A. PENGERTIAN AGRESI - BAB 12. AGRESI

  AGRESI:

Mengapa Kita Menyakiti Orang Lain? Dapatkah Dicegah?

A.

PENGERTIAN AGRESI

  Bagi para ahli Psikologi Sosial, tindakan agresi adalah perilaku yang diniatkan yang menyebabkan sakit secara fisik ataupun secara psikologis. Oleh Aronson dkk, agresi didefinisikan sebagai tindakan yang diniatkan untuk tujuan membahayakan atau menyakiti. Tindakan agresi dapat berupa tindakan fisik maupun verbal; mungkin dapat mencapai tujuannya namun mungkin juga tidak.

  Agresi: tindakan yang diniatkan untuk tujuan membahayakan atau menyakiti orang lain.

  Hal yang penting dalam definisi agresi adalah adan ya ‘niat’ (intensi). Misalnya bila seorang pemabok mengendarai mobil tanpa sengaja menabrak mobil lain dan menyebabkan luka-luka pada orang lain, ini tidak termasuk agresi, karena tdak diniatkan.

  Menurut Berkowitz (1993), terdapat dua jenis agresi, yaitu hostile aggression dan instrumental aggression . Hostile aggression adalah tindakan agresi yang berasal dari perasaan marah dan bertujuan menimbulkan sakit serta luka.

  Instrumental aggression adalah agresi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan lain, bukan sekedar untuk menyebabkan rasa sakit.

1. Agresi Merupakan Bawaan atau Hasil Belajar?

  Selama berabad-abad para filsuf telah mengajukan pendapat mengenai kapasitas manusia untuk berperilaku agresi. Sebagian berpendapat bahwa agresi merupakan faktor bawaan lahir, sebagai ciri instinktif manusia (misalnya Thomas Hobbes, filsuf dari Inggris), dan sebagian pemikir lainnya berpendapat bahwa perilaku agresif merupakan hasil belajar (misalnya J-J Rousseau).

  Pandangan Hobbes kemudian diadopsi oleh Freud (1930), yang berteori bahwa manusia lahir dengan memiliki insting (instinct) untuk hidup yang disebut Eros, dan juga insting untuk mati yang disebut Thanatos. Thanatos ini yang mendorong tindakan-tindakan agresi. Freud meuyakini bahwa energy agresif harus disalurkan. Pe rnyataannya Freud mengenai hal ini disebut sebagai ‚teori hidrolik (hydraulic theory)‛ yang analog dengan keadaan air yang tertekan dan meluap ke atas di dalam suatu tempat: Bila tidak ada pelepasan energy maka akan terjadi suatu ledakan (eksplosi).

  Menurut Freud, masyarakat memiliki fungsi untuk meregulasi insting mati dan membantu orang-orang menyublimasikan-nya, sehingga energi agresif berubah menjadi perilaku yang dapat diterima atau bermanfaat. Misalnya, Freud yakin bahwa di balik kreasi artistik atau inovatif adalah sublimasi (perubahan wujud) dari energi agresif (atau seksual).

2. Apakah Agresi merupakan Insting, Situasi, atau Pilihan? Teori evolusioner

  Dalam beberapa tahun terakhir psikolog evolusioner (Buss, 2004; Buss & Duntley, 2005) mengajukan gagasan bahwa agresi telah diprogram di dalam genetika pria karena memungkinkan mereka untuk mengabadikan gen mereka. Pria diteorikan sebagai makhluk yang agresif dengan dua alasan: Pertama, pria berperilaku agresif untuk menetapkan dominansi mereka diantara pria lainnya. Gagasan ini dilandasi pemikiran bahwa wanita akan memilih pria yang terlihat bisa memberikan gen terbaik dan perlindungan terbesar serta sumber daya untuk keturunan mereka. Kedua, laki- laki menunjukkan

  ‘cemburu’ untuk memastikan bahwa pasangan mereka tidak berselingkuh dengan orang lain. Kecemburuan adalah alasan utama pria bersikap agresif terhadap satu sama lain maupun dengan pasangan mereka (Wilson, Daly, & Weghorst, 1982; Schützwohl, 2004).

  Pada masyarakat kontemporer, dominasi sosial dan akses terhadap wanita, sebagian besar (tetapi tidak seluruhnya) masih berdasarkan status. Tetapi sekarang, status diartikan lain. Di sebagian besar masyarakat, kebiasaan mengancam secara fisik pria lainnya dalam kelompok, bukan lagi hal yang menarik bagi para wanita.

  Agresi di antara hewan yang lebih rendah

  Para ilmuwan melakukan penelitian menggunakan hewan untuk memperoleh wawasan tambahan mengenai sejauh mana agresi dapat tertanam. Salah satu contohnya, mempertimbangkan keyakinan umum tentang kucing dan tikus. Banyak orang berpendapat bahwa kucing secara naluriah akan mengejar dan membunuh tikus. Setengah abad yang lalu, seorang biologist Zing Yang Kuo (1961) berusaha mendemonstrasikan bahwa itu hanyalah mitos. Dia menunjukkan subuah eksperimen sederhana: dia meletakkan seekor kucing dan tikus di dalam kandang yang sama. Kucing tidak hanya menahan diri untuk tidak menyerang tikus, tetapi keduanya menjadi sahabat dekat. Selain itu, ketika diberi kesempatan, kucing menolak untuk mengejar atau membunuh tikus lainnya; sehingga perilaku jinak ini tidak hanya terbatas pada temannya saja tetapi secara umum kepada tikus lainnya yang belum pernah dijumpai kucing itu.

