Sejarah dan perkembangan tarekat. docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah membuktika bahwa agama islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa
para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara Dan Afrika
Selatan bahkan di indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan
untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan ilmu-ilmu Islam di daerah itu.
Demikian pula di Jawa, terkenal dengan sebutan Walisongo sebagai ulama yang berjasa dalam
pengembangan Islam. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat, budaya dan
bahasa, mereka dapat berbaur dengan hati dan jiwa yang suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah
dan Rasulnya untuk dipahami. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa nilai-nilai sritual selama ini
semakin mendapat tempat pada masyarakat modern.
Tarekat, tasawuf, dan dunia sufi barang kali bisa diibaratkan tempat pencucian batin dan rohani.
Seseorang yang masuk ke wilayah tarekat, tasawuf dan sufi, biasanya mengalami pengembaraan
spiritual yang seringkali menakjubkan dan menggetarkan. Keindahan dan kelezatannya hanya bisa
dikecap dengan mata batin. Relung-relung tarekat, tasawuf dan dunia sufi, terutama ketika seseorang
telah “tenggelam” dalam pusaran ritualnya tak sepenuhnya bisa dianalisis dengan rasio semata.
Lebih dari itu, secara luas, tarekat, tasawuf, dunia sufi mempunyai makna yang dalam dan
kompleks. Tarekat yang bisa dipahami sebagai “jalan” menuju spiritualitas, sebenarnya bukan sekadar
berisi ritual-ritual semata, tetapi juga menyangkut sikap dan penghayatan manusia pada kehidupan
yang kompleks dan fana ini. Seseorang yang masuk ke dunia tarekat yang tentu saja otomatis
bersentuhan dengan alam sufi dan tasawuf, akan menyelam secara tuntas kepada Allah beserta nilainilai-Nya yang sarat misteri.
Seseorang yang masuk ke dunia tarekat akan terus menerus memperdalam ajaran Islam dan
mempergunakannya sebagai energi kehidupan yang tak pernah lekang dan kering. Tarekat-tasawuf-sufi
sebagai representasi dunia batin, rohani, dan spiritual, akan mengajak sang manusia untuk mengatasi
dan melampaui benda-benda dan materi, bukan sebaliknya, dikendalikan dan diperbudak oleh bendabenda dan materi. Bagi seseorang yang “tenggelam” ke dunia tarekat-tasawuf-sufi, ruang batinnya
dipenuhi oleh Allah semata, sehingga benda dan materi yang fana, tidak perlu (terlalu) penting, bahkan
bisa jadi menjadi halangan dan penyakit.
Namun, bukan berarti seorang yang masuk ke dunia tarekat hanya akan menjalani ritual-ritual
semata seringnya dalam bentuk zikir-zikir tanpa punya kepedulian terhadap realitas sosial dan gerak
sejarah umat manusia. Seorang penganut tarekat biasanya memang menggarisbawahi “kehiduan
akherat” sebagai capaian yang paling penting, tapi bukan berarti “lari” dari realitas (sosial) kehidupan
dan dunia yang riil ini. Seorang penganut tarekat yang baik dan tercerahkan akan menggabungkan
“ibadah ritual” dan “ibadah sosial”, dua hal yang tak terpisahkan dalam hidup manusia untuk menuju
Keindahan dan Keabadian-Nya.
Tarekat pada hakikatnya mengajarkan prinsip keseimbangan dan saling melengkapi antara
kehidupan dunia dan akhirat. Tarekat (juga sufi dan tasawuf) tidak hanya berurusan dengan persoalan
ritual-ritualpersonal saja, tapi juga mampu menggerakkan perubahan sosial dalam arti yang seluas1
luasnya. Ini adalah salah satu tesis penting dari buku Gerakan Politik Kaum Tarekat yang sedang saya
telaah ini. Untuk itu, bisa dimaklumi, sebagaimana dideskripsikan buku ini, kaum tarekat mampu
menggalang gerakan politik yang radikal dan revolusioner untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme.
B. Rumusah Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Thariqat ?
2. Bagaimana sejarah lahirnya Thariqat ?
3. Bagaimana perkembangan Thariqat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf tentang Thariqat
2. Agar mengetahui pengertian Thariqat
3. Agar mengetahui sejarah dan perkembangan Thariqat
4. Agar menambah wawasan bagi penulis dan pembaca
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Thariqat
“Thariqat” قطرري يققة
dan “agama”.
menurut bahasa artinya “jalan”, “cara”, “garis”, “kedudukan”, “keyakinan”
Kamus “Modern Dictionary Arabic – English “ oleh Elias Anthon dan Edward Elias, edisi IX,
Kairo tahun 1954 menyatakan bahwa “thariqat” ialah “way” (cara atau jalan), “method” dan “system of
belief” (metode dan suatu sistem kepercayaan).1
“Tarekat” berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara kuhus, terekat di artikan sebagai
metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui
tahap – tahap kesinambungan ke arah pengalaman tertinggu yaitu hakikat (Trimingham, 1973). Dalam
tarekat terdapat seorang guru yang disebut mursyid, yang berfungsi sebagai pembimbing, pimpinan
sekaligus menjadi tokoh sentral bagi para penganutnya yang disebut murid. Para mursyid itu memiliki
kedudukan bertingkat – tingkat dalam suatu susunan hierarkis piramidal wasilah yang berpuncak pada
mursyid terbesar yang biasanya sebagai pendiri aliran tarekat, dan namanya menjadi nama aliran
tersebut. Semua aliran tarekat dalam susunan wasilah hierarkis itu selalu berakhir pada diri Rasullullah
Muhammad saw.2
Kata “thariqat” disebutkan Allah dalam Al-Qur’an sebanyak 9 kali dalam 5 surat, dengan
mengandung beberapa arti sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa’ : 168
ار لقن ا ل ل قرذ ي يقن ك ققفهريوا قوقظل قهميوال قيم ي قك هرن اللهه لري قيغرفقرل قههيم قوقلا لري قيهرد ي قههيم قطرري يققا
”Sesungguhnya orang – orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali – kali tidak akan
mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) aka menunjukkan jalan kepada mereka.”
2. Surat An-Nisa’ : 169
قلى
عقلى اللره ي قرسي يقرا
ار ل قلا قطرري يقق قجقهن لققم قخا لررد ي يقن رفي يقهآ ا قبققدا
قو قكا قن قذا لرقك ق
“Melainkan jalan ke Neraka Jahannam, mereka ekal di dalamnya selama – lamanya. Dan yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
3. Surat Thoha :63
حرر رهقما قو ي قيذ قهقبا ربقطرر ي يققرتك ههم ال يهمثيقلا
ققا ل هيوآ ارين قها قذا رن ل ققسارحقرارن ي هرري يقدارن ا قين ي ه ي
خرر قجا ك هيم رلمين ا قير رضك هيم ربرس ي
1 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 1
2 Radja Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan,Bisnis Kaum Suf (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1998) hlm. 3
3
“Mereka berkata:”Sesungguhnya dua orang ini adalah benar – benar ahli sihir yang hendak mengusir
kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan “kedudukan” kamu yang utama.”
Ayat itu menerangkan kedatangan Nabi Musa as. dan Harun ke Mesir, akan menggantikan Bani
Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebahagian ahli tafsir mengartikan “thariqat” dalam ayat ini dengan
“keyakinan” (Agama). Menurut Ibnu Manzhur (630 – 711 H) dalam kitabnya “Lisanul Arab” jilid 12
halaman 91, arti “thariqat” dalam ayat itu adalah “ar – rijalul asyraf” bermakna “tokoh – tokoh
terkemuka”. Jadi ayat itu berarti, kedatangan Nabi Musa dan Harun ke Mesir adalah untuk mengusir
kaum dengan sihirnya dan hendak menlenyapkan jamaah atau tokoh – tokoh terkemuka kamu.”
-
Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan “hadza thariqatu qaumihi” artinya “inilah tokoh – tokoh
pilihan kaumnya.”
-
Al – Akhfasi menyatakan “bithariqatikumul mutsla” artinya “dengan sunnah dan agama kamu
yang tinggi.” “Thariqat” berarti juga “al – khaththu fis – syai – i” artinya “garis pada sesuatu.”
“Thariqatul baidhi” artinya “garis – garis yang terdapat pada telur.” “Thariqatul romal” artinya
“sesuatu yang memanjang dari pasir”, “ma imtadda minhu”.
-
Al – Laits menyatakan “thariqat” ialah “tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian yang koyak –
koyak. Itulah “thariqatnya”. Thariqat jamaknya “tharaiq” berarti “tenunan dari bulu”, berukuran
4 sampai 8 hasta kali satu hasta, dipertautkan sehelai demi sehelai.
-
Menurut tafsir “Al – Jamal” juz 3 halaman 99, “bithariqatikumul mutsla” dalam surat Thoha :
63 itu, artinya biasyrafikum bermakna “dengan orang terkemuka kamu”. Kata “Thariqat” itu
dipergunakan untuk tokoh – tokoh terkemuka, karena mereka itu menjadi ikutan dan panutan
orang banyak, sebagaiman diartikan juga sedemikian oleh Abu As – Su’ud.
-
Dalam “Mukhtarus Shihah”, disebutkan “wathariqatul qaumi” ialah “amatsiluhum dan
jiaduhum” artinya “orang – orang besar dan terbaik diantara mereka”. “At – Tariqatu” juga
diartikan “syariful qaumi” bermakna “tokoh terhormat suatu kaum”.
-
Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 157 menyatakan “bi thariqatikumul mutsa” itu dengan ‘wa hia
assihru, artinya “sihir”.
-
Ibnu Abbas mengartikannya dengan “kerajaan yang mereka berdomisili dan mencari kehidupan
didalamnya”.
-
As – Sya’bi menafsirkannya dengan “harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak
kepada mereka”.
-
Mujahid mengartikannya dengan “orang – orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara
mereka”.
-
Abu Shaleh mengartikannya dengan “orang – orang mulia di antara kamu”.
-
Ikrimah mengartikannya dengan “orang – orang terbaik di antara kamu”.
-
Qatadah menyatakannya “bithariqatikumulmutsla” mereka pada masa itu adalah Bani Israil”.
-
Abdur Rahman bin Zaid mengartikannya dengan “billadzi antum ‘alaihi” artinya “dengan yang
kamu berada di atasnya”.
4
-
Tafsir Al – Kahzin juz 3 halaman 273, menafsirkan ayat itu dengan “yudzhiba bi sunnatikum wa
bi dinikum alladzi antum ‘alaihi”.
عل قي يره
ي هيذ رهقبا ربهسن لقرتك هيم قوربرد ي يرنك ههم ال ل قرذى ا قن يتهيم ق
“Keduanya, yakni Musa dan Harun akan menlenyapkan sunnah dan agama kamu yang kamu anut”.
-
Tafsir Al – Baghawi juz 4 halaman 273, orang Arab menyatakan “fulanun alat thariqatil mutsla”.
عقلى ال ل قطرر ي يققرة ال يهمثيقلى
هفقلا نن ق
Maksudnya ialah “ala shirathin mustaqim”, berarti si Anu berada atas jalan yang lurus”.
4. Surat Thoha :77
خقشى
خا هف قدقرقكا ل قو قلاتق ي
حرر ي قبققسا ل قلا تق ق
ب ل قههيم قطرري يققا رفى ال يبق ي
قول قققيد ا قيو قحي يقنآ ارقلا هميوقسى ا قين ا قيسرر ربرعقبا رديي قفا يضرر ي
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa : “Pergilah kamu dengan hamba-Ku (Bani
Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu usah khawatir
akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).
Kata – kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “jalan” di laut dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan
bagi Nabi Musa dan pengikut – pengikutnya. Peristiwa itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya.
5. Surat Thoha : 104
عل قهم ربقما ي قهقيو ل هيو قن اريذ ي قهقيوهل ا قيمثقل قههيم قطرري يقققة ارين ل قربثيتهيم ار ل قلا ي قيوقما
حهن ا ق ي
نق ي
”Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di
antara mereka : “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja.”
Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus pikirannya
atau amalannya di antara orang – orang berdoa itu.
