang lebih
besar, maka diperkirakan bahwa Indonesia tidak mengalami masalah
pengangguran tenaga terdidik yang cukup mengkhawatirkan. Di lain pihak
dikemukakan suatu keadaan dimana persentase pengangguran tenaga kerja
terdidik di Indonesia cukup besar. Dari kedua informasi tersebut dapat dilihat
masalah yang agak mendasar, yaitu bahwa pola investasi lapangan kerja
produktif di Indonesia masih terlalu diarahkan pada pertumbuhan dan belum
diarahkan pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang lebih besar jumlahnya.
a.
Dari masalah yang terungkap tersebut di atas, maka pembinaan
sektor-sektor tradisional pedesaan dan sektor informal perkotaan sangat
diperlukan. Pembinaan tersebut perlu dilakukan secara cermat dan
terencana, dengan intervensi modal, penggunaan teknologi tepat, dan
pendayagunaan tenaga kerja terdidik. Melalui pembinaan ini diharapkan
bahwa sektor-sektor tradisional dan informal tersebut akan menjadi sektor
29
yang produktif dan sekaligus dapat menyerap tenaga kerja terdidik yang
lebih besar jumlahnya.
b.
Pola pembinaan yang sekarang dilakukan melalui, misalnya,
konsepsi bapak angkat, program penempatan tenaga kerja sarjana di
daerah pedesaan, program Kejar Usaha dan Program Magang, perlu terus
dilanjutkan bahkan terus diintensifkan dengan tetap menggunakan strategi
debirokratisasi untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya cabangcabang usaha dan industri baru.
3.
Walaupun laju investasi fisik di Indonesia cukup bersaing dibandingkan
dengan negara-negara dikawasan Asia Pasifik, laju investasi pengembangan
sumber daya manusia ternyata cukup rendah. Laju investasi sumber daya
manusia dapat dilihat dari……
30
PENDIDIKAN, EKONOMI, DAN KETENAGAKERJAAN:
Sebuah Mitos tentang Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya
mengatakan
menyebabkan
bahwa
perluasan
bertambahnya
kesempatan
pengangguran
belajar
tenaga
cenderung
terdidik
telah
daripada
bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan lapangan kerja. Kritik ini
tentu saja bukannya tanpa dasar; data sensus penduduk tahun 1990
memperlihatkan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga
penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar
dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan pendidikan yang lebih
rendah.
Namun demikian, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena
cara berfikir yang digunakan dalam menafsirkan data empiris tersebut
cenderung agak menyesatkan. Cara berfikir tersebut ini cukup berbahaya;
bukan hanya akan berakibat penyudutan yang tidak perlu terhadap sistem
pendidikan, tetapi juga cenderung akan menjadikan pengangguran sebagai
masalah yang selamanya tidak dapat dipecahkan.
Keadaan tersebut diatas memerlukan penjelasan yang lebih konsepsional
terhadap masalah pengangguran tenaga terdidik, yang dewasa ini banyak
disoroti oleh masyarakat. Penjelasan secara lebih konsepsional diharapkan
mampu mendudukkan persoalan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya
tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan
masalah ketenagakerjaan.
1
B. Tujuan
Tulisan ini bermaksud mengamati kaitan antara kesempatan pendidikan
yang lebih luas dengan timbulnya masalah-masalah ketenagakerjaan di
Indonesia. Melalui tulisan ini, akan diberikan tafsiran yang berbeda dengan
tafsiran yang selama ini dilakukan berbagai pihak, terhadap masalah kaitan
antara pendidikan dengan gejala pengangguran di Indonesia. Dengan
demikian, diharapkan bahwa kebijakan dalam menangani masalah ketidak
sesuaian antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja memiliki landasan
konsepsional dan dampak yang berarti terhadap upaya memperkecil
pengangguran tenaga terdidik.
C. Pertanyaan Penelitian
Peranan pendidikan di dalam pengembangan sumber daya manusia
(SDM), memang tidak perlu diragukan. Yang menjadi pertanyaan ialah,
apakah pengembangan sumber daya manusia tersebut selalu harus dilakukan
melalui pendidikan formal?. Pertanyaan yang lebih khusus ialah program
pendidikan formal yang bagaimana yang mampu mengembangkan SDM agar
menjadi modal dasar pembangunan yang berguna bagi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat relevan
dengan isu kebijakan pendidikan yang sedang disoroti saat ini.
D. Kerangka Berfikir
Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi ialah
produktivitas tenaga kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Pengertian ini
diyakini oleh suatu teori yang menamakan dirinya Teori Human Capital. Teori
Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Teori
ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari
produktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang lebih
tinggi karena memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, maka pertumbuhan
2
ekonomi masyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini
menganggap bahwa pendidikan formal merupakan suatu investasi baik bagi
individu maupun bagi masyarakat.
Namun demikian, sering dijumpai kenyataan empiris bahwa asumsiasumsi yang digunakan oleh Teori Human Capital tidak selalu benar dalam
kenyataannya. Misalnya, studi-studi yang dilakukan oleh Blau dan Duncan
(1967) di Amerika Serikat, Mark Chile dan Cummings (1980) di Indonesia
ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju
dengan negara berkembang; pendidikan formal hanya memberikan kontribusi
lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan
formal dibandingkan dengan latar belakang keluarga dan faktor-faktor luar
sekolah lainnya.
Sebagian dari studi-studi pendidikan dan tenaga kerja tersebut di atas
melakukan pengukuran produktivitas tenaga kerja melalui pengukuran tingkat
penghasilan atau “earning power” pekerja. Gaji atau penghasilan memang
bukan merupakan cara pengukuran yang salah sebagai indikator produktivitas
kerja karena penghasilan ialah suatu bentuk balas jasa untuk seseorang yang
telah menghasilkan barang atau jasa yang berguna bagi suatu sistem ekonomi
khusunya dalam suatu mekanisme pasar yang berjalan sempurna. Namun,
penentuan standar gaji pada suatu sistem politik ekonomi tertentu kadangkadang menyesatkan jika digunakan sebagai ukuran produktivitas pekerja
karena faktor-faktor lain selain kemampuan dan keahlian juga memberikan
pengaruh yang tidak kecil terhadap pendapatan seseorang.