  Walaupun eksperimen ini menarik, tetapi hal itu tidak berhasil membuktikan bahwa perilaku agresif bukanlah naluriah; hal itu hanya menunjukkan bahwa insting agresif bisa terhambat oleh pengalaman yang dialami sebelumnya. Meskipun perilaku agresif dapat dimodifikasi oleh pengalaman (seperti yang ditunjukkan pada eksperimen Kuo), agresi tidak perlu dipelajari.

  Kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih besar mengenai warisan biologis kita dengan mengamati perilaku hewan yang mempunyai kemiripan genetik dengan manusia, seperti simpanse dan bonobos (simpanse pygmy). Simpanse dikenal dengan perilaku agresif para pejantannya (Watts, Muller, Amsler, Mbabazi, & Mitani, 2006; Watts & Mitani, 2001). Itu adalah satu-satunya spesies non manusia, yang kelompok jantannya berburu dan membunuh anggota lain dari jenis mereka sendiri.

  Wrangham, Wilson, dan Muller (2006) menemukan bahwa simpense membunuh satu sama lain, sama tingkatannya dengan manusia dalam masyarakat ‚hunter-gatherer‛ (pemburu) yang saling membunuh. Berdasarkan penelitian pada simpanse, dapat disimpulkan bahwa manusia, terutama pria, secara genetik diprogram untuk berperilaku agresif.

3. Agresi dan Kebudayaan

  Kebanyakan para psikolog sosial setuju bahwa agresi merupakan strategi yang dipilih. Selain itu, memperhatikan kerumitan dan pentingnya interaksi sosial kita, pada manusia nampaknya situasi sosial menjadi penyebab yang lebih penting dalam menentukan perilaku agresi, tidak seperti pada organisme yang lebih rendah di mana agresi nampaknya lebih dilandasi oleh insting. Hasil penelitian lintas-budaya telah menemukan bahwa tingkat agresivitas manusia bervariasi sepanjang rentang budaya di seluruh dunia.

  Budaya memengaruhi perubahan dalam agresi. Dengan budaya yang ada pada

  suatu masyarakat, perubahan kondisi sosial sering kali memegang peranan penting mengubah atau mengurangi perilaku agresif. Misalnya, masyarakat di Irak yang tinggal di Amerika Utara hidup damai di sana, tanpa perilaku agresif terhadap yang lain; namun selama berabad-abad masyarakat Irak menunjukkan perilaku agresif akibat bersaing dengan negara tetangganya setelah mereka memiliki bisnis dengan bangsa Eropa.

  Regionalisme dan agresi. Dalam masyarakat Amerika, ada beberapa perbedaan

  regional yang mencolok dalam perilaku agresif dan dalam jenis kegiatan yang memicu kekerasan. Richard Nisbett (1993) memperlihatkan bahwa tingkat pembunuhan pria kulit putih daerah Selatan pada umumnya lebih tinggi dibanding untuk pria kulit putih daerah Utara, terutama di daerah pedesaan. Penelitian Nisbett menunjukkan bahwa bila pertanyaan survey bersifat umum, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara orang Selatan dengan orang Utara, namun orang Selatan cenderung lebih menyetujui kekerasan untuk melindungi diri dan untuk merespon hinaan. Pola ini nampaknya terbentuk karena

  ‘budaya kehormatan (culture of

  honor )

  ’ yang berkembang dalam masa awal perkembangan ekonomi di Selatan dan di Barat pada masa lalu (pada cowboy), di mana perlindungan terhadap ternak sangat penting. Untuk dapat melindungi ternak, orang perlu memiliki reputasi terhormat yang telah berperilaku agresif terhadap pencuri dan pengganggu.

  B.

PENGARUH SISTEM SYARAF DAN ZAT KIMIA TERHADAP AGRESI

  Perilaku agresi pada manusia, sama seperti binatang, terkait dengan suatu area inti di otak yang dinamakan amygdala. Bila amygdala dirangsang, organisme jinak menjadi liar, dan sebaliknya bila aktivitas saraf di daerah itu diblokir, organisme liar menjadi jinak (Moyer, 1976). Tetapi terdapat fleksibilitas juga: dampak dari mekanisme neural dapat dimodifikasi oleh faktor sosial, bahkan pada organisme non manusia. Contohnya, jika monyet jantan dihadapan monyet lain yang tidak dominan, bila amygdala dirangsang, ia akan menyerang monyet lain. Tetapi jika amygdala dirangsang ketika monyet berada di lingkungan dengan banyak monyet dominan, maka dia tidak akan menyerang tetapi akan melarikan diri.

  Bahan kimia tertentu telah terbukti mempengaruhi agresi. Contohnya,

  

serotonin, zat kimia yang terbentuk secara alami dalam otak tengah, tampaknya

  memiliki efek menghambat agresi impulsif. Serotonin adalah zat kimia pada otak yang mungkin menghalangi impuls agresi. Menurut hasil percobaan yang dilakukan pada orang normal, ketika produksi alami serotonin terganggu, perilaku agresi meningkat (Bjork, Dougherty, Moeller, Cherek & Swann, 1999).

