Dikotomi Antara Penampilan dan Pemikiran
Dikotomi Antara Penampilan dan Pemikiran di Baitul Arqam
Bagi kalangan sivitas akademika UMS pastilah sudah tidak asing lagi dengan “Pondok
Shobron”. Yang merupakan bagian dari mata kuliah “Al – Islam 1 & 2”. Salah satu mata kuliah
yang wajib diambil di semua fakultas di UMS
Namun 2 tahun belakangan ini muncul peraturan yang lucu. Terlalu lucu untuk
ditertawai. Bukan karena lawakan verbal atau acting jenaka yang membuat terpingkal. Tapi
karena dasar peraturan yang berasal dari pandangan subjektif dari para pendidik di pondok
shobron. Peraturan yang bahkan tidak tertulis dalam buku panduan Shobron yang dibagikan dan
dibuat oleh mereka sendiri. Penyeragamaan pola pikir dan penampilan turut mereka urusi.
Sampai ke titik di mana panjangnya rambut seorang mahasiswa atau yang akrab disebut
“gondrong” dijadikan barometer baru dalam pemberian sanksi akademik di Pondok ini.
Panjang atau pendek rambut seorang mahasiswa adalah pilihannya sendiri. Logika
seorang yang sehat tidak akan menemukan relevansi antara rambut pendek ataupun gondrong
dengan isi kepala seorang mahasiswa. Jikalau Pondok Shobron menerapkan larangan bagi siswa
laki untuk mempunyai rambut panjang atau gondrong, apakah larangan tersebut tercantum di
buku panduan dan tata tertib pondok shobron itu sendiri? Apa larangan itu ada dalam buku biru
tata tertib mahasiswa UMS? Apa diwajibkan dari Kemdikbud sebagai kebijakan nasional, karena
penting bagi pendidikan semua mahasiswa? Apa definisi “rambut panjang” diberikan (berapa
senti)? Atau terserah pembimbing untuk menilai sendiri (guru selalu benar, siswa selalu salah)?
Mungkin anda bisa menjawab pertanyaan ini: “Apa hubungannya antara rambut laki yang
pendek dan kemampuan belajar?” Dan kalau laki yang rambutnya pendek bisa belajar
dengan lebih baik, kenapa tidak berlaku untuk perempuan juga? Atau apa tidak ada
urusan dengan pendidikan, dan hanya diteruskan karena “sudah terbiasa begitu”? Jadi
yang penting, “ada aturan, wajib taat”? Dilarang bertanya kenapa harus taat pada aturan, atau
kenapa harus ada aturan itu. Pembimbing juga tidak bisa menjelaskan selain mengatakan “wajib
taat saja”. Kita mau dapat negara seperti apa? Guru yang menentukan, dengan memilih prinsip
apa yang diajarkan kepada siswanya? Lucu sekali
Kurang matangnya dasar aturan dan tak tertulisnya aturan tersebut dalam tata tertib
pondok, menyebabkan suatu tanda tanya besar. Apa dasar peraturan ini? Apakah hanya
didasarkan pada stigma negatif rambut gondrong di masyarakat? Apakah para pendidik di
pondok shobron hanya melihat kalangan mayoritas formal laki laki yang berambut pendek?
Sebaiknya para pendidik di pondok shobron tidak menelan mentah – mentah stereotip subjektif
yang timbul dari pemikiran konservatif tersebut.
“Nilai atau intelegensi seorang mahasiswa bukan terlihat dari penampilan luar akan tetapi
dari kecerdasan otak atau kemauan mahasiswa itu sendiri! Atau kalau kita berpikir
sebaliknya seperti aturan tak tertulis yang diterapkan di pondok shobron, mungkin logika
kita telah mati!”
Kaum mahasiswa yang melabelkan dirinya sebagai Agent of Change semestinya harus
berperilaku kritis akan kejadian di sekelilingnya, tak sepantasnya diam dalam menanggapi
peraturan ini. Fenomena larangan gondrong di Pondok Shobron tak boleh dianggap sebagai
masalah sepele.Seperti penyakit yang mewabah, virusnya akan menyebar ke setiap fakultas jika
riak-riak perlawanan urung muncul dari kawan-kawan
Kami mengusulkan agar mahasiswa yang mengikuti pondok shobron tetap boleh
berambut panjang, asalkan ditata rapi. Kalangan akademisi formal pun ada yang berambut
gondrong tapi tertata rapi, dan orang itu diterima lingkungannya. Jadi baiknya pihak institusi
tidak membatasi panjang dan potongan rambut, namun menghimbau agar terlihat rapi
Identitas Penulis
Nama
: Rizky Putra
Fakultas
: Ekonomi & Bisnis UMS / Semester IV
Email
: pedangpena98@gmail.com
Bagi kalangan sivitas akademika UMS pastilah sudah tidak asing lagi dengan “Pondok
Shobron”. Yang merupakan bagian dari mata kuliah “Al – Islam 1 & 2”. Salah satu mata kuliah
yang wajib diambil di semua fakultas di UMS
Namun 2 tahun belakangan ini muncul peraturan yang lucu. Terlalu lucu untuk
ditertawai. Bukan karena lawakan verbal atau acting jenaka yang membuat terpingkal. Tapi
karena dasar peraturan yang berasal dari pandangan subjektif dari para pendidik di pondok
shobron. Peraturan yang bahkan tidak tertulis dalam buku panduan Shobron yang dibagikan dan
dibuat oleh mereka sendiri. Penyeragamaan pola pikir dan penampilan turut mereka urusi.