Keragu-raguan yang sering terlontar dari kalangan para peneliti terhadap
asumsi Teori Human Capital tersebut memang cukup beralasan. Pertama,
lapangan kerja, khususnya sektor modern yang bersifat remuneratif, sangat
terbatas jumlahnya, sehingga tenaga kerja terdidik yang berjumlah besar dan
muncul dalam waktu yang bersamaan sering tidak ditampung oleh lapangan
kerja yang tersedia disektor tersebut. Kedua, kenyataan umum menunjukkan
3
bahwa lulusan pendidikan belum siap untuk bekerja sesuai harapan lapangan
kerja, sehingga banyak dunia usaha industri yang masih harus melatih tenaga
tersebut dalam waktu yang relatif lama agar mereka dapat bekerja. Ketiga,
asumsi bahwa pendidikan formal mampu menyediakan tenaga kerja terampil
dan mampu bekerja mungkin tidak benar.
Atas dasar keragu-raguan tersebut, muncul teori lain yang memiliki
keyakinan berbeda dengan asumsi teori Human Capital, yaitu “Teori
Kredensialisme” dan “Screening Hypothesis”. Kedua teori tersebut tidak yakin
bahwa fungsi pendidikan formal mampu atau perlu menghasilkan tenaga
terampil bekerja. Akan tetapi, teori-teori tersebut merasa yakin perolehan
kemampuan dan keterampilan bekerja dapat diperoleh diluar pendidikan
formal, misalnya, melalui pelatihan kerja, pengalaman dan belajar sendiri.
Teori Human Capital mengungkapkan bahwa struktur masyarakat lebih
ampuh daripada individu di dalam mendorong suatu pertumbuhan dan
perkembangan. Pendidikan formal sering hanya dianggap sebagai alat untuk
mempertahankan statusquo dari para pemegang status sosial yang lebih tinggi.
Pemilikan ijazah pendidikan sering dianggap merupakan hasil pendidikan
yang lebih penting daripada kemampuan dan keahlian. Dengan demikian,
pendidikan menjadi sesuatu yang apriori, khususnya dalam menduduki suatu
status jabatan atau pekerjaan.
Teori “Screening Hypothesis” berpandangan bahwa pendidikan sering
dianggap semata-mata sebagai suatu alat saring (filtering device) untuk
menyeleksi kelompok orang yang sebenarnya sudah diuntungkan sejak lahir.
Sementara itu menghambat kelompok orang tertentu yang tidak memiliki
akses terhadap pendidikan formal. Menurut teori ini, perolehan pendidikan
formal sering dianggap sebagai lambang status sosial dari suatu kelompok
orang. Menurut teori ini, studi-studi yang mengukur “penghasilan” sebagai
proxy dari produktivitas seseorang tidaklah tepat. Jika dikaji dari teori ini
4
nampak jelas bahwa tingkatan gaji seseorang sering hanya ditentukan oleh
ijazah pendidikan yang dimiliki sebagai suatu modal kultur.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas , penafsiran yang berbeda perlu
dilakukan terhadap masalah pengangguran tenaga kerja terdidik. Masalah ini
merupakan suatu petunjuk dari adanya ketidaksesuaian antara pendidikan dan
lapangan kerja. Masalah ketidaksesuaian ini tidak selamanya merupakan
akibat dari sistem pendidikan, tetapi dapat diterangkan oleh dua tafsiran yang
berbeda. Masalah pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dianggap sebagai
“Gejala Persediaan” (Supply Phenomena); ketidaksesuaian antara pendidikan
dan lapangan kerja merupakan gejala ketidakmampuan sistem pendidikan
dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat
membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan
pasar yang terus berubah dan beranekaragam. Atau mungkin juga merupakan
“Gejala permintaan (Demand Phenomena); yaitu bahwa ketidaksesuaian
tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri
tetapi juga disebabkan oleh lapangan kerja yang belum memfungsikan sistem
pelatihan kerja secara optimal.
Jika ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga dengan kebutuhan dunia
industri dianggap sebagai “demand phenomena”, maka sistem pelatihan kerja
juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan
yang memiliki fungsi menghasilkan tenaga kerja siap pakai (ready trained).
Sementara itu sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu
menghasilkan
tenaga
yang
memiliki
dikembangkan lebih lanjut di dunia kerja.
5
kecakapan
dasar
yang
dapat
BAB II
ANALISIS EKONOMI DAN KETENAGAKERJAAN
Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor akan memberikan
dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan lapangan
kerja. Tanggung jawab ideal dari dunia kerja adalah bagaimana dapat menyerap
sebesar-besarnya tambahan angkatan kerja yang terjadi setiap tahun, dengan tetap
memperhatikan peningkatan produktivitas pekerja secara keseluruhan. Sebab
dengan meningkatnya produktivitas, diharapkan upah juga meningkat sekaligus
kesejahteraan mereka dan skala kegiatan ekonomi nasional masih sangat terbatas
sehingga mereka yang benar-benar terserap dengan tingkat produktivitas yang
memadai (umumnya disektor formal) juga masih terbatas. Akibatnya mereka yang
tidak dapat ditampung, karena desakan kebutuhan kerja akan masuk ke sektor
informal dengan segala permasalahannya.
Ketidakserasian antara perkembangan ekonomi dan penyerapan tenaga
kerja, secara umum akan menimbulkan kelemahan pada sistem penawaran dan
permintaan tenaga kerja. Upaya yang seharusnya ditempuh ialah bagaimana
mempertemukan kebutuhan tenaga kerja pada dunia usaha yang terus mengalami
perkembangan
dan
pergeseran,
dengan
penawaran
tenaga
kerja
yang
sesungguhnya merupakan produk dari sistem pendidikan yang relatif konstan.
Dengan upaya ini diharapkan agar pergeseran struktur kesempatan kerja dapat
mempengaruhi perubahan struktur angkatan kerja menurut pendidikan dan
produktivitas mereka.
Untuk
mengetahui
secara
lebih
mendalam
masalah-masalah
ketenagakerjaan ini, perlu dikaji hubungan dan keterkaitan antara perkembangan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dengan implikasinya pada perubahan
struktur dari keduanya, produktivitas tenaga kerja serta elastisitasnya.
6
1. Pertumbuhan Ekonomi, Lapangan Kerja dan Produktivitas.
Untuk mencapai peningkatan produktivitas yang memadai, laju
pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan
lapangan kerja. Dengan mengambil periode pengamatan 1980-1985, 19851990 dan 1980-1990, dapat dibandingkan laju pertumbuhan keduanya, seperti
ditunjukkan pada tabel 5.4.
Laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1980-1985 hanya
mencapai 3,74 persen per tahun, sementara laju pertumbuhan lapangan kerja
mencapai 1,05; lebih besar dari keadaaan normal yang biasanya kurang dari
satu. Keadaan ini menunjukkan penurunan tingkat produktivitas tenaga kerja,
karena sebagian besar lapangan kerja tercipta di sektor informal. Lambatnya
laju pertumbuhan ekonomi terutama terjadi pada tahun 1982, dimana resesi
ekonomi dialami oleh hampir semua sektor produksi dalam negeri. Disamping
itu harga minyak dunia yang terus menurun, menyebabkan kuota produksi
minyak Indonesia yang ditentukan OPEC juga terus mengalami penurunan.
