Ide Tubuh Puisi dan Posisi Kritikus

iDE, TUBUH PUISI, DAN POSISI KRITIKUS
Oleh Edy A Effendi
Diskusi buku puisi Daging Akar karya Gus tf di QB World Books, Kemang, Jakarta,
pekan silam, menyisakan seperangkat isu sastra yang harus diungkap lebih
dalam. Seperangkat isu sastra itu berpijak pada persoalan; apakah puisi harus
didekati dan digumuli melalui ide-ide besar di luar tubuh puisi dengan
pendekatan filsafat dan berbagai teori-teori besar, yang tidak memiliki
signifikansi dengan persoalan tubuh puisi.
Puisi dalam kerangka pendekatan seperti ini kemudian direkayasa, dikunyah, dan
dicari padanannya dengan ide-ide besar di luar konteks puisi. Mencari ide dalam
puisi inilah yang dikritik pegiat sastra Nirwan Dewanto ketika mendengar
paparan Nirwan Ahmad Arsuka perihal puisi-puisi Gus tf.
Arsuka mencoba melihat bahwa puisi-puisi Gus tf lebih ke arah metafisis atau
lebih tepatnya banyak mitos yang tersembunyi dalam kumpulan Daging Akar.
Dengan demikian, 38 puisi yang ada dalam kumpulan tersebut adalah rentetan
gagasan lapuk, yang hanya mengulang perdebatan lama atau pertikaian dalam
kutub agama dan sains, tanpa memberi pencerahan bagi pembaca. Puisi-puisi
Gus dalam takaran Arsuka mencoba mengisi ruang-ruang kosong yang
ditinggalkan dunia sains kontemporer.
Semua paparan Arsuka tentang mitos, metafisika, ilmu pengetahuan, filsafat
seolah-olah hanya upaya mengait-kaitkan atau lebih tepatnya mencocokan

dengan "selera" puisi yang ditulis Gus tf tanpa melakukan riset lebih detail ke
jantung puisi itu sendiri. Seolah-olah ada jarak antara dunia ilmu, agama, dan
kawasan fiksi yang begitu dalam. Paparan seperti ini hakikatnya adalah isu lama,
yang coba dikemas dengan konstruksi baru.
Sayang sekali Arsuka tidak menindaklanjuti kecenderungan mitos dalam puisi
Gus tf. Jika Arsuka merambah wilayah ini untuk mendekati puisi-puisi Gus, akan
cukup menarik. Karena, kecenderungan aura mitos dalam diri penyair Indonesia
begitu menggurita.
Kecenderungan seperti ini mungkin saja di antara kita, akan sulit menciptakan
ruang-ruang kesadaran baru karena di dalamnya diri masih tertinggal aura
mitos, bahwa manusia masa lampau kurang lebih sama dengan kita. Padahal,
sebenarnya kehidupan spiritual mereka agak berbeda. Secara khusus, menurut
Johannes Sloek, manusia masa lalu mengembangkan dua cara berpikir, berbicara,
dan memperoleh pengetahuan, dua cara yang oleh para ilmuwan disebut mitos
dan logos (Lihat Devotional Language, 1996).
Seperti kita tahu, mitos, dalam terminologi Sloek, tidak bisa ditunjukkan dengan
bukti-bukti rasional. Manfaatnya lebih bersifat intuitif. Ia serupa dengan seni,
musik, puisi, ataupun pahatan. Mitos hanya menjadi kenyataan jika ia
dipraktikkan dalam sekte, ritual, dan upacara-upacara keagamaan dengan
maksud menimbulkan nuansa estetik kepada para pengikutnya, menimbulkan


nuansa suci sehingga mereka mampu mendapatkan tingkat eksistensi yang lebih
dalam. Mitos dan sekte begitu tak terpisahkan sehingga muncul perdebatan
akademis tentang mana yang muncul lebih dulu: narasi mitologis ataukah
ritualnya.
Puisi Indonesia dalam tataran ini seolah-olah selalu saja dihiasi aroma mitos.
Puisi-puisi yang diciptakan tidak mampu keluar dari bayang-bayang masa lalu,
bayang-bayang mitos para penyair terdahulu. Dan puisi-puisi yang tercipta pada
akhirnya tidak bisa dilepaskan dari jargon-jargon mitos, baik melalui bahasa
yang dikembangkan sang penyair.
Aroma mitos melalui bahasa
Sejatinya jika Arsuka cukup memahami puisi Gus akan menarik menggiring isu
mistisisme ke dalam arena mitos. Karena mitos, menurut Karen Armstrong,
sangat terkait erat dengan mistisisme, sebuah jalan menelusuri kejiwaan melalui
penggunaan aturan-aturan terfokus yang terstruktur (aturan-aturan yang
berkembang di semua kebudayaan sebagai alat untuk meraih hikmat intuitif).
Mitos itu akan menjadi abstrak dan berada di luar jangkauan kita. Ini bisa
disamakan dengan notasi musik yang tetap tidak bisa dimengerti bagi
kebanyakan kita sehingga notasi perlu ditafsirkan secara instrumental agar kita
dapat menikmati keindahannya.

