Sinkretisme dan Akulturasi Pemikiran Tao (2)

Sinkretisme dan Akulturasi Pemikiran Taoisme
dalam Kehidupan Spiritualitas Masyarakat Jepang
Oleh: Rizki Hakiki Valentine
1406524215
Kajian Wilayah Jepang
Pascasarjana Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN
Jepang merupakan negara dengan bangsa yang tidak mengenal monotheisme.
Bangsa Jepang cenderung sering mengadaptasi pemikiran dan agama dari luar Jepang
untuk – secara sadar ataupun tidak sadar – diterapkan dalam kehidupan
spiritualitasnya. Konsep shinbutsu shuugou ( 神 仏 習 合 ) adalah contoh dari
penggabungan/sinkretisasi Budha dan Shinto. Tidak hanya Budha dan Shinto yang
menjadi landasan spiritual masyarakat Jepang, agama-agama dari barat seperti Kristen
juga diaplikasikan dalam kehidupan, misalnya dalam pernikahan. Kehidupan seharihari juga tidak lepas dari pengaruh kepercayaan asing maupun filosofi asing seperti
Konfusianisme dan Taoisme.
Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme merupakan tiga agama besar di Cina
dan Timur Jauh. Namun, berbeda dengan Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme
tidak menjadi agama dunia tetapi pada dasarnya tetap berada di Cina dan di tempat
mana pun yang dipengaruhi kebudayaan Cina. Walaupun tidak ada angka resmi jumlah
pengikutnya di Cina, Taoisme beserta Konfusianisme telah menguasai kehidupan
agama hampir seperempat penduduk dunia selama 2.000 tahun terakhir.

Dapat dikatakan bahwa Taoisme dan Konfusianisme merupakan dua
pengungkapan yang berbeda untuk konsep yang sama. Taoisme mengambil pendekatan
yang mistis dan, dalam bentuknya yang semula, menganjurkan sikap tidak aktif,
berdiam diri, serta pasif, menjauhi masyarakat dan kembali ke alam. Gagasan dasarnya
adalah bahwa segala sesuatu akan menjadi benar jika orang mau duduk tenang, tidak
berbuat apa-apa, dan membiarkan alam berjalan dengan sendirinya.
Banyak yang mengenal Taoisme sebagai sebuah falsafah tentang keseimbangan
hidup dan keselarasan alam saja. Taoisme sebenarnya sudah muncul beberapa ribu

1

tahun sebelum kemunculan Konfusianisme yang ajaran dan pemikirannya lebih
terkenal dalam kehidupan bermasyarakat masyarakat Jepang. Taoisme pada akhirnya
(di China sendiri) menjadi agama dan kepercayaan rakyat. Fokus ajarannya adalah
pencapaian keharmonisan hidup, kesempurnaan dan kerohanian. Taoisme sempat
berkembang di lingkungan kekaisaran namun tersaingi oleh doktrin Konfusianisme.
Bedanya Taoisme lebih memandang manusia sebagai bagian dari alam dan
keharmonisan hubungan, Konfusianisme menekankan adanya gap dan hirarki antar
manusia.
Representasi filosofi konfusianisme di Jepang tercermin pada hierarki dan gap

antar manusia. Hal ini bisa dilihat di lingkungan kerja, sekolah, bahkan dalam
kehidupan masyarkat biasa. Ajaran konfusianisme juga terbawa hingga ke dunia bisnis
dan semangat kerja. Sementara itu Taoisme membawa kecenderungan untuk
membentuk keselarasan dengan alam, ajarannya pun tidak doktrinal, namun lebih
terpaku pada keseimbangan, yin dan yang. Selain itu, alam sering kali dikaitkan dengan
hal-hal gaib seperti setan dan dewa.
Beberapa ahli mengemukakan hipotesis bahwa Shinto di Jepang merupakan
turunan dari Taoisme. Hal ini karena ajaran keduanya sama sama tidak doktrinal,
berorientasi pada kehidupan duniawi, kepercayaan pada roh. Shinto dan Taoisme
merupakan sama sama sebuah usaha pencarian jalan Dewa dan jalan kesempurnaan ke
langit. Berlandaskan hipotesis tersebut, penulis akan memaparkan adanya sinkretisme
dan akulturasi filosofi dari kepercayaan Taoisme dalam kehidupan spiritual masyarakat
Jepang.