Pertumbuhan ekonomi pada periode 1985-1990, lebih baik dan
mencapai laju pertumbuhan ekonomi 6,29 persen. Sementara itu laju
penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 2,88 persen, yang berarti
elastisitasnya jauh lebih kecil, yaitu 0,46. Elastisitas tenaga kerja yang cukup
kecil ini, mungkin menunjukkan peningkatan produktivitas, atau mungkin
merupakan petunjuk bahwa sektor-sektor ekonomi kurang mampu menyerap
tenaga kerja terdidik yang lebih banyak. Pertumbuhan yang tinggi ini
sebenarnya merupakan hasil reformasi ekonomi (baca deregulasi dan
debirokratisasi) yang dilaksanakan semakin intensif dalam lima tahun terakhir,
peningkatan ekspor non-migas, pengurangan subsidi dan proteksi serta
perbaikan di bidang moneter.
Secara keseluruhan, periode 1980-1990 dapat dikatakan masih cukup
baik. Laju pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen, sementara laju
penyerapan tenaga kerja 3,39 persen, dengan elastisitas tenaga kerja 0,68 yang
7
berarti kemampuan sektoral dalam penyerapan angkatan kerja semakin baik.
Sektor industri menunjukkan perkembangan yang sangat berarti selama
sepuluh tahun terakhir. Laju pertumbuhannya mencapai rata-rata 9,73 persen
per tahun sementara laju penyerapan tenaga kerja mencapai 5,9. Laju
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja ini akan membawa implikasi
pada perkembangan produktivitas tenaga kerja makro.
Dengan mengambil periode-periode pengamatan yang sama seperti
ditunjukkan oleh Tabel 5.2 perkembangan produktivitas tenaga kerja
memperlihatkan hal yang cukup menarik. Secara keseluruhan periode 19801990 dari sisi perkembangan produktivitas dapat dikatakan baik. Selama
periode ini produktivitas tenaga kerja menunjukkan peningkatan 1,56 persen
per tahun. Hal ini ditunjukkan oleh semua sektor kecuali sektor pertambangan.
Sektor-sektor yang cukup mantap peningkatan produktivitasnya adalah sektor
industri, listrik, gas, dan air, serta sektor jasa. Sedangkan sektor-sektor yang
lambat peningkatan produktivitasnya adalah sektor pertanian, bangunan, dan
sektor pengangkutan.
Pengaruh dari faktor pendidikan dan latihan dalam peningkatan
produktivitas tenaga kerja memang ada, namun cukup lemah untuk
ditunjukkan karena terlalu banyak faktor-faktor lain. Dari sisi ekonomi saja,
faktor peningkatan modal, teknologi dan efisiensi, cukup besar pengaruhnya
pada produktivitas. Dapat disimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia,
peningkatan produktivitas lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi dari
pada disebabkan secara langsung oleh faktor tenaga kerjanya itu sendiri. Oleh
karena itu untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, peranan pendidikan
dan latihan sangat diperlukan agar mengarah pada peningkatan kualitas dan
keahlian mereka.
Pengamatan terhadap besarnya produktivitas masing-masing sektor,
sektor pertambangan memiliki produktivitas tertinggi, walaupun terus
menerus 10 tahun terakhir. Produktivitas sektor ini pada tahun 1990 masih
8
mencapai 23,9 juta rupiah per orang. Sektor lembaga keuangan juga memiliki
produktivitas yang tinggi sebesar 14,5 juta rupiah per orang tahun 1990. Pada
sektor pertambangan, faktor modal dan teknologi sangat berperan, sedangkan
pada sektor lembaga keuangan faktor efisiensi kerja akan lebih berperan.
Sudah dapat di duga bahwa produktivitas di sektor pertanian adalah yang
paling rendah, yaitu 0,64 juta rupiah per orang tahun 1990.
2. Perubahan Struktur Ekonomi dan Lapangan Kerja
Laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang bervariasi antar
sektor telah menyebabkan pergeseran struktur keduanya. Demikian juga
perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja dibeberapa sektor
tertentu telah menyebabkan peranannya dalam struktur ekonomi dan lapangan
kerja bergeser secara tidak searah. Seperti ditunjukkan oleh tabel 5.3, sektor
pertanian masih memberikan kontribusi terbesar pada ekonomi dan lapangan
kerja, walaupun cenderung menurun selama 10 tahun terakhir. Kontribusi
pada ekonomi (PDB) menurun dari 23,11 persen menjadi 19,58 persen,
sementara pada lapangan kerja menurun dari 56,30 persen menjadi 50,01
persen. Persoalan disektor pertanian adalah masih besarnya beban dalam
menampung tenaga kerja, sementara kapasitas ekonomi terutama lahan
pertanian semakin terbatas. Dalam keadaan ini, harus diakui bahwa masalah
produktivitas yang rendah, kemiskinan, efisiensi dan kualitas tenaga kerja
yang rendah masih menjadi masalah yang cukup rumit pada sektor ini. Untuk
menarik mereka keluar dari sektor ini atau setidak-tidaknya memperlambat
laju penyerapan tenaga kerja, maka laju investasi pada sektor-sektor lain
terutama industri, listrik, dan jasa harus terus ditingkatkan, terutama
membawa implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja.
Sektor industri memberikan kontribusi yang lebih baik pada ekonomi
dan lapangan kerja, namun kurang proporsional. Kontribusi pada ekonomi
menigkat 6,87 persen dari 12,43 persen menjadi 19,30 persen, sedangkan pada
lapangan kerja hanya menigkat 2,46 persen. Dengan laju pertumbuhan
ekonomi di sektor industri cukup tinggi dan dengan harapan dapat
9
memperbaiki struktur lapangan kerja yang lebih seimbang, maka sektor
industri masih mampu untuk meningkatkan laju penyerapan tenaga kerjanya.
Dibandingkan
dengan
sektor
industri,
sektor
perdagangan
memiliki
peningkatan kontribusi pada ekonomi dan lapangan kerja yang lebih
seimbang. Kontribusi pada ekonomi meningkat dengan 2,44 persen dan pada
lapangan kerja meningkat dengan 1,95 persen dan pada lapangan kerja
meningkat dengan 1,95 persen. Namun demikian , sektor ini masih sarat
dengan sektor informal yang ditandai dengan rendahnya efisiensi dan
produktivitas, serta keterampilan tenaga kerja yang kurang memadai.
