Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruan

Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
Dalam Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Blitar
Berdasarkan Perspektif Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Seminar Isu-isu/Masalah
Lingkungan yang diampu oleh Bapak Drs. Sukanto, M.S

Kelompok 10
Oleh:
1. Isa Fahrudin P.N.
2. Nurliana Ayu Setiya N.
3. Nuryani Ningsih

(125030100111025)
(125030101111015)
(125030107111067)

Kelas A

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

1

2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seiring dengan semakin meningkatnya masalah lingkungan hidup di
seluruh pelosok bumi yang terbentang dari lokal hingga global, langkahlangkah pencegahan timbulnya dampak negatif terhadap kerusakan sumber
daya alam dan lingkungan hidup menjadi semakin mendesak untuk ditempuh.
Penanggulangan dan pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan hidup
serta isu keberlanjutan lingkungan hidup terasa tidak cukup dan kurang
efektif jika dilakukan pada saat kegiatan telah memasuki masa operasi dan
sepenuhnya hanya mengandalkan pendekatan teknologi. Pada saat ini telah
berkembang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Instrumen ini
mencoba mengatasi kelemahan yang diutarakan di atas. Kerusakan sumber
daya alam dan pencemaran lingkungan akan lebih efektif dicegah bila sejak

proses

formulasi

dipertimbangkan

kebijakan,
masalah

rencana

lingkungan

dan
hidup

program

(KRP)


dan ancaman

telah

terhadap

keberlanjutan. KLHS menjadi terasa semakin penting kehadirannya ketika
tujuan ketujuh dari Millenium Development Goals (MDGs) yakni terjaminnya
keberlanjutan lingkungan hidup, menetapkan salah satu target penting yang
hendak dicapai, yakni : terintegrasikannya prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam kebijakan, rencana dan program dan berkurangnya
kerusakan sumber daya alam.
Pemanfaatan Kajian Lingkungan Hidup Stratejik (KLHS) atau
Strategic Environmental Assessment (SEA) sebagai instrumen pendukung
untuk

terwujudnya

pembangunan


berkelanjutan

makin

penting

mempertimbangkan bahwa degradasi Lingkungan Hidup umumnya bersifat
kausalitas lintas wilayah dan antar sektor. Kemerosotan kualitas Lingkungan
Hidup tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial. Ia

2

memerlukan instrumen pengelolaan Lingkungan Hidup yang memungkinkan
penyelesaian masalah yang bersifat berjenjang (dari pusat ke daerah), lintas
wilayah, antar sektor/lembaga, dan sekuensial sifatnya. Selain pentingnya
instrumen pendekatan komprehensif tersebut di atas, hal penting lain yang
harus difahami adalah bahwa degradasi kualitas Lingkungan Hidup terkait
erat dengan masalah perumusan kebijakan, rencana dan/atau program
pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Dengan kata lain, sumber
masalah degradasi kualitas Lingkungan Hidup berawal dari proses

pengambilan keputusan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan degradasi
kualitas Lingkungan Hidup harus dimulai dari proses pengambilan keputusan
pembangunan pula. Sebagai suatu instrumen pengelolaan Lingkungan Hidup.
Implementasi KLHS adalah pada proses pengambilan keputusan
perencanaan pembangunan (decision-making cycle process), dalam hal ini
implementasi difokuskan pada perencanaan tata ruang. KLHS merupakan
dasar didalam pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Ruang
Terbuka Hijau (RTH). KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan atau kebijakan, rencana dan program (KRP), melalui antisipasi
kemungkinan dampak negatif KRP terhadap lingkungan hidup dan
mengevaluasi sejauh mana KRP yang akan diterbitkan berpotensi: (1)
meningkatkan risiko perubahan iklim, (2) meningkatkan kerusakan, (3)
kemerosotan atau kepunahan keanekaragaman hayati, (4) meningkatkan
intensitas bencana banjir, longsor, kekeringan dan/atau kebakaran hutan dan
lahan terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis, (5)
menurunkan mutu dan kelimpahan sumber daya alam terutama pada daerah
yang kondisinya telah tergolong kritis, (6) mendorong perubahan penggunaan
dan/atau alih fungsi kawasan hutan terutama pada daerah yang kondisinya

telah tergolong kritis, (7) meningkatkan jumlah penduduk miskin atau
terancamnya

keberlanjutan

penghidupan

(livelihood

sustainability)

sekelompok masyarakat dan/atau meningkatkan resiko terhadap kesehatan
dan keselamatan manusia.
3

Bangunan pembentuk KLHS adalah rangkaian proses mengumpulkan,
menganalisis dan menghasilkan informasi, rangkaian proses dialog pihakpihak yang berkepentingan dan rangkaian proses mempengaruhi pengambilan
keputusan akhir KRP. KLHS yang memiliki kualitas baik tidak hanya karena
analisisnya baik, namun juga karena dapat mempengaruhi muatan akhir KRP
sehingga keputusan-keputusan yang dibuat akuntabel. Hal ini dapat tercapai

apabila KLHS dilaksanakan dengan melibatkan pemangku kepentingan, yaitu
para perencana, pengambil keputusan, dan masyarakat. Keberagaman cara
melaksanakan setiap rangkaian proses-proses tersebut di atas menyebabkan
rincian pelaksanaan KLHS tidak dapat dibakukan dan dapat dimodifikasi
sesuai

dengan

kebutuhan.