2. TAOISME
Taoisme diajarkan oleh Lao Zi yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Zi melawan
Konfusius. Menurut Lao Zi, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang
merupakan Tao. Tao menurut Lao Zi adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi
yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Zi lebih-lebih metafisika,
sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah

kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan
di India dan dalam filsafat Barat di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”,
“ketidaktahuan yang berilmu”.

2

Taoisme di sini adalah 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima
Tan aliran ini disebut 道 德 家 Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan
disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道 教 Daojiao (agama Tao).
Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga
harus dibedakan dengan Daoxue (道學), yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru
yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum
Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari
alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian
yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu
mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak
alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan
hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.

Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara
tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan
antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada
pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan
tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama.
Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian
mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para
filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun
sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great
Peace yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Zi. Dalam arti
tertentu, Lao Zi sendiri seringkali dianggap sebagai “dewa“. Ia punya beberapa julukan,
seperti “Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan “Yang memiliki
status sebagai Dewa” (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak
pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois
berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh
sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka

3


agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai
keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai
dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme
ini berbeda secara tajam.
Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting.
“Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao
Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam
memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orangorang pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan
mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga
menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan
terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah
perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam
keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya.
“Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis
Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang
tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif
dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wuwei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya
keabadian jiwa sebagai prinsip utama.

Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana
seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak
tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao
Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga
terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa
masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan
penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati
penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki
keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme,
“haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada
orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama

4

Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari
Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingankepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat
individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang
lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertianpengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei,
Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.

3. MASUKNYA TAOISME KE JEPANG
Berkembangnya pengaruh dari Cina ke Jepang tidak lepas dari peran orangorang Tionghoa yang datang dan menetap di Jepang. Mereka mempengaruhi Jepang
dengan ajaran yang dibawanya seperti Konfusianisme, Taoisme dan Agama Budha
yang sangat erat dengan kebudayaan di Cina yang dibawa ke Jepang.
Sejarah Cina melaporkan bahwa pada tahun 219 SM, Kaisar Shi Huangdi dari
dinasti Qin mengirimkan sebuah armada kapal dengan 3.000 anak lelaki dan
perempuan untuk mencari Pulau Penglai yang menurut legenda adalah tempat tinggal
para manusia abadi, guna membawa kembali tanaman yang berkhasiat mendatangkan
kehidupan abadi. Tentu saja, mereka tidak kembali membawa eliksir itu, tetapi menurut
kisah turun-temurun, mereka mendiami kepulauan yang kemudian dikenal sebagai
Jepang.
Sebagai pendatang di Jepang, orang-orang Cina ini tetap hidup dengan budaya
mereka sendiri. Awalnya orang Jepang hanya melihat cara hidup orang-orang Cina,
kemudian lama-kelamaan mereka menganggap cara hidup orang Cina tersebut sebagai
sesuatu yang indah dan menganggap tinggi kebudayaan orang-orang Cina, hingga
akhirnya mereka menirunya. Pengaruh Taoisme masuk pula ke Jepang. Unsur dari
Taoisme yang berkembang di Jepang terletak dalam bentuk penggunaan magic atau
sihir yang disebut dengan shamanisme di Jepang.
Rupanya, tidak hanya kepercayaan akan sihir yang diserap dalam kehidupan
spiritualitas masyarakat Jepang, banyak ajaran Taoisme lain yang terimplementasikan

dalam kehidupan spiritualitas dan pila pikir masyarakat Jepang.