Dari sejumlah sektor yang diamati, sektor jasa mempunyai pergeseran
peranan yang berlawanan antara ekonomi dan lapangan kerja. Peranan pada
ekonomi meningkat dari 9,72 persen menjadi 11,05 persen atau meningkat
1,33 persen. Sebaliknya peranan pada lapangan kerja justru menurun dari
13,95 persen menjadi 13,68 persen atau penurunan sebesar 0,27 persen.
Keadaan ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas tenaga kerja karena
sector-sektor jasa yang semakin efisien, sekaligus merupakan petunjuk dari
berkurangnya proporsi sektor informal.
10
TABEL 5.1
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN LAPANGAN KERJA
(DALAM PERSENTASE)
SEKTOR
1. Pertanian
2. Pertambangan
1980-1985
1985-1990
1980-1990
Lap.
Lap.
Lap.
Ekonomi
Ekonomi
Ekonomi
Kerja
Kerja
Kerja
3,36
3,32
3,21
1,04
3,28
2,18
-3,54
1,31
2,53
12,35
-1,11
6,69
3. Industri Pengolahan
8,81
4,26
10,65
7,55
9,73
5,90
4. Listrik, gas dan air
14,07
0,96
14,99
16,19
14,53
8,31
5. Bangunan
3,21
4,69
8,30
6,59
5,72
5,63
6. Perdagangan
5,01
6,83
8,50
2,83
6,74
4,81
7. Pengangkutan
8,44
5,81
7,33
6,65
7,89
6,23
8. Lembaga Keuangan
9,51
-3,80
7,27
16,77
8,38
5,98
9. Jasa-jasa
Jumlah
6,95
3,74
2,97
3,91
5,79
6,29
3,41
2,88
6,37
5,01
3,19
3,39
TABEL 5.2
PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA
11
MENURUT HARGA KONSTAN
SEKTOR
1980-1990
80-85
85-90
0,03
2,46
1980
1985
1990
0,5637
0,5646
0,6376
47,5682
37,2161
23,9190
(4,79)
(8,46)
(6,64)
3. Industri Pengolahan
1,8688
2,3147
2,7096
4,37
3,20
3,78
4. Listrik, gas dan air
2,8096
5,1712
4,9876
12,98
(0,72)
5,91
5. Bangunan
2,3079
2,1489
2,3632
(1,42)
1,92
0,42
6. Perdagangan
1,4444
1,3253
1,7600
(1,71)
5,84
2,00
7. Pengangkutan
2,0240
2,2887
2,3994
2,49
0,95
1,72
11,4390
21,8590
14,5305
13,83
(7,84)
2,42
0,9575
1,3735
1,1572
1,3622
1,3164
1,6034
3,86
(0,17)
2,61
3,31
3,23
1,56
1. Pertanian
2. Pertambangan
8. Lembaga Keuangan
9. Jasa-jasa
Jumlah
TABEL 5.3
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN LAPANGAN KERJA
(DALAM PERSENTASE)
12
80-90
1,24
SEKTOR
1. Pertanian
1980-1985
1985-1990
1980-1990
Lap.
Lap.
Lap.
Ekonomi
Ekonomi
Ekonomi
Kerja
Kerja
Kerja
23,10
56,30
22,68
54,72
19,58
50,01
2. Pertambangan
26,18
0,76
18,19
0,67
15,19
1,03
3. Industri Pengolahan
12,43
9,14
15,79
9,29
19,30
11,60
4. Listrik, gas dan air
0,26
0,13
0,42
0,11
0,63
0,21
5. Bangunan
5,44
3,24
5,30
3,36
5,82
4,01
6. Perdagangan
13,71
13,04
14,57
14,98
16,15
14,95
7. Pengangkutan
4,42
2,87
5,27
3,14
5,54
3,76
8. Lembaga Keuangan
4,92
0,59
6,44
0,40
6,75
0,76
9,72
100,00
13,95
100,00
11,33
100,00
13,33
100,00
11,05
100,00
13,68
100,00
9. Jasa-jasa
Jumlah
BAB III
ANALISIS PENDIDIKAN DAN KETENAGAKERJAAN
13
Sudah terbukti dalam beberapa penelitian ekonomi pendidikan bahwa
pendidikan dan pelatihan memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui upaya pengembangan sumber daya manusia.
Pertumbuhan ekonomi itu sendiri memiliki kaitan langsung dengan penciptaan
kesempatan kerja baru (employment opportunity) yang dapat menyerap tenaga
kerja terdidik dan terlatih. Pendidikan dan pelatihan memiliki peranan dalam
pengembangan kualitas tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan kesempatan
kerja baru yang tercipta tadi.
Tulisan ini beranggapan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan yang
relevan akan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap produktivitas
sektoral dan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut disebabkan karena
sistem
pendidikan
dan
pelatihan
merupakan
sarana
terpenting
dalam
pengembangan sumber daya manusia. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat
relevansi program pendidikan dan pelatihan, semakin besar kemungkinannya
bahwa sistem tersebut akan dapat mempersiapkan tenaga kerja terdidik dan
terlatih yang produktif. Tenaga kerja produktif adalah mereka yang memiliki
keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja baik
dipandang dari jenis lapangan usaha maupun jenis jabatan.
Namun demikian, relevansi pendidikan masih merupakan konsep yang
belum jelas bahkan masih terus diperdebatkan di kalangan para pemikir,
perencana, pelaksana, dan bahkan para pengamat pendidikan. Beberapa pihak
memiliki pandangan bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan jenis-jenis
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, pihak-pihak lainnya
berpendapat bahwa sistem pendidikan tidak akan pernah memiliki kemampuan
tersebut. Pandangan yang terakhir selalu beranggapan bahwa informasi tentang
jenis-jenis keahlian dan keterampilan tenaga kerja terdidik yang dibutuhkan oleh
lapangan kerja sangat langka sehingga sulit untuk diketahui dengan pasti oleh para
perencana pendidikan. Dengan demikian masalah kurangnya kesesuaian sistem
pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja masih akan terus terjadi sepanjang
perdebatan seperti ini belum dapat mencapai titik temu.
14
Salah satu contoh empiris dari ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan
kebutuhan lapangan kerja dapat dilihat dalam struktur enrolmen pendidikan antara
pendidikan umum atau akademik dan pendidikan kejuruan atau profesional. Tabel
5.4 mengungkapkan suatu keadaan bahwa program-program pendidikan di
Indonesia cenderung lebih mengarah kepada perluasan program pendidikan umum
atau akademik (devocationalized), daripada pendidikan kejuruan atau keahlian
profesional (vocationalized atau profesionalized), baik pada tingkat SLTA maupun
pendidikan tinggi.
