Makalah Fisafat dan Metode Pendidikan

PENDAHULUAN

Islam diturunkan tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (habl
min Allah) melalui sitem ibadah ritual, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya (habl min al-nas), serta berbagai aspek kehidupan, seperti sosial,
ekonomi, politik, militer, ketatanugaraan, hukum, budaya, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun demikian, sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an yang memuat berbagai
ajaran tersebut tampil dalam bentuk isyarat-isyarat yang apabila ingin diterapkan dalam
kehidupan membutuhkan penjelasan. Adapun perincian sistem dan konsep pengaturan
serta metodenya bersifat compatible sesuai dengan perkembangan zaman dan budaya di
mana Islam itu hadir (al- Islam shalihun likulli zaman wa makan).
Kaitan dengan pengaturan hubungan itu adakalanya didapatkan dalam al-Qur'an
secara jelas dan konkrit. Manakala belum, al-Hadist akan mengurai dengan jelas dan
gamblang. Jikapun belum jelas maka ijtihad menjadi solusinya. Tentang diperkenalkan
atau diperintahkannya melakukaan Ijtihad tersebut, dapat juga dipahami dari sekian
banyak al-Qur'an yang memerintahkan manusia beripikir (menggunakan akal sehatnya).
Diperintahkannya Ijtihad dapat dipahami dari hadist Rasulullah SAW yang
berisi dialog beliau dengan sahabatanya Mu'adz bin Jabal, 1 ketika Nabi mengangkat dia
menjadi Gubernur di Yaman. Dialog ini selengkapnya berbunyi :
Nabi


: "Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang dibawa orang
kepadamu?"

Mu'adz

: "Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur'an)"

Nabi

: "Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu
mengenai soal itu?"

Mu'adz

: "Jika begitu, hamba akan memutuskan menurutSunnah Rasulullah."

Nabi

: "Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam
Sunnah Rasulullah?"


1 Hadist Riwayat Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud

1

Mu'adz

: Hamba akan menggunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu bi
ra'yi), tanpa bimbang sedikitpun."

Nabi

: "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan
Rasul-Nya menyenangkan hati Rasulullah."
Demikian Ijtihad sangat diperlukan, karena ia dapat menopang risalah Islam

yang abadi. Ijtihad menjadi bukti bagi manusia, bahwa Islam selalu memberikan pintu
terbuka buat intelek manusia yang selalu berusaha mencari kebenaran dan kebaikan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Ijtihad dalam Islam bukan
saja diperkenankan melainkan diperintahkan.


2

PEMBAHASAN
I. Ijtihad
A. Pengertian
Ijtihaad (di Indonesiakan menjadi Ijtihad) adalah sumber syariat Islam yang
ketiga. Kata Ijtihad berasal dari kata Jahd yang artinya berusaha keras atau
berusaha sekuat tenaga.2Dalam arti yang sempit ijtihad, seperti oleh Imam AlSyafi'I ialah Ijtihad dengan Qiyas sama artinya, 3 yaitu membandingkan sesuatu
hukum kepada sesuatu hukum yang lain.
Dalam arti yang luas seperti apa yang ditetapkan oleh Para Ulama Ushul bahwa
Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum
syara' dari kitabullah dan hadis Rasul.4 Menurut Yusuf Qardhawi ijtihad adalah
usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syari'at dari dasar-dasarnya
melalui pemikiran dan penelitian serius.5

B. Fungsi Ijtihad
Ijtihad berfungsi dalam dua hal :6
Pertama, menjelaskan nash-nash yang tegas tidak menyebutnya. Ketidaktegasan
agama menyebutkan persoalan ini memang sengaja dilakukan, sebagai rahmat

kepada umat-Nya. Dengan demikian, para Mujtahid dapat leluasa memberikan
interpretasinya dan merealisasikannya sesuai dengan kehendak agama melalui
proses ijtihad, analogi, maslahah mursalah, istishan dan sebagainya.
Seperti diketahui, ada sebagian bidang hukumnya telah ditegaskan dan dirinci
oleh Nash. Misalnya dalam bidang ibadah dan urusan keluarga. Diluar bidang itu,
teks-teks hukum tidak menyebutkannya secara tegas dan rinci, ia hanya bersifat
umum atau global. Untuk bidang-bidang ini realisasinya dilakukan oleh pemikiran
2 Maulana Muhammad Ali, Islamologi (DarulKutubil Islamiyah : Jakarta, 1989)hal. 83
3 TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar hukum Islam(bulan Bintang Jakarta:1983) hal.
63
4 Ibid, hal 64
5 Yusuf Qardhawi, Dasar pemikiran hukum Islam(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987) hal
74
6 H. Ansori. SH, Tim dirasah Islamiyah UID (Jakarta : PT. Pamator,1999) hal 158

3

dan penelitian para ahli dengan melandasi diri dengan dasar-dasar umum syari'at
Islam. Misalnya mengenai permusyawaratan, sistem pemerintahan, aturan
perundang-undangan.

