hak asasi manusia dan negara

HAK ASASI MANUSIA, DAN KEKERASAN YANG
DILAKUKAN OLEH NEGARA

disusun guna memenuhi tugas akhir semester
mata kuliah Etika Terapan

oleh

Almatius Surya G
1006771913

PROGRAM STUDI FILSAFAT
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2012

ABSTRAK
Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia ? hal ini menjadi
pertanyaan kita di dalam kehidupan bernegara. Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan
berpendapat bahwa negara harus bisa mengawasi dan juga imenempati kekosongan ketika
pelanggaran Hak Asasi Manusia itu terjadi. Namun bagaimana ketika negaralah yang melanggar

Hak Asasi Manusia, seperti pada kasus pada zaman Orde Baru. ketika serigala tetap tidak bisa
menjadi anjing peliharaan ketika sudah berada di dalam suatu komunitas. Kehidupan bernegara
ini tidak akan pernah lepas dari tindakan politik, dan politik adalah sebuah penyingkapan bahwa
dirinya adalah manusia. Itu karena politik adalah ruang bagi tindakan (vita activa) dan pemikiran
(vita contemplativa). Hannah Arendt berpendapat bahwa manusia yang seharusnya adalah
manusia politis

Kata kunci : homo homini lupus, UU No.39 Thn 1999, DUHAM, Leviathan, vita activa, vita
contemplativa, kekuasaan, kebebasan, kekerasan

HAK ASASI MANUSIA DAN NEGARA
1. Proses terbentuk dan prinsip di dalam HAM
Proses terbentuknya HAM :
Penindasan (Kesewenang-wenangan)
Penemuan Hak

Penegakan Hak

Pengakuan Hak


Pengkodifikasian Hak
HAM terbentuk dari sebuah penindasan karena kesewenang-wenangan suatu kelompok masyarakat
terhadap kelompok masyarakat yang lebih kecil, dan lemah. Setelah itu mereka yang merasa tertindas
melaporkan penindasan tersebut sehingga ditemukanlah hak tersebut. Lalu agar tidak terjadi sebuah
kejahatan yang sama maka diadakan pengakuan hak, yang dilanjutkan dengan pengkodifikasian hak, dan
penegakannya. Namun setelah ditegakkan, akan terjadi penindasan dalam bentuk yang berbeda, maka dari
itu siklus tersebut akan selalu berputar.
Prinsip-prinsip di dalam HAM :
a. Universal
Hak asasi bersifat universal. Semua orang dimanapun di dunia ini memiliki hak. Manusia tidak
dapat memberikan hak tersebut. Demikian pula, seseorang tidak dapat mencabut hak tersebut dari
orang lain. Sebagaimana disebut dalam Pasal 1 DUHAM, “Semua manusia dilahirkan merdeka
dan setara dalam martabat dan haknya”.
b. Tidak dapat dibagi
HAM tidak dapat dibagi, baik itu hak sipil,budaya, ekonomi, politik atau sosial. Hak tersebut
inheren terhadap martabat setiap manusia. Sebagai akibatnya, semua orang memiliki kesetaraan

hak, dan mereka tidak dapat dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan, atau aturan-aturan yang
bersifat hirarkis
c. Saling terkait

Realisasi dari satu hak tergantung sepenuhnya atau sebagian, terhadap realisasi dari hak yang
lain. Sebagai contoh, realisasi hak atas kesehatan dapat tergantung, dalam keadaan tertentu,
terhadap realisasi hak atas kesehatan atau hak atas informasi
d. Setara
Semua orang adalah setara sebagai manusia. Dengan demikian, tidak seorangpun, harus
menderita karena diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, etnis, gender, umur, bahasa, orientasi
seks, agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul kebangsaan, sosial dan geografi, disability,
kepemilikan, kelahiran atau status lain yang dibangun dengan standard HAM.
e. Akuntabilitas
Negara dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai kepatuhannya terhadap HAM. Dalam hal
ini, Negara harus menyesuaikan dengan norma dan standard hokum yang ada di dalam instrument
HAM internasional. Bilamana Negara gagal untuk melakukannya, pemegang hak yang dirugikan
berhak untuk melakukan tindakan redress tertentu sebelum ke pengadilan atau proses hokum lain
dalam kesesuaiannya dengan peraturan dan prosedur yang ada di dalam hokum. Individu, media,
masyarakat sipil, dan masyarakat internasional memainkan peran penting dalam menjaga
akuntabilitas pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi HAM.
2. Undang-Undang HAM di Indonesia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