Pada tahun 1980, yaitu sejak perluasan sekolah kejuruan belum dilakukan,
proporsi enrolmen SLTA Kejuruan lebih besar (53,6%) dibanding dengan proporsi
SLTA Umum (46,45%). Walaupun, selama Repelita IV pemerintah telah
menerapkan kebijaksanaan perluasan SLTA Kejuruan dua kali lipat, tampaknya
pertumbuhan enrolmen SLTA Umum terus melaju dengan pesat sehingga
mencapai proporsi yang semakin tinggi, yaitu menjadi 67,6% pada tahun 1989/90.
Perkembangan ini berjalan secara konsisten, sehingga diperkirakan di kemudian
hari, bahwa proporsi enrolmen SLTA Umum akan semakin tinggi lagi.
TABEL 5.4
PERKEMBANGAN MURID SLTA DAN MAHASISWA
PERGURUAN TINGGI (dalam 000)
Tahun
Jumlah Murid SLTA
Umum
%
Kejuruan
15
%
Jumlah Mahasiswa PT
S1
%
S0
%
1979/80
843,4
53,6
730,2
46,4
15,4
30,1
35,8
69,9
1980/81 1.036,0
59,0
718,5
41,0
19,5
26,6
52,8
73,4
1981/82 1.268,5
63,6
737,1
36,4
24,1
27,0
65,1
73,4
1982/83 1.504,3
66,6
757,2
33,4
28,7
35,6
51,9
64,4
1983/84 1.770,9
68,4
818,6
31,6
25,8
40,1
37,0
58,9
1984/85 1.940,3
67,4
915,2
32,6
45,7
62,3
27,6
37,7
1985/86 2.105,6
67,3
1.025,2
32,7
63,5
66,1
32,6
33,9
1986/87 2.281,0
65,0
1.218,0
35,0
72,9
59,9
48,9
40,1
1987/88 2.460,2
64,9
1.332,9
35,1
95,8
67,2
46,8
32,8
1988/89 2.600,1
66,3
1.318,9
33,7
84,6
62,6
50,6
37,4
1989/90 2.723,9
67,6
1.307,0
32,4
-
-
-
-
TABEL 5.5
Persentase Pencari Kerja terhadap Angkatan Kerja
Menurut Tingkat Pendidikan
(1)
Tingkat Pendidikan
1980
16
Tahun
(2)
1985
(3)
1990
1.
Tidak Sekolah atau Tidak tamat
SD
1,3
0,6
1,3
1,8
1,5
2,5
2.
Tamat SD
2,8
4,5
5,4
3.
Tamat SLTP
4,4
15,0
11,9
4.
Tamat SLTA Umum
3,9
8,7
7,2
5.
Tamat SLTA Kejuruan
3,3
5,6
5,9
6.
Tamat PT Prog. S0
2,2
4,9
8,6
7.
Tamat PT Prog S1
% Pencari Kerja
1,7
2,1
3,2
868.123
1.368.477
2.411.397
Jumlah Pencari Kerja
Jumlah Angkatan Kerja
1) Hasil Sensus Penduduk, 1980
2) Hasil Sensus Antar Penduduk, 1985
3) Hasil Sensus Penduduk, 1990
52.421.245 63.825.515 74.395.556
Perluasan program pendidikan tinggi juga tampaknya tidak berbeda
dengan program pendidikan SLTA. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa proporsi
jumlah mahasiswa program diploma terus menurun dari 69% pada tahun 1980
menjadi hanya 37% pada tahun 1988/1989. Sebaliknya proporsi program
pendidikan akademis (strata 1) terus berkembang secara meyakinkan dari sebesar
31% pada tahun 1980 menjadi sekitar 63% pada 10 tahun berikutnya. Masalah
yang terungkap dari komposisi program pendidikan tinggi ini ialah bahwa
17
program pendidikan tinggi di Indonesia juga cenderung mengarah pada dominasi
pendidikan tinggi akademis yang sekaligus memperkecil proporsi jumlah program
pendidikan profesional.
Komposisi antara pendidikan umum atau akademis dengan pendidikan
kejuruan atau profesional ini juga terlihat dari besarnya proporsi penganggur pada
masing-masing jenis pendidikan. Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa proporsi
penganggur SLTA Umum dan PT akademis (prog. S1) lebih besar dibanding
dengan proporsi penganggur lulusan SLTA Kejuruan dan lulusan pendidikan
tinggi profesional. Mengingat sistem pendidikan cenderung mengarah pada
dominasi pendidikan umum/akademis (devocationalized), beberapa pihak
mungkin dapat memperkirakan bahwa pengangguran tenaga kerja terdidik akan
terus berkembang di kemudian hari.
Ketidaksesuaian jenis-jenis program pendidikan dengan jenis-jenis
keahlian dan keterampilan ini dapat juga dilihat dari perkembangan proporsi
pencari kerja pada masing-masing kategori pendidikan. Secara umum dapat
dilihat dalam tabel bahwa cenderung semakin besar setiap tahunnya. Dalam 10
tahun terakhir, jumlah penganggur terdidik bertambah tiga kali lipatnya, yaitu dari
868 ribu pada tahun 1980, menjadi 2,5 juta orang pada tahun 1990. Jika tidak
diciptakan perubahan dalam strategi penciptaan lapangan kerja baru, maka jurang
pemisah antara program-program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja
diduga akan terus berlanjut dan bahkan semakin melebar di kemudian hari.
TABEL 5.6
Lama Mencari Kerja menurut Tingkat Pendidikan
(Sakernas, 1988)
Lama Mencari
Kerja (#Bulan)
1 bulan
SD
Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja
SLTP/U SLTP/K SLTA/U SLTA/K
S0
S1
57,5
48,2
50,0
37,9
35,6
41,5
51,4
2 bulan
23,6
21,9
13,3
21,2
19,8
22,0
18,1
3 bulan
13,4
19,0
30,0
18,5
22,6
9,8
18,1
18
4 bulan
3,9
4,0
3,3
6,9
5,9
7,3
5,6
5 bulan
0,8
3,6
3,3
3,5
4,4
2,4
4,2
1,4
6 bulan
2,6
7,4
7,9
12,2
7 bulan
-
1,3
0,8
2,4
8 bulan
0,4
0,8
0,7
-
9 bulan
0,4
1,7
1,8
2,4
10 bulan
0,3
0,5
11 bulan
0,1
12 bulan
Persentase
100,0
100,0
100,0
0,3
100,0
Jumlah Kasus
127
274
30
946
Sumber: Boediono, MackMahon, Abas Gozali, 1991.
100,0
100,0
100,0
607
41
72
TABEL 5.7
Persentase Pekerja yang Bekerja
Menurut Status dan Lapangan Usaha
Tingkat Pendidikan
1.