Kedua, menjelaskan teks-teks Nash Zhanni. Teks-teks hukum seperti ini
merupakan bidang garapan para mujtahid. Sebab sembilan persepuluh dari seluruh
teks agama yang ada memberikan kemungkinan untuk dikaji oleh nalar manusia
dan mengundang untuk berbeda pendapat.7 Misalnya, masa iddah wanita yang
ditalak suami dalam Al-qur'an (QS.2:228) diistilahkan dengan Quru'. Syafi'iyah
memaknainya dengan tiga kali suci. Hanafi berpendapat tiga kali haid.8
C. Kriteriadan Tingkatan Mujtahid
1. Kriteria Mujtahid
Seseorang yang ingin menjadi Mujtahid, ia harus memenuhi beberapa
kriteria/persyaratan yaitu : 9
1. Mengetahui nash Al-qur'an dan Sunnah
2. Mengetahui bahasa Arab
3. Mengetahui Qiyas
4. Mengetahui Maqasid al- Ahkam
Disamping persyaratan ilmiah di atas, syarat lainnya seperti yang
dikemukan oleh yusuf Qardhawi ,10seseorang Mujtahid harus memiliki moral
yang tinggi. Ia harus memiliki sifat-sifat terpuji, taqwa (merasa bahwa
keputusan yang diambilnya senantiasa diawasi oleh Allah), dan sadar bahwa
kedudukannya sebagai pemberi fatwa adalah menggantikan kedudukan Nabi.
Sebab itu, ia tidak bisa memutuskan segala sesuatunya berdasarkan

keinginannya sendiri, dan tidak menjual agamanya untuk kepentingan dunia.
2. Tingkatan Mujatahid

7 H. Ansari, hal 159
8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I(Ciputat : Logos wacana ilmu, 1997), hal 108
9 H. Anshari, hal 159
10 Yusuf Qardhawi, hal 163

4

Menurut Yusuf Qardhawi,11 ada beberapa tingkatan Mujtahid diantaranya
adalah :
a. Mujtahid Mutsaqil
Mujtahid Mutsaqil adalah Mujtahid yang sangat mandiri dalam melakukan
kajian ijtihadnya. Berijtihad dengan menggunakan kaidah-kaidah sendiri,
dan dia merumuskan dasar-dasar pemikiran yang menjadi asas dalam
perumusan kaidah-kaidah itu. Mereka ini adalah para Mujtahid salaf yang
telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh.
b. Mujtahid Mutlaq yang Tidak Mutsaqil
Pada tingkatan ini, Mujtahid tidak melahirkan kaidah-kaidah sendiri tetapi

hanya mengikuti kaidah-kaidah imamnya. Mujtahid seperti ini diantaranya
Abu yusuf dan Al-Syaibani dari kalangan Hanafiyah. Ibnu Al-Qasim dan
Asyhab dari Malikiyah. Al-Muzani dari Syafi'iyah.
c. Mujtahid Takhrij
Mujtahid ini adalah mereka yang sangat terikat dengan kaidah-kaidah
imamnya. Mereka tidak melakukan kritik terhadap imamnya dan tidak
melahirkan kaidah-kaidah baru dalam berfatwa. Mereka ini, sering juga
disebut sebagai Mujtahid fi al-madzhab.
d. Mujtahid Tarjih
Mujtahid ini adalah merekayang tidak tergolong kelompok satu, kedua dan
ke tiga, tapi dia menguasai ilmu fiqh dengan baik, menguasai mazhab
imamnya, memahami dalil-dalil yang menjadi dasar fiqhnya serta mampu
mengaplikasikan kaidah-kaidahnya.
e. Mujtahid Fatwa
Mujtahid Fatwa adalah mereka yang cukup menguasai fatwa-fatwa fiqh
imamnya, tapi kurang menguasai kaidah-kaidah ushulnya, sehingga tidak
mempunyai kecakapan dalam menerapkan kaidah-kaidah tersebut.
11 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta,: Rajawali Press :1994),
hal 117