  Terlalu sedikit serotonin dapat menyebabkan peningkatan agresi, begitu pula bila terlalu banyaknya testosteron, hormon seks pria. Di laboratorium, injeksi testosterone terhadap binatang mengakibatkan meningkatkan agresifitas (Moyer, 1993). Secara alami testosteron pada narapidana yang dihukum karena kejahatan-kekerasan kadarnya lebih tinggi dibandingkan mereka yang dihukum karena kejahatan tanpa kekerasan.

1. Perbedaan Gender dan Agresi

  Dalam survei klasik dari penelitian pada anak, Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin (1974) menunjukkan bahwa anak laki-laki tampak lebih agresif daripada anak perempuan. Anak laki- laki lebih sering melakukan permainan yang ‚tidak menyenangkan‛, seperti menghukum, mendorong, dan menendang dibanding anak perempuan (Deaux & La France, 1998). Tetapi, bagaimanapun juga penelitian tentang perbedaan gender sedikit lebih rumit daripada yang mungkin tampak di permukaan. Misalnya, meskipun anak laki-laki secara terbuka lebih agresif daripada anak perempuan, namun anak perempuan cenderung mengekspresikan agresi emosinya secara diam-diam dengan menggosip, memfitnah, dan menebarkan rumor.

  Meta-analisis terhadap 64 eksperimen, menemukan bahwa walaupun benar jika pria jauh lebih agresif daripada wanita dalam keadaan biasa, perbedaan gender dalam agresi jauh lebih kecil jika pria dan wanita dalam keadaan terprovokasi (Bettencourt & Miller, 1996). Dengan kata lain, dalam kehidupan sehari-hari, ketika tidak terjadi peristiwa tertentu, pria berperilaku jauh lebih agresif daripada wanita; tetapi ketika seseorang mengalami frustrasi atau penghinaan, wanita akan bereaksi sama agresifnya dengan pria.

  Perbedaan gender, budaya, dan agresifitas. Meskipun terdapat perbedaan

  biokimia antara pria dan wanita, namun perbedaan agresifitas antara pria dan wanita bukan hanya karena faktor biokimia, melainkan juga karena budaya. Misalnya, wanita di Australia dan New Zealand menunjukkan agresifitas yang lebih tinggi dibanding pria di Swedia dan Korea.

  Kekerasan antar pasangan. Dari berbagai kekerasan kriminal yang dialami oleh

  wanita, 22% diantaranya dilakukan oleh pria pasangannya; pada pria sebanyak 3% (dilakukan oleh wanita pasangannya). Data di Amerika juga menunjukkan bahwa lebih banyak suami yang membunuh isterinya daripada isteri yang membunuh suami. Bahwa di antara pasangan pria-wanita pria cenderung lebih agresif daripada wanita, ini bukan semata-mata karena akibat testosterone. Terdapat faktor-faktor lain, salah satunya adalah faktor sosial, yakni masyarakat sexist di mana pria merasa berhak untuk menguasai dan mengontrol wanita (Eisenstate & Bancroft, 1999).

  2. Alkohol dan Agresi

  Hubungan antara alkohol dan perilaku agresi telah diketahui oleh para peneliti, orang yang mabok alkohol cenderung lebih agresif meskipun mereka tidak diprovokasi dan tidak terbiasa berperilaku agresif.

  Mengapa konsumsi alkohol cenderung lebih banyak menimbulkan kekerasan? Alkohol berfungsi sebagai disinhibitor__hal yang mengurangi hambatan sosial, yang membuat kita kurang waspada dibanding biasanya (MacDonald dkk, 1996). Alkohol mengganggu pemrosesan informasi yang biasa kita gunakan. Artinya, pemabok cenderung merespon secara dini terhadap situasi sosial yang menonjol dan kehilangan informasi yang lebih halus.

  3. Rasa Sakit, Ketidaknyamanan dan Agresi Jika binatang merasa sakit dan tidak dapat melarikan diri dari tempat kejadian,

akibatnya hampir selalu mereka menyerang; Hal ini berlaku pada tikus, hamster,

rubah, monyet, lobster, ular, musang, buaya, dan sejumlah makhluk lainnya. Dalam

keadaan tersebut, hewan akan menyerang anggota spesies mereka sendiri, anggota

spesies yang berbeda, atau apa pun di depan mata, termasuk boneka-boneka dan

bola tenis.

  Pada manusia, banyak dari kita sekejap merasa terganggu (irritation) ketika kita tersandung atau ibu jari terpukul palu, dan menjadi ingin menyerang benda yang paling dekat dengan kita. Dalam serangkaian eksperimen, para murid yang merasakan sakit setelah direndam tangannya di dalam air yang sangat dingin, cenderung lebih bertindak agresif terhadap murid lainnya (Berkowitz, 1983).

  Selain itu, banyak teori berspekulasi bahwa berbagai bentuk ketidaknyamanan tubuh, seperti sakit, panas, kelembaban, polusi udara, dan serangan bau , menurunkan ambang batas untuk perilaku agresif (Stoff & Crains, 1997). Pada tahun 1960an-1970an saat Amerika tengah mengalami tekanan situasi perang Vietnam dan isu ketidakadilan rasial, terjadi musim panas berkepanjangan (long hot summer). Analisis terhadap 79 gangguan kerusuhan pada tahun 1967-1971 menunjukkan bahwa kerusuhan jauh lebih banyak terjadi dalam musim panas daripada musim dingin (Carlsmith & Anderson, 1979). Demikianlah, udara panas berperan meningkatkan kemungkinan terjadi kerusuhan dan tindakan agresif lainnya.