Sampai ke titik di mana panjangnya rambut seorang mahasiswa atau yang akrab disebut
“gondrong” dijadikan barometer baru dalam pemberian sanksi akademik di Pondok ini.
Panjang atau pendek rambut seorang mahasiswa adalah pilihannya sendiri. Logika
seorang yang sehat tidak akan menemukan relevansi antara rambut pendek ataupun gondrong
dengan isi kepala seorang mahasiswa. Jikalau Pondok Shobron menerapkan larangan bagi siswa
laki untuk mempunyai rambut panjang atau gondrong, apakah larangan tersebut tercantum di
buku panduan dan tata tertib pondok shobron itu sendiri? Apa larangan itu ada dalam buku biru
tata tertib mahasiswa UMS? Apa diwajibkan dari Kemdikbud sebagai kebijakan nasional, karena
penting bagi pendidikan semua mahasiswa? Apa definisi “rambut panjang” diberikan (berapa
senti)? Atau terserah pembimbing untuk menilai sendiri (guru selalu benar, siswa selalu salah)?
Mungkin anda bisa menjawab pertanyaan ini: “Apa hubungannya antara rambut laki yang
pendek dan kemampuan belajar?” Dan kalau laki yang rambutnya pendek bisa belajar
dengan lebih baik, kenapa tidak berlaku untuk perempuan juga? Atau apa tidak ada
urusan dengan pendidikan, dan hanya diteruskan karena “sudah terbiasa begitu”? Jadi
yang penting, “ada aturan, wajib taat”? Dilarang bertanya kenapa harus taat pada aturan, atau
kenapa harus ada aturan itu. Pembimbing juga tidak bisa menjelaskan selain mengatakan “wajib
taat saja”. Kita mau dapat negara seperti apa? Guru yang menentukan, dengan memilih prinsip
apa yang diajarkan kepada siswanya? Lucu sekali
Kurang matangnya dasar aturan dan tak tertulisnya aturan tersebut dalam tata tertib
pondok, menyebabkan suatu tanda tanya besar. Apa dasar peraturan ini? Apakah hanya
didasarkan pada stigma negatif rambut gondrong di masyarakat? Apakah para pendidik di
pondok shobron hanya melihat kalangan mayoritas formal laki laki yang berambut pendek?
Sebaiknya para pendidik di pondok shobron tidak menelan mentah – mentah stereotip subjektif
yang timbul dari pemikiran konservatif tersebut.
“Nilai atau intelegensi seorang mahasiswa bukan terlihat dari penampilan luar akan tetapi
dari kecerdasan otak atau kemauan mahasiswa itu sendiri! Atau kalau kita berpikir
sebaliknya seperti aturan tak tertulis yang diterapkan di pondok shobron, mungkin logika
kita telah mati!”
Kaum mahasiswa yang melabelkan dirinya sebagai Agent of Change semestinya harus
berperilaku kritis akan kejadian di sekelilingnya, tak sepantasnya diam dalam menanggapi
peraturan ini. Fenomena larangan gondrong di Pondok Shobron tak boleh dianggap sebagai
masalah sepele.Seperti penyakit yang mewabah, virusnya akan menyebar ke setiap fakultas jika
riak-riak perlawanan urung muncul dari kawan-kawan
Kami mengusulkan agar mahasiswa yang mengikuti pondok shobron tetap boleh
berambut panjang, asalkan ditata rapi. Kalangan akademisi formal pun ada yang berambut
gondrong tapi tertata rapi, dan orang itu diterima lingkungannya. Jadi baiknya pihak institusi
tidak membatasi panjang dan potongan rambut, namun menghimbau agar terlihat rapi
Identitas Penulis
Nama
: Rizky Putra
Fakultas
: Ekonomi & Bisnis UMS / Semester IV
: pedangpena98@gmail.com