5

Para Ulama Fikih zaman akhir berbicara tentang tiga derajat Ijtihad,

12

walaupun tentang hal ini tidak ada dalilnya dalam Al-qur'an dan Hadis.
Derajat/tingkatan Ijtihad ini adalah :
1. Ijtihad fi-sy syar'iyaitu Ijtihad tentang menbuat undang-undang baru, ini
hanya pada tiga abad permulaan dan praktis dipusatkan pada empat imam
mazhab.
2. Ijtihad fi-l mazhab adalah hanya dikaruniakan kepada murid langsung dari
Imam empat mazhab.
3. Ijtihad fi-l masail dapat dilakukan oleh Ulama Fiqh zaman kemudian,
yang dapat memecahkan soal-soal khusus yang diajukan kepada mereka.
Disamping pembagian derajat di atas, kita mengenal juga istilah Ijtihad
Konstektual.13Salah satu topiknya adalah tentang kebolehan melakukan
Homosexual serta kesamaan derajat lesbi dan bukan lesbi dimata Allah. Hal
ini dikemukan oleh Prof. Dr. Musdah mulia. Kecaman dan kritik terhadap
pendapat ini bagai arus sungai yang deras, baik dari kalangan masyarakat

maupun kalangan intelektual.14

II. Ilmu kalam
A. Pengertian
Ilmu Kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain : ilmu ushuluddin,
ilmu tauhid, dan teologi Islam.

15

Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini

membahas pokok-pokok agama, ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan
Allah SWT dan disebut dengan teologi Islam karena diambil dari istilah bahasa
Inggris, theology. Menurut William L. Reese theology berarti pemikiran
(diskursus) tentang Tuhan.16 Imam Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan
12 Maulana Muhammad Ali, hal 94
13 Adian Husaini, Virus Liberalisme(Jakarta, Gema Insani : 2009), hal 209
14 Kecaman dan kritik terhadap pendapat tersebut, bisa dibaca dalam buka Adian
Husaini, Virus leberalisme
15 Rosihan Anwar dkk, Ilmu Kalam(Bandung, Pustaka Setia: 2001), hal 13

16 William L. Reese, Dictionary of philosophy and religioan (USA,Humanities Press
ltd:1980), hal 28

6

Fiqh al-Akbar.

17

Menurut beliau Fiqh itu terbagi atas dua bagian. Pertama, Fiqh

al-Akbar membahas keyakinan atau pokok pokok agama. Atau ilmu Tauhid.
Kedua, Fiqh al-asyghar membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah
muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.
Disamping pengertian di atas, Para Ulama mendefinisikan ilmu Kalam dengan
berbagai pengertian. Musthafa Abdul Raziq berkomentar : ilmu kalam yang
berkaitan dengan akidah imani sesungguhnya dibangun di atas argumentasiargumentasi rasional. Al-Farabi mengatakan ilmu kalam adalah disiplin ilmu
yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin,
mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang
berlandaskan doktrin Islam.18Stering akhirnya adalah meproduksi ilmu ketuhanan

secara filosofis.
Berdasarkan beberapa definisi di atas ilmu kalam adalah ilmu yang membahas
berbagai masalah ketuhanan dengan mengunakan argumentasi logika dan filsafat,
secara teoritis aliran salaf tidak termasuk dalam aliran ini, karena salaf tidak
menggunakan argumentasi dan filsafat atau logika. Salaf dimasukkan ke dalam
ilmu tauhid saja.
B. Sumber-sumber Ilmu Kalam
Sumber-sumber Ilmu Kalam sebagai berikut :19
1. Al-qur'an, antara lain dalam Q.S.112 :1-4,20


 

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

17Rosihan Anwar dkk, hal 13
18 Ibid, hal 15
19 Ibid, hal 16
20 Depag, Al-qur'an dan Terjemahan

7

4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

2. Hadis. Hadis Nabi yang menjelaskan hakikat keimanan 21
3. Pemikiran Manusia
4. Insting
C. Sejarah Munculnya Persoalan Kalam
Menurut Harun Nasution,22 kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan 'Ustman bin Affan yang berbuntut
pada penolakan Mu'awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi thalib. Ketegangan antara
Mua'awiyah dan Ali mengkristal menjadi perang shiffin, yang berakhir dengan
keputusan tahkim (arbitrase).
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa
yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij
sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy'ari
adalah kafir berdasarkan Q.S. 4:44. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran
teologi dalam Islam, yaitu,
1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir,
dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad, dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji'ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap
mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah
kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Mu'tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka,
orang yang berdosa bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil
posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan
istilah al-manzilah baina manzilatain.