Adanya

sifat

perubahan,

kompleksitas,

ketidakpastian, dan konflik merupakan hal penting untuk senantiasa
diantisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

Keempatnya akan mendatangkan peluang sekaligus masalah bagi perencana,
pengelola, pengambil keputusan, serta anggota masyarakat lainnya. Salah satu
peluangnya adalah mengenali pentingnya keempat elemen tersebut dan
memahami bagaimana keempatnya saling berpengaruh sekaligus dapat
menjadi agen dari suatu perubahan yang positif.
Terkait dengan adanya sifat-sifat lingkungan di atas, maka lahirnya UU
No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dipandang penting keberadaannya untuk bisa diimplementasikan dalam
proses perencanaan dan pembangunan di Indonesia. Salah satunya Pasal 15
dan 16 telah mengamanatkan kepada pemerintah dengan mandatory
(kewajiban) untuk melaksanan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, terdapat pula UU No 26
tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau. Pada UU No 26 tahun 2007 pasal
17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas
daerah aliran sungai (DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Adapun isi uu no 26 thn 2007 pasal 17 :
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana
pola ruang.

4


(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan
pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling
sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan
antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang
yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai
subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan
pemerintah.
Sementara itu, pada Pasal 1 angka 31 Undang-Undang N0 26 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau ( RTH )

sebagai area memanjang / jalur dan / atau mengelompok yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah, maupun yang sengaja ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau
(RTH) dapat dibagi menjadi 9:
1. Kawasan hijau pertamanan kota
2.
3.
4.
5.

Kawasan Hijau hutan kota
Kawasan hijau rekreasi kota
Kawasan hijau kegiatan olahraga
Kawasan hijau pemakaman
Jika melihat uraian diatas, jelas terlihat bahwa persoalan tentang

Lingkungan Hidup mendesak untuk segera diatasi. Hal itulah yang kemudian
mendorong Kota Blitar untuk mengatasi persoalan Lingkungan Hidup
tersebut, khususnya permasalahan tentang Ruang Terbuka Hijau. Yang mana
seperti yang diketahui bahwa sampai tahun 2014, Kota Blitar telah memiliki

RTH sebesar 17% dari seluruh wilayahnya, dan Kota Blitar merupakan salah
5

satu Kota di Indonesia yang memiliki RTH paling besar. Dalam upaya untuk
mengembangkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar, pemerintah kota Blitar
melakukan beberapa cara ataupun kegiatan, salah satunya yaitu “Penyusunan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kota Blitar”, yang menjadi salah
satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of
thinking) perencanaan tata ruang wilayah dan perencanaan pembangunan
daerah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup, terutama persoalan
tentang Ruang Terbuka Hijau.
Oleh karena permasalahan yang telah dideskripsikan seperti diatas,
penulis ingin membahas permasalahan tentang Ruang Terbuka Hijau di Kota
Blitar dengan judul “Implementasi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Perspektif Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Kota
Blitar”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana formulasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau berdasarkan
KLHS dalam mengembangkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar?
2. Bagaimana implementasi kebijakan pengembangan Rauang Terbuka Hijau
di kota Blitar berdasarkan model implementasi Van Horn dan Van Meter?
A. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui formulasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau dalam
pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar.
2. Untuk mengetahui implementasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau
dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar.

BAB II

6

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Implementasi Kebijakan Publik
1. Definisi Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement yang
berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan
sarana untuk melaksanakan suatu yang menimbulkan dampak atau akibat
terhadap lingkungan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Implementasi
kebijakan pasti menimbulkan dampak atau akibat baik berupa undangundang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang
dibuat oleh lembanga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Pengertian implementasi seperti yang dikemukakan oleh Pranata Wastra
(1991) dalam Riant Nugroho (2012:645) mendefinisikan implementasi
kebijakan adalah:
Aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan untuk semua rencana dari
kebijksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan, dan dilengkapi
segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan,
dimana tempat pelaksanaannya, kapan waktu pelaksanaannya, kapan
waktu mulai dan beP2KHirnya dan bagaimana cara yang harus
dilaksanakan”.
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan
Paul Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip dalam Riant Nugroho (2012:
655), implementasi kebijakan yaitu:
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan
kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Van Meter dan Van Horn (Riant Nugroho, 2012;669) implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu
(kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk
7

mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
sebelumnya.
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan
suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu
aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu
hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari
proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau
tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
2. Model Implementasi Van Horn Dan Van Meter
Van Meter dan Van Horn (Riant Nugroho, 2012;683) Meter dan
Horn mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi
kinerja implementasi, yakni;
1. Standar dan sasaran kebijakan, standar dan sasaran kebijakan yang
diterapkan harus jelas dan terukur sehingga kebijakan tersebut dapat
direalisasikan, apabila standar dan sasaran kebijakan itu kurang jelas
dan tidak terukur maka kebijakan akan sulit untuk di implementasikan.
2. Sumber daya, dalam implementasi kebijakan memerlukan dukungan
sumber daya, baik sumber daya manusia, maupun sumber daya
finansial.
3. Hubungan antar organisasi, yaitu dalam penerapan suatu kebijakan
publik diperlukan sebuah dukungan dan koordinasi dengan instansi lain,
sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi
pemerintah untuk keberhasilan suatu kebijakan tersebut.
4. Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup undang- undang,
peraturan daerah, visi dan misi dan strategi dalam penerapan kebijakan
dari agen pelaksana dapat mempengaruhi implementasi suatu kebijakan.
5. Kondisi sosial, dan ekonomi. Variable ini mencakup faktor- faktor
ekonomi dan sosial masyarakat setempat yang dapat mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan,
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak,

8

bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite
politik mendukung implementasi kebijakan.
B.