I. UMUM
Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuah yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan
kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing
dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan
nuraninya itu, maka manusia memiliiki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau

perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar
dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara
kodrati sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran
terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara,
pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak
asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus
selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan Yang maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek
individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap
orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban
mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap

organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan
pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak
asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama
berkaittan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak
asasi pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat
sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan
dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya.
Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik
yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya)

maupun horizontal (atarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataanya selama lebih lima puluh tahun usia Rebulik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan , pemerkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah

tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu , terjadi
juga penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi
penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.
Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 tersebut, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan
kepada Lembagalembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Disamping kedua sumber hukum diatas, peraturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya
sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang
mengesahkan berbagai konvensi internasional ,mengenai hak asasi manusia. Namun untuk
memayungi seluruh peratuan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undangundang tentang Hak Asasi Manusia.
Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dan segala
isinya;


b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta
berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan
kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala
bagi manusia lainnya (homo homini lupus);
d. karena manusia merupakan mahluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi
oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah
tanpa batas;
e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia
orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu
pemerintah, aparatur negara, dan pejabat public lainnya mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan
hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, peraturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi
Peserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrument

internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini
disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak
dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak

asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah
dalam penegakan hak asasi manusia. Disamping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai
Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai
fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan
dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan
kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM, penelitian,
pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia. Undang-undang tentang
Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung
atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administrative sesuai dengan

ketentuan peratturan perundang-undangan.
3. Kekuasaan dan negara
Secara etimologis, kata negara sendiri berasal dari bahasa Inggris (STATE), Bahasa belanda
(STAAT), Bahasa Perancis (ETAT) yang sebenarnya kesemua kata itu berasal dari Bahasa Latin
(STATUS atau STATUM) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki
sifatsifat yang tegak dan tetap. Dimana makna luas dari kata tersebut juga bisa diartikan sebagai
kedudukan persekutuan hidup manusia.

Sedangkan arti dari negara sendiri adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya
baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah
tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi
semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent. Dan untuk bisa dikatakan sebagai
negara, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi :

a.
b.
c.
d.

Rakyat

Wilayah / territorial
Pemerintahan yang berdaulat
Pengakuan dari negara-negara yang lain

Menurut Thomas Hobbes, sebuah negara terbentuk dari sebuah kontrak sosial. Thomas Hobbes
berangkat dari pemikiran bahwa, individu manusia pada awalnya itu jahat, sehingga manusia

membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi lagi agar manusia takut, sehingga setiap manusia tidak
menjadi serigala bagi serigala lainnya.
Di dalam bukunya yang berjudul “Leviathan”, Thomas Hobbes menjelaskan bahwa seharusnya
negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah
manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan. Hal ini dianalogikan oleh Hobbes sebagai
Leviathan, yang merupakan binatang buas di dalam mitologi Timur Tengah. Mengapa harus terbentuk
negara yang harus ditakuti oleh manusia ? Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia
ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa. [1] Dengan mengetahui
hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu
kuasailah rasa takut mati mereka.[1] Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan
emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa
takut mati dari warga negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.
Namun untuk menghidari kekuasaan mutlak suatu negara, Thomas Hobbes berpendapat bahwa :

a. Pertama, perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak
perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.
b. Kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara
yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum
negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan
alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya

KONSEP HAK ASASI MANUSIA HANNAH ARENDT
Di dalam bukunya yang berjudul The Origin of Totalitariianisme, Hannah Arendt berpendapat
bahwa sebenarnya hak asasi manusia pada awalnya sudah mengandung paradoks. Hal ini
dikarenakan manusia itu hidup di dalam komunitas, dan setiap manusia bukanlah “manusia pada
umumnya”. Menurutnya, manusia itu harus dipandang sebagai pribadi konkret yang berbeda
dengan pribadi-pribadi yang lain.
Hal inilah yang menyebabkan Arendt mengkritisi liberalisme yang selalu mengagung-agungkan
kebebasan individu manusia, yang menekankan bahwa hak asasi manusia itu sudah ada sebelum
ada eksistensi negara. Hal ini berbeda dengan republikanisme yang berpendapat bahwa hak-hak

asasi manusia itu bukanlah hak-hak alamiah, melainkan hak-hak historis yang terkait dengan
komunitas politik sehingga hak-hak asasi manusia tak dapat dilepaskan dari proses legislasi
demokratis. Hak asasi manusia tidak aka nada gunanya tanpa kedaulatan rakyat
Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang kita cita-citakan di dalam suatu konsep negara
yang sangat menginginkan sebuah kebebasan yang dianut oleh negara-negara liberalis. Yang
perlu dilihat di sini adalah latar belakang terbentuknya liberalism dan republikanisme. Yang
pertama adalah liberalisme, liberalisme berpangkal dari pengalaman kekuassaan absolute dalam
pemerintahan monarkhi, dan juga penderitaan yang diakibatkan oleh perag agama di Eropa pada
abad 17 dan 18. Untuk melawan tirani yang merampas kebebasan individu ini, hak asasi liberal
tampil untuk melawan negara. Menurut liberalisme, hak asasi manusia itu harus didahulukan
daripada negara, maka dari itu individu adalah sesuatu yang utama. Tujuan negara adalah
menjamin kebebasan individu tersebut.
Berbeda dengan liberalisme, republikanisme berangkat dari permasalahan modernitas kapitalis,
yang telah membebaskan bangsa-bangsa dari ikatan otoritas dan tradisi sosial, religious, dan
historis. Hal ini menyebabkan individu tampil secara bebas dimuka umum. Menurut Arendt, hal
ini bukanlah menunjukkan emansipasi individu di dalam kelompok, melainkan atomisasi1. Hal
ini menyebabkan masyarakat kelas dan tidak ada lagi jaminan bahwa setiap individu akan
dipandang sama di dalam kelompok. Menurut republikanisme, hal ini seharusnya dilakukan oleh
negara. Ketika komunitas-komunitas sosial dan religius sudah tidak bisa lagi menjamin, maka
negara harus mengambil alih peran tersebut.
Di sinilah timbul paradoks hak asasi manusia, awal kita membayangkan bahwa hak itu
merupakan hak pra-politis, yaitu sebagai sesuatu yang dimiliki oleh manusia sebagai individu
sebelum terbentuknya negara, sehingga tugas negara adalah menjamin pelaksanaannya. Padahal
untuk menjamin hal tersebut individu tidak bisa tetap dianggap sebagai individu. Statusnya harus
berubah menjadi anggota kelompok yaitu warga negara.
Konsep kewarganegaraan dan konsep ruang publik Hannah Arendt adalah dua dari tiga konsep
sentral – yang lainnya lagi, dan bahkan paling sentral, adalah “teori tindakan”-nya – dalam teori
1 Atomisasi adalah individu tercabut dari komunitas yang merupakan dunia yang dihayati
bersama dan kehilangan identitas kolektif yang memberinya rasa ketermasukkan di dalam
kelompok

sosial Hannah Arendt. Ketiganya saling berhubungan. Membicarakan kewarganegaraan dan
ruang publik tanpa mendasarkannya pada teori tindakan, bagi Arendt, itu tidak mungkin. Karena
itu, sebelum masuk ke konsep Arendt tentang kewarganegaraan dan ruang publik, perlu kita
cermati dulu teori tindakannya.
Konsep kewarganegaraan didasarkan pada antropologi khas Hannah Arendt yang memandang
manusia dalam tiga dimensi vita activa-nya, yaitu kerja (labor), karya (work), dan tindakan
(action). Dari ketiganya, yang mengekspresikan dan mengkonstitusikan dimensi politik manusia
adalah tindakan. Apa artinya? Politik bukanlah bawaan, dan karena itu niscaya, melainkan
buatan, dan karena itu kontingen. Politik adalah suatu tindakan sengaja. Tetapi, tindakan itu
sendiri tidak mungkin tanpa masyarakat. Kalau aktivitas lain (kerja dan karya) dapat dimengerti
di luar masyarakat, maka tindakan tidak. Bahkan, tindakan adalah prerogatif eksklusif manusia.
Oleh karena itu, tindakanlah yang membedakan manusia dari spesies binatang lainnya, bahkan
dari para dewa sekalipun