Tidak
Pernah
Status Pekerjaan
Informal*)
77,5
Sekolah
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Jasa
11,85
1,16
0,73
72,7
18,95
2,38
1,42
2.
Tidak tamat SD
66,5
20,86
3,87
2,94
3.
Tamat SD
53,4
2,87
1,06
1,20
19
4.
Tamat SLTP Umum
49,0
0,40
0,18
0,31
5.
Tamat
31,4
0,76
0,71
1,67
21,9
0,52
0,54
2,62
11,6
0,04
0,06
0,71
9,3
0,02
0,04
0,49
-
56,27
SLTP
Kejuruan
6.
Tamat SLTA Umum
7.
Tamat
SLTA
Kejuruan
8.
Tamat PT Prog. S0
9.
Tamat PT Prog S1
Jumlah
Sumber: Sensus Penduduk, 1990.
10,00 12,09
*) Yang dimaksud ialah sektor ekonomi informal yang dapat diperkirakan dari
jumlah orang yang bekerja menurut Status Pekerjaan Utama, kategori (1);
kategori (2); dan kategori (5).
Ketidaksesuaian antara jenis-jenis program pendidikan dengan keahlian
dan keterampilan yang dibutuhkan lapangan kerja ini bervariasi menurut jenjang
pendidikan. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
angkatan kerja, semakin tinggi pula proporsi mereka yang menganggur. Tabel 5.5
menunjukkan bahwa proporsi penganggur lulusan pendidikan strata 1 lebih besar
dibandingkan dengan proporsi penganggur lulusan diploma, dan begitu seterusnya
pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih rendah (kecuali lulusan SLTA
Umum). Namun demikian, Tabel 5.6 mengungkapkan bahwa terjadinya
20
penganggur tenaga kerja terdidik hanya terjadi selama lulusan sedang menjalani
masa tunggu (Job Search Period). Lamanya masa tunggu ini bervariasi menurut
jenjang pendidikan, dan ada kecenderungan bahwa semakin tinggi latar belakang
pendidikan angkatan kerja semakin lama masa tunggunya.
Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa angka pengangguran lulusan SLTA
Umum terus meningkat dengan tajam dari 4,4% pada tahun 1980, terus meningkat
secara mengejutkan menjadi 15% pada tahun 1985, dan masih tetap sangat tinggi
pada tahun 1990, yaitu sebesar 11,9%. Dilihat dari rata-rata masa tunggu (Job
Search Period), lulusan SLTA Umum ini juga termasuk yang paling lama sehingga
terdapat proporsi yang cukup besar dari mereka yang harus menunggu pekerjaan
selama lebih dari satu tahun. Keadaan ini perlu ditafsirkan secara lebih mendasar,
khususnya yang menyangkut status kredensialisme dari lulusan SLTA Umum.
Pesatnya pertumbuhan angka pengangguran lulusan SLTA ini lebih disebabkan
oleh tumbuhnya persepsi yang keliru bahwa tamatan SLTA Umum memiliki hak
kredensial untuk bekerja, pada saat-saat terjadinya gejala devokasionalisasi
pendidikan tingkat SLTA.
Jika dikaji lebih jauh, gejala pengangguran tenaga kerja terdidik ini
diakibatkan oleh ketimpangan struktur antara persediaan dan kebutuhan tenaga
kerja menurut pendidikan. Hal ini terungkap dari data yang terdapat pada Tabel
5.7. Lapangan kerja pada sektor informal dan/atau tradisional tampaknya masih
sangat dominan. Dominasi sektor ini menunjukkan bahwa sebagian besar
angkatan kerja lulusan pendidikan rendah (Tidak pernah sekolah, 77,5%; tidak
tamat SD, 72,7%; Lulusan SD, 66,5%; Lulusan SLTP Umum, 53,4%; dan lulusan
SLTP Kejuruan, 49,0%) hanya dapat diserap oleh sektor ini. Disamping itu juga,
tampak suatu kejanggalan yang cukup mengkhawatirkan bahwa masih cukup
besar (sekitar 25%) proporsi lulusan pendidikan SLTA, dan sekitar rata-rata 10%
lulusan pendidikan tinggi bekerja pada sektor informal.
Kesempatan kerja sektor informal yang masih cukup dominan ini juga
terlihat dari jumlah pekerja berpendidikan rendah (SD ke bawah) pada lapangan
usaha pertanian dan industri. Berdasarkan hasil SP-1990 ini, sekitar 52% angkatan
21
kerja di Indonesia berpendidikan SD atau lebih rendah (diantaranya ada sekitar
31% yang tidak tamat atau tidak pernah sekolah) bekerja pada sektor pertanian.
Gejala yang sama terjadi juga dari jumlah pekerja berpendidikan SD ke bawah
yang bekerja pada sektor industri. Dari jumlah pekerja sektor industri pengolahan
sebesar 10%, tiga perempat dari jumlah tersebut (7,41%) berpendidikan SD ke
bawah. Sudah dapat diduga bahwa sebagian besar lapangan usaha industri
pengolahan di Indonesia masih merupakan industri pedesaan atau pengrajin yang
sifatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan lingkup pemasaran
yang masih sangat terbatas. Kegiatan industri seperti ini belum tersentuh modal
yang kuat dan sumber daya manusia yang ahli dan terampil sehingga
produktivitasnya sangat rendah.
BAB IV
ANALISIS
Dua kecenderungan terlihat dalam Tabel 5.5 dan Tabel 5.6 bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja semakin besar proporsi penganggur
terdidik, dan semakin lama mengalami masa tunggu. Berdasarkan kecenderungan
tersebut, beberapa pihak mungkin akan menafsirkan bahwa perluasan sistem
22
pendidikan cenderung memberikan andil yang menentukan terhadap timbulnya
masalah pengangguran tenaga kerja terdidik. Penafsiran ini tampak benar secara
empiris, tetapi cukup berbahaya jika digunakan sebagai landasan untuk
pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan oleh karena pengangguran bukan
semata-mata merupakan gejala persediaan (supply phenomena) tetapi lebih tepat
dikatakan sebagai gejala permintaan (demand phenomena). Pengangguran terjadi
karena laju investasi pada lapangan kerja produktif dan remuneratif relatif lebih
lamban dibandingkan dengan perkembangan jumlah tenaga kerja terdidik yang
sangat progresif.
Dari informasi yang dianalisis dalam studi ini, kaitan antara perluasan
pendidikan dengan gejala pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dikaji secara
konsepsional dan empiris paling tidak dari tiga sudut pandang. Terjadinya
pengangguran tenaga kerja terdidik diakibatkan paling tidak oleh tiga alasan
penting, yaitu: (1) Ketimpangan struktural antara persediaan dan kesempatan
kerja. (2) Program pendidikan profesional/kejuruan yang terlalu bersifat
“regulated”; dan (3) Penguatan persepsi kredensialisme pendidikan.