6. Surat Al – Ahqaf : 30
حرلق قوارقلى قطرري يمق لهميستقرقي يمم
ققال هيوا قياققيوقمقنآ ار ل قنا قسرميعقنا ركقتاقبا ا هن يرزقل رمين بقيعردهميواقسى همقصرلدققا لرقما بقي يرن ي ققدي يره ي قيهرديي ارقلى ال ي ق
“Mereka berkata :”Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al – Qur’an) yang
telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab – kitab yang sebelumnya lagi memimpin
kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
7. Surat Al – Mukminin : 17
صلى
غا لررفي يقن
قول قققيد قخل قيققنا قفيوققك هيم قسبيقع قطقرآ رئقق
خل يرق ق
عرن ال ي ق
قوقما ك ه لقنا ق
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan
Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).”
8. Surat Al – Jin : 11
حيوقن قورم لقنا هد يورن قذا لرقك قلى ك ه لقنا قطقرآرئقق رققد قدا
قوار ل قنا رم لقنا ال ل قصا لر ه
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang – orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang
tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh “jalan yang berbeda – beda.”
5
Al – farra’ mengartikan “kunna thariqa qidada” dalam ayat itu dengan “kunna firaqan mukhtalifa”
bermakna “adalah kami beberapa kelompok yang berbeda – beda”.
9. Surat Al – Jin :16
غقد ققا
عقلى ال ل قطرري يققرة ل قأ قيسققي يقناههيم قمآ قء ق
قوا قين ل ل قروايستقققاهميوا ق
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar – benar
Kami akan memberi minuman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “agama Islam”.
Demikian beberapa makna “thariqat” dari segi bahasa.
Thariqat Menurut Kalangan Sufi
Adapun “thariqat” menurut istilah ulama tasawuf :
1. “Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan Tasawuf.”
2. “Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan.”
Berdasarkan beberapa definisi yang tersebut di atas, jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan
atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan
Tasawuf.3
Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.
1. Tarekat wajib , yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam.
Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa
yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui AlQuran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan
wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.
2. Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan
5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang
hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat
sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun
oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket
tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang
murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti
shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.4
Hubungan Tarekat Denagan Tasawuf
Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara tertentu
yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap klompok yang menjadi pengikut
3 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 1-6
4 http://penyebarislam.blogspot.com/2012/11/pengertian-tarekat-dan-sejarah.html diakses pada tanggal 06 Okt 2014
pukul 09,00 wib
6
salah seorang syekh tarekat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu secara umum adalah
usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkat tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang
dalam usahanya mendekatkan diri kepada allah.5
Tujuan Thariqat
Pada waktu kita berbicara tentang ilmu pengetahuan sufi dan tasawuf, sudah kita singgung
bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu empat tingkat sesuai dengan fitrah dan perkembangan
keyakinan manusia yatit syari’at, tarekat, hakekat dan ma’rifat. Meskipun ada golongan yang
membagikan ilmu bathin itu atas pembagian lain, misalnya atas hidayat dan nihayat, sperti yang kita
dapati pada penganut – penganut tasawuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al – Jauziyah, tetapi
pembagian yang kita jumpai adalah pembagian yang empat macam tersebut.
Dalam kehidupan sehari – hari kita dapati Sufi – sufi yang mengemukakan kepada murid –
muridnya mengambil misalnya thariqat atau hakekat saja, disamping ahli – alhi fiqh yang hanya
menekankan pelaksanaan Islam itu kepada melakukan syari’at saja.
Syeikh Najmuddin Al – Kubra, sebagai tersebut dalam kitab “Jami’ul Auliya” (Mesir, 1331M)
mengatakan syari’at itu merupakan uraian, thariqat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan
keadaan, dan ma’rifat itu merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan sebenar – benarnya.
Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syari’at dari air atau tanah, pada hakikatnya bersih dari
hawa nafsu, pada hakikatnya bersih hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma’rifat
terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syri’at saja, mengambil thariqat atau
hakekat saja. Ia memperbandingkan syari’at itu dengan sampan, thariqat itu itu lautan, dan hakekat itu
mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapan dan laut.
Oleh karena itu Syeikh Ahmad Al – Khamsyakhanuwi An – Naksyabandi, pengarang kitab yang
tersebut di atas, menyimpilkan bahwa syari’at itu apa yang diperintahkan, dan hakekat itu apa yang
dipahami, syari’at itu terpilih menjadi satu dengan hakekat, dan hakekat menjadi satu dengan syari’at.
Kedua ucapan orang suci itu sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan oleh Anas bin Malik :
“Barang siapa berfiqh saja, tidak bertasawuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawuf saja
meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, tetapi barang siapa mengerjakan kedua – duanya
dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq yaitu ahli hakekat.
Seorang ahli thariqat terbesar menerangkan bahwa sebenarnya thariqat itu tidak terbatas
banyaknya, karena thariqat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya
tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati,
jalan pelaksanaan segala ibadat (sepeti sembahyang, puasa, haji dan jihad), jalan melalui kekayaan
(seperti mengeluarkan zakat, dan membiayai amal kebajikan), jalan membersihkan jiwa dari
kebimbangan dunia akan ketamakan hawa nafsu (seperti khalwat, dan mengurangi tidur, mengurangi
makan minum), semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari’at dan sunnah Nabi.
Dalam hal ini Al – Junaid memperingatkan “semua thariqat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika
tidak menurut Sunnah Rasulnya”.
Maka oleh karena itu, tiap – tiap thariqat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima
dasar:
5 http://yuhazi.blogspot.com/2013/06/sejarah-dan-perkembangan-tarekat.html diakses pada tanggal 06 Okt 2014 pukul
09,00 wib
7
-
Pertama, menuntut ilmu untuk dilaksanak sebagai perintah Tuhan
-
Kedua, mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladaninya
-
Ketiga, meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan
-
Keempat, mengisi semua waktu dengan doa dan wirid
-
Kelima, mengekangi hawa nafsu dari pada berniat slah dan untuk keselamatan.6
Perkataan “tarikat” berasal dari bahasa Arab ( )الطرفةjamaknya ( )الطرأىقyang berarti jalan, keadaan,
aliran, dalam garis pada sesuatu. Dan kata “tarikat” ini telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia
dengan arti: (1). Jalan, (2). Jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf), ilmu tarikat, ilmu tasawuf, (3).
Cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan), (4). Sebagai persekutuan para
penuntut ilmu tasawuf.
Para ilmuan muslim memberikan defenisi “tarekat” dengan berbagai redaksi, antara lain seperti
dikemukakan berikut ini:
a. H. Abu Bakar Atjeh mengatakan: Tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melaksanakan
suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan
oleh sahabat dan tabi’in, turun menurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan
rantai berantai. Atau suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi kumpulan
kekeluargaan, yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna
memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam suatu
ikatan.
b. Harun Nasution, mengatakan bahwa Tarikat berasal dari kata Tariqah ( – الطرقةjalan) yaitu
jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Tarikat kemudian mengandung arti organisasi (tarikat), tiap tarikat mempunyai syekh, upacara
ritual dan bentuk zikir sendiri.
c. Hamka, mengatakan: maka diantara makhluk dan Khalik itu ada perjalanan hidup yang harus
kita tempuh. Ini lah yang kita katakan tarekat.
d. Syekh Al-Jurjani mengaatakan tarikat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang
yang berjalan (beribadat) kepada Allah dengan melalui pos (manazil) dan meningkat ketingkat
yang lebih tinggi yaitu stasiun-stasiun (maqomat).7
e. W. J. S. Poerwodarminto, memberikan definisi sebagai berikut: Tarekat (tarikat) (1) jalan, (2)
jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf); ilmu tarekat, ilmu tasawuf, (3) cara atau aturan
hidup (dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan), (4) sebagai persekutuan para penuntut
ilmu tasawuf.
f. E. St. Harahap, mengemukakan tarikat ialah jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama,
persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.8
Kaum Orientalist juga ada yang tertarik mempelajari “tarekat”, dan memberikan defenisi “tarekat”
itu sebagai berikut:
a. J. Spencer Trimingham, mengemukakan: Tarikat adalah suatu metode praktis untuk menuntun
(membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan,
6 Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo, Ramadhani : 1996) hlm. 70-72
7 Drs. H. Mizwar, MA., H. Pangulu Abd. Karim Nasution, Lc., MA. Akhlak Tasawuf, (Medan:Cita Pustaka Media
Perintis,2013), hlm. 107-112.
8 Drs. H. Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Sumatera
Utara, 1983), hlm. 257-258.
8
terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqomat) untuk
dapat merasakan Haqiqat yang sebenarnya.
b. Hargibb, mengemukakan: Pada abad ke IX dan X sesudah masehi. Tarikat adalah suatu cara
psykologi moral untuk mengendalikan secara praktis dari individu-individu yang mempunyai
suatu sebutan mistik. Setelah abad ke XI, tarikat menjadi sekumpulan sistem tentang upacaraupacara latihan kejiwaan yang tergabung untuk kehidupan bersama dalam keanekaragaman
keagamaan orang Islam yang mulai dijumpai pada waktu ini.
Dari beberapa ungkapan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian “tarikat” adalah
hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan/cara
tertentu, dan bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dalam perkembangannya tarikat itu
kemudian digunakan sebagai nama sekelompok mereka yang menjadi pengikut bagi seorang Syekh
yang mempunyai pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada Allah dan cara memberikan
tuntutan dan bimbingan pada muridnya. Dalam memberi nama suatu kelompok yang terikat dengan
suatu ajaran tertentu dalam mendekatkan diri kepada Tuhan itu dan dalam cara memberikan latihanlatihan selalu dinisbahkan kepada nama seorang Syekh yang dianggap mempunyai metode tertentu (
)طريقةdan pengalaman yang khusus ()خبرة.
Maka di dalam prakteknya dalam suatu tarikat ditemuilah adanya guru yang digelari dengan
Mursyid atau Syekh. Wakilnya digelari Khalifah dan sejumlah pengikutnya disebut murid. Sedangkan
tempat untuk latihan disebut kibath atau zawiyah atau taqiyah dan dalam bahasa Persia disebut
Khanaqah. Dalam hal ini peranan Syekh (Mursyid) sangat menentukan terhadap muridnya.
Dari unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari “tarikat” adalah agar
para pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin dengan Allah sesuai
bimbingan guru atau mursyid.9
Secara harfiah, tariqah berarti jalan, mempunyai arti sama dengan syari’ah. Banyak kosa kata
yang dapat diartikan dengan jalan, seperti sabil, sirat, manhaj, atau minhaj, suluk, atau maslak, nusuk
atau mansak. Jadi tarekat yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “tariqah” memiliki banyak pengertian,
satu diantaranyaseperti dikemukakan di atas yakni jalan, sedangkan dalam bahasa Indonesia bermakna
jalan menuju kebenaran.
Dari segi terminologi, pengertian tarekat dapat dilihat dari ungkapan Zamakhsyari Dhofier yang
mengartikannya sebagai suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan islam tradisional) yang
melakukan amalan-amalan zikir tertentu dan menyampaikan sumpah yang formulanya telah ditentukan
oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Sementara itu, Trimingham mendefinisikan tarekat sebagai
suatu metode praktis untuk menuntun membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan
pikiran dan tindakan, yang terkendali secara terus menerus kepada suatu rangkaian tingkatan
(maqamat) untuk dapat merasakan hakekat yang sebenarnya.
Pengertian yang hampir sama dikemukakan Al-Jurjani yaitu jalan atau tingkah laku tertentu bagi
orang-orang yang berjalan (beribadah) kepada Allah melalui pos (manazil), hingga sampai kepada
tingkat lebih tinggi yang disebut stasiun (maqamat). Harun Nasution mendefenisikan tarekat sebagai
jalan yang harus ditempuh sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, yang kemudian
mengandung arti organisasi, Syekh, upacar ritual dan bentuk zikir sendiri.
9 Drs. H. Mizwar, MA., H. Pangulu Abd. Karim Nasution, Lc., MA. Akhlak Tasawuf, (Medan:Cita Pustaka Media
Perintis,2013), hlm. 107-112.
9
Pengertian lain tentang tarekat dikemukakan Abbas Husayn Basri, yaitu sebuah jalan yang
ditempuh berdasarkan syariat Allah dan peraturannya, mengikuti perintah Rasul saw yang datang
dengan segala petunjuk dan cahaya kebenaran.10
Ath-Tharieq (jalan) adalah mengutamakan perjuangan, menghapuskan sifat-sifat yang tercela,
memutuskan segala hubungan duniawi serta maju dengan kemauan yang besar pada Allah. Dan
berhasilnya yang demikian itu karena Allah. Dan hasilnya yang demikian itu karena Allah telah
memimpin dan memelihara hati hambaNya dengan memberinya cahaya ilmu.