Konsep Rencana Tata Ruang (RTRW)
1. Definisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
UU no 26 tahun 2007 pasal 1 point 13 tentang Penataan Ruang
mendefinisikan Rencana Tata Ruang Wilayah disingkat RTRW disebut
juga sebagai Urban Planning atau Urban Land use Plan dalam bahasa
Inggrisnya adalah dokumen rencana tata ruang wilayah kota yang
dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Rencana Tata Ruang Wilayah
adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang
merupakan penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan,
kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang
wilayah kota, rencana pola ruang wilayah kota, penetapan kawasan
strategis kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.
2. Landasan Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
a. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 14 menyatakan
bahwa Perencanaan, Pemanfaatan, dan Pengawasan Tata Ruang
merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota.
b. UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 11 menyatakan
bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki wewenang dalam
penyelenggaraan penataan ruang yang antara lain meliputi pelaksanaan
penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dan pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota.
c. Keppres 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum,

pasal

pembangunan

4

menyatakan

kepentingan

bahwa

umum

pengadaan

hanya

dapat

tanah

untuk

dilaksanakan

berdasarkan RTRW.
3. Tujuan penyusunan RTRW
UU no 26 tahun 2007 pasal 2 point 1 menjelaskan Tujuan penyusunan
Rencana Tata Ruang meliputi:
9

1. terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
2. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya; serta
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
- mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera;
- mewujudkan keterpaduan dalam penggunaaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
- meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
buatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
- mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan (contoh yang
paling sering kita alami adalah banjir, erosi dan sedimentasi); dan
- mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan KLHS
(Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
C.

Konsep Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
1.

Definisi KLHS
Bambang S (2010:66) Ada dua definisi KLHS yang lazim
diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah
dampak

lingkungan

(EIA-driven)

dan

pendekatan

keberlanjutan

(sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk
menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana
atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada
keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya. Definisi KLHS
untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk
mengevaluasi

pengaruh

lingkungan

hidup

dari,

dan

menjamin

diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan
keputusan yang bersifat strategis[SEA is a systematic process for
evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of
sustainability principles into, strategic decision-making].
2. Peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang

10

Bambang S (2010) menjelaskan KLHS adalah sebuah bentuk
tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak
terjadinya

efek

negatif

terhadap

lingkungan

dan

keberlanjutan

dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program
[KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh
karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan
keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat
khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah
[RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya
proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai
instrumen

metodologis

pelengkap

(komplementer)

atau

tambahan

(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau
semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga
bermanfaat

untuk

meningkatkan

efektivitas

pelaksanaan

Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen
pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih
baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang
strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta
memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap
juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh
KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat
instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu
membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap
berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut
langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.
3.

Pendekatan Dalam KLHS
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada
kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Menurut Bambang (2010)
sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan
ruang, yaitu :
a. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe). KLHS dilaksanakan
11

menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan
dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.
Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis
telaahannya pada tiap hirarhi RTRW.
b. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup
(Environmental
environmental

Appraisal)
appraisal

untuk

KLHS

ditempatkan

memastikan

RTRW

sebagai
menjamin

pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai
sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek
lingkungan hidup.
c. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated
Assessment Sustainability Appraisal) KLHS diterapkan sebagai
bagian dari uji untuk menjamin keberlanjutan secara holistik,
sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS
kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas
yang

menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan

lingkungan hidup secara terpadu.
d. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan
Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management)
D.

Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH)
1. Definisi Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 "Ruang Terbuka
Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam”. Dalam
pengembangan RTH terdapat program P2KH (Program Pengembangan
Kota Hijau) yakni langkah nyata pemerintah pusat bersama-sama dengan
pemerintah provinsi, kota, kabupaten dalam memenuhi ketetapan UndangUndang Penataan Ruang, terutama terkait pemenuhan luasan RTH
12

perkotaan dan perubahan iklim. P2KH merupakan inovasi program RTH
berbasis komunitas. Menurut Sandyohutomo, Mulyono (2008, h.152)
ruang terbuka mencakup pengertian ruang terbuka hijau dan ruang terbuka
lainnya yang berupa kawasan tanpa bangunan di antara kawasan
terbangun. Ruang terbuka berperan sebagai penyeimbang antara daerah
terbangun dengan daerah terbuka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan Ruang
Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, dituliskan bahwa ruang terbuka hijau
perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang
diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi,
sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Selanjutnya disebutkan pula bahwa
dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau
tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya
tanaman.
2. Tujuan dan Fungsi Penataan RTH
Tujuan penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan adalah:
a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
b. mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan di perkotaan; dan
c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih
dan nyaman.
Fungsi Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang

13

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan adalah:
a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;
b. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;
c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;
d. pengendali tataair; dan
e. sarana estetika kota.
Manfaat Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan adalah:
a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
b. sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan;
c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial;
d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
e. menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
f. sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;
g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
h. memperbaiki iklim mikro; dan
i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kota Blitar
Kota Blitar yang juga dikenal dengan sebutan Kota Patria , Kota Lahar
dan Kota Proklamator secara legal-formal didirikan pada tanggal 1 April
1906. Dalam perkembangannya kemudian momentum tersebut ditetapkan
sebagai Hari Jadi kota Blitar. Walaupun status pemerintahannya adalah
Pemerintah Kota, tidak serta-merta menjadikan mekanisme kehidupan
14

masyarakatnya seperti yang terjadi dikota -kota besar. Memang ukurannya
pun tidak mencerminkan sebuah kota yang cukup luas. Level yang dicapai
kota Blitar adalah sebuah kota yang masih tergolong antara klasifikasi kota
kecil dan kota besar. Secara faktual sudah bukan kota kecil lagi, tetapi juga
belum menjadi kota besar, hal tersebut dapat diartikan juga bahwa kota Blitar
merupakan kota yang sedang berkembang menuju kota yang menuju
masyarakat kota blitar sejahtera yang berkeadilan, berwawasan kebangsaan,
dan religius melalui APBD pro rakyat pada tahun 2015.
Dalam mewujudkan Visi-nya, kota Blitar memfokuskan diri pada
Pembangunan KLHS melalui perbaikan kerangka pikir (framework of
thinking) perencanaan tata ruang wilayah dan perencanaan pembangunan
daerah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup. Hal tersebut dibuktikan
melalui berbagai penghargaan yang telah dicapai dalam hal pengelolaan
lingkungan hidup, diantaranya adalah mendapatkan penghargaan sebagai kota
ADIPURA selama 10 kali berturut-turut yaitu tahun 2005 – 2013. Selanjutnya
kota blitar walaupun belum memenuhi pencapaian implementasi Undang
Undang Nomor 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa suatu kabupaten
atau kota setidaknya memiliki 30 % Ruang Terbuka Hijau di wilayahnya,
namun kota blitar telah memiliki RTH terluas di Indonesia yaitu sebesar 17 %
dari wilayahnya.