Cara kerja tafsir sastra yang hanya memenggal ide-ide besar dan memberi
cantolan dalam teks sastra mengingatkan saya pada cara kerja ilmuwan sosial
dalam merekonstruksi dan memandang persoalan. Salah satu dari mereka adalah
Immanuel Wallerstein, sejarawan dan Direktur Braudel Center Binghamtom
University, yang mencoba mengadopsi cara kerja yang dikibarkan para pemuja
nomotetik dan juga sekaligus melakukan kritik terhadap keguncangan ilmu-ilmu
alam.
Menurut Wallerstein, berbagai ketidakpuasan yang lama tersimpan terhadap
asumsi-asumsi Newtonian, yang dapat ditelusuri setidaknya hingga pada
Polincare pada akhir abad ke-19, mulai meledak: dalam produksi intelektual,
dalam sejumlah penganut, dalam visibilitas publik.
Menurut ilmuwan yang satu ini, ketika dunia disemarakkan dengan berbagai
gejolak, dibutuhkan penjelasan yang kompleks, sebuah dunia yang harus
dideskripsikan secara agak berbeda. Pengetahuan yang kita konstruksikan dari
realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri, dan perubahan di
dalam realitas akan mampu memberi vibrasi dalam cara merekonstruksi
pengetahuan.
Pandangan-pandangan seperti Wallerstein inilah yang saya tangkap ketika
mendengar amatan-amatan Arsuka berhadapan dengan puisi Gus tf. Ia mencoba
mendeskripsikan secara agak berbeda, mengonstruksi realitas puisi dan pada

gilirannya memengaruhi realitas puisi itu sendiri.

Menyisakan masalah
Jejak rekam Arsuka ketika berhadapan dengan puisi memang menyisakan
banyak masalah. Masalah pertama, ketika puisi didekati dengan ide-ide di luar
puisi, ia kehilangan roh. Badan atau tubuh puisi, yang di dalamnya terdapat
racikan kata, imaji, dan bunyi, menjadi telanjang di hadapan ide-ide besar di luar
konteks puisi. Masalah ini berbenturan dengan "jati diri" puisi, yang "menuntut
disiplin agar koherensi itu terjaga, dalam imaji, bunyi, sugesti, kontras, dan
keseimbangan. Dan seperti kita tahu, prosesnya melintasi jalan yang berbeda
dengan prosa".
Pada titik pendekatan puisi seperti ini, celah soal konfigurasi bahasa dan kata
demi kata secara rinci, lebih subtil, detail, serta terstruktur, terabaikan. Bukankah
dalam puisi, seperti dalam pandangan Octavio Paz, ada sinkroni bersifat luwes;
kata-kata yang mendukung sebuah puisi merupakan rangkaian bunyi yang
mengandung makna. Setiap bunyi harus dipelajari dengan cermat agar
maknanya dapat dipahami. Dalam puisi, harmoni justru menimbulkan
disharmoni.
Puisi bisa harmonis jika struktur ujaran yang bermakna itu mengalami
pembalikan dan penyimpangan. Dalam puisi, waktu bersamaan tidak sekadar

menjadi pembentuk puisi tersebut. Perbandingan metafora, ritme, dan rima
merupakan konjugasi dan repetisi yang mengikuti prinsip waktu bersamaan.
Semua perangkat puisi ini diabaikan atau dicampakkan Arsuka ketika
menyetubuhi bahasa puisi- puisi Gus.
Bukankah dalam wilayah sastra, khususnya puisi, bahasa menjadi satu kekuatan
sentral dan menjadi satu gema untuk menciptakan kembali keberadaan dan
kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia. Puisi, dalam ingatan Hartojo
Andangdjaja, menemukan artinya bagi kehidupan bersama apabila bersumber
pada sesuatu yang menemukan gemanya dalam kehidupan bersama itu sendiri.
Hartojo Andangdjaja juga melihat puisi akan menemukan artinya dalam
kehidupan bersama pada wataknya yang impersonal. Watak impersonal itu akan
kita temukan apabila puisi bersumberpada sesuatu yang lebih tinggi dari si
penyair sebagai person.
Masalah kedua, cara kerja kritik yang dikembangkan Arsuka, mempertegas
keberadaan para kritikus sastra, masih saja dihinggapi teori-teori besar di luar
persoalan yang berurusan dengan puisi. Mereka tidak mampu menelusuri celahcelah tubuh puisi, yang di dalamnya terbentang kawasan-kawasan ragawi sebuah
puisi.
Bukankah seperti diingatkan JE Tatengkeng, penyair terkemuka di awal
kesusastraan modern, bahwa yang paling fundamental dalam tradisi sastra
adalah pertemuan dan pergumulan antara kritikus dan apa yang diselidikinya.

Hasil dari pergumulan itu adalah kritik sastra yang bersifat subyektif. Sang
kritikus tidak berdiri di luar pagar perkara yang ia kupas dan sentuhan-

sentuhannya harus terasa "bentuk tangannya, ketokan jantungnya, dan panas
darahnya".
Di sini, dalam nalar Tatengkeng, kritikus berhubungan rapat dan terikat pada apa
yang ia sebut persoonlijkheid. Maka kebenaran akan kritik sastra tidak berdiri di
luar subyek sang kritikus, tetapi ia berada dalam wilayah kuasa kritikus.
Maka sudah sepatutnya sang kritikus harus bertemu dan bergumul dengan tubuh
puisi, bukan berdiri di luar pagar puisi.***