  Gambar 1. Musim panas berkepanjangan dan kemungkinan kerusuhan

  C. SITUASI SOSIAL DAN AGRESI

  Setelah melihat efek dari zat kimia dalam tubuh, alkohol, dan pengalaman fisik yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit dan panas terhadap agresi, berikut ini kita melihat bahwa agresi dapat juga disebabkan oleh situasi sosial yang tidak menyenangkan.

1. Frustrasi dan Agresi

  Frustrasi merupakan hal yang paling besar kemungkinannya menjadi penyebab timbulnya agresi. Kecenderungan ini menunjuk pada teori frustasi – agresi, yang dikemukakan oleh Dollard et al. (1939). Hal ini tidak berarti bahwa frustrasi selalu menyebabkan agresi, namun sering terjadi, khususnya bila frustrasinya sungguh jelas, tidak dikehendaki, dan dan tak dapat dikendalikan.

  

Teori Frustrasi-Agresi:

Gagasan bahwa frustrasi, yaitu persepsi bahwa Anda sedang dicegah untuk

mencapai tujuan, meningkatkan kemungkinan respon agresif.

  Eksperimen kalasik yang dilakukan oleh Barker, Dembo, & Lewin (1941)

menyediakan mainan yang sangat menarik bagi anak-anak, dan menciptakan dua

kondisi: kelompok kontrol boleh langsung bermain, dan kelompok eksperimen dibuat

frustrasi dengan menunggu kesempatan bermain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-

anak yang segera bermain, bermain dengan penuh sukacita; sedangkan pada anak-anak

yang dibuat frustrasi menunggu ketika akhirnya berkesempatan memainkannya,

menjadi sangat merusak: menghancurkan mainan, melemparkannya ke dinding,

menginjak, dsb.

  Eksperimen lapangan yang dilakukan oleh Harris (1974) menunjukkan bahwa

beberapa kondisi dapat meningkatkan frustrasi dan selanjutnya meningkatkan

kemungkinan agresi, yaitu: ketertundaan, kedekatan tujuan, dan frustrasi yang tak

diharapkan. Bila semakin dekat tujuan atau objek yang kita inginkan, semakin besar

harapan; semakin besar harapan, semakin besar pula kemungkinan terjadi agresi.

  

Jika situasi frustrasi dimengerti, sah, dan tidak disengaja, kecenderungan untuk aggresi

akan berkurang.

  2. Provokasi dan Balas-dendam

  Agresi sering kali terjadi karena keinginan untuk membalas setelah diprovokasi oleh perilaku agresif orang lain. Dalam penelitian yang dilakukan Robert Baron (1988), beberapa orang partisipan bersiap untuk mengiklankan produk baru mereka; iklan mereka kemudian dievaluasi dan dikritisi oleh anak-buah eksperimenter. Dalam salah satu kondisi eksperimen, kritikus yang terlihat kuat mengomentari dengan lembut dan baik hati (‚Saya pikir banyak kemungkinan untuk melakukan perbaikan‛); dalam kondisi yang lain, kritikus memberikan sikap yang menghina

  (‚Saya pikir Anda tidak akan bisa membuat karya yang original ‛). Ketika diberi kesempatan untuk membalas, orang-orang yang mendapat perlakuan kasar jauh lebih ingin melakukan pembalasan dibanding dengan yang berada dalam kondisi ‚lembut‛.

  Tetapi meskipun diprovokasi, seseorang tidak selalu membalasnya. Kita tanyakan kepada diri sendiri, apakah provokasi itu diniatkan (disengaja) atau tidak? Bila kita meyakini itu tidak disengaja, kebanyakan dari kita tidak akan membalasnya (Kremer & Stephens, 1983). Sebaliknya, jika terdapat keadaan lingkungan yang menjadi penyebab provokasi, tidak akan terjadi agresi.

  3. Objek Agresif sebagai Isyarat

  Stimulus tertentu nampaknya menggerakkan kita untuk bertindak. Dalam konteks perilaku agresif, muncul pertanyaan, apakah keberadaan suatu stimulus agresif dapat meningkatkan kemungkinan agresi?

  Stimulus agresif :

  objek yang diasosiasikan dengan respon agresif, misalnya pestol, yang Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran objek kekerasan dalam suatu situasi keberadaannya dapat meningkatkan kemungkinan agresi.

  Eksperimen Berkowitz & Le Page (1967) telah menjawab pertanyaan tsb. Eksperimen difokuskan untuk mengetahui efek dari stimulus agresif berupa senajata. Dalam eksperimen ini, beberapa mahasiswa dibuat marah dalam kondisi terdapat senjata berupa pestol di ruangnya, dan sebagian lainnya (kelompok kontrol) dibuat marah dalam kondisi ruangnya terdapat raket badminton (benda netral). Selanjutnya partisipan diberi kesempatan untuk melakukan hal yang mereka yakini sebagai sengatan listrik terhadap sesama mahasiswa.

  Gambar 2. Isyarat agresif, misalnya senjata, cenderung meningkatkan tingkat agresifitas Hasilnya, partisipan yang sebelumnya telah dibuat marah dalam kondisi adanya pestol di dalam ruangan, memberikan sengatan listrik lebih intensif dibanding mereka yang dibuat marah dalam kondisi adanya raket badminton.

  Penelitian Berkowitz & Le Page tersebut telah direplikasi (diulang) di berbagai tempat di Amerika dan Eropa, dan hasilnya memerkuat pandangan Berkowitz (1998): ‚Pestol bukan hanya mengijinkan kekerasan, namun juga dapat menstimulasi kekerasan.