5

4. BEBERAPA AJARAN TAOISME DALAM SPIRITUALITAS JEPANG
Keselarasan manusia dengan alam semesta menjadi ajaran yang sangat
mendasar dalam kepercayaan Tao, dan hal ini diterapkan juga di Jepang dengan
perilaku masyarakatnya yang tidak ingin merusak alam dan cenderung menyukai halhal yang natural dan alami. Dunia dan alam memiliki kehendak, apabila kita baik pada
alam, alam akan baik pada kita, apabila rakyat menurut pada penguasa, rakyat akan
sejahtera, dll.
Dalam upaya menyatu dengan alam, para Taois terobsesi oleh keabadian dan
ketangguhan alam. Mereka berspekulasi bahwa barangkali bila seseorang hidup serasi
dengan Tao, atau jalan alam, ia akan dapat memanfaatkan rahasia alam sehingga kebal
terhadap

celaka

fisik,

penyakit,


bahkan

maut.

Walaupun

Laozi

tidak

mempersoalkannya, suatu bagian dalam Dao De Jing tampaknya menyiratkan gagasan
ini. Misalnya, pasal 16 berkata, ”Menyatu dengan Tao berarti kekal. Dan walaupun
tubuh mati, Tao sekali-kali tidak akan lenyap.”
Ajaran Tao tidak memiliki konsep awal dan akhir dari dunia, namun ada roh di
seluruh benda di alam ini. Hal ini nyaris sama dengan ajaran Shinto dimana tidak ada
dogma mengenai kapan dunia ini berawal, kapan manusia diciptakan, oleh siapa
manusia diciptakan dan kapan seluruh kehidupan berakhir. Akan tetapi, ada juga
keyakinan bahwa manusia bisa menjadi dewa. Dalam ajaran Tao, meyakini bahwa
seorang pemeluk Tao yang baik tidak akan ‘benar-benar’ mati, orang yang baik

diibaratkan bagai tumbuhan yang memiliki tunas, meskipun batangnya mati, tunasnya
yang mengakar akan tumbuh kembali. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah konsep
reinkarnasi yang dimiliki oleh agama Budha dan diyakini oleh masyarakat Jepang
kebanyakan.
Totalitas dalam kehidupan yang diajarkan oleh agama Tao tercermin dalam
ajaran Shinto yang lebih condong pada keduniawian dan terefleksikan pada sikap
masyarakat Jepang yang penuh totalitas, baik dalam menjamu tamu, bekerja dan
menuntut ilmu. Tenang, lembut, tidak saling berbenturan dalam Taoisme tercermin
dalam karakter bangsa Jepang yang memiliki konsep honne, tatemae, untuk
menghindari sesuatu yang konfrontatif dalam pergaulan.
Tao juga menghindari kesombongan dan keinginan untuk menjadi menonjol.
Ajaran ini sudah bisa kita lihat dalam kehidupan keseharian masyarakat Jepang yang

6

mengklaim ajaran ini asalnya dari ajaran Budha (tidak memamerkan kebaikan dan
selalu merasa penuh dosa) sekaligus Taoisme (lemah lembut, rendah hati).
Taoisme tidak diakui secara legal tapi pemikirannya mengakar dalam kehidupan
masyarakat Jepang dan tersinkretisasi dalam beberapa ajaran agama/kepercayaan yang
diadopsi Jepang dari luar maupun kepercayaan asli mereka. Taoisme memang mirip