15

B. Formulasi Kebijakan di Kota Blitar Dalam Penyusunan RTRW Melalui KLHS Dalam Mengatasi Persoalan Lingkungan
Hidup.
Tabel 1.1 Rencana Formulasi Kebijakan Kota Blitar Dalam Penyusunan RTRW Berdasarkan KLHS Dalam Mengatasi Persoalan

Lingkungan Hidup.

16

NO

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE

1

Pengembangan

PENGARUH
PRIMER
SEKUNDER
STRATEGIS
Menurunnya luasan Berkurangnya  Menurunnya

kawasan

lahan

budidaya

karena

pertanian

terbangun

meningkatnya

Kota Blitar

yang

kebutuhan

mempertimban

terbangun

pertanian lahan

lahan

produktivitas
di

ALTERNATIF

hasil



Menyediakan RTH

pertanian
 Menurunnya
daya

serap terhadap gas-

Merekomendasi
IMB

pemanfaatan

kesehatan

memenuhi

permukaan ke dalam
tanah

(daerah

resapan

air

berkurang)



apabila

ketentuan RTH
air

Membuat
Perda RTH

gas yang merugikan

penyerapan

dengan

membuat hutan kota



 Berkurangnya

misalnya



20%

kemampuan

Membuat RTH
publik

publik minimal

gkan efisiensi
ruang

REKOMENDASI

MITIGASI

Rencana
Pengembangan

Kawasan

Permukiman Prioritas


Penetapan



daerah Lahan Pertanian Pangan

Peningkatan

Berkelanjutan

tanaman
holtikultura
daripada

 Meningkatnya suhu

tanaman pangan

lingkungan
 Berkurangnya lahan
subur
 Menyempitnya
Ruang

Terbuka

17

NO

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE
STRATEGIS
Menurunnya

PENGARUH
ALTERNATIF
PRIMER
SEKUNDER
MITIGASI
Sumber mata  Semakin tingginya Melakukan

kualitas

air

kuantitas

dan
sumber

mata

air

banyak

yang mati

penduduk

dan

ada

tingginya

konversi

pendangkalan

perkotaan

mata air

sumber

keberadaan

sumber-sumber mata air yang

lahan menjadi lahan

sekitar

 Mempertahankan

jumlah pertumbuhan konservasi mata air

diakibatkan adanya
di

REKOMENDASI

yang ada
 Membebaskan areal sempadan

menyebabkan

mata air dari kegiatan-kegiatan

menurunnya

yang

kuantitas

dan

kualitas sumber mata
air

dapat

menggangu

berkurangnya sumber mata air
 Membeli

lahan-lahan

milik

warga yang berada di sekitar

 Terjadinya
kerusakan

 Merevitalisasi sumber mata air

sumber mata air
sumber

mata air
 Berkurangnya
daerah resapan air
 Berkurangnya
keindahan alam

18

NO

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE
STRATEGIS
Menurunnya luasan

PRIMER
Terjadinya

sempadan

sungai

erosi

karena

adanya

sedimentasi

PENGARUH
ALTERNATIF
SEKUNDER
MITIGASI
 Berkurangnya daerah Merevitalisasi

dan

resapan air


permukiman liar di
sekitar
sungai

bantaran



daerah

sempadan

REKOMENDASI
 Perlu adanya regulasi yang lebih
tegas

terhadap

bangunan-

Berkurangya daerah sungai

bangunan liar yang berada di

tangkapan air

sekitar sempadan sungai

Berkurangnya
keindahan alam

 Penataan permukiman di sekitar
bantaran sungai
 Pengembangan jalan inspeksi
dan ruang terbuka hijau

19

NO
2

KEBIJAKAN
Peningkatan
kualitas

ISSUE-ISSUE
STRATEGIS
Menurunnya

PRIMER
Pencemaran

dan kualitas air akibat air

PENGARUH
SEKUNDER
 Meningkatnya

yang

jangkauan

bahan

buangan dikarenakan

pelayanan

limbah, sampah dan pembuangan

bencana
karena

banjir
adanya

ALTERNATIF

REKOMENDASI

MITIGASI
 Pengurangan

 Mewajibkan setiap pemrakarsa

efek rumah kaca,

kegiatan/usaha

sehingga

pengolahan terhadap limbahnya

curah

kebiasaan

hujan cenderung  Memberlakukan

sampah,

masyarakat

menyurut

prasarana

limbah

membuang

lingkungan

industri,

permukiman

dan

sarana

dan tinja

tinja

ke sungai

kualitas

air

baik air tanah
maupun
sungai

air

masyarakat

izin

pembuangan limbah cair

sampah  Pengembangan

 Pengembangan

laboratorium

perumahan

terencana oleh developer, wajib

limbah  Menurunnya estetika
lingkungan
rumah tangga
lingkungan
 Penyediaan tong
sehingga
 Menurunnya
sampah di setiap
mengakibatka
kesehatan
permukiman
n menurunnya

melakukan

penduduk

disediakan sistem pengelolaan
limbah rumah tangga dengan
sistem off-site
 Konservasi air seperti pembuatan
sumur