  Jari menarik pelatuk, namun pelatuk dapat juga menarik jari‛ (Guns not only

  

permit violence, they can stimulate it as well. The finger pulls the trigger, but the trigger may

also be pulling the finger”). Jadi, efek keberadaan senjata ini memiliki implikasi praktis

  yang penting, yaitu bahwa sembarangan meletakkan senjata akan mendatangkan bahaya.

4. Imitasi dan Agresi

  Individu, terutama anak-anak, belajar untuk menanggapi konflik agresif dengan mengamati perilaku agresif pada orang dewasa dan teman sebaya. Anak sering belajar memecahkan konflik secara agresif dengan meniru orang dewasa dan teman sebaya mereka, terutama ketika mereka melihat bahwa agresi dihargai.

  Orang yang paling sering ditiru oleh anak-anak, tentu saja adalah orang tua mereka. Jika orang tua dilecehkan saat mereka kanak-kanak, ini dapat mengatur rantai kekerasan dalam waktu berikutnya. Sesungguhnya, sebagian besar orang tua yang melakukan pelecehan secara fisik, pernah dilecehkan orang tua mereka sendiri ketika mereka masih kecil (Silver, Dublin, & Lourie, 1969; Strauss & Gelles, 1980). Banyak ahli berspekulasi bahwa bila anak-anak disiksa secara fisik oleh orang tua mereka, maka mereka belajar bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk bersosialisasi dengan anak-anak mereka sendiri. Tapi tentu saja, ini bukan satu-satunya kesimpulan yang digambarkan dari data keluarga.

  Teori belajar sosial menyatakan bahwa kita belajar perilaku sosial (misalnya,

  agresi) dengan mengamati orang lain dan meniru mereka. Contoh eksperimen yang mengilustrasikan hal ini adalah eksperimen dengan boneka Bobo yang dilakukan oleh Albert Bandura dan rekannya (1961; 1963). Dalam eksperimen tersebut anak-anak diberi kesempatan menyaksikan orang dewasa memukuli boneka boneka

  ‘Bobo’ (

  

plastik berisi udara yang segera memantul kembali setelah dipukul/dirobohkan). Anak-

anak kemudian dibiarkan bermain dengan boneka tersebut. Anak-anak yang berada

dalam kondisi eksperimen, meniru model agresif dan memperlakukan boneka itu

dengan cara yang kasar. Anak-anak lain yang merupakan kelompok kontrol, yang tidak

melihat orang dewasa bertindak agresif, hampir tidak ada yang melakukan

agresi terhadap boneka yang tak berdaya itu. Eksperimen ini memberikan dukungan

  kuat terhadap keyakinan kita bahwa perilaku agresif sering dipelajari dengan proses yang sederhana, yaitu dengan mengamati dan mengimitasi perilaku orang lain.

5. Kekerasan Melalui Media: TV, Film, dan Video Game

  Bila hanya dengan menyaksikan orang dewasa berperilaku agresif dapat menyebabkan anak-anak memperlakukan boneka dengan agresif, bagaimana akibat kekerasan di media massa bagi anak-anak dan bagi kita semua? Bagiamana pula akibat kekerasan pada video games di mana anak-anak ikut berpartisipasi merusak kota, dsb, di layar computer mereka?

  Dampak pada anak-anak

  Sebenarnya, apakah yang dipelajari anak-anak dengan menonton kekerasan di televisi? Sejumlah penelitian jangka panjang telah menunjukkan bahwa semakin banyak individu-individu menonton kekerasan di TV ketika anak-anak, semakin banyak kekerasan yang mereka pertunjukkan setelah remaja dan dewasa muda (Eron, 1982, 1987; Eron, Huesmann, Lefkowitz, & wälder, 1996). Dalam penelitian yang khas semacam ini, para remaja diminta untuk mengingat pertunjukkan apa yang mereka tonton di TV ketika mereka anak-anak dan seberapa sering mereka menyaksikannya. Selanjutnya, pertunjukan itu dinilai oleh penguji secara independen seberapa besar tingkat kekerasannya. Akhirnya, agresivitas para remaja itu dinilai oleh guru-guru dan teman-teman sekelas secara independen. Hasilnya, tidak hanya ada korelasi yang tinggi antara banyaknya kekerasan yang ditonton di TV dan agresivitas para remaja yang menontonnya, melainkan juga akumulasi dampaknya dari waktu ke waktu, kekuatan korelasi meningkat sesuai umur.

  Bermain video game yang mengandung kekerasan sepertinya memiliki dampak yang sama dengan anak-anak yang menonton TV dengan kekerasan (Anderson & Dill, 2000). Dalam penelitian pertama, hasilnya menunjukkan video game dengan kekerasan berkorelasi positif dengan perilaku agresif dan kejahatan pada anak, dan korelasinya semakin kuat pada anak-anak yang sebelumnya telah lebih rentan terhadap kekerasan. Dalam penelitian kedua, peneliti melihat bahwa hubungannya lebih dari sekedar hubungan korelasi, melainkan bahwa video games dengan kekerasan tersebut memiliki dampak langsung dan cepat terhadap pikiran dan perilaku agresif mereka (Anderson & Dill, 2000).

  Bagaimana dengan orang dewasa?