21 HR. Imam Bukhari dan Muslim
22 Harun Nasution, Teologi Islam(Jakarta, UI Press), hal 6

8

Seiring dengan itu dalam Islam timbul pula dua aliran teologi yang terkenal
dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah,
berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya.23
Disamping itu faktor yang melatarbelakangi munculnya persoalan kalam yang
lain adalah karena adanya faktor internal dan eksternal seperti yang dikemukakan
oleh A. Hanafi.24 Secara internal, Al-Qur'an sendiri disamping ajakannya kepada
Tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu,
menyinggung pula golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi
Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan yang tidak benar. Menghadapi
berbagai pandangan dan pemikiran tersebut, Allah memberikan bantahan dengan
alasan yang menyakinkan, dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar
menjalankan dakwahnya dengan mengemukakan berbagai agumen dengan cara
yang bijak dan santun. Berbagai bantahan dengan alasan tersebut merupakan
kandungan kajian ilmu kalam.
Selanjutnya, muncul pembicaraan dan kajian tentang masalah agama juga
sejalan dengan semakin tumbuhnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
yang memungkinkan ia memiliki peluang dan kesempatan untuk mendiskusikan
masalah agama. Hal ini merupakan gejala umum yang terjadi di masyarakat, yaitu
ketika kehidupan ekonomi dan kebutuhan pokok manusia sudah terpenuhi,
biasanya setiap orang mulai melakukan penyelidikan dan pemikiran dalam
membicarakan soal-soal agama secara mendalam dengan menggunakan logika dan
dalil-dalil pemikiran yang bersifat filosofis.
Adapun faktor eksternal yang menyebabkan lahirnya ilmu kalam, antara lain
adanya golongan Islam terdahulu, terutama golongan mu'tazilah yang memusatkan
perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan mereka yang
memusuhi Islam. Mereka tidak akan dapat menghadapi lawan-lawannya,
jikamereka sendiri tidak mengetahui pendapat lawan-lawan tersebut, beserta
dalilnya. Dengan demikian, mereka harus menyelami pendapat tersebut dan
23 Rosihan Anwar dkk, hal 29
24 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif (Jakarta, Kencana Prenada Media group :
2011), hal 264

9

akhirnya negeri Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat dan
bermacam-macam agama, hal mana dapat mempengaruhi masing-masing pihak
yang bersangkutan. Inilah selanjutnya menjadi salah satu faktor diperlukannya
ilmu kalam.25

III. Hubungan dan Perbedaan Ijtihad dan Ilmu Kalam
A. Hubungan Ijtihad dan Ilmu Kalam
Akal manusia dalam mengenal Allah hanya mampu sampai pada batas
mengetahui bahwa Allah zat Tuhan yang Maha Kuasa itu ada. Untuk
mendalami lebih lanjut, manusia memerlukan wayhu. Sebab itulah, Tuhan
mengutus para Nabi dan Rasul untuk menjelaskan apa dan bagaimana Allah itu
melalui sifat-sifat-Nya dan hal-hal yang berhubungan dengan bukti kebenaran,
keesaan dan kekuasaan-Nya.26
Para Mukallimunmempunyai ciri khusus dalam membahas teologi, yaitu
menggunakan akal. Dalam membahas persoalan-persoalan Tuhan dan hal-hal
yang berhubungan dengan-Nya bersumber kepada wahyu (Al-Qur'an dan AlSunnah). Dengan tujuan agar akal manusia dapat menangkap ajaran-ajaran dan
petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam wahyu tersebut. Karena kalau akal
tidak mendapat bimbingan dari kedua sumber tersebut, sangat mungkin akal
akan memasuki perjalanan sesat dan menyesatkan, terutama dalam memahami
keesaan dan keberadaan tuhan Yang Maha Esa.
Menurut akal, keberadaan sesuatu dapat diamati, diteliti dan dicapai oleh
akal. Akal merupakan pemberian tertinggi dari Allah setelah iman (hidayah).
Oleh akrena itu, keyakinan dan akal bertemu dan menguatkan pemahaman
seseorang tentang sesuatu.27