 Memfasilitasi

resapan

dan

ground

reservoir di Kelurahan Ngadirejo
 Konsep ecodrainage

pembangunan
IPAL
 Penyediaan
sanitasi

di

lingkungan
permukiman
penduduk

20

NO

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE
STRATEGIS
Menurunnya
kualitas

udara udara

dikarenakaan
adanya

PRIMER
Pencemaran

PENGARUH
ALTERNATIF
REKOMENDASI
SEKUNDER
MITIGASI
 Timbunan sampah  Penyediaan tong  Pemantauan kualitas udara

yang

dikarenakaan

cerobong cerobong asap

asap industri, asap industri,
kendaraan

asap

kendaraan

pengelolaan
sampah
cara dibakar

sampah
cara

dibakar
sehingga
mengakibatka
n

populasi
yang

permukiman

serangga

menyebabkan

perubahan
dan

dengan pengelolaan
dengan

 Meningkatnya

 Terjadinya

dan timbunan
sampah

sampah di setiap 

berbagai penyakit

bermotor, timbunan bermotor,
sampah

menimbulkan bau

penurunan

kualitas udara

kendaraan bermotor

penduduk



 Pemisahan

pengolahan sampah

jauh

dari

pemukiman

pH

sarana

kesehatan
masyarakat

Memperluas
wilayah pelayanan sampah di

dan

prasarana TPS

 Menurunnya estetika  Penggunaan
 Menurunnya

kota blitar


 Memperbaiki

dan becek

lingkungan

Sosialisasi

organik 
Penambahan
dan non organik
fasilitas sarana dan prasarana
struktur  Penempatan TPS
pemilahan sampah di seluruh

 Tanah menjadi asam

tanah

emisi

sampah

tanah

 Menurunnya

Uji

daerah yang belum tercover oleh
DKP
 Penyediaan

bahan bakar yang

untuk

ramah

rumah tangga

lingkungan
kampung
skala

mengangkut

 Melakukan

 Pengembangan
iklim

pasukan

kuning
sampah

pengangkutan

sampah dari TPS ke TPA seiap
hari / rutin

provinsi  Menyediakan

container

yang
21

NO
3

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE
PRIMER
Kemacetan

PENGARUH
SEKUNDER
 Tingginya
angka

Pengembangan

STRATEGIS
Meningkatnya

pusat

kepadatan

pelayanan

lintas di kawasan

kegiatan yang

wisata dan kawasan

yang

memperkuat

perdagangan

asap kendaraan

hubungan

jasa

lalu

ALTERNATIF
MITIGASI
 Pengaturan arus

kecelakaan

lalu lintas

 Pencemaran

dan

udara

REKOMENDASI
 Peningkatan biaya parkir
 Peningkatan

 Pengalihan jalur

disebabkan

alternatif

dan

prasarana angkutan umum
 Pemantauan kualitas udara

 Peletakan dan
pengaturan

antar kawasan

sarana



Uji

emisi

kendaraan bermotor

rambu lalu lintas
 Rekayasa
kembali terhadap

4

Pengembangan

Meningkatnya

Nilai-nilai

wisata

budaya asing yang

kearifan lokal

kebangsaan

masuk

ke

Kota akan

 Perubahan

budaya

perparkiran
 Menyaring

lokal

budaya

terkikis  Perubahan
gaya
dan
wisata Blitar yang tidak oleh gerusan
hidup
masyarakat
lainnya
sesuai dengan nilai- budaya asing

Kota Blitar
nilai budaya lokal

Memperkuat budaya daerah dan
asing nasional

yang masuk ke
Kota Blitar
Menyeleksi
budaya

asing

yang masuk ke
Kota Blitar
 Pengambangan
22

NO

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE
STRATEGIS

PRIMER

PENGARUH
SEKUNDER

ALTERNATIF

REKOMENDASI

MITIGASI
wisata lebah
 Pengembangan

5

Pengembangan
fungsi

Menurunnya

Rendahnya

dalam kualitas

mewujudkan

sumberdaya

peran regional manusia
kota

kualitas
sumber
karena manusia

melemahnya
kualitas pendidikan

wisata PETA
 Rendahnya kapasitas  Penyuluhan dan Pelaksanaan program wajib belajar
masyarakat

daya

dalam

pembangunan

kualitas

partisipatif

sumberdaya

Kompetensi

12 tahun

 Peningkatan

penyelenggaraan

 Rendahnya

ilmu pengetahuan

pelatihan kerja

manusia
dan  Kegiatan

relevansi serta daya

sukarelawan

saing lulusan satuan

penjaga

pendidikan

lingkungan

 Rendahnya kualitas

hidup

tenaga pendidik dan  Pengembangan

6

Pengembangan

Meningkatnya

Tingginya

tenaga kependidikan

sekolah

dan lain sebagainya

berwawasan

 Tingginya

lingkungan
 Pengembangan

Menciptakan lapangan pekerjaan

23

NO

KEBIJAKAN

ISSUE-ISSUE

kegiatan

STRATEGIS
pengangguran

PRIMER
angka

pertanian

akibat

pengangguran

perkotaan

lapangan pekerjaan

kurangnya

PENGARUH
SEKUNDER
kemiskinan/kesejaht
eraan penduduk
 Tingginya kejahatan

ALTERNATIF

REKOMENDASI
MITIGASI
industri
kecil baru seperti pengembangan agro
dan menengah industri
(agro-industri)

 Pengembangan
ecomarket
 Penggunaan
teknologi yang
tepat guna
 Pelatihan
tenaga kerja
 Pemberian
kredit lunak