Jika Allah telah memberi petunjuk pada sanubari seseorang, niscaya akan berlimpah atasnya
rahmat, bersinarlah cahaya didalamnya, akan lapanglah dadanya, akan terungkap baginya rahasia
kerajaan langit dan tersingkaplah dari hatinya tabir kelengahan dengan kelembutan rahmat dan
berkilauan baginy ahakikat-hakikat masalah illahi.
Maka tiada hal lain baginya kecuali bersiap sedia untuk mensucikan diri secara mutlak,
menghadirkan semangat disertai kemauan yang benar, keimanan yang sempurna, dan senantiasa
bersabar menanti rahmat yang akan diberikan Allah Ta’ala kepadanya.
Telah terungkap persoalan itu bagi para nabi, dan para wali. Dimana dad mereka diliputi cahay
abukan dengan belajar atau mengkaji maupun menulis berdasarkan kitab-kitab tetapi dengan zuhud
kepada dunia dan membersihkan diri dari hawa nafsunya dan dari segala yang bisa membuatnya lalai,
dan mengkonsentrasikan diri kepada Allah. Maka barang siapa yang berbuat sesuatu untuk Allah
niscaya Allah menjadi untuknya.
Mereka telah menganggap bahwa jalan dalam hal itu pertama-tama adalah memutuskan hubungan
yang bersifat duniawi, mengosongkan hati dengan menyirnakan kemauan terhadap keluarga, harta,
anak, tanah air, dan dari imu, kekuasaan, kedudukan, bahkan hati sanubari beralih menjadi satu
keadaan dimana ada dan tidaknya akan merasa sama.11
Dalam tasawuf jalan menuju Tuhan mereka namakan thariqah, kata inggrisnya the path.
Para mistikus dalam setiap suku bangsa ataupun agama umumnya menyimbolkan pengembaraan
spiritual mereka sebagai suatu perjalanan. Wlaupun adapula simbol-simbol lain namun perjalanan
merupakan simbol yang lebih umum. Para sufi yang sedang rindu mengembara ,mencari tuhan
menyebut dirinya sebagai pengembara (salik, musafir). Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke
tingkat diatasnya. Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka namakan maqamat atau
stasiun. Jalan yang mereka tempuh mereka namakan thariqah. Sedang tujuan akhirnya adalah mencapai
penghayatan fana fi’llah. Yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudera illahi. Tarekat atau
jalan tasawuf itu begitu penting hingga ilmu tasawuf sering dinamakan ilmu suluk. Dalam kepustakaan
jawa ajaran mistik yang diungkapkan dalam bentuk tembang (puisi) dinamakan sastra suluk.
Tarekat (thariqah) itu pada dasarnya takterbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya
harus mencari dan merintis jalannya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuan ataupun taraf
kebersihan hati mereka masing-masing.12
10 Dr. H. L. Hidayat Siregar, MA., Tarekat Doktrin dan Sejarah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 14-16.
11 Dr. Abdul Halim Mahmud., Ihwal Tasawuf Analisa almunqidz Minadhdhalai Selamat Dari Kesesatan, (jakarta: Daarul
Ihya Indonesia, 2004), hlm. 81.
12 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, cetakan 2, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.39-40.
10
Thariqah dan Haqiqah yang menjadi bagian pengetahuan sufi, merupakan bagian dari Syariah,
karena akan membantu mewujudkan bagian ketiga, yakni ketulusan. Oleh sebab itu hal hal tersebut
dikaji karena ingin mengutuhkan Syariah dan bukan untuk mencapai sesuatu diluar syariah. Tergiur dan
ektase yang biasa dialami oleh sufi, dan gagasan-gagasan tentang kebenaran yang datang ketika mereka
mengarungi perjalanan rohaniyahnya, bukanlah tujuan sufi. Hal hal tersebut tak lain hanyalah mitos
dan kegembiraan bagi “anak-anak” sufi. Apabila seseorang telah melampauinya kemudian mencapai
tahap kepuassan (ridha), yang merupakan tujuan terakhir dari suluk dan jadzbah. Tujuan melewati
seluruh lintasan thariqah dan haqiqah tiada lain hanyalah untuk mewujudkan ikhlas yang memang
muncul dalam pencapaian ridha. Hanya satu dari antara ribuan sufi yang dikaruniai dengan tiga
iluminasi, dan penglihatan makrifat, mencapai ikhlas dan kemudian naik menuju ridha.13
Para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam stasiun-stasiun
(maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal). Perbedaan anatara keduanya adalah maqamat dicapai melalui
usaha yang sadar dan sistematis, sedangkan ahwal adalah keadaan-keadaan jiwa yang datang secara
spontan, sebagai hadiah dar Tuhan, dan umumnya berlangsung relatif cepat dan tidak bertahan lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang sufi dalam tarekatnya, intensitas dan
kecepatan perjalananpun bisa berbeda-beda. Ali nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik
Rumi seperti burung Rajawali yang bisa dengan cepat tiba di tangan si Raja, sedangkan perjalanan
spiritual Farid al-Din digambarkan merayap seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan seorang
sufi bermikraj ke Arsy dalam sekejap sang zahid memerlukan sebulan untuk sehari perjalanan.14
2. Sejarah lahirnya Tarikat
Lahirnya tarekat tidak terlepas dari keberadaan tasawuf secara umum, terutama peralihan tasawuf
yang bersifat personal kepada tarekat sebagai suatu organisasi, yang merupakan perkembangan,
pengamalan serta perluasan ajaran tasawuf. Kajian tentang tarekat sendiri tidak mungkin dilakukan
tanpa kajian tasawuf. Dalam perspektif tertentu tarekat dapat dilihat sebagai perkembangan lanjutan
dari tasawuf. Dari perspektif lain, tarekat adalah praktek yang terstruktur dari prinsip-prinsip dan
doktrin-doktrin tasawuf; atau ringkasnya tasawuf adalah aspek teoritis sementara tarekat adalah aspek
praktisnya.
Dalam konteks ini, Trimingham berpendapat bahwa perkembangan tasawuf menjadi tarekat
mengalami proses panjang yang dapat dibagi kedalam tiga tahapan:
Tahapan pertama (khanaqah). Abad kencana mistisme. Guru dan majelis muridnya, yang sering
kali berpindah-pindah tempat, mempunyai aturan yang minimum untuk menempuh kehidupan biasa,
menjurus pada abad ke-10 ke arah pembentukan pondok-pondok yang seragam dan tidak khusus.
Bimbingan dibawah seorang guru menjadi prinsip yang diterima.
Tahapan kedua, (tariqah). Abad ke-13, zaman seljud. Periode formatif 1100-1400M. Transmisi
doktrin, aturan dan metode. Perkembangan-perkembangan mazhab mistisme yang bersinambung.
Silsilah-tariqah, yang berasal dari seseorang yang tercerahkan. Meyesuaikan dan menjinakkan
semangat mistikal dalam sufisme yang terorganisasi kepada standar tradisi dan legalisme.
Perkembangan tipe-tipe baru metode kolektif untuk menumbuhkan ektase.
Tahapan ketiga (ta’ifah). Abad ke-15, zaman pembentukan kemaharajaan Ottoman. Transmisi
baiat bersama-sama doktrin dan aturan. Sufisme menjadi suatu gerakan yang popular.
Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang pertama adalah sebagai
berikut:
13 Anshari, Muhammad Abdul Haq, Antara Sufsme dan Syariah, cetakan ke 2, (Jakarta:PT.Grafindo Persada, 1993), hlm.
271-272.
14 Mulyadi Kartenegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 16.
11
1. Perumusan ajaran masih bersifat individual. Dalam tahapan pertama ini ajaran-ajaran tasawuf
masih merupakan gagasan-gagasan yang melekat pada seseorang individu. Dengan demikian
belum dikenal adanya mazhab atau aliran dalam konteks ajaran tasawuf.
2. Pengikut menjalani kehidupan moral. Para pengikut tasawuf pada prinsipnya tidak terbedakan
dari masyarakat pada umumnya, kecuali bahwa kebanyakan pengikutnya yang awal memang
berasal dari kelompok elit masyarakat. Namun, mereka bukanlah kelompok yang tersendiri,
apalagi eksklusif dari masyarakat umum. Pada tahapan ini tasawuf tidak membuat garis
pembeda antara pengikutnya dengan yang bukan pengikut.
3. Aturan-aturan masih sederhana. Apa yang dikenal sekarang ini didunia tasawuf dalam bentuk
aturan-aturan yang sangat banyak dan rumit, sama sekali belum muncul pada tahapan
perkembangan pertama ini.dalam tahapan ini meskipun ada aturan, namun masih sangat
sederhana. Aturan-aturan yang paling utama pada umumnya bersifat moral-etis dan tak
menyentuh persoalan-persoalan teknis sebagaimana kemudian muncul belakangan hari.
4. Metode utama adalah kontemplasi individual. Metode yang paling menonjol pada awal
perkembangan tasawuf adalah kontemplasi pribadi. Metode ini mengasumsikan pemahaman
dan kemampuan individual yang relatif baik. Dengan demikian tasawuf dijalani sebagai suatu
upaya pendakian personal menuju kedekatan kepada Allah swt. Seseorang dengan dirinya
sendiri mencoba melakukan perenungan mendalam dan dengan itu dia mengalami
transformasi dan pencerahan spiritual yang diharapkan.
Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang kedua adalah sebagai
berikut:
1. Mulai munculnya transmisi doktrin, metode, dan aturan secara sinambung, dengan
menempatkan satu tokoh sebagai central figure. Mulai teridentifikasi secara nyata usaha yang
sistematis untuk mewariskan doktrin, metode dan aturan-aturan, dan sebagai bagian dari itu
muncul pula upaya pembakuan.
2. Popularisasi. Oleh karena adanya pewarisan yang terencana, maka muncullah fenomena
popularisasi. Tasawuf/tarekat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat grass root, bukan
lagi beredar hanya dikalangan elite semata. Tasawuf menjadi sesuatu yang biasa diamalkan
oleh siapa saja.
3. Standarisasi, mazhab. Sebagai akibat dari popularisasi maka kemampuan intelektual/spiritual
dari kelompok penganut tasawuf/tarekat menjadi sangat bervariasi, mulai dari yang sangat
tinggi sampai yang sangat rendah. Keadaan ini memunculkan kepentingan akan adanya
standarisasi ajaran yang kemudian membentuk mazhab-mazhab tasawuf/tarekat.
4. Munculnya metode-metode komunal yang standarisasi.kemampuan yang bervariasi dan
jumlah penganut yang semakin besar melatar belakangi perlunya metode-metode yang tidak
hanya terstandarisasi, tetapi sekaligus dapat difungsikan secara berkelompok, secara komunal.
Dengan demikian mulailah fenomena kelompok/jamaah dalam kegiatan tarekat.
Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang ketiga adalah sebagai
berikut:
1. Popularisasi berlanjut. Semakin hari tasawuf/tarekat semakin digandrungi oleh hampir semua
lapisan masyarakat. Elitisme dalam tarekat menghilang sama sekali dan menjadi sebuah
fenomena grass root. Dalam kenyataannya tarekat malah menjadi lebih lekat pada kehidupan
keagamaan popular dan berbasis masyarakat bawah.
2. Pecahnya mazhab ke dalam cabang-cabang yang banyak. Sebagai bagan dari popularisasi ini
maka tarekat kemudian terpecah kedalam aneka cabang mazhab. Dari beberapa menjadi
12
sangat banyak. Beberapa di antara cabang mazhab ini sesungguhnya sulit dibedakan dari
induknya, kecuali sekedar formalitas atau pembeda-pembeda yang superfisial saja sifatnya.
Ada juga cabang yang menggabungkan beberapa aspek dari dua atau lebih mazhab yang sudah
ada dan popular lebih dahulu.
3. Bay’at komunal. Popularisasi juga semakin mendorong ‘pentingnya’ kesetiaan; dan
pencabangan mazhab meniscahyakan kejelasan afiliasi. Dalam konteks inilah kemudian
muncul perlunya bay’at. Jumlah pengikut yang besar memunculkan yang bay’at komunal,
yaitu pernyataan kesetiaan kepada guru-mursyid secara bersama-sama.