dengan Shinto, namun walaupun di negara asalnya pemikiran Taoisme menjadi
kepercayaan dan agama, di Jepang tidak ada tempat pemujaan terhadap dewa tertentu.
Di Jepang masih ada pemujaan atau tindakan mensakralkan benda-benda yang
dipercaya memiliki roh atau berhubungan dengan alam gaib, seperti cermin,
pisau/benda tajam, pedang dan lain-lain. Hal ini amat mirip dengan kepercayaan
Taoisme yang mensakralkan benda-benda tersebut.
5. AJARAN TAO DALAM POLITIK DAN MASYARAKAT DI JEPANG
Pemikiran Taoisme Lao Zi juga bisa diterapkan dalam konteks kehidupan
sosial. Masyarakat ideal Taoisme adalah masyarakat primitif dengan tata kehidupan
yang alami, harmonis, sederhana, dan berjalan tanpa kompetisi ataupun perang.
“Biarlah ada sebuah negara kecil dengan populasi yang kecil… biarlah
orang memberi nilai tinggi bagi kehidupan mereka dan tidak bermigrasi ke
tempat yang jauh… biarlah mereka makan dengan senang, menikmati
pakaian mereka, nyaman dengan rumah mereka, dan puas dengan budaya
mereka.” Lao Zi
Hal ini tercermin dalam respon masyarakat Jepang terhadap kehidupan politik,
dimana masyarakat tidak terlalu agresif terhadap konsep pemerintahan dengan
melancarkan protes melalui demonstrasi, dan lain-lain. Masyarakat percaya bahwa jika
pemerintahan dan pemimpin sudah berjuang dengan baik, maka rakyat akan tenteram.
Pemikiran tersebut terdapat dalam filsafat Tao, wu wei (non-action) berarti orang
bertindak seturut dengan hukum-hukum langit (heaven). Jika dikaitkan dengan
kehidupan manusia, non-tindakan mengacu pada sikap untuk tidak memaksakan halhal yang berjalan secara alami di dalam realitas. Dengan begitu berawal dari kehidupan
masyarakat sosial hingga kehidupan politik pemerintahan, masyarakat menghindari
konfrontasi demi kehidupan yang harmonis dan damai

7

Contoh lain konsep filosofi wu wei dalam Taoisme bisa dilihat jelas dalam seni
beladiri Aikido di Jepang. Di dalam aikido, orang bergerak mengikuti keinginan dan
arah gerakan lawannya, dan sama sekali tidak melakukan perlawanan. Teknik
mengalahkan lawan bukan dengan menyerangnya dengan kekerasan, tetapi dengan
secara pasif menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkannya sendiri.
Ajaran kepercayaan Taoisme memang tercermin dalam kehidupan masyarakat
Jepang, bahkan tercermin dalam Shintoisme, Jepang tidak pernah mengakui secara
legal bahwa Taoisme menjadi bagian dari keyakinan mereka dengan tidak adanya kuil
atau tempat meditasi sesuai ajaran Taoisme.
6. BEBERAPA KESAMAAN LAIN ANTARA AJARAN TAO DAN SHINTOISME


Gunung dan gue yang disakralkan/disucikan



Pemujaan terhadap benda-benda seperti pedang atau cermin sebagai simbol
kepercayaan/hal hal gaib.



Respon intuitif terhadap kehidupan seluruh dunia



Kecurigaan terhadap rasionalitas



Ketiadaan hal hal yang bersifat dogmatis



Dimanfaatkan oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasannya.



Ambigu, kontradiktif

7. KESIMPULAN
Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang
memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan
bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun
spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan
pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa
Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa
dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam
proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai,
melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan

8

antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa
kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.
8. DAFTAR REFERENSI
Barrett, Tim ‘Shinto and Taoism in early Japan’ in Shinto in History: Ways of the
Kami by Mark Teeuwen (Editor) John Breen (Editor) (Author). Also Kuroda
Toshi’s ‘Shinto in the history of Japanese Religion’ tr. by James C. Dobbins and
Suzanne Guy
Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York:
HarperCollins, 1993
Taniputera, Ivan. 2008.History of China.Jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA.
Watts, Alan 2003, The Tao Of Philosophy, Jendela, Yogyakarta.
Yu-Lan, Fung. A History of Chinese Philosophy, vol. I & II. 1952. Princeton: Princeton
University Press.
Zaenurrofik,A.2008.China Naga Raksasa Asia.Jogjakarta:GARASI.

9