24

25

C. Implementasi

Kebijakan

Pengembangan

RTH

di

Kota

Blitar

berdasarkan 6 variabel implementasi kebijakan Van Horn & Van Meter
1. Kebijakan Aksi Kota Hijau
Pembangunan

Kota

Hijau

(P2KH)

Kota

Blitar

merupakan

perwujudan rencana tata ruang dan rancang kota yang berbasis lingkungan
hidup. Kota Hijau merupakan kota yang ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan
dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah,
menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan
mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan
perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
(lingkungan, sosial, dan ekonomi). Harapannya P2KH bisa memberikan kontribusi yang
nyata dalam perwujudan Kota Blitar sebagai kota hijau berkelanjutan.
2. Ruang Lingkup Kebijakan
Dari segi bentuk kebijakanya Kota Hijau memiliki 8 (delapan)
atribut yaitu Green Planning and Desain, Green Community, Green
Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green Waste,
Green Openspace. Atribut tersebut kemudian menjadi variabel penting dan
ditindaklanjuti dalam penyusunan Pembangunan Kota Hijau (P2KH)
antara lain adalah :
a. Green Planning
Green Planning merupakan perwujudan rencana tata ruang dan rancang
kota yang berbasis lingkungan hidup. Dalam penyusunan rencana tata
ruang dan rancang kota harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan dilaksanakan secara terus menerus dan sinergis
antara perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
b. Green Open Space
Green Open Space berarti bahwa meningkatkan kualitas dan kuantitas
RTH sesuai dengan karakteristik kota/kabupaten dengan target RTH 30%.
Hal ini dilakukan untuk menindaklanjutan amanat Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa
penyediaan ruang terbuka hijau harus memenuhi minimal 30% dari luas
26

wilayah total. Rincian ruang terbuka hijau meliputi ruang terbuka hijau
privat sebesar 10% dan ruang terbuka hijau publik sebesar 20%.
c. Green Transportation
merupakan

perwujudan

penggunaan

transportasi

publik

ramah

lingkungan, berjalan kaki dan bersepeda. Upaya perwujudan green
transportation difokuskan pada rencana pelayanan angkutan umum.
Rencana pelayanan angkutan umum difokuskan pada penggunaan moda
transportasi yang ramah lingkungan baik dengan transportasi umum
massal maupun dengan moda transportasi lain.
d. Green Waste
Green Waste merupakan perwujudan konsep zero waste. Rencana
pengembangan z dalam pengelolaan air limbah dan persampahan. Rencana
pengelolaan air limbah meliputi sistem pengelolaan air limbah rumah
tangga dan sistem pengeloaan air limbah bukan rumah tangga. Sistem
pengelolaan air limbah rumah tangga direncanakan menggunakan sistem
on-site dan sistem off-site. Pengelolaan limbah rumah tangga dengan
sistem on-site diarahkan pada kawasan perumahan kepadatan rendah dan
sedang, sedangkan pengelolaan limbah rumah tangga dengan sistem offsite diarahkan pada kawasan perumahan kepadatan sedang sampai tinggi,
terutama pada kawasan kumuh dan perumahan yang dilakukan
oleh pengembang. Sistem pembuangan air limbah bukan rumah tangga
diarahkan pada pengembangan sistem pengolahan air limbah pada
kawasan industri dan peternakan.
e. Green Community
Green Community merupakan perwujudan pengembangan jaringan
kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat. Bentuk
peran masyarakat dilakukan dalam penataan ruang maupun dalam
kebijakan pembangunan lainnya baik dalam perencanaan, pemanfaatan
dan

pengendalian.

Dalam

tahap

perencanaan,

masyarakat

dapat

memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan daerah.
Bentuk peran masyarakat dalam tahap pemanfaatan, masyarakat dapat
27

bekerjasama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama
unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang serta memanfaatkan ruang
yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana pembangunan yang telah
ditetapkan. Sedangkan dalam pengendalian, masyarakat dapat ikutserta
dalam memantau, mengawasi, melaporkan dan mengajukan keberatan
pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan.
f. Green Energy
merupakan perwujudan pemanfaatan energi yang efisien dan ramah
lingkungan. Rencana pengembangan sistem jaringan energi meliputi
pembangkit listrik dan jaringan prasarana energi.
g. Green Water
Green Water merupakan upaya menerapkan konsep ekodrainase dan zero
run off. Konsep ini ditekankan pada rencana pengembangan sistem
drainase perkootaan dan sistem prasarana sumberdaya air. Rencana
pengembangan sistem drainase dilakukan dengan revitalisasi sistem
jaringan drainase primer, sistem jaringan drainase sekunder, dan sistem
jaringan drainase tersier. Sistem prasarana sumberdaya air ditekankan pada
pengembangan sistem pengendalian banjir, meliputi: a. perlindungan
terhadap daerah aliran sungai melalui konservasi daerah aliran sungai dan
pengendalian pembangunan kawasan budidaya. b. pengembangan sistem
jaringan drainase tersistem dengan saluran pembuangan utama.
3. Bentuk Kebijakan
Program dan kegiatan yang mendukung Kota Hijau di Kota Blitar
pada tahun 2014 diarahkan pada pelaksanaan green planning and design,
green water, green waste, green community, green open space. Program
dan kegiatan itu tertuang jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kota Blitar Tahun 2011–2015 sebagai berikut :

28

1. Aksi Green Planning and Design. Program/kegiatan pada atribut green
planning and design yang menjadi kewenangan BAPPEDA dan
DISNAKER kota Blitar meliputi:
a)

Sosialisasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan;

b)

Pengembangan Blitar Kota Sehat;

c)

Sinkronisasi Program Pembangunan Sanitasi Kota;

d)

Kajian Sanitasi berbasis masyarakat;

e)

Pengarustamaan gender dalam pembangunan sanitasi kota;

f)

Rencana Induk Drainase Kota;

g)

Rencana Induk Ruang Terbuka Hijau Kota Blitar;

h)

Penyusunan Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan;

i)

Penyusunan Kebijakan Manajemen Pengelolaan Sampah;

j)

Rencana Induk Drainase Kota Blitar.