4. Kultur individual. Pada tahapan ini juga muncul satu karakteristik yang nantinya menjadi
salah satu topik kontoversial dalam diskursus tentang tarekat, yakni kultus individual.
Penghormatan yang ‘berlebihan’ kepada pemimpin tarekat antaralain dimungkinkan karena
semakin popularnya tarekat dan pengikutnya yang semakin banyak berasal dari kalangan
grass root tadi. Begitu pun terlepas dari kontoversi yang ada, kultur individual ini menjadi
salah satu tema paling populae berkaitan dengan tarekat.15
Karena tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka orang yang menjalankan
Syariat dan simurid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Syariat agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan melaksanakan
perintah guru.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan
serta kekhusukan dalam mencapai maqomat (stasion) yang lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Dari unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari tarikat adalah agar para
pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin sesuai dengan bimbingan seorang
guru atau mursyid.
Pelaksanaan tarikat itu diantaranya melalui:
a. Zikir, yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan dengan
namanya lisan. Zikir berfungsi sebagai alat kontrol bagi hati dan perbuatan agar jangan sampai
menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah. Oleh sebahagian ada juga yang
membedakan zikir itu dengan zikir lisan (lisan), zikir qalbu (hati), dan zikir sirr (rahasia).
b. Ratib, yaitu mengucap ( )لاله الاللهdengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c. Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyibunyian,seperti memukul rebana.
d. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk
menimbulkan sesuatu kekhidmatan.
e. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.
Secara umum dasar-dasar dari semua tarikat dapat disimpulkan dalam lima hal:
1.
2.
3.
4.
5.
Menuntut ilmu untuk menegakkan perintah.
Cinta kepada syekh dan persaudaraan untuk dapat mendapatkan penglihatan yang tajam.
Meninggalkan rukhsah dan takwil untuk memelihara keutamaan.
Mengisi waktu dengan wirid-wirid untuk selalu menghadirkan Tuhan dalam hati.
Mencurigai diri dari segala sesuatu agar dapat keluar dari hawa nafsu.
15 Ibid, h. 5-14
13
Syekh-syekh tarikat yang mempunyai murid-murid fan tarikatnya yang terus berkembang pada
umumnya harus memenuhi lima syarat:
1.
2.
3.
4.
5.
Perasaan yang tajam.
Ilmu yang betul.
Cita-cita yang tinggi.
Kepribadian yang disenangi.
Mempunyai pandangan yang menyelamatkan.
Selanjutnya seorang muridpun tidak hanya sekedar berguru, tetapi harus menjaga adab terhadap
syekhnya agar ilmu yang didapat dari syekh itu dapat dihayati. Adab-adab tersebut adalah:
1. Mengikuti segala perintah Syekh meskipun bertentangan dengan pendapatnya.
2. Menjauhi larangan Syekh meskipun disenanginya.
3. Menjaga kehormatan Syekh baik dihadapan maupun dibelakang Syekh, diwaktu hidupnya
atau sesudah matinya.
4. Menegakkan hak-hak nya sedapat mungkin dengan tidak bersia-sia.
5. Mengenyampingkan akalnya, ilmunya dan kepemimpinannya kecuali dalam hal-hal yang
sesuai dengan perintah Syekhnya.
Disamping itu pula setiap murid mempunyai tugas-tugas yang tidak boleh dilupakannya, yaitu:
1. Tetap bertaqwa dengan meninggalkan yang dilarang dan memelihara kewajiban.
2. Beramal denga segala sesuatu yang dapat menyebabkan kesempurnaan jiwa dan taqwa.
3. Senantiasa hati-hati terhadap sesuatu dan sumber-sumbernya.
4. Berteman dengan orang-orang yang mempunyai ma’rifat dan ilmu.
5. Berusaha untuk menjauhi orang-orang yang mengejar kemewahan dan keduniawian.
6. Menjaga adab.
7. Menunaikan waktu sesuai dengan hak-haknya.
8. Bahwa engkau tidak melihat di alam ini kecuali dirimu dan tuhanmu, dengan sikap
muraqabah..
9. Menjauhkan diri dari sikap terpaksa dalam segala gerakan.
10. Mengisi hati dengan sesuatu yang menghidupkannya dan menjauhkan lawan-lawannya:
a. Senantiasa mengingat bahwa engkau adalah perantauan di dunia.
b. Senantiasa mengingat maut yang datangnya tiba-tiba.
c. Senantiasa mengingat keliaran hati.
d. Senantiasa mengingat bahwa engkau berada di hadapan Allah SWT.16
3. Perkembangan Tarikat
Pada masa permulaan Islam, hanya terdapat dua macam thariqat, yaitu :
1. Thariqat Nabawiah, yaitu amalan yang berlaku di masa Rasulullah saw yang dilaksanakan
secara murni. Dinamakan juga dengan “Thariqat Muhammadiah” atau “Syari’at”.
2. Thariqat Salafiah, yaitu cara beramal dan beribadah pada masa Sahabat dan Tabi’in dengan
maksud memelihara dan membina Syari’at Rasulullah saw. Dinamakan juga dengan “Thariqat
Salafus Saleh”.
Sesudah abad ke – 2 H, thariqat Salafiah mulai berkembang secara kurang murni.
Ketidakmurniannya itu antara lain disebabkan pengaruh filsafat dan alam pikiran manusia telah
16 Drs. H. Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Sumatera
Utara, 1983), hlm. 260-263.
14
memasuki negara – negara Arab, seperti filsafat Yunani, India, dan Tiongkok, sehingga pengalaman
thariqat Nabawiah dan Salafiah telah bercampur aduk dengan filsafat.
Sejumlah kitab – kitab filsafat asing di salin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sesudah
abad ke – 2 H itu muncullah thariqat Sufiah yang diamalkan orang – orang sufi, dengan tujuan untuk
kesucian melalui empat tingkat :
1. Syari’at, mengetahui dan mengamalkan ketentuan – ketentuan Syari’at, sepanjang yang
menyangkut dengan lahiriah.
2. Thariqat, mengerjakan amalan hati dengan akidah yang teguh sepanjang yang menyangkut
dengan batiniah.
3. Hakikat, cahaya musyahadah yang bersinar cemerlang dalam hati dan dengan cahaya itu dapat
mengetahui hakikat Allah dan rahasia alam semesta,
4. Ma’rifat, tingkat tertinggi dimana orang telah mencapai kesucian hidup dalam rohani, memiliki
pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakikat dan rahasia kebesaran Allah.
Orang Sufi menganggap bahwa Syari’at untuk memperbaiki sesuatu yang lahir (nyata), Thariqat
untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan Hakikat untuk memperbaiki segala rahasia
yang ghaib – ghaib.
Tujuan terakhir dari ahli Sufi ialah ma’rifat, yakni mengenal hakikat Allah, zat, sifat, dan
perbuatan – Nya. Orang yang telah sampai ke tingkat ma’rifat, dinamakan Wali, yang mempunyai
kemampuan luar biasa (khariqul lil’adah), disebut “keramat” atau super natural. Terjadi pada dirinya
hal – hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal menurut logika, baik di masa hayatnya maupun
sesudah matinya.
Syekh Abdul Qadir Jailani (471 H – 561 H/1078 – 1168 M) menurut pandangan orang Sufi
adalah Wali tetinggi, yang disebut “Quthubul Aulia” (Wali Wuthub). Gerakan thariqat baru menonjol
dalam dunia Islam pada abad ke XII M sebagai lanjutan dari kegiatan kaum Sufi terdahulu.
Kenyataan ini dapat ditandai dengan setiap silsilah thariqat selalu duhubungkan dengan nama
pendirinya dan tokoh – tokoh Sufi lainnya. Setiap thariqat mempunyai Syekh, kaifiat dzikir dan
upacara rituil. Biasanya Syekh atau Mursyid mengajar murid – muridnya di asrama latihan rohani yang
dinamakan “rumah suluk” atau “ribath”.
Mula –mula menonjol di Asia Tengah, Tibristan tempat kelahiran dan operasinya Syekh Abdul
Qadir Jailani, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Sa’udi dan smapai ke Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Tiongkok.
Kemudian pada abad ke XII itu muncul pula thariqat Rifaiah di Maroko dan Aljazair, thariqat
Sahrawadiah dan lainnya yang berkembang di Afrika Utara dan Afrika Tengah, seperti di Sudan dan
Nigeria.
Perkembangan itu begitu cepat melalui murid – murid yang telah diangkat menjadi Khalifah,
mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri – negeri Islam. Dan adapula melalui pedagang –
pedagang.
Organisasi thariqat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, sebagaimana
dikatakan H. R. Gibb dala “An Interpretation of Islamic History”, bahwa sesudah direbutnya Khalifah
15
oleh orang – orang Mongol pada tahun 1258 H, maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat
Islam beralih ke tangan kaum Sufi.
Peranan ahli thariqat dalam percaturan politik di Turki pada masa pemerintahan Ottoman I (1299
– 1326 M) cukup besar. Demikian pula di Sudan, Afrika Utara dan afrika Tengah, Tunisia, dan di negeri
kita Indonesia, tempo dulu ahli thariqat memegang peranan penting dalam perjuangan melawan
penjajahan Barat.
Dalam proses Islamisasi Indonesia, sebahagian adalah atas usaha dari kaum Sufi dan mistik
Islam. Sehingga pada waktu itu pemimpin – pemimpin agama Islam di Indonesia bukanlah ahli –ahli
Teology (Mutakallimin) dan ahli hukum (Fuqaha’), tetapi juga Syekh – syekh thariqat dan guru – guru
suluk.
Salah seorang pemuka Thariqat Naqsabandiyah yang telah berjasa bagi perjuangan bangsa dalam
merebut kemerdekaan lahir dan batin, adalah Syekh Abdul Wahab Rokan Al – Khalidi Naqsabandi
(1811 – 1926) yang terkenal dengan panggilan “Tuan Guru Babussalam Langkat”. Pusaranya di desa
Babussalam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.
Ia adalah murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi dan belajar kepadanya selama 6 tahun di Mekkah.
Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan thariqat di beberapa kerajaan, seperti di
wilayah kerajaan Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Khalifah – khalifah beliau yang giat mengembangkan
thariqat Naqsabandiyah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah – rumah suluk dan peribadatan,
di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan dan beberapa negeri di Thailand.
Besarnya pengaruh ahli thariqat itu, diakui oleh Massignon, sebagai berikut :
“Thariqat tidaklah bisa di kesampingkan begitu saja, dan meskipun nilai rata – rata dari
moralitasnya berada jauh sekali di bawah contoh – contoh yang agung dari Sufiah yang pertama,
sebahagian besar dari mereka tidak pernah berhenti dari memainkan peranan di dalam kehidupan
sehari – hari dan meskipun mereka sangat sederhana, akan tetapi berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat Islam.17
Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII yaitu dimulai
pertama kali oleh Hamzah fansuri (w.1610) dan muridnya syamsudin as sumatrani (m.1630) akan tetapi
keduanya tidak meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus menerus. Baru kemudian
setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syattariyah di Aceh pada 1679M,
organisasi tarekat ini menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui hubungan silsilah
guru murid sampai keberadaan daerah di Indonesia.18
Sikap zuhud dan kerohanian yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadist-hadist serta dicontohkan
dalam perilaku oleh Rasulullah Muhammad SAW bersama-sama sahabat-sahabatnya, belakangan
semakin dikembangkan oleh ulama-ulama Islam dalam bentuk tipe baru yang diberi nama tasawuf dan
pengikutnya disebut mutashawwifun atau sufi. Dengan timbulnya gerakan zuhud dalam bentuk tipe
baru ini, mengakibatkan tipe dan coraknya (sedikit banyaknya) menjadi berbeda satu sama lain antara
masing-masing ulama yang mengembangkannya.
17 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 9-12
18 Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat:Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,
2006), hlm. 62
16
Selanjutnya para ulama yang mengembangkan tasawuf ini, disebabkan perilakunya yang zuhud
(tidak mementingkan na
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah membuktika bahwa agama islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa
para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara Dan Afrika
Selatan bahkan di indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan
untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan ilmu-ilmu Islam di daerah itu.