  Anak-anak muda secara definitif jauh lebih mudah dibentuk daripada orang dewasa, sikap dan perilaku mereka hampir dapat dipastikan sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang mereka lihat. Terlebih lagi, anak-anak tidak ahli seperti orang dewasa dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Tapi pengaruh dari kekerasan dalam media terhadap perilaku kekerasan tidak hanya terbatas pada anak-anak. Kekerasan di media juga memiliki pengaruh besar pada perilaku agresif remaja dan dewasa muda.

  Efek kekerasan di TV. Paparan berulang mengenai peristiwa sulit atau tidak

  menyenangkan cenderung memiliki efek pada sensitivitas kita terhadap peristiwa- peristiwa. Eksperimen yang dilakukan oleh Cleane dkk (1973) menunjukkan bahwa mereka yang banyak menonton pertandingan tinju yang brutal di TV, dalam kehidupan sehari-hari tampak relatif acuh tak acuh terhadap penganiayaan di ring, mereka menunjukkan sedikit bukti fisiologis kecemasan atau gejolak fisiologis lainnya; tidak tergerak oleh kekerasan. Di sisi lain, mereka yang biasanya relatif sedikit menonton TV menunjukkan gejolak (bangkitan) fisiologis yang kuat, kekerasan benar-benar mengganggu mereka.

  Tampaknya, melihat kekerasan pada mulanya disajikan untuk menurunkan pengaruh pada mereka untuk lebih jauh bertindak dalam kekerasan- mereka tidak kaget dengan insiden yang seharusnya membuat mereka kaget. Meskipun reaksi tersebut secara psikologis memungkinkan untuk melindungi kita dari rasa kaget, itu juga memungkinkan terjadinya efek yang tidak diinginkan dalam meningkatkan ketidakacuhan kita kepada korban dari kekerasan dan mungkin memberikan kita penerimaan lebih terhadap kekerasan sebagai aspek dalam kehidupan di dunia modern.

  Bagaimana kekerasan media mempengaruhi pandangan kita tentang dunia?

  Jika kita menyaksikan semua pembunuhan dan kekacauan di layar TV, apakah logis jika kita menyimpulkan secara sederhana bahwa keluar dari rumah tidaklah aman, terlebih ketika malam? Gerbner dkk (2002) menemukan bahwa remaja dan orang dewasa penggemar berat tontonan TV (mereka yang menonton lebih dari 4 jam sehari) dibandingkan penonton ringan TV (yang menonton kurang dari dua jam perhari) lebih mungkin untuk memiliki pandangan yang berlebihan mengenai tingkat kekerasan yang terjadi diluar rumah mereka. Lebih dari itu, penggemar berat menonton TV memiliki ketakutan yang lebih besar diserang secara perorangan.

  Mengapa Kekerasan media mempengaruhi agresi penonton?

  Setidaknya ada lima reaksi yang berbeda yang menjelaskan mengapa kekerasan melalui media dapat meningkatkan agresi: 1)

  "Jika mereka bisa melakukannya, maka saya juga bisa". Ketika seseorang melihat perilaku kekerasan di TV, hal ini memperlemah hambatan terhadap perilaku

  kekerasan yang telah mereka pelajari sebelumnya .

  2) ‚Oh, jadi begitulah cara melakukannya!‛. Ketika orang melihat perilaku kekerasan di TV, hal ini dapat memicu imitasi, menyediakan ide bagaimana mereka bisa melakukan hal itu. 3)

  "Perasaan yang saya punya harus berupa kemarahan yang nyata, bukan hanya hari

  yang menegangkan ". Menonton kekerasan memungkinkan banyak orang

  terhubung dengan perasaan marah mereka dan membuat respon yang lebih agresif melalui proses priming (mengingat ingatan masa lalu). Melihat kekerasan di TV, memungkinkan seseorang menafsirkan perasaan kesal yang ringan sebagai kemarahan intens, dan lebih besar kemungkinannya untuk menyerang. 4)

  "Oh, pemukulan brutal; bagaimana yang ada di saluran lain?". Menonton banyak kekacauan tampaknya mengurangi ketakutan kita terhadap kekerasan dan rasa simpati kita untuk para korban, sehingga memudahkan kita untuk hidup dalam kekerasan dan mungkin lebih mudah bagi kita untuk bertindak agresif.

  5) ‚Lebih baik saya mendapatkan dia sebelum dia mendapatkan saya!‛. Jika menonton TV lebih banyak membuat kita berpikir dunia adalah tempat yang berbahaya, kita mungkin menjadi lebih cenderung mempunyai perasaan bermusuhan kepada orang asing yang mendekati saya di jalan.

  6. Apakah Kekerasan Dapat Menjual?

  Dalam percobaan yang mencolok, Brad Bushman dan Angelica Bonnaci (2002) mengkondisikan orang-orang untuk menonton acara TV baik yang berupa kekerasan, seksual eksplisit, atau netral. Setiap acara berisikan sembilan iklan yang sama. Segera setelah melihat acara itu, para peneliti bertanya kepada para pemirsa untuk mengingat merk dan untuk mengambil barang itu dari rak-rak supermarket. Dua puluh empat jam kemudian, peneliti menelepon pemirsa untuk mengingat merk yang telah mereka lihat selama menonton. Orang

  • –orang yang menyaksikan iklan selama tontonan yang netral (tanpa kekerasan, non seksual eksplisit) menunjukkan mereka mampu mengingat merk yang diiklankan lebih baik dari orang yang melihat acara kekerasan atau acara yang berisi konten seksual. Hal ini berlaku, baik seketika setelah menonton maupun 24 jam setelah menonton, dan berlaku pada wanita maupun pria dari segala usia.