1. Gejala Ketimpangan Struktural
Pengangguran tenaga terdidik yang terjadi seperti tersebut di atas
disebut gejala pengangguran struktural gejala ini yang terjadi sebagai akibat
dari ketimpangan antara struktur kesempatan kerja dan struktur angkatan kerja
menurut pendidikan. Sementara sistem pendidikan sudah menghasilkan
sejumlah besar lulusan yang berpendidikan lebih tinggi, struktur ekonomi
masih didominasi oleh kegiatan ekonomi tradisional dan/atau subsistensi yang
masih membutuhkan lebih banyak tenaga kerja berpendidikan rendah atau
bahkan tidak berpendidikan sama sekali. Dengan demikian, maka lapangan
kerja yang tersedia masih lebih banyak didominasi oleh lapangan kerja sektor
informal ini.
Tentu saja, banyaknya tenaga kerja berpendidikan tinggi yang bekerja
pada “Sektor Informal” bukanlah merupakan hal yang sepenuhnya negatif.
23
Masalahnya ialah bahwa kegiatan ekonomi informal ini umumnya memiliki
tingkat produktivitas yang sangat rendah, sehingga tidak menghasilkan
“return” yang memadai karena keuntungan yang diperoleh, tidak sebanding
dengan biaya yang harus ditanggung selama menempuh pendidikan tinggi.
Tantangannya ialah bukan memindahkan para pekerja ke sektor formal, tetapi
melakukan pembinaan terhadap sektor informal ini agar menjadi sektor yang
lebih produktif, efisien, dan remuneratif dengan dukungan kapital yang
memadai.
Dominasi kegiatan ekonomi informal baik pada sektor pertanian
maupun sektor industri pengolahan tersebut di atas, merupakan tantangan bagi
kebijaksanaan nasional pengembangan sumber daya manusia, melalui
pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan kerja yang relevan. Tentu saja,
penyiapan tenaga kerja terdidik yang menguasai ilmu dan teknologi tinggi
masih merupakan orientasi yang utama dalam pembangunan sistem
pendidikan dan pelatihan di Indonesia. Namun demikian, pengembangan
sumber daya manusia yang berorientasi pada pengembangan kegiatan
ekonomi informalpun masih merupakan tantangan yang cukup penting,
khususnya dalam rangka merubah struktur ekonomi kearah dominasi sektorsektor remuneratif.
Orientasi program pendidikan dan pelatihan tersebut sangat diperlukan
mengingat sebagian besar pekerja Indonesia masih berada pada sektor
informal dengan produktivitas yang masih sangat rendah. Contoh, lapangan
usaha pertanian (sektor tradisional) dan industri pedesaan (pengrajin) yang
diperankan oleh angkatan kerja berpendidikan rendah ini, memiliki sifat tidak
berbeda dengan sektor-sektor informal lainnya baik dipandang dari
penggunaan teknologinya, efisiensinya, maupun tingkat produktivitasnya.
Sektor tersebut lebih tepat dipandang sebagai sektor pertanian pedesaan yang
bersifat “subsistent” dan yang belum tersentuh oleh intervensi kapital.
2. Gejala Pendidikan Profesional yang “Regulated”
24
Gejala ini dapat ditunjukkan dengan masih besarnya peranan
pemerintah dalam penyelenggaraan jenjang pendidikan kejuruan tingkat
menengah dan pendidikan profesional jenjang pendidikan tinggi, sementara
peranan lembaga pendidikan swasta dan dunia usaha masih terlalu kecil.
Program-program pendidikan tinggi profesional (program S0) lebih banyak
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi swasta. Tabel 5.5 menunjukkan
bahwa jumlah mahasiswa program Diploma pada perguruan tinggi negeri
lebih besar dibandingkan dengan jumlahnya pada perguruan tinggi swasta.
Dengan demikian maka sebagian besar lulusan pendidikan tinggi (sekitar
68%) juga berasal dari program diploma pendidikan tinggi negeri.
Dominasi pemerintah dalam menyelenggarakan dan mengontrol
pendidikan profesional ini dapat dilihat pada Tabel 5.8. Dominasi peranan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan dan pendidikan
profesional ini merupakan petunjuk bahwa pendidikan profesional dan
keahlian di Indonesia masih bersifat “regulated”. Sistem pendidikan
profesional yang “regulated” ini juga sekaligus menunjukkan bahwa lembagalembaga pendidikan swasta dan dunia usaha belum menunjukkan………….
TABEL 5.8
Perkembangan dan Jumlah Lembaga, Mahasiswa dan
Lulusan Program Pendidikan Tinggi
1.
Lembaga
1980
Negeri
Swasta
41
362
2.
Jumlah
337.487
171.487
434.585
388.759
Mahasiswa
277.988
171.487
304.783
305.326
25
1990
Negeri
Swasta
48
852
* Program S0
59.499
-
129.802
83.433
31.601
6.125
76.676
58.475
19.132
6.125
42.330
42.267
12.469
-
34.346
16.208
* Program S1
3.
Lulusan
* Program S0
* Program S1
Sumber: Statistik Pendidikan Tinggi, Pusat Informatika
Balitbang-Dikpus, 1980; 1989.
Sistem
pendidikan
yang
“regulated”
ini
cenderung
menutup
kemungkinan tumbuhnya pendidikan profesional yang diselenggarakan
masyarakat. Hal ini juga akan cenderung mempengaruhi tumbuhnya
penguatan birokrasi dalam mengontrol atau mengakredit keahlian profesional
yang tumbuh dengan pesat di luar kemampuan pemerintah untuk
mengendalikanya. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah, apakah perlu
pemerintah mengatur pertumbuhan pendidikan profesi dan keahlian, sehingga
menutup kemungkinan tumbuhnya dunia profesi dan keahlian. Contoh,
perkembangan pendidikan profesional (misalnya MBA, atau MM) pada
26
lembaga pendidikan swasta tetap tumbuh semakin menjamur, walaupun tidak
diakui akreditasi. Berdasarkan hal tersebut mungkin perlu difikirkan suatu
cara agar memungkinkan tumbuhnya dunia profesi dan kealian dengan
memperkecil pengaruh regulasi yang berlebihan. Dengan pengurangan
kekangan ini (reregulated) maka diharapkan dunia profesi dan keahlian akan
tumbuh subur di dunia kerja.