Demikian pula di Jawa, terkenal dengan sebutan Walisongo sebagai ulama yang berjasa dalam
pengembangan Islam. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat, budaya dan
bahasa, mereka dapat berbaur dengan hati dan jiwa yang suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah
dan Rasulnya untuk dipahami. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa nilai-nilai sritual selama ini
semakin mendapat tempat pada masyarakat modern.
Tarekat, tasawuf, dan dunia sufi barang kali bisa diibaratkan tempat pencucian batin dan rohani.
Seseorang yang masuk ke wilayah tarekat, tasawuf dan sufi, biasanya mengalami pengembaraan
spiritual yang seringkali menakjubkan dan menggetarkan. Keindahan dan kelezatannya hanya bisa
dikecap dengan mata batin. Relung-relung tarekat, tasawuf dan dunia sufi, terutama ketika seseorang
telah “tenggelam” dalam pusaran ritualnya tak sepenuhnya bisa dianalisis dengan rasio semata.
Lebih dari itu, secara luas, tarekat, tasawuf, dunia sufi mempunyai makna yang dalam dan
kompleks. Tarekat yang bisa dipahami sebagai “jalan” menuju spiritualitas, sebenarnya bukan sekadar
berisi ritual-ritual semata, tetapi juga menyangkut sikap dan penghayatan manusia pada kehidupan
yang kompleks dan fana ini. Seseorang yang masuk ke dunia tarekat yang tentu saja otomatis
bersentuhan dengan alam sufi dan tasawuf, akan menyelam secara tuntas kepada Allah beserta nilainilai-Nya yang sarat misteri.
Seseorang yang masuk ke dunia tarekat akan terus menerus memperdalam ajaran Islam dan
mempergunakannya sebagai energi kehidupan yang tak pernah lekang dan kering. Tarekat-tasawuf-sufi
sebagai representasi dunia batin, rohani, dan spiritual, akan mengajak sang manusia untuk mengatasi
dan melampaui benda-benda dan materi, bukan sebaliknya, dikendalikan dan diperbudak oleh bendabenda dan materi. Bagi seseorang yang “tenggelam” ke dunia tarekat-tasawuf-sufi, ruang batinnya
dipenuhi oleh Allah semata, sehingga benda dan materi yang fana, tidak perlu (terlalu) penting, bahkan
bisa jadi menjadi halangan dan penyakit.
Namun, bukan berarti seorang yang masuk ke dunia tarekat hanya akan menjalani ritual-ritual
semata seringnya dalam bentuk zikir-zikir tanpa punya kepedulian terhadap realitas sosial dan gerak
sejarah umat manusia. Seorang penganut tarekat biasanya memang menggarisbawahi “kehiduan
akherat” sebagai capaian yang paling penting, tapi bukan berarti “lari” dari realitas (sosial) kehidupan
dan dunia yang riil ini. Seorang penganut tarekat yang baik dan tercerahkan akan menggabungkan
“ibadah ritual” dan “ibadah sosial”, dua hal yang tak terpisahkan dalam hidup manusia untuk menuju
Keindahan dan Keabadian-Nya.
Tarekat pada hakikatnya mengajarkan prinsip keseimbangan dan saling melengkapi antara
kehidupan dunia dan akhirat. Tarekat (juga sufi dan tasawuf) tidak hanya berurusan dengan persoalan
ritual-ritualpersonal saja, tapi juga mampu menggerakkan perubahan sosial dalam arti yang seluas1
luasnya. Ini adalah salah satu tesis penting dari buku Gerakan Politik Kaum Tarekat yang sedang saya
telaah ini. Untuk itu, bisa dimaklumi, sebagaimana dideskripsikan buku ini, kaum tarekat mampu
menggalang gerakan politik yang radikal dan revolusioner untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme.
B. Rumusah Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Thariqat ?
2. Bagaimana sejarah lahirnya Thariqat ?
3. Bagaimana perkembangan Thariqat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf tentang Thariqat
2. Agar mengetahui pengertian Thariqat
3. Agar mengetahui sejarah dan perkembangan Thariqat
4. Agar menambah wawasan bagi penulis dan pembaca
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Thariqat
“Thariqat” قطرري يققة
dan “agama”.
menurut bahasa artinya “jalan”, “cara”, “garis”, “kedudukan”, “keyakinan”
Kamus “Modern Dictionary Arabic – English “ oleh Elias Anthon dan Edward Elias, edisi IX,
Kairo tahun 1954 menyatakan bahwa “thariqat” ialah “way” (cara atau jalan), “method” dan “system of
belief” (metode dan suatu sistem kepercayaan).1
“Tarekat” berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara kuhus, terekat di artikan sebagai
metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui
tahap – tahap kesinambungan ke arah pengalaman tertinggu yaitu hakikat (Trimingham, 1973). Dalam
tarekat terdapat seorang guru yang disebut mursyid, yang berfungsi sebagai pembimbing, pimpinan
sekaligus menjadi tokoh sentral bagi para penganutnya yang disebut murid. Para mursyid itu memiliki
kedudukan bertingkat – tingkat dalam suatu susunan hierarkis piramidal wasilah yang berpuncak pada
mursyid terbesar yang biasanya sebagai pendiri aliran tarekat, dan namanya menjadi nama aliran
tersebut. Semua aliran tarekat dalam susunan wasilah hierarkis itu selalu berakhir pada diri Rasullullah
Muhammad saw.2
Kata “thariqat” disebutkan Allah dalam Al-Qur’an sebanyak 9 kali dalam 5 surat, dengan
mengandung beberapa arti sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa’ : 168
ار لقن ا ل ل قرذ ي يقن ك ققفهريوا قوقظل قهميوال قيم ي قك هرن اللهه لري قيغرفقرل قههيم قوقلا لري قيهرد ي قههيم قطرري يققا
”Sesungguhnya orang – orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali – kali tidak akan
mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) aka menunjukkan jalan kepada mereka.”
2. Surat An-Nisa’ : 169
قلى
عقلى اللره ي قرسي يقرا
ار ل قلا قطرري يقق قجقهن لققم قخا لررد ي يقن رفي يقهآ ا قبققدا
قو قكا قن قذا لرقك ق
“Melainkan jalan ke Neraka Jahannam, mereka ekal di dalamnya selama – lamanya. Dan yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
3. Surat Thoha :63
حرر رهقما قو ي قيذ قهقبا ربقطرر ي يققرتك ههم ال يهمثيقلا
ققا ل هيوآ ارين قها قذا رن ل ققسارحقرارن ي هرري يقدارن ا قين ي ه ي
خرر قجا ك هيم رلمين ا قير رضك هيم ربرس ي
1 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 1
2 Radja Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan,Bisnis Kaum Suf (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1998) hlm. 3
3
“Mereka berkata:”Sesungguhnya dua orang ini adalah benar – benar ahli sihir yang hendak mengusir
kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan “kedudukan” kamu yang utama.”
Ayat itu menerangkan kedatangan Nabi Musa as. dan Harun ke Mesir, akan menggantikan Bani
Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebahagian ahli tafsir mengartikan “thariqat” dalam ayat ini dengan
“keyakinan” (Agama). Menurut Ibnu Manzhur (630 – 711 H) dalam kitabnya “Lisanul Arab” jilid 12
halaman 91, arti “thariqat” dalam ayat itu adalah “ar – rijalul asyraf” bermakna “tokoh – tokoh
terkemuka”. Jadi ayat itu berarti, kedatangan Nabi Musa dan Harun ke Mesir adalah untuk mengusir
kaum dengan sihirnya dan hendak menlenyapkan jamaah atau tokoh – tokoh terkemuka kamu.”
-
Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan “hadza thariqatu qaumihi” artinya “inilah tokoh – tokoh
pilihan kaumnya.”
-
Al – Akhfasi menyatakan “bithariqatikumul mutsla” artinya “dengan sunnah dan agama kamu
yang tinggi.” “Thariqat” berarti juga “al – khaththu fis – syai – i” artinya “garis pada sesuatu.”
“Thariqatul baidhi” artinya “garis – garis yang terdapat pada telur.” “Thariqatul romal” artinya
“sesuatu yang memanjang dari pasir”, “ma imtadda minhu”.
-
Al – Laits menyatakan “thariqat” ialah “tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian yang koyak –
koyak. Itulah “thariqatnya”. Thariqat jamaknya “tharaiq” berarti “tenunan dari bulu”, berukuran
4 sampai 8 hasta kali satu hasta, dipertautkan sehelai demi sehelai.
-
Menurut tafsir “Al – Jamal” juz 3 halaman 99, “bithariqatikumul mutsla” dalam surat Thoha :
63 itu, artinya biasyrafikum bermakna “dengan orang terkemuka kamu”. Kata “Thariqat” itu
dipergunakan untuk tokoh – tokoh terkemuka, karena mereka itu menjadi ikutan dan panutan
orang banyak, sebagaiman diartikan juga sedemikian oleh Abu As – Su’ud.
-
Dalam “Mukhtarus Shihah”, disebutkan “wathariqatul qaumi” ialah “amatsiluhum dan
jiaduhum” artinya “orang – orang besar dan terbaik diantara mereka”. “At – Tariqatu” juga
diartikan “syariful qaumi” bermakna “tokoh terhormat suatu kaum”.
-
Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 157 menyatakan “bi thariqatikumul mutsa” itu dengan ‘wa hia
assihru, artinya “sihir”.
-
Ibnu Abbas mengartikannya dengan “kerajaan yang mereka berdomisili dan mencari kehidupan
didalamnya”.
-
As – Sya’bi menafsirkannya dengan “harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak
kepada mereka”.
-
Mujahid mengartikannya dengan “orang – orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara
mereka”.
-
Abu Shaleh mengartikannya dengan “orang – orang mulia di antara kamu”.
-
Ikrimah mengartikannya dengan “orang – orang terbaik di antara kamu”.
-
Qatadah menyatakannya “bithariqatikumulmutsla” mereka pada masa itu adalah Bani Israil”.
-
Abdur Rahman bin Zaid mengartikannya dengan “billadzi antum ‘alaihi” artinya “dengan yang
kamu berada di atasnya”.
4
-
Tafsir Al – Kahzin juz 3 halaman 273, menafsirkan ayat itu dengan “yudzhiba bi sunnatikum wa
bi dinikum alladzi antum ‘alaihi”.
عل قي يره
ي هيذ رهقبا ربهسن لقرتك هيم قوربرد ي يرنك ههم ال ل قرذى ا قن يتهيم ق
“Keduanya, yakni Musa dan Harun akan menlenyapkan sunnah dan agama kamu yang kamu anut”.
-
Tafsir Al – Baghawi juz 4 halaman 273, orang Arab menyatakan “fulanun alat thariqatil mutsla”.
عقلى ال ل قطرر ي يققرة ال يهمثيقلى
هفقلا نن ق
Maksudnya ialah “ala shirathin mustaqim”, berarti si Anu berada atas jalan yang lurus”.
4. Surat Thoha :77
خقشى
خا هف قدقرقكا ل قو قلاتق ي
حرر ي قبققسا ل قلا تق ق
ب ل قههيم قطرري يققا رفى ال يبق ي
قول قققيد ا قيو قحي يقنآ ارقلا هميوقسى ا قين ا قيسرر ربرعقبا رديي قفا يضرر ي
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa : “Pergilah kamu dengan hamba-Ku (Bani
Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu usah khawatir
akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).
Kata – kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “jalan” di laut dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan
bagi Nabi Musa dan pengikut – pengikutnya. Peristiwa itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya.
5. Surat Thoha : 104
عل قهم ربقما ي قهقيو ل هيو قن اريذ ي قهقيوهل ا قيمثقل قههيم قطرري يقققة ارين ل قربثيتهيم ار ل قلا ي قيوقما
حهن ا ق ي
نق ي
”Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di
antara mereka : “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja.”
Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus pikirannya
atau amalannya di antara orang – orang berdoa itu.
6. Surat Al – Ahqaf : 30
حرلق قوارقلى قطرري يمق لهميستقرقي يمم
ققال هيوا قياققيوقمقنآ ار ل قنا قسرميعقنا ركقتاقبا ا هن يرزقل رمين بقيعردهميواقسى همقصرلدققا لرقما بقي يرن ي ققدي يره ي قيهرديي ارقلى ال ي ق
“Mereka berkata :”Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al – Qur’an) yang
telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab – kitab yang sebelumnya lagi memimpin
kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
7. Surat Al – Mukminin : 17
صلى
غا لررفي يقن
قول قققيد قخل قيققنا قفيوققك هيم قسبيقع قطقرآ رئقق
خل يرق ق
عرن ال ي ق
قوقما ك ه لقنا ق
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan
Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).”