  Tampaknya kekerasan dan seks merusak memori pemirsa. Dalam hal penjualan, pengilklan perlu disarankan untuk mensponsori acara tanpa kekerasan.

  7. Kekerasan Pornografi dan Kekerasan Terhadap Perempuan

  Menurut survei nasional di Amerika Serikat, selama tiga dekade terakhir, hampir setengah dari semua kasus pemerkosaan atau usaha memerkosa tidak melibatkan serangan oleh orang asing, melainkan keadaan ‘saling suka’, di mana korban mengenal pelakunya atau perkosaan terhadap pacar. Hal ini banyak terjadi karena laki-laki menolak menerima jawaban tidak.

  Mengapa hal ini terjadi? J awabannya terletak dalam ‚script seksual‛ pembelajaran remaja ketika mereka tumbuh menuju kematangan seksual. Script adalah cara berperilaku sosial yang kita pelajari secara implisit dari budaya. Script seksual remaja adalah bahwa peran wanita secara tradisional adalah menahan dorongan seksual pria dan peran pria adalah gigih.

  Selain itu, kekerasan seksual terhadap wanita ternyata juga dipicu oleh kekerasan porbnografi. Meta-analisis yang dilakukan oleh Allen dkk (1995) terhadap 30 hasil penelitian menemukan bahwa eksposur (mempertontonkan) materi kekerasan pornografi menghasilkan tingkat agresi yang tinggi terhadap perempuan. Mereka juga menemukan bahwa materi pornografi yang tidak mengandung unsur kekerasan (nonviolant) juga menimbulkan kekerasan terhadap wanita meski dalam tingkat yang rendah.

D. BAGAIMANA MENGURANGI AGRESI? 1. Apakah hukuman Agresi dapat mengurangi Perilaku Agresif?

  Berkaitan dengan agresi, hukuman merupakan hal yang rumit. Di satu sisi, mungkin terpikir bahwa menghukum, termasuk menghukum perilaku agresif, dapat mengurangi perilaku agresif tsb. Di sisi lain, apabila hukuman dilakukan, orang yang menghukum secara tidak sadar dijadikan model oleh orang yang dihukum, padahal awalnya penghukum bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku agresif yang di hukum tetapi akhirnya menyebabkan orang tersebut mengimitasi tindakan mereka (orang yang menghukum).

  Seperti telah diketahui, anak yang tumbuh dari orang tua yang agresif cenderung tumbuh menjadi orang yang kasar ketika mereka tumbuh dewasa (Vissing dkk, 1991). Maka dari itu hukuman ringan lebih baik untuk menurunkan sikap atau perilaku agresif seseorang.

  Seperti dijelaskan pada Bab VI (Kebutuhan untuk membenarkan perilaku sendiri), beberapa eksperiman pada anak TK menunjukkan bahwa hukuman yang relatif menyakitkan terhadap pelanggaran, ternyata tidak mampu menyingkirkan pelanggaran (justru membuat anak semakin menginginkan perilaku yg melanggar peraturan). Di sisi lain, hukuman yang ringan (hanya cukup membuat anak sementara menghentikan perilaku yang tak diinginkan) membuat anak mencoba mencari pembenaran dari dalam dirinya sendiri atas perilakunya yang tidak melanggar, dan hasilnya perilaku melanggar itu tidak menarik baginya (Aronson & Carlsmith, 1963; Freedman, 1965).

  Menggunakan hukuman untuk kekerasan orang dewasa

  Sistem hukum kriminal pada banyak kebudayaan mengatur hukuman yang berat, baik sebagai hukuman maupun untuk menakut-nakuti orang yang melakukan kejahatan kejam seperti pembunuhan, pembantaian dan pemerkosaan.

  Eksperimen di laboratorium yang dilakukan oleh Bower & Hilgard (1981) menunjukkan bahwa hukuman benar- benar bisa berfungsi sebagai ‚penangkal‛ yang menakuti sehingga mengurangi kejahatan atau kekerasan yang dilakukan seseorang, tetapi hal itu dapat terwujud jika ada 2 kondisi yang tepat, yaitu jika hukuman itu bersifat segera dan merupakan hal yang pasti; hukuman tidak ditunda. Namun dalam kehidupan nyata dua kondisi tersebut hampir tidak bisa di temui, terutama pada kehidupan sosial yang kompleks dengan tingkat criminal yang tinggi dan sistem hukum yang lamban.

  Hasil penelitian dari National Academy of Sciences (Berkowitz, 1993) dan berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa konsistensi dan kepastian hukuman adalah jauh lebih efektif untuk mencegah perilaku kekerasan dibanding hukuman yang berat.

2. Katarsis dan Agresi

  Kebijaksanaan konvensional menyatakan bahwa salah satu cara untuk

mengurangi perasaan agresi adalah melakukan sesuatu yang agresif. Keyakinan umum

ini merupakan oversimplivication (penyederhanaan yang berlebihan) atas gagasan

psikoanalisis mengenai katarsis.

  

Katarsis :

Gagasan bahwa ‘meniup uap panas’ -- dengan melakukan tindakan agresif,

menonton orang lain berperilaku agresif, atau berfantasi berperilaku agresif --

dapat mengurangi tumpukan energi agresif dan oleh karenanya mengurangi

kemungkinan perilaku agresif lebih lanjut .