3. Penguatan Persepsi Kredensialisme Pendidikan
Terlalu kuatnya pengaruh teori “Human Capital” terhadap cara berfikir
masyarakat,
menyebabkan
tumbuhnya
sikap
yang
seolah-olah
“mengkulturkan” pendidikan sekolah sebagai lembaga yang mampu
mempersiapkan tenaga yang secara langsung dapat dipekerjakan. Cara berfikir
ini muncul dari aliran yang menamakan dirinya “credentialisme” yang
menganggap berbahaya jika kepada pendidikan sekolah diberikan status
kredensialisme untuk bekerja. Bahaya tersebut akan menjadi semakin besar
pada saat-saat terjadinya gejala peng-umum-an (Devokasionalization)
program-program pendidikan.
Sementara pihak lain mungkin berpandapat bahwa gejala sistem
pendidikan yang mengarah pada dominasi gejala ketidaksesuaian antara
pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja. Lapangan kerja yang dimaksud
ialah sektor modern atau lebih dikenal dengan sektor produktif dan
remuneratif, karena sektor seperti ini lebih banyak membutuhkan tenaga
terampil dan tenaga yang memiliki keahlian profesional.
Gejala
“Devocationalized”
pendidikan
tingkat
SLTA
pada
kenyataannya berjalan di luar kontrol pemerintah, walaupun selama kurun
waktu Repelita IV, pemerintah sudah melakukan perluasan SLTA Kejuruan
dengan menambah jumlah murid sebanyak dua kali lipat (Repelita IV, 1984
Bab 20). Gejala tersebut telah terjadi karena pertambahan jumlah SLTA umum
berjalan lebih cepat lagi sehingga proporsi jumlah murid SLTA Umum tetap
lebih tinggi dan bahkan cenderung terus meningkat sampai dengan akhir
27
dasawarsa 1980an. Dengan demikian, maka jumlah SLTA Umum akan
cenderung dominan dan akan semakin dominan di kemudian hari. Gejala ini
tampaknya akan terus terjadi karena dalam kurun waktu Repelita V, SLTA
Kejuruan cenderung tidak akan diperluas lagi (lihat Repelita V, Bab 20). Jika
hal ini benar, maka di kemudian hari, fungsi pendidikan kejuruan dan
keahlian, sebagai pendidikan persiapan kerja secara berangsur-angsur akan
dimainkan oleh sistem pelatihan kerja dan pendidikan tinggi profesional.
Sementara itu pendidikan tingkat SLTA akan beralih fungsi yang secara
menyeluruh menjadi pendidikan semesta (universal education).
Gejala “De-vocational-ization” pendidikan tingkat SLTA boleh
dikatakan wajar-wajar saja jika dibandingkan dengan negar-negara maju
seperti Jepang dan Korea Selatan, yang lebih banyak memfungsikan sistem
pelatihan kerja (baik on the job training maupun kursus-kursus keahlian)
sebagai pendidikan kejuruan. Masalahnya ialah bahwa program pendidikan
tinggi juga cenderung “devocationalized” sehingga cenderung lebih banyak
mempersiapkan
tenaga
akademis
daripada
tenaga
yang
berkeahlian
profesional.
BAB V
BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN
1.
Dari uraian pertama dapat disimpulkan bahwa selama 10 tahun terakhir
telah terjadi pergeseran struktur yang lebih baik (lebih seimbang) baik pada
ekonomi maupun lapangan kerja. Namun demikian struktur lapangan kerja
masih terlalu berat pada sektor pertanian (lebih 50 persen), sehingga belum
terjadi keseimbangan antar sektor yang lebih dinamis baik dilihat dari segi
produktivitas, efisiensi, maupun kesejahteraan (pendapatan) tenaga kerjanya.
28
Untuk melanjutkan usaha menggeser struktur lapangan kerja yang lebih
seimbang, perlu terus diperkecil kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat
tradisional dan informal, seraya memperluas lapangan kerja formal yang lebih
produktif. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a.
Memperlambat laju penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
tradisional, dan meningkatkan produktivitas dan efisiensinya.
b.
Meningkatkan dan memperluas penyerapan tenaga kerja, di sektorsektor lainnya terutama di sektor industri dan jasa dengan tetap
memperhatikan produktivitas dan efisiensinya.
c.
Untuk dapat ditampung di sektor industri, terutama bagi angkatan
kerja baru harus dibekali dengan keahlian dan kemampuan bekerja yang
memadai. Upaya ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan dan
latihan.
2.
Dalam perbandingan antar negara di kawasan Asia-Pasifik diperoleh
kesimpulan bahwa, Indonesia termasuk negara yang memiliki laju investasi
fisik yang cukup bersaing di negara-negara tersebut (sebesar 30% yang hampir
mendekati Jepang dengan laju inflasinya sekitar 32%). Jika investasi ini
diarahkan secara tepat, yaitu diarahkan pada pengembangan lapangan kerja
produktif yang mampu menyerap jumlah angkatan kerja terdidik yang lebih
besar, maka diperkirakan bahwa Indonesia tidak mengalami masalah
pengangguran tenaga terdidik yang cukup mengkhawatirkan. Di lain pihak
dikemukakan suatu keadaan dimana persentase pengangguran tenaga kerja
terdidik di Indonesia cukup besar. Dari kedua informasi tersebut dapat dilihat
masalah yang agak mendasar, yaitu bahwa pola investasi lapangan kerja
produktif di Indonesia masih terlalu diarahkan pada pertumbuhan dan belum
diarahkan pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang lebih besar jumlahnya.
a.
Dari masalah yang terungkap tersebut di atas, maka pembinaan
sektor-sektor tradisional pedesaan dan sektor informal perkotaan sangat
diperlukan. Pembinaan tersebut perlu dilakukan secara cermat dan
terencana, dengan intervensi modal, penggunaan teknologi tepat, dan
pendayagunaan tenaga kerja terdidik. Melalui pembinaan ini diharapkan
bahwa sektor-sektor tradisional dan informal tersebut akan menjadi sektor
29
yang produktif dan sekaligus dapat menyerap tenaga kerja terdidik yang
lebih besar jumlahnya.
b.
Pola pembinaan yang sekarang dilakukan melalui, misalnya,
konsepsi bapak angkat, program penempatan tenaga kerja sarjana di
daerah pedesaan, program Kejar Usaha dan Program Magang, perlu terus
dilanjutkan bahkan terus diintensifkan dengan tetap menggunakan strategi
debirokratisasi untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya cabangcabang usaha dan industri baru.
3.
Walaupun laju investasi fisik di Indonesia cukup bersaing dibandingkan
dengan negara-negara dikawasan Asia Pasifik, laju investasi pengembangan
sumber daya manusia ternyata cukup rendah. Laju investasi sumber daya
manusia dapat dilihat dari……
30