8. Surat Al – Jin : 11
حيوقن قورم لقنا هد يورن قذا لرقك قلى ك ه لقنا قطقرآرئقق رققد قدا
قوار ل قنا رم لقنا ال ل قصا لر ه
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang – orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang
tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh “jalan yang berbeda – beda.”
5
Al – farra’ mengartikan “kunna thariqa qidada” dalam ayat itu dengan “kunna firaqan mukhtalifa”
bermakna “adalah kami beberapa kelompok yang berbeda – beda”.
9. Surat Al – Jin :16
غقد ققا
عقلى ال ل قطرري يققرة ل قأ قيسققي يقناههيم قمآ قء ق
قوا قين ل ل قروايستقققاهميوا ق
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar – benar
Kami akan memberi minuman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “agama Islam”.
Demikian beberapa makna “thariqat” dari segi bahasa.
Thariqat Menurut Kalangan Sufi
Adapun “thariqat” menurut istilah ulama tasawuf :
1. “Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan Tasawuf.”
2. “Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan.”
Berdasarkan beberapa definisi yang tersebut di atas, jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan
atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan
Tasawuf.3
Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.
1. Tarekat wajib , yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam.
Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa
yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui AlQuran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan
wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.
2. Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan
5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang
hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat
sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun
oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket
tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang
murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti
shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.4
Hubungan Tarekat Denagan Tasawuf
Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara tertentu
yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap klompok yang menjadi pengikut
3 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 1-6
4 http://penyebarislam.blogspot.com/2012/11/pengertian-tarekat-dan-sejarah.html diakses pada tanggal 06 Okt 2014
pukul 09,00 wib
6
salah seorang syekh tarekat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf itu secara umum adalah
usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkat tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang
dalam usahanya mendekatkan diri kepada allah.5
Tujuan Thariqat
Pada waktu kita berbicara tentang ilmu pengetahuan sufi dan tasawuf, sudah kita singgung
bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu empat tingkat sesuai dengan fitrah dan perkembangan
keyakinan manusia yatit syari’at, tarekat, hakekat dan ma’rifat. Meskipun ada golongan yang
membagikan ilmu bathin itu atas pembagian lain, misalnya atas hidayat dan nihayat, sperti yang kita
dapati pada penganut – penganut tasawuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al – Jauziyah, tetapi
pembagian yang kita jumpai adalah pembagian yang empat macam tersebut.
Dalam kehidupan sehari – hari kita dapati Sufi – sufi yang mengemukakan kepada murid –
muridnya mengambil misalnya thariqat atau hakekat saja, disamping ahli – alhi fiqh yang hanya
menekankan pelaksanaan Islam itu kepada melakukan syari’at saja.
Syeikh Najmuddin Al – Kubra, sebagai tersebut dalam kitab “Jami’ul Auliya” (Mesir, 1331M)
mengatakan syari’at itu merupakan uraian, thariqat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan
keadaan, dan ma’rifat itu merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan sebenar – benarnya.
Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syari’at dari air atau tanah, pada hakikatnya bersih dari
hawa nafsu, pada hakikatnya bersih hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma’rifat
terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syri’at saja, mengambil thariqat atau
hakekat saja. Ia memperbandingkan syari’at itu dengan sampan, thariqat itu itu lautan, dan hakekat itu
mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapan dan laut.
Oleh karena itu Syeikh Ahmad Al – Khamsyakhanuwi An – Naksyabandi, pengarang kitab yang
tersebut di atas, menyimpilkan bahwa syari’at itu apa yang diperintahkan, dan hakekat itu apa yang
dipahami, syari’at itu terpilih menjadi satu dengan hakekat, dan hakekat menjadi satu dengan syari’at.
Kedua ucapan orang suci itu sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan oleh Anas bin Malik :
“Barang siapa berfiqh saja, tidak bertasawuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawuf saja
meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, tetapi barang siapa mengerjakan kedua – duanya
dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq yaitu ahli hakekat.
Seorang ahli thariqat terbesar menerangkan bahwa sebenarnya thariqat itu tidak terbatas
banyaknya, karena thariqat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya
tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati,
jalan pelaksanaan segala ibadat (sepeti sembahyang, puasa, haji dan jihad), jalan melalui kekayaan
(seperti mengeluarkan zakat, dan membiayai amal kebajikan), jalan membersihkan jiwa dari
kebimbangan dunia akan ketamakan hawa nafsu (seperti khalwat, dan mengurangi tidur, mengurangi
makan minum), semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari’at dan sunnah Nabi.
Dalam hal ini Al – Junaid memperingatkan “semua thariqat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika
tidak menurut Sunnah Rasulnya”.
Maka oleh karena itu, tiap – tiap thariqat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima
dasar:
5 http://yuhazi.blogspot.com/2013/06/sejarah-dan-perkembangan-tarekat.html diakses pada tanggal 06 Okt 2014 pukul
09,00 wib
7
-
Pertama, menuntut ilmu untuk dilaksanak sebagai perintah Tuhan
-
Kedua, mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladaninya
-
Ketiga, meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan
-
Keempat, mengisi semua waktu dengan doa dan wirid
-
Kelima, mengekangi hawa nafsu dari pada berniat slah dan untuk keselamatan.6
Perkataan “tarikat” berasal dari bahasa Arab ( )الطرفةjamaknya ( )الطرأىقyang berarti jalan, keadaan,
aliran, dalam garis pada sesuatu. Dan kata “tarikat” ini telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia
dengan arti: (1). Jalan, (2). Jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf), ilmu tarikat, ilmu tasawuf, (3).
Cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan), (4). Sebagai persekutuan para
penuntut ilmu tasawuf.
Para ilmuan muslim memberikan defenisi “tarekat” dengan berbagai redaksi, antara lain seperti
dikemukakan berikut ini:
a. H. Abu Bakar Atjeh mengatakan: Tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melaksanakan
suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan
oleh sahabat dan tabi’in, turun menurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan
rantai berantai. Atau suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi kumpulan
kekeluargaan, yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna
memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam suatu
ikatan.
b. Harun Nasution, mengatakan bahwa Tarikat berasal dari kata Tariqah ( – الطرقةjalan) yaitu
jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Tarikat kemudian mengandung arti organisasi (tarikat), tiap tarikat mempunyai syekh, upacara
ritual dan bentuk zikir sendiri.
c. Hamka, mengatakan: maka diantara makhluk dan Khalik itu ada perjalanan hidup yang harus
kita tempuh. Ini lah yang kita katakan tarekat.
d. Syekh Al-Jurjani mengaatakan tarikat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang
yang berjalan (beribadat) kepada Allah dengan melalui pos (manazil) dan meningkat ketingkat
yang lebih tinggi yaitu stasiun-stasiun (maqomat).7
e. W. J. S. Poerwodarminto, memberikan definisi sebagai berikut: Tarekat (tarikat) (1) jalan, (2)
jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf); ilmu tarekat, ilmu tasawuf, (3) cara atau aturan
hidup (dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan), (4) sebagai persekutuan para penuntut
ilmu tasawuf.
f. E. St. Harahap, mengemukakan tarikat ialah jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama,
persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.8
Kaum Orientalist juga ada yang tertarik mempelajari “tarekat”, dan memberikan defenisi “tarekat”
itu sebagai berikut:
a. J. Spencer Trimingham, mengemukakan: Tarikat adalah suatu metode praktis untuk menuntun
(membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan,
6 Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo, Ramadhani : 1996) hlm. 70-72
7 Drs. H. Mizwar, MA., H. Pangulu Abd. Karim Nasution, Lc., MA. Akhlak Tasawuf, (Medan:Cita Pustaka Media
Perintis,2013), hlm. 107-112.
8 Drs. H. Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Sumatera
Utara, 1983), hlm. 257-258.
8
terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqomat) untuk
dapat merasakan Haqiqat yang sebenarnya.
b. Hargibb, mengemukakan: Pada abad ke IX dan X sesudah masehi. Tarikat adalah suatu cara
psykologi moral untuk mengendalikan secara praktis dari individu-individu yang mempunyai
suatu sebutan mistik. Setelah abad ke XI, tarikat menjadi sekumpulan sistem tentang upacaraupacara latihan kejiwaan yang tergabung untuk kehidupan bersama dalam keanekaragaman
keagamaan orang Islam yang mulai dijumpai pada waktu ini.
Dari beberapa ungkapan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian “tarikat” adalah
hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan/cara
tertentu, dan bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dalam perkembangannya tarikat itu
kemudian digunakan sebagai nama sekelompok mereka yang menjadi pengikut bagi seorang Syekh
yang mempunyai pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada Allah dan cara memberikan
tuntutan dan bimbingan pada muridnya. Dalam memberi nama suatu kelompok yang terikat dengan
suatu ajaran tertentu dalam mendekatkan diri kepada Tuhan itu dan dalam cara memberikan latihanlatihan selalu dinisbahkan kepada nama seorang Syekh yang dianggap mempunyai metode tertentu (
)طريقةdan pengalaman yang khusus ()خبرة.
Maka di dalam prakteknya dalam suatu tarikat ditemuilah adanya guru yang digelari dengan
Mursyid atau Syekh. Wakilnya digelari Khalifah dan sejumlah pengikutnya disebut murid. Sedangkan
tempat untuk latihan disebut kibath atau zawiyah atau taqiyah dan dalam bahasa Persia disebut
Khanaqah. Dalam hal ini peranan Syekh (Mursyid) sangat menentukan terhadap muridnya.
Dari unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari “tarikat” adalah agar
para pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin dengan Allah sesuai
bimbingan guru atau mursyid.9
Secara harfiah, tariqah berarti jalan, mempunyai arti sama dengan syari’ah. Banyak kosa kata
yang dapat diartikan dengan jalan, seperti sabil, sirat, manhaj, atau minhaj, suluk, atau maslak, nusuk
atau mansak. Jadi tarekat yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “tariqah” memiliki banyak pengertian,
satu diantaranyaseperti dikemukakan di atas yakni jalan, sedangkan dalam bahasa Indonesia bermakna
jalan menuju kebenaran.
Dari segi terminologi, pengertian tarekat dapat dilihat dari ungkapan Zamakhsyari Dhofier yang
mengartikannya sebagai suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan islam tradisional) yang
melakukan amalan-amalan zikir tertentu dan menyampaikan sumpah yang formulanya telah ditentukan
oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Sementara itu, Trimingham mendefinisikan tarekat sebagai
suatu metode praktis untuk menuntun membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan
pikiran dan tindakan, yang terkendali secara terus menerus kepada suatu rangkaian tingkatan
(maqamat) untuk dapat merasakan hakekat yang sebenarnya.
Pengertian yang hampir sama dikemukakan Al-Jurjani yaitu jalan atau tingkah laku tertentu bagi
orang-orang yang berjalan (beribadah) kepada Allah melalui pos (manazil), hingga sampai kepada
tingkat lebih tinggi yang disebut stasiun (maqamat). Harun Nasution mendefenisikan tarekat sebagai
jalan yang harus ditempuh sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, yang kemudian
mengandung arti organisasi, Syekh, upacar ritual dan bentuk zikir sendiri.
9 Drs. H. Mizwar, MA., H. Pangulu Abd. Karim Nasution, Lc., MA. Akhlak Tasawuf, (Medan:Cita Pustaka Media
Perintis,2013), hlm. 107-112.
9
Pengertian lain tentang tarekat dikemukakan Abbas Husayn Basri, yaitu sebuah jalan yang
ditempuh berdasarkan syariat Allah dan peraturannya, mengikuti perintah Rasul saw yang datang
dengan segala petunjuk dan cahaya kebenaran.10
Ath-Tharieq (jalan) adalah mengutamakan perjuangan, menghapuskan sifat-sifat yang tercela,
memutuskan segala hubungan duniawi serta maju dengan kemauan yang besar pada Allah. Dan
berhasilnya yang demikian itu karena Allah. Dan hasilnya yang demikian itu karena Allah telah
memimpin dan memelihara hati hambaNya dengan memberinya cahaya ilmu.