2. Aksi Green Water Program/kegiatan pada atribut green water, menjadi
kewenangan 3 (tiga) SKPD yang membidangi lingkungan hidup dan
keciptakaryaan yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas
Pekerjaan Umum Daerah. meliputi :
a) Konservasi Sumber daya air dan pengendalian kerusakan sumber
air.
b) Pembangunan saluran drainase / gorong-gorong.
c) Pembangunan jaringan air bersih/air minum
3. Rencana Aksi Green Waste Program pada atribut green waste yang
menjadi kewenangan 3 (tiga) SKPD yang membidangi keciptakaryaan,
dan lingkungan hidup yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas
Pekerjaan Umum Daerah meliputi :
a)

Pemantauan kualitas lingkungan;

b)

Pengembangan produksi ramah lingkungan;

c)

Peningkatan sarana dan prasarana pengendalian lingkungan hidup;

d)

Peningkatan sarana dan prasarana pemantauan lingkungan hidup;

e)

Pengendalian dampak perubahan iklim;

f)

Pembangunan Sarana Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat;
29

g)

Penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan persampahan;

h) Peningkatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana
persampahan;
i)

Pengembangan teknologi pengolahan persampahna;

j)

Pembangunan TPA

4. Rencana Aksi Green Community Program/kegiatan pada atribut green
community yang menjadi kewenangan 5 (lima) SKPD yang
membidangi keciptakaryaan, lingkungan hidup dan perencanaan yaitu
Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum Daerah,
Kantor Lingkungan Hidup Bappemas dan Keluarga Berencana dan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. meliputi :
a) Pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan sanitasi;
b) Peningkatan edukasi dan komunikasi masyarakat di bidang
lingkungan;
c) Sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang rencana tata
ruang;
d) Sosialisasi kebijakan, norma, standart, prosedur dan manual
pengelolaan RTH;
e) Peningkatan

peran

serta

masyarakat

dalam

pengelolaan

persampahan;
f) Sosialisasi kebijakan pengelolaan persampahan;
5. Rencana Aksi Green Open Space Program/kegiatan pada atribut green
open space yang menjadi Program/kegiatan tersebut berada dalam
kewenangan 2 (dua) SKPD yang membidangi lingkungan hidup yaitu
Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Kantor Lingkungan Hidup
meliputi :
a) Pemeliharaan RTH;
b) Pengembangan taman rekreasi;
c) Peningkatan sarana prasarana taman kota;
d) Pemeliharaan keindahan taman dan sarana olahraga;
e) Pembangunan Taman Kota dan Supervisi Kelurahan Bendogerit;
30

f) Penataan RTH;
g) Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengendalian Lingkungan Hidup;
h) Konversi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber
Air.
4. Arah kebijakan
Kegiatan Utama Pembangunan Kota Hijau untuk mewujudkan Blitar
Kota yang berwawasan lingkungan meliputi penarapan beberapa atribut
Kota Hijau. Atribut kota hijau terdiri dari :
a. Perencanaan dan perancangan kota (Green Planning and Design), yang
bertujuan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota
yang lebih sensitif terhadap agenda hijau, upaya adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim.
b. Pembangunan ruang terbuka hijau (Green Open Space) untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik
kota/kabupaten, dengan target RTH 30%.
c. Komunitas hijau (Green Community) yaitu pengembangan jaringan
kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat.
d. Pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (Green Waste) yaitu
dengan

menerapkan

pengelolaan

limbah

dan

sampah

hingga

menghasilkan zero waste.
e. Pengembangan

sistem

transportasi

berkelanjutan

(Green

Transportation) yaitu dengan mendorong warga untuk menggunakan
transportasi publik ramah lingkungan, serta

berjalan kaki dan

bersepeda dalam jarak pendek.
f. Peningkatan kualitas air (Green Water) dengan menerapkan konsep
ekodrainase dan zero runoff.
g. Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah
lingkungan.
h. Green Building, yaitu penerapan bangunan hijau yang hemat energi.
Dalam pelaksanaannya Kota Blitar sendiri belum mampu menerapkan
kedelapan atribut Kota Hijau secara keseluruhan.

31

i. Program dan kegiatan yang mendukung Kota Hijau di Kota Blitar pada
tahun 2014 diarahkan pada pelaksanaan green planning and design,
green water, green waste, green community, green open space. Program
dan kegiatan itu tertuang jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kota Blitar Tahun 2011-2015.
5. Implementasi Kebijakan Pembangunan Kota Hijau Dalam Perspektif
Van Horn Dan Van Meter
Berdasarkan model implementasi kebijakan Van Hon dan Van Meter
yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka terdapat enam variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan , yakni;
1. Standar Dan Sasaran Kebijakan Rencana Kota Hijau (P2KH)
Blitar
Dalam implementasi kebijakan standar dan sasaran memiliki peranan
yang pokok dalam menentukan berhasil atau tidaknya dalam penerapan
suatu kebijakan publik. dalam Implementasi kebijakan Pembangunan
Kota Hijau memiliki standar kebijakan yang diatur dalam Undang
Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 pasal 2 tentang penataan ruang
mensyaratkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling
sedikit 30 persen dari luas wilayah kota yang terdiri dari ruang terbuka
hijau publik dan ruang terbuka hijau privat minimal 20 persen dari luas
wilayah kota sedangkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik minimal
10% dari luas kota. Selain itu mengenai sasaran yang tertuang dalam
RPJPD 2005-2025 yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Sasaran Kebijakan Rencana Kota Hijau (P2KH) Blitar dalam RPJPD 20052025

