Masalah Kemiskinan menurut islam dan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi kita yang terbiasa menyusuri jalan-jalan besar di perkotaan, pastilah sering menyaksikan
pemandangan yang amat kontras. Mobil mewah semakin memadati jalan, sementara di
pinggiran jalan yang sama berjubel pengemis, anak jalanan, dan pemulung.
Mereka yang kurang peduli, akan bersikap biasa saja menyaksikan pemandangan itu. Akan
tetapi bagi kita yang mau peduli, tentu kita merasa sangat prihatin. Apa jadinya nasib mereka
jika tidak diperhatikan, tentulah akan menjadi sumber permasalahan sosial di kemudian hari.
Kondisi hidup mereka sangatlah rawan. Usaha pemurtadan senantiasa mengintip mereka.
Aksi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak juga selalu
mengancam. Nasib mereka sebagai saudara seiman dalam Islam merupakan tanggung jawab
kita semua.
Islam memberikan solusi permasalahan sosial ini dengan tiga metode. Metode yang pertama
adalah metode yang harus ditempuh oleh orang yang bersangkutan itu sendiri, yaitu bekerja.
Metode yang kedua adalah metode yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dalam membantu
orang yang kurang mampu itu. Metode yang terakhir adalah jalan yang ditempuh
pemerintahan untuk menyelesaikan kemiskinan.
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.

1.3 Tujuan
Beberapa tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis yaitu sebagai berikut:
1.

1

BAB II
Pembahasan
2.1 Studi Pustaka
2.1.1 Pengertian Miskin dan Fakir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak
berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir
diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.
Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam
atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang
punggung. Fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa
beban yang

dipikulnya


sedemikian

berat

sehingga

“mematahkan” tulang

punggungnya.
Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua
istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur
kemiskinan dan kefakiran.
2.1.2 Penyebab Kemiskinan
Memperhatikan akar kata “miskin” yang disebut di atas sebagai berarti diam atau
tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah
sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan
berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri.
Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan
Tuhan,


ditujukan

kepada

makhluk

yang

dinamainya dabbah, yang

arti

harfiahnya adalah yang bergerak.
Tidak ada satu dabbah pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rezekinya
(QS Hud [11]: 6).
Ayat ini “menjamin” siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan yang diam
menanti.

2


Lebih tegas lagi dinyatakannya bahwa, Allah telah menganugerahkan kepada kamu
segala apa yang kamu minta (butuhkan dan inginkan).
Jika kamu mengitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya lagi sangat kufur
(95 Ibrahim [14]: 34).
Pernyataan Al-Quran di atas dikemukakannya setelah menyebutkan aneka nikmatNya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan sebagainya. Sumber
daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak terhingga dan tidak
terbatas.
Seandainya sesuatu telah habis, maka ada alternatif lain yang disediakan Allah
selama manusia berusaha. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa
sumber daya alam terbatas, tetapi sikap manusia terhadap pihak lain, dan sikapnya
terhadap dirinya itulah yang menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh
sumber daya alam tersebut.
Kemiskinan terjadi

akibat

adanya ketidakseimbangan dalam

perolehan atau


penggunaan sumber daya alam itu, yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap
aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya alam itu untuk
mengangkatoya ke permukaan, atau untuk menemukan alternatif pengganti. Dan
kedua hal terakhir inilah yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap kufur.
2.1.3 Pandangan Islam tentang Kemiskinan
Dalam konteks penjelasan pandangan Al-Quran tentang kemiskinan ditemukan
sekian banyak

ayat-ayat Al-Quran yang memuji kecukupan, bahkan Al-

Quran menganjurkan untuk memperoleh kelebihan.
Apabila telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaran1ah di bumi dan carilah
fadhl (kelebihan) dan Allah (QS Al-Jum’ah [62]: 10)
Sejak dini pula Kitab Suci ini mengingatkan Nabi Muhammad Saw. tentang betapa
besar anugerah Allah kepada beliau, yang antara lain menjadikannya
berkecukupan (kaya) setelah sebelumnya papa.

3


Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia menganugerahkan
kepadamu kecukupan? (QS Al-Dhuha [93]: 8)
Seandainya

kecukupan

atau

kekayaan

tidak

terpuji, niscaya

ia

tidak

dikemukakan oleh ayat di atas dalam konteks pemaparan anugerah llahi. Berupaya
untuk memperoleh kelebihan, bahkan dibenarkan oleh Allah walau pada musim

ibadah haji sekalipun.
Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari fadhl (kelebihan) dari Allah (di
musim haji) (QS Al-Baqarah [2]: 198).
Di sisi lain, Al-Quran mengecam mereka yang mengharamkan hiasan duniawi
yang diciptakan Allah bagi umat manusia (QS Al-A’raf [7]: 32), dan
menyatakan bahwa

Allah

menjanjikan

ampunan dan anugerah

yang

berlebih, sedang setan menjanjikan kefakiran (QS Al-Baqarah [2]: 268).
Tak mengherankan jika dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan, Hampir
saja kekafiran itu menjadi kekufuran karena Nabi Saw. sering berdoa, Ya Allah,
Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran (HR Abu Dawd).
Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan,

dan Aku berlindung pu1a dari menganiaya dan dianinya (HR Ibnu Majah dan AlHakim).
Meskipun demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok ukur
kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan
kepuasannya. Sebuah lingkaran betapa pun kecilnya adalah sama dengan 360
derajat, tetapi betapapun besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari angka
tersebut. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang dinamai qana’ah.