Jika Allah telah memberi petunjuk pada sanubari seseorang, niscaya akan berlimpah atasnya
rahmat, bersinarlah cahaya didalamnya, akan lapanglah dadanya, akan terungkap baginya rahasia
kerajaan langit dan tersingkaplah dari hatinya tabir kelengahan dengan kelembutan rahmat dan
berkilauan baginy ahakikat-hakikat masalah illahi.
Maka tiada hal lain baginya kecuali bersiap sedia untuk mensucikan diri secara mutlak,
menghadirkan semangat disertai kemauan yang benar, keimanan yang sempurna, dan senantiasa
bersabar menanti rahmat yang akan diberikan Allah Ta’ala kepadanya.
Telah terungkap persoalan itu bagi para nabi, dan para wali. Dimana dad mereka diliputi cahay
abukan dengan belajar atau mengkaji maupun menulis berdasarkan kitab-kitab tetapi dengan zuhud
kepada dunia dan membersihkan diri dari hawa nafsunya dan dari segala yang bisa membuatnya lalai,
dan mengkonsentrasikan diri kepada Allah. Maka barang siapa yang berbuat sesuatu untuk Allah
niscaya Allah menjadi untuknya.
Mereka telah menganggap bahwa jalan dalam hal itu pertama-tama adalah memutuskan hubungan
yang bersifat duniawi, mengosongkan hati dengan menyirnakan kemauan terhadap keluarga, harta,
anak, tanah air, dan dari imu, kekuasaan, kedudukan, bahkan hati sanubari beralih menjadi satu
keadaan dimana ada dan tidaknya akan merasa sama.11
Dalam tasawuf jalan menuju Tuhan mereka namakan thariqah, kata inggrisnya the path.
Para mistikus dalam setiap suku bangsa ataupun agama umumnya menyimbolkan pengembaraan
spiritual mereka sebagai suatu perjalanan. Wlaupun adapula simbol-simbol lain namun perjalanan
merupakan simbol yang lebih umum. Para sufi yang sedang rindu mengembara ,mencari tuhan
menyebut dirinya sebagai pengembara (salik, musafir). Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke
tingkat diatasnya. Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka namakan maqamat atau
stasiun. Jalan yang mereka tempuh mereka namakan thariqah. Sedang tujuan akhirnya adalah mencapai
penghayatan fana fi’llah. Yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudera illahi. Tarekat atau
jalan tasawuf itu begitu penting hingga ilmu tasawuf sering dinamakan ilmu suluk. Dalam kepustakaan
jawa ajaran mistik yang diungkapkan dalam bentuk tembang (puisi) dinamakan sastra suluk.
Tarekat (thariqah) itu pada dasarnya takterbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya
harus mencari dan merintis jalannya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuan ataupun taraf
kebersihan hati mereka masing-masing.12
10 Dr. H. L. Hidayat Siregar, MA., Tarekat Doktrin dan Sejarah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hlm. 14-16.
11 Dr. Abdul Halim Mahmud., Ihwal Tasawuf Analisa almunqidz Minadhdhalai Selamat Dari Kesesatan, (jakarta: Daarul
Ihya Indonesia, 2004), hlm. 81.
12 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, cetakan 2, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.39-40.
10
Thariqah dan Haqiqah yang menjadi bagian pengetahuan sufi, merupakan bagian dari Syariah,
karena akan membantu mewujudkan bagian ketiga, yakni ketulusan. Oleh sebab itu hal hal tersebut
dikaji karena ingin mengutuhkan Syariah dan bukan untuk mencapai sesuatu diluar syariah. Tergiur dan
ektase yang biasa dialami oleh sufi, dan gagasan-gagasan tentang kebenaran yang datang ketika mereka
mengarungi perjalanan rohaniyahnya, bukanlah tujuan sufi. Hal hal tersebut tak lain hanyalah mitos
dan kegembiraan bagi “anak-anak” sufi. Apabila seseorang telah melampauinya kemudian mencapai
tahap kepuassan (ridha), yang merupakan tujuan terakhir dari suluk dan jadzbah. Tujuan melewati
seluruh lintasan thariqah dan haqiqah tiada lain hanyalah untuk mewujudkan ikhlas yang memang
muncul dalam pencapaian ridha. Hanya satu dari antara ribuan sufi yang dikaruniai dengan tiga
iluminasi, dan penglihatan makrifat, mencapai ikhlas dan kemudian naik menuju ridha.13
Para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam stasiun-stasiun
(maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal). Perbedaan anatara keduanya adalah maqamat dicapai melalui
usaha yang sadar dan sistematis, sedangkan ahwal adalah keadaan-keadaan jiwa yang datang secara
spontan, sebagai hadiah dar Tuhan, dan umumnya berlangsung relatif cepat dan tidak bertahan lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang sufi dalam tarekatnya, intensitas dan
kecepatan perjalananpun bisa berbeda-beda. Ali nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik
Rumi seperti burung Rajawali yang bisa dengan cepat tiba di tangan si Raja, sedangkan perjalanan
spiritual Farid al-Din digambarkan merayap seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan seorang
sufi bermikraj ke Arsy dalam sekejap sang zahid memerlukan sebulan untuk sehari perjalanan.14
2. Sejarah lahirnya Tarikat
Lahirnya tarekat tidak terlepas dari keberadaan tasawuf secara umum, terutama peralihan tasawuf
yang bersifat personal kepada tarekat sebagai suatu organisasi, yang merupakan perkembangan,
pengamalan serta perluasan ajaran tasawuf. Kajian tentang tarekat sendiri tidak mungkin dilakukan
tanpa kajian tasawuf. Dalam perspektif tertentu tarekat dapat dilihat sebagai perkembangan lanjutan
dari tasawuf. Dari perspektif lain, tarekat adalah praktek yang terstruktur dari prinsip-prinsip dan
doktrin-doktrin tasawuf; atau ringkasnya tasawuf adalah aspek teoritis sementara tarekat adalah aspek
praktisnya.
Dalam konteks ini, Trimingham berpendapat bahwa perkembangan tasawuf menjadi tarekat
mengalami proses panjang yang dapat dibagi kedalam tiga tahapan:
Tahapan pertama (khanaqah). Abad kencana mistisme. Guru dan majelis muridnya, yang sering
kali berpindah-pindah tempat, mempunyai aturan yang minimum untuk menempuh kehidupan biasa,
menjurus pada abad ke-10 ke arah pembentukan pondok-pondok yang seragam dan tidak khusus.
Bimbingan dibawah seorang guru menjadi prinsip yang diterima.
Tahapan kedua, (tariqah). Abad ke-13, zaman seljud. Periode formatif 1100-1400M. Transmisi
doktrin, aturan dan metode. Perkembangan-perkembangan mazhab mistisme yang bersinambung.
Silsilah-tariqah, yang berasal dari seseorang yang tercerahkan. Meyesuaikan dan menjinakkan
semangat mistikal dalam sufisme yang terorganisasi kepada standar tradisi dan legalisme.
Perkembangan tipe-tipe baru metode kolektif untuk menumbuhkan ektase.
Tahapan ketiga (ta’ifah). Abad ke-15, zaman pembentukan kemaharajaan Ottoman. Transmisi
baiat bersama-sama doktrin dan aturan. Sufisme menjadi suatu gerakan yang popular.
Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang pertama adalah sebagai
berikut:
13 Anshari, Muhammad Abdul Haq, Antara Sufsme dan Syariah, cetakan ke 2, (Jakarta:PT.Grafindo Persada, 1993), hlm.
271-272.
14 Mulyadi Kartenegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 16.
11
1. Perumusan ajaran masih bersifat individual. Dalam tahapan pertama ini ajaran-ajaran tasawuf
masih merupakan gagasan-gagasan yang melekat pada seseorang individu. Dengan demikian
belum dikenal adanya mazhab atau aliran dalam konteks ajaran tasawuf.
2. Pengikut menjalani kehidupan moral. Para pengikut tasawuf pada prinsipnya tidak terbedakan
dari masyarakat pada umumnya, kecuali bahwa kebanyakan pengikutnya yang awal memang
berasal dari kelompok elit masyarakat. Namun, mereka bukanlah kelompok yang tersendiri,
apalagi eksklusif dari masyarakat umum. Pada tahapan ini tasawuf tidak membuat garis
pembeda antara pengikutnya dengan yang bukan pengikut.
3. Aturan-aturan masih sederhana. Apa yang dikenal sekarang ini didunia tasawuf dalam bentuk
aturan-aturan yang sangat banyak dan rumit, sama sekali belum muncul pada tahapan
perkembangan pertama ini.dalam tahapan ini meskipun ada aturan, namun masih sangat
sederhana. Aturan-aturan yang paling utama pada umumnya bersifat moral-etis dan tak
menyentuh persoalan-persoalan teknis sebagaimana kemudian muncul belakangan hari.
4. Metode utama adalah kontemplasi individual. Metode yang paling menonjol pada awal
perkembangan tasawuf adalah kontemplasi pribadi. Metode ini mengasumsikan pemahaman
dan kemampuan individual yang relatif baik. Dengan demikian tasawuf dijalani sebagai suatu
upaya pendakian personal menuju kedekatan kepada Allah swt. Seseorang dengan dirinya
sendiri mencoba melakukan perenungan mendalam dan dengan itu dia mengalami
transformasi dan pencerahan spiritual yang diharapkan.
Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang kedua adalah sebagai
berikut:
1. Mulai munculnya transmisi doktrin, metode, dan aturan secara sinambung, dengan
menempatkan satu tokoh sebagai central figure. Mulai teridentifikasi secara nyata usaha yang
sistematis untuk mewariskan doktrin, metode dan aturan-aturan, dan sebagai bagian dari itu
muncul pula upaya pembakuan.
2. Popularisasi. Oleh karena adanya pewarisan yang terencana, maka muncullah fenomena
popularisasi. Tasawuf/tarekat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat grass root, bukan
lagi beredar hanya dikalangan elite semata. Tasawuf menjadi sesuatu yang biasa diamalkan
oleh siapa saja.
3. Standarisasi, mazhab. Sebagai akibat dari popularisasi maka kemampuan intelektual/spiritual
dari kelompok penganut tasawuf/tarekat menjadi sangat bervariasi, mulai dari yang sangat
tinggi sampai yang sangat rendah. Keadaan ini memunculkan kepentingan akan adanya
standarisasi ajaran yang kemudian membentuk mazhab-mazhab tasawuf/tarekat.
4. Munculnya metode-metode komunal yang standarisasi.kemampuan yang bervariasi dan
jumlah penganut yang semakin besar melatar belakangi perlunya metode-metode yang tidak
hanya terstandarisasi, tetapi sekaligus dapat difungsikan secara berkelompok, secara komunal.
Dengan demikian mulailah fenomena kelompok/jamaah dalam kegiatan tarekat.
Karakteristik-karakteristik terpenting untuk tahapan perkembangan yang ketiga adalah sebagai
berikut:
1. Popularisasi berlanjut. Semakin hari tasawuf/tarekat semakin digandrungi oleh hampir semua
lapisan masyarakat. Elitisme dalam tarekat menghilang sama sekali dan menjadi sebuah
fenomena grass root. Dalam kenyataannya tarekat malah menjadi lebih lekat pada kehidupan
keagamaan popular dan berbasis masyarakat bawah.
2. Pecahnya mazhab ke dalam cabang-cabang yang banyak. Sebagai bagan dari popularisasi ini
maka tarekat kemudian terpecah kedalam aneka cabang mazhab. Dari beberapa menjadi
12
sangat banyak. Beberapa di antara cabang mazhab ini sesungguhnya sulit dibedakan dari
induknya, kecuali sekedar formalitas atau pembeda-pembeda yang superfisial saja sifatnya.
Ada juga cabang yang menggabungkan beberapa aspek dari dua atau lebih mazhab yang sudah
ada dan popular lebih dahulu.
3. Bay’at komunal. Popularisasi juga semakin mendorong ‘pentingnya’ kesetiaan; dan
pencabangan mazhab meniscahyakan kejelasan afiliasi. Dalam konteks inilah kemudian
muncul perlunya bay’at. Jumlah pengikut yang besar memunculkan yang bay’at komunal,
yaitu pernyataan kesetiaan kepada guru-mursyid secara bersama-sama.