Manusia masihlah tetap manusia tanpa kerja dan karya, tetapi tanpa ucapan dan tindakan,
manusia bukan lagi manusia. Tindakan berarti memulai, menginisiasi. Tindakan memulai ini
adalah ekspresi kebebasan manusia, sebuah kondisi dasar lain, selain pluralitas. Dalam kata-kata
Arendt sendiri, “Dengan terciptanya manusia, prinsip permulaan masuk ke dunia, ini hanya cara
lain untuk menyatakan bahwa prinsip kebebasan itu tercipta ketika manusia diciptakan, bukan
sebelum diciptakan.”
1. Pluralitas dan Kebebasan
Menurut Arendt, Pluralitas, yang menjadi prasyarat dasar bagi tindakan dan ucapan, menjadi
ruang tempat berlangsungnya dialektika antara kesamaan/kesetaraan (equality) dan kebedaan
(distinction).29 Kesamaan menjadi basis bagi adanya pemahaman terhadap satu sama lain dan
bagi perencanaan dan “ramalan” akan kebutuhan manusia-manusia masa depan. Kebedaan
menjadi basis bagi tindakan dan ucapan agar bisa dimengerti. Dalam kata-kata Arendt sendiri,
“Jika manusia tidak sama, maka mereka tidak pernah bisa saling mengerti dan melihat kebutuhan
manusia masa depan. [Tetapi] jika manusia tidak berbeda, mereka tidak butuh tindakan dan
ucapan untuk saling mengerti.”

Politik adalah tindakan (dan juga wicara). Dan tindakan mengimplikasikan kebebasan, karena
bertindak menurut Arendt berarti memulai, mencipta; dan memulai dan mencipta berarti
melakukan pilihan-pilihan.31 Itu adalah kebebasan. Tindakan mengimplikasikan kebebasan tidak
dibaca sebagai tindakan yang menghasilkan atau mengakibatkan kebebasan tetapi tindakan
memprasyaratkan kebebasan. Politik adalah tindakan, dan karena itu politik, tidak bisa tidak,
memprasyaratkan kebebasan. Politik tanpa kebebasan bukanlah politik. Kebebasan adalah
kondisi kemungkinan bagi politik.
Di dalam esai yang berjudul “What is Freedom ?”, Arendt mengembangkan konsepnya tentang
kebebasan politik sebagai keutamaan dan membaliknya dengan kebebasan sebagai “kehendak
bebas. Walaupun begitu ada sesuatu yang bisa merusak kebebasan yaitu menyamakan kebebasan
sebagai “independensi” dan kedaulatan. Menurut Arendt, jika kebebasan dipahami sebagai
independensi

maka

akan

timbul

kesulitan,

karena

politik

persis

mengandaikan

kesalingtergantungan (interdependency). Jika demikian, maka kebebasan berarti kebebasan
“dari” politik. Hal ini tentu saja absurd bagi Arendt yang memahami kebebasan dalam konsep
antiknya, yaitu kebebasan sebagai konsep politik. Kebebasan eksis hanya di dalam ruang politik
yang tidak lain adalah ruang publik. Kebebasan juga bertentangan secara antagonistik secara
konseptual dengan kedaulatan: “Kebebasan dan kedaulatan tidaklah
sama dan keduanya bahkan tidak dapat eksis secara simultan”. Dikaitkan dengan konsep vita
activa-nya, independensi dan kedaulatan merupakan dua konsep yang masuk dalam kategori
karya (work), dan bukan kategori tindakan. Karena itu keduanya tidak politis. Menurut Arendt,
kedaulatan (self-determination) adalah nama lain dari kehendak bebas (free will). Melihat
kebebasan sebagai kehendak bebas akan membuat kita memahami politik sebagai arena
peperangan.
Di esainya tersebut, Arendt juga menjelaskan konsep kebebasan yang merupakan hal yang
inheren dalam tindakan politik dengan konsep “virtu” milik Machiacelli. Menurutnya,
keutamaan adalah kehebatan yang dimiliki oleh manusia untuk memanfaatkan peluang yang
diberikan dunia di dalam suatu kedok keberuntungan. Menurut Arendt, keberanian adalah
politis sejauh bahwa seseorang tidak dijajah oleh kepentingan pribadi semata melainkan selalu
terarah pada kepentingan publik.