32

Sumber: RPJMD 2011-2014 data yang dilansir oleh BAPPEDA Kota Blitar

Dengan berpedoman pada kebijakan pengaturan KDB dan KLB
bangunan, maka ditetapkan standar penataan RTH Privat untuk halaman
rumah dan halaman perkantoran, fasilitas umum, pertokoan, serta
tempat usaha, dibuat ketentuan sebagai berikut:
a) Bangunan perumahan diwajibkan menyediakan RTH sebesar 30% dari
ruang terbuka yang harus di penuhi.
b) Bangunan pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya minimal
menyediakan RTH sebesar 20% dari ruang terbuka yang harus
disediakan.
c) Bangunan perdagangan dan jasa (tempat usaha) minimal menyediakan
RTH sebesar 10% dari ruang terbuka yang harus disediakan.
d) Jenis tanaman menyesuaikan dengan ruang yang tersedia dan selera
pemiliknya.
e) Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan RTH Kota ini, maka
diupayakan adanya penetapan pemanfaatan tanah bengkok atau tanah
desa sebagai RTH.
Sedangkan pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) publik di Kota
Blitar kurang lebih seluas 20 % dari luas Kota Blitar, yaitu meliputi
pengembangan:
a) Ruang terbuka hijau taman dan hutan kota yang terdiri dari RTH taman
lingkungan dan taman kota, Hutan Kota serta sabuk hijau.
b) Ruang terbuka hijau jalur hijau berupa jalur hijau jalan, pulau jalan dan
median serta pedestrian.
c) Ruang terbuka hijau fungsi tertentu berupa sempadan sungai, sempadan
mata air, sempadan jalur KA, Jalur SUTET/SUTT, TPA dan
pemakaman.
2. Ketersediaan Sumber Daya dalam implementasi kebijakan P2KH
Kota Blitar
33

Dalam implementasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau (P2KH)
Kota Blitar tentunya sangat memerlukan dukungan sumber daya baik
berupa sumber daya manusia ataupun sumber daya finansial antara lain
adalah sebagai berikut:

3. Hubungan Antar Instansi Pemerintah
Dalam implementasi kebijakan P2KH kota Blitar ini harus didukung
oleh kordinasi antar instansi pemerintah Kota Blitar berperan sebagai
penyusun agenda kebijakan, arah kebijakan, perda no 12 tahun

2012

tentang Pembangunan Kota Hijau. Pemerintah kota Blitar melakukan
koordinasi

dengan

BAPPENAS

untuk

memperoleh

dana

dalam

pengembangan Aksi Kota Hijau yaitu sebessar Rp. 1.500.000.000 untuk
melakukan sosialisasi program Aksi Kota Hijau, penyiapan peta kota hijau,
peningkatan kuantitas dan kualitas RTH kota Blitar, sedangkan instansi
yang berwenang dalam tiap- tiap agenda kebijakan adalah sebagai berikut:
Agenda Kebijakan

Instansi Yang Berwenang

Green Planning

BAPPEDA dan DISNAKER

Green Water

Badan Lingkungan Hidup, Dinas
Pekerjaan Umum dan Dinas
Pertamanan dan Kebersihan
Kota Blitar

Green Waste

Badan Lingkungan Hidup, Dinas
34

Pekerjaan Umum dan Dinas
Pertamanan dan Kebersihan
Kota Blitar
Green Community

Dinas

Kebersihan

dan

Pertamanan, Dinas Pekerjaan
Umum

Daerah,

Kantor

Lingkungan Hidup Bappemas
dan Keluarga Berencana dan
BAPPEDA kota Blitar
Green Open Space

berada dalam kewenangan 2 (dua)
SKPD

yang

membidangi

lingkungan hidup yaitu Dinas
Kebersihan dan Pertamanan
dan Kantor Lingkungan Hidup
4. Karakteristik Agen Pelaksana dalam Kebijakan Aksi Kota Hijau
Blitar
Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup landasan hukum, Visi
dan Misi Kota Blitar dalam implementasi kebijakan Aksi Kota Hijau,
Implementasi kebijakan Aksi Kota Hijau (P2KH) Kota Blitar didasarkan
pada UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah
Kota Blitar no 12 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang tertuang dalam dokumen perencanaan daerah kota
Blitaadalah sebagai berikut
Gambar: Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Blitar

35

. Sumber : BAPPEDA Kota Blitar tahun 2014
5. Faktor-Faktor Ekonomi, Sosial dan Politik
Faktor faktor Ekonomi dan sosial masyarakat ternyata memiliki
peranan penting bagi kesuksesan dari implementasi kebijakan khususnya
adalah kebijakan Pembangunan Kota Hijau (PKH) Kota Blitar adalah
sebagai berikut
a. Keadaan Ekonomi Kota Blitar
Potensi daerah Kabupaten Bliar mencakup potensi ekonomi yang
meliputi : Produk Domestik Regional Bruto, pertumbuhan Ekonomi,
dan tingkat Inflasi. Selain potensi ekonomi tersebut, Kabupaten Blitar
juga memiliki produk unggulan strategis yang menjadi andalan dan
mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pendapatan daerah apabila dikelola secara benar, tepat dan professional.
Data statistik menunjukkan angka PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
(ADHB) Kabupaten Blitar dari tahun ke tahun menunjukkan
peningkatan. Pada tahun 2005 sebesar Rp. 6.537.312,78, pada tahun
2006 mencapai Rp. 7.487.838.06 juta, sedang pada tahun 2007
mencapai sebesar Rp. 8.612.559,81 juta, tahun 2008 mencapai
Rp.9.935.944,23 juta, tahun 2009 mencapai Rp. 11.011.362,01 juta d