4. Kultur individual. Pada tahapan ini juga muncul satu karakteristik yang nantinya menjadi
salah satu topik kontoversial dalam diskursus tentang tarekat, yakni kultus individual.
Penghormatan yang ‘berlebihan’ kepada pemimpin tarekat antaralain dimungkinkan karena
semakin popularnya tarekat dan pengikutnya yang semakin banyak berasal dari kalangan
grass root tadi. Begitu pun terlepas dari kontoversi yang ada, kultur individual ini menjadi
salah satu tema paling populae berkaitan dengan tarekat.15
Karena tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka orang yang menjalankan
Syariat dan simurid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Syariat agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan melaksanakan
perintah guru.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan
serta kekhusukan dalam mencapai maqomat (stasion) yang lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Dari unsur-unsur pokok di atas terlihat bahwa tujuan yang sebenarnya dari tarikat adalah agar para
pengikut yang tergabung di dalamnya dapat berada sedekat mungkin sesuai dengan bimbingan seorang
guru atau mursyid.
Pelaksanaan tarikat itu diantaranya melalui:
a. Zikir, yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan dengan
namanya lisan. Zikir berfungsi sebagai alat kontrol bagi hati dan perbuatan agar jangan sampai
menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah. Oleh sebahagian ada juga yang
membedakan zikir itu dengan zikir lisan (lisan), zikir qalbu (hati), dan zikir sirr (rahasia).
b. Ratib, yaitu mengucap ( )لاله الاللهdengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c. Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyibunyian,seperti memukul rebana.
d. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk
menimbulkan sesuatu kekhidmatan.
e. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.
Secara umum dasar-dasar dari semua tarikat dapat disimpulkan dalam lima hal:
1.
2.
3.
4.
5.
Menuntut ilmu untuk menegakkan perintah.
Cinta kepada syekh dan persaudaraan untuk dapat mendapatkan penglihatan yang tajam.
Meninggalkan rukhsah dan takwil untuk memelihara keutamaan.
Mengisi waktu dengan wirid-wirid untuk selalu menghadirkan Tuhan dalam hati.
Mencurigai diri dari segala sesuatu agar dapat keluar dari hawa nafsu.
15 Ibid, h. 5-14
13
Syekh-syekh tarikat yang mempunyai murid-murid fan tarikatnya yang terus berkembang pada
umumnya harus memenuhi lima syarat:
1.
2.
3.
4.
5.
Perasaan yang tajam.
Ilmu yang betul.
Cita-cita yang tinggi.
Kepribadian yang disenangi.
Mempunyai pandangan yang menyelamatkan.
Selanjutnya seorang muridpun tidak hanya sekedar berguru, tetapi harus menjaga adab terhadap
syekhnya agar ilmu yang didapat dari syekh itu dapat dihayati. Adab-adab tersebut adalah:
1. Mengikuti segala perintah Syekh meskipun bertentangan dengan pendapatnya.
2. Menjauhi larangan Syekh meskipun disenanginya.
3. Menjaga kehormatan Syekh baik dihadapan maupun dibelakang Syekh, diwaktu hidupnya
atau sesudah matinya.
4. Menegakkan hak-hak nya sedapat mungkin dengan tidak bersia-sia.
5. Mengenyampingkan akalnya, ilmunya dan kepemimpinannya kecuali dalam hal-hal yang
sesuai dengan perintah Syekhnya.
Disamping itu pula setiap murid mempunyai tugas-tugas yang tidak boleh dilupakannya, yaitu:
1. Tetap bertaqwa dengan meninggalkan yang dilarang dan memelihara kewajiban.
2. Beramal denga segala sesuatu yang dapat menyebabkan kesempurnaan jiwa dan taqwa.
3. Senantiasa hati-hati terhadap sesuatu dan sumber-sumbernya.
4. Berteman dengan orang-orang yang mempunyai ma’rifat dan ilmu.
5. Berusaha untuk menjauhi orang-orang yang mengejar kemewahan dan keduniawian.
6. Menjaga adab.
7. Menunaikan waktu sesuai dengan hak-haknya.
8. Bahwa engkau tidak melihat di alam ini kecuali dirimu dan tuhanmu, dengan sikap
muraqabah..
9. Menjauhkan diri dari sikap terpaksa dalam segala gerakan.
10. Mengisi hati dengan sesuatu yang menghidupkannya dan menjauhkan lawan-lawannya:
a. Senantiasa mengingat bahwa engkau adalah perantauan di dunia.
b. Senantiasa mengingat maut yang datangnya tiba-tiba.
c. Senantiasa mengingat keliaran hati.
d. Senantiasa mengingat bahwa engkau berada di hadapan Allah SWT.16
3. Perkembangan Tarikat
Pada masa permulaan Islam, hanya terdapat dua macam thariqat, yaitu :
1. Thariqat Nabawiah, yaitu amalan yang berlaku di masa Rasulullah saw yang dilaksanakan
secara murni. Dinamakan juga dengan “Thariqat Muhammadiah” atau “Syari’at”.
2. Thariqat Salafiah, yaitu cara beramal dan beribadah pada masa Sahabat dan Tabi’in dengan
maksud memelihara dan membina Syari’at Rasulullah saw. Dinamakan juga dengan “Thariqat
Salafus Saleh”.
Sesudah abad ke – 2 H, thariqat Salafiah mulai berkembang secara kurang murni.
Ketidakmurniannya itu antara lain disebabkan pengaruh filsafat dan alam pikiran manusia telah
16 Drs. H. Hasbi AR, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Sumatera
Utara, 1983), hlm. 260-263.
14
memasuki negara – negara Arab, seperti filsafat Yunani, India, dan Tiongkok, sehingga pengalaman
thariqat Nabawiah dan Salafiah telah bercampur aduk dengan filsafat.
Sejumlah kitab – kitab filsafat asing di salin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sesudah
abad ke – 2 H itu muncullah thariqat Sufiah yang diamalkan orang – orang sufi, dengan tujuan untuk
kesucian melalui empat tingkat :
1. Syari’at, mengetahui dan mengamalkan ketentuan – ketentuan Syari’at, sepanjang yang
menyangkut dengan lahiriah.
2. Thariqat, mengerjakan amalan hati dengan akidah yang teguh sepanjang yang menyangkut
dengan batiniah.
3. Hakikat, cahaya musyahadah yang bersinar cemerlang dalam hati dan dengan cahaya itu dapat
mengetahui hakikat Allah dan rahasia alam semesta,
4. Ma’rifat, tingkat tertinggi dimana orang telah mencapai kesucian hidup dalam rohani, memiliki
pandangan tembus (kasyaf) dan mengetahui hakikat dan rahasia kebesaran Allah.
Orang Sufi menganggap bahwa Syari’at untuk memperbaiki sesuatu yang lahir (nyata), Thariqat
untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan Hakikat untuk memperbaiki segala rahasia
yang ghaib – ghaib.
Tujuan terakhir dari ahli Sufi ialah ma’rifat, yakni mengenal hakikat Allah, zat, sifat, dan
perbuatan – Nya. Orang yang telah sampai ke tingkat ma’rifat, dinamakan Wali, yang mempunyai
kemampuan luar biasa (khariqul lil’adah), disebut “keramat” atau super natural. Terjadi pada dirinya
hal – hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal menurut logika, baik di masa hayatnya maupun
sesudah matinya.
Syekh Abdul Qadir Jailani (471 H – 561 H/1078 – 1168 M) menurut pandangan orang Sufi
adalah Wali tetinggi, yang disebut “Quthubul Aulia” (Wali Wuthub). Gerakan thariqat baru menonjol
dalam dunia Islam pada abad ke XII M sebagai lanjutan dari kegiatan kaum Sufi terdahulu.
Kenyataan ini dapat ditandai dengan setiap silsilah thariqat selalu duhubungkan dengan nama
pendirinya dan tokoh – tokoh Sufi lainnya. Setiap thariqat mempunyai Syekh, kaifiat dzikir dan
upacara rituil. Biasanya Syekh atau Mursyid mengajar murid – muridnya di asrama latihan rohani yang
dinamakan “rumah suluk” atau “ribath”.
Mula –mula menonjol di Asia Tengah, Tibristan tempat kelahiran dan operasinya Syekh Abdul
Qadir Jailani, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Sa’udi dan smapai ke Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Tiongkok.
Kemudian pada abad ke XII itu muncul pula thariqat Rifaiah di Maroko dan Aljazair, thariqat
Sahrawadiah dan lainnya yang berkembang di Afrika Utara dan Afrika Tengah, seperti di Sudan dan
Nigeria.
Perkembangan itu begitu cepat melalui murid – murid yang telah diangkat menjadi Khalifah,
mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri – negeri Islam. Dan adapula melalui pedagang –
pedagang.
Organisasi thariqat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, sebagaimana
dikatakan H. R. Gibb dala “An Interpretation of Islamic History”, bahwa sesudah direbutnya Khalifah
15
oleh orang – orang Mongol pada tahun 1258 H, maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat
Islam beralih ke tangan kaum Sufi.
Peranan ahli thariqat dalam percaturan politik di Turki pada masa pemerintahan Ottoman I (1299
– 1326 M) cukup besar. Demikian pula di Sudan, Afrika Utara dan afrika Tengah, Tunisia, dan di negeri
kita Indonesia, tempo dulu ahli thariqat memegang peranan penting dalam perjuangan melawan
penjajahan Barat.
Dalam proses Islamisasi Indonesia, sebahagian adalah atas usaha dari kaum Sufi dan mistik
Islam. Sehingga pada waktu itu pemimpin – pemimpin agama Islam di Indonesia bukanlah ahli –ahli
Teology (Mutakallimin) dan ahli hukum (Fuqaha’), tetapi juga Syekh – syekh thariqat dan guru – guru
suluk.
Salah seorang pemuka Thariqat Naqsabandiyah yang telah berjasa bagi perjuangan bangsa dalam
merebut kemerdekaan lahir dan batin, adalah Syekh Abdul Wahab Rokan Al – Khalidi Naqsabandi
(1811 – 1926) yang terkenal dengan panggilan “Tuan Guru Babussalam Langkat”. Pusaranya di desa
Babussalam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.
Ia adalah murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi dan belajar kepadanya selama 6 tahun di Mekkah.
Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan thariqat di beberapa kerajaan, seperti di
wilayah kerajaan Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Khalifah – khalifah beliau yang giat mengembangkan
thariqat Naqsabandiyah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah – rumah suluk dan peribadatan,
di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan dan beberapa negeri di Thailand.
Besarnya pengaruh ahli thariqat itu, diakui oleh Massignon, sebagai berikut :
“Thariqat tidaklah bisa di kesampingkan begitu saja, dan meskipun nilai rata – rata dari
moralitasnya berada jauh sekali di bawah contoh – contoh yang agung dari Sufiah yang pertama,
sebahagian besar dari mereka tidak pernah berhenti dari memainkan peranan di dalam kehidupan
sehari – hari dan meskipun mereka sangat sederhana, akan tetapi berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat Islam.17
Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII yaitu dimulai
pertama kali oleh Hamzah fansuri (w.1610) dan muridnya syamsudin as sumatrani (m.1630) akan tetapi
keduanya tidak meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus menerus. Baru kemudian
setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan tarekat Syattariyah di Aceh pada 1679M,
organisasi tarekat ini menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui hubungan silsilah
guru murid sampai keberadaan daerah di Indonesia.18
Sikap zuhud dan kerohanian yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadist-hadist serta dicontohkan
dalam perilaku oleh Rasulullah Muhammad SAW bersama-sama sahabat-sahabatnya, belakangan
semakin dikembangkan oleh ulama-ulama Islam dalam bentuk tipe baru yang diberi nama tasawuf dan
pengikutnya disebut mutashawwifun atau sufi. Dengan timbulnya gerakan zuhud dalam bentuk tipe
baru ini, mengakibatkan tipe dan coraknya (sedikit banyaknya) menjadi berbeda satu sama lain antara
masing-masing ulama yang mengembangkannya.
17 H.A. Fuad Said,Hakekat Tarekat Naqsabandiyah (Jakarta, Percetakan Mutiara Suber Widya: 1996) hlm. 9-12
18 Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat:Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,
2006), hlm. 62
16
Selanjutnya para ulama yang mengembangkan tasawuf ini, disebabkan perilakunya yang zuhud
(tidak mementingkan na