Dalam On Revolution, Hannah Arendt membedakan kebebasan politik (political freedom) dari
kebebasan personal (personal freedom). Bagi Arendt, kebebasan politik adalah kebebasan
warisan pemikir seperti Aristoteles, dan praktik polis di Yunani kuno, dan itulah yang sebenarnya
dinamakan kebebasan. Kebebasan jenis ini, sekarang ini, dipahami sebagai kebebasan positif
(positve liberty), yaitu kebebasan untuk (freedom to) melakukan apa pun dan menjadi apa pun
berdasarkan otonomi seseorang. Sementara, kebebasan personal adalah, dalam kaca mata Arendt,
kebebasan yang dipahami dalam politik modern (liberty of the moderns). Kebebasan demikian
berada di luar politik. Dalam paham sekarang ini, kebebasan itu dinamakan sebagai kebebasan
negatif (negative freedom), yaitu kebebasan dari (freedom from) apa pun dan siapa pun yang
menjadi penghalang bagi pemenuhan sesuatu atau diri. Tetapi, sebenarnya Arendt tidak memakai
konsep positif dan negatif, melainkan politik dan personal, dan konsep itu melampaui konsep
kebebasan positif dan negatif, yang bahkan sangat kental mewarnai pertentangan antara
liberalisme dan sosialisme, yang kemudian juga tercermin dalam hak asasi manusia.
Dengan demikian, kebebasan yang dipahami Arendt memang lebih dalam pengertian sebagai
kebebasan politik. Kebebasan di luar kategori kebebasan politik sama sekali tidak bisa
dimengerti, persis karena status ontologis politik memiliki status antropologis juga, di mana
tanpa politik manusia bukan lagi manusia. Kebebasan sebagai “kebebasan politik” dikaitkan
dengan agora di negara kota Yunani, ruang politik. Interpretasi politik Yunani kuno yang asli
terhadap kebebasan dan praktik politik kuno terhadap demokrasi kemudian dilencengkan oleh
fakta di mana pemikiran Plato dan Aristoteles serta para murid mereka dipinggirkan dari pusat
kehidupan publik negara kota, dari agora, dan dari kehidupan politik itu sendiri. Pandangan
mereka didiskusikan dan disebarkan hanya dalam lingkup kecil. Kebebasan sebagai warga
negara kemudian hanya dibatasi dalam paham sebagai kebebasan dalam hal pertikaian ilmiah.
Kaum sofis berada di balik semua ini. Perilaku anti-politik mereka berdampak pada devaluasi
hakikat politik dan kebebasan politik. Hal ini berlanjut menjadi semakin parah di tangan para
pemikir Kristen abad Pertengahan, dengan tokoh utamanya adalah Agustinus, yang kemudian
mereduksi makna kebebasan hanya sebagai kebebasan kehendak (freedom of the will).
Kebebasan ditarik mundur dari arena luar yang besar ke arena dalam yang sempit. Kebebasan
kehendak lebih terkait dengan transendensi dan bukan dengan praktik politik di negara-kota
beserta segala seluk beluknya, dan karena itu ia ditarik mundur total dari kebebasan politik.
Introversi atau kemenyendirian, isolasi dari ruang publik berlawanan secara diametral dengan