4

2.1.4 Cara Mengatasi Kemiskinan dalam Islam
Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Al-Quran menganjurkan banyak cara
yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok.
a) Kewajiban Individu
Jalan pertama dan utama yang diajarkan Al-Quran untuk pengentasan
kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkannya atas setiap individu
yang

mampu.

Puluhan


ayat

yang

memerintahkan

dan

mengisyaratkan kemuliaan bekerja. Segala pekerjaan dan usaha halal
dipujinya, sedangkan segala bentuk pengangguran dikecam dan dicelanya.
Allah telah memberikan kepada kita karunia-Nya, berupa kesempatan,
sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhan kita. Allah menjadikan
waktu siang agar kita gunakan untuk mencari penghidupan. Allah
berfirman:
“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba’:
11)
Allah pun menjadikan di muka bumi ini ma’ayisy, sarana-sarana
penghasilan yang beraneka ragam yang dengannya seseorang dapat
memenuhi kebutuhannya, walaupun sedikit dari mereka yang menyadari

dan mensyukurinya.
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raf: 10)
Untuk itulah Allah mempersilahkan kita untuk berkarya dan berwirausaha
dalam mencari karunia Allah.
”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198)
Karena demikian terbukanya peluang untuk kita, maka Nabi Muhammad
SAW pun menganjurkan kepada kita:

5

”Bersemangatlah untuk sesuatu yang bermanfaat buatmu.” (Shahih, HR.
Muslim)
Yakni bermanfaat baik dalam urusan akhirat maupun dunia.
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda: Salah seorang di antara kamu
mengambil tali, kemudian membawa seikat kayu bakar di atas
punggungnya lalu dijualnya, sehingga ditutup Allah air mukanya, itu lebih
baik daripada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi maupun ditolak

(HR Bukhari).
Sehingga seseorang hendaknya bersemangat untuk mencari kecukupannya
dengan tangan sendiri. Itulah sebaik-baik penghasilan yang ia makan.
Jangan menjadi beban bagi orang lain dengan selalu bergantung kepadanya.
Demikianlah yang dilakukan para pendahulu kita termasuk para sahabat
bahkan para Nabi.
b) Kewajiban Orang Lain/Masyarakat
Salah satu konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus
menanggulangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu
dengan berusaha. Namun di balik itu, juga harus ada usaha untuk menolong
orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.
Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin
terlantar. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka
suatu hak tertentu yang ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian
yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah untuk
mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang
miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam

6

perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui,
Maha bijaksana. [at-Taubah/9:60]
Fakir miskin merupakan kelompok yang harus diutamakan dalam
pembagian zakat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutkan kelompok lain yang berhak atas zakat tersebut. Fakir
miskinlah sasaran utamanya.
Usaha Islam dalam menanggulangi kemiskinan itu bukanlah suatu usaha
yang sambil lalu, temporer, atau setengah-setengah. Pemberantasan
kemiskinan, bagi Islam, justru merupakan salah satu asas yang khas dengan
sendi-sendi yang kokoh. Tidak mengherankan kalau zakat yang telah
dijadikan oleh Allah sebagai sumber jaminan hak-hak orang-orang fakir
miskin itu tersebut ditetapkan sebagai rukun Islam yang ketiga.
c) Kewajiban Pemerintah
Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara,
melalui

sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya

adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah,

atau

perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah
bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi.
2.2 Hasil Studi Lapangan
2.3 Pembahasan Hasil Studi Lapangan

7

BAB III
PENUTUPAN
3.1 Simpulan
3.2 Saran

8

DAFTAR PUSTAKA
1.

Rachman, Iman. 2011. Islam Jawaban Semua Masalah Hidup.
Jakarta:Penerbit Erlangga

2. Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Syari’at Islam Memberikan Solusi Dalam
Mengentaskan Kemiskinan”.
https://almanhaj.or.id/3470-syariat-islam-memberikan-solusi-dalam-mengentaskankemiskinan.html (diakses tanggal 9 Oktober 2017)
3. Al-Ustadz Qomar Suaidi. “Kewajiban Mencari Rezeki yang Halal”.
http://asysyariah.com/kewajiban-mencari-rezeki-yang-halal/ (diakses tanggal 9
Oktober 2017)
4. Nawir Sadewa. “Kemiskinan Dalam Perspektif al-Qur’an”.
https://www.tongkronganislami.net/kemiskinan-dalam-perspektif-al-quran/ (diakses
tanggal 9 Oktober 2017)
5. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. “Wawasan Al-Qur’an”.
http://media.isnet.org/kmi/islam/Quraish/Wawasan/Miskin.html (diakses tanggal 9
Oktober 2017)

9

LAMPIRAN

10