  Berikut ini beberapa kemungkinan negatif yang terjadi akibat katarsis.

  Efek tindakan agresif terhadap agresi selanjutnya Ketika frustrasi atau marah, banyak yang merasa berkurang ketegangannya setelah

  ‚meniup uap panas‛ dengan berteriak, memaki, atau memukul. Tapi

apakah perilaku agresif mengurangi kebutuhan untuk agresi lebih lanjut? Secara

umum, jawabannya adalah TIDAK. Bahkan, sebaliknya cenderung untuk menjadi

kenyataan: Permainan kompetitif sering membuat peserta dan pengamat lebih agresif.

  Bagaimana dengan menonton permainan agresif? Apakah mengurangi perilaku

agresif? Seperti berpartisipasi dalam olahraga yang agresif, menonton juga

meningkatkan perilaku agresif.

  Akhirnya, apakah agresi langsung terhadap sumber kemarahan dapat

mengurangi agresi lebih lanjut? Sekali lagi, jawabannya adalah TIDAK. Ketika

orang melakukan tindakan agresi, tindakannya seperti meningkatkankecenderungan ke

arah agresi selanjutnya. Di luar laboratorium, di dunia nyata, kita melihat fenomena

yang sama: tindakan agresi verbal sering diikuti dengan serangan lebih lanjut.

  Menyalahkan korban atas agresi kita

  Teori katarsis memprediksi bahwa melampiaskan kemarahan kepada seseorang atau dengan menonton orang lain berperilaku agresif, akan berfungsi untuk membuat lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan tindakan agresi selanjutnya. Namun penelitian menunjukkan sebaliknya: bertindak agresif atau mengamati peristiwa agresif (seperti pertandingan sepak bola) justru meningkatkan kemungkinan perilaku agresif di masa depan. Pada level nasional, tindak kekerasan terhadap bangs lain menyababkan sikap yang semakin negatif terhadap bangsa dan kemauan lebih besar untuk menimbulkan kekerasan lebih lanjut karena memicu kecenderungan untuk membenarkan tindakan itu.

3. Pengaruh Perang terhadap Agresi Masyarakat

  Kita semua tahu bahwa perang adalah neraka, namun konsekuensi dari perang memperpanjang jauh melampaui medan perang. Ketika bangsa sedang berperang, keadaan memiliki pengaruh besar terhadap perasaan agresif warganya. Orang- orangnya lebih cenderung untuk melakukan tindakan agresif terhadap satu sama lain.

  Tingkat kriminalitas pada 110 negara dari tahun 1900 menunjukkan bahwa

dibandingkan dengan negara-negara yan tetap damai, setelah negara usai berperang,

tingkat pembunuhan naik secara substansial.

  Konsisten dengan penjelasan tentang penyebab sosial agresi, ketika bangsa sedang berperang, itu seperti satu drama kekerasan yang besar di TV. Fakta menunjukkan bahwa pada bangsa yang sedang berperang:

  a) Melemahkan hambatan penduduk melawan agresi

  b) Memberi contoh agresi,

  c) Membuat tanggapan yang agresif dapat diterima,

  d) Mematikan indera ketakutan dan kehancuran membuat individu kurang simpatik terhadap para korban.

4. Apa yang Kita Sarankan Atas Kemarahan Kita?

  Adalah mungkin untuk mengendalikan kemarahan kita secara aktif, yang

memungkinkan kemarahan tsb menghilang. Berikut ini beberapa cara yang

dimaksudkan.

  Menyalurkan Vs penyadaran diri. Jika teman dekat atau pasangan yang

membuat kita marah, kita mungkin ingin mengekspresikan kemarahan itu, dan

ekspresi kemarahan mungkin dapat membantu kita mendapatkan informasi

tentang diri dan dinamika hubungan. Tetapi untuk itu, kemarahan harus tanpa

kekerasan dan non tidak merendahkan martabat.

  Meskipun mungkin lebih baik untuk mengungkapkan kemarahan kepada

teman yang memprovokasi, namun jika kita berharap untuk menyelesaikan

masalah, akan sangat membantu bila kita menuliskan perasaan ke dalam sebuah jurnal

pribadi (semacam buku harian). Manfaatnya bukan hanya untuk

melampiaskan perasaan, tetapi terutama untuk wawasan dan kesadaran diri yang

biasanya menyertai, seperti ketika membuka diri (Pennebaker, 1990).

  Meredakan kemarahan dengan pemintaan maaf. Salah satu cara

untuk mengurangi agresi adalah bahwa individu yang menyebabkanfrustrasi

mengambil tanggung jawab, meminta maaf, dan menunjukkan bahwa hal itu tidak

akan terjadi lagi.

  Memberikan model non-agresif. Bila anak-anak melihat orang dewasa yang

terprovokasi namun mengekspresikan dirinya dengan tenang dan sikap yang sopan,

oleh karenanya anak-anak kemudian menangani frustrasi mereka sendiri secara tidak

agresif.

  Membangun empati. Bila perasaan empati muncul, kita akan diresapi kesadaran akan keadaan orang lain dan mengurangi keinginan untuk agresi.

  • --o00o--

Dokumen yang terkait

Pembaruan pendidikan islam KH. A. Wahid Hasyim ( Menteri Agama RI 1949-1952)

8 109 117

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

Idioms Used In Real Steel Movie - Digital Library IAIN Palangka Raya

2 4 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80