B. Perbedaan Ijtihad dan Ilmu Kalam

25 Ibid, hal 266
26 Hamdani dkk, Ilmu Kalam(Bandung, Sega Arsy :2010), hal 7
27 Ibid, hal 8

10

Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah kalau ilmu kalam berhubungan
dengan dengan soal-soal kepercayaan (aqidah), maka Ijtihad berhubungan
dengan hukum-hukum perbuatan lahir (ahkam 'amaliyyah).28Al- Farabi
mengatakan bahwa perbedaan kedua ilmu tersebut ialah ilmu kalam (teologi
Islam) menguatkan aqidah dan syari'ah yang dijelaskan oleh pembuat agama
(Tuhan dan Nabi Muhammad SAW), sedang Ijtihad berusaha mengambil
hukum (istimbat) sesuatu yang tidak dijelaskan oleh pembuat agama dari suatu
yang sudah diterangkannya dalam bidang aqidah dan syari'at semuanya.
Dengan perkataan lain, teologi Islam membicarakan soal-soal syari'ah
yaitu dasar-dasar agama, sedang ijtihad membicarakan soal-soal Furu', yaitu
yang berhubungan dengan perbuatan. Masalah Tauhid (meng-Esakan Tuhan)
merupakan salah satu dasar Islam dan padanya seseorang Mujtahid mengambil
hukum-hukum

ibadah,

tanpa

menguraikan

dasar

agama

atau

memperibancangkan Ketuhanan dan sifat-sifat Tuhan, karena persoalanpersoalan ini menjadi bidang pembahasan ulama-ulama teologi Islam, bukan
bidang fiqh (yang menjadi pembahasan para Mujtahid). Demikian pula halnya
dengan dasar-dasar lainnya, seperti soal-soal kebangkitan, politik, siksa dan
sebagainya.29

28 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam(Jakarta, Pustaka Al-Qur'an husna Baru :
2003), hal 6
29 Ibid, hal 6

11

KESIMPULAN

1. Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum
syara' dari kitabullah dan Hadis Rasul.
2. Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan
mengunakan argumentasi logika dan filsafat.
3. Menurut Yusuf Qardhawi,ada beberapa tingkatan Mujtahid diantaranya adalah :
a. Mujtahid Mutsaqil
b. Mujtahid Mutlaq yang Tidak Mutsaqil
c. Mujtahid Takhrij
d. Mujtahid Tarjih
e. Mujtahid Fatwa
4. Tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu,
1. Aliran Khawarij
2. Aliran Murji'ah
3. Aliran Mu'tazilah
5. Perbedaan antara ijtihad dan Ilmu Kalam ialah kalau ilmu kalam berhubungan
dengan soal-soal kepercayaan (aqidah), maka Ijtihad berhubungan dengan hukumhukum perbuatan lahir (ahkam 'amaliyyah). Al- Farabi mengatakan bahwa
perbedaan kedua ilmu tersebut ialah ilmu kalam (teologi Islam) menguatkan aqidah
dan syari'ah yang dijelaskan oleh pembuat agama (Tuhan dan Nabi Muhammad
SAW), sedang Ijtihad berusaha mengambil hukum (istimbat) sesuatu yang tidak
dijelaskan oleh pembuat agama dari suatu yang sudah diterangkannya dalam
bidang aqidah dan syari'at semuanya.

12

DAFTAR BACAAN

Depag, Al-qur'an dan Terjemahan
Hadist Riwayat Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud
Ali, Maulana Muhammad , Islamologi (DarulKutubil Islamiyah : Jakarta,
1989)
Ash-Shiddieqy, TM Hasbi, Pengantar hukum Islam(bulan Bintang
Jakarta:1983)
Qardhawi, Yusuf, Dasar pemikiran hukum Islam(Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1987)
Ansori. H. SH, Tim dirasah Islamiyah UID (Jakarta : PT. Pamator,1999)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh I (Ciputat : Logos wacana ilmu, 1997)
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta,: Rajawali
Press :1994)
Husaini, Adian, Virus Liberalisme (Jakarta, Gema Insani : 2009)
Anwar, Rosihan dkk, Ilmu Kalam (Bandung, Pustaka Setia: 2001)
Reese

,

William

L.,

Dictionary

of

philosophy

and

religioan

(USA,Humanities Press ltd:1980)
Nasution, Harun, Teologi Islam (Jakarta, UI Press)
Nata, Abudin, Studi Islam Komprehensif (Jakarta, Kencana Prenada
Media group : 2011)
Hamdani dkk, Ilmu Kalam (Bandung, Sega Arsy :2010)

13

Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam (Jakarta, Pustaka Al-Qur'an husna
Baru : 2003)

14