praktik negara-kota Yunani kuno, karena ruang privat merupakan ruang sang manusia tunggal
(sphere of Man) dan bukan ruang gaul manusia-manusia atau rakyat.
2. Etika Politik (Negasi dari Kekerasan)
Hannah Arendt tidak setuju dengan Hobbes yang mengatakan kekerasan adalah bagian dari
alamiah manusia. Arendt menampik pendapat ini dalam uraian Vita Activa ( The Human
Condition). Dia membedakan tiga aktivitas fundamental manuisa: kerja, karya, dan tindakan.
Ketiga kegiatan ini erat dengan eksistensi manusia yang paling umum: kelahiran dan kematian.
Kerja demi keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain secara keseluruhan. Karya memberi
kita peluang untuk mencari dan memberi arti kehidupan kita, dan menangkal kesia-siaan
kematian; kita mampu untuk selalu terkenang. Karya seni misalnya, tetap abadi walau sang
pembuat karya itu sudah mati. Tindakan membiarkan kita menciptakan sejarah, dan megingat
masa lampau. Ketiga ini ada demi kehidupan generasi selanjutnnya.
Menurut Arendt, kekerasan bukan merupakan ciri dari sebuah kekuasaan. Walaupun banyak
pemikir berpendapat bahwa kekerasan merupakan alat untuk mencapai dan mempertahankan
kekuasaan, Arendt berpendapat bahwa kekerasan itu terjadi ketika kekuasaan sudah tidak ada.
Maka hal itu menjadi kontradiktif ketika dikatakan bahwa kekerasan merupakan alat kekuasaan.
Untuk menguraikan kekerasan dari kekuasaan, Arendt membuat distingsi dan klarifikasi yang
menarik antara kekuasaan (power), kekuatan (strength), daya paksa (force), otoritas (authority),
dan kekerasan (violence).
Kekuasaan berhubungan dengan kemampuan untuk tidak sekedar bertindak, melainkan bertindak
bersama sama. Kekuasaan tidak pernah menjadi properti individual. Kekuasaan termasuk dalam
satu kelompok dan tetap eksis jika kelompok itu masih bersama. Ketika kita mengatakan
seseorang itu berkuasa berarti dia diberdayakan khalayak banyak untuk bertindak atas nama
mereka.
Kekuatan adalah entitas tunggal atau individual. Kekuatan inheren pada individu dan menjadi
karakternya. Kekuatan tidak selalu berkaitan dengan kekuasaan. Orang kuat tidak selalu
berkuasa, dia bahkan mendapat perlawanan dari kekuasaan yang berasal dari orang banyak.

Namun, dalam suatu kondisi tertetu, Arendt menjelaskan bahwa kekerasan itu dapat dibenarkan.
Dia berpendapat bahwa satu-satunya solusi terhadap ketidakadilan adalah kekerasan.
Hannah Arendt dengan terang-terangan menolak para filsuf politik sebelumnya yang
memungkinkan

kekerasan

sebagai

instrument

sebuah

negara

demi

mempertahankan

eksistensinya terhadap masyarakatnya maupun dunia internasional untuk tujuan politits tertentu.
Dalam The Origins Totalitarianisme, ia berbicara tentang totalitarianisme, imperialisme, dan
rasisme sebagai bentuk bentuk kekerasan negara.
Arendt juga mengecam sistem pemerintahan yang terlalu birokratis. Sistem yang tidak memberi
ruang pada tanggung jawab. Bagi dia, sistem yang seperti ini membuka peluang untuk terjadinya
kekerasan karena tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab.

KASUS

TENTANG

KEKERASAN

YANG

DILAKUKAN OLEH NEGARA
Februari – Mei 1998
Terjadi kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap 23 orang penduduk sipil, dimana
sebagian dari mereka adalah aktivis pro demokrasi.
Dari jumlah tersebut, yang dikembalikan hanya 9 orang, terdiri dari ;
1. Aan Rusdiyanto 13 Maret 1998 Diambil paka dirumah susun klender Jakarta Timur
2. Andi Arief 28 Maret 1998 Diambil paksa di Lampung
3. Desmon J Mahesa 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta
4. Faisol Reza 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo Jakarta
Pusat Haryanto Taslam 2 Maret 1998 Saat mengendarai mobil dikejar dan diambil paksa

di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah Mugiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa
dirumah susun Klender Jakarta Timur
5. Nezar Patria 13 Maret 1998 Diambil paksa dirumah susun Klender Jakarta Timur
6. Pius Lustrilanang 4 Februari 1998 Diambil paksa di Jakarta
7. Raharja Waluya Jati 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo
Jakarta Pusat
Sedangkan13 orang yang belum kembali hingga sekarang, terdiri dari;
1. Dedy Hamdun 29 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
2. Hermawan Hendrawan 12 Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta
3. Hendra Hambali 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
4. Ismail 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta
5. M Yusuf 7 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta
6. Nova Al Katiri 29 Mei 1997 Diambil paksa di Jakarta
7. Petrus Bima Anugrah Minggu ke III bulan Maret 1998 Diambil paksa di Jakarta
8. Sony 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta
9. Suyat Februari 1997 Diambil paksa di Jakarta
10. Ucok Munandar Siahaan 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
11. Yadin Muhidin 14 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
12. Yani Afri 26 April 1997 Diambil paksa di Jakarta
13. Wiji Tukul Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta
(sumber : KONTRAS)

Analisis Kasus :
Penculikkan dan penghilangan beberapa aktivis yang dilakukan oleh negara pada masa Orde
Baru merupakan suatu bentuk pelanggaran negara terhadap rakyatnya sendiri. Sebuah kekerasan
yang pada zaman Soeharto dilakukan untuk menjaga stabilitas negara, hanya sebagai kedok
semata. Yang lebih mendasar lagi adalah kekerasan dilakukan agar Soeharto bisa tetap menjadi
Presiden.
Apabila kita lihat kekerasan yang dilakukan oleh penguasa saat itu adalah sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaan. Apabila kita lihat dari sudut pandang Thomas Hobbes, maka
pernyataan Hobbes bahwa terbentuknya negara adalah dengan tujuan agar manusia tidak menjadi
individualistis itu salah. Kekerasan yang dilakukan Soeharto saat itu menurut saya adalah sesuatu
yang buas yang ada di dalam diri manusia. Jadi tetap ada serigala di dalam negara, namun
serigala yang banyak bertindak adalah serigala yang mempunyai posisi di atas, dibandingkan
dengan yang lainnya.
Apabila Hobbes melihat dari sisi individu, maka Hannah Arendt akan melihat dari sudut pandang
komunitas. Sebuah kekerasan yang dilakukan oleh negara dikarenakan kekuasaan yang saat itu
terjadi menjadi terancam, karena masyarakat sudah tidak mempercayainya sebagai seorang
pemegang kekuasaan. Maka dari itu kekerasan yang terjadi bukan di dalam suatu kekuasaan lagi,
tapi diluar kekuasaan lagi. Hal inilah yang sebelumnya di sebut sebagai kontradiksi. Namun
sebenarnya kekerasan itu bukan hanya terjadi dari “penguasa” ke masyarakat, tapi juga
masyarakat ke penguasa. Kekerasan yang dilakukan dari masyarakat ke penguasa terjadi
dikarenakan ketidakadilan.
Jadi, Hak asasi manusia atau bisa dikatakan sebagai sesuatu yang bebas yang harus dimiliki oleh
manusia itu harus bisa diawasi oleh negara. Namun bukan hanya diawasii, tapi juga ketika
individu atau sekelompok yang lebih kecil itu sudah tidak bisa mendapatkan haknya lagi, maka
negaralah yang harus bisa memberikan haknya itu kepada individu atau sekelompok yang lebih
kecil tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Arendt, Hannah, “What Is Freedom?” yang direproduksi ulang dalam Peter Baehr
(ed.), The Portable Hannah Arendt, New York: Penguin Books, 2000.
Riyadi, Eddie S., “Politik sebagai Relasi Kebebasan: Sebuah Tilikan terhadap Teori
Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Menurut Hannah Arendt”, dalam Rocky
Gerung (ed.), Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt
sampai Zizeck, Jakarta: Marjin Kiri dan P2D, 2008.
Arendt, Hannah, On Revolution, Harmondsworth: Penguin Books, 1990 (1963)
(terbitan versi awalnya pada tahun 1963 oleh Viking Press, Amerika).
Hardiman, Budi, Hak-Hak Asasi Manusia : Polemik dengan Agama dan Kebudayaan,
Yogyakarta: